• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Hukum Terhadap Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Surat Keputusan Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil (Studi PT. Bank Rakyat Indonesia, Tbk) Cabang Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perlindungan Hukum Terhadap Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Surat Keputusan Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil (Studi PT. Bank Rakyat Indonesia, Tbk) Cabang Medan"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

A. Pengertian Perjanjian dalam KUHPerdata

Di dalam Buku III KUH Perdata mengenai hukum perjanjian terdapat dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

overeenkomst. Dalam menerjemahkan kedua istilah tersebut dalam bahasa

Indonesia, terdapat perbedaan antar para sarjana hukum Indonesia.16

Untuk memahami istilah mengenai perikatan dan perjanjian terdapat beberapa pendapat para sarjana. Adapun pendapat para sarjana tersebut adalah:

R. Subekti menyatakan bahwa :

Suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lain, atau di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.17

Abdul Kadir Muhammad menyatakan bahwa :

Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu hal dalam lapangan harta kekayaan.18 Yang mana perikatan terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan; dalam bidang hukum keluarga; dalam bidang hukum pribadi. Perikatan yang meliputi beberapa bidang hukum ini disebut perikatan dalam arti luas.

R. M. Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa :

Memberikan pengertian perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.19

16 Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Bandung: Alumni, 1986, hal 3. 17

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 2001, hal. 36

18 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992, hal.

78

19 RM. Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta

(2)

Menurut Pasal 1313 KUHPerdata, perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Menurut beberapa pakar hukum pengertian perjanjian atau verbintenes adalah suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih yang memberikan kekuatan hak pada suatu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi20

Berdasarkan pada beberapa pengertian perjanjian di atas, maka dapat disimpulkan di dalam suatu perjanjian minimal harus ada dua pihak, dimana kedua belah pihak saling bersepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum tertentu. Perjanjian/persetujuan batasannya diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata yang berbunyi: “Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

Mengenai batasan tersebut para sarjana hukum perdata umumnya berpendapat bahwa definisi atau batasan atau juga dapat disebut rumusan perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata kurang lengkap dan bahkan dikatakan terlalu luas sehingga banyak mengandung kelemahan-kelemahan. Adapun kelemahan tersebut antara lain :

a. Hanya menyangkut perjanjian sepihak saja.

Di sini dapat diketahui dari rumusan satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya. Kata mengikatkan merupakan kata kerja yang sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Sedangkan maksud dari perjanjian itu mengikatkan diri dari kedua belah

(3)

pihak, sehingga nampak kekurangannya dimana setidak-tidaknya perlu adanya rumusan saling mengikatkan diri. Jadi nampak adanya konsensus/ kesepakatan antara kedua belah pihak yang membuat perjanjian.

b. Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus atau kesepakatan. Dalam pengertian perbuatan termasuk juga tindakan :

1. Melaksanakan tugas tanpa kuasa. 2. Perbuatan melawan hukum.

Dari kedua hal tersebut di atas merupakan tindakan/ perbuatan yang tidak mengandung adanya konsensus. Juga perbuatan itu sendiri pengertiannya sangat luas, karena sebetulnya maksud perbuatan yang ada dalam rumusan tersebut adalah hukum.

c. Pengertian perjanjian terlalu luas.

(4)

d. Tanpa menyebut tujuan.

Dalam perumusan pasal tersebut tidak disebutkan apa tujuan untuk mengadakan perjanjian sehingga pihak-pihak mengikatkan dirinya itu tidaklah jelas maksudnya untuk apa. Atas dasar alasan-alasan tersebut yang dikemukakan di atas, maka perlu dirumuskan kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian itu. Sehingga apa yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan. Dengan adanya perjanjian tersebut, maka akan timbul suatu hubungan hukum di mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lainnya, begitu pula sebaliknya. Hubungan hukum yang demikian ini disebut dengan perikatan. Dengan demikian perjanjian akan menimbulkan suatu perikatan, atau dengan kata lain perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan. Berdasarkan Pasal 1233 KUHPerdata, sumber perikatan adalah perjanjian dan undang-undang. Perikatan dan perjanjian diatur dalam Buku Ketiga KUHPerdata.

Dari perumusan perjanjian tersebut dapat disimpulkan unsur perjanjian sebagai berikut:

1. Adanya pihak-pihak.

(5)

Subyek hukum dapat dalam kedudukan pasif atau sebagai debitur atau dalam kedudukan yang aktif atau sebagai kreditur.

2. Adanya persetujuan antara pihak-pihak.

Persetujuan di sini bersifat tetap, dalam arti bukan baru dalam tahap berunding. Perundingan itu sendiri adalah merupakan tindakan-tindakan pendahuluan untuk menuju kepada adanya persetujuan.

3. Adanya tujuan yang akan dicapai.

Tujuan mengadakan perjanjian terutama guna memenuhi kebutuhan pihak-pihak dan kebutuhan tersebut hanya dapat dipenuhi jika mengadakan perjanjian dengan pihak lain.

4. Adanya prestasi yang akan dilangsungkan.

Bila telah ada persetujuan, maka dengan sendirinya akan timbul suatu kewajiban untuk melaksanakannya.

5. Adanya bentuk tertentu.

Dalam suatu perjanjian bentuk itu sangat penting, karena ada ketentuan undang-undang bahwa hanya dengan bentuk tertentu maka perjanjian mempunyai kekuatan mengikat sebagai bukti.

6. Adanya syarat tertentu.

(6)

a. Syarat adanya persetujuan kehendak di antara pihak-pihak dapat meliputi unsur-unsur persetujuan, syarat-syarat tertentu dan bentuk-bentuk tertentu. b. Syarat kecakapan pihak-pihak meliputi unsur-unsur dari pihak-pihak yang

ada dalam perjanjian.

c. Adanya hal tertentu sebagai pokok perjanjian, sebagai obyek perjanjian, baik berupa benda maupun jasa, serta obyek dapat berwujud dan tak berwujud.

d. Adanya kausa yang halal, yang mendasari perjanjian itu sendiri meliputi unsur tujuan yang akan dicapai.

B. Pengertian Perjanjian Kredit dan Hal-hal yang mencakup didalamnya

Perjanjian kredit merupakan salah satu jenis perjanjian yang segala ketentuan umumnya didasarkan pada ajaran umum hukum perikatan yang terdapat dalam KUHPerdata. Ketentuan umum dalam KUHPerdata tersebut menjadi dasar atau asas umum yang konkrit dalam membuat semua perjanjian apapun.21

Dalam KUHPerdata Buku III Bab I sampai dengan Bab IV Pasal 1319 dinyatakan bahwa: Semua perjanjian baik yang mempunyai suatu nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum yang termuat dalam Buku III Bab I dan Bab II KUHPerdata.

Setiap kredit yang disetujui dan disepakati antara pihak kreditur dan debitur maka wajib dituangkan dalam perjanjian kredit (akad kredit) secara

(7)

tertulis. Dalam praktik perbankan bentuk dan format dari perjanjian kredit diserahkan sepenuhnya kepada bank yang bersangkutan. Namun ada hal-hal yang tetap harus dipedomani, yaitu bahwa perjanjian tersebut rumusannya tidak boleh kabur atau tidak jelas, selain itu juga perjanjian tersebut sekurang-kurangnya harus memperhatikan keabsahan dan persyaratan secara hukum, sekaligus juga harus memuat secara jelas mengenai jumlah besarnya kredit, jangka waktu, tata cara pembayaran kembali kredit serta persyaratan lainnya yang lazim dalam perjanjian kredit.22

Dalam praktik, bentuk dan materi perjanjian kredit antara satu bank dan bank lainnya tidaklah sama. Hal tersebut terjadi dalam rangka menyesuaikan diri dengan kebutuhan masing-masing. Dengan demikian, perjanjian kredit tersebut tidak mempunyai bentuk yang berlaku umum, hanya saja dalam praktik ada banyak hal yang biasanya dicantumkan dalam perjanjian kredit, misalnya, berupa definisi istilah-istilah yang akan dipakai dalam perjanjian (ini terutama dalam perjanjian kredit dengan pihak asing atau dikenal dengan loan agreement); jumlah dan batas waktu pinjaman, serta pembayaran kembali pinjaman (repayment), juga mengenai apakah si peminjam berhak mengembalikan dana pinjaman lebih cepat dari ketentuan yang ada; penetapan bunga pinjaman dan dendanya jika debitur lalai membayar bunga; terakhir dicantumkan berbagai klausul, seperti hukum yang berlaku untuk perjanjian tersebut. Dalam praktiknya, perjanjian kredit sering

(8)

kali mengakomodasi hal-hal seperti di atas sehingga semuanya dibakukan dan akhirnya terbentuklah perjanjian baku untuk perjanjian kredit tersebut.23

Dasar hukum perjanjian kredit secara tertulis dapat mengacu pada Pasal 1 ayat (11) UU Perbankan. Pasal tersebut dinyatakan bahwa: “Penyediaan uang atau tagihan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara Bank dengan pihak lain.” Kalimat tersebut menunjukkan bahwa pemberian kredit harus dibuat dengan perjanjian.

Perjanjian kredit merupakan ikatan atau bukti tertulis antara bank dengan debitur sehingga harus disusun dan dibuat sedemikian rupa agar setiap orang mudah untuk mengetahui bahwa perjanjian yang dibuat itu merupakan perjanjian kredit. Perjanjian kredit termasuk salah satu jenis atau bentuk akta yang dibuat sebagai alat bukti.24

Secara yuridis ada dua jenis perjanjian atau pengikatan kredit yang digunakan bank dalam memberikan kreditnya, yaitu:

25

1. Perjanjian kredit yang dibuat di bawah tangan atau akta di bawah tangan artinya perjanjian yang disiapkan dan dibuat sendiri oleh bank kemudian ditawarkan kepada debitur untuk disepakati. Untuk mempermudah dan mempercepat kerja bank, biasanya bank sudah menyiapkan formulir perjanjian dalam bentuk standar (standaardform) yang diisi, syarat-syarat dan ketentuannya disiapkan terlebih dahulu secara lengkap. Bentuk perjanjian kredit yang dibuat sendiri oleh bank tersebut termasuk jenis akta di bawah tangan.

23 Ibid, hal. 503.

24 Sutarno, Op. cit., hal. 99-100

(9)

2. Perjanjian kredit yang dibuat oleh dan di hadapan notaris atau akta otentik atau akta notariil artinya perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang hanya dibuat oleh atau di hadapan notaris, yang menyiapkan dan membuat perjanjian ini adalah seorang notaris, namun dalam praktik semua syarat dan ketentuan perjanjian kredit disiapkan oleh bank kemudian diberikan kepada notaris untuk dirumuskan dalam akta notariil.

Perjanjian kredit yang dibuat dalam bentuk akta notariil atau akta otentik biasanya untuk pemberian kredit dalam jumlah yang besar dengan jangka waktu menengah atau panjang, seperti kredit investasi, kredit modal kerja, kredit sindikasi (kredit yang diberikan lebih dari satu kreditur atau lebih dari satu bank).26

Secara etimologi, kata kredit berasal dari bahasa Yunani yaitu credere yang di-Indonesiakan menjadi kredit, yakni “kepercayaan” (dalam bahasa Inggris

faith dan trust). Dalam hubungannya antara kreditur (pemberi kredit) dengan

debitur (penerima kredit), si kreditur memiliki kepercayaan bahwa si debitur dapat mengembalikan uang / barang yang dipinjamnya sesuai dengan waktu dan syarat-syarat yang telah disepakati bersama. Dengan kata lain, seseorang yang memperoleh kredit, berarti memperoleh kepercayaan. Jadi, dasar dari kredit itu sendiri adalah kepercayaan (trust).

Dilihat dari segi ekonominya, kredit dapat diartikan sebagai penundaan pembayaran. Artinya, pengembalian uang/barang dapat dilakukan pada waktu

(10)

tertentu yang akan datang. Adapun beberapa pengertian kredit yang berasal dari berbagai ahli, yakni sebagai berikut :

H. M. A. Savelberg menyatakan kredit mempunyai arti antara lain:27

Sebagai dasar dari setiap perikatan (verbintenis) di mana seseorang berhak menuntut sesuatu dari yang lain. Sebagai jaminan, di mana seseorang menyerahkan sesuatu pada orang lain dengan tujuan untuk memperoleh kembali apa yang diserahkan itu.

JA. Levy merumuskan arti hukum dari kredit sebagai berikut:28

“Menyerahkan secara sukarela sejumlah uang untuk dipergunakan secara bebas oleh si penerima kredit. Penerima kredit berhak mempergunakan pinjaman itu untuk keuntungannya dengan kewajiban mengembalikan jumlah pinjaman itu dibelakang hari”.

Muchdarsyah Sinungan menyatakan bahwa :

Kredit adalah suatu pemberian prestasi oleh suatu pihak kepada pihak lainnya dan prestasi itu akan dikembalikan lagi pada suatu masa tertentu yang akan datang disertai dengan suatu kontrak prestasi berupa bunga”.29

OP. Simorangkir berpendapat bahwa

Kredit adalah pemberian prestasi (misalnya uang, barang) dengan balas prestasi (kontraprestasi) yang akan terjadi pada waktu yang akan datang.30

Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kredit adalah suatu pemberian prestasi (uang atau barang) dari pihak pemberi kredit (kreditur) kepada pihak penerima kredit (debitur) dengan syarat si debitur akan mengembalikan prestasi itu pada masa tertentu yang akan datang dengan suatu kontrak prestasi berupa bunga.

27 Ikhwana Nandasari SP, Penyelesaian Kredit Macet dengan Hak Tanggungan pada PT.

Bank Pembangunan Daerah Sumatera Selatan di Palembang, Tesis, Program Pascasarjana,

Universitas Diponegoro, Semarang.2009

28 Ikhwana Nandasari SP, Op.cit. 29 Ibid.

(11)

Pengertian kredit juga dapat dilihat dalam Pasal 1 Butir (11) UU Perbankan dinyatakan bahwa: Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga. Mengenai unsur-unsur yang terdapat dalam hal perkreditan, maka jelas hal itu tidak terlepas dari unsur kepercayaan. Namun, masih ada beberapa unsur yang menjadi suatu pertimbangan komprehensif dalam menentukan diperolehnya kepercayaan atau tidak dalam hal perkreditan tersebut.

Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam bidang perkreditan, yaitu:31 1. Kepercayaan

Kepercayaan adalah keyakinan dari kreditur (pemberi kredit) bahwa prestasi yang diberikan kepada debitur (penerima kredit), baik berupa uang, barang, atau jasa, akan dikembalikan sesuai dengan kesepakatan bersama

2. Tenggang waktu

Tenggang waktu adalah waktu yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterima pada masa yang akan datang. Dalam unsur waktu ini terkandung pengertian nilai agio dari uang, yaitu uang yang ada sekarang lebih tinggi nilainya dari uang yang akan diterima pada masa yang akan datang.

(12)

3. Degree of risk

Risiko yang akan dihadapi sebagai akibat dari adanya jangka waktu yang memisahkan antara prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterima di kemudian hari. Semakin panjang waktu yang diberikan maka semakin tinggi pula tingkat risikonya, sehingga terdapat unsur ketidaktentuan yang tidak dapat diperhitungkan. Inilah yang menyebabkan timbulnya unsur risiko. Karena adanya unsur risiko ini maka dibutuhkan jaminan dalam pemberian kredit.

4. Prestasi atau objek

Prestasi atau objek kredit itu tidak saja diberikan dalam bentuk uang, tetapi juga dapat berbentuk barang atau jasa. Namun, karena kehidupan ekonomi modern sekarang ini didasarkan pada uang, maka transaksi-transaksi kredit yang menyangkut uanglah yang sering kita jumpai dalam praktik perkreditan

5. Fungsi Kredit

(13)

Suatu kredit mencapai fungsinya apabila secara sosial ekonomis, baik bagi debitur, kreditur, maupun masyarakat membawa pengaruh pada tahapan yang lebih baik. Maksudnya, baik bagi pihak debitur maupun kreditur mendapatkan kemajuan. Kemajuan tersebut dapat tergambarkan apabila mereka memperoleh keuntungan, mengalami peningkatan kesejahteraan, dan masyarakat pun atau negara mengalami suatu penambahan dari penerimaan pajak, serta kemajuan ekonomi, baik yang bersifat mikro maupun makro. Dari manfaat nyata dan manfaat yang diharapkan maka sekarang ini kredit dalam kehidupan perekonomian dan perdagangan mempunyai fungsi:

a. Meningkatkan daya guna uang.

b. Meningkatkan peredaran dan lalu lintas uang. c. Meningkatkan daya guna dan peredaran barang d. Salah satu alat stabilitas ekonomi.

e. Meningkatkan kegairahan berusaha. f. Meningkatkan pemerataan pendapatan. g. Meningkatkan hubungan internasional. 6. Prinsip Pemberian Kredit

(14)

Prinsip-prinsip pemberian kredit dinyatakan dalam penjelasan Pasal 8 ayat (1) UU Perbankan, dinyatakan bahwa: Kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang diberikan oleh bank mengandung risiko,sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang sehat. Untuk mengurangi risiko tersebut, jaminan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari nasabah debitur.

Dari ketentuan di atas, dapat disimpulkan bahwa bank harus berhati-hati dalam memberikan kredit kepada calon nasabahnya. Bank harus menyelidiki terlebih dahulu calon debiturnya apakah calon debitur tersebut dapat dipercaya dan juga dapat diandalkan (bankable).

Cara yang masih diterapkan dalam menganalisis calon debitur tersebut dapat dipercaya atau diandalkan adalah apa yang disebut dengan 5 C, yang meliputi:32

32 Kasmir, Bank Dan Lembaga Keuangan Lainnya (Edisi Revisi) Jakarta: Raja Grafindo

(15)

1. Character (Watak)

Suatu keyakinan bahwa sifat atau watak dari orang-orang yang akan diberikan kredit benar-banar dapat dipercaya, hal ini tercermin dari latar belakang nasabah baik yang bersifat latar belakang pekerjaan maupun yang bersifat pribadi seperti cara hidup atau gaya hidup yang dianutnya, keadaan keluarga, yang semuanya merupakan ukuran kemauan membayar.

2. Capacity (Kemampuan)

Dihubungkan dengan pendidikannya, kemampuan bisnis juga diukur dengan kemampuannya dalam memahami tentang ketentuan-ketentuan pemerintah. Begitu juga dalam kemampuannya dalam menjalankan usahanya selama ini. Pada akhirnya akan terlihat kemampuannya dalam mengembalikan kredit yang disalurkan.

3. Capital (Modal)

Untuk melihat penggunaan modal apakah efektif, dilihat laporan keuangan (neraca dan laporan rugi laba) dengan melakukan pengukuran seperti dari segi likuiditas, solvabilitas, rentabilitas dan ukuran lainnya. Capital juga harus dilihat dari sumber mana saja modal yang ada sekarang ini.

4. Collateral (Jaminan atau agunan)

(16)

5. Condition of Economy (Kondisi Perekonomian)

Dalam menilai kredit hendaknya juga dinilai kondisi ekonomi dan politik sekarang dan dimasa yang akan datang sesuai sektor masing-masing, serta prospek usaha dari sektor yang dijalankan. Penilaian prospek usaha yang dibiayai hendaknya benar-benar memiliki prospek yang baik, sehingga kemungkinan kredit tersebut bermasalah sangat kecil.

6. Penanganan Kredit Bermasalah

Membicarakan kredit bermasalah, berarti membicarakan resiko yang harus ditanggung oleh bank dalam setiap pemberian kredit. Oleh karena itu, setiap bank tidak dapat terlepas dari permasalahan kredit bermasalah. Karenanya yang bisa dilakukan adalah bagaimana bank dapat menghindarkan diri atau setidak-tidaknya meminimalisir kredit bermasalah.

Dalam kebijakan penanganan kredit bermasalah, hal-hal yang diperhatikan, di antaranya, administrasi kredit; kredit yang perlu mendapat perhatian khusus; perlakuan terhadap kredit yang tunggakan bunganya dikapitalisasi (kredit plafondering); prosedur penyelesaian kredit bermasalah; dan prosedur penghapusbukuan kredit macet; serta tata cara pelaporan kredit macet dan tata cara penyelesaian barang agunan kredit yang telah dikuasai bank yang diperoleh dari hasil penyelesaian kredit. Dari kebijakan di atas, yang paling penting pula, yaitu pelaksana dan institusinya itu sendiri. Dari institusinya diharapkan bahwa:33

(17)

1. Bank tidak membiarkan atau bahkan menutup-nutupi adanya kredit bermasalah.

2. Bank harus mendeteksi secara dini adanya kredit bermasalah atau diduga akan menjadi kredit bermasalah

3. Penanganan kredit bermasalah atau diduga akan menjadi kredit bermasalah juga harus dilakukan secara dini dan sesegera mungkin. 4. Bank tidak melakukan penyelesaian kredit bermasalah dengan cara

menambah plafon kredit atau tunggakan-tunggakan bunga dan mengkapitalisasi tunggakan bunga tersebut atau lazim dikenal dengan praktik plafondering kredit.

5. Bank tidak boleh melakukan pengecualian dalam penyelesaian kredit bermasalah, khususnya untuk kredit bermasalah kepada pihak-pihak yang terkait dengan bank dan debitur-debitur besar tertentu.

6. Debitur Beriktikad Baik34

Dalam rangka menyelamatkan sektor riil dari keterpurukannya, pemerintah antara lain menggariskan kebijakan agar bank-bank memberikan kesempatan kepada para debitur yang mempunyai kredit macet untuk merestrukturisasi kredit tersebut. Restrukturisasi tidak mungkin diberikan kepada semua kredit yang bermasalah.

Ada beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mengukur apakah debitur mempunyai itikad baik, antara lain sebagai berikut:

a. Sebelum kredit macet:

(18)

1. Apabila sebelum kredit menjadi macet, nasabah selalu kooperatif terhadap bank dan mau menjalankan segala kewajibannya, baik yang berupa kewajiban untuk mencicil pokok atau kewajiban membayar bunga.

2. Kredit telah digunakan sesuai dengan maksud dan tujuan yang tertulis di dalam perjanjian kredit. Dengan kata lain tidak terjadi

side streaming, yaitu menggunakan untuk tujuan lain selain

membiayai proyek atau usaha yang diperjanjikan.

3. Perhitungan kebutuhan jumlah kredit tidak diback-up, yaitu diajukan kepada bank dengan perhitungan lebih besar dari kebutuhan yang sesungguhnya.

4. Nilai tanah, peralatan dan aset perusahaan lain baik yang dibiayai dengan kredit maupun yang dijadikan agunan tidak dimark-up, yaitu dinilai lebih tinggi dari nilai yang sesungguhnya.

b. Setelah kredit macet:

1. Setelah kredit menjadi macet, debitur tidak sulit dihubungi oleh Bank/BPPN.

(19)

C. Syarat Sahnya Perjanjian

Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, suatu perjanjian itu sah harus terpenuhi 4 syarat, yaitu:

a. Adanya kata sepakat;

Kata sepakat Kata sepakat berarti persesuaian kehendak, maksudnya memberikan persetujuan atau kesepakatan. Jadi sepakat merupakan pertemuan dua kehendak dimana kehendak pihak yang satu saling mengisi dengan apa yang dikehendaki pihak lain dan kehendak tersebut saling bertemu.

Menurut Subekti, yang dimaksud dengan kata sepakat adalah persesuaian kehendak antara dua pihak yaitu apa yang dikehendaki oleh pihak ke satu juga dikehendaki oleh pihak lain dan kedua kehendak tersebut menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik. Dan dijelaskan lebih lanjut bahwa dengan hanya disebutkannya "sepakat" saja tanpa tuntutan sesuatu bentuk cara (formalitas) apapun sepertinya tulisan, pemberian tanda atau panjer dan lain sebagainya, dapat disimpulkan bahwa bilamana sudah tercapai sepakat itu, maka sahlah sudah perjanjian itu atau mengikatlah perjanjian itu atau berlakulah ia sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya.35

J. Satrio, menyatakan, bahwa

Kata sepakat sebagai persesuaian kehendak antara dua orang di mana dua kehendak saling bertemu dan kehendak tersebut harus dinyatakan. Pernyataan kehendak harus merupakan pernyataan bahwa ia menghendaki timbulnya hubungan hukum. Dengan demikian adanya kehendak saja belum melahirkan suatu perjanjian karena kehendak tersebut harus diutarakan, harus nyata bagi yang lain dan harus dimengerti oleh pihak lain.36

35 Subekti, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1992, hal. 4

36 J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, PT. Citra Aditya Bakti

(20)

Di dalam KUHPerdata tidak dijelaskan mengenai kata sepakat ini, tetapi di dalam Pasal 1321 ditentukan syarat bahwa tidak ada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya karena dengan paksaan atau penipuan. Dari pasal ini dapat disimpulkan bahwa terjadinya kata sepakat antara masing-masing pihak harus diberikan secara bebas atau tidak boleh ada paksaan, kekhilafan dan penipuan.

Menurut Soebekti, menyatakan bahwa :37

Paksaan adalah paksaan rohani atau paksaan jiwa (psychis) jadi bukan paksaan badan (fisik). Selanjutnya kekhilafan terjadi apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal yang pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi objek perjanjian. Kekhilafan tersebut harus sedemikian rupa sehingga seandainya orang itu tidak khilaf mengenai hal-hal tersebut ia tidak akan memberikan persetujuan. Kemudian penipuan terjadi apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan tipu muslihat unuk membujuk pihak lawannya memberikan perizinannya. Dengan demikian suatu perjanjian yang kata sepakatnya didasarkan paksaan, kekhilafan, penipuan maka perjanjian itu di kemudian hari dapat dimintakan pembatalannya oleh salah satu pihak.

b. Cakap untuk membuat perjanjian (bertindak)

Dalam Pasal 1329 KUHPerdata menyebutkan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat suatu perjanjian dengan ketentuan oleh undang-undang tidak ditentukan lain yaitu ditentukan sebagai orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian. Selanjutnya Pasal 1330 KUHPerdata menyebutkan bahwa orang yang tidak cakap membuat perjanjian:

1) Orang yang belum dewasa

2) Mereka yang berada di bawah pengampuan/perwalian dan

(21)

3) Orang perempuan/isteri dalam hal telah ditetapkan oleh Undang-undang dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

Mengenai orang yang belum dewasa diatur dalam Pasal 1330 KUHPerdata, dinyatakan bahwa "belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan sebelumnya belum kawin". Apabila perkawinan itu dibubarkannya sebelum umur mereka genap 21 (dua puluh satu) tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa.38

Mengenai pengampuan/perwalian telah diatur dalam Pasal 433 dan 345, bunyinya sebagai berikut:

Namun dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Pasal 39 dan 40 dinyatakan untuk penghadap dan saksi paling sedikit berumur 18 tahun atau telah menikah. Dalam hal ini cakap bertindak untuk keperluan khusus. Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan cukup umur untuk kawin adalah 18 tahun. Sehingga apabila seseorang belum berusia genap 21 tahun tetapi telah kawin menimbulkan konsekuensi menjadi cakap bertindak. Dengan demikian dasar usia cakap untuk bertindak, jika tidak untuk keperluan khusus (telah diatur dalam undang-undang tertenu) maka usia yang dipakai adalah dua puluh satu tahun atau telah menikah mendasarkan Pasal 1330 KUHPerdata.

Pasal 433:

Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawa pengampuan, walaupun jika ia kadang-kadang

38 Mariam Darus Badrulzaman, dkk., Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung: Citra

(22)

cakap menggunakan pikirnya. Seorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya.

Pasal 345:

Apabila salah satu dari kedua orang tua meninggal dunia maka perwalian terhadap anak-anak kawin yang belum dewasa, demi hukum dipangku oleh orang tua yang hidup terlama, sekadar ini tidak telah dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tuanya.

Selanjutnya untuk penjelasan tentang orang perempuan/isteri dalam hal telah ditetapkan oleh undang dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat persetujuan-persetujuan tertentu, diatur pula dalam Pasal 108 KUHPerdata disebutkan bahwa seorang perempuan yang bersuami, untuk mengadakan suatu perjanjian, memerlukan bantuan atau izin (kuasa tertulis) dari suaminya. Namun hal ini sudah tidak berlaku dengan adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yakni Pasal 31 yang menyatakan: hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.

Soebekti menjelaskan bahwa dari sudut keadilan, perlulah bahwa orang yang membuat suatu perjanjian dan nantinya akan terikat oleh perjanjian itu, mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyafi benar-benar akan tanggung jawab yang dipikulnya dengan perbuatannya itu. Sedangkan dari sudut ketertiban hukum, karena seorang yang membuat suatu perjanjian itu berarti mempertaruhkan kekayaannya, maka orang tersebut haruslah seorang yang sungguh-sungguh berhak bebas berbuat dengan harta kekayaannya.39

(23)

c. Adanya suatu hal tertentu

Suatu hal tertentu dalam suatu perjanjian ialah objek perjanjian. Objek perjanjian adalah prestasi yang menjadi pokok perjanjian yang bersangkutan. Prestasi itu sendiri bisa berupa perbuatan untuk memberikan suatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.

Di dalam KUHPerdata Pasal 1333 ayat (1) menyebutkan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai suatu hal tertentu sebagai pokok perjanjian yaitu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Mengenai jumlahnya tidak menjadi masalah asalkan di kemudian hari ditentukan Pasal 1333 ayat (2).

d. Adanya suatu sebab/kausa yang halal

Sebab atau kausa di sini bukanlah sebab yang mendorong orang tersebut melakukan perjanjian. Sebab atau kausa suatu perjanjian adalah tujuan bersama yang hendak dicapai oleh para pihak, 40

40 Sri Soedewi Masjchon, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum JAminan

dan Jaminan Perorangan, Yogyakarta: Liberty, 1990, hal. 319

(24)

dimaksud adalah pihak yang tidak cakap menurut hukum dan pihak yang memberikan perizinannya atau menyetujui perjanjian itu secara tidak bebas. Misalkan orang yang belum dewasa yang memintakan pembatalan orang tua atau walinya ataupun ia sendiri apabila ia sudah menjadi cakap dan orang yang ditaruh di bawah pengampuan yang menurut hukum tidak dapat berbuat bebas dengan harta kekayaannya diwakili oleh pengampu atau kuratornya. Dan apabila syarat obyektif tidak terpenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum, artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal. Maka tiada dasar untuk saling menuntut di depan hakim. Perjanjian seperti itu disebut null and void. Sedangkan tidak terpenuhinya syarat obyektif mengakibatkan suat perjanjian batal demi hukum.

D. Prestasi dan Wanprestasi

1. Prestasi

(25)

untuk berbuat sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Dengan demikian wujud prestasi itu adalah memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.41

Prestasi adalah esesnsi dari perikatan, apabila esensi ini tercapai dalam arti dipenuhi oleh debitur maka perikatan tersebut berakhir dan agar esensi itu dapat tercapai maka artinya kewajiban itu telah dipenuhi oleh debitur.

2. Wanprestasi

Wanprestasi (default atau non fulfilment, ataupun yang disebutkan juga dengan istilah breach of contract) yang dimaksudkan adalah tidak dilaksanakan prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang dimaksudkan dalam kontrak yang bersangkutan.42

Ada berbagai model bagi para pihak yang tidak memenuhi prestasinya walaupun sebelumnya sudah setuju untuk dilaksanakannya.Model-model wanprestasi tersebut adalah sebagai berikut : 43

a. Wanprestasi berupa tidak memenuhi prestasi; b. Wanprestasi berupa terlambat memenuhi prestasi; c. Wanprestasi berupa tidak sempurna memenuhi prestasi;

d. Wanprestasi melakukan sesuatu yang oleh perjanjian tidak boleh dilakukan.

Ada empat akibat adanya wanprestasi, yaitu sebagai berikut:44

41Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Bandung : Citra Aditya Bakti , 1992, hal 7 42Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Bandung: Citra

Aditya Bakti, 2001, hal. 87-88

(26)

a. Perikatan tetap ada

Kreditur masih dapat memenuhi kepada debitur pelaksanaan prestasi, apabila ia terlambat memenuhi prestasi. Disamping itu, kreditur berhak menuntut ganti rugi akibat keterlambatan melaksanakan prestasinya. Hal ini disebabkan kreditur akan mendapat keuntungan apabila debitur melaksanakan prestasi tepat pada waktunya.

b. Debitur harus membayar ganti rugi kepada kreditur (Pasal 1243 KUH Perdata).

c. Beban risiko beralih untuk kerugian debitur, jika halangan itu timbul setelah debitur wanprestasi, kecuali bila ada kesenjangan atau kesalahan besar dari pihak kreditur. Oleh karena itu, debitur tidak dibenarkan untuk berpegang pada keadaan memaksa.

d. Jika perikatan lahir dari perjanjian timbal balik, kreditur dapat membebaskan diri dari kewajibannya memberikan kontra prestasi dengan menggunakan Pasal 1266 KUH Perdata.

E. Onrechtmatige Daad (Perbuatan Melawan Hukum)

Hukum di Prancis yang semula juga mengambil dasar-dasar dari hukum Romawi, yaitu teori tentang culpa dari Lex Aquilla, kemudian terjadi proses generalisasi, yakni dengan berkembangnya suatu prinsip perbuatan melawan hukum yang sederhana, tetapi dapat menjaring semua (catch all), berupa perbuatan melawan hukum yang dirumuskan sebagai perbuatan yang merugikan

44 R. Subekti, Jaminan-jaminan untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia.

(27)

orang lain, yang menyebabkan orang yang karena salahnya menimbulkan kerugian tersebut harus mengganti kerugian. Rumusan tersebut kemudian diambil dan diterapkan di negeri Belanda yang kemudian oleh Belanda dibawa ke Indonesia, yang rumusan seperti itu sekarang kita temukan dalam Pasal 1365 KUH Perdata Indonesia. Rumusan perbuatan melawan hukum yang berasal dari KUH Perdata Prancis tersebut pada paruh kedua abad ke-19 banyak mempengaruhi perkembangan teori perbuatan melawan hukum (tort) versi hukum Anglo Saxon45

1. Sistem Civil Law

Perkembangan sejarah tentang perbuatan melawan hukum (PMH) di negeri Belanda dapat dibagi dalam tiga periode:46

a. Periode sebelum tahun 1838

Burgerlijk Wetboek (BW) di negeri Belanda baru dikodifikasikan pada tahun 1838, secara otomatis ketentuan seperti Pasal 1365 KUH Perdata di Indonesia bahkan belum ada di Belanda.

b. Periode antara tahun 1838-1919

Setelah BW Belanda dikodifikasi, mulailah berlaku ketentuan dalam Pasal 1401 (yang sama dengan Pasal 1365 KUH Perdata Indonesia) tentang perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Meskipun kala itu sudah ditafsirkan bahwa yang merupakan perbuatan melawan hukum, baik berbuat sesuatu (aktif berbuat) maupun tidak berbuat sesuatu (pasif) yang merugikan orang lain baik yang disengaja maupun yang merupakan kelalaian sebagaimana yang dimaksud

45Munir Fuady, Perbandingan Hukum Perdata, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005, hal.

80

(28)

dalam Pasal 1366 KUHPerdata Indonesia, tetapi sebelum tahun 1919, dianggap tidak termasuk ke dalam perbuatan melawan hukum jika perbuatan tersebut hanya merupakan tindakan yang bertentangan dengan kesusilaan atau bertentangan dengan putusan masyarakat perihal memperhatikan kepentingan orang lain.

c. Periode setelah tahun 1919

Terjadi penafsiran luas melalui putusan Hoge Raad terhadap perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1401 BW Belanda atau 1365 KUH Perdata Indonesia kasus Lindenbaum versus Cohen. Perkembangan tersebut adalah dengan bergesernya makna perbuatan melawan hukum, dari semula yang cukup kaku kepada perkembangannya yang luas dan luwes. dalam Pasal 1365 KUH Perdata sebagai “rumusan ajaib” yang diharapkan dapat mencakupi setiap macam perbuatan melawan hukum, seperti satu jenis obat yang dapat mengobati segala macam penyakit.

Di Belanda sendiri, saat ini terdapat perumusan yang memiliki inti yang sama, namun dengan susunan kata yang berbeda yaitu dalam Nieuw Nederlands Burgerlijk Wetboek, konsep onrechtmatigedaad terdapat dalam buku 6 titel 3 artikel 162. Perbuatan Melawan Hukum dirumuskan sebagai47

47M. Erza Pahlevi, Perbedaan Perbuatan Melawan Hukum dan Perbuatan Menurut

Hukum,

http://semuatentanghukum.blogspot.com/2009/12/perbedaan-perbuatan-melawan-hukum-dan.html, diakses 1 April 2014.

: “Als

onrechtmatige daad worden aangemerkt een inbreuk op een recht en een doen of

nalaten in strijd met een wettelijke plicht of met hetgeen volgens ongeschreven

recht in het maatschappelijk verkeer betaamt, een ander behoudens de

aanwezigheid van een rechtvaardigingsgrond”. (Terjemahannya bebasnya yaitu :

(29)

orang lain atau perbuatan (atau tidak berbuat) bertentangan dengan kewajiban menurut undang-undang atau bertentangan dengan apa yang menurut hukum tidak tertulis yang seharusnya dijalankan oleh seorang dalam pergaulannya dengan sesama warga masyarakat dengan mengingat adanya alasan pembenar menurut hukum) Adalah hal yang sangat masuk akal bahwa perumusan baru ini lebih jelas, oleh karena mengenai unsur perbuatan melawan hukum, tidak hanya mencakup melanggar hak orang lain atau melanggar kewajiban, namun juga mencakup kesusilaan dan sikap baik bermasyarakat, dimana dua unsur yang terakhir ini timbul pada tahun 1919 yang berasal dari suatu putusan Hoge Raad dan bukan dari peraturan perundang-undangan, sementara Belanda sebagai negara

Civil Law membutuhkan perumusan yang baku melalui kodifikasi dalam bentuk

peraturan perundang-undangan (dan bukan yurisprudensi) demi terpenuhinya kepastian hukum.

2. Sistem Common Law

Sampai dengan penghujung abad ke-19, perbuatan melawan hukum belum dianggap sebagai suatu cabang hukum yang berdiri sendiri, tetapi hanya merupakan sekumpulan dari writ (model gugatan yang baku) yang tidak terhubung satu sama lain.48

Penggunaan writ ini kemudian lambat laun menghilang. Seiring dengan proses hilangnya sistem writ di Amerika Serikat, maka perbuatan melawan hukum

(30)

mulai diakui sebagai suatu bidang hukum tersendiri hingga akhirnya dalam sistem hukum Anglo Saxon, suatu perbuatan melawan hukum terdiri dari tiga bagian:49

1. Perbuatan dengan unsur kesengajaan (dengan unsur kesalahan)

2. Perbuatan kelalaian (dengan unsur kesalahan) 3. Perbuatan tanpa kesalahan (tanggung jawab mutlak)

Menurut bahasa Belanda, melawan hukum adalah wederrechtelijk (weder: bertentangan dengan, melawan; recht: hukum). Menurut Pendapat para ahli di dalam buku Teguh Prasetyo mengenai pengertian melawan hukum antara lain adalah dari: 50

a. Simon: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum pada umumnya.

b. Noyon: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hak subjektif orang lain.

c. Pompe: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum dengan pengertian yang lebih luas, bukan hanya bertentangan dengan undang-undang tetapi juga dengan hukum yang tidak tertulis.

d. Van hamel: Melawan hukum adalah onrechmatig atau tanpa hak/ wewenang.

e. Hoge raad: Dari arrest-arrest-nya dapat disimpulkan, menurut HR melawan hukum adalah tanpa hak atau tanpa kewenangan. (arrest 18-12-1911 W 9263).

f. Lamintang: Berpendapat, perbedaan diantara pakar tersebut antara lain disebabkan karena dalam bahasa Belanda recht dapat berarti ”hukum” dan

49 Ibid., hal 3

50Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah, Politik Hukum Pidana Kajian Kebijakan

(31)

dapat berarti “hak.” Ia mengatakan, dalam bahasa Indonesia kata wederrechtelijk itu berarti “secara tidak sah” yang dapat meliputi pengertian “bertentangan dengan hukum objektif” dan “bertentangan dengan hak orang lain atau hukum subjektif”.Hoge Raad pada tanggal 31 Januari 1919, N. J. 1919, W. 10365 berpendapat, antara lain sebagai berikut: “onrechmatig tidak lagi hanya berarti apa yang bertentangan dengan hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, melainkan juga apa yang bertentangan baik dengan tata susila maupun kepatutan dalam pergaulan masyarakat.”51

Melawan hukum artinya meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan (melawan hukum formil) namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat (melawan hukum materil) maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Menentukan perbuatan itu dapat dipidana, pembentuk undang-undang menjadikan sifat melawan hukum sebagai unsur yang tertulis. Tanpa unsur ini, rumusan undang-undang akan menjadi terlampau luas. Sifat ini juga dapat dicela kadang-kadang dimasukkan dalam rumusan delik culpa. Jika unsur melawan hukum itu dengan tegas terdapat di dalam rumusan delik, maka unsur juga harus dibuktikan, sedangkan jika dengan tegas dicantumkan maka tidak perlu dibuktikan. Untuk menentukan apakah suatu perbuatan dikatakan perbuatan melawan hukum diperlukan unsur-unsur:52

51Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal

44

52Theodorus M. Tuanakotta, Menghitung Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak

(32)

1) Perbuatan tersebut melawan hukum; 2) Harus ada kesalahan pada pelaku; 3) Harus ada kerugian.

Suatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan melainkan juga berdasarkan asas-asas keadilan atau asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum dalam suatu perkara, misalnya faktor negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani dan terdakwa sendiri tidak mendapat untung.

Referensi

Dokumen terkait

Jihad ini memiliki empat tingkatan: hati, lisan, harta, dan tangan (kekuatan). Jihad melawan orang kafir lebih banyak menggunakan tangan, dan jihad melawan orang munafik

Pengamatan terhadap pengelolaan satwa di Taman Satwa Punti Kayu dilakukan dengan mengikuti secara langsung pengelolaan satwa yang terdapat di kandang Taman Satwa di Punti

Masalah struktur modal merupakan masalah yang sangat penting bagi setiap perusahaan karena naik turunnya struktur modal ditandai dengan besarnya total hutang

Timor deer in captivity breeding showed the same signs of libido, estrous and mating behavior with those in natural habitat.. However, male Timor deer in

In the Name of Allah, the most Gracious and the most merciful, I would like to thank Allah SWT, the Almighty, for the blessing and the help to complete my research

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas V SD N 1 Sidabowa, sedangkan untuk sampelnya diambil seluruh siswa kelas VA sebagai kelas kontrol

Dengan nilai iradiasi yang bervariasi, sistem dengan MPPT menggunakan metode yang diusulkan dapat memberikan daya keluaran yang lebih tinggi dibandingkan dengan sistem

Hasil uji ANAVA pH air gambut yang diberikan ekstrak kasar tanin dengan penambahan tawas dan kapur adalah 0,000, yang berarti ada pengaruh sangat nyata terhadap