• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penggunaan Jilbab sebagai Simbol Kesopan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Penggunaan Jilbab sebagai Simbol Kesopan"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

Lutfiyah Rahma

4415122364

Pendidikan Sejarah 2012 Kelas A

Penggunaan Jilbab

sebagai Simbol Kesopanan dan Perlawanan

Pemakaian jilbab pada kaum wanita merupakan sebuah fenomena sosial yang sudah lumrah akhir-akhir ini di negara Indonesia, karena telah kita semua ketahui

bahwa Indonesia merupakan negara mayoritas pemeluk agama Islam di mana aturan mengenakan jilbab pada kaum wanita telah tersurat dalam kitab suci umat Islam,

Al-Qur’an.

Fenomena pemakaian jilbab pada kaum wanita bukan berarti tidak menimbulkan suatu permasalahan apa-apa. Apabila ditinjau dari segi sosial dan

budaya, penggunaan jilbab merupakan suatu simbol fundamental. Berjilbab merupakan fenomena yang kaya makna dan penuh nuansa. Ia berfungsi sebagai

(2)

Dalam karya tulis ini, penulis mengambil kasus mengenai fenomena penggunaan jilbab sebagai suatu simbol kesopanan dan juga perlawanan. Dalam

kajian terhadap kasus ini, penulis menggunakan teori interaksionalisme simbolik sebagai landasan atau dasar teori sosial budaya untuk lebih memperkuat bahwa penggunaan jilbab dalam masyarakat, yakni pada masyarakat kaum wanita

merupakan salah satu kasus sosial yang seharusnya tidak dianggap sebagai angin lalu saja. Namun, dibalik itu, dalam penggunaan jilbab mengandung sebuah interaksi

sosial.

Menyoal pada salah satu teori sosial, yakni teori interaksionisme simbolik, penulis akan menjelaskan terlebih dahulu mengenai teori interaksionisme simbolik

sebelum membahas kasus yang menjadi sorotan utama dalam tulisan ini.

Interaksionisme simbolik merupakan salah satu teori sosial yag terkenal. Teori

interaksionisme simbolik adalah teori yang menunjukkan jenis-jenis aktivitas

manusia dalam memandang pentingnya memahami kehidupan sosial. Interaksionisme simbolik mengacu pada interaksi manusia melalui penggunaan simbol-simbol, yaitu

bagaimana cara manusia menggunakan simbol untuk mengungkapkan apa yang mereka maksud, dan juga dapat dijadikan sebagai suatu alat komunikasi satu sama

(3)

Interaksionisme simbolik mempelajari sifat interaksi yang merupakan kegiatan sosial dinamis yang terjadi pada kehidupan manusia. Bagi perspektif ini, individu

bersifat aktif, reflektif, dan kreatif yang mammpu menafsirkan, menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan. Paham atau teori ini menolak gagasan bahwa individu adalah organisme yang pasif yang perilakunya ditentukan oleh

kekuatan-kekuatan atau struktur yang ada di luar dirinya. Oleh karena individu terus berubah, maka masyarakat pun berubah melalui interaksi. Jadi, interaksi sosial lah

yang dianggap sebagai suatu variabel penting yang menentukan perilaku manusia, bukan struktur masyarakat. Struktur sendiri tercipta dan berubah disebabkan adanya interaksi manusia, yakni ketika individu-individu berpikir dan bertindak secara stabil

terhadap seperangkat objek yang sama.

Persepektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut

pandang subjek. Persepektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain, situasi, objek dan bahkan

diri mereka sendirilah yang menentukan perilaku mereka. Perilaku mereka tidak dapat digolongkan sebagai kebutuhan, dorongan impuls, tuntutan budaya atau

(4)

situasi sebagai riil, situasi tersebut riil dalam konsekuensinya” sering dihubungkan dengan interaksionisme simbolik.1

Salah satu tokoh yang menganut teori interaksionimse simbolik ini adalah Herbert Mead. Sedikit mengenai riwayat Herbert Mead, beliau dilahirkan pada 27 Februari 1863 di Hadley Selatan, Massachussets, Amerika Serikat. Ayahnya bernama

Hiram Mead dan ibunya bernama Elizabeth Storrs Mead, sedangkan saudara

perempuannya bernama Alice. Ayahnya adalah seorang Pastor di Orbelin College dan

ibunya juga semapat mengajar di Orbelin College selama dua tahun. Mead

mendapatkan gelar B.A. di Oberlin College, lalu mengajar di sana selama 4 bulan. Setelah itu ia melanjuktan sekolahnya di Harvard University dimana ia sangat tertarik

dengan filsafat dan psikologi. Setelah menyelesaikan disertasinya, ia pun pindah ke University of Michigan, dan kemudian ia pindah lagi ke University of Chicago, di

sana ia bertemu dengan Charles Horton Cooley dan John Dewey. Merekalah yang mempengaruhi pemikirannya. Mead mengajar di University of Chicago hingga akhir hayatnya.2

Mead mengembangkan teori interaksionisme simbolik pada tahun 1920-an ketika beliau menjadi professor filsafat di Universitas Chicago. Namun,

gagasan-gagasannya mengenai interaksionisme simbolik berkembang pesat setelah para mahasiswanya menerbitkan catatan dan kuliah-kuliah dari Mead. Terutama melalui

1 Deddy Mulyana, Human Communication: Konteks-Konteks Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), hlm. 70.

(5)

buku yang menjadi rujukan utama teori interaksionisme simbolik, yakni mind, self and society.3

Karya Mead yang paling terkenal tersebut menggarisbawahi tiga konsep kritis yang dibutuhkan dalam menyusun sebuah diskusi tentang teori interaksionisme simbolik. Tiga konsep ini saling mempengaruhi satu sama lain dalam term

interaksionisme simbolik. Dari itu, pikiran manusia (mind) dan interaksi sosial (self

dengan orang lain) digunakan untuk menginterpretasikan dan memediasi masyarakat

(society) di mana kita hidup. Makna berasal dari interaksi dan tidak dari cara yang lain. Pada saat yang sama “pikiran” dan “diri” timbul dalam konteks sosial

masyarakat. Pengaruh timbal balik antara masyarakat, pengalaman individu dan

interaksi menjadi bahan bagi penelaahan dalam tradisi interaksionalisme simbolik.

1. Pikiran (Mind)

Pikiran, yang didefinisikan Mead sebagai proses percakapan seseorang dengan dirinya sendiri, tidak ditemukan di dalam diri individu, pikiran

adalah fenomena sosial. Pikiran muncul dan berkembang dalam proses sosial dan merupakan bagian integral dari proses sosial. Proses sosial

mendahului pikiran, proses sosial bukanlah produk dari pikiran. Jadi, pikiran juga didefinisikan secara fungsional ketimbang secara substantif. Karakteristik istimewa dari pikiran adalah kemampuan individu untuk

(6)

Melakukan sesuatu berarti member respon terorganisir tertentu, dan bila seseorang mempunyai respon itu dalam dirinya, ia mempunyai apa

yang kita sebut pikiran. Dengan demikian pikiran dapat dibedakan dari konsep logis lain seperti konsep ingatan dalam karya Mead melalui kemampuannya menanggapi komunitas secara menyeluruh dan

mengembangkan tanggapan terorganisir. Mead juga melihat pikiran secara pragmatis. Yakni, pikiran melibatkan proses berpikir yang mengarah pada

penyelesaian masalah.4 2. Diri (Self)

Pemikiran Mead tentang pikiran, melibatkan gagasannya mengenai konsep diri. Pada dasarnya diri adalah kemampua untuk menerima diri

sendiri sebagai sebuah objek. Diri adalah kemampuan khusus untuk menjadi subjek maupun objek. Diri mensyaratkan proses sosial yakni komunikasi antar manusia. Diri, muncul dan berkembang melalui aktivitas

dan antara hubungan sosial. Menurut Mead adalah mustahil membayangkan diri yang muncul dalam ketiadaan pengalaman sosial. Tetapi, segera setelah

diri berkembang, ada kemungkinan baginya untuk terus ada tanpa kontak sosial.

3. Masyarakat (Society)

Pada tingkat paling umum, Mead menggunakan istilah masyarakat

(society) yang berarti proses sosial tanpa henti yang mendahului pikiran dan diri. Masyarakat penting perannya dalam membentuk pikiran dan diri. Di

(7)

tingkat lain, menurut Mead, masyarakat mencerminkan sekumpulan tanggapan terorganisir yang diambil alih oleh individu dalam bentuk “aku”

(me). Menurut pengertian individual ini masyarakat memperngaruhi mereka, member mereka kemampuan melalui kritik diri, untuk mengendalikan mereka sendiri. Sumbangan terpenting Mead tentang

masyarakat, terletak dalam pemikirannya mengenai pikiran dan diri. Pada tingkat kemasyarakatan yang lebih khusus, Mead mempunyai sejumlah pemikiran tentang pranata sosial. Secara luas, Mead

mendefinisikan pranata sebagai “tanggapan bersama dalam komunitas” atau

“kebiasaan hidup komunitas”.secara lebih khusus, ia mengatakan bahwa, keseluruhan tindakan komunitas tertuju pada individu berdasarkan keadaan

tertentu menurut cara yang sama, berdasarkan keadaan itu pula, terdapat respon yang sama di pihak komunitas. Proses ini disebut “pembentukan pranata”.5

Persepektif interaksi simbolik sebenarnya berada di bawah paying persepektif yang lebih besar lagi, yakni persepektif fenomenologis atau persepektif interpretatif.

Secara konseptual, fenomenologi merupakan studi tentang pengetahuan yang berasal dari kesadaran atau cara kita sampai pada pemahaman tentang objek-objek atau kejadian-kejadian yang secara sadar kita lami. Fenomenologi melihat objek-objek dan

(8)

peristiwa-peristiwa dari persepektif seseorang sebagai perceiver. Sebuah fenomena adalah penampakan sebuah objek, peristiwa atau kondisi dalam persepsi individu.6

Menurut teori interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol. Secara ringkas,

interaksionisme simbolik didasarkan pada premis-premis berikut. Pertama, individu

merespon suatu simbolik. Mereka merespon lingkungan, termasuk objek fisik dan sosial berdasarkan makna yang dikandung komponen-komponen lingkungan tersebut

bagi mereka. Kedua, makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Ketiga, makna yang diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan

dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial.

Dalam merelevansikan kerangka teori mengenai interaksionisme simbolik pada

kasus sosial yang terjadi di dalam masyarakat, maka berikut pembahasan mengenai topik yang diambil oleh penulis.

Banyak istilah kata yang digunakan dalam menyebut kain penutup kepala

tersebut, ada yang menyebutnya hijab, kerudung, atau pun jilbab. Dalam bahasa Inggris, jilbab dikenal dengan sebutan veil, biasa dipakai untuk merujuk pada penutup

tradisional kepala, wajah, atau tubuh wanita di Timur Tengah dan Asia Selatan. Sebagai kata benda, kata ini digunakan untuk empat ungkapan :

(9)

1. Kain panjang yang dipakai wanita untuk menutup kepala, bahu, dan kadang-kadang muka

2. Rajutan panjang yang ditempelkan pada topi atau tutup kepala wanita, yang dipakai untuk memperindah atau melindungi kepala dan wajah

3. a. Bagian tutup kepala biarawati yang melingkari wajah terus ke bawah sampai menutupi bahu.

b. kehidupan atau sumpah biarawati

4. Secarik tekstil tipis yang digantung untuk memisahkan atau menyembunyikan sesuatu yang da di baliknya, sebuah gorden.7

Dapat disimpulkan bahwa sederet makna yang diterapkan dalam istilah veil

meliputi empat dimensi, yaitu material, ruang, komunikatif, dan religious. Dimensi material berisi pakaian dan ornamen-ornamen seperti jilbab dalam arti bagian dari

pakaian yang menutupi kepala, bahu, dan wajah atau dalam arti hiasan yang menutup topi dan menggantung di depan mata. Dalam penggunaan ini, veil tidak saja menutupi

wajah, tapi terus memanjang sampai kepala dan bahu. Dimensi ruang mengartikan

veil sebagai layar yang membagi ruang secara fisik, sedangkan dimensi komunikatif menekankan pada makna penyembunyian dan ketidaktampakan. Dalam dimensi

religius, bermakna pengasingan diri dari kehidupan dunia dan kebutuhan seksual.

Penggunaan jilbab memiliki sejarah yang sangat panjang bagi kehidupan

manusia. Jilbab tidak hanya dikenal pada kalangan umat muslim saja, tetapi ada juga aturan memakai jilbab atau penutup kepala pada wanita-wanita Nasrani dan Yahudi. Namun, pada masa dewasa ini jilbab lebih dikenal sebagai simbol dari agama Islam. 7Fadwa El Guindi, Jilbab : Antara Kesalehan, Kesopanan, dan Perlawanan

(10)

Jilbab adalah sebuah benda yang kemunculannya akibat dari dorongan syariat, artinya munculnya ide budaya materi jilbab adalah berasal dari hukum Allah yang

jelas, telah diberi definisi dan ketentuan apa yang dimaksud, dan dalam kadar seperti apa sesuatu itu bisa disebut sebagai jilbab, semuanya tertulis jelas dalam kitab suci Al-Qur’an, surat An-Nur ayat 23. Dapat ditafsirkan bahwa awalnya jilbab masih

sebatas sebagai fungsi teknis, artinya baru sebatas sebagai sebuah benda yang memiliki fungsi untuk menutupi bagian tubuh yang dilarang utuk dilihat oleh orang

lain dan untuk menghindari maksiat bagi yang melihat.

Masyarakat pendukung atau yang menggunakan jilbab pada awalnya masih memegang teguh ketentuan-ketentuan dalil tentang jilbab, dan belum terfikirkan

untuk mengubah makna jilbab itu sendiri. Ketika Islam pada abad 9 sampai 12 mengalami perkembangan dan persebaran, sehingga mengalami akulturasi dengan

kebudayaan lainnya, seperti di sebagian negara Timur Tengah berkembang model jilbab dengan cadar, burqa8, niqab9. Kemudian berkembang pula di Nusantara atau

Melayu pada abad 19 jilbab dalam bentuk selendang yang tidak sepenuhnya menutupi

kepala digunakan oleh kaum wanita yang telah memeluk agama Islam. Hal ini menggambarkan bahwa ada sebuah perkembangan dalam upaya utuk menafsirkan

jilbab. Faktornya tentu banyak sekali, hal ini bisa terkait dengan kondisi sosial budaya, lingkungan, dan pemahaman atas dalil agama.

8Burqa adalah sebuah pakaian yang membungkus seluruh tubuh yang dikenakan oleh sebagian perempuanMuslim di Afganistan, Pakistan, dan India utara.

(11)

Misalnya, di Jawa pada abad 19 masih sedikit masyarakat yang memakai jilbab yang sesuai dengan ketentuan dalil, mereka hanya mengenakan sebatas selendang

yang diselampirkan di kepala, beberapa pendapat mengemukakan bahwa hal ini sebagai dampak pola penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh Wali Songo sangat toleran dengan budaya lokal sehingga Wali Songo baru menyampaikan

masalah Teologis dan belum sampai pada masalah fiqih tentang pemakaian jilbab, karena mereka menyadari bahwa hal ini akan mengubah budaya berpakaian

masyarakat Jawa.

Hingga abad-abad selanjutnya, pemahaman manusia atas dalil agama yang menyebutkan keharusan dalam berjilbab mulai dimaknai sebagai materi yang sakral,

karena ini adalah perintah Allah, dan penggunaan jilbab pada pola pemikiran seperti ini merupakan penggunaan jilbab masih dalam lingkup simbol kesopanan, karena

mereka yang menggunakan jilbab ingin menutupi aurat mereka, yakni bagian anggota tubuh dari seorang wanita yang harus disembunyikan dari pandangan masyarakat umum yang bukan menjadi mahram atau tidak memiliki hubungan darah dengan

wanita pemakai jilbab tersebut. Selain itu, simbol kesopanan ini menggambarkan akan ketaatan pada perintah Tuhannya yang sudah tercantum di dalam kitab

agamanya.

(12)

Semisal yang terjadi di Mesir, jilbab kontemporer merepresentasikan sebuah pergerakan yang telah melewati beberapa kali fase transisi sejak tahun 1970-an, yang

telah menyebar di seluruh wilayah Arab dan belahan dunia yang lain. Rupanya, pakaian termasuk jilbab telah memainkan sebuah simbol yang sangat penting, peran ritual dan politik dalam fenomena yang dinamis.10

Pada tahun 1970-an, ketika beberapa wanita muda Mesir memakai jilbab, pemerintah yang sekularis mulai merasakan ancaman dari militansi Islam dan

mencari berbagai solusi. Pada tahun 1993, menteri pendidikan (Husain Kamal Baha’ al-Din) tampaknya berusaha memerangi aktivisme Islam dengan memberlakukan beberapa perubahan dalam area pendidikan, seperti transfer atau penurunan pangkat

guru-guru yang berkecenderungan aktivis, revisi kurikulum, dan pembatasan pemakaian jilbab. Namun, larangan pemakaian jilbab pada universitas-universitas

ditolak oleh pengadilan. Menjelang 1994, usaha untuk membatasi pemakaian jilbab di sekolah-sekolah hanya bagi siswa yang memperoleh izin dari orang tuanya menerima kritik tajam. Menteri pendidikan mulai berputar balik, menyerah dengan mengiinkan

gadis-gadis pelajar berjilbab walaupun tanpa kesediaan orang tua. Campur tangan pemerintah dalam urusan jilbab masih kontroversial di Mesir.

Selanjutnya, selama dekade pertama pergerakan yang terjadi di Mesir, kode berpakaian untuk wanita dihubungkan dengan tingkat pengetahuan dan bacaan mengenai Islam, juga sampai pada tahap skala kepemimpinan di kalangan wanita.

(13)

Semakin intensif seorang wanita di perguruan tinggi menutup tubuhnya, yakni dengan mengenakan jilbab sampai rapat dan panjang, maka semakin “serius” perilaku

publiknya, semakin banyak pula pengetahuannya terhadap sumber-sumber Islam, dan semakin tinggi skala kepemimpinannya di kalangan wanita. Ia akan memimpin diskusi-diskusi, seperti di masjid-masjid dan dalam ruang-ruang mahasiswa di

sela-sela kuliah. Namun penghubungan ini kemudian agak pudar ketika gerakan itu telah menyebar di luar kampus dan jilbab menjadi bagian dari kehidupan normal,

bercampur dengan lingkungan sekuler di Kairo dan kota-kota besar lainnya.11

Lalu di Turki, pada tahun 1970-an terdapat serangkaian upaya untuk

menciptakan “gaya pakaian asli bagi wanita muslim dan untuk melegitimasi pakaian

Islam tradisional”. Wanita turki mulai memakai jubah panjang dan selendang kepala, aksi ini merupakan akibat dari perpecahan yang terjadi antara sekularis dan pembela

Islam.

Di negara-negara Timur Tengah lainnya, berjilbab bagi wanita perguruan tinggi yang oleh banyak orang ditolak karena dianggap “iseng” saja, berbalik menjadi

sebuah gerakan sosial dan politik yang kuat dan ulet. Walaupun mungkin dimulai oleh wanita, tren itu berkembang dan memiliki pesan tegas untuk disampaikan.

Pakaian melembagakan sebuah kode sosial moral dan berfungsi sebagai alat sentral bagi pesan ini. dalam konteks ini, faktor-faktor lokal, regional, dan global berpadu

(14)

ketika berjuang untuk meraih kemerdekaan dari kekuasaan kolonial atau pemerintahan kolonial dan para wanita berjuang untuk emansipasi.

Perlawanan dengan pakaian wanita dan jilbab lainnya terjadi juga di Aljazair. Aljazair sebagai negara jajahan dari Prancis, rakyatnya yang sebagian besar pemeluk agama Islam mengadakan perlawanan kepada Prancis. Pada akhir tahun 1980-an,

Prancis melakukan sebuah gerakan yakni gereja dan pastur kulit putih terlibat dalam kegiatan misionaris yang agresif untuk mencari pengikut baru. Namun, bagaimana

pun hal ini mengalami kegagalan total. Di Aljazair, sebagaimana di kawasan Arab lainnya, misionaris Kristen tidak mampu menggantikan Islam. Dan di sisi lain gerakan nasionalis Aljazair mulai terbentuk. Pemerintahan Prancis mulai menyerang

letupan-letupan anti Prancis tersebut, sebagian besar dengan cara membuat patokan-patokan untuk meruntuhkan kebudayaan Aljazair.

Strategi lainnya yang dilakukan oleh Prancis ialah dengan mengadakan

asimilasi kelas atas Aljazair dengan mem-Pranciskan wanita Aljazair. Latarbelakang melakukan hal tersebut ialah apabila wanita telah tercerabut dari akar budayanya,

maka yang lainnya akan mengikuti. Jilbab menjadi target strategi kolonial untuk mengontrol dan mempengaruhi wanita Aljazair agar melepaskan jilbabnya. Penjajah

tersebut bersikap hormat kepada wanita yang tidak berjilbab di Aljazair. Proses tersebut diperkuat dengan alasan bahwa aturan-aturan tersebut dibuat untuk memodernisir Aljazair agar sesuai dengan selera penjajah. Akan tetapi, aljazair

(15)

untuk menghina akar budaya. Taktik seperti itu membuat orang-orang Arab menghubungkan proses pelepasan jilbab wanita muslim dengan strategi kolonial

untuk menghina dan menghancurkan kebudayaan. Efeknya adalah perlawanan terhadap apa yang dilakukan oleh Prancis dan mereka malah memperkuat jilbab sebagai bagian dari simbol nasionl dan kultural perjuangan wanita Aljazair, yang

memberikan jilbab vitalitas baru.

Pada masa itu, jilbab merupakan simbol resistensi melawan hukum penjajah

asing, melawan penjajahan kontemporer di tanah Palestina, dan melawan rezim yang tidak disahkan oleh pemilu, tapi tetap menegaskan tradisi dan identitas Aljazair. Perjuangan Aljazair masih terus berlangsung, pada tahun 1998 Aljazair masih

membebaskan dirinya dari hukum kolonial Prancis, walaupun telah merdeka sejak 1956. Pada Juli 1998, Aljazair telah menetapkan (kembali) bahasa Arab sebagai

bahasa resmi negara itu.

Isu jilbab di negara Iran juga menuai polemik yang berarti. Pada masa kepemimpinan Syah Reza pada tahun 196, dalam perjuangan Westernisasinya ia

melarang penggunaan jilbab pada masyarakatnya, dan para polisi menahan wanita-wanita yang memakai jilbab dan dengan paksa melepasnya, serta para ulama

dianiaya. Tindakan yang dilakukan oleh pemerintah ini mendapat sambutan yang baik oleh laki-laki dan perempuan dari kelas atas dan mereka yang telah ter-Baratkan, yang memandangnya dalam istilah liberal sebagai tahap pertama untuk memberikan

(16)

membangkitkan emosi kuat bagi semua pihak. Isu ini juga menjadi arena utama konflik antara kekuatan modernitas melawan otentisitas Islam, di mana setiap pihak

telah memproyeksikan visi mereka sendiri akan moralitas.12

Setelah Syah Reza turun tahta pada tahun 1941, kewajiban melepas jilbab tidak diberlakukan lagi, walaupun kebijakan itu masih utuh di sepanjang era Pahlevi.

Antara tahun 1941 sampai 199, memakai jilbab tidak lagi dianggap melanggar hukum, tetapi jilbab masih merupakan penghalang untuk meningkatkan karir sosial,

sebuah lambang untuk keterbelakangan dan penanda kelas. Sehelai kain pun yang menutupi kepala para wanita di Iran dapat menghambat kesempatan untuk maju dalam bekerja dan bermasyarakat.

Di Indonesia yang juga sebagian besar penduduknya merupakan pemeluk agama Islam, telah mengalami pula masa-masa pelarangan untuk menegnakan jilbab

bagi kaum wanita, sehingga bagi siapa saja yang melanggar pemerintahan saat itu dan tetap menggunakan jilbab maka dianggap sebagai aksi perlawanan terhadap

pemerintah. Adalah rezim orde baru pada tahun 1980-an, hampir mustahil

menemukan perempuan yang berjilbab di Indonesia yang bekerja sebagai sekretaris di perusahaan multinasional, atau instansi pemerintahan lainnya.

Pada era Orde Baru, pemerintah mengeluarkan SK 052/1982 tentang larangan berjilbab di sekolah dan mengasosiasikan pemakainya sebagai gerakan politik yang

(17)

menentang rezim.13 Larangan pemakaian jilbab ini juga berlaku bagi pegawai negeri sipil. Larangan ini membuat ratusan perempuan muslim bernegosiasi, mereka

menggunakan jilbab di rumah, tetapi tidak menggunakannya apabila mereka beraktivitas di kantor pemerintahan. Bahkan beberapa sekolah dan universitas mengusulkan agar para pelajar wanita tidak menggunakan jilbab untuk foto di ijazah

dengan alasan agar mudah dalam mencari pekerjaan. Hal ini mengakibatkan muslimah berjilbab memiliki keterbatasan pada pilihan karir di era Orde Baru.

Dari pembahasan mengenai fenomena penggunaan jilbab yang ternyata dijadikan sebagai simbol, baik dari kesopanan maupun perlawanan, maka dapat disimpulkan bahwa jilbab sebagai simbol dalam kesopanan seorang wanita adalah

karena perintah untuk mengenakan jilbab telah jelas tertulis dalam kitab suci Al-Qur’an sebagai perintah Allah swt. yang wajib untuk dilaksanakan. Simbol jilbab

dalam arti kesopanan berarti seorang wanita yang menggunakan jilbab tealah menutupi auratnya. Aurat ialah bagian tubuh yang harus dilindungi dan tidak boleh diperlihatkan secara public oleh seorang wanita tersebut selain kepada keluarga atau

orang yang telah menjadi mahramnya atau memiliki hubungan darah. Serta agar wanita tersebut mampu menjaga pandangan dan perbuatannya ketika ia mengenakan

jilbab yang menutupi kepalanya, karena jilbab tersebut merupakan suatu benda yang sakral.

(18)

Sedangkan penggunaan jilbab sebagai simbol perlawanan, merujuk pembahasan dari beberapa negara yang mengalami hal demikian, maka dapat ditarik pula

kesimpulan bahwa kaum berjilbab yang melakukan perlawanan ialah mereka yang ingin mempertahankan nilai-nilai Islam melawan pemerintahan atau pihak yang menganut sekularisme dan merasa terancam apabila pemakaian jilbab pada umat

Islam diperbolehkan.

Hal ini berkaitan dengan anggapan dunia Barat atau penganut paham

sekularisme bahwa agama atau tradisi pada agama Islam merupakan agama yang keras dan kejam, menurut anggapan mereka Islam selalu menggunakan cara

kekerasan dan sama sekali tidak menghormati dan selalu merendahkan kaum wanita.

Akibat dari hal itulah kemudian para pemerintah atau golongan sekularian sangat menentang dengan keras penggunaan simbol agama Islam seperti jilbab dalam negara

atau pemerintahannya. Dengan demikian, siapa saja yang berani melanggar aturan larangan pemakaian jilbab tersebut maka dengan terang-terangan mereka menentang rezim atau pemerintah yang mengeluarkan peraturan itu.

Ketegangan antara negara dan simbol-simbol agama yang terjadi baik di Indonesia maupun belahan lain di dunia adalah akibat dari pergumulan semangat

(19)

Dalam kasus penggunaan jilbab di Indonesia pada masa rezim Orde Baru ialah korban dari kecurigaan rezim terhadap kelompok Islam Politik. Jilbab oleh Orde Baru

diartikan secara sederhana sebagai representasi kelompok Islam ekstrimis yang bisa mengganggu keamanan negara. Jilbab bukan lagi dianggap sebagai pilihan religius individu, tapi sejenis bentuk pemberontakan sehingga setiap muslimah yang

menggunakan jilbab dicurigai ideologinya dan kesetiaannya pada negara. Pada tingkat ini lah jilbab yang idealnya merupakan sebuah pilihan dan hak individu dalam

mengartikan agamanya kemudian ditarik ke ranah politik oleh Orde Baru.

Jilbab merupakan metafora yang penuh kekuatan, sanggup mengayomi

berbagai makna dan membentuk banyak fungsi. Pemberdayaan jilbab dapat menjadi

sangat kuat sebagaimana pelarangannya. Sementara jilbab tidak diragukan lagi membatasi sebagian wanita, jilbab juga mengemansipasikan yang lain dengan

melegitimasi kehadiran mereka di tengah kehidupan publik. 14

Tentu saja persepsi mengenai jilbab adalah representasi dari politik yang anti negara sekuler merupakan tuduhan yang ahistoris dan tidak dapat dibuktikan

kebenarannya. Pada perkembangannya, kita menemui banyak perempuan berjilbab menempati posisi penting di pemerintahan yang menyokong negara sekuler.

Di Indonesia sendiri, penggunaan jilbab telah mengalami kemajuan yang luar biasa dengan mengembalikan jilbab sebagai hak muslimah dan tidak

(20)

mencampuradukannya dengan pandangan politik pengguna walaupun hal ini memerlukan waktu selama lebih kurang 15 tahun.

Daftar Pustaka

Buku :

El Guindi, Fadwa. Jilbab : Antara Kesalehan, Kesopanan, dan Perlawanan. Jakarta : Serambi. 1999.

(21)

Rahardjo, Turnomo. Menghargai Perbedaan Kultural: Mindfulness Dalam Komunikasi Antaretnis. Jogjakarta: Pustaka Pelajar 2005.

Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. Teori Sosiologi Modern. Jakarta : Kencana. 2005.

Sumber Penunjang Lainnya :

http://en.wikipedia.org/wiki/George_Herbert_Mead. (Diakses pada 02 Januari 2015, pukul 10.15 WIB).

Referensi

Dokumen terkait

Broilerin lihan hintatiedot kerätään ja julkaistaan Luonnonvarakeskuksen tilastopalveluissa 4.. Edellisen kuukauden hinta julkaistaan seuraavan kuun

(Bacakan Matius 11:28 kepada mereka) Yesus mahu anda membawa beban dan kesusahan anda kepada-Nya agar anda tidak perlu menanggungnya seorang diri.. Dia mahu membawa

bagaimana pembentukan habitus siswa dari penerapan inovasi kurikulum khas Sekolah Alam Bangka Belitung...

Instansi Pemerintah Kabupaten Klungkung yang menangani dan terkait dalam pengelolaan persampahan adalah Dinas Kebersihan dan Pertamanan. Pemerintah Kabupaten Klungkung

Alur penelitian yang dilakukan yaitu melakukan kunjungan ke sekolah menengah pertama yang sudah menerapkan ujian nasional berbasis komputer, mengkaji literatur yang

Untuk keperluan tersebut, Pusat Karantina Tumbuhan dan Keamanan Hayati Nabati menyusun “Pedoman Sistem Sertifikasi Fitosanitari Palm Kernel Expeller (PKE) Tujuan New

adalah politisi profesional yang aktif dengan jejaring yang sangat kuat, dan beliau juga banyak menulis buku mengenai infrastruktur yang pro-rakyat. Dan saya kira tugas beliau saat

Penelitian ini telah menghasilkan model simulasi berbasis agen yang dapat menggambarkan efek penerapan alat otomasi terhadap jumlah lapangan kerja yang ditinjau dari