• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurnal Sastra Bandingan dan Sejarah Sast

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Jurnal Sastra Bandingan dan Sejarah Sast"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

SASTRA BANDINGAN DAN SEJARAH SASTRA INDONESIA

Sebuah tulisan yang meninjau kembali jurnal yang ditulis oleh Ayu Sutarto dalam majalah sastra

Dosen Pengampu :

Novi Diah Haryanti, S.Pd.,M.Hum.

Ditulis oleh:

Nurul Hikmah ( 1113013000011 )

SEMESTER III

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

Judul : Sastra Bandingan dan Sejarah Sastra Indonesia Penulis : Ayu Sutarto

Terbit : Majalah, Jurnal Kritik, No 3 Tahun 2014

Tulisan yang mengupas tentang sastra bandingan (comparative literature) ini merupakan jurnal yang ditulis oleh Ayu Sutarto dengan judul utama Sastra Bandingan dan Sejarah Sastra Indonesia. Tulisan yang diawali dengan pandangan bahwa ketika berdiskusi tentang sastra bandingan maka ada hal yang menarik pula untuk diamati atau diteliti yakni mengenai fenomena era pascamodern (postmodern) yang tentunya memiliki pengaruh terhadap perkembangan sastra bandingan.

Ayu Sutarto, merumuskan pandangan yang ditulis pada paragraf pertamanya dengan dua buah pertanyaan. “Masih relevankah mengupas tentang sastra bandingan ketika dunia telah mengalami fenomena tanpa batas (borderless) akibat pesatnya perkembangan teknologi informasi? Apakah pendekatan yang kita gunakan dalam telaah sastra bandingan harus berubah ketika dunia mengalami proses homogenisasi budaya (cultural homogenization) yang mengancam pusaka/warisan budaya (cultural heritage) bangsa-bangsa di berbagai belahan

bumi?” (paragraf 2). Ayu Sutarto mencoba menyadarkan bahwa manusia sedang mengalami perubahan besar dalam era teknologi informasi saat ini. Seluruh warga bumi dapat dengan mudah berdialog tentang apa saja dengan bangsa lain tanpa mempertimbangkan berbagai latar perbedaan. Semua saling mempengaruhi dalam berbagai kegiatan mulai dari kegiatan ekonomi, politik, agama, keilmuan, termasuk pula dunia kesusastraan. Berkembangnya pula sastra siber (cyber literature), berkembangnya berbagai penyakit sosial akibat arus teknologi dan informasi

tanpa penyaringan, karena semua diterima dan dicerna bulat-bulat hingga berdampak pula pada tradisi bersastra di berbagai belahan bumi mengalami perubahan yang cukup berarti dalam hal mempengaruhi proses kreatif pengarang. Ayu Sutarto menawarkan gagasannya agar para pemerhati dan peneliti sastra yang menggeluti disiplin sastra bandingan melakukan redefinisi dan reinterpretasi terhadap disiplin sastra bandingan agar dapat beradaptasi dengan prahara perubahan yang menumbuhkan kekhawatiran akan terjadinya homogenisasi budaya dan hilangnya jati diri bangsa.

Ayu Sutarto mencantumkan dua subjudul dalam tulisannya. Tulisannya dengan subjudul “Sastra Bandingan dan Sejarah Sastra” mengulas berbagai pandangan para ahli mengenai kajian sastra bandingan dan sejarah sastra. Ayu Sutarto mengakui bahwa definisi mengenai sastra bandingan saat ini masih menjadi perdebatan. Seperti yang diungkapkan Ulrich Weisstein (1973), bahwa pada umumnya para pakar seperti Tieghem, Carre, Guyard,

(3)

yang berasal dari dirinya sendiri. Disiplin yang satu ini dianggap sebagai cabang dari sejarah dan teori sastra. Tetapi yang hingga saat ini juga belum mendapat kesepakatan bulat adalah benarkah sebuah entitas yang disebut sastra memiliki sejarah? Yang kemudian bermunculan berbagai macam pertanyaan mengenai keterkaitan antara sastra bandingan dan sejarah sastra. Ayu Sutarto mencoba menjelaskan bagaimana para pemerhati sastra bandingan sendiri mengalami kesulitan dalam mendefinisikan sastra bandingan atau pun sejarah sastra sehingga baik definisi sastra bandingan maupun sejarah sastra agaknya masih memiliki banyak celah untuk didefinisikan dan diinterpretasikan kembali. Dan kegiatan membanding-bandingkan

senyatanya tidak akan pernah surut karena merupakan kodrat manusia.

Ayu Sutarto kembali mengingatkan bahwa telaah sastra bandingan senyatanya dimulai di

Eropa yang merupakan suatu bentuk apresiasi terhadap orisinalitas karya sastra asing, yaitu pada abad ke-16 yang dikenal sebagai masa Renaisans. Ayu Sutarto mengajak untuk menyimak bagaimana Carre mendefinisikan sastra bandingan merupakan cabang dari sejarah sastra, yakni tentang hubungan spiritual antar bangsa, karya satu dengan yang lain atau kehidupan sastrawan satu dengan yang lain. Meskipun akhirnya definisi Carre ini banyak dipertanyakan dan digugat karena dianggap terlalu sederhana untuk sebuah dunia disiplin sastra yang luas dan selalu berkembang. Maman S. Mahayana (2009) menegaskan, terdapat dua hal yang sangat mungkin menjadi masalah dalam sastra bandingan sebuah disiplin ilmu. Pertama, persoalan yang menyangkut konsep dan yang kedua terkait tujuan, Ayu Sutarto juga mengatakan perlu kiranya dipertanyakan kembali rumusan-rumusan sastra bandingan yang pernah ada, dan pertimbangan tujuan sastra bandingan menjadi lebih kompleks. Dalam pengamatan Sapardi Djoko Damono, sastra bandingan tidak menghasilkan teori sendiri, dan oleh karena itu hampir semua teori bisa dimanfaatkan sesuai dengan objek dan tujuan penelitiannya. Seiring dengan proses membanding-bandingkan muncullah pertanyaan apa saja yang bisa dibanding-bandingkan? Dalam menjawab hal ini Sapardi Djoko Damono merujuk kepada pandangan Remak yang mengatakan bahwa sastra bandingan bahwa sastra bandingan merupakan kajian sastra di luar batas-batas sebuah negara dan kajian hubungan antara sastra dengan bidang ilmu lain. Sapardi Djoko Damono juga menegaskan apabila telaah sastra bandingan hanya merujuk kepada

(4)

mengutip pandangan Francois Jost bahwa minat yang tumbuh dengan cepat dalam sastra bandingan belum disertai dengan pemahaman yang memadai tentang substansi sastra bandingan dan tujuannya. Dibalik pertanyaan terdapat hubungan antara sastra bandingan dan sejarah sastra? Ayu Sutarto mengungkapkan meskipun istilah sastra bandingan dan sejarah sastra merupakan istilah yang masih diperdebatkan, para pakar dan pemerhati disiplin sastra bandingan hendaknya tidak berhenti berbuat.

Subjudul kedua dalam tulisan Ayu Sutarto adalah “Era Pascamodern dan Sastra Bandingan”. Sekarang ini manusia tidak lagi hidup dalam era modern meskipun istilah modern masih terus digunakan. Ayu Sutarto mengungkapkan bahwa era pascamodern yang terjadi saat ini merupakan era peradaban pasar, pola bisnis yang mendominasi pemikiran. Peradaban pasar

dikhawatirkan menjadi pemicu terjadinya proses homogenisasi budaya serta membahayakan tradisi lokal. Lima pemicu perubahan yang oleh Appadurai masing-masing dinamakan etnoscapes “aliran manusia”, mediascapes “aliran media”, technoscapes “aliran teknologi”, finanscapes “aliran uang” dan ideoscapes “aliran ideologi”. Ayu Sutarto menjelaskan konsep era pascamodern yang dikemukakan Somervell dan Toynbee yang berawal dari tahun 1875, sejarah barat setelah Zaman Gelap (675-1075), Era Pertengahan (1075-1475), dan Era Modern (1475-1875). Tapi tentu akan berbeda dengan sejarah Timur. Budaya pascamodern ditandai dengan kabur dan runtuhnya sekat-sekat antara budaya dan seni. Pascamodern adalah sebuah gejala yang membingungkan,manusia kehilangan banyak hal karena terdesak perubahan. Pemaknaan tentang pengetahuan (knowlage) juga telah berubah, kini dunia benar-benar telah mengalami perubahan yang sangat cepat. Pascamodernisme telah mengambil perhatian yang mendalam terhadap fenomena bahasa dan kebudayaan, tepatnya untuk menyatakan bahwa pemahaman terhadap diri seseorang bukan hanya dapat dilakukan melalui hal-hal atau gejala-gejala yang bersifat universal, tetapi juga melalui hal-hal khusus yang terdapat pada suatu kebudayaan. Manusia pascamodern adalah manusia yang mengidap berbagai penyakit kecanduan akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada era pascamodern ini dunia sastra mengalami perubahan. Ayu Sutarto memberikan contoh perubahan yang terjadi di Indoneisa bagaimana penulis-penulis kontemporer Indonesia dipenuhi Oen penulis perempuan

belia yang diberi label sebagai penulis Astra wangi.

(5)

dipakai terjawab dalam paragraf pertama. Istilah NH pertama kali digunakan Stephen Greenblattt pada 1982 yang mencoba melihat keterkaitan teks sastra dengan berbagai kekuatan sosial, ekonomi, dan politik yang meoingkupinya. Ia mendobrak kecendrungan kajian tekstual yang ahistoris, otonom, dan dipisahkan dari aspek yang berada di luar karya. Tidak hanya menggugat formalisme, menurut Greenblatttt karya sastra ikut membangun, mereproduksi konvensi, norma, dan nilai budaya melalui tindak verbal dan imajinasinya. Revisi NH terhadap pendekatan formalis maupun sejarah disimpulkan oleh Louis A. Montrose dengan istilah “kesejarahan sastra dan kesastraan sejarah” yang berarti membaca sastra = membaca sejarah dan membaca sejarah = membaca sastra.

Selanjutnya, lewat subjudul “Yang bukan baru: kesinambungan dan perbedaan teoritis” Melani Budianta mencoba membandingkan NH dengan beberapa teori yang sudah ada sebelumnya. Pertama Budianta membandingkan dengan Cultural Materialism yang dipelopori Raymond Williams pada tahun 60-an. Cultural Materialism yang dipengaruhi oleh neo-Marxis melihat pentingnya memberi pemaknaan dengan menempatkannya pada kondisi material masanya. Selanjutnya Budianta juga melihat bahwa NH tidak dapat dilepaskan dari teori-teori postrukturalis seperti teori Dekonstruksi Jaques Derrida atau keterkaitan antara tanda dan ideologi yang diungkapkan oleh Rland Barthes. Hanya saja, jika dekonstruksi yang cenderung berpusat pada teks, NH mengutamakan hubungan teks dengan hukum, ekonomi, politik sehingga NH dengan kritik poskolonial, feminis, atau cultural studies yang menekankan dimensi politis-ideologis produk-produk budaya.

Setelah memaparkan yang baru dan bukan baru dalam kritik NH, pada bagian selanjutnya

Budianta membicarakan “Teori dan Metode: Foucault dan Geertz”. NH banyak bertumpu pada

(6)

zamannya, NH menggunakan hal-hal yang tampak remeh-temen dan tersisihkan dari sejarah dan menyadingkannya dengan teks sastra yang dimaknai untuk menunjukan bagaimana ideologi beroperasi.

Pada bagian “Dimensi Ekonomi: Puitika Pasar dalam Karya Sastra dan Kritik Sastra”, Budianta melihat dimensi ekonomi sangat kuat mewarnai pendekatan NH. Menurut Greenblattt interaksi budaya didasari oleh logika pertukaran. Kebudayaan dilihat sebagai jaringan negosiasi untuk pertukaran benda-benda material, gagasan, dan pertukaran manusia. Karena NH merupakan pendekatan yang lahir dalam tatanan masyarakat kapitalis, mau tak mau akan

diwarnai oleh sistem yang membentuknya. Itulah yang membuat jargon seperti negosiasi, pertukaran, sirkulasi, merupakan metafor sistem ekonomi yang bertumpu pada sirkulasi uang

dan modal.

“Sumbangan dan Keterbatasan”, menurut Budianta fokus perhatian NH pada yang bersifat sinkronik dan mikro merupakan kekuatan dan keterbatasan. Salah satu sumbangan NH adalah mempelopori penjelajahan sejarah di bidang sastra dengan memakai wawasan dan konsep-konsep postruktural. NH juga menunjukan kekayaan yang ditawarkan oleh studi lintas disiplin, antara sejarah, sastra, ekonomi, politik.

Terakhir pada “Pasar dalam Tjerita Boedjang Bingoeng: Melupakan dan Membingkai

Teori” Melani Budianta mencoba menjawab pertanyaan apakah NH bermanfaat bagi kajian

sastra di Indonesia. Sebelum memulai analisis, Budianta mengambil penelitian Tinneke Hellwig mengenai novel populer Fientje de Finiks. Dengan pendekatan feminis, Hellwig menunjukan bahwa baik novelnya maupun dokumen-dokumen sejarah tentang kejadian peristiwa yang sama , telah sama-sama membungkam subjek yang dibicarakannya, perempuan, melalui bias nilai patriarki yang media sastra, jurnalisme, dan sejarah kolonial. Hal tersebut menunjukan Hellwig telah melakukan penelitian sejarah dengan bingkai feminis dan memperlihatkan berbagai penelitian tidak muncul dari satu pendekatan tapi permasalahan yang kemudian menuntut jawaban dengan kerangka konseptual yang lintas pendekatan. Itulah yang membuat Budianta tidak memikirkan NH ketika menulis kajian tentang naskah Aman Datoek Madjoindo berjudul “Tjerita Boedjang Bingoeng”. Ia membuat penelitian diakronis mengenai

“mengapa pasar dan uang begitu sentral dalam Tjerita Boedjang Bingong?” dan

(7)

Referensi

Dokumen terkait

Sarana dan prasarana pendukung proses belajar kimia di SMA Negeri 1 Pekalongan sudah cukup memadai, ruang kelas yang ber AC membuat siswa menjadi nyaman berada

Grafik 4.2 Grafik Pengaruh Pemberian Larutan Kulit Bawang Merah Terhadap Panjang Akar Stek Batang Tanaman Sirih Merah Umur 50 hst. Dari hasil analisis variansi

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memerikan kelancaran dan kemampuan bagi kami melakasanakan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) di UPTD SKB Kendal. PPL adalah kegiatan yang

Penelitian yang dilakukan oleh Herriyanto (2012) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi keterlambatan penyerapan anggaran belanja pada satuan kerja Kementerian/Lembaga di

THE IMPLEMENTATION OF BLENDED LEARNING METHOD USING EDMODO (A SOCIAL NETWORKING SITE) IN TEACHING READING COMPREHENSION. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Dionísio Babo Soares, Minister of State, Coordinating Minister of State Administration Affairs and Justice and Minister of State Administration (Topic: Public

Didalam perusahaan diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas dalam pekerjaannya, penempatan sumber daya manusia yang tepat sesuai dengan keahliannya itu sangat diperlukan

Dari hasil perhitungan regresi linier berganda diperoleh persamaan Y = - 0,1562 + 0,000253 X1 + 25,003 X2, koefisien korelasi yang didapat adalah 0,99 dan koefisien