• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi Status Hara Tanah, Tekstur Tanah, dan Produksi Lahan Sawah Terasering Pada 3 Ordo Tanah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Identifikasi Status Hara Tanah, Tekstur Tanah, dan Produksi Lahan Sawah Terasering Pada 3 Ordo Tanah"

Copied!
4
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Produksi padi nasional masih terfokus pada lahan sawah irigasi jika dibandingkan dengan lahan kering (padi gogo). Hal ini erat kaitannya dengan produksi padi sawah yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan padi gogo. Menurut data BPS (2014) produktivitas padi sawah telah mencapai 4,78 ton/ha sementara padi gogo baru mencapai 2,56 ton/ha. Data ini membuktikan bahwa lahan sawah memiliki potensi yang lebih besar jika dibandingkan dengan lahan kering dalam hal budidaya tanaman padi.

Lahan sawah adalah lahan yang dikelola sedemikian rupa untuk budidaya tanaman padi sawah, dimana padanya dilakukan penggenangan selama atau sebagian dari masa pertumbuhan padi. Yang membedakan lahan ini dari lahan rawa adalah masa penggenangan airnya, pada lahan sawah penggenangan tidak terjadi terus- menerus tetapi mengalami masa pengeringan (Musa, dkk, 2006).

Ketersediaan unsur hara memegang peranan dalam tingkat produktivitas tanah sawah, khususnya unsur hara makro primer, yaitu N, P, dan K. Ketersediaan unsur hara ini ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor bawaan dan faktor dinamik . Faktor bawaan adalah bahan induk tanah, yang berpengaruh terhadap ordo tanah. Faktor dinamik merupakan faktor yang berubah - ubah, antara lain pengolahan tanah, pengairan, pemupukan, dan pe ngembalian seresah tanaman (Sakti, 2009).

Sekitar 70% tanah sawah di dataran rendah di Indonesia termasuk dalam ordo Inceptisol, Entisol, dan Vertisol (sepadan dengan: Aluvial, Glei, Regosol, dan Grumusol). Sekitar 22% merupakan pesawahan “ uplands” di daerah volkan,

(2)

yang termasuk dalam ordo Ultisol, Inceptisol, Andisol, dan Alfisol (Latosol, Regosol, Andosol, dan Mediteran). Sedangkan sekitar 6% merupakan pesawahan pada tanah-tanah masam, yang termasuk dalam ordo Ultisol dan Oxisol (Podsolik Merah Kuning) (Hardjowigeno, 2003).

Sekitar 45% wilayah Indonesia berupa perbukitan dan pegunungan yang dicirikan oleh topo-fisiografi yang sangat bergam, sehingga praktek budidaya pertanian di lahan pegunungan memiliki posisi strategis dalam pembangunan pertanian nasional. Selain memberikan manfaat bagi jutaan petani, lahan pegunungan juga berperan penting dalam menjaga fungsi lingkungan daerah alisaran sungai (DAS) dan penyangga daerah di bawahnya. Walaupun berpeluang untuk budidaya pertanian, lahan pegunungan rentan terhadap longsor dan erosi, karena tingkat kemiringannya, curah hujan relatif lebih tinggi, dan tanah tidak stabil (Permentan, 2006).

Sawah pada teras, sifatnya sangat berubah dibandingkan dengan tanah asalnya, karena terjadinya penggalian dan penimbunan pada waktu pembuatan teras. Cara pembuatan teras adalah dengan jalan menggali lereng atas, dan menimbun lereng bawah. Akibatnya, susunan horizon tanah asalnya dapat hilang sama sekali. Makin curam lereng, maka teras semakin sempit dan penggalian serta penimbunan semakin dalam. Dalam satu petak sawah yang baru dibuat dengan cara ini, mungkin akan ditemukan lebih dari satu jenis tanah, yaitu Entisol atau Inceptisol pada bagian tanah yang ditimbun atau digali, selain tanah aslinya di bagian tengah petakan (Agus dkk, 2004).

Tingginya curah hujan mengakibatkan terjadinya limpasan permukaan. Limpasan permukaan yang menghasilkan erosi terjadi karena tidak dapat lagi

(3)

mampu menahan air yang mengalir diatas permukaan tanah dan yang terjadi yaitu pelepasan partikel-partikel tanah pada permukaan tanah dan bahkan dapat menyebabkan hilangnya top soil (tanah lapisan atas) sehingga dapat berpengaruh pada salah satu komposisi penyusun tanah atas atau lapisan olah tanah. Kehilangan hara dari permukaan tanah merupakan salah satu akibat utama dari terjadinya erosi. Peristiwa ini terjadi karena hara tanah umumnya banyak terdapat pada lapisan atas tanah (top soil) khususnya unsur N, P, K sebagai penyubur tanaman , sehingga aliran permukaan yang terjadi selain membawa tanah menjadi erosi juga membawa hara tanah keluar dari petak lahan pertanian (petak pertanaman) (Tambun dkk, 2012).

Irigasi tradisional pada sawah berteras umumnya dilakukan dengan membuka dan menutup saluran air masuk dan saluran air keluar yang dibangun secara sederhana oleh petani. Sumber air irigasi berasal dari mata air yang ada di kawasan atas atau air hujan yang mengalir melalui kanal-kanal alami. Cara ini memungkinkan sedimen dan unsur hara terbawa masuk dan terangkut keluar lahan sawah melalui pergerakan air tersebut. Fenomena ini sangat menarik dan perlu dipelajari lebih lanjut dalam hubungannya dengan kondisi di lahan (on-site impacts) dan di luar lahan (off-site impacts). Namun demikian, penelitian mengenai mobilitas sedimen dan hara tanaman pada sawah termasuk sistem sawah berteras masih jarang dilakukan (Sukristiyonubowo, 2008).

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis bermaksud mengadakan penelitian perihal identifikasi status hara pada lahan sawah terasering dengan jenis (ordo) tanah yang berbeda.

(4)

Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui status hara, tekstur dan produksi lahan sawah terasering pada 3 ordo tanah berbeda.

Kegunaan Penelitian

- Sebagai salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

- Sebagai sumber informasi mengenai status hara, tekstur dan produksi lahan sawah terasering pada 3 ordo tanah berbeda kepada pihak yang membutuhkan.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan minat belajar dan hasil belajar pada mata pelajaran Menggambar Teknik Dasar Siswa Kelas X Program Keahlian

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan tentang hambatan komunikasi dalam interaksi fotografer dan foto model dalam proses pembuatan karya foto, dapat

Kantor KPP Madya Batam pada Kantor Wilayah DJBC Khusus Kepulauan Riau, kami Pokja ULPD Kepulauan Riau telah melaksanakan pembukaan dokumen penawaran untuk paket

48 ASRM ASURANSI RAMAYANA Tbk BSRE1 - BSR INDONESIA PT... BSRE1 - BSR

Dari pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe make a match adalah suatu pembelajaran yang mencari pasangan sambil berjalan

Dari hasil uji skala Lickert, sebesar 81.3% masuk kategori sangat setuju, maka dapat disimpulkan bahwa aplikasi sistem pakar yang dibangun sudah sesuai dengan tujuannya

Menurut Muliyawati (2015), ada lima faktor yang mendukung budaya Kaizen yaitu 1) Teamwork atau kerja sama merupakan bentuk kerja dengan menggabungkan beberapa kemampuan