• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Kebijakan Peraturan Daerah Kota Medan no 6 Tahun 2015 Tentang Pengelolaan Persampahan (Studi Tentang Pengelolaan Sampah Pada Kecamatan Medan Selayang)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Implementasi Kebijakan Peraturan Daerah Kota Medan no 6 Tahun 2015 Tentang Pengelolaan Persampahan (Studi Tentang Pengelolaan Sampah Pada Kecamatan Medan Selayang)"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia melakukan berbagai aktivitas untuk memenuhi

kesejahteraan hidupnya dengan memproduksi makanan minuman dan

barang lain dari sumber daya alam. Aktivitas tersebut juga menghasilkan

bahan buangan yang disebut dengan sampah.(Chandra, 2007). Menurut

WHO yang dikutip oleh Mukono (2006), sampah yaitu sesuatu yang

tidak digunakan, tidak terpakai, tidak disenangi, atau sesuatu yang

dibuang yang berasal dari kegiatan manusia dan tidak terjadi dengan

sendirinya. Pengelolaan sampah yang kurang baik dapat memberikan

pengaruh negatif terhadap kesehatan. Pertambahan penduduk dan perubahan

pola konsumsi masyarakat menimbulkan bertambahnya volume, jenis, dan

karakteristik sampah yang semakin beragam. Dampak peningkatan

aktivitas manusia, lebih lanjut mengakibatkan bertambahnya sampah.

Hal ini dapat menyebabkan menurunnya kualitas lingkungan

perkotaan karena pengelolaan persampahan yang kurang memadai. Oleh

karena itu, perlu dilaksanakan suatu cara untuk menangani masalah

sampah tersebut sehingga fenomena sampah yang selama ini terjadi pada

kota tidak menjadi masalah serius bagi warga masyarakat perkotaan

maupun masyarakat pedesaan. Sejalan dengan itu, bahwa masalah

persampahan telah mengakibatkan pencemaran lingkungan secara

(2)

penyakit, tersumbatnya drainase dan sungai yang dapat mengakibatkan

banjir.

Melihat kondisi tersebut, penanganan sistem pengelolaan

persampahan suatu kota harus dilaksanakan dengan efisien dan efektif,

sehingga dapat dicapai hasil maksimum sesuai yang diharapkan oleh

masyarakat dan pemerintah. Dalam pengelolaan persampahan hal yang

perlu diperhatikan yaitu diantaranya adalah pewadahan, pengumpulan,

pemindahan, pengangkutan dan pembuangan sementara serta pembuangan

akhir, dimana yang paling menentukan baik tidaknya pengelolaan

sampah adalah pengangkutan sampah.

Menurut Sudrajat (2002 : 6), Permasalahan sampah merupakan hal

yang krusial, bahkan sampah dapat dikatakan sebagai masalah kultural,

karena dampaknya terkena pada berbagai sisi kehidupan, terutama di

kota-kota besar seperti: Jakarta, Semarang, Surabaya, Bandung, Palembang

dan Medan. Menurut Prakiraan volume sampah yang dihasilkan per-orang

rata-rata 0,5 kg/kapita/hari. Pada tahun 2007, diproyeksikan penduduk Kota

Medan mencapai 2.083.156 jiwa.

Dibanding hasil sensus Penduduk tahun 2000 terjadi pertumbuhan

penduduk tahun 2000-2007 sebesar 1,28 % pertahun, dengan luas wilayah

mencapai 265,10 km², kepadatan penduduk mencapai 7858 jiwa/km².

Sementara menurut data Dinas Kebersihan Kota Medan pada tahun 2009

(3)

sampah sebesar itu jika tidak dilakukan dengan manajemen pengelolaan yang

baik akan mengalami penurunan kualitas lingkungan.

Growth Centre Wilayah I Sumut-NAD tahun 2010 juga

menjelaskan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Namo Bintang dan

Desa Terjun menunjukkan sumber sampah berasal dari 21 kecamatan dan

151 kelurahan di Kota Medan, Komposisi sampah terdiri dari 70,69 persen

bahan organik dan 29,31 persen bahan anorganik.

Ditempat-tempat tertentu, khususnya di setiap permukiman padat

penduduk, hampir selalu ditemukan tumpukan sampah. Sedangkan

pengelolaan sampah di kecamatan Medan selayang tidak adanya partisipasi

masyarakat, hal ini dapat kita lihat dari kurangnya kesadaran dari pihak

kecamatan untuk berperan aktif dalam melakukan pengawasan dan

penghimbauan kepada masyrakat Medan Selayang. Untuk itu perlu dilakukan

pendekatan yang lebih baik agar dapat meningkatkan partisipasi masyarakat,

sehingga dengan kesadaran sendiri dapat menjaga kebersihan lingkungan

Oleh karena itu, pengelolaan sampah sangat tergantung pada kerjasama dan

kesadaran setiap rumah tangga, swasta, dan pihak pemerintah untuk

berpartisipasi dalam mengumpulkan, dan membuang sampah dengan

koordinasi dan pengaturan tempat pembuangan sampah yang baik.

Pada Kota Medan sendiri telah di terbitkan Peraturan Daerah Kota

Medan no. 6 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Persampahan di Kota

Medan.Dengan harapan masyarkat dapat menjaga kebersihan Kota Medan

(4)

membuang sampah sembarangan berupa denda sebesar Rp. 10.000.0000,-.

Namun sangsi tersebut tidak memilikipengawasan yang jelas dari pihak

Pemerintah Daerah Sendiri.Pemerintah Kota Medan juga belum menyediakan

Tempat Pembuangan Sementara (TPS) yang cukup untuk menampung

volume sampah yang ada di masyarakat khususnya pada Kecamatan Medan

Selayang.

Meskipun tersedia tempat pembuangan sementara, tetap saja sampah

yang dihasilkan masyarakat melebihi kapasitas yang tersedia. Hal ini

disebabkan karena proses pembuangan sampah dari TPS ke TPA (Tempat

Pembuangan Akhir) yang dilakukan oleh Dinas Kebersihan sering terlambat.

Akibatnya sampah yang tidak tertampung di TPS menumpuk dan berserakan

ke tempat-tempat sekitarnya. Selain menimbulkan bau tidak enak, sampah

yang berserakan tersebut juga menyebabkan lingkungan sekitarnya terkesan

menjadi kumuh, sehingga mengganggu pemandangan.

Fenomena lebih serius dapat dilihat di pasar-pasar besar di Kota

Medan. Berdasarkan pengamatan sementara di sekitar Pasar Kampung

Lalang, Pasar Melati, Pasar Mandala, sampah yang dihasilkan para

pedagang hanya dibuang sembarangan disekitar tempat mereka berdagang.

Mereka sama sekali tidak menyediakan tempat khusus sebagai penampungan

sampah sementara di kios mereka. Akibatnya lorong/jalan yang digunakan

untuk berbelanja menjadi kotor oleh daun-daunan, buah-buahan, plastik,

(5)

dan bau. Hal ini tentu mengakibatkan kenyamanan masyarakat yang

berbelanja menjadi kurang nyaman.

Selain itu depan pasar juga sering ditemukan tumpukan sampah yang

berserakan sampai ke trotoar dan badan jalan. Berdasarkan pengamatan

sementara hal ini disebabkan karena keterlambatan pengangkutan sampah

dari TPS yang hal ini disebabkan karena keterlambatan pengangkutan

sampah dari TPS yang tersedia di pasar yang bersangkutan ke TPA

terdekat. Fenomena lainnya adalah masih sering dijumpai sampah yang

berserakan disekitar trotoar dan badan jalan-jalan umum kota Medan.

Jalan protokol seperti jalan Bakti, Simpanglimun serta hampir

disepanjang jalan Veteran merupakan jalan yang sangat rawan dengan

sampah yang dihasilkan para pedagang kaki lima. Sampah tersebut selain

berasal dari pengguna jalan/pejalan kaki, juga berasal dari pedagang kaki

lima yang memanfaatkan trotoar dan sebagian badan jalan sebagai tempat

usaha mereka. Sampah yang berserakan di pinggir-pinggir jalan protokol

tersebut tidak saja mengganggu pemandangan para pejalan kaki dan

pengendara, namun lebih dari itu juga dapat mencoreng citra kota Medan

sebagai pusat pemerintahan.

Dari kacamata pemerintahan, kerapkali pengelolaan sampah dipahami

sangat sektoral yakni hanya dikelola oleh Dinas Kebersihan semata dan

berorientasi keproyekan, yakni masalah sampah menjadi dasar dan alasan

Dinas berwenang untuk memunculkan usulan-usulan proyek seputar

(6)

pengelolaan sampah hanya sebatas pada bagaimana menarik dana sebanyak

mungkin dari retribusi sampah.

Di lain pihak pelayanan yang diberikan kepada masyarakat pembayar

retribusi amat minim. Misalnya keluhan lamban dalam pengumpulan

sampah, TPS dibiarkan berserakan, diangkut dengan truk yang bercecerana

dan sebagainya. Padahal dalam pengelolaan sampah tidak hanya murni

ekonomi dan bersifat komersial (profit motive) tetapi juga menghadirkan

aspek pelayanan umum (public service) yang merupakan tanggung jawab

pemerintah/instansi publik. Dengan demikian ada kejelasan tanggung jawab

sosial (social responsibility), tanggung jawab hukum (liability), dan

terpenuhinya kewajiban adanya akuntabilitas publik (public accountability).

Berdasarkan Latar belakang peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian dengan judul :

“IMPLEMENTASI PERDA KOTA MEDAN NO. 6 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN PERSAMPAHAN PADA KECAMATAN MEDAN SELAYANG“

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

Bagaimana proses Implementasi Perda Kota Medan no. 6 Tahun 2015

Tentang Pengelolaan Persampahan di Kota Medan Selayang?

(7)

1. Untuk mengetahui Implementasi Perda Kota Medan no. 6 Tahun 2015

Tentang Pengelolaan Persampahan pada Kecamatan Medan Selayang.

2. Untuk mengetahui kendala-kendala yang dialami dalam Implementasi

Perda Kota Medan no. 6 Tahun 2015 Tentang Pengelolaan Persampahan pada

Kecamatan Medan Selayang.

D. Manfaat Penelitian

Dengan dilakukannya penelitian ini dapat memberikan manfaat antara lain:

• Secara umum penelitian ini berguna untuk pemerintah Kota Medan

dalam melakukan. Pengawasan pengelolaan Persampahan dan

menyediakan Tempat Pembuangan Sementara sesuai volume sampah

per-rumah tangga di kota Medan.

• Penelitian ini berguna dalam memberikan pedoman pada masyarakat

Kecamatan Medan Selayang untuk menjaga kebersihan Lingkungan

• Menambah wawasan mahasiswa Departemen Ilmu Administrasi

Negara khususnya pada bidang ilmu Implementasi kebijakan

peraturan daerah.

E. Kerangka Teori 1. Kebijakan Publik

Secara etimologi, kebijakan publik terdiri atas dua kata, yaitu kebijakan

dan publik.Dari kedua kata yang saling berkaitan tersebut, oleh Graycar dalam

Kaban (2008:59) kebijakan dapat dipandang dari empat perspektif, yaitu filosofis,

(8)

dipandang sebagai serangkaian prinsip atau kondisi yang diinginkan.Sebagai

suatu produk, kebijakan diartikan sebagai serangkaian kesimpulan atau

rekomendasi.

Sebagai suatu proses, kebijakan menunjuk pada cara dimana melalui cara

tersebut suatu organisasi dapat mengetahui apa yang diharapkan darinya yaitu

program dan mekanisme dalam mencapai produknya. Sedangkan sebagai suatu

kerangkan kerja, kebijakan merupakan suatu proses tawar-menawar dan negoisasi

untuk merumuskan isu-isu dan metode implementasinya.

Sedangkan W. Wilson dalam bukunya Parsons (2008:15) memandang hal

lain dari makna modern gagasan “kebijakan” (policy), yaitu seperangkat aksi atau

rencana yang mengandung tujuan politik yang berbeda dengan makna

administration”. Kata policy mengandung makna kebijakan sebagai rationale,

sebuah manifestasi dari penilaian yang penuh pertimbangan. Lebih lanjut Wayne

Parsons memberi definisi kebijakan adalah usaha untuk mendefinisikan dan

menyusun basis rasional untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan.

Selanjutnya, masih dalam bukunya Parsons pengertian kebijakan tampak

lebih jelas dari definisi yang dikemukakan oleh Anderson yaitu bahwa istilah

“kebijakan” atau “policy” dipergunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor

(misalnya seorang pejabat, suatu kelompok, maupun suatu lembaga pemerintah)

atau melihat aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu. Sedangkan Charles O.

Jones (1994) melihat katakebijakansering digunakan dan dipertukarkan maknanya

dengan tujuan, program, keputusan, hukum, proposal, dan maksud besar

(9)

hanya saja biasanya dalam hubungan atau kaitan teknis atauadministratif tertentu

kata ini mempunyai acuan khusus yang hanya dimengerti oleh kelompok tertentu.

Sementara itu, gagasan tentang publik berasal dari Bahasa Inggris yaitu

public yang berarti (masyarakat) umum dan juga rakyat. Menurut Parsons

(2008:3), publik itu sendiri berisi aktivitas manusia yang dipandang perlu untuk

diatur atau diintervensi oleh pemerintah atau aturan sosial, atau setidaknya oleh

tindakan bersama. Jika digabungkan, rumusan kebijakan publik yang

dikemukakan Thomas R. Dye adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk

dilakukan dan tidak dilakukan (Winarno. 2002:15).

Sedikit berbeda dengan Wildavsky, dalam Kusumanegara (2010) yang

mendefinisikan kebijakan publik merupakan suatu hipotesis yang mengandung

kondisi-konsisi awal dari aktivitas pemerintah dan akibat-akibat yang bisa

diramalkan.Selanjutnya, menurut Anderson dalam Winarno (2002) sifat kebijakan

publik sebagai arah tindakan dapat dipahami secara lebih baik bila konsep ini

dirinsi menjadi beberapa kategori, seperti tuntutan-tuntutan kebijakan (policy

demands), keputusan-keputusan kebijakan (policy decisions),

pernyataan-pernyataan kebijakan (policy statements), hasil-hasil kebijakan (policy outputs),

dan dampak-dampak kebijakan (outcomes).

Dari definisi-definsi di atas, penulis menyimpulkan bahwa kebijakan

publik adalah seperangkat putusan yang telah ditetapkan pemerintah untuk

dilakukan dan tidak dilakukan dalam memenuhi kepentingan orang banyak.

(10)

Proses analisis kebijakan adalah serangkaian aktivitas intelektualyang

dilakukan di dalam proses kegiatan yang pada dasarnya bersifat politis. Aktivitas

politis tersebut dijelaskan sebagai proses pembuatan kebijakan dan

divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur

menurut urutan waktu: penyusunan agenda kebijakan, formulasi kebijakan, adopsi

kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan (Williaam Dunn :

2003:22). Sedangkan aktivitas perumusan masalah, peramalan (forecasting),

rekomendasi kebijakan, pemantauan (monitoring), dan evaluasi kebijakan adalah

aktivitas yang lebih bersifat intelektual.

Dalam memecahkan masalah yang dihadapi kebijakan publik, lebih lanjut

Dunn mengemukakan tahapan analisis yang harus dilakukan, yaitu:

1. Penetapan agenda kebijakan (agenda setting)

Perumusan masalah dapat memasok pengetetahuan yang relevan dengan

kebijakan yang mempersoalkan asumsi-asumsi yang mendasari definisi masalah

dan memasuki proses pembatan kebijakan melalui penyusunan agenda.

Perumusan masalah dapat membantu menemukan asumasi-asumsi yang

tersembunyi, mendiagnosis peyebab-penyebabnya, memetakan tujuan-tujuan yang

memungkinkan, memadukan pandangan-pandangan yang bertentangan, dan

merancang peluang-peluang kebijakan yang baru.Perumus kebijakan harus

difasilitasi berupa dukungan sosial, dukungan politik, dukungan budaya.

2. Formulasi Kebijakan

Dalah tahap formulasi kebijakan, peramalan dapat menyediakan

(11)

masa mendatang sebagai akibat dari diambilnya alternatif, termasuk tidak

melakukan sesuatu.

3. Adopsi Kebijakan

Pada tahap ini, pengambil kebijakan terbantu dalam rekomendasi yang

membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang manfaat atau

biaya dari berbagai alternatif yang akibatnya di masa mendatang telah

diestimasikan melalui peramalan.

4. Implementasi Kebijakan

Pemantauan atau monitoring menyediakan pengetahuan yang relevan

dengan kebijakan tentang akibat dari kebijakan yang diambil sebelumnya

terhadap pengambil kebijakan pada tahap implementasi kebijakan.Pemantauan

membantu menilai tingkat kepatuhan, menemukan akibat-akibat yang tidak

diinginkan dari kebijakan dan program, mengidentifikasi hambatan dan rintangan

implementasi, dan menemukan leatk pihak-pihak yang bertanggung jawab pada

setiap tahap kebijakan. Proses implementasi membutuhkan fasilisatsi, seperti tim,

lembaga, peraturan, dan sumberdaya.

5. Evaluasi Kebijakan

Evaluasi kebijakan membuahkan pengetahuan yang relevan dengan

kebijakan tentang ketidaksesuaian antara kinerja kebojakan yang diharapkan

dengan yang benar-benar dihasilkan.

3. Implementasi Kebijakan

Pemerintah membuat kebijakan publik karena ada sesuatu hal yang urgen

(12)

ditentukan secara tepat dan efektif bagi kelangsungan hidup publik. Hessel Nogi

S. Tangkilisan (2003:2) berpendapat bahwa jika sebuah kebijakan diambil secara

tepat, maka kemungkinan kegagalan pun masih bisa terjadi, jika proses

implementasi tidak tepat. Bahkan sebuah kebijakan yang brilian sekalipun jika

diimplementasikan buruk bisa gagal untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan

para perancangnya.

Dalam Solichin(1990:4), Thomas R. Dye mengatakan public policy is

whatever governments do, why they do it, and what different it makes. Dari

definisi tersebut, Dye tampak berfokus pada pendeskripsian dan penjelasan

tentang sebab dan akibat terhadap tindakan yang dilakukan pemerintah.Kebijakan

publik yang sudah diabuat dengan tepat harus dapat diimplementasikan dengan

baik bila ingin mencapai sasaran yang ditargetkan.

Hal yang paling penting dalam proses kebijakan adalah

pengimplementasiannya. Secara etimologi, implementasi berasal dari bahasa

Inggris, yaitu to implement, it means to provide the means for carrying out

(menyediakan sarana untuk melakukan sesuatu) dan to give practical effect to

(untuk menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu). Sesuatu yang dimaksud

dilakukan untuk menimbulkan dampak atau akibat berupa undang-undang,

peraturan pemerintah, keputusan peradilan dan kebijakan yang dibuat oleh

lembaga-lembaga pemerintah dalam kehidupan kenegaraan.

Dalam Syaukani, Gaffar dan Rasyid, M. Ryaas (2002:295) Pressman dan

Wildavsky merumuskan implementasi sebagai proses interaksi diantara perangkat

(13)

langsung dan diarahkan untuk menjadikan program berjalan, dimana aktifitas

tersbut mencakup:

• Organisasi: pembentukan atau penataan kembali sumber daya, unit-unit

serta metode untuk menjadikan program berjalan;

• Interpretasi: menafsirkan agar program menjadi rencana dan pengrahan

yang teoat untuk dapat diterima dan dilaksnakan;

• Penerapan: ketentuan rutin dari pelayanan, pembayaran, atau lainnya yang

dapat disesuaikan dengan tujuan atau perlengkapan program.

Sedangkan Mazmanian dan Sebatier, dalam Solichin (1991:51)

mengatakan bahwa makna implementasi adalah apa yang senyatanya terjadi

sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan dokus

perhatian implementasi kebijakan, yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan

yang timbul sesudah disahkannya usaha-usaha untuk mengadministrasikannya

maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat atau

kejadian-kejadian.

Dari penjelasan tentang kebijakan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa

implementasi kebijakan merupakan elemen terpenting dalam tahapan kebijakan

dengan tidak mendiskreditkan tahapan yang lain. Implementasi kebijakan adalah

rangkaian eksekusi dari kebijakan yang sudah ditetapkan yang akan menghasilkan

dampak dari eksekusi kebijakan tersebut.

4. Model Implementasi Kebijakan

(14)

I. Model Goerge C Edwads III

Faktor – faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan menurut

George C. Edwards III (Subarsono.2005:90) yaitu :

a. Komunikasi

Keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementator

mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran

kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target group) sehingga

akan mengurangi distorsi implementasi.

b. Sumberdaya

Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten,

tetapi apabila implementator kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan,

implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumberdaya tersebut dapat berwujud

sumberdaya manusia, yakni kompetensi implementator dan sumberdaya keuangan

(finansial).

c. Disposisi

Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh

implementator, seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis. Apabila

implementator memiliki disposisi yang baik, maka dia akan dapat menjalankan

kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan.

(15)

d. Struktur Birokrasi

Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan

memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan.Salah satu

dari aspek struktur yang penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur

operasi yang standar (standard operating procedures atau SOP). SOP menjadi

pedoman bagi setiap implementator dalam bertindak. Struktur organisasi yang

terlalu panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan

redtape, yakni prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks. Ini pada gilirannya

menyebabkan aktivitas organisasi tidak fleksibel.

Dengan demikian, keberhasilan implementasi dapat dilihat dari terjadinya

kesesuaian antara pelaksanaan atau penerapan kebijakan dengan desain, tujuan,

sasaran, dan kebijakan itu sendiri dapat memberikan dampak dan hasil yang baik

bagi pemecahan permasalahan yang dihadapi, serta dalam implementasinya

mampu menyentuh kepentingan publik.

(16)

II. Model Van Meter dan Van Horn

Van Meter dan Van Horn (dalam Subarsono.2005:99) menyatakan bahwa

ada enam variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi yakni :

1. Standard dan Sasaran Kebijakan

Standard dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat

direalisasikan. Apabila standard dan sasaran kebijakan kabur, maka akan terjadi

multi interpretasi dan mudah menimbulkan konflik diantara para agen

implementasi.

2. Sumber Daya

Implementasi kebijakan perlu dukungan sumber daya, baik sumber daya

manusia yaitu kompetensi implementator maupun sumber daya non manusia yaitu

sumber daya keuangan (finansial)

3. Komunikasi dan Penguatan Aktivitas

Dalam implementasi program perlu dukungan dan koordinasi dengan

instansi lain. Untuk itu diperlukan koordinasi dan kerjasama antar instansi bagi

keberhasilan suatu program.

4. Karakteristik agen pelaksana

Agar pelaksana mencakup struktur birokrasi, norma - norma, dan polapola

hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya akan mempengaruhi

(17)

Variabel ini mencakup sumber daya ekonomi, lingkungan yang dapat

mendukung keberhasilan implementasi kebijakan, sejauhmana

kelompokkelompok kepentingan dapat memberikan dukungan bagi implementasi

kebijakan, karakteristik para partisipan yakni mendukung atau menolak,

bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan dan apakah elit politik

mendukung implementasi kebijakan.

6. Disposisi implementor

Disposisi implementor ini mencakup tiga hal yaitu :

(a) Respon implementor terhadap kebijakan yang akan dipengaruhi

kemauannya untuk melaksanakan kebijakan

(b) Kognisi, yakni pemahamannya terhadap kebijakan

(c)

Intensitas disposisi implementor, yakni preferensi nilai yang dimiliki

(18)

Sumber : Subarsono, 1998: Analisis Kebijakan Publik

III. Model Grindle

Grindel menciptakan model implementasi sebagai kaitan antara tujuan

kebijakan dan hasil-hasilnya, selanjutnya pada model ini hasil kebijakan yang

dicapai akan dipengaruhi oleh isi kebijakan yang terdiri dari:

1) Kepentingan-kepentingan yang dipengaruhi

2) Tipe-tipe manfaat

3) Derajat perubahan yang diharapkan

4) Letak pengambilan keputusan

5) Pelaksanaan program

6) Sumber daya yang dilibatkan

Isi sebuah kebijakan akan menunjukkan posisi pengambilan keputusan

oleh sejumlah besar pengambilan keputusan, sebaliknya ada kebijakan tertentu

yang lainnya hanya ditentukan oleh sejumlah kecil unit pengambil kebijakan.

Selanjutnya pengaruh dalam konteks lingkungan yang teridiri dari:

1) Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat

2) Karakteristik lembaga penguasa

3) Kepatuhan dan daya tanggap

Karenanya setiap kebijakan perlu mempertimbangan konteks atau

(19)

perencana, politisasi, pengusaha, kelompok sasaran dan para pelaksana kebijakan

akan bercampur baur mempengaruhi efektivitas implementasi.

Sumber : Subarsono, 1998; Analisis Kebijakan Publik

IV. Model Elmore, dkk

Lalu model yang disusun richard Elmore (1979), Michael Lipsky (1971),

Benny Hjern & David O’Porter (1981). Pada pemerataan di atas model ini di

berikan labe “RE, dkk” yang terletak do kaudran “bawah ke puncak” dan lebih

berada di “mekanisme pasar”. Model ini di mulai dari mengindentifikasi

jaringan actor yang terlibat dalam proses pelayanan dan menanyakan kepada

mereka : tujuan, Strategi, Aktivitas, dan kontak – kontak yang mereka miliki.

Model implementasi ini di dasarkan pada jenis kebijkan publik yang

mendorong masyarakat untuk mengerjakan sendiri implementasi kebijakannya

(20)

karena itu, kebijakan yang di buat harus sesuai dengan harapan, keinginan,

publik yang menjadi target atau kliennya, dan sesuai pula dengan pejabat

eselon rendah yang menjadi pelaksanaannya. Kebijakan model ini biasanya di

prakarasai oleh masyarakat, baik secara langsung maupun melalui

lembaga-lembaga nirlaba kemasyarakatan (LSM).

Oleh karena itu, kebijakan yang dibuat harus sesuai dengan harapan,

keinginan, publik yang menjadi target atau kliennya, dan sesuai pula dengan

pejabat eselon rendah yang menjadipelaksanannya.Kebijakan Model ini

biasanya diprakarsai oleh masyarakat, baik secara langsung maupun tidak

langsung melalui lembaga-lembaga nirlaba kemasyarakatan (LSM).

V. Model Briant W. Hogwood dan Gunn (1978) The Top down Aproach

Hogwood dan Gunn menyatakan bahwa studi implementasi

kebijakanterletak di kuadran “puncak ke bawah” dan berada di mekanisme paksa

danmekanisme pasar. Menurut Hogwood dan Gunn terdapat beberapa syarat yang

diperlukan dalam melakukan implementasi kebijakan, yakni:

• Kondisi eksternal yang dihadapi oleh Badan atau instansi pelaksana tidak

akanmenimbulkan gangguan atau kendala serius. Beberapa kendala pada

saatimplementasi kebijakan seringkali berada di luar kendali para

administrator, sebab hambatan-hambatan itu memang berada di luar

jangkauan wewenangkebijakan dan badan pelaksana.

(21)

kelayakan fisik dan politis tertentu bisa saja tidak berhasil mencapai tujuan

yang diinginkan karena alasan terlalu banyak berharap dalam waktu yang

terlalu pendek, khususnya persoalannya menyangkut sikap dan perilaku.

Alasan lainnya adalah bahwa para politisi kadangkala hanya peduli dengan

pencapaian tujuan, namun kurang peduli dengan penyediaan sarana yang

digunakan untuk mencapainya, sehingga tindakan-tindakan

pembatasan/pemotongan terhadap pembiayaan program mungkin akan

membahayakan upaya pencapaian tujuan program karena sumber-sumber

yang tidak memadai.

Masalah lain yang biasa terjadi ialah apabila dana khusus untuk

membiayai pelaksanaan program sudah tersedia harus dapat dihabiskan

dalam tempo yang sangat singkat, kadang lebih cepat dari kemampuan

program/proyek untuk secara efektif menyerapnya. Salah satu hal yang

perlupula ditegaskan disini, bahwa dana/uang itu pada dasarnya bukanlah

resources/sumber itu sendiri, sebab ia tidak lebih sekedar penghubung

untuk memperoleh sumber-sumber yang sebenarnya. Oleh karena itu,

kemungkinanmasih timbul beberapa persoalan berupa kelambanan atau

hambatan-hambatandalam proses konversinya, yaitu proses mengubah

uang itu menjadi sumber-sumber yang dapat dimanfaatkan untuk

melaksanakan kegiatan-kegiatan program atau proyek.

Kekhawatiran mengenai keharusan untuk mengembalikan dana

proyek yang tidak terpakai habis pada setiap akhir tahun anggaran

seringkali menjadi penyebab kenapa instansi-instansi pemerintah(baik

(22)

karena takut dana itu menjadi hangus, tidak jarang pula terbeli atau

dilakukan hal-hal yang seharusnya tidak perlu.

• Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar -benar tersedia.

Persyaratanketiga ini lazimnya mengikuti persyaratan kedua, artinya disatu

pihak harusdijamin tidak terdapat kendala-kendala pada semua

sumber-sumber yangdiperlukan, dan dilain pihak, pada setiap tahapan proses

impelementasinya perpaduan diantara sumber-sumber tersebut benar-benar

dapat disediakan.

• Kebijakan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu

hubungankausalitas yang handal. Kebijakan kadangkala tidak dapat

diimplementasikansecara efektif bukan lantaran karena kebijakan tersebut

telahdiimplementasikan secara sembrono/asal-asalan, melainkan karena

kebijakanitu sendiri memang buruk. Penyebab dari kemauan ini, kalau

mau dicari, tidaklain karena kebijakannya itu telah disadari oleh tingkat

pemahaman yang tidakmemadai mengenai persoalan yang akan

ditanggulangi.

Sebab-sebab timbulnya masalah dan cara pemecahannya, atau

peluang-peluang yang tersedia untukmengatasi masalahnya, sifat

permasalahannya dan apa yang diperlukan untukmemanfaatkan

peluang-peluang itu. Dalam kaitan ini Pressman dan Wildalsky (1973), menyatakan

secara tegas bahwa setiap kebijakan pemerintah padahakikatnya memuat

hipotesis (sekalipun tidak secara eksplisit) mengenaikondisi-kondisi awal

(23)

penyebabnya bersumber pada ketidaktepatan teori yang menjadilandasan

kebijakan tadi dan bukan karena implementasinya yang keliru.

• Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata

rantaipenghubungnya. Dalam hubungan ini Pressman dan Wildavsky

(1973) juga memperingatkan bahwa kebijakan-kebiajakan yang hubungan

sebab akibatnya tergantung pada mata rantai yang amat panjang maka ia

akan mudah sekali mengalami keretakan, sebab semakin panjang mata

rantai kausalitas, semakin besar hubungan timbal balik diantara mata

rantai penghubungnya dan semakin menjadi kompleks implementasinya.

Semakin banyak hubungan dalam mata rantai, semakin besar pula resiko

bahwa beberapa diantaranya kelak terbuktiamat lemah atau tidak dapat

dilaksanakan dengan baik.

• Hubungan ketergantungan harus kecil. Implementasi yang sempurna

menuntut adanya persyaratan bahwa hanya terdapat badan pelaksana

tunggal, yang untuk keberhasilan misi yang diembannya, tidak perlu

tergantung pada badanbadan lain, atau kalaupun dalam pelaksanaannya

harus melibatkan badan-badan/ instansi-instansi lainnya, maka hubungan

ketergantungan dengan organisasi-organisasi ini haruslah pada tingkat

yang minimal, baik artian jumlah maupun kadar kepentingannya. Jika

implementasi suatu program ternyata tidak hanya membutuhkan

serangkaian tahapan dan jalinan hubungan tertentu, melainkan juga

kesepakatan/komitmen terhadap setiap tahapan diantara sejumlah besar

(24)

program, bahkan hasil akhir yang diharapkan kemungkinan akan semakin

berkurang.

• Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan Persyaratan

inimengharuskan adanya pemahaman yang menyeluruh mengenai,

dankesepakatan terhadap, tujuann atau sasaran yang akan dicapai, dan

yangpenting, keadaan ini harus dapat dipertahankan selama proses

implementasi.Tujuan tesebut haruslah dirumuskan dengan jelas, spesifik,

danlebih baik lagi apabila dapat dikualifikasikan, dipahami, serta

disepakati olehseluruh pihak yang terlibat dalam organisasi, bersifat saling

melengkapi danmendukung, serta mampu berperan selaku pedoman

dengan mana pelaksanan program dapat dimonitor.

• Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat

Persyaratanini mengandung makna bahwa dalam mengayun langkah

menuju tercapainnyatujuan-tujuan yang telah disepakati, masih

dimungkinkan untuk merinci danmenyusun dalam urutan-urutan yang

tepat seluruh tugas yang harusdilaksanakan oleh setiap pihak yang terlibat.

5. Model yang diterangkan dalam Penelitian Implementasi Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2015 Tentang Pengelolaan Persampahan

Dalam mengkaji suatu proses kebijakan yang di Implementasikan dapat

dilakukan dengan pendekatan beberapa model dimana salah satunya adalah model

(25)

Nomor 6 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Persampahan di Kecamatan Medan

Selayang adalah dengan melihat tolok ukur :

a.Komunikasi

Komunikasi, yaitu menunjukkan bahwa setiap kebijakan akan dapat

dilaksanakan dengan baik jika terjadi komunikasi efektif antara pelaksana

program (kebijakan) dengan para kelompok sasaran (target group). Tujuan dan

sasaran dari program/kebijakan dapat disosialisasikan secara baik sehingga dapat

menghindari adanya distorsi atas kebijakan dan program. Ini menjadi penting

karena semakin tinggi pengetahuan kelompok sasaran atas program maka akan

mengurangi tingkat penolakan dan kekeliruan dalam mengaplikasikan program

dan kebijakan dalam ranah yang sesungguhnya.

b. Sumber daya

Sumber daya, yaitu menunjuk setiap kebijakan harus didukung oleh

sumber daya yang memadai, baik sumber daya manusia maupun sumber daya

finansial.Sumber daya manusia adalah kecukupan baik kualitas maupun kuantitas

implementor yang dapat melingkupi seluruh kelompok sasaran.Sumber daya

finansial adalah kecukupan modal investasi atas sebuah

program/kebijakan.Keduanya harus diperhatikan dalam implementasi

program/kebijakan pemerintah.Sebab tanpa kehandalam implementor, kebijakan

menjadi kurang enerjik dan berjalan lambat dan seadanya.Sedangkan sumber daya

finansial menjamin keberlangsungan program/kebijakan.Tanpa ada dukungan

finansial yang memadai, program tak dapat berjalan efektif dan cepat dalam

(26)

c. Disposisi

Disposisi, yaitu menunjuk karakteristik yang menempel erat kepada

implementor kebijakan/program.Karakter yang paling penting dimiliki oleh

implementor adalah kejujuran, komitmen dan demokratis. Implementor yang

memiliki komitmen tinggi dan jujur akan senantiasa bertahan diantara hambatan

yang ditemui dalam program/kebijakan. Kejujuran mengarahkan implementor

untuk tetap berada dalam arus program yang telah digariskan dalam guideline

program. Komitmen dan kejujurannya membawanya semakin antusias dalam

melaksanakan tahap-tahap program secara konsisten. Sikap yang demokratis akan

meningkatkan kesan baik implementor dan kebijakan di hadapan anggota

kelompok sasaran. Sikap ini menurunkan resistensi dari masyarakat dan

menumbuhkan rasa percaya dan kepedulian kelompok sasaran terhadap

implementor dan program/kebijakan.

d. Struktur Birokrasi

Struktur birokrasi, menunjuk bahwa struktur birokrasi menjadi penting

dalam implementasi kebijakan.Aspek struktur birokrasi ini mencakup dua hal

penting pertama adalah mekanisme, dan struktur organisasi pelaksana

sendiri.Mekanisme implementasi program biasanya sudah ditetapkan melalui

standar operating procedur (SOP) yang dicantumkan dalam guideline

program/kebijakan. SOP yang baik mencantumkan kerangka kerja yang jelas,

sistematis, tidak berbelit, dan mudah dipahami oleh siapapun karena akan menjadi

(27)

Sedangkan struktur organisasi pelaksana pun sejauh mungkin menghindari

hal yang berbelit, panjang, dan kompleks.Struktur organisasi pelaksana harus

dapat menjamin adanya pengambilan keputusan atas kejadian luar biasa dalam

program secara cepat.Dan hal ini hanya dapat lahir jika struktur didesain secara

ringkas dan fleksibel menghindari “virus weberian” yang kaku, terlalu hirarkis,

dan birokratis.

6. Defenisi Konsep

Konsep atau Pengertian merupakan unsur penting dalam suatu

penelitian karena ini akan menyamakan pandangan antara penulis (peneliti)

dengan pembaca dalam pokok bahasan yang sedang diuraikan.Dengan itu

diharapkan tentang salah penafsiran dari pembaca dapat dihindarikan yang

akhirnya mempermudah dalam menelaah istilah penelitian tersebut :

• Implementasi kebijkan merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh

individu-individu atau kelompok – kelompok pemerintah maupun swasta

yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam

keputusan – keputusan kebijakan sebelumnya. Implementasi kebijakan

dapat diamati dengan menggunakan faktor-faktor berikut:

• Standar dan sasaran kebijakan yang menjelaskan rincian tujuan

keputusan kebijakan secara menyeluruh

• Sumber daya kebijakan berupa dana pendukung implementasi

• Komunikasi inter organisasi dan kegiatan pengukuran digunakan

(28)

• Karakteristik pelaksana, arinya karakteristik organisasi faktor

krusial yang menentukan berhasil tidaknya suatu program.

• Keadaan Kondisi, sosial, ekonomi, dan politik yang dapat

mempengaruhi hasil kebijakan

• Sikap pelaksana dalam memahami kebijakan yang akan ditetapkan

• Pelayanan adalah setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu

kumpulan atau kesatuan dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya

tidak terikat pada suatu produk secara fisik. Kemudian Sampara

berpendapat , pelayanan adalah suatu kegiatan atau urutan kegiatan yang

terjadi dalam interaksi langsung antar seseorang dengan orang lain atau

mesin secara fisik dan menyediakan kepuasan pelanggan.

• Peraturan daerah (Perda) adalah peraturan undang-undang yang dibentuk

oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Kepala Daerah.

• Sistem pengelolaan sampah

Sistem pengelolaan sampah adalah proses pengelolaan sampah yang

meliputi 5 (lima) aspek/komponen yang saling mendukung dimana antara

satu dengan yang lainnya saling berinteraksi untuk mencapai tujuan.

Kelima aspek tersebut meliputi: aspek teknis operasional, aspek organisasi

dan manajemen, aspek hukum dan peraturan, aspek pembiayaan, aspek

(29)

1.7. Definisi Operasionalisasi

Defenisi Operasional merupakan panduan memprediksi fakta/fenomena dilapangan melalui serangkaian indikator yang menjadi

pedoman penyusunan instrument penelitian (questionaire). Adapun

indikator-indikator dalam penelitian ini adalah :

• Standar dan sasaran kebijakan

• Standar Kebijakan : standar penampungan sampah, standar

Pengumpulan sampah, Pengangkutan sampah, dan standar

pembuangan sampah

• sasaran Kebijakan : Tertib dalam membuang Sampah, dan

Penciptaan Lingkungan hidup yang bersih.

• Sumber daya:

Materi :Biaya pengumpulan sampah , Biaya pengangkutan

sampah , Biaya pembuangan akhir sampah

Non Materi : Kendaraan Pengangkutan Sampah, pegawai

pengangkut sampah, danpengutip retribusi sampah

• Komunikasi :

• Komunikasi Lisan : Sosialisasi dari pihak Kecamatan kepada

masyarakat

• Komunikasi Tulisan : Pamplet yang di pampang pada kantor

Kecamatan

(30)

• Keadaan Sosial, Ekonomi, dan Budaya

a. sosial : Lingkungan hidup masyarakat

b. Ekonomi : Pendapatan rata-rata masyarakat di Lingkungan

Medan Selayang

c. Budaya : Gaya hidup masyarakat di Lingkungan Medan

Selayang

• Disposisi Implementor : Kepala Dinas Kebersihan Kota Medan dan

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penulisan makalah ini ialah untuk mengetahui potensi pemanfaatan tumbuhan kayu manis Cinnamomum burmannii dalam mengatasi Diabetes melitus tipe II dan mengetahui

This study aimed to find out whether phytotelmata contribute in providing breeding place for mosquito vector of DHF in Lampung, an Indonesian province situated in the most

Liman, Agung Kusuma Wijaya, Syahrio Tantalo, Muhtarudin, Septianingrum, Widya Puspa Indriyanti and Kusuma Adhianto. Department of Animal Husbandry, Faculty of Agriculture, University

Menyusun standar kualitas: 1) Menentukan standar- standar kualitas baku yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk melaksanakan tahapan pekerjaan, 2) Membuat quality policy

Dengan melihat kondisi perusahaan saat ini, agar dapat mencapai tujuan yang ingin dicapai perusahaan memerlukan perencanaan supply chain yang baik diantaranya dengan cara

Locat ed in East Jakart a in t he indust rial hub area of Jakart a-Cikampek t oll - road, Lippo Cikarang is a mixed use t ownship of indust rial est at e, resident ial

9 pada flowchart (a) merupakan proses untuk memperoleh data ciri mutiara yang, sedangkan flowchart (b) adalah proses pengujian dengan membandingkan data latih

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keefektifan model pembelajaran berpikir induktif yang berorientasi pada kecerdasan naturalis melalui media foto jurnalistik