BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia melakukan berbagai aktivitas untuk memenuhi
kesejahteraan hidupnya dengan memproduksi makanan minuman dan
barang lain dari sumber daya alam. Aktivitas tersebut juga menghasilkan
bahan buangan yang disebut dengan sampah.(Chandra, 2007). Menurut
WHO yang dikutip oleh Mukono (2006), sampah yaitu sesuatu yang
tidak digunakan, tidak terpakai, tidak disenangi, atau sesuatu yang
dibuang yang berasal dari kegiatan manusia dan tidak terjadi dengan
sendirinya. Pengelolaan sampah yang kurang baik dapat memberikan
pengaruh negatif terhadap kesehatan. Pertambahan penduduk dan perubahan
pola konsumsi masyarakat menimbulkan bertambahnya volume, jenis, dan
karakteristik sampah yang semakin beragam. Dampak peningkatan
aktivitas manusia, lebih lanjut mengakibatkan bertambahnya sampah.
Hal ini dapat menyebabkan menurunnya kualitas lingkungan
perkotaan karena pengelolaan persampahan yang kurang memadai. Oleh
karena itu, perlu dilaksanakan suatu cara untuk menangani masalah
sampah tersebut sehingga fenomena sampah yang selama ini terjadi pada
kota tidak menjadi masalah serius bagi warga masyarakat perkotaan
maupun masyarakat pedesaan. Sejalan dengan itu, bahwa masalah
persampahan telah mengakibatkan pencemaran lingkungan secara
penyakit, tersumbatnya drainase dan sungai yang dapat mengakibatkan
banjir.
Melihat kondisi tersebut, penanganan sistem pengelolaan
persampahan suatu kota harus dilaksanakan dengan efisien dan efektif,
sehingga dapat dicapai hasil maksimum sesuai yang diharapkan oleh
masyarakat dan pemerintah. Dalam pengelolaan persampahan hal yang
perlu diperhatikan yaitu diantaranya adalah pewadahan, pengumpulan,
pemindahan, pengangkutan dan pembuangan sementara serta pembuangan
akhir, dimana yang paling menentukan baik tidaknya pengelolaan
sampah adalah pengangkutan sampah.
Menurut Sudrajat (2002 : 6), Permasalahan sampah merupakan hal
yang krusial, bahkan sampah dapat dikatakan sebagai masalah kultural,
karena dampaknya terkena pada berbagai sisi kehidupan, terutama di
kota-kota besar seperti: Jakarta, Semarang, Surabaya, Bandung, Palembang
dan Medan. Menurut Prakiraan volume sampah yang dihasilkan per-orang
rata-rata 0,5 kg/kapita/hari. Pada tahun 2007, diproyeksikan penduduk Kota
Medan mencapai 2.083.156 jiwa.
Dibanding hasil sensus Penduduk tahun 2000 terjadi pertumbuhan
penduduk tahun 2000-2007 sebesar 1,28 % pertahun, dengan luas wilayah
mencapai 265,10 km², kepadatan penduduk mencapai 7858 jiwa/km².
Sementara menurut data Dinas Kebersihan Kota Medan pada tahun 2009
sampah sebesar itu jika tidak dilakukan dengan manajemen pengelolaan yang
baik akan mengalami penurunan kualitas lingkungan.
Growth Centre Wilayah I Sumut-NAD tahun 2010 juga
menjelaskan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Namo Bintang dan
Desa Terjun menunjukkan sumber sampah berasal dari 21 kecamatan dan
151 kelurahan di Kota Medan, Komposisi sampah terdiri dari 70,69 persen
bahan organik dan 29,31 persen bahan anorganik.
Ditempat-tempat tertentu, khususnya di setiap permukiman padat
penduduk, hampir selalu ditemukan tumpukan sampah. Sedangkan
pengelolaan sampah di kecamatan Medan selayang tidak adanya partisipasi
masyarakat, hal ini dapat kita lihat dari kurangnya kesadaran dari pihak
kecamatan untuk berperan aktif dalam melakukan pengawasan dan
penghimbauan kepada masyrakat Medan Selayang. Untuk itu perlu dilakukan
pendekatan yang lebih baik agar dapat meningkatkan partisipasi masyarakat,
sehingga dengan kesadaran sendiri dapat menjaga kebersihan lingkungan
Oleh karena itu, pengelolaan sampah sangat tergantung pada kerjasama dan
kesadaran setiap rumah tangga, swasta, dan pihak pemerintah untuk
berpartisipasi dalam mengumpulkan, dan membuang sampah dengan
koordinasi dan pengaturan tempat pembuangan sampah yang baik.
Pada Kota Medan sendiri telah di terbitkan Peraturan Daerah Kota
Medan no. 6 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Persampahan di Kota
Medan.Dengan harapan masyarkat dapat menjaga kebersihan Kota Medan
membuang sampah sembarangan berupa denda sebesar Rp. 10.000.0000,-.
Namun sangsi tersebut tidak memilikipengawasan yang jelas dari pihak
Pemerintah Daerah Sendiri.Pemerintah Kota Medan juga belum menyediakan
Tempat Pembuangan Sementara (TPS) yang cukup untuk menampung
volume sampah yang ada di masyarakat khususnya pada Kecamatan Medan
Selayang.
Meskipun tersedia tempat pembuangan sementara, tetap saja sampah
yang dihasilkan masyarakat melebihi kapasitas yang tersedia. Hal ini
disebabkan karena proses pembuangan sampah dari TPS ke TPA (Tempat
Pembuangan Akhir) yang dilakukan oleh Dinas Kebersihan sering terlambat.
Akibatnya sampah yang tidak tertampung di TPS menumpuk dan berserakan
ke tempat-tempat sekitarnya. Selain menimbulkan bau tidak enak, sampah
yang berserakan tersebut juga menyebabkan lingkungan sekitarnya terkesan
menjadi kumuh, sehingga mengganggu pemandangan.
Fenomena lebih serius dapat dilihat di pasar-pasar besar di Kota
Medan. Berdasarkan pengamatan sementara di sekitar Pasar Kampung
Lalang, Pasar Melati, Pasar Mandala, sampah yang dihasilkan para
pedagang hanya dibuang sembarangan disekitar tempat mereka berdagang.
Mereka sama sekali tidak menyediakan tempat khusus sebagai penampungan
sampah sementara di kios mereka. Akibatnya lorong/jalan yang digunakan
untuk berbelanja menjadi kotor oleh daun-daunan, buah-buahan, plastik,
dan bau. Hal ini tentu mengakibatkan kenyamanan masyarakat yang
berbelanja menjadi kurang nyaman.
Selain itu depan pasar juga sering ditemukan tumpukan sampah yang
berserakan sampai ke trotoar dan badan jalan. Berdasarkan pengamatan
sementara hal ini disebabkan karena keterlambatan pengangkutan sampah
dari TPS yang hal ini disebabkan karena keterlambatan pengangkutan
sampah dari TPS yang tersedia di pasar yang bersangkutan ke TPA
terdekat. Fenomena lainnya adalah masih sering dijumpai sampah yang
berserakan disekitar trotoar dan badan jalan-jalan umum kota Medan.
Jalan protokol seperti jalan Bakti, Simpanglimun serta hampir
disepanjang jalan Veteran merupakan jalan yang sangat rawan dengan
sampah yang dihasilkan para pedagang kaki lima. Sampah tersebut selain
berasal dari pengguna jalan/pejalan kaki, juga berasal dari pedagang kaki
lima yang memanfaatkan trotoar dan sebagian badan jalan sebagai tempat
usaha mereka. Sampah yang berserakan di pinggir-pinggir jalan protokol
tersebut tidak saja mengganggu pemandangan para pejalan kaki dan
pengendara, namun lebih dari itu juga dapat mencoreng citra kota Medan
sebagai pusat pemerintahan.
Dari kacamata pemerintahan, kerapkali pengelolaan sampah dipahami
sangat sektoral yakni hanya dikelola oleh Dinas Kebersihan semata dan
berorientasi keproyekan, yakni masalah sampah menjadi dasar dan alasan
Dinas berwenang untuk memunculkan usulan-usulan proyek seputar
pengelolaan sampah hanya sebatas pada bagaimana menarik dana sebanyak
mungkin dari retribusi sampah.
Di lain pihak pelayanan yang diberikan kepada masyarakat pembayar
retribusi amat minim. Misalnya keluhan lamban dalam pengumpulan
sampah, TPS dibiarkan berserakan, diangkut dengan truk yang bercecerana
dan sebagainya. Padahal dalam pengelolaan sampah tidak hanya murni
ekonomi dan bersifat komersial (profit motive) tetapi juga menghadirkan
aspek pelayanan umum (public service) yang merupakan tanggung jawab
pemerintah/instansi publik. Dengan demikian ada kejelasan tanggung jawab
sosial (social responsibility), tanggung jawab hukum (liability), dan
terpenuhinya kewajiban adanya akuntabilitas publik (public accountability).
Berdasarkan Latar belakang peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul :
“IMPLEMENTASI PERDA KOTA MEDAN NO. 6 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN PERSAMPAHAN PADA KECAMATAN MEDAN SELAYANG“
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
Bagaimana proses Implementasi Perda Kota Medan no. 6 Tahun 2015
Tentang Pengelolaan Persampahan di Kota Medan Selayang?
1. Untuk mengetahui Implementasi Perda Kota Medan no. 6 Tahun 2015
Tentang Pengelolaan Persampahan pada Kecamatan Medan Selayang.
2. Untuk mengetahui kendala-kendala yang dialami dalam Implementasi
Perda Kota Medan no. 6 Tahun 2015 Tentang Pengelolaan Persampahan pada
Kecamatan Medan Selayang.
D. Manfaat Penelitian
Dengan dilakukannya penelitian ini dapat memberikan manfaat antara lain:
• Secara umum penelitian ini berguna untuk pemerintah Kota Medan
dalam melakukan. Pengawasan pengelolaan Persampahan dan
menyediakan Tempat Pembuangan Sementara sesuai volume sampah
per-rumah tangga di kota Medan.
• Penelitian ini berguna dalam memberikan pedoman pada masyarakat
Kecamatan Medan Selayang untuk menjaga kebersihan Lingkungan
• Menambah wawasan mahasiswa Departemen Ilmu Administrasi
Negara khususnya pada bidang ilmu Implementasi kebijakan
peraturan daerah.
E. Kerangka Teori 1. Kebijakan Publik
Secara etimologi, kebijakan publik terdiri atas dua kata, yaitu kebijakan
dan publik.Dari kedua kata yang saling berkaitan tersebut, oleh Graycar dalam
Kaban (2008:59) kebijakan dapat dipandang dari empat perspektif, yaitu filosofis,
dipandang sebagai serangkaian prinsip atau kondisi yang diinginkan.Sebagai
suatu produk, kebijakan diartikan sebagai serangkaian kesimpulan atau
rekomendasi.
Sebagai suatu proses, kebijakan menunjuk pada cara dimana melalui cara
tersebut suatu organisasi dapat mengetahui apa yang diharapkan darinya yaitu
program dan mekanisme dalam mencapai produknya. Sedangkan sebagai suatu
kerangkan kerja, kebijakan merupakan suatu proses tawar-menawar dan negoisasi
untuk merumuskan isu-isu dan metode implementasinya.
Sedangkan W. Wilson dalam bukunya Parsons (2008:15) memandang hal
lain dari makna modern gagasan “kebijakan” (policy), yaitu seperangkat aksi atau
rencana yang mengandung tujuan politik yang berbeda dengan makna
“administration”. Kata policy mengandung makna kebijakan sebagai rationale,
sebuah manifestasi dari penilaian yang penuh pertimbangan. Lebih lanjut Wayne
Parsons memberi definisi kebijakan adalah usaha untuk mendefinisikan dan
menyusun basis rasional untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan.
Selanjutnya, masih dalam bukunya Parsons pengertian kebijakan tampak
lebih jelas dari definisi yang dikemukakan oleh Anderson yaitu bahwa istilah
“kebijakan” atau “policy” dipergunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor
(misalnya seorang pejabat, suatu kelompok, maupun suatu lembaga pemerintah)
atau melihat aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu. Sedangkan Charles O.
Jones (1994) melihat katakebijakansering digunakan dan dipertukarkan maknanya
dengan tujuan, program, keputusan, hukum, proposal, dan maksud besar
hanya saja biasanya dalam hubungan atau kaitan teknis atauadministratif tertentu
kata ini mempunyai acuan khusus yang hanya dimengerti oleh kelompok tertentu.
Sementara itu, gagasan tentang publik berasal dari Bahasa Inggris yaitu
public yang berarti (masyarakat) umum dan juga rakyat. Menurut Parsons
(2008:3), publik itu sendiri berisi aktivitas manusia yang dipandang perlu untuk
diatur atau diintervensi oleh pemerintah atau aturan sosial, atau setidaknya oleh
tindakan bersama. Jika digabungkan, rumusan kebijakan publik yang
dikemukakan Thomas R. Dye adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk
dilakukan dan tidak dilakukan (Winarno. 2002:15).
Sedikit berbeda dengan Wildavsky, dalam Kusumanegara (2010) yang
mendefinisikan kebijakan publik merupakan suatu hipotesis yang mengandung
kondisi-konsisi awal dari aktivitas pemerintah dan akibat-akibat yang bisa
diramalkan.Selanjutnya, menurut Anderson dalam Winarno (2002) sifat kebijakan
publik sebagai arah tindakan dapat dipahami secara lebih baik bila konsep ini
dirinsi menjadi beberapa kategori, seperti tuntutan-tuntutan kebijakan (policy
demands), keputusan-keputusan kebijakan (policy decisions),
pernyataan-pernyataan kebijakan (policy statements), hasil-hasil kebijakan (policy outputs),
dan dampak-dampak kebijakan (outcomes).
Dari definisi-definsi di atas, penulis menyimpulkan bahwa kebijakan
publik adalah seperangkat putusan yang telah ditetapkan pemerintah untuk
dilakukan dan tidak dilakukan dalam memenuhi kepentingan orang banyak.
Proses analisis kebijakan adalah serangkaian aktivitas intelektualyang
dilakukan di dalam proses kegiatan yang pada dasarnya bersifat politis. Aktivitas
politis tersebut dijelaskan sebagai proses pembuatan kebijakan dan
divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur
menurut urutan waktu: penyusunan agenda kebijakan, formulasi kebijakan, adopsi
kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan (Williaam Dunn :
2003:22). Sedangkan aktivitas perumusan masalah, peramalan (forecasting),
rekomendasi kebijakan, pemantauan (monitoring), dan evaluasi kebijakan adalah
aktivitas yang lebih bersifat intelektual.
Dalam memecahkan masalah yang dihadapi kebijakan publik, lebih lanjut
Dunn mengemukakan tahapan analisis yang harus dilakukan, yaitu:
1. Penetapan agenda kebijakan (agenda setting)
Perumusan masalah dapat memasok pengetetahuan yang relevan dengan
kebijakan yang mempersoalkan asumsi-asumsi yang mendasari definisi masalah
dan memasuki proses pembatan kebijakan melalui penyusunan agenda.
Perumusan masalah dapat membantu menemukan asumasi-asumsi yang
tersembunyi, mendiagnosis peyebab-penyebabnya, memetakan tujuan-tujuan yang
memungkinkan, memadukan pandangan-pandangan yang bertentangan, dan
merancang peluang-peluang kebijakan yang baru.Perumus kebijakan harus
difasilitasi berupa dukungan sosial, dukungan politik, dukungan budaya.
2. Formulasi Kebijakan
Dalah tahap formulasi kebijakan, peramalan dapat menyediakan
masa mendatang sebagai akibat dari diambilnya alternatif, termasuk tidak
melakukan sesuatu.
3. Adopsi Kebijakan
Pada tahap ini, pengambil kebijakan terbantu dalam rekomendasi yang
membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang manfaat atau
biaya dari berbagai alternatif yang akibatnya di masa mendatang telah
diestimasikan melalui peramalan.
4. Implementasi Kebijakan
Pemantauan atau monitoring menyediakan pengetahuan yang relevan
dengan kebijakan tentang akibat dari kebijakan yang diambil sebelumnya
terhadap pengambil kebijakan pada tahap implementasi kebijakan.Pemantauan
membantu menilai tingkat kepatuhan, menemukan akibat-akibat yang tidak
diinginkan dari kebijakan dan program, mengidentifikasi hambatan dan rintangan
implementasi, dan menemukan leatk pihak-pihak yang bertanggung jawab pada
setiap tahap kebijakan. Proses implementasi membutuhkan fasilisatsi, seperti tim,
lembaga, peraturan, dan sumberdaya.
5. Evaluasi Kebijakan
Evaluasi kebijakan membuahkan pengetahuan yang relevan dengan
kebijakan tentang ketidaksesuaian antara kinerja kebojakan yang diharapkan
dengan yang benar-benar dihasilkan.
3. Implementasi Kebijakan
Pemerintah membuat kebijakan publik karena ada sesuatu hal yang urgen
ditentukan secara tepat dan efektif bagi kelangsungan hidup publik. Hessel Nogi
S. Tangkilisan (2003:2) berpendapat bahwa jika sebuah kebijakan diambil secara
tepat, maka kemungkinan kegagalan pun masih bisa terjadi, jika proses
implementasi tidak tepat. Bahkan sebuah kebijakan yang brilian sekalipun jika
diimplementasikan buruk bisa gagal untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan
para perancangnya.
Dalam Solichin(1990:4), Thomas R. Dye mengatakan public policy is
whatever governments do, why they do it, and what different it makes. Dari
definisi tersebut, Dye tampak berfokus pada pendeskripsian dan penjelasan
tentang sebab dan akibat terhadap tindakan yang dilakukan pemerintah.Kebijakan
publik yang sudah diabuat dengan tepat harus dapat diimplementasikan dengan
baik bila ingin mencapai sasaran yang ditargetkan.
Hal yang paling penting dalam proses kebijakan adalah
pengimplementasiannya. Secara etimologi, implementasi berasal dari bahasa
Inggris, yaitu to implement, it means to provide the means for carrying out
(menyediakan sarana untuk melakukan sesuatu) dan to give practical effect to
(untuk menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu). Sesuatu yang dimaksud
dilakukan untuk menimbulkan dampak atau akibat berupa undang-undang,
peraturan pemerintah, keputusan peradilan dan kebijakan yang dibuat oleh
lembaga-lembaga pemerintah dalam kehidupan kenegaraan.
Dalam Syaukani, Gaffar dan Rasyid, M. Ryaas (2002:295) Pressman dan
Wildavsky merumuskan implementasi sebagai proses interaksi diantara perangkat
langsung dan diarahkan untuk menjadikan program berjalan, dimana aktifitas
tersbut mencakup:
• Organisasi: pembentukan atau penataan kembali sumber daya, unit-unit
serta metode untuk menjadikan program berjalan;
• Interpretasi: menafsirkan agar program menjadi rencana dan pengrahan
yang teoat untuk dapat diterima dan dilaksnakan;
• Penerapan: ketentuan rutin dari pelayanan, pembayaran, atau lainnya yang
dapat disesuaikan dengan tujuan atau perlengkapan program.
Sedangkan Mazmanian dan Sebatier, dalam Solichin (1991:51)
mengatakan bahwa makna implementasi adalah apa yang senyatanya terjadi
sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan dokus
perhatian implementasi kebijakan, yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan
yang timbul sesudah disahkannya usaha-usaha untuk mengadministrasikannya
maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat atau
kejadian-kejadian.
Dari penjelasan tentang kebijakan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
implementasi kebijakan merupakan elemen terpenting dalam tahapan kebijakan
dengan tidak mendiskreditkan tahapan yang lain. Implementasi kebijakan adalah
rangkaian eksekusi dari kebijakan yang sudah ditetapkan yang akan menghasilkan
dampak dari eksekusi kebijakan tersebut.
4. Model Implementasi Kebijakan
I. Model Goerge C Edwads III
Faktor – faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan menurut
George C. Edwards III (Subarsono.2005:90) yaitu :
a. Komunikasi
Keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementator
mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran
kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target group) sehingga
akan mengurangi distorsi implementasi.
b. Sumberdaya
Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten,
tetapi apabila implementator kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan,
implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumberdaya tersebut dapat berwujud
sumberdaya manusia, yakni kompetensi implementator dan sumberdaya keuangan
(finansial).
c. Disposisi
Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh
implementator, seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis. Apabila
implementator memiliki disposisi yang baik, maka dia akan dapat menjalankan
kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan.
d. Struktur Birokrasi
Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan.Salah satu
dari aspek struktur yang penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur
operasi yang standar (standard operating procedures atau SOP). SOP menjadi
pedoman bagi setiap implementator dalam bertindak. Struktur organisasi yang
terlalu panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan
redtape, yakni prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks. Ini pada gilirannya
menyebabkan aktivitas organisasi tidak fleksibel.
Dengan demikian, keberhasilan implementasi dapat dilihat dari terjadinya
kesesuaian antara pelaksanaan atau penerapan kebijakan dengan desain, tujuan,
sasaran, dan kebijakan itu sendiri dapat memberikan dampak dan hasil yang baik
bagi pemecahan permasalahan yang dihadapi, serta dalam implementasinya
mampu menyentuh kepentingan publik.
II. Model Van Meter dan Van Horn
Van Meter dan Van Horn (dalam Subarsono.2005:99) menyatakan bahwa
ada enam variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi yakni :
1. Standard dan Sasaran Kebijakan
Standard dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat
direalisasikan. Apabila standard dan sasaran kebijakan kabur, maka akan terjadi
multi interpretasi dan mudah menimbulkan konflik diantara para agen
implementasi.
2. Sumber Daya
Implementasi kebijakan perlu dukungan sumber daya, baik sumber daya
manusia yaitu kompetensi implementator maupun sumber daya non manusia yaitu
sumber daya keuangan (finansial)
3. Komunikasi dan Penguatan Aktivitas
Dalam implementasi program perlu dukungan dan koordinasi dengan
instansi lain. Untuk itu diperlukan koordinasi dan kerjasama antar instansi bagi
keberhasilan suatu program.
4. Karakteristik agen pelaksana
Agar pelaksana mencakup struktur birokrasi, norma - norma, dan polapola
hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya akan mempengaruhi
Variabel ini mencakup sumber daya ekonomi, lingkungan yang dapat
mendukung keberhasilan implementasi kebijakan, sejauhmana
kelompokkelompok kepentingan dapat memberikan dukungan bagi implementasi
kebijakan, karakteristik para partisipan yakni mendukung atau menolak,
bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan dan apakah elit politik
mendukung implementasi kebijakan.
6. Disposisi implementor
Disposisi implementor ini mencakup tiga hal yaitu :
(a) Respon implementor terhadap kebijakan yang akan dipengaruhi
kemauannya untuk melaksanakan kebijakan
(b) Kognisi, yakni pemahamannya terhadap kebijakan
(c)
Intensitas disposisi implementor, yakni preferensi nilai yang dimiliki
Sumber : Subarsono, 1998: Analisis Kebijakan Publik
III. Model Grindle
Grindel menciptakan model implementasi sebagai kaitan antara tujuan
kebijakan dan hasil-hasilnya, selanjutnya pada model ini hasil kebijakan yang
dicapai akan dipengaruhi oleh isi kebijakan yang terdiri dari:
1) Kepentingan-kepentingan yang dipengaruhi
2) Tipe-tipe manfaat
3) Derajat perubahan yang diharapkan
4) Letak pengambilan keputusan
5) Pelaksanaan program
6) Sumber daya yang dilibatkan
Isi sebuah kebijakan akan menunjukkan posisi pengambilan keputusan
oleh sejumlah besar pengambilan keputusan, sebaliknya ada kebijakan tertentu
yang lainnya hanya ditentukan oleh sejumlah kecil unit pengambil kebijakan.
Selanjutnya pengaruh dalam konteks lingkungan yang teridiri dari:
1) Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat
2) Karakteristik lembaga penguasa
3) Kepatuhan dan daya tanggap
Karenanya setiap kebijakan perlu mempertimbangan konteks atau
perencana, politisasi, pengusaha, kelompok sasaran dan para pelaksana kebijakan
akan bercampur baur mempengaruhi efektivitas implementasi.
Sumber : Subarsono, 1998; Analisis Kebijakan Publik
IV. Model Elmore, dkk
Lalu model yang disusun richard Elmore (1979), Michael Lipsky (1971),
Benny Hjern & David O’Porter (1981). Pada pemerataan di atas model ini di
berikan labe “RE, dkk” yang terletak do kaudran “bawah ke puncak” dan lebih
berada di “mekanisme pasar”. Model ini di mulai dari mengindentifikasi
jaringan actor yang terlibat dalam proses pelayanan dan menanyakan kepada
mereka : tujuan, Strategi, Aktivitas, dan kontak – kontak yang mereka miliki.
Model implementasi ini di dasarkan pada jenis kebijkan publik yang
mendorong masyarakat untuk mengerjakan sendiri implementasi kebijakannya
karena itu, kebijakan yang di buat harus sesuai dengan harapan, keinginan,
publik yang menjadi target atau kliennya, dan sesuai pula dengan pejabat
eselon rendah yang menjadi pelaksanaannya. Kebijakan model ini biasanya di
prakarasai oleh masyarakat, baik secara langsung maupun melalui
lembaga-lembaga nirlaba kemasyarakatan (LSM).
Oleh karena itu, kebijakan yang dibuat harus sesuai dengan harapan,
keinginan, publik yang menjadi target atau kliennya, dan sesuai pula dengan
pejabat eselon rendah yang menjadipelaksanannya.Kebijakan Model ini
biasanya diprakarsai oleh masyarakat, baik secara langsung maupun tidak
langsung melalui lembaga-lembaga nirlaba kemasyarakatan (LSM).
V. Model Briant W. Hogwood dan Gunn (1978) The Top down Aproach
Hogwood dan Gunn menyatakan bahwa studi implementasi
kebijakanterletak di kuadran “puncak ke bawah” dan berada di mekanisme paksa
danmekanisme pasar. Menurut Hogwood dan Gunn terdapat beberapa syarat yang
diperlukan dalam melakukan implementasi kebijakan, yakni:
• Kondisi eksternal yang dihadapi oleh Badan atau instansi pelaksana tidak
akanmenimbulkan gangguan atau kendala serius. Beberapa kendala pada
saatimplementasi kebijakan seringkali berada di luar kendali para
administrator, sebab hambatan-hambatan itu memang berada di luar
jangkauan wewenangkebijakan dan badan pelaksana.
kelayakan fisik dan politis tertentu bisa saja tidak berhasil mencapai tujuan
yang diinginkan karena alasan terlalu banyak berharap dalam waktu yang
terlalu pendek, khususnya persoalannya menyangkut sikap dan perilaku.
Alasan lainnya adalah bahwa para politisi kadangkala hanya peduli dengan
pencapaian tujuan, namun kurang peduli dengan penyediaan sarana yang
digunakan untuk mencapainya, sehingga tindakan-tindakan
pembatasan/pemotongan terhadap pembiayaan program mungkin akan
membahayakan upaya pencapaian tujuan program karena sumber-sumber
yang tidak memadai.
Masalah lain yang biasa terjadi ialah apabila dana khusus untuk
membiayai pelaksanaan program sudah tersedia harus dapat dihabiskan
dalam tempo yang sangat singkat, kadang lebih cepat dari kemampuan
program/proyek untuk secara efektif menyerapnya. Salah satu hal yang
perlupula ditegaskan disini, bahwa dana/uang itu pada dasarnya bukanlah
resources/sumber itu sendiri, sebab ia tidak lebih sekedar penghubung
untuk memperoleh sumber-sumber yang sebenarnya. Oleh karena itu,
kemungkinanmasih timbul beberapa persoalan berupa kelambanan atau
hambatan-hambatandalam proses konversinya, yaitu proses mengubah
uang itu menjadi sumber-sumber yang dapat dimanfaatkan untuk
melaksanakan kegiatan-kegiatan program atau proyek.
Kekhawatiran mengenai keharusan untuk mengembalikan dana
proyek yang tidak terpakai habis pada setiap akhir tahun anggaran
seringkali menjadi penyebab kenapa instansi-instansi pemerintah(baik
karena takut dana itu menjadi hangus, tidak jarang pula terbeli atau
dilakukan hal-hal yang seharusnya tidak perlu.
• Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar -benar tersedia.
Persyaratanketiga ini lazimnya mengikuti persyaratan kedua, artinya disatu
pihak harusdijamin tidak terdapat kendala-kendala pada semua
sumber-sumber yangdiperlukan, dan dilain pihak, pada setiap tahapan proses
impelementasinya perpaduan diantara sumber-sumber tersebut benar-benar
dapat disediakan.
• Kebijakan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu
hubungankausalitas yang handal. Kebijakan kadangkala tidak dapat
diimplementasikansecara efektif bukan lantaran karena kebijakan tersebut
telahdiimplementasikan secara sembrono/asal-asalan, melainkan karena
kebijakanitu sendiri memang buruk. Penyebab dari kemauan ini, kalau
mau dicari, tidaklain karena kebijakannya itu telah disadari oleh tingkat
pemahaman yang tidakmemadai mengenai persoalan yang akan
ditanggulangi.
Sebab-sebab timbulnya masalah dan cara pemecahannya, atau
peluang-peluang yang tersedia untukmengatasi masalahnya, sifat
permasalahannya dan apa yang diperlukan untukmemanfaatkan
peluang-peluang itu. Dalam kaitan ini Pressman dan Wildalsky (1973), menyatakan
secara tegas bahwa setiap kebijakan pemerintah padahakikatnya memuat
hipotesis (sekalipun tidak secara eksplisit) mengenaikondisi-kondisi awal
penyebabnya bersumber pada ketidaktepatan teori yang menjadilandasan
kebijakan tadi dan bukan karena implementasinya yang keliru.
• Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata
rantaipenghubungnya. Dalam hubungan ini Pressman dan Wildavsky
(1973) juga memperingatkan bahwa kebijakan-kebiajakan yang hubungan
sebab akibatnya tergantung pada mata rantai yang amat panjang maka ia
akan mudah sekali mengalami keretakan, sebab semakin panjang mata
rantai kausalitas, semakin besar hubungan timbal balik diantara mata
rantai penghubungnya dan semakin menjadi kompleks implementasinya.
Semakin banyak hubungan dalam mata rantai, semakin besar pula resiko
bahwa beberapa diantaranya kelak terbuktiamat lemah atau tidak dapat
dilaksanakan dengan baik.
• Hubungan ketergantungan harus kecil. Implementasi yang sempurna
menuntut adanya persyaratan bahwa hanya terdapat badan pelaksana
tunggal, yang untuk keberhasilan misi yang diembannya, tidak perlu
tergantung pada badanbadan lain, atau kalaupun dalam pelaksanaannya
harus melibatkan badan-badan/ instansi-instansi lainnya, maka hubungan
ketergantungan dengan organisasi-organisasi ini haruslah pada tingkat
yang minimal, baik artian jumlah maupun kadar kepentingannya. Jika
implementasi suatu program ternyata tidak hanya membutuhkan
serangkaian tahapan dan jalinan hubungan tertentu, melainkan juga
kesepakatan/komitmen terhadap setiap tahapan diantara sejumlah besar
program, bahkan hasil akhir yang diharapkan kemungkinan akan semakin
berkurang.
• Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan Persyaratan
inimengharuskan adanya pemahaman yang menyeluruh mengenai,
dankesepakatan terhadap, tujuann atau sasaran yang akan dicapai, dan
yangpenting, keadaan ini harus dapat dipertahankan selama proses
implementasi.Tujuan tesebut haruslah dirumuskan dengan jelas, spesifik,
danlebih baik lagi apabila dapat dikualifikasikan, dipahami, serta
disepakati olehseluruh pihak yang terlibat dalam organisasi, bersifat saling
melengkapi danmendukung, serta mampu berperan selaku pedoman
dengan mana pelaksanan program dapat dimonitor.
• Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat
Persyaratanini mengandung makna bahwa dalam mengayun langkah
menuju tercapainnyatujuan-tujuan yang telah disepakati, masih
dimungkinkan untuk merinci danmenyusun dalam urutan-urutan yang
tepat seluruh tugas yang harusdilaksanakan oleh setiap pihak yang terlibat.
5. Model yang diterangkan dalam Penelitian Implementasi Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2015 Tentang Pengelolaan Persampahan
Dalam mengkaji suatu proses kebijakan yang di Implementasikan dapat
dilakukan dengan pendekatan beberapa model dimana salah satunya adalah model
Nomor 6 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Persampahan di Kecamatan Medan
Selayang adalah dengan melihat tolok ukur :
a.Komunikasi
Komunikasi, yaitu menunjukkan bahwa setiap kebijakan akan dapat
dilaksanakan dengan baik jika terjadi komunikasi efektif antara pelaksana
program (kebijakan) dengan para kelompok sasaran (target group). Tujuan dan
sasaran dari program/kebijakan dapat disosialisasikan secara baik sehingga dapat
menghindari adanya distorsi atas kebijakan dan program. Ini menjadi penting
karena semakin tinggi pengetahuan kelompok sasaran atas program maka akan
mengurangi tingkat penolakan dan kekeliruan dalam mengaplikasikan program
dan kebijakan dalam ranah yang sesungguhnya.
b. Sumber daya
Sumber daya, yaitu menunjuk setiap kebijakan harus didukung oleh
sumber daya yang memadai, baik sumber daya manusia maupun sumber daya
finansial.Sumber daya manusia adalah kecukupan baik kualitas maupun kuantitas
implementor yang dapat melingkupi seluruh kelompok sasaran.Sumber daya
finansial adalah kecukupan modal investasi atas sebuah
program/kebijakan.Keduanya harus diperhatikan dalam implementasi
program/kebijakan pemerintah.Sebab tanpa kehandalam implementor, kebijakan
menjadi kurang enerjik dan berjalan lambat dan seadanya.Sedangkan sumber daya
finansial menjamin keberlangsungan program/kebijakan.Tanpa ada dukungan
finansial yang memadai, program tak dapat berjalan efektif dan cepat dalam
c. Disposisi
Disposisi, yaitu menunjuk karakteristik yang menempel erat kepada
implementor kebijakan/program.Karakter yang paling penting dimiliki oleh
implementor adalah kejujuran, komitmen dan demokratis. Implementor yang
memiliki komitmen tinggi dan jujur akan senantiasa bertahan diantara hambatan
yang ditemui dalam program/kebijakan. Kejujuran mengarahkan implementor
untuk tetap berada dalam arus program yang telah digariskan dalam guideline
program. Komitmen dan kejujurannya membawanya semakin antusias dalam
melaksanakan tahap-tahap program secara konsisten. Sikap yang demokratis akan
meningkatkan kesan baik implementor dan kebijakan di hadapan anggota
kelompok sasaran. Sikap ini menurunkan resistensi dari masyarakat dan
menumbuhkan rasa percaya dan kepedulian kelompok sasaran terhadap
implementor dan program/kebijakan.
d. Struktur Birokrasi
Struktur birokrasi, menunjuk bahwa struktur birokrasi menjadi penting
dalam implementasi kebijakan.Aspek struktur birokrasi ini mencakup dua hal
penting pertama adalah mekanisme, dan struktur organisasi pelaksana
sendiri.Mekanisme implementasi program biasanya sudah ditetapkan melalui
standar operating procedur (SOP) yang dicantumkan dalam guideline
program/kebijakan. SOP yang baik mencantumkan kerangka kerja yang jelas,
sistematis, tidak berbelit, dan mudah dipahami oleh siapapun karena akan menjadi
Sedangkan struktur organisasi pelaksana pun sejauh mungkin menghindari
hal yang berbelit, panjang, dan kompleks.Struktur organisasi pelaksana harus
dapat menjamin adanya pengambilan keputusan atas kejadian luar biasa dalam
program secara cepat.Dan hal ini hanya dapat lahir jika struktur didesain secara
ringkas dan fleksibel menghindari “virus weberian” yang kaku, terlalu hirarkis,
dan birokratis.
6. Defenisi Konsep
Konsep atau Pengertian merupakan unsur penting dalam suatu
penelitian karena ini akan menyamakan pandangan antara penulis (peneliti)
dengan pembaca dalam pokok bahasan yang sedang diuraikan.Dengan itu
diharapkan tentang salah penafsiran dari pembaca dapat dihindarikan yang
akhirnya mempermudah dalam menelaah istilah penelitian tersebut :
• Implementasi kebijkan merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh
individu-individu atau kelompok – kelompok pemerintah maupun swasta
yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam
keputusan – keputusan kebijakan sebelumnya. Implementasi kebijakan
dapat diamati dengan menggunakan faktor-faktor berikut:
• Standar dan sasaran kebijakan yang menjelaskan rincian tujuan
keputusan kebijakan secara menyeluruh
• Sumber daya kebijakan berupa dana pendukung implementasi
• Komunikasi inter organisasi dan kegiatan pengukuran digunakan
• Karakteristik pelaksana, arinya karakteristik organisasi faktor
krusial yang menentukan berhasil tidaknya suatu program.
• Keadaan Kondisi, sosial, ekonomi, dan politik yang dapat
mempengaruhi hasil kebijakan
• Sikap pelaksana dalam memahami kebijakan yang akan ditetapkan
• Pelayanan adalah setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu
kumpulan atau kesatuan dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya
tidak terikat pada suatu produk secara fisik. Kemudian Sampara
berpendapat , pelayanan adalah suatu kegiatan atau urutan kegiatan yang
terjadi dalam interaksi langsung antar seseorang dengan orang lain atau
mesin secara fisik dan menyediakan kepuasan pelanggan.
• Peraturan daerah (Perda) adalah peraturan undang-undang yang dibentuk
oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Kepala Daerah.
• Sistem pengelolaan sampah
Sistem pengelolaan sampah adalah proses pengelolaan sampah yang
meliputi 5 (lima) aspek/komponen yang saling mendukung dimana antara
satu dengan yang lainnya saling berinteraksi untuk mencapai tujuan.
Kelima aspek tersebut meliputi: aspek teknis operasional, aspek organisasi
dan manajemen, aspek hukum dan peraturan, aspek pembiayaan, aspek
1.7. Definisi Operasionalisasi
Defenisi Operasional merupakan panduan memprediksi fakta/fenomena dilapangan melalui serangkaian indikator yang menjadi
pedoman penyusunan instrument penelitian (questionaire). Adapun
indikator-indikator dalam penelitian ini adalah :
• Standar dan sasaran kebijakan
• Standar Kebijakan : standar penampungan sampah, standar
Pengumpulan sampah, Pengangkutan sampah, dan standar
pembuangan sampah
• sasaran Kebijakan : Tertib dalam membuang Sampah, dan
Penciptaan Lingkungan hidup yang bersih.
• Sumber daya:
Materi :Biaya pengumpulan sampah , Biaya pengangkutan
sampah , Biaya pembuangan akhir sampah
Non Materi : Kendaraan Pengangkutan Sampah, pegawai
pengangkut sampah, danpengutip retribusi sampah
• Komunikasi :
• Komunikasi Lisan : Sosialisasi dari pihak Kecamatan kepada
masyarakat
• Komunikasi Tulisan : Pamplet yang di pampang pada kantor
Kecamatan
• Keadaan Sosial, Ekonomi, dan Budaya
a. sosial : Lingkungan hidup masyarakat
b. Ekonomi : Pendapatan rata-rata masyarakat di Lingkungan
Medan Selayang
c. Budaya : Gaya hidup masyarakat di Lingkungan Medan
Selayang
• Disposisi Implementor : Kepala Dinas Kebersihan Kota Medan dan