• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanggung Jawab Kuasa Pengguna Anggaran Terhadap Keuangan Negara Dalam Proses Pengadaan Barang Jasa Pemerintah (Studi Kasus Pengadaan Alat Kesehatan di RSU dr.F.L.Tobing Sibolga)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tanggung Jawab Kuasa Pengguna Anggaran Terhadap Keuangan Negara Dalam Proses Pengadaan Barang Jasa Pemerintah (Studi Kasus Pengadaan Alat Kesehatan di RSU dr.F.L.Tobing Sibolga)"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara merupakan suatu organisasi yang unik, yang memiliki otoritas yang bersifat memaksa di atas subjek hukum pribadi yang menjadi warga negaranya. Walau demikian pengurusan, pengelolaan atau penyelenggaraan jalannya Negara tidak luput dari mekanisme pertanggungjawaban oleh para pengurus, pengelola dan penyelenggara Negara.1

Untuk melaksanakan tugasnya sebagai suatu organisasi yang teratur, Negara harus memiliki harta kekayaan, harta kekayaan Negara ini datang dari penerimaan Negara, yang dipergunakan untuk membiayai segala proses pengurusan, pengelolaan dan penyelenggaraan Negara tersebut. Di Indonesia, hal – hal yang berhubungan dengan proses penerimaan dan pengeluaran Negara diatur dalam Undang – undang Dasar 1945, yaitu dalam ketentuan pasal 23 dan amandemennya.

2

Pasal 23 Undang – Undang Dasar 1945 yang semula terdiri dari 5 (lima) ayat dan berada di bawah ketentuan Bab VIII tentang Keuangan Negara, dalam tahun 2001 telah di amandemen menjadi 7 (tujuh) pasal di bawah 2 (dua) bab. Dalam Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa “Anggaran Pendapatan dan Belanja sebagai

1

Gunawan widjaja, Seri Keuangan Publik: Pengelolaan Harta Kekayaan Negara Suatu Tinjauan Yuridis, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal. 2

2

(2)

wujud dari pengelolaan keuangan Negara ditetapkan setiap tahun dengan undang – undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar – besarnya kemakmuran rakyat.”

Angaran Negara yang memuat keuangan Negara dalam jangka waktu satu tahun memerlukan pengelolaan yang benar dengan berdasarkan ketentuan peraturan perundang – undangan yang berlaku. Pada bagian ini, dibicarakan tentang pengelola keuangan Negara tatkala anggaran Negara telah memperoleh persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam hukum keuangan Negara, telah ditentukan pihak – pihak yang terkait dalam pengelolaan keuangan Negara (pengelola keuangan Negara) beserta tanggung jawab yang berbeda – beda berdasarkan kewenangan dan kewajiban masing – masing.3

Pengelola keuangan Negara dalam hukum keuangan Negara memiliki berbagai sebutan atau penamaan yang berbeda – beda. Perbedaan penyebutan atau penamaan bagi pengelola keuangan Negara didasarkan pada kewenangan dan kewajiban yang diberikan oleh ketentuan peraturan perundang – undangan yang berlaku. Walaupun terdapat perbedaan penyebutan atau penamaan, tanggung jawab bagi pengelola keuangan negara tidak berbeda, yaitu tidak boleh menimbulkan kerugian Negara. Hal yang paling pokok adalah mengelola keuangan Negara dengan tujuan untuk kepentingan Negara dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan

3

(3)

makmur sebagaimana yang dicita – citakan dalam alinea keempat pembukaan UUD 1945.4

Sementara itu, kewenangan khusus di bidang pengelolaan keuangan Negara didelegasikan kepada menteri keuangan untuk mengatur lebih lanjut kepada menteri, Pengelola keuangan Negara tidak dibolehkan atau dilarang menerapkan kebijakan yang tidak sesuai dengan kewenangan dan kewajiban yang dimilikinya. Ketika kebijakan ditetapkan dalam rangka pengelolaan keuangan Negara bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang – undangan yang berlaku, pengelola keuangan Negara wajib mempertanggungjwabkan kerugian Negara. Pertanggungjawaban itu boleh dilakukan kepada atasan yang lebih tinggi dan bahkan di hadapan peradilan karena terancam dengan sanksi administrasi dan/ atau sanksi pidana.

Presiden memegang kewenangan tertinggi pengelolaan keuangan Negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan Negara. Pengelolaan keuangan Negara yang berada dalam kewenangan Presiden meliputi kewenangan secara umum dan kewenangan secara khusus sehinga kedudukannya sebagai Chief Financial Officer (OFC). Pengelolaan keuangan Negara secara umum tetap berada pada Presiden dan akhir tahun angaran wajib dipertanggungjawabkan kepada pemilik kedaulatan melalui Dewan Perwakilan Rakyat. Pertanggungjawaban itu merupakan perwujudan dari pelaksanaan kedaulatan rakyat di bidang keuangan Negara.

4

(4)

lembaga pemerinth non kementerian, dan lembaga Negara berdasarkan kebutuhan masing – masing. Setelah itu, menteri keuangan mendistribusikan tiap – tiap kementerian, lembaga pemerintah non kementerian, dan lembaga Negara berdasarkan rencana kegiatan pada tahun anggaran yang bersangkutan. Pelimpahan wewenang pengelolaan keuangan Negara secara khusus dari Presiden kepada Menteri Keuangan didasarkan delegasi yang bersumber pada hukum keuangan Negara.5

1. Dikuasakan kepada Menteri Keuangan, selaku pengelola fiskal dan wakil pemerintah dalam kepemilkan kekayaan Negara yang dipisahkan;

Kekuasaan untuk mengelola keuangan Negara dari Presiden sebagai bagian dari pemerintahan Negara secara yuridis :

2. Dikuasakan kepada menteri/ pimpinan lembaga selaku pengguna anggaran/ penguna barang kementerian Negara / lembaga yang dipimpinnya;

3. Diserahkan kepada gubernur/ bupati/ walikota selaku kepala pemerintahan daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan;

4. Tidak termasuk kewenangan bidang moneter, yang meliputi antara lain mengeluarkan dan mengedarkan uang yang diatur dengan undang – undang.

5

(5)

Tidak banyak literatur yang membahas hukum tentang keuangan Negara saat ini. Hukum tentang keuangan Negara mulai dikembangkan pada akhir abad kedua puluh tatkala Negara telah ikut mengatur kepentingan warganya. Perbedaan mendasar antara keuangan Negara dan hukum tentang keuangan Negara adalah bahwa hukum tentang keuangan Negara membicarakan aspek hukum yang terkait keuangan Negara, sementara keuangan Negara hanya membicarakan aspek teknis terkait dengan pengelolaan keuangan Negara. Artinya dapat dikatakan bahwa perbedan mendasar keduanya adalah pada aspek tataran yuidis.

(6)

Negara dan pengelolaan keuangan pemerintah Negara Republik Indonesia. Oleh karena itu, meskipun berbagai ketentuan tersebut secara formal masih tetap berlaku, secara materiil sebagian dari ketentuan dalam peraturan perundang – undangan dimaksud tidak lagi dilaksanakan.6

Dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara, pemerintah senaniasa dituntut untuk memajukan kesejahteraan umum. Untuk mengemban kewajiban ini, pemerintah mempunyai kewajiban menyediakan kebutuhan rakyat dalam berbagai bentuk baik berupa barang, jasa maupun pembangunan infrastruktur. Di sisi lain,

Sejalan dengan perkembangan keadan dan untuk mewujudkan transparansi, akuntabilitas publik, serta prinsip – pinsip penyelengaraan pemerintah yang baik (good government), pelaksanaan keuangan Negara harus diakui telah memiliki landasan hukum yang lebih kokoh dibanding era sebelum era reformasi. Hal ini berkaitan dengan strategi reformasi keuang an Negara baik pada pemerintah pusat dan daerah dilaksanakan berbasis yuridis – politis, yang mana dimaksudkan untuk menghindari inkonsistensi dan benturan antar berbagai kepentingan. Strategi reformasi pengelolaan keuangan Negara meliputi reformasi di bidang perundang – undangan, penataan kelembagaan, pengembangan SDM, dan pengembangan sistem. Hal ini dimaksudkan agar reformasi keuangan dapat terarah dan terintegrasi, agar

good governance dapat tercapai dengan baik.

6

(7)

pemerintah juga memerlukan barang dan jasa itu dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan.7

Tata pemerintahan yang baik dan bersih (Good Governance and Clean

Government) adalah seluruh aspek yang terkait dengan kontrol dan pengawasan

terhadap kekuasaan yang dimiliki Pemerintah dalam menjalankan fungsinya melalui institusi formal dan informal. Untuk melaksanakan prinsip Good Governance and

Clean Government, maka pemerintah harus melaksanakan prinsip – prinsip

akuntabilitas dan pengelolaan sumber daya secara efisien, serta mewujudkannya dengan tindakan dan peraturan yang baik dan tidak berpihak (independen), serta menjamin terjadinya interaksi ekonomi dan sosial antara para pihak terkait (stakeholders) secara adil, transparan, professional, dan akuntabel8

Pengadaan Barang/ Jasa oleh pemerintah melibatkan uang yang sangat besar. Itulah sebabnya dikatakan pemerintah merupakan pembeli yang terbesar (the largest

buyer) di suatu Negara. Dalam kaitan ini pemerintah mempunyai tanggung jawab

agar kebijakan dalam bidang pengadaan mampu mendukung tujuan ekonomi dan menetapkan instrument – instrument dalam rangka mencapai tujuan tersebut.9

Pengadaan merupakan bentuk implementasi penyelenggaraan Negara dibidang angaran. Sistem pengadaan dibuat dalam rangka memudahkan pemerintah

7

Yohanes Sogar Simamora, Hukum Perjanjian – Prinsip Hukum Pengadaan Barang dan Jasa oleh Pemerintah. Yogyakarta: LaksBang PRESSindo, 2009, hlm. 1.

8

Penjelasan Umum Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

9

(8)

melakukan belanja anggaran dengan lebih efisien, efektif, dan ekonomis. Sementara disisi lain efisiensi (mencapai harga pasar) akan dicapai apabila proses pengadaan dilakukan secara transparan, diikuti dengan jumlah peserta yang cukup banyak, dan mengedepankan proses persaingan yang sehat.

Aspek penting dalam Pengadaan Barang/ Jasa di lingkungan pemerintah adalah dalam hal pertanggungjawaban keuangan. Hukum tentang keuangan Negara saat ini belum secara implisit menegaskan batasan tanggung jawab pihak – pihak yang terlibat dalam pengadaan Barang/ Jasa pemerintah.

Dalam pasal 1 ayat (1) Perpres Nomor 70 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadan Barang/ Jasa Pemerintah disebutkan pengadaan barang/ jasa pemerintah selanjutnya disebut pengadaan barang/ jasa adalah kegiatan untuk memperoleh barang/ jasa oleh Kementerian/ Lembaga/ Satuan Kerja Perangkat Daerah/ institusi yang prosesnya dimulai dari p erencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh Barang/ Jasa. Dalam ayat (2) juga disebutkan Kementerian Kementerian/ Lembaga/ Satuan Kerja Perangkat Daerah/ institusi, yang selanjutnya disebut K/ L/ D/ I adalah instansi/ institusi yang menggunakan Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara (APBN) dan/atau Anggaran Belanja Pendapatan Daerah APBD).

(9)

direncanakan, terletak pada pihak Pengguna Anggaran atau Kuasa Pengguna Anggaran. Pihak penyedia barang/ jasa bertanggung jawab untuk menghasilkan barang/ jasa sesuai dengan seluruh persyaratan kontrak yang telah dibuat. Untuk mencapai tujuan itu, bisa saja terjadi lebih dari satu penyedia barang/ jasa yang terlibat, dan masing – masing membuat kontrak terhadap pihak pengguna barang/ jasa yang disebut dengan kontrak pengadaan bersama.

Pengguna Anggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 5 Perpres Nomor 70 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadan Barang/ Jasa Pemerintah adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara. Selanjutnya dalam pasal 4 ayat (2) Undang – Undang Tentang Perbendaharaan Negara disebutkan : Menteri/ Pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/ Pengguna Barang kemeterian Negara/ lembaga yang dipimpinnya, berwenang antara lain menunjuk Kuasa Pengguna Angaran (KPA).

(10)

Satuan kerja Kuasa Pengguna Anggaran di tingkat pusat sebagai satuan kerja adalah Eselon I atau Sekertaris Jenderal, Direktorat Jenderal, Ketua Badan dan Inspektorat Jenderal, sedangkan untuk di tingkat daerah sebagai satuan kerja adalah Eselon II dan III.

Dengan diangkatnya Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) yang telah dikuasakan kepada seorang pejabat yang ditunjuk untuk melaksanakan anggaran tersebut maka selanjutnya Kuasa Penguna Angaran (KPA) mempunyai wewenang untuk mengangkat Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan juga mengangkat panitia/ pejabat pengadaan untuk melaksanakan pengadaan barang/ jasa pemerintah. Demikianlah nama satuan yang diberikan kepada tim/ personil yang diangkat oleh pejabat yang berwenang pada suatu instansi pemerintah untuk melaksanakan kegiatan pengadaan barang/ jasa.

Pesatnya pembangunan tentunya harus diimbangi dengan peran pemerintah dalam menyediakan berbagai bentuk berupa barang, jasa maupun pembangunan infra struktur.10

10

Yohanes Sogar Simamora, Disertasi,Prinsip Hukum Kontrak dalam Pengadaan Barang dan Jasa oleh Pemerintah, Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya, (Yohanes Sogar Simamora I, 2005),hal.1

(11)

pengadaan barang/ jasa yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun penegak hukum lain di Indonesia.

Penyimpangan dalam pengadaan barang dan jasa Pemerintah, seringkali terjadi karena adanya perbuatan dari pejabat pengadaan serta pejabat terkait lainnya yang melakukan penyalahgunaan wewenang yang dimilik inya. Dari beberapa proses dalam pengadaan barang/ jasa oleh pemerintah, masing–masing tahap berpotensi terjadinya penyimpangan yang dilakukan oleh pihak – pihak yang terlibat dalam pengadaan barang dan jasa. Pihak – pihak yang dimaksud adalah Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Panitia Pengadaan di satu pihak. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) adalah pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pengadaan barang/ jasa.11

Dalam praktek, pihak – pihak tersebut seringkali dianggap sebagai pihak yang bertanggungjawab apabila terjadi penyimpangan terhadap proses pengadaan barang/ jasa. Bahkan pihak – pihak tersebut langsung diproses secara pidana. Pihak – pihak yang ternyata terbukti melanggar ketentuan proses pengadaan barang/ jasa, maka :12

a. Dikenakan sanksi administrasi

b. Dituntut ganti rugi/ digugat secara perdata

c. Dilaporkan untuk diproses secara pidana

11

Peraturan Presiden tentang pengadaan barang/ jasa, Perpres No. 70 Tahun 2012, pasal 1 angka 7

12

(12)

Penyimpangan yang terjadi dalam proses pengadaan barang/ jasa harus

dipertanggungjawabkan oleh para pejabat yang terlibat dalam pengadaan, dalam

praktek, petanggungjawaban ini berbeda di beberapa kasus, dalam kasus tertentu

pihak yang bertanggung jawab adalah Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Panitia

Pengadaan, namun di beberapa kasus ada juga yang menyeret Pengguna Anggaran/

Kuasa Penguna Anggaran sebagai pihak yang bertanggungjawab.

Pengadaan alat kesehatan di Rumah Sakit Umum dr. FL. Tobing Sibolga

merupakan pengadaan yang menggunakan dana besar dimana dana tersebut berasal

dari Bantuan Pemerintah Propinsi Sumatera Utara yang tujuannya adalah untuk

melengkapi dan memodernisasi peralatan kesehatan dirumah sakit tersebut namun

sayang dalam proses pengadaannya terjadi penyimpangan yang menimbulkan

kerugian Negara

Dalam kasus Pengadaan alat kesehaan di Rumah Sakit Umum dr. FL. Tobing

Sibolga Tahun Anggaran 2012 dimana para pihak dimintai pertanggungjawabannya

baik itu Pengguna Anggaran/ Kuasa Pengguna Anggaran, Pejabat Pembuat

Komitmen, dan Panitia Pengadaan. Hal tersebut terjadi dikarenakan dalam proses

pengadaannya tidak sesuai ketentuan peraturan berlaku yang dilakukan para pihak –

pihak tersebut.

Di dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 memang tidak ada satu

pasal pun yang mengatur tentang tugas dan wewenang Kuasa Pengguna Anggaran

(13)

pengguna anggaran (PA) sebagaimana tercantum dalam dalam pasal 8, dalam ayat (4)

pasal ini semakin memperjelas bahwa tugas dan wewenang seorang KPA adalah

sesuai pelimpahannya. Untuk itu dalam pelimpahan wewenang dari PA ke KPA perlu

mencantumkan tugas dan wewenang KPA, maka akan terjadi permasalahan yang

kelak membingungkan KPA terutama dalam hal penetapan pemenang sebagaimana

tercantum dalam pasal 10 ayat (1) huruf f.13

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, menjadi menarik untuk dikaji melalui penelitian

ini mengenai tanggung jawab kuasa pengguna anggaran yang pengaturannya belum

jelas diatur dalam Undang – undang tentang keuangan Negara, maka dari itu dipilih

“Tanggung Jawab Kuasa Pengguna Anggaran Terhadap Keuangan Negara Dalam

Proses Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah” sebagai judul dalam penelitian ini.

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut di atas, maka dapat

dirumuskan tiga permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu :

1. Bagaimana ketentuan hukum tentang Keuangan Negara dalam pengadaan

barang/ jasa di instansi Pemerintah?

13

(14)

2. Bagaimana tanggung jawab hukum Kuasa Pengguna Anggaran dalam proses

pengadaan barang/ jasa pemerintah?

3. Bagaimana tangung jawab hukum Kuasa Pengguna Anggaran dalam kasus

pengadaan alat kesehatan di Rumah Sakit Umum dr. FL. Tobing Sibolga?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan melakukan penelitian terhadap judul dan permasalahan di atas adalah :

1. Untuk mengetahui implementasi hukum tentang keuangan Negara dalam pengadaan barang/ jasa di lingkungan instansi pemerintah?

2. Untuk mengetahui batasan tanggung jawab Kuasa Pengguna Anggaran dalam proses pengadaan barang/ jasa di instansi Pemerintah

3. Untuk mengetahui kedudukan hukum keuangan Negara dan tanggung jawab KPA dalam kasus pengadaan alat kesehatan di Rumah Sakit Umum dr. FL. Tobing Sibolga

(15)

Penelitian ini dapat memberikan sejumlah manfaat yang berguna bagi berbagai pihak, baik secara teoritis maupun secara praktis, antara lain :

1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat membuka wawasan dan paradigma berfikir dalam hal memahami dan mengetahui mengenai proses pengadaan barang/ jasa pemerintah. Bermanfaat juga dapat memperkaya literatur hukum tentang keuangan Negara mengingat terbatasnya referensi yang mengulas lebih dalam hukum keuangan publik, khususnya dari sudut pandang hukum tentang keuangan Negara terkait prosedur pelaksanaan pengadaan barang/ jasa di lingkungan pemerintah.

2. Secara praktis penelitian ini bermanfaaat sebagai masukan bagi aparatur pemerintah dalam menentukan kebijakan yang diambil guna menciptakan produk hukum yang sesuai dalam pengaturan masalah pertanggungjawaban keuangan Negara khususnya dalam pengadaan barang/ jasa di lingkungan pemerintah.

E. Keaslian Penulisan

(16)

Hukum Universitas Sumatera Utara. Hasil penelusuran ditemukan beberapa judul dan permasalahan tesis sebagai berikut ini:

1. Tesis atas nama Hamdani, NIM : 992105076, dengan judul “Tanggung Jawab Pembayaran Harga Kontrak Kerja Konstruksi dan Pengadaan Barang Milik Pemerintah Yang Terbakar Sebelum Serah Terima”, Fokus permasalahannya adalah tentang tanggung jawab pemerintah terhadap kontrak kerja dalam pengadaan barang pemerintah’.

2. Tesis atas nama Rini Widiastuty, NIM : 09711116, dengan judul “Perjanjian Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah ( Studi di Pemerintahan Propinsi Sumatera Utara), fokus permasalahannya adalah perjanjian dalam pengadaan barang dan jasa antara pemerintah propinsi sumatera utara dengan pihak pelaksana pekerjaan.

3. Tesis atas nama Arina Rasyiqah, NIM: 037005003, dengan judul “Analisis Tindak Pidana Korupsi Dalam Penyalahgunaan Wewenang Proyek Pengadaan Barang dan Jasa”. Fokus permasalahannya adalah tindak pidana korupsi dalam penyalahgunaan wewenang proyek pengadaan Barang dan Jasa.

(17)

1. Bagaimana ketentuan hukum tentang Keuangan Negara dalam pengadaan

barang/ jasa di instansi Pemerintah?

2. Bagaimana tanggung jawab hukum Kuasa Pengguna Anggaran dalam dalam

proses pengadaan barang/ jasa pemerintah?

3. Bagaimana tangung jawab Kuasa Penguna Anggaran dalam kasus pengadaan

alat kesehatan di Rumah Sakit Umum dr. FL. Tobing Sibolga?

Dari perbandingan judul dan fokus kajian di dalam penelitian ini denga penelitian sebelumnya jelas menunjukkan perbedaan yang signifikan. Sehingga dapat dikatakan bahwa penelitian ini adalah asli, sebab terhadap judul dan rumusan masalah di dalam penelitian ini tidak memiliki kemiripan dengan judul dan permasalahan penelitian sebelumnya, sehingga penelitian ini dapat dikatakan tidak mengandung unsur plagiat terhadap karya tulis orang lain.

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional

1. Kerangka Teori

(18)

hukum publik mengatur kepentingan umum, seperti mengatur hubungan antar warga dan Negara. Ia berurusan dengan sekalian hal yang berhubungan dengan masalah kenegaraan serta bagaimana Negara itu melaksanakan tugasnya.14 Pemisahan ke dalam hukum perdata dan publik menyebabkan adanya kebutuhan untuk menciptakan pranata yang mengukuhkan pemisahan tersebut, seperti misalnya ada prosedur yang berbeda dalam menyelesaikan perkara perdata dan publik.15

Perbuatan melawan hukum pada KUH perdata berasal dari kode Napoleon. Dalam pasal 1365 dinyatakan bahwa barang siapa melakukan perbuatan yang membawa kerugian kepada orang lain mewajibkan orang yang karena salahnya mengganti kerugian tersebut. Menurut Rosa Agustina, perbuatan melawan hukum yang lahir berdasarkan prinsip tersebut di atas adalah merupakan turunan dari teori

corrective justice yang mengajarkan setiap orang harus dilindungi hak – haknya dan

dipulihkan keadaannya (seperti semula sebelum PMH itu terjadi) agar ada

Hal ini berkaitan erat dengan tanggung jawab hukum penyelenggara Negara dalam proses pengadaan barang/ jasa, yakni bagaimana Negara menjalankan tugas – tugasnya dalam kerangka hukum publik namun bersinggungan erat dengan kegiatan dalam hukum perdata/ privat. Tanggung jawab hukum berkaitan erat dengan konsep melawan hukum (PMH) yang diatur pasal 1365 s.d. pasal 1380 KUH Perdata.

14

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung : Citra Aditya Bhakti, 1996, hlm. 87.

15

(19)

keseimbangan antara keadilan dan kepastian hukum yang menjadi tujuan hukum.16 Rosa Agustina kemudian menguraikan bahwa unsur – unsur perbuatan melawan hukum adalah : (a) perbuatan tersebut melawan hukum; (b) harus adanya kesalahan kepada pelaku; (c) Harus ada kerugian; (d) Harus ada hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian.17

Teori tentang tanggung jawab hukum telah berkembang dari (a) Tanggung jawab yang berdasarkan kesalahan (fault) yang mencakup kelalaian (neligence) dan ketidakpatutan (misappropriation/misrepresentation) dan (b) Tanggung Jawab berdasarkan wanprestasi (breach of contrac), kemudian menjadi (c) Tanggung jawab tanpa kesalahan (strict liability). Kemudian, dengan berkembangnya industri yang makin menghasilkan resiko yang bertambah besar dan makin rumitnya hubungan sebab akibat dalam penentuan risiko, maka teori hukum telah meninggalkan konsep tanggung jawab kesalahan menjadi konsep tanggung jawab atas risiko.

18

Menurut Eep Saefullah Wiradipradja, istilah strict liability secara garis besar tidaklah berbeda dengan absolute liability dikemukakan pertama kalinya oleh John Salmon dalam bukunya The Law of Torts pada tahun 1907. Sedangkan ungkapan

strict liability dikemukakan oleh WH. Winfield pada tahun 1926 dalam sebuah artikel

yang berjudul The Myth Of Absolute Liability. Saefullah menggaris bawahi

16

Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta: FHUI Pascasarjana 2003, hlm. 91-96 dalam Edmon Makarim, Tangung Jawab Penyelenggara Terhadap Tata Kelola yang Baik dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik (Good Elektronik Governance), Ringkasan Disertasi Program Doktor Pasca Sarjana FHUI, 2009.

17

Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta : FHUI Pascasarjana, 2003, hlm. 51-53

18

(20)

pernyataan Salmond yang menggunakan istilah absolute liability dan mengungkapkan perbedaan pendapat antara Salmond dengan Winfield terhadap kasus Rylands v. Fletcher.19 Terhadap putusan tersebut, Salmond berpendapat bahwa hal tersebut adalah contoh penerapan absolute liability yang dikenal dalam hukum anglo saxon. Sementara Winfield justru berpandangan lain bahwa keputusan pengadilan dalam kasus tersebut bukanlah penerapan absolute liability melainkan strict liability, karena adanya setengah lusin pengecualian yang dapat membebaskan tergugat dari tanggung jawab. Pendapat Winfield diperkuat oleh Friedman yang juga berpendapat sama, karena ditemukannya banyak pembatasan dalam pelaksanaannya, yang berarti lebih tepatnya adalah strict liability.20

Edmon Makarim berpendapat bahwa setelah mencermati dan menelusuri pendapat para ahli dan dengan melihat penguraian pengertian dalam kasus hukum Black Law Dictionary, maka terlihat jelas bahwa sebenarnya pengertian strict liability adalah sangat berbeda dengan absolute liability. Kedua istilah tersebut sesungguhnya

19

Dalam kasus tersebut permasalahan pokoknya adalah adanya seorang pengusaha ingin membangun tempat penampungan air di atas tanah yang disewanya untuk pasokan tenaga uap untuk kepentingan bisnis tekstilnya. Sementara areal tanah tersebut dikenal sebagai lahan untuk pertambangan, salah satunya adalah yang dikelola oleh Thomas Fletcher yang lokasi pertambangannya berada di bawah lokasi tempat penampungan air Rylands. Kemudian akibat konstruksi reservoir tersebut ternyata mengakibatkan air mengalir dan menggenangi usaha pertambangan Fletcher karena kontraktor yang digunakan oleh Rylands tidak menutup beberapa saluran pertambangan yang tidak terpakai karena sudah tertutup lumut, sehingga terjadilah gugatan kepada Ryland karena telah membuat kerusakan di lokasi pertambangan milik Fletcher. Kemudian pengadilan memutuskan bahwa tergugat harus bertanggung jawab karena pembangunan Reservoir adalah merupakan kegiatan pemanfaatan yang tidak alamiah (not-natural use) dengan kelaziman kondisi di sekitarnya sehingga tindakan tersebut adalah tindakan yang menciptakan suatu risiko kepada lingkungannya, oleh karenanya Rylands harus bertanggung jawab terhadap segala konsekuensi yang ditimbulkannya kepada pihak lain. Dalam Makarim. Op Cit, hlm. 96.

20

(21)

mempunyai dua esensi yang berbeda sehingga selayaknya tidak dapat diterjemahkan ke dalam satu istilah umum sebagai tanggung jawab mutlak saja. Pada esensinya, dapat dikatakan bahwa prinsip absolute liability sesungguhnya adalah penerapan

strict liability tanpa adanya kemungkinan pemanfaatan pengecualian (strict liability

without defense).21

Menurut pendapat umum para juris di zaman romawi tentang teori hukum dikatakan bahwa sebuah organisasi atau institusi dapat menjadi subyek hukum (recht

subject) sama seperti manusia pada umunnya sebagai subyek hukum (natUndang –

Undanglijke person).

22

Organisasi atau institusi tersebut dapat berupa badan hukum privat dan badan hukum publik. Negara adalah badan hukum publik yang tidak mungkin melaksanakan kewenangannya tanpa melalui organnya yang diwakili oleh pemerintah sebagai otoritas publik.23 Dan proses Pengadaan Barang/ Jasa pada dasarnya menempatkan Negara sebagai subyek hukum dalam interaksinya dengan entitas privat baik perusahaan ataupun perorangan. Hal ini sejalan dengan prinsip

good governance yang mengusung asas partisipasi masyarakat dan responsiveness di

samping asas – asas lainnya seperti transparansi, akuntabilitas, efektifitas dan efisiensi, kepatuhan hukum, consensus oriented, dan equality and inclusiveness.24

21

Ibid, hlm. 102

22

Arifin P Soeria Atmadja, Keuangan Publik dalam Perspektif Hukum – Praktik dan Kritik, Depok: Fakultas Hukum UI, 2005, hlm. 142.

23

Ibid, hlm. 106

24

UNESCAP, Publikasi United Nation Economic and Sosial Commission for Asia and The Pasific, 2010.

(22)

Pengadaan Barang/ Jasa di lingkungan instansi pemerintah merupakan salah satu bentuk pelaksanaan kegiatan yang menjadi program pemerintah yang anggarannya dibiayai melalui APBN/ APBD maupun dari bantuan Pinjaman/ Hibah Luar Negeri (PHLN). Pengadaan Barang/ Jasa di lingkungan instansi pemerintah yang m enggunakan APBN/ APBD harus menggunakan pedoman Pengadaan Barang/ Jasa sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 beserta perubahannya.

Pengadaan Barang/ Jasa di lingkungan pemerintah wajib menerapkan prinsip – prinsip sebagai berikut :25

a. Efisien, berarti Pengadaan Barang/ Jasa harus diusahakan dengan menggunakan dana dan daya yang minimum untuk mencapai kualitas dan sasaran dalam waktu yang ditetapkan atau menggunakan dana yang telah ditetapkan mencapai hasil dan sasaran dengan kualitas yang maksimum;

b. Efektif, berarti Pengadaan Barang/ Jasa harus sesuai dengan kebutuhan dan sasaran yang telah ditetapkan serta memberikan manfaat yang sebesar – besarnya;

c. Transparan, berarti semua ketentuan dan informasi mengenai Pengadaan Barang/ Jasa bersifat jelas dan dapat diketahui secara luas oleh Penyedia Barang/ Jasa yang berminat serta oleh masyarakat pada umumnya;

d. Terbuka, berarti pengadaan Barang/ Jasa dapat diikuti oleh semua Penyedia Barang/ Jasa yang memenuhi persyaratan/ kriteria tertentu berdasarkan ketentuan dan prosedur yang jelas;

e. Bersaing, berarti Pengadaan Barang/ Jasa harus dilakukan melalui persaingan yang sehat diantara sebanyak mungkin Penyedia Barang/ Jasa yang setara dan memenuhi persyaratan, sehingga dapat diperoleh barang/ jasa yang ditawarkan secara kompetitif dan tidak ada intervensi yang mengganggu terciptanya mekanisme pasar dalam Pengadaan Barang/ Jasa;

25

(23)

f. Adil/ tidak diskriminatif, berarti memberikan perlakuan yang sama bagi semua calon Penyedia Barang/ Jasa dan tidak mengarah untuk member keuntungan kepada pihak tertentu, dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional;

g. Akuntabel, berarti harus sesuai dengan aturan dan ketentuan yang terkait dengan Pengadaan Barang/ Jasa sehingga dapat dipertanggungjawabkan.

Pelaksanaan proses Pengadaan Barang/ Jasa sebagai salah satu bentuk pelaksanaan kegiatan dalam pemerintahan mempunyai akibat hukum selain dari pelaksanaan perjanjian antara Pengguna Barang/ Jasa dan Penyedia Barang/ Jasa, yakni terkait asas pemerintahan menurut hukum serta sumber pelimpahan wewenang pada Pengguna Barang/ Jasa.

Asas legalitas dirasa belum cukup dijadikan dasar untuk menjalankan suatu Negara hukum. Sebab mungkin sekali suatu tindakan hukum pemerintah itu dapat dinilai sangat baik (doelmatig), sesuai dan masuk dalam pengertian rumusan wewenang pemerintahan yang diberikan oleh undang – undang yang bersangkutan, namun cara penggunaan wewenang itu dengan cara paksaan yang bersifat kesewenang – wenangan.

(24)

pemerintahan yang baik.26

26

Indroharto, Usaha Memahami Undang – Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991, hlm. 60-63

Secara teoritik, kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang–undangan Tersebut diperoleh melaui tiga cara, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat.

Indroharto menuliskan bahwa pada atribusi terjadi pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang–undangan. Di sini oleh peraturan perundang–undangan sendiri dilahirkan atau diciptakan suatu wewenang pemerintahan baru Legislators yang kompeten untuk memberikan atribusi wewenang pemerintahan itu dibedakan antara : (a) yang berkedudukan sebagai original legislator, di Negara kita di tingkat pusat adalah adalah MPR sebagai pembentuk Konstitusi (Konstituante) dan DPR bersama-sama Pemerintah sebagai yang melahirkan suatu Undang – Undang dan di tingkat daerah adalah DPRD dan Pemeruntah Daerah yang melahirkan Perda. (b) yang bertindak delegated legislator, seperti Presiden yang berdasar pada suatu ketentuan Undang – Undang mengeluarkan suatu Peraturan Pemerintah dimana diciptakan wewenang – wewenang Pemerintahan kepada Badan atau Pejabat TUN tertentu.

(25)

Sebaliknya pada mandat, disitu tidak terjadi suatu pemberian wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari Badan atau Pejabat TUN yang satu kepada yang lain. Dalam hal mandat maka disitu tidak terjadi perubahan apa – apa mengenai wewenang yang telah ada, yang ada hanya suatu hubungan intern.27

Berikut pendapat para ahli hukum dan peraturan perundangan terkait cara memperoleh wewenang (atribusi, delegasi, dan mandat) :

28

1. H.D Van Wijk/ Willem Konijnenbelt

Atribusi merupakan pemberian wewenang pemerintah oleh pembuat Undang – Undang kepada organ pemerintahan, Delegasi merupakan pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya, Mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengijinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya.

2. F.A.M Stroink/ J.G Steenbeek29

Atribusi merupakan berkenaan dengan penyerahan wewenang baru, Delegasi merupakan menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada oleh organ yang tela memperoleh kewenangan secara atributif kepada orang lain.

27

Indroharto, Ibid, hlm. 64-66

28

Disarikan dari Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara (edisi revisi), Jakarta : Rajawali Pers, 2011, hlm. 102-107.

29

(26)

3. R.J.H.M Huisman

Delegasi merupakan pelimpahan wewenang yang kewenangannya tidak dapat dijalankan secara insidental oleh organ yang memiliki wewenang asli dan terjadi peralihan tanggung jawab. Delegasi harus berdasarkan Undang – Undang dan harus tertulis. Mandat merupakan perintah untuk melaksanakan yang dapat dilaksanakan sewaktu-waktu oleh mandans serta tidak terjadi peralihan tanggung jawab. Mandat tidak harus berdasarkan Undang – Undang dan dapat dilaksanakan secara lisan.

4. Philipus M. Hadjon

Delegasi merupakan pelimpahan dari suatu organ pemerintahan kepada orang lain dengan peraturan perundang-undangan, tanggun jawab dan tanggung gugat beralih kepada delegataris. Mandat merupakan pelimpahan dilaksanakan dalam hubungan rutin atasan – bawahan, tidak terdapat peralihan tanggung jawab dan tanggung gugat.

5. Algemene Bepalingen Van Administratief Recht

Atribusi wewenang dikemukakan bilamana Undang – Undang (dalam arti materiil) menyerahkan wewenang tertentu kepada organ tertentu. Delegasi merupakan pelimpahan wewenang oleh organ pemerintahan yang telah diberi wewenang kepada organ lainnya yang akan melaksanakan wewenang yang telah dilimpahkan itu sebagai wewenangnya sendiri

(27)

Delegasi merupakan pelimpahan wewenang oleh organ pemerintahan kepada orang lain untuk mengambil keputusan dengan tanggung jawab sendiri. Mandat merupakan pemberian wewenang oleh organ pemerintahan kepada organ lainnya untuk mengambil keputusan atas namanya.

Artinya dalam penyerahan wewenang melalui delegasi ini, pemberi wewenang telah lepas dari tanggung jawab hukum atau tuntutan pihak ketiga, jika dalam penggunaan wewenang itu menimbulkan kerugian pada pihak lain. Dalam pelimpahan wewenang pemerintahan melalui delegasi ini terdapat syarat – syarat sebagai berikut :

a. Delegasi harus defenitif dan pemberi delegasi (delegans) tidak dapat lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu;

b. Delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perUndang – Undangan, artinya delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan untuk itu dalam peraturan perundang – undangan;

c. Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hirearki kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi;

d. Kewajiban memberikan keterangan (penjelasan), artinya delegans berhak untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut

(28)

Peraturan perundangan yang berlaku merupakan dasar legalitas dari setiap perbuatan pemerintah yang dilakukan oleh para badan dan Pejabat TUN. Prajudi Atmosudirjo menyebutkan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam penyelenggaraan pemerintah, yaitu :

a. Efektifitas, artinya kegiatan harus mengenai sasaran yang telah ditetapkan; b. Legimitas, artinya kegiatan administrasi Negara jangan sampai menimbulkan heboh oleh karena tidak dapat diterima oleh masyarakat setempat atau lingkungan yang bersangkutan;

c. Yuridiktas, bahwa perbuatan para pejabat administrasi Negara tidak boleh melanggar hukum dalam arti luas;

d. Legalitas, artinya tidak satu pun perbuatan atau keputusan administrasi Negara yang dilakukan tanpa dasar Undang – Undang;

e. Moralitas f. Efisiensi

g. Teknik dan teknologi.30

Pertanggungjawaban keuangan Negara dalam hal pengadaan barang/ jasa dimulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan sesuai dengan prinsip umum manajemen. Dalam perspektif hukum publik, yang melakukan tindakan hukum sehingga dapat dibebani pertanggungjawaban adalah jabatan (ambt) yakni suatu lembaga dengan lingkup pekerjaan sendiri yang dibentuk untuk waktu lama dan kepadanya diberikan tugas dan wewenang. Sehingga, seseorang tersebut dikategorikan sebagai pejabat adalah ketika ia menjalankan kewenangan untuk dan atas nama jabatan. Sementara ketika seseorang tersebut melakukan perbuatan hukum

30

(29)

bukan dalam rangka jabatan atau bertindak tidak sesuai dengan kewenangan yang ada pada jabatan itu, maka ia tidak dapat dikategorikan sebagai pejabat atau pejabat yang tidak berwenang (onbevoegd).

Sesuai dengan amanat Pasal 23 C Undang – Undang Dasar 1945, Undang – Undang tentang Keuangan Negara perlu menjabarkan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang – Undang Dasar tersebut ke dalam asas – asas umum yang meliputi baik asas – asas yang telah lama dikenal dalam Pengelolaan Keuangan Negara, seperti asas tahunan, asas universalitas, asas kesatuan, dan asas spesialitas maupun asas – asas baru sebagai pencerminan best practices (penerapan kaidah – kaidah yang baik) dalam Pengelolaan Keuangan Negara, antara lain :31

a. Akuntabilitas berorientasi pada hasil;

b. Profeionalitas;

c. Proporsionalitas;

d. Keterbukaan dalam pengelolaan Keuangan Negara;

e. Pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri.

Implementasi penyelenggaraan Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang – Undang No. 17 Tahun 2003 tentang keuangan Negara dijabarkan dalam bentuk

31

(30)

pelaksanaan program dan kegiatan yang tercantum dalam APBN/ APBD setiap tahunnya.

Menurut The oxford advance learner’s dictionary. Akuntabilitas adalah “required or excepted to give an explanation for one’s action”. Dengan kata lain, dalam akuntabilitas terkandung kewajiban untuk menyajikan dan melaporkan segala tindak tanduk dan kegiatannya terutama di bidang administrasi keuangan kepada pihak yang lebih tinggi/atasan nya. Dalam hal ini, terminology akuntabilitas dilihat dari sudut pandang pengendalian tindakan pada pencapaian tujuan . tolak ukur atau indikator pengukuran kinerja adalah kewajiban individu dan organisasi untuk mempertanggungjawabkan capaian kinerjanya melalui pengukuran yang subyektif mungkin. Media pertanggungjawaban dalam konsep akuntabilitas tidak terbatas pada laporan pertanggungjawaban saja, tetapi mencakup juga praktek – praktek kemudahan si pemberi mandat mendapatkan informasi, baik langsung maupun tidak langsung secara lisan maupun tulisan. dengan demikian, akuntabilitas akan tumbuh subur pada lingkungan yang mengutamakan keterbukaan sebagai landasan pertanggungjawaban.32 Jadi pertanggungjawaban dibarengi dengan sanksi, bila terdapat sesuatu yang tidak beres dalam keadaan wajib menanggung segala sesuatunya tersebut.33

32

Arifin P. Soeria Atmaja, Mekanisme Pertanggungjawaban Keuangan Negara, Suatu Tinjauan Yuridis, (Jakarta : Anggota IKAPI, PT. Gramedia, 1986), hal.42

33

(31)

Menurut Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatrur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 36 Tahun 2012 Tentang petunjuk teknis penyususunan, penetapan, dan penerapan standar pelayanan, “akuntabilitas adalah dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Sedangkan asas akuntabilitas yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti yang tertuang dalam pasal 3 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggara Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.

Menurut Kohler’s Dictionary of Accountant dalam W. Riawan Tjandra, akuntabilitas adalah:34

3434

W. Riawan Tjandra, Hukum Keuangan Negara, ( Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2006) hal. 100.

1.kewajiban pegawai, agen, atau orang lain untuk menyediakan laporan yang memuaskan secara berkala tentang tindakan failuero yang diikuti pemberian wewenang;

2. Kemudian (akuntansi pemertintahan) tujuan atas tanggung jawab atau pembayaran sejumlah kewajiban petugas;

3. ukuran tanggung jawab atau kewajiban lain dalam bentuk uang , unit kepemilikan, atau bentuk lainnya;

(32)

Dilihat dari sifatnya, akuntabilitas dapat dibedakan atas dual-accountability

structure dan multiple-accountability structure. Pada sektor swasta umumnya

(33)

2. Landasan Konsepsional

Landasan konsepsi ini dibuat untuk menghindari penafsiran yang keliru dan berbeda terhadap istilah – istilah dan/ atau defenisi yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu :35

a. Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut dengan Pengadaan Brang/ Jasa adalah kegiatan untuk memperoleh Barang/ Jasa oleh Kementerian/ Lembaga/ Satuan Kerja Perangkat Daerah/ Institusi yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh Barang/ Jasa.

b. Kementerian/ Lembaga/ Satuan Kerja Perangkat Daerah/ Institusi, yang selanjutnya disebut K/ L/ D/ I adalah instansi/ institusi yang menggunakan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan/ atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).

c. Pengguna Barang/ Jasa adalah Pejabat pemegang kewenangan penggunaan Barang/ Jasa milik Negara/ Daerah di masing – masing K/ L/ D/ I.

d. Lembaga Kebijakam Pengadaan Barang/ Jasa pemerintah yang selanjutnya disebut LKPP adalah lembaga pemerintah yang bertugas mengembangkan dan merumuskan kebijakan Pengadaan Barang/ Jasa sebagaimana dimaksud dalam

35

(34)

Peraturan Presiden Nomor 106 Tahun 2007 tentang Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah.

e. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

f. Pengguna Anggaran yang selanjutnya disebut PA adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran Kemeterian/ Lembaga/ Satuan Kerja Perangkat Daerah atau Pejabat yang disamakan pada institusi pengguna APBN/ APBD.

g. Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disebut KPA adalah Pejabat yang ditetapkan oleh PA untuk menggunakan APBN atau ditetapkan oleh Kepala Daerah untuk menggunakan APBD

h. Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disebut PPK adalah Pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan Pengadaan Barang/ Jasa.

i. Unit layanan Pengadaan yang selanjutnya disebut ULP adalah unit organisasi Kementerian/ Lembaga/ Pemerintah Daerah/ Institusi yang berfungsi melaksanakan Pengadaan Barang/ Jasa yang bersifat permanen, dapat berdiri sendiri atau melekat pada unit yang sudah ada.

(35)

k. Panitia/ Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan adalah panitia/ pejabat yang ditetapkan oleh PA/ KPA yang bertugas memeriksa dan menerima hasil pekerjaan

l. Aparat Pengawas intern Pemerintah atau pengawas intern pada institusi lain yang selanjutnya disebut APIP adalah aparat yang melakukan pengawasan melalui audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lain terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi

m. Penyedia Barang/ Jasa adalah badan usaha atau orang perseorangan yang menyediakan Barang/ Pekerjaan Konstruksi/ Jasa Konsultasi/ Jasa lainnya.

n. Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan oleh Pengguna Barang.

o. Perkerjaan Konstruksi adalah seluruh pekerjaan yang berhubungan dengan pelaksanaan konstruksi bangunan atau pembuatan wujud fisik lainnya

p. Kontrak pengadaan barang/ jasa yang selanjutnya disebut Kontrak adalah perjanjian tertulis antara PPK dengan penyedia barang/ jasa atau pelaksana swakelola

(36)

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penlitian yang digunakan dalam dalam penulisan ini adalah yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengacu pada norma – norma hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang – undangan.36

Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis yaitu dengan memberi gambaran secara khusus berdasarkan data yang disusun secara sistematis. Metode ini memusatkan diri pada pemecahan masalah – masalah yang aktual. Data yang dikumpulkan mula – mula disusun, dijelaskan kemudian di analisa.

Kajian - kajian ilmu hukum beserta kaedah – kaedahnya yang berlaku di masyarakat kemudian mendeskripsikan fenomena yang ada dan menganalisanya secara sistematis

37

36

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: IU Press, 1996), hal. 51.

37

Winarno Surakhmad. Metode dan Tekhnik dalam bukunya Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode Tekhnik, Bandung: Tarsito, 1994

(37)

2. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini digunakan untuk memperoleh data yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang ditulis. Akumulasi data dilakukan dengan studi kepustakaan. Dengan studi kepustakaan maka sumber data diasarkan pada sumber bahan hukum primer, sekunder, dan tersier sebagai bahan data dasar

a. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :

- Undang – Undang Dasar 1945;

- Undang – Undang No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara

- Undang – Undang No. 1 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara;

- Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum;

- Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2012 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah 23 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum

- Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2010 Tentang Standar Akuntansi Pemerintahan;

(38)

- Keputusan Presiden No. 6 Tahun 1999 tentang perubahan atas Keputusan Presiden No. 16 Tahun 1994 tentang pelaksanaan APBN sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan keputusan Presiden No. 8 Tahun 1997 tentang pelaksanaan APBN;

- Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah

- Peraturan Presiden No. 70 Tahun 2012 Tentang Perubahan kedua atas Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah

Bahan hukum sekunder yaitu bahan – bahan yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer yakni : hasil karya ilmiah para sarjana, buku – buku, jurnal, tesis, surat kabar, majalah, artikel.

Bahan hukum tersier yaitu bahan – bahan yang memberikan informasi tentang bahan primer dan bahan sekunder, seperti : Kamus hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pedoman Ejaan yang Disempurnakan.

3. Tekhnik Pengumpulan Data

Tekhnik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan (library

(39)

pengadaan barang/ jasa di dalam penelitian ini. Baik terhadap bahan hukum primer, sekunder, maupun tersier, diperoleh melalui membaca referensi, melihat, mendengar melalui seminar, pertemuan – pertemuan ilmiah, mendownload data melalui internet. Semua data yang diperoleh akan dipilah – pilah dan diurutkan guna memperoleh data yang sesuai dengan permasalahan pengadaan barang/ jasa di dalam penelitian ini.

4. Analisis Data

Menganalisa data merupakan kegiatan pengkajian terhadap hasil dari pengolahan data untuk menarik kesimpulan dari hasil suatu penelitian. Data yang diperoleh akan dikumpulkan dan dianalisa sehingga menjadi data pembahasan yang sinergis, terpadu dan merupakan suatu frame dari penulisan ini sehingga mudah dipahami.

Referensi