BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Jalan raya merupakan salah satu prasarana transportasi yang dapat menunjang pengembangan suatu wilayah. Semakin lancar transportasi maka semakin cepat suatu wilayah berkembang. Meningkatnya jumlah penduduk akan diikuti dengan meningkatnya kebutuhan sarana transportasi, sehingga perlu dilakukan perencanaan jalan yang sesuai dengan kebutuhan penduduk saat ini. Dewasa ini manusia telah mengenal sistem perencanaan jalan yang baik dan mudah dikerjakan serta pola perencanaannya yang makin sempurna.
Meskipun perencanaan sudah makin sempurna, namun kita sebagai orang teknik sipil tetap selalu dituntut untuk dapat merencanakan suatu lintasan jalan yang paling efektif dan efisien dari alternatif-alternatif yang ada, dengan tidak mengabaikan fungsi-fungsi dasar dari jalan. Oleh karena itu, dalam merencanakan suatu lintasan jalan, seorang teknik sipil harus mampu menyesuaikan keadaan di lapangan dengan teori-teori yang ada sehingga akan diperoleh hasil yang maksimal.
gerak kendaraan yang memenuhi tingkat kenyamanan dan keamanan yang diharapkan.
Selain itu, juga harus diperhatikan elemen – elemen dari perencanaan geometrik jalan, yaitu :
Alinyemen horizontal
Pada gambar alinyemen horizontal, akan terlihat apakah jalan tersebut merupakan jalan lurus, menikung ke kiri, atau ke kanan dan akan digambarkan sumbu jalan pada suatu countur yang terdiri dari garis lurus, lengkung berbentuk lingkaran serta lengkung peralihan dari bentuk lurus ke bentuk busur lingkaran. Pada perencanaan ini dititik beratkan pada pemilihan letak dan panjang dari bagian – bagian trase jalan, sesuai dengan kondisi medan sehingga terpenuhi kebutuhan akan pergerakkan lalu lintas dan kenyamanannya.
Alinyemen vertikal
Pada gambar alinyemen vertikal, akan terlihat apakah jalan tersebut tanpa kelandaian, mendaki atau menurun. Pada perencanaan ini, dipertimbangkan bagaimana meletakkan sumbu jalan sesuai dengan kondisi medan dengan memperhatikan fungsi - fungsi dasar dari jalan tersebut. Pemilihan alinyemen vertikal berkaitan pula dengan pekerjaan tanah yang mungkin timbul akibat adanya galian dan timbunan yang harus dilakukan
Penampang melintang jalan
Perkerasan jalan
Lapisan perkerasan berfungsi untuk menerima dan menyebarkan beban lalu lintas tanpa menimbulkan kerusakan yang berarti pada konstruksi jalan itu sendiri. Berdasarkan fungsinya, jalan dapat dibedakan atas :
1. Jalan Arteri : Jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi dan jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien.
2. Jalan Kolektor : Jalan yang melayani pengumpulan/pembagian dengan ciri-ciri, perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang, dan jumlah masuk dibatasi.
3. Jalan Lokal : Jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri-ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jalan masuk tidak dibatasi.
1.2 Maksud dan Tujuan
Tujuan dari perencanaan suatu jalan raya adalah untuk merencanakan suatu lintasan dan dimensi yang sesuai dengan Peraturan Perencanaan Geometrik Jalan Raya (PPGJR) No. 13 tahun 1970, sehingga dapat menjamin keamanan dan kelancaran lalu lintas. Dari perencanaan itu juga didapat suatu dokumen yang dapat memperhitungkan bobot pekerjaan baik galian maupun timbunan, pekerjaan tanah dan sebagainya sehingga bisa dilakukan perencanaan yang seekonomis mungkin.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perencanaan geometrik jalan raya adalah :
Kelas Jalan
Kecapatan rencana
Standar Perencanaan
Penampang melintang
Keadaan Topografi
Alinyemen Horizontal
Alinyemen Vertikal
Bentuk Tikungan
1.2.1 Kelas jalan
Jalan dibagi dalam kelas-kelas yang penempatannya didasarkan pada fungsinya juga dipertimbangkan pada besarnya volume serta sifat lalu lintas yang diharapkan akan menggunakan jalan yang bersangkutan.
1.2.2 Volume lalu lintas
Volume lalu lintas dinyatakan dalam Satuan Mobil Penumpang (SMP) yang besarnya menunjukkan jumlah lalu lintas harian rata-rata (LHR) untuk kedua jurusan.
1.2.3 Kecepatan rencana
Kecepatan rencana yang dimaksud adalah kecepatan maksimum yang diizinkan pada jalan yang akan direncanakan sehingga tidak menimbulkan bahaya bagi pemakai jalan tersebut. Dalam hal ini harus disesuaikan dengan tipe jalan yang direncanakan.
1.2.4 Keadaan topografi
Tabel 1.1 Klasifikasi Medan Dan Besanya Lereng Melintang
Golongan Medan Lereng Melintang
Datar (D) 0 sampai 9%
Perbukitan (B) 10 sampai 24,9%
Pegunungan (G) > 25%
Adapun pengaruh keadaan medan terhadap perencanaan suatu jalan raya meliputi hal-hal sebagai berikut :
a. Tikungan : Jari-jari tikungan pada pelebaran perkerasan diambil sedemikian rupa sehingga terjamin keamanan dan kenyamanan jalannya kendaraan dan pandangan bebas harus cukup luas.
b. Tanjakan : Dalam perencanaan diusahakan agar tanjakan dibuat dengan kelandaian sekecil mungkin.
1.2.5 Alinyemen horizontal
Alinyemen horizontal adalah garis proyeksi sumbu jalan yang tegak lurus pada bidang peta yang terdiri dari garis – garis lurus yang dihubungkan dengan garis – garis lengkung yang dapat berupa busur lingkaran ditambah busur peralihan ataupun lingkaran saja.
Bagian yang sangat kritis pada alinyemen horizontal adalah bagian tikungan, dimana terdapat gaya yang dapat melemparkan kendaraan ke luar daerah tikungan yang disebut gaya sentrifugal. Atas dasar itu maka perencanaan tikungan diusahakan agar dapat memberikan keamanan dan kenyamanan, sehingga perlu dipertimbangkan hal-hal berikut:
a. Jari-jari lengkung minimum untuk setiap kecapatan rencana ditentukan berdasarkan miring maksimum denagn koefisien gesekan melintang maksimum.
1.2.6 Alinyemen vertikal (profil memanjang)
Alinyemen vertikal adalah biang tegak yang melalui sumbu jalan atau proyeksi tegak lurus bidang gambar. Profil ini menggambarkan tinggi rendahnya jalan terhadap muka tanah asli, sehingga memberikan gambaran terhadap kemampuan kendaraan dalam keadaan naik dan bermuatan penuh (dimana truck digunakan sebagi kendaraan standar), alinyemen vertikal sangat erat hubungannya dengan besar biaya pembangunan, biaya penggunaan, maka pada alinyemen vertikal yang merupakan bagian kritis justru pada bagian yang lurus.
Landai maksimum
Kelandaian maksimum hanya digunakan bila pertimbangan biaya sangat memaksa dan hanya untuk jarak yang pendek. Panjang kritis landai dimaksudkan adalah panjang yang masih dapat diterima tanpa mengakibat gangguan jalannya arus lalu lintas (panjang ini mengakibatkan pengurangan kecepatan maksimum 25 km/jam). Bila pertimbangan biaya memaksa, maka panjang kritis dapat dilampaui dengan syarat ada jalur khusus untuk kendaraan berat.
Landai Minimum
Pada setiap penggantian landai dibuat lengkung vertikal yang memenuhi keamanan, kenyamanan, dan drainase yang baik. Disini digunakan lengkung parabola biasa.
1.2.7 Penampang melintang
Penampang melintang jalan yang digunakan harus sesuai dengan kelas jalan dan kebutuhan lalu lintas yang dilayaninya. Penampang melintang utama dapat dilihat pada daftar I PPGJR.
Lebar perkerasan
Pada umumnya lebar perkerasan ditentukan berdasarkan lebar jalur lalu lintas normal yang besarnya adalah 3,5 meter sebagaimana tercantum dalam daftar I PPGJR, kecuali:
- Jalan penghubung dan jalan kelas II c = 3,00 meter - Jalan utama = 3,75 meter
Lebar bahu
Untuk jalan kelas III lebar bahu jalan minimum adalah 1,50 – 2,50 m untuk semua jenis medan.
Drainase
Drainase merupakan bagian yang sangat penting pada suatu jalan, seperti saluran tepi, saluran melintang, dan sebagainya, harus direncanakan berdasarkan data hidrologis setempat seperti intensitas hujan, lamanya frekuensi hujan, serta sifat daerah aliran.
Kebebasan pada jalan raya
1.2.8 Bentuk Tikungan
Bentuk tikungan pada suatu jalan raya ditentukan oleh tiga faktor :
1. Sudut tangent (∆) yang besarnya dapat diukur langsung pada peta 2. Kecepatan rencana, tergantung dari kelas jalan yang akan direncanakan. 3. Jari – jari kelengkungan
1.3 Ruang Lingkup Perencanaan
Dalam tugas perencanaan ini, perhitungan dilakukan terdiri dari beberapa tinjauan. Peninjauan ini meliputi :
1. Penentuan lintasan
Jarak lintasan
Sudut azimut
Kemiringan jalan
Elevasi jalan pada titik kritis
Luas tampang
2. Alinyemen horizontal
Spiral Circle Spiral, digunakan pada tikungan yang mempunyai jari – jari
kecil dan sudut tangen yang relatif besar.
Spiral-Spiral, digunakan pada tikungan yang mempunyai jari – jari kecil
dan sudut tangen yang relatif kecil.
3. Alinyemen vertikal
Lengkung vertikal cembung
4. Galian dan timbunan
5. Pekerjaan Tanah/kubikasi.
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1 Bagian Perencanaan
Dalam tugas perencanaan ini, perhitungan dilakukan terdiri dari beberapa tinjauan. Peninjauan ini meliputi penentuan lintasan, alinyemen horizontal, alinyemen vertikal, penampang melintang, kubikasi dan perkerasan jalan.
2.2 Rumus-Rumus Yang Digunakan
2.2.1 Alinyemen horizontal (Berdasarkan rumus-rumus di buku ”Dasar-Dasar Perencanaan Geometrik Jalan” oleh Silvia Sukirman).
Spiral Circle Spiral
θs =
θc = ∆ - 2 θs
Lc = θc 36002π Rc L = Lc + 2Ls
p =
Ls2
6Rc−Rc(1−cosθs)
k = Ls− Ls3
40Rc2−Rcsinθs
Ts = (Rc + p) tan ½ ∆ + k
Es =
(
Rc
+
p
)
sec1
/
2
Δ
−
Rc
dengan:
Rc = jari–jari lengkung yang direncanakan (m) ∆ = sudut tangen
Ls.90
θs = sudut putar
Es = jarak PI ke lengkung peralihan (m) Ls = panjang lengkung spiral (m) Lc = panjang lengkung circle (m)
Spiral-Spiral
θs = 1/2 Δ
Ls=θs
90×π Rc
p =
Ls2
6Rc−Rc(1−cosθs)
k = Ls− Ls3
40Rc2−Rcsinθs
Ts = ( Rc + p) tg 1/2 Δ + k
Es = (Rc + p) cos ½ Δ - Rc L = 2 Ls
dengan:
R = Jari–jari lengkung minimum (m) ∆ = Sudut tangen
θs = sudut putar
Es = Jarak PI ke lengkung peralihan (m) Ls = panjang lengkung spiral (m) Tc = Jarak antara TC dan PI (m)
2.2.2 Alinyemen vertikal (Berdasarkan rumus-rumus di buku ”Perencanaan Trase Jalan Raya” oleh Bukhari R.A dan Maimunah, tahun 2005).
Lengkung vertikal cembung
Ev =
AxLv
800
Lv diambil berdasarkan gambar 5.1 (Buku: Perencanaan Trase Jalan Raya oleh Bukhari R.A dan Maimunah, tahun 2005, hal: 34)
dengan:
Ev = Pergeseran vertikal dari titik PPV ke bagian lengkung g1 = aljabar kelandaian lintasan pertama
g2 = aljabar kelandaian lintasan kedua A = perbedaan aljabar kelandaian (%) Lv = panjang lengkung (m)
Lengkung vertikal cekung
Rumus-rumus yang digunakan sama dengan lengkung vertikal cembung, namun pada saat penentuan Lv digunakan gambar 5.2 (Buku: Perencanaan Trase Jalan Raya oleh Bukhari R.A dan Maimunah,tahun 2005, hal: 34)
2.2.3 Galian (cut) dan timbunan (fill)
Rumus-rumus yang digunakan adalah rumus-rumus luas segitiga, segiempat, trapesium dan untuk keadaan tertentu dipakai rumus interpolasi serta untuk perhitungan volume digunakan rumus kubus dan kerucut.
Luas segiempat
A = P x L
dengan:
A = luas segiempat (m2) P = panjang (m)
Luas segitiga
A = ½ a x t
dengan:
A = luas segitiga (m2) a = panjang sisi alas (m) t = panjang sisi tegak (m)
Luas trapesium
A = ½ (a + b) x t
dengan:
A = luas segitiga (m2) a = panjang sisi atas (m) b = panjang sisi bawah (m) t = panjang sisi tegak (m)
Interpolasi
T imbunan
a : b = (L-x) : x
ax = b. L – b . x
ax + bx = b. L
(a + b)x = b. L
x =
2.2.4 Stationing (STA)
(Berdasarkan rumus-rumus di buku ”Dasar-Dasar Perencanaan Geometrik Jalan” oleh Silvia Sukirman).
Sta TC = Sta titik A + d1 – T
Sta CT = Sta TC + Lc
Sta TS = Sta CT + (d2 – T – Ts)
Sta SC = Sta TS + Ls
Sta CS = Sta SC + Lc
Sta ST = Sta CS + Ls
2.2.5 Perkerasan jalan
Dalam perencanaan tebal lapisan perkerasan dibituhkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi fungsi pelayanan konstruksi pelayanan konstruksi perkerasan jalan seperti :
1. Data Kendaraan. 2. Klasifikasi Jalan 3. Umur Rencana
4. Data Pertumbuhan Laju Lalu lintas 5. Iklim/Curah hujan
A
T T
d1
TC
Lc CT
d2
TS SC
CS ST
6. Data Kelandaian
7. Jenis Lapisan perkerasan, lapisan pondasi atas dan lapisan pondasi bawah yang akan digunakan pada perkerasan
8. Data CBR
3.1 Penentuan Lintasan (Trase Jalan)
Trase rencana lintasan ditentukan berdasarkan peta topografi yang disediakan, dimana titik asal (origin) dan tujuan (destination) telah ditentukan, kemudian dilakukan pencarian lintasan. Langkah awal adalah dengan memperhatikan situasi medan, countur tersebut terus ditelusuri untuk mencari lintasan yang sesuai dengan PPGJR (Peraturan Perencanaan Geometrik Jalan Raya) No. 13 Tahun 1970 serta ketentuan – ketentuan lain yang diberlakukan dalam tugas perencanaan ini.
Perhitungan pertama dilakukan dengan cara menentukan titik koordinat, sehingga kita bisa mengetahui jarak masing-masing pias lintasan dan sudut azimut yang dibentuk. Dari peta countur bisa diketahui elavasi muka tanah, sehingga bisa ditentukan kemiringan masing-masing lintasan. Selanjutnya dicari elevasi jalan di masing-masing titik kritis, sehingga akan diketahui pada titik tersebut berupa galian ataupun timbunan. Adapun galian dan timbunan ini tidak boleh melebihi syarat yang telah ditentukan yaitu, galian harus lebih kecil dari 8 meter dan timbunan harus lebih kecil dari 5 meter.
Dengan adanya titik kritis ini, maka bisa digambarkan sketsa lintasan sehingga dari sketsa lintasan tersebut bisa diketahui luas penampang galian dan timbunan. Jika luas penampang galian dan timbunan tidak sama dengan nol, maka harus dilakukan penyesuaian lintasan sehingga sama dengan nol ataupun mendekati nol dengan batas toleransi 10%.
Akibat penyesuaian lintasan ini, maka kemiringan lintasan dan keadaan muka jalan dimasing-masing titik akan berubah. Karena terjadi perubahan maka kemiringan dan keadaan muka jalan harus dihitung kembali.
3.2 Merencanakan Alinyemen Horizontal
Ts
CS B
Lc Es
TS
SC
Ls
Øc
Øs Øs
Ls
p' p'
ST k
direncanakan ada dua jenis yaitu Circle-Spiral dan Spiral. Spiral-Circle-Spiral direncanakan untuk tikungan yang sudut tangennya relatif besar, sedangkan Spiral-Spiral direncanakan dengan jari-jari besar dan sudut tangen yang relatif kecil.
a. Bentuk Tikungan Spiral – Circle – Spiral (SCS)
Dengan data-data yang diketahui:
V= 60 km/jam
en= 2 %
R direncanakan dengan ketentuan R yang diambil pada table 4.7 (Buku:
dasar-dasar perencanaan geometric jalan raya oleh Silvia Sukirman, hal
113). Syarat pengambilan R, nilai Lc > 20 m. Dengan adanya R maka bisa
diketahui e dan Ls-nya.
Dihitung besar sudut spiral (θs)
Dihitung besar pusat busur lingkaran (θc)
Dihitung panjang lengkung lingkaran (Lc)
Dihitung masing-masing untuk nilai L,p,k
Dihitung nilai Ts
Dihitung nilai Es
Keterangan :
R = jari – jari lengkung yang direncanakan (m)
β
= sudut tangentes = sudut putar
Es = jarak PI ke lengkung peralihan (m)
Ls = panjang lengkung spiral (m)
Lc = panjang lengkung circle (m)
b . Bentuk Tikungan Spiral-Spiral
Dengan data-data yang diketahui:
V= 60 km/jam
en= 2 %
R direncanakan dengan ketentuan R yang diambil pada table 4.7 (Buku:
dasar-dasar perencanaan geometric jalan raya oleh Silvia Sukirman, hal
Dihitung besar sudut spiral (θs)
Dihitung panjang lengkung spiral Ls
Dihitung masing-masing untuk nilai L,p,k
Dihitung nilai Ts
Dihitung nilai Es
Gambar bentuk tikungan Spiral-Spiral (S-S) :
Keterangan :
Rc = Jari – jari lengkung minimum (m).
β
= Sudut tangent yang diukur dari gambar trase.Ec = Jarak PI ke lengkung peralihan (m).
Lc = Panjang bagian tikungan (m).
TC = Jarak antara TC dan PI (m).
Alinyemen vertikal merupakan bidang tegak yang melalui sumbu jalan atau proyeksi tegak lurus bidang gambar. Alinyemen vertikal (lengkung vertikal) ini ada dua yaitu lekung vertikal cekung dan lengkung vertikal cembung. Lengkung vertikal cekung adalah lengkung dimana titik perpotongan antara kedua tangen berada dibawah permukaan jalan. Lengkung vertikal cembung adalah lengkung dimana titik perpotongan antara kedua tangen berada diatas permukaan jalan yang bersangkutan.
Langkah-langkah perhitungannya:
1. Untuk lengkung vertikal cekung
Dihitung perbedaan aljabar kelandaian (A)
Dengan diketahui nilai A dan V, maka dari gambar 5.2 (Buku: perencanaan
trase jalan raya oleh Bukhari R.A dan Maimunah, hal:34) didapat nilai Lv
Kemudian dihitung nilai Ev
2. Untuk lengkung vertikal cembung
Hitung perbedaan aljabar kelandaian (A), dengan rumus A = g1-g2
Dengan diketahui nilai A dan V, maka dari gambar 5.1 (Buku: perencanaan
trase jalan raya oleh Bukhari R.A dan Maimunah, hal:34) didapat nilai Lv
Kemudian dihitung nilai Ev
3.4 Perhitungan Galian (Cut) dan Timbunan (Fill)
Untuk potongan penampang melintang jalan yang ada galian dan timbunan nya pada satu titik, maka perlu dilakukan interpolasi untuk mengetahui batas galian dan timbunan. Setelah mengetahui luas penampang melintangnya, maka bisa dilakukan perhitungan volume yaitu dengan cara mengalikan luas penampang melintang jalan dengan jarak per pias yang ditinjau. Jika pada pias tersebut sebagian galian dan sebagian timbunan maka harus dilakukan kembali interpolasi.
Rumus-rumus yang digunakan untuk menghitung luas adalah rumus luas persegi panjang dan rumus luas segitiga. Sedangkan volume dihitung juga dengan menggunakan pendekatan-pendekatan bidang persegi panjang, bidang segitiga dan bidang kerucut.
3.5 Penomoran Panjang Jalan (Stasioning)
Sta jalan dimulai dari 0+000 m yang berarti 0 km dan 0 m dari awal pekerjaan. Sta 19+870 berarti lokasi jalan terletak pada jarak 19 km dan 870 meter dari awal pekerjaan. Jika tidak terjadi perubahan arah tangen pada alinyemen horizontal maupun alinyemen vertikal, maka penomoran selanjutnya dilakukan:
setiap 100 m pada medan datar
setiap 50 m pada medan bukit
setiap 25 m pada medan pengunungan
Pada perencanaan ini penomoran dilakukan pada setiap titik penting dan titik yang akan jadi tinjauan untuk perhitungan volume cut and fill. Sehingga dengan adanya Sta ini, dapat memudahkan penulis dalam menentukan jarak per piasnya.
3.6 Perencaan perkerasan jalan
3.6.1 Perhitungan Tebal Lapisan Perkerasan
1. Komposisi kendaraan awal umur rencana pada tahun 2005 2. Klasifikasi Jalan
3. Jenis Jalan 4. Lebar Jalan 5. Arah Jalan 6. Umur Rencana
7. Pertumbuhan lalu lintas
8. Curah hujan rata-rata pertahun 9. Kelandaian jalan
10. Jenis lapisan perkerasan yang digunakan 11. Data CBR
3.6.2 Menghitung LHR ( Lintas Harian Rata-Rata)
LHR di dapat dari data volume lalu lintas yang dapat diperoleh dari pos-pos rutin yang ada di sekitar lokasi perencanaan. Jika tidak terdapat pos-pos-pos-pos rutin di dekat lokasi atau untuk pengecekan data, perhitungan volume lalu lintas dapat dilakukan secara manual ditempat-tempat yang di anggap perlu.
Rumus :
3.6.3 Menentukan Angka Ekivalen
Angka ekivalen kendaraan adalah angka yang menunjukkan jumlah lintasan dari sumbu tunggal yang akan menyebabkan kerusakan yang sama apabila kendaraan tersebut lewat satu kali. Angka ekivilen per sumbu dapat dilihat pada tabel di bawah :
Tabel 3.1 Angka Ekivalen (E) Beban Sumbu Kendaraan
Beban Sumbu Angka Ekivalen
Kg Lb Sumbu Tunggal Sumbu Ganda
3000 dengan metode Analisa Komponen, Depaertemem Pekerjaan Umum (1987)
Angka ekivalen juga dapat dihitung dengan menggunakan rumus : E sumbu tunggal = (beban sumbu tunggal, kg/8160)4
Cj = Koefisien distribusi kendaraan pada jalur rencana Ej = Angka ekivalen beban sumbu untuk jenis kendaraan 3.6.5 Menentukan LEA
Lintas Ekivalen Akhir (LEA) ditentukan dari jumlah lalu lintas harian rata-rata dari sumbu tunggal yang diperkirakan terjadi pada akhir umur rencana.
Dengan :
i = Perkembangan lalu lintas UR = Umur rencana
Cj = Koefisien distribusi kendaraan pada jalur rencana Ej = Angka ekivalen beban sumbu untuk jenis kendaraan
3.6.6 Menentukan LET
Lintas ekivalen tengah dapat dicari dengan menggunakan rumus Rumus
3.6.7 Menentukan LER
Lintas Ekivalen Rencana (LER) dapat dihitung dengan menggunakan Rumus :
Rumus
Dengan :
FP = Faktor Penyesuaian = UR/10
3.6.8 Penentuan Harga CBR
Subgrade atau lapisan tanah dasar merupakan lapisan yang paling atas, diatas mana diletakkan lapisan dengan material yang lebih baik. Di indonesia daya dukung tanah dasar untuk kebutuhan perencanaan tebal perkerasan ditentukan dengan menggunakan pemeriksaan CBR. Setelah didapatkan data CBR untuk kemudian dicari nilai CBR segmennya. Dapat digunakan rumus :
CBR segmen = CBR rata-rata – CBR max – CBR min R
LET = (LEP + LEA) / 2
LER = LET x FP LEA=
∑
j=i n
Untuk nilai R tergantung dari jumlah data yang terdapat dalam 1 segmen. Besarnya nilai R.
Tabel 3.2 Nilai R Untuk Perhitungan CBR Segmen
Jumlah titik
pengamatan Nilai R
2 1,41
3 1,91
4 2,24
5 2,48
6 2,67
7 2,83
8 2,96
9 3,08
>10 3,18
3.6.9 Menentukan Tebal Lapisan Perekerasan a. Menentukan Nilai DDT (Daya Dukung Tanah)
Dari hasil pemeriksaan data CBR, kita dapat menentukan nilai DDT.
b. Menentukan Faktor Regional (FR)
Faktor regional berguna untuk memperhatikan kondisi jalan yang berbeda antara yang satu dengan yang lain. Untuk mendapatkan nilai FR, terlebih dahulu harus didapatkan nilai persen kendaraan berat. Data-data untuk menghitung % kendaraan berat didapat dari data komposisi kendaraan rencana awal. Dapat digunakan rumus :
% kendaraan berat = Jumlah kendaraan berat x 100 % Jumlah semua kendaraan
Nilai FR dapat kita lihat pada tabel dibawah : Tabel 3.3 Faktor Regional
Curah Hujan
Kelandaian I ( < 6
%) Kelandaian II (6-10%) Kelandaian III (> 6 %)
Iklim I dengan metode Analisa Komponen, Depaertemem Pekerjaan Umum (1987)
c. CBR tanah dasar rencana
Nilai CBR yang di dapat melalui metode grafis dan analitis.
d. Indeks Permukaan (IP)
Untuk mendapatkan nilai IP dapat dilihat dari nilai LER dan tabel indeks permukaan di bawah ini.
Tabel 3.4 Indeks Permukaan pada akhir umur rencana
Lintas Ekivalen Rencana
Klasifikasi Jalan
Lokal Kolektor Arteri Tol
< 10 dengan metode Analisa Komponen, Depaertemem Pekerjaan Umum (1987)
e. Indeks Permukaan pada awal umur rencana (ITP)
ITP dapat ditentukan melalui grafik nomogram. Untuk menentukan ITP dari grafik nomogram di perlukan data sebagai berikut, IP, IPo, DDT, LER, dan FR. Untuk mendapatkan angka Ipo, dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 3.5 Indeks Permukaan pada awal umur rencana
Jenis Lapis
Perkerasan IPo Roughness (mm/km)
LASTON ≥ 4
3,9-3,5
LASBUTAG dengan metode Analisa Komponen, Depaertemem Pekerjaan Umum (1987)
f. Menetapkan Tebal Perkerasan
Variabel-variabel untuk menetapkan lapisan tebal perkerasan dilihat pada tabel-tabel berikut.
Tabel 3.6 batas-batas minimum tebal lapisan perkerasan untul lapis permukaan
ITP Minimum (cm)Tebal Bahan
< 3,00
Lapis pelindung : (Buras/Burtu/Burdu)
Lapen/Aspal Macadam, HRA, Lsbutag,
Tabel 3.7 batas-batas minimum tebal lapisan perkerasan untul lapis pondasi
ITP MinimuTebal m (cm)
< 3,00 stabilisasi tanah dengan kapur
Batu pecah, stabilisasi tanah dengan semen, stabilisasi tanah dengan kapur
Laston Atas
Batu pecah, stabilisasi tanah dengan semen, stabilisasi tanah dengan kapur, pondasi macadam Laston Atas
Batu pecah, stabilisasi tanah dengan semen, stabilisasi tanah dengan kapur, pondasi macadam, Lapen, Laston atas
Batu pecah, stabilisasi tanah dengan semen, stabilisasi tanah dengan kapur, pondasi macadam, Lapen, Laston atas
Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya dengan metode Analisa Komponen, Depaertemem Pekerjaan Umum (1987)
Tabel 3.8 Koefisien Kekuatan Relatif
Koefisien Kekuatan
-- Stab dengan kapur
-Batu pecah (Kelas A) Batu pecah (Kelas B) Batu pecah (Kelas C) Sirtu/pitrun (Kelas A) Sirtu/pitrun (Kelas B) Sirtu/pitrun (Kelas C)
- - 0,10 - - 20 Tanah Lempung Kepasiran
Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya dengan metode Analisa Komponen, Depaertemem Pekerjaan Umum (1987)
BAB IV
Direncanakan pembuatan jalan kelas III untuk jalan penghubung. Peraturan Perencanaan Jalan Raya (PPGJR) N0.13/1970 standar geometrik adalah sebagai berikut:
Klasifikasi Jalan = Kelas III
Kecepatan Rencana = 70 km/jam
Lebar perkerasan = 2 x 3,5 m
Lebar Bahu jalan = 2 x 1,5 m
Miring Melintang Jalan (Transversal) = 2 %
Miring Melintang Bahu Jalan = 4 %
Miring memanjang jalan (longitudinal) maksimal = 10 %
Kemiringan Talud = 1 : 2
4.1. Lengkung horizontal I ( S – S )
Menggunakan lengkung busur lingkaran dengan lengkung peralihan (Spiral – Spiral), perhitungan sebagai berikut:
Δ 1 = 45 o
V = 70 Km/Jam Direncanakan jari-jari Rc = 239 m
Melalui tabel 4.7 (silvia : 113) diperoleh : e = 0,088
Besar Sudut Spiral
θs
= 1/2 Δ = 1/2 . 45 = 22,5 oLs=θs
90×π Rc= 22,5
90 ×3,14×239=187,61m Dari tabel B.1.2 silvia sukirman 1994 diperoleh p* = 0,0431687
k* = 0,4973288
p = Ls x p*
p = 8,09 m k = Ls x k*
= 187,61 x 0,4973288 k = 93,30 m
Ts = ( Rc + P) tg 1/2 Δ + k = (239 + 8,09) tg ½ . 45 + 93,30 Ts = 195,65 m
Es = (Rc + p) sec ½ Δ - Rc = (239 + 8,09) sec ½ . 45 – 239 Es = 28,44 m
L = 2 Ls = 2 x 187,61
L = 375,22 m
Ls minimum berdasarkan landai relatif menurut metode bina marga adalah m = 137,5 (dari tabel 4.5 silvia sukirman)
Lsmin = m (e +en) B
= 137,5 (0,088 + 0,02) x 3,5 Lsmin = 51,98m
Ls > Lsmin
187,61 m > 51,98 m (OK) Kontrol :
Ls < 2 Ts
187,61 m < (2 x 195,65) m 305,21 m < 391,30 m (OK)
Landai relatif BM = [(0,02 + 0,088) x 3,5] / 187,61 = 0,0020 %
Kelandaian Relatif maksimum untuk kecepatan rencana 70 km/jam adalah :
kelandaian
max
=
1
137
,
5
=
0, 0073
Menggunakan lengkung busur lingkaran dengan lengkung peralihan (Spiral – Lingkaran –Spiral), perhitungan sebagai berikut:
Δ 1 = 31 o
V = 70 Km/Jam Direncanakan jari-jari Rc = 239 m
Melalui tabel 4.7 (silvia : 113) diperoleh : e = 0,088 dan Ls = 60
Besar Sudut Spiral
θs
=
Ls
×
90
π
×
Rc
=
60
×
90
3,14
×
239
=
7,2
°
Besar pusat busur lingkaran
θc
=
Δ
−
2
θs
= 31 - (2 x 7,2)
θc
= 16,6o Panjang lengkung circle
Lc= θc
360×2π Rc= 16,6
360 ×2×3,14×239=69,21m Dari tabel 4.10 silvia sukirman diperoleh
p* = 0,01047 k* = 0,49973
p = Ls x p* = 60 x 0,01047 p = 0,628 m
k = Ls x k* = 60 x 0,49973 k = 29,98 m
= (239 + 0,628) tg ½ . 31 + 29,98 Ts = 96,43 m
Es = (Rc + p) sec ½ Δ - Rc = (239 + 0,628) sec ½ . 31 – 239 Es = 9,67 m
L = Lc + 2 Ls
= 69,21 + (2 x 60) L = 189,21 m
Kontrol : L < 2 Ts
189,21 m < (2 x 96,43 ) m 189,21 m < 192,86 m (OK)
Landai relatif BM = [(0,02 + 0,088) x 3,5] / 60 = 0,0063 %
Kelandaian Relatif maksimum untuk kecepatan rencana 70 km/jam adalah :
kelandaian
max
=
1
137
,
5
=
0, 0073
Kontrol :
Menggunakan lengkung busur lingkaran dengan lengkung peralihan (Spiral – Lingkaran –Spiral), perhitungan sebagai berikut:
Δ 1 = 35 o
V = 70 Km/Jam Direncanakan jari-jari Rc = 239 m
Melalui tabel 4.7 (silvia : 113) diperoleh : e = 0,088 dan Ls = 60
Besar Sudut Spiral
θs
=
Ls
×
90
π
×
Rc
=
60
×
90
3,14
×
239
=
7,2
°
Besar pusat busur lingkaran
θc
=
Δ
−
2
θs
= 35 - (2 x 7,2)
θc
= 20,6o Panjang lengkung circle
Lc= θc
360×2π Rc= 20,6
360 ×2×3,14×239=85,88m Dari tabel 4.10 silvia sukirman diperoleh
p* = 0,01047 k* = 0,49973
p = Ls x p* = 60 x 0,01047 p = 0,628 m
k = Ls x k* = 60 x 0,49973 k = 29,98 m
= (239 + 0,628) tg ½ . 35 + 29,98 Ts = 105,53 m
Es = (Rc + p) sec ½ Δ - Rc = (239 + 0,628) sec ½ . 35 – 239 Es = 11,88 m
L = Lc + 2 Ls
= 85,88 + (2 x 60) L = 205,88 m
Kontrol : L < 2 Ts
205,88 m < (2 x 105,53 ) m 205,88 m < 211,06 m (OK)
Landai relatif BM = [(0,02 + 0,088) x 3,5] / 60 = 0,0063 %
Kelandaian Relatif maksimum untuk kecepatan rencana 70 km/jam adalah :
kelandaian
max
=
1
137
,
5
=
0, 0073
Kontrol :
A. Lengkung Horizontal I (S-S)
Dari perhitungan lengkung horizontal I diperoleh:
STA A = 0 + 000 STA PLI = STA A + d1
= 0 + 000 + 400 = 400 m STA TS1 = STA A + d1 – TS1
= 0 + 000 + 400 -195,65 = 204,35 m STA CS1 = CS1
= STA TS1 + LS1
= 204,35 + 187,61 = 391,96 m STA ST1 = STA SC1 + Ls
= 391,96 + 187,61 = 579,57 m
B. Lengkung Horizontal II (S-C-S)
Dari perhitungan lengkung horizontal I diperoleh:
STA TS2 = ST1 + (d2 + d3) – TS1 – TS2
= 579,57 + (1700 + 800 ) – 195,65 – 96,43 = 2787,49 m
STA SC2 = STA TS2 + LS = 2787,49 + 60 = 2847,49 m STA CS2 = STA SC2 + LC
= 2847,49 + 69,21 = 2916,70 m STA ST2 = STA CS2 + LS
= 2916,70 + 60 = 2976,70 m
Dari perhitungan lengkung horizontal I diperoleh: STA TS3 = STA ST2 + d4 – Ts2 – Ts3
= (2976,70 +1450) – 96,43 – 105,53 = 4224,74 m
STA SC3 = STA TS3 + LS = 4224,74 + 60 = 4284,74 m STA CS3 = STA SC3 + LC
= 4284,74 + 85,88 = 4370,62 m STA ST3 = STA CS3 + LS
= 4370,62 + 60 = 4430,62 m STA C = ST3 + d5 – TS3
= 4430,62 + 600 – 105,53 = 4925,09 m
Kontrol :
4925,09 m < (d1) + (d2) +(d3) + (d4) + (d5)
4925,09 m < (400)+(1700)+(800)+(1450)+(600) 4925,09 m < 4950 m (OK)
No V R Ls E
Max E normal
Landai Relatif
1 70 239 187,61 0,088 0,02 0,0020
2 70 239 60 0,088 0,02 0,0063
3 70 239 60 0,088 0,02 0,0063
Rekapitulasi Alinyemen Horizontal
No. 1 2 3
PI STA 579,57 m 2976,70 m 4430,62 m
Δ 45 o 31 o 35 o
VR 70 km/jam 70 km/jam 70 km/jam
RC 239 m 239 m 239 m
LS 187,61 m 60 m 60 m
θ S 22,5 o 7,2 o 7,2
θ C - 16,6o 20,6o
p* 0,0431687 0,01047 0,01047
k* 0,4973288 0,499973 0,49973
p 8,09 m 0,628 m 0,628 m
k 93,30 m 29,98 m 29,98 m
TS 195,65 m 96,43 m 105,53 m
E S 28,44 m 9,67 m 11,88 m
L C - 69,21m 85,88 m
L 375,22 m 189,21 m 205,88 m
e 0,088 0,088 0,088
Landai Relatif 0,0020 0,0063 0,0063
Jenis lengkung S-S S-C-S S-C-S
Jarak pandang Henti tikungan I dan II dengan data sebagai berikut : V ( Kecepatan kendaraan ) : 70 km/jam
T ( Waktu rencana ) : 2,5 s
F ( koefesian gesek antara ban dan perkerasan menurut AASHTO untuk kecepatan 70 km/jam ) = 0,313
JPHmn ( Jarak pandang henti minimum ( Tabel Spesifikasi standar untuk perencanaan geometric jalan luar kota Bina Marga, 1990 ) = 95 - 110 m
d1 = Jarak yang ditempuh dalam waktu standar. d1 = 0.278 . V t
= 0.278 . 70 . 2.5 d1 = 48,65 m
d2 ( Jarak Pengereman )
d2 =
V
2254.
f
=
70
2254.0,313
d2 = 61,63 m
JPH = d1 + d2 = 48,65+ 61,63 JPH = 110,28 m
Karena JPH > JPHmin maka dalam perencanaan dipakai nilai JPH = 110,28 m
B. Perhitungan kebebasan samping
V = 70 km/jam JPH = 110,28 m m = ( JPH )² : 8.R
= (110,28)² : 8 . 239 m = 6,36 m
Jadi kebebasan samping tikungan I = 6,36 m
Tikungan II (tikungan Spiral – Circle - Spiral) R = 239 m
V = 70 km/jam JPH = 110,28 m m = ( JPH )² : 8.R
= ( 110,28 )² : 8. 239 m = 6,36 m
Jadi kebebasan samping tikungan II = 6,36 m
Tikungan II (tikungan Spiral - Spiral) R = 239 m
V = 70 km/jam JPH = 110,28 m m = ( JPH )² : 8.R
= (110,28)² : 8 . 239 m = 6,36 m
Jadi kebebasan samping tikungan III = 6,36 m
C. Perhitungan pelebaran pada tikungan
d1 = 400 m
Ls = 187,61 m
e max = 0,088
en = 2 %
V = 70 km/jam
R = 239 m
Jumlah Jalur = 2 m
Bn = 2 x 3,5 = 7 m Lebar Jalan = 3,5 m
Di dapatkan data dari buku-buku ” Dasar- dasar perencanaan geometrik jalan ” truck tunggal sebagai kenderaan rencana (daerah bukit)
P = Jarak gander (6,5)
A = Panjang tonjolan depan (diukur dari gander depan = 1,5 m) b = Lebar kenderaan rencana 2,5 m
C = Kebebasan samping 1 m
Pelebaran Perkerasan :
B =
√
(
√
Rc
2−(
P
+
A
)
2+
12b
)
2+(
P
+
A
)
2−
√
Rc
2−(
P
+
A
)
2+
12b
Rc = R –½xlebar perkerasan + ½ b = 239 – ½ x 3,5 + ½ 2,5
Rc = 238,50 m
Maka :
B =
√
(
√
Rc
2=
√
(
√
238,50
2−(
6,5
+
1,5
)
2+
122,5
)
2+(
6,5
+
1,5
)
2−
√
238,50
2−(
6,5
+
1,5
)+
122 . 5
=
√
(
57479
,
72
)−
238
,
49
+
1.25
= 239,75– 238,49+ 1,25 B = 2,51 mZ = 0,105 .
V
√
R
= 0,105 .
70
√
239
Z = 0,475 mBt = n (B+C) + Z = 2 (2,51 +1) + 0,475 Bt = 7,495 m
Maka lebarnya perkerasan pada tikungan
Δ = Bt – Bn
= 7,495 – 7,00
Δ = 0,495 m
Diketahui :
d3 = 800 m
Ls = 60 m
e max = 0,088
en = 2 %
V = 70 km/jam
R = 239 m
Jumlah Jalur = 2 m
Bn = 2 x 3,5 = 7 m Lebar Jalan = 3,5 m
Di dapatkan data dari buku-buku ” Dasar- dasar perencanaan geometrik jalan ” truck tunggal sebagai kenderaan rencana (daerah bukit)
R = Jarak gander (6,5)
A = Panjang tonjolan depan (diukur dari gander depan = 1,5 m) b = Lebar kenderaan rencana 2,5 m
C = Kebebasan samping 1 m
Pelebaran Perkerasan :
B =
√
(
√
Rc
2−(
P
+
A
)
2+
12b
)
2+(
P
+
A
)
2−
√
Rc
2−(
P
+
A
)
2+
12b
Rc = R –½xlebar perkerasan + ½ b = 239 – ½ x 3,5 + ½ 2,5
Rc = 238,50 m
B =
√
(
√
Rc
2−(
P
+
A
)
2+
12b
)
2+(
P
+
A
)
2−
√
Rc
2−(
P
+
A
)
2+
12b
=
√
(
√
238,50
2−(
6,5
+
1,5
)
2+
122,5
)
2+(
6,5
+
1,5
)
2−
√
238,50
2−(
6,5
+
1,5
)+
12
2 . 5
=
√
(
57479
,
72
)−
238
,
49
+
1.25
= 239,75– 238,49+ 1,25 B = 2,51 mZ = 0,105 .
V
√
R
= 0,105 .
70
√
239
Z = 0,475 mBt = n (B+C) + Z = 2 (2,51 +1) + 0,475 Bt = 7,495 m
Maka lebarnya perkerasan pada tikungan
Δ = Bt – Bn
= 7,495 – 7,00
Tikungan III (tikungan Spiral- Spiral) Diketahui :
d1 = 1450 m
Ls = 60 m
e max = 0,088
en = 2 %
V = 70 km/jam
R = 239 m
Jumlah Jalur = 2 m
Bn = 2 x 3,5 = 7 m Lebar Jalan = 3,5 m
Di dapatkan data dari buku-buku ” Dasar- dasar perencanaan geometrik jalan ” truck tunggal sebagai kenderaan rencana (daerah bukit)
R = Jarak gander (6,5)
A = Panjang tonjolan depan (diukur dari gander depan = 1,5 m) b = Lebar kenderaan rencana 2,5 m
C = Kebebasan samping 1 m
Pelebaran Perkerasan :
B =
√
(
√
Rc
2−(
P
+
A
)
2+
12b
)
2+(
P
+
A
)
2−
√
Rc
2−(
P
+
A
)
2+
12b
Rc = R – ½ x lebar perkerasan + ½ b = 239 – ½ x 3,5 + ½ 2,5
Maka :
B =
√
(
√
Rc
2−(
P
+
A
)
2+
12b
)
2+(
P
+
A
)
2−
√
Rc
2−(
P
+
A
)
2+
12b
=
√
(
√
238,50
2−(
6,5
+
1,5
)
2+
122,5
)
2+(
6,5
+
1,5
)
2−
√
238,50
2−(
6,5
+
1,5
)+
12
2 . 5
=
√
(
57479
,
72
)−
238
,
49
+
1.25
= 239,75– 238,49+ 1,25 B = 2,51 mZ = 0,105 .
V
√
R
= 0,105 .
70
√
239
Z = 0,475 mBt = n (B+C) + Z = 2 (2,51 +1) + 0,475 Bt = 7,495 m
Maka lebarnya perkerasan pada tikungan
Δ = Bt – Bn
= 7,495 – 7,00
BAB V
PERENCANAAN ALINYEMEN VERTIKAL
Pergantian dari satu kelandaian ke kelandaian yang lain dilakukan dengan menggunakan lengkung vertikal. Lengkung vertikal tersebut direncanakan sedemikian rupa sehinggga memenuhi keamanan dan kenyamanan drainase.
Jenis lengkung vertikal dilihat dari letak titik perpotongan bagian lurus (tangen) adalah :
1. Lengkung vertikal cekung, adalah lengkung dimanan titik perpotongan antara kedua tangen berada di bawah permukaan jalan.
2. Lengkung vertikal cembung, adalah lengkung dimana titik perpotongan antara kedua tangen berada di atas permukaan jalan.
Dalam perencanaan alinyemen vertikal, diperoleh dua buah lengkung vertikal cembung dan dua buah lengkung vertikal cekung.
5.1 Lengkung Vertikal Cekung
G 1 =
65,00
−
65
,
00
100
x
100%= 0 % < 10 %
G 2 =
65,10
−
65
,
00
50
x
100%= - 0,1 % < 10 %
A = G 1 – G 2 = 0% – (-0,1 %) = +0,1 %
Ev =
AxLv
800
=
0,1
x
200
800
=
0,025 m STA PLV1 berada pada STA 1 + 800 = 65,00 m
STA PPV1 berada pada STA 1 +900 = 65,00 m
STA PTV1 berada pada STA 2 + 000 = 65,10 m
Elevasi as jalan pada stasiun :
STA 1 + 800 = 65,00 – (0,000) = 65,00 m
STA 1 +900 = 65,00 – (0,025) = 64,975 m
STA 2 + 000 = 65,10 – (0,000) = 65,10 m
L1=100m L2=100m
LV=200m
1/2LV
Ev=+0,025
PLV 65.00
PPV 65.00
PTV 65.10
5.2 Lengkung Vertikal Cembung
G 1 =
66,00
−
65
,
90
100
x
100%= 0,1 % < 10 %
G 2 =
66,00
−
66
,
00
100
x
100%= 0 % < 10 %
A = g 1 – g 2 = 0,1 % – 0 %
= 0,1%
Dari Gambar 5.1 halaman 34 buku “Perencanaan Trase Jalan Raya”, dengan nilai A = 0,1 % diperoleh Lv = 200 m
Ev =
AxLv
800
=
0,1
x
200
800
=
0,025 m STA PLV2 berada pada STA 2 + 800 = 65,90 m
STA PPV2 berada pada STA 2 + 900 = 66,00 m
STA PTV2 berada pada STA 3 + 000 = 66,00 m
Elevasi as jalan pada stasiun :
STA 2 + 900 = 66,00 – (0,025) = 67,75 m
STA 3 + 000 = 66,00 – (0,000) = 66,00 m
L1=100m L2=100m
LV=200m
Ev=+0,025
PLV 65.90
PPV 66.00
PTV 66.00
5.3 Lengkung Vertikal Cembung
G 1 =
66,00
−
66
,
00
100
x
100%= 0 % < 10 %
G 2 =
65,86
−
66
,
00
100
x
100%= - 0,14% < 10 %
A = g 1 – g 2 = 0 % – (- 0,14 %) = 0,14 %
Dari Gambar 5.2 halaman 34 buku “Perencanaan Trase Jalan Raya”, dengan nilai A = 0,14 % diperoleh Lv = 200 m.
Ev =
AxLv
800
=
0,14
x
200
800
=
0,035 m STA PLV3 berada pada STA 3 + 300 = 66,00 m
STA PPV3 berada pada STA 3 + 400 = 66,00 m
STA PTV3 berada pada STA 3 + 500 = 65,86 m
Elevasi as jalan pada stasiun :
STA 3 + 300 = 66,00 – (0,000) = 66,00 m
STA 3 + 400 = 66,00 – (0,035) = 65,965 m
5.4 Lengkung Vertikal Cekung
G 1 =
65,00
−
65
,
15
100
x
100%= -0,15 % < 10 %
G 2 =
65,00
−
65
,
00
100
x
100%= + 0% < 10 %
A = g 1 – g 2
ALINYEMEN VERTIKAL 3 CEMBUNG
L1=100m L2=100m
LV=200m
1/2LV
Ev=+0,035
PLV 66.00
PPV 66.00
PTV 65.86
= - 0,15 % – (+ 0 %) = -0,15%
Dari Gambar 5.2 halaman 34 buku “Perencanaan Trase Jalan Raya”, dengan nilai A = -0,15 % diperoleh Lv = 200 m.
Ev =
AxLv
800
=
-0,15
x
200
800
=
-0,0375 m STA PLV4 berada pada STA 4 + 000 = 65,15 m
STA PPV4 berada pada STA 4 + 100 = 65,00 m
STA PTV4 berada pada STA 4 + 200 = 65,00 m
Elevasi as jalan pada stasiun :
STA 4 + 000 = 65,15 – (0,000) = 65,15 m
STA 4 + 100 = 65,00 – (-0,0375) = 65,0375 m
STA 4 + 200 = 65,00 – (0,000) = 65,00 m
Ev=-0,0375
1/2LV
LV=200m
L2=100m L1=100m
PLV 65.15
PPV 65.00
PTV 65.00
Rekapitulasi Alinyemen Vertikal
Lengkung Vertikal
A (%) V
Cekung 0,00 -0,1 + 0,1 70 200 0,025
Cembung 0,1 0,00 + 0,1 70 200 0,025
Cembung 0,00 - 0,14 + 0,14 70 200 0,035
Cekung - 0,15 0,00 - 0,15 70 200
-0,0375
BAB VI
PERHITUNGAN GALIAN (CUT) DAN TIMBUNAN (FILL)
penampang, apabila diantarai oleh dua luas tampang yang tertentu maka harus dicari luas tampang melintang rata-rata dan dikalikan jarak antara kedua penampang yang bersangkutan.
Lain halnya bila ruas yang harus dicari diantarai oleh dua tampang yang berbeda, yang satu galian dan yang satu timbunan. Maka harus dicari titik potong muka tanah dengan permukaan jalan, atau batas antara galian dan timbunan seperti pada gambar di bawah ini.(gambar 6.1)
Timbunan
Galian
L
x a
b c
Gambar 6.1 Batas antara galian dan timbunan
a : b = ( L - x ) : x ( a+ b) x = b. L
ax = b . L – b.x = x =
bL a+b
ax + bx = b.L
Dengan demikian dapat diketahui panjang bagian galian dan timbunan, sehingga dapat dicari volumenya.
Penampang jalan yang direncanakan diperlihatkan pada Gambar 6.2 di bawah ini.
1 2
BAB VII
PERENCANAAN PERKERASAN JALAN
7.1 Perhitungan Tebal Lapisan Perkerasan
Untuk merencanakan Lapisan Tebal Perkerasan pada perencanaan konstruksi jalan raya, data-datanya yaitu :
1. Trase Jalan direncanakan dari zona A ke zona B kemudian dilanjutkan kezona C pada peta kontur yang ada.
a. Mobil penumpang (1+1) = 3300 Kendaraan b. Bus 8 ton (3+5) = 1300 Kendaraan c. Truk 2 as 10 ton (4+6) = 930 Kendaraan d. Truk 2 as 13 ton (5+8) = 93 Kendaraan e. Truk 3 as 20 ton (6+7+7) = 63 Kendaraan f. Truk 3 as 30 ton (6+7+7+5+5) = 33 Kendaraan Jalan akan dibuka pada tahun 2007
3. Klasifikasi Jalan
Klasifikasi Jalan = 1
Jalan = Kolektor
Lebar Jalan = 7 meter
Arah = 2 jalur, 2 arah tanpa median 4. Umur Rencana (5+5) tahun
5. Pertumbuhan lalu lintas = 5 % selama pelaksanaan = 7 % perkembangan lalu lintas 6. Curah hujan rata-rata pertahun : 750 mm/tahun
7. Jenis lapisan perkerasan yang digunakan : Lapisan permukaan : Laston
Pondasi atas : Batu pecah kelas A Pondasi bawah : Sirtu Kelas B 8. Data CBR : 4 5 6 7 8 9 10 5 4 8
7.1.1 Menghitung LHR ( Lintas Harian Rata-Rata) a. Komposisi Kendaraan awal umur rencana (2002)
a. Mobil penumpang (1+1) = 3300 kendaraan
b. Bus 8 ton (3+5) = 1300 kendaraan
c. Truk 2 as 10 ton (4+6) = 930 kendaraan
d. Truk 2 as 13 ton (5+8) = 93 kendaraan
f. Truk 3 as 30 ton (6+7+7+5+5) = 33 kendaraan + = 5719 Kendaraan b. Perhitungan LHR pada tahun 2007
a. Mobil penumpang 3300x ( 1 + 0,05)5 = 4212 kend/hari
b. Bus 8 ton 1300x ( 1 + 0,05)5 = 1659 kend/hari
c. Truk 2 as 10 ton 930x ( 1 + 0,05)5 = 1187 kend/hari
d. Truk 2 as 13 ton 93 x ( 1 + 0,05)5 = 119 kend/hari
e. Truk 3 as 20 ton 63 x ( 1 + 0,05)5 = 81 kend/hari
f. Truk 3 as 30 ton 33 x ( 1 + 0,05) 5 = 42 kend/hari +
LHR 2007 =7300 kend/hari
c. Perhitungan LHR pada tahun pada Tahun ke 5 (2012)
a. Mobil penumpang 4212 x ( 1 + 0,07)5 = 5908 kend/hari
b. Bus 8 ton 1659 x ( 1 + 0,07)5 = 2327 kend/hari
c. Truk 2 as 10 ton 1187 x ( 1 + 0,07)5 = 1665 kend/hari
d. Truk 2 as 13 ton 119 x ( 1 + 0,07)5 = 167 kend/hari
e. Truk 3 as 20 ton 81 x ( 1 + 0,07)5 = 114 kend/hari
f. Truk 3 as 30 ton 42 x ( 1 + 0,07)5 = 59 kend/hari +
LHR 2012 =10240 kend/hari
d. Perhitungan LHR pada tahun pada Tahun ke 5 berikutnya (2017) ( 1+ i )n
LHR 2007( 1+ i )n
a. Mobil penumpang 5908 x ( 1 + 0,07)5 = 8286 kend/hari
LHR 2017 =14362 kend/hari
7.1.2 Menentukan Angka Ekivalen
Angka ekivalen per sumbu dapat dilihat pada tabel 3.1.
Berdasarkan tabel 3.1 didapat angka ekivalen :
Beban Sumbu Angka Ekivalen
Kg Lb Sumbu Tunggal Sumbu Ganda
16000 35276 14,7815 1,2712
a. Mobil penumpang (1+1) = 0,0002 + 0,0002 =0,0004
b. Bus 8 ton (3+5) = 0,0183 + 0,1410 =0,1593
c. Truk 2 as 10 ton (4+6) = 0,0577 + 0,2933 =0,351
d. Truk 2 as 13 ton (5+8) = 0,1410 + 0,9238 =1,0648
e. Truk 3 as 20 ton (6+7+7 = 0,2933 + 0,7452 =1,0385
f. Truk 3 as 20 ton (6+7+7+5+5) = 0,2933 + 0,7452 + 0,1940 =1,2325
7.1.3 Menentukan LEP
j j n
i j
jxC xE
LHR
LEP
Dari data yang telah di dapat, dapat dihitung nilai LEP yaitu :
a. Mobil penumpang 4212 x 0,5 x 0,0004 = 0,8424
b. Bus 8 ton 1659 x 0,5 x 0,1593 = 132,1394
c. Truk 2 as 10 ton 1187 x 0,5 x 0,351 = 208,3185
d. Truk 2 as 13 ton 119 x 0,5 x 1,0648 = 63,3556
e. Truk 3 as 20 ton 81 x 0,5 x 1,0385 = 42,0593
f. Truk 5 as 30 ton 42 x 0,5 x 1,2325 = 25,8825 + LEP 2007 = 472,5977
7.1.4 Menentukan LEA
Perhitungan LEA untuk 5 tahun (2012)
a. Mobil penumpang 5908 x 0,5 x 0,0004 = 1,1816 LEA=
∑
j=i n
b. Bus 8 ton 2327 x 0,5 x 0,1593 = 185,3455
c. Truk 2 as 10 ton 1665 x 0,5 x 0,351 = 292,2075
d. Truk 2 as 13 ton 167 x 0,5 x 1,0648 = 88,9108
e. Truk 3 as 20 ton 114 x 0,5 x 1,0385 = 59,1945
f. Truk 5 as 30 ton 59 x 0,5 x 1,2325 = 36,3588 +
LEA 2012 = 663,1987
Perhitungan LEA untuk 10 tahun (2017)
a. Mobil penumpang 8286 x 0,5 x 0,0004 = 1,6572
b. Bus 8 ton 3264 x 0,5 x 0,1593 = 259,9776
c. Truk 2 as 10 ton 2335 x 0,5 x 0,351 = 409,7925
d. Truk 2 as 13 ton 234 x 0,5 x 1,0648 = 124,5816
e. Truk 3 as 20 ton 160 x 0,5 x 1,0385 = 83,08
f. Truk 5 as 30 ton 83 x 0,5 x 1,2325 = 51,1487 +
LEA 2017 = 930,2376
7.1.5 Menentukan LET
Dari data, dapat dihitung LET yaitu : LET 5 = ½ ( LEP + LEA5)
= ½ (472,5977+ 663,1987)
= 567,8982
LET 10 = ½ ( LEP + LEA 10)
= ½ ( 472,5977 + 930,2376)
= 701,4176
7.1.6 Menentukan LER
LER = LET x UR/10
LER5 = LET5 x 5/10
= 567,8982 x 0,5
= 283,9491 x 1,67
= 474,1949
LER10 = LET10 x 10/10
= 701,4176 x 1
= 701,4176 x 2,5
= 1753,544
7.1.7 Penentuan Harga CBR
Dari data yang didapat data CBR sebesar : 4 5 6 7 8 9 10 5 4 8
CBR rata-rata = 4+5+6+7+8+9+10+5+4+8 10
= 6,6 CBR max = 10 CBR min = 4
Tabel 8.2 Nilai R Untuk Perhitungan CBR Segmen
Jumlah titik
pengamatan Nilai R
2 1,41
3 1,91
4 2,24
5 2,48
6 2,67
7 2,83
8 2,96
9 3,08
>10 3,18
CBR segmen = CBR rata-rata – CBR max – CBR min R
= 6,6 – 10 – 4 3,18 = 4,7
7.1.8 Menentukan Tebal Lapisan Perekerasan
a. Menentukan Nilai DDT (Daya Dukung Tanah)
Dari hasil pemeriksaan data CBR, kita dapat menentukan nilai DDT dengan cara berikut :
DDT = 4,3 . Log 4,7 + 1,7 = 4,3 x0,672 + 1,7 DDT = 4,6
b. Menentukan Faktor Regional (FR)
% kendaraan berat = Jumlah kendaraan berat x 100 % Jumlah semua kendaraan
= 43 % Dari data yang diberikan diketahui :
- Curah hujan 750 mm/thn = iklim I < 900/thn - Landai Jalan 6 % = Kelandaian II ( 6 - 10 % )
Nilai FR dapat dilihat pada tabel 3.3. Dari Tabel 3.3 maka didapat Faktor Regional (FR )adalah = 1,5
Curah Hujan
Kelandaian I ( < 6 %) Kelandaian II (6-10%)
Kelandaian III (> 6 %) % kendaraan berat % kendaraan berat % kendaraan berat ≤ 30 % > 30 % ≤ 30 % > 30 % ≤ 30 % > 30 %
c. CBR tanah dasar rencana
Nilai CBR yang di dapat melalui metode grafis dan analitis adalah = 4,6 d. Indeks Permukaan (IP)
Untuk mendapatkan nilai IP dapat dilihat dari nilai LER dan
TabelIndekpermukaandibawahini.. Nilai LER untuk 5 tahun kedepan adalah
474,1949 danNilai LER untuk 10 tahun kedepan adalah 1753,544. Dengan
klasifikasi jalan kolektor.
Tabel 8.4 Indeks Permukaan pada akhir umur rencana
Lintas Ekivalen Rencana
Klasifikasi Jalan
Lokal Kolektor Arteri Tol
Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya dengan metode Analisa Komponen, Depaertemem Pekerjaan Umum (1987)
Klasifikasi jalan Kolektor,
LER5 = 474,1949 = 100 – 1000, IP = 2,0
LER10 = 1753,544 = > 1000 IP = 2,0
IP yang digunakan adalah = 2
e. Indeks Permukaan pada awal umur rencana (ITP)
ITP dapat ditentukan melalui grafik nomogram. Untuk menentukan ITP dari grafik nomogram di perlukan data sebagai berikut, IP, IPo, DDT, LER, dan FR. Untuk mendapatkan angka Ipo, dapat dilihat pada tabel dibawahini :
Tabel 8.5 Indeks Permukaan pada awal umur rencana
Jenis Lapis Perkerasan Ipo Roughness (mm/km)
Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya dengan metode Analisa Komponen, Depaertemem Pekerjaan Umum (1987)
Dari tabel dan grafik nomogram di dapat hasil :
- Untuk 5 tahun kedepan
IP = 2,0
IPo = 3,9 – 3,5 DDT = 4,6 LER5 = 474,1949
FR = 1,5
Maka diperoleh
ITP = 9,50 (nomogram 4) - Untuk 10 tahun kedepan
IP = 2
IPo = > 4 DDT = 4,6 LER10 = 1753,544
FR = 1,5
Maka diperoleh
ITP = 10,60 (nomogram 3)
f. Menetapkan Tebal Perkerasan
Variabel-variabel untuk menetapkan lapisan tebal perkerasan dilihat pada tabel dibawahini.
Tabel 8.8 Koefisien Kekuatan Relatif
Koefisien Kekuatan
Relatif Kekuatan Bahan
Jenis Bahan
a1 a2 a3 MS
(kg)
Kt(kg/ cm)
0,40
Stab tanah dengan semen
-Batu pecah (Kelas A) Batu pecah (Kelas B) Batu pecah (Kelas C) Sirtu/pitrun (Kelas A) Sirtu/pitrun (Kelas B) Sirtu/pitrun (Kelas C)
- - 0,10 - - 20 Tanah Lempung Kepasiran
Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya dengan metode Analisa Komponen
Dari tabel kita dapat menentukan nilai a1, a2 dan a3. dan juga nilai
d1, d2 dan nilai d3.
Untuk 5 Tahun
- Lapisan permukaan : Laston, MS 744 a1 = 0,40
- Lapisan Pondasi atas : Batu pecah kelas A a2 = 0,14
- Lapisan Pondasi bawah : Sirtu kelas B a3 = 0,12
Tebal lapisan minimum dilihat dari ITP = 9,50
Lapisan permukaan : Laston, MS 744 d1 = 10 cm
- Lapisan Pondasi atas : Batu pecah kelas A d2 = 20 cm
- Lapisan Pondasi bawah : Sirtu kelas B (CBR 50)d3 = 10 cm
Mencari D1,D2, Dan D3 Untuk 5 tahun
Mecari D3
9,50 = (a1.D1)+ (a2 . D2) + (a3 . D3)
9,50 = (0,40 . 10) + (0,14 . 0,20) + (0,12 . D3) 9,50 = 4,0 + 2,8 + 0,12 . D3
9,50 = 6,8 + 0,12 . D3 9,50 -6,8 = 0,12 . D3 2,70 = 0,12 . D3
D3 = 2,70/0,12 = 23Cm
Mecari D2
9,50 = (a2 . D2) + (a3 . D3) 9,50 = (0,14 . D2) + (0,12 . 23) 9,50 = 0,14.D2 + 2,76
9,50 -2,76 = 0,14.D2 6,74 = 0,14 . D2
D2 = 6,74/0,14 = 48 Cm
Mecari D1
9,50 = (0,40 . D1) + (0,12 . 48) 9,50 = 0,40.D2 x 5,76
9,50 -5,76 = 0,40.D2 3,74 = 0,40 . D2
D1 = 3,74/0,40 = 9 Cm
Jadi di dapat :
- Lapisan permukaan : Laston, MS 744 d1 = 9 cm
- Lapisan Pondasi atas : Batu pecah kelas A d2 = 48 cm
- Lapisan Pondasi bawah : Sirtu kelas B (CBR 50) d3 = 23 cm
Lapisan perkerasan Untuk 5 Tahun
Sirtu kelas B (CBR 50)
Tanah dasar Batu pecah kelas A Laston (MS 744) 9 cm
48 cm
Untuk 10 Tahun
Koefisien kekuatan relatif, dilihat dari tabel koefisien relatif - Lapisan permukaan : Laston, MS 744 a1 = 0,40
- Lapisan Pondasi atas : Batu pecah kelas A a2 = 0,14
- Lapisan Pondasi bawah : Sirtu kelas B a3 = 0,12
Tebal lapisan minimum dilihat dari ITP = 10,60
Lapisan permukaan : Laston, MS 744 d1 = 10 cm
- Lapisan Pondasi atas : Batu pecah kelas A d2 = 20 cm
- Lapisan Pondasi bawah : Sirtu kelas B (CBR 50)d3 = 10 cm
Mencari D1,D2, Dan D3 Untuk 10 tahun
Mecari D3
10,60 = (a1.D1)+ (a2 . D2) + (a3 . D3)
10,60 = (0,40 . 10) + (0,14 . 0,20) + (0,12 . D3) 10,60 = 4,0 + 2,8 + 0,12 . D3