• Tidak ada hasil yang ditemukan

Buletin Tata Ruang dan Pertanahan Edisi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Buletin Tata Ruang dan Pertanahan Edisi"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

Peran Tata Ruang dan Pertanahan dalam Pembangunan

Kawasan Perbatasan sebagai Prioritas RPJMN 2015 - 2019

Kebijakan Pembangunan Kawasan Perbatasan 2015 – 2019

Ir. R. Aryawan Soetiarso Poetro, MSi

Direktur Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal, Kementerian PPN/Bappenas

Materi Teknis Revisi Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Berdasarkan Perspektif

Pengurangan Risiko Bencana

Kajian Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan, Kementerian PPN/Bappenas

Internalisasi Nawacita: Membangun Kawasan Perbatasan dalam perspektif Tata Ruang dan

Pertanahan

Ir. Budi Situmorang, MURP

Direktur Tata Ruang Wilayah Nasional, Kementerian Agraria dan Tata Ruang

Entikong: gerbang terdepan perbatasan Indonesia Melihat dari Dekat

(2)

Tidak terasa kita berjumpa kembali. Pada kesempatan pertama kami Keluarga Besar Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan Bappenas

menyampaikan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1436 Hijriah. Mohon Maaf Lahir dan Batin.

Pada edisi ini, kami menyajikan tema Peran Tata Ruang dan Pertanahan dalam Pembangunan Kawasan Perbatasan sebagai Prioritas RPJMN 2015-2019. Ada apa dengan kawasan perbatasan?. Tentu saja perhatian terhadap kawasan perbatasan bukan tanpa alasan. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu agenda prioritas yang tercantum dalam Nawacita adalah “Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan”. Dalam konteks inilah kemudian kawasan perbatasan dimaknai sebagai salah satu daerah pinggiran. Namun yang lebih penting lagi adalah adanya keinginan pemerintahan saat ini menjadikan kawasan perbatasan sebagai beranda depan atau bagian dari etalase Indonesia.

Untuk mewujudkan agenda maupun keinginan pemerintah tersebut, banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Salah satunya adalah melakukan pembenahan terhadap kondisi tata ruang dan pertanahan kawasan perbatasan. Untuk meningkatkan pemahaman dan wawasan kita, Buletin TRP kali ini mengetengahkan beragam materi mulai dari wawancara dengan Direktur Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal Bappenas yang selama ini mengawal pembangunan kawasan perbatasan, tulisan dari Direktur Tata Ruang Wilayah Nasional Kementerian ATR/BPN yang banyak membahas RPJMN, dan dilengkapi dengan melihat dari dekat salah satu kawasan perbatasan yang sudah sangat dikenal yaitu Entikong. Selain itu, disajikan pula Peraturan Presiden terkait RTR Kawasan Perbatasan di Provinsi NTT sebagai contoh pengaturan tata ruang kawasan perbatasan. Tidak lupa juga disertakan ringkasan buku terkait Pengembangan Kawasan Perbatasan.

Diharapkan sajian kali ini dapat menambah khasanah pengetahuan pembaca terhadap pentingnya pembangunan kawasan perbatasan dan tentunya peran tata ruang dan pertanahan dalam pembangunan kawasan perbatasan.

Akhir kata, kami selalu menantikan kritik dan saran dari para pembaca demi peningkatan kualitas Buletin TRP.

Selamat membaca. Salam

dari redaksi

Pelindung

Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah

Penanggung Jawab Direktur Tata Ruang dan Pertanahan

Pemimpin Redaksi Santi Yulianti

Dewan Redaksi Mia Amalia Uke M. Hussein

Nana Apriyana Rinella Tambunan

Editor Gina Puspitasari Rini Aditya Dewi

Redaksi Hernydawati Aswicaksana Rafli Noor Elmy Yasinta Ciptadi

Idham Khalik Cindie Ranotra Riani Nurjanah Aulia Oktriana Laiadji

Zaharatul Hasanah Meddy Chandra

Gita Nurrahmi Fadiah Adlina Ulfa Reza Nur Irhamsyah

Edi Setiawan

Desain & Tata Letak Dodi Rahadian Indra Ade Saputra

Distribusi & Administrasi Sylvia Krisnawati

Redha Soiya Pratiwi Khoiriyah

Alamat Redaksi

Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan, Kementerian PPN/

Bappenas Jl. Taman Suropati No. 2

Gedung Madiun Lt. 3 Jakarta 10310 telp: 021 - 392 66 01 email: trp@bappenas.go.id

website: www.trp.or.id portal: www.tataruangpertanahan.com

facebook: trp.bappenas

Redaksi menerima kiriman tulisan/artikel dari luar, Isi berkaitan dengan penataan ruang dan pertanahan dan belum pernah dipublikasikan.

Panjang naskah tidak dibatasi. Sertakan identitas diri, Redaksi berhak

(3)

edisi I tahun 2015

Peran Tata Ruang dan Pertanahan dalam Pembangunan Kawasan

Perbatasan sebagai Prioritas RPJMN 2015 - 2019

Kebijakan Pembangunan Kawasan Perbatasan 2015 – 2019

Ir. R. Aryawan Soetiarso Poetro, MSi

Direktur Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal, Kementerian PPN/Bappenas

Penyusunan Rencana Tata Ruang Berdasarkan Perspektif Pengurangan

Resiko Bencana: Materi Teknis Revisi Pedoman

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) sebagai

Rencana Induk Pembangunan:

Lesson Learned

dari Pelaksanaan RPJMN

2010-2014

Ir. Budi Situmorang, MURP

Direktur Tata Ruang Wilayah Nasional, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional

Entikong: gerbang terdepan perbatasan Indonesia

Melihat dari Dekat

daftar isi

koordinasi trp

sosialisasi peraturan

dalam berita

ringkas buku

1

13

20

22

27

2

15

7

19

(4)

Pembangunan kawasan perbatasan harus memenuhi prinsip sustainability, prosperity, dan security. Bagaimana strategi memenuhi prinsip tersebut?

Pertama, prosperity atau kesejahteraan masyarakat perbatasan. Ini dilakukan dengan mengorientasikan agar seluruh upaya pembangunan perbatasan ditujukan untuk meningkatkan kegiatan ekonomi dan lapangan kerja masyarakat, memberikan pelayanan sosial dasar masyarakat perbatasan, dan berkembangnya budaya dan kekerabatan masyarakat kedua Negara di perbatasan.

Kedua, prinsip security atau pertahanan dan keamanan perbatasan, dilaksanakan dengan meningkatkan intensitas dan kualitas patroli pengamanan perbatasan di darat dan laut termasuk menambah jumlah personil petugas pengamanan, meningkatkan kualitas pos-pos pengamanan perbatasan (pamtas), penegasan dan perapatan tanda batas darat, sosialisasi tanda batas laut bagi nelayan dan masyarakat penghuni pulau terluar. Prinsip terakhir adalah sustainability (keberlanjutan lingkungan). Mengingat kawasan perbatasan pada umumnya masih terjalin keseimbangan lingkungan antara kehidupan masyarakat dengan lingkungan sekitarnya, maka setiap rencana pembangunan infrastruktur, pelaksanaan investasi ekonomi, dan pelayanan dasar baik di hulu maupun hilir harus mempertimbangkan dan memperhitungkan tata kelola lingkungan kawasan sekitar, baik kawasan hutan lindung, lingkungan budidaya, dan lingkungan permukiman.

ISU DAN PERMASALAHAN KAWASAN PERBATASAN

RPJMN 2015 – 2019 telah ditetapkan melalui Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2015. Terkait dengan kawasan perbatasan, apa isu dan permasalahan di kawasan perbatasan yang ingin dijawab/ diselesaikan dalam RPJMN 2015 – 2019?

1. Keterisolasian kawasan perbatasan negara merupakan isu utama perbatasan, karena keterbatasan infrastruktur dasar wilayah, yaitu transportasi, energi (listrik dan BBM), komunikasi dan informasi, menyebabkan lambannya pertumbuhan ekonomi, dan minimnya pelayanan sosial dasar, khususnya pendidikan dan kesehatan. Keterisolasian kawasan perbatasan negara, terutama terhadap 737 desa di 187 kecamatan terdepan/terluar merupakan masalah utama kawasan perbatasan sebagai akar penyebab tidak sejahteranya masyarakat perbatasan.

Keterisolasian ini menyebabkan masyarakat perbatasan menjadi bergantung kebutuhan pokoknya terhadap negara tetangga terutama perbatasan RI-Malaysia. Tidak adanya akses jalan menjadi kendala PLN untuk memasang instalasi energi di desa-desa di perbatasan. Sebagai contoh, sumber energi perbatasan Kalimantan juga masih dipasok dari negara tetangga Malaysia,

yang menunjukkan kedaulatan energi di perbatasan masih rendah.

Dari aspek telekomunikasi dan informasi juga masih mengalami krisis kedaulatan. Frekuensi termonitor di Entikong (kabupaten Sanggau) untuk siaran radio dan televisi hanya ada 3 (tiga) lembaga penyiaran Indonesia, sedangkan Malaysia ada 45 lembaga penyiaran. Minimnya akses transportasi ini juga menjadi kendala dalam pelayanan dasar pendidikan dan kesehatan, karena masyarakat harus berjalan kaki cukup jauh;

2. Belum efektifnya pengembangan Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di perbatasan. Ditargetkan 10 (sepuluh) PKSN yang akan dipercepat perkembangannya yaitu: Paloh-Aruk (kab Sambas), Entikong (kab Sanggau), Nanga Badau (kab Kapuas Hulu), Atambua (kab Belu), Jayapura (Kota Jayapura) untuk wilayah daratan; Sabang (kota Sabang), Ranai (kab Natuna), Tahuna (kab Sangihe), dan Saumlaki (kab Maluku Tenggara Barat) untuk wilayah kepulauan;

3. Masih terdapat segmen batas wilayah negara Indonesia dengan negara tetangga yang belum disepakati (overlapping claim areas), yaitu 10 outstanding border problem (OBP) di perbatasan darat Kalimantan-Serawah dan Sabah, dan 3 (tiga) unresolved di perbatasan darat NTT-RDTL;

wawancara

Kebijakan Pembangunan

Kawasan Perbatasan 2015 – 2019

Ir. R. Aryawan Soetiarso Poetro, MSi

Direktur Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal, Kementerian PPN/Bappenas

K

awasan Perbatasan sebagai pintu gerbang negara yang berbatasan langsung dengan negara tetangga memiliki peran dan posisi yang sangat strategis. Faktanya, masih banyak pekerjaan yang harus dibenahi dan dilakukan untuk mewujudkan kawasan perbatasan sebagai halaman depan negara yang berdaulat, berdaya saing, dan aman, sebagaimana tercantum dalam RPJMN 2015 – 2019. Untuk itu, redaksi mewawancarai Direktur Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal – Bappenas, Ir. R. Aryawan Soetiarso Poetro, MSi, untuk mengupas lebih dalam kebijakan pembangunan kawasan perbatasan 2015 – 2019. Berikut hasil wawancara redaksi.

(5)

4. Pengamanan dan pengelolaan batas wilayah laut, darat, dan udara di kawasan perbatasan negara belum optimal, sehingga masih banyak terdapat aktivitas ilegal di wilayah perbatasan Indonesia. Terkait pengamanan ini, sarana dan prasarana pengamanan kita masih minim fasilitas terutama pos pamtas, sarana pengawasan patok batas dan pelintas batas ilegal, serta sarana patroli pengawasan laut yang masih rendah kapasitas kapalnya;

5. Pengelolaan perbatasan negara belum terintegrasi

antarprogram, antarK/L, sehingga pembangunan perbatasan masih dominan dengan pendekatan parsial/sektoral atau masih jalan sendiri-sendiri antarK/L. Belum optimalnya upaya integrasi menjadi tantangan tersendiri bagi BNPP untuk semakin memperkuat instrumen integrasi melalui Rencana Induk Pengelolaan Perbatasan Negara tahun 2015-2019 dan semakin mengefektifkan mekanisme koordinasi antarK/L untuk mengintegrasikan program masing-masing K/L.

Apa penyebab keterisolasian kawasan perbatasan negara belum dapat terselesaikan hingga tahun 2014 lalu?

Penyebab keterisolasian perbatasan, terutama keterisolasian terhadap aspek transportasi di darat, adalah minimnya jalan yang dibangun untuk membuka akses kampung, desa di dalam kecamatan lokasi prioritas (LOKPRI). Disamping itu, tidak terkoneksinya antara jalan strategis nasional, jalan provinsi, dan jalan kabupaten menuju kecamatan Lokpri tersebut. Jalan yang menuju kampung, desa pada umumnya merupakan jalan non status, dan jalan ini tidak ada yang memiliki kewenangan untuk membangunnya, karena Kementerian PU-Pera hanya memiliki kewenangan membangun jalan strategis dan jalan nasional. Hal ini perlu segera dicarikan solusi siapa yang berwenang membangun jalan non status ini. Terlebih sekarang UU 23/2014 mengamanatkan bahwa pemerintah wajib membangun infrastruktur di perbatasan negara. Demikian halnya untuk transportasi di pulau-pulau kecil, transportasi perintis disamping frekuensinya masih kurang juga kapal perintis hanya melayani sampai kota kabupaten, sedangkan yang melayani dari kota kabupaten ke pulau-pulau kecil di sekitarnya tidak ada, Jikapun diusahakan dari Pemda akan terkendala oleh minimnya anggaran untuk pengadaan kapal tersebut.

Perihal konlik perbatasan negara, bagaimana kondisinya atau peningkatan penyelesaian konlik tersebut hingga akhir 2014?

Konlik di perbatasan yang masih sering terjadi di perbatasan negara adalah antara NTT dengan Republik Demokratik Timor Leste (RDTL). Konlik ini terjadi berkaitan dengan hak atas tanah antara masyarakat kedua negara. Akar penyebabnya adalah belum jelasnya beberapa segmen batas negara dan ketidakpahaman batas negara oleh masyarakat.

NAWACITA JOKOWI – JK DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN PERBATASAN

Terdapat 9 (sembilan) agenda prioritas Jokowi – JK atau yang disebut Nawacita. Agenda ke berapa Nawacita yang mendorong pembangunan perbatasan serta berupaya mengatasi permasalahan di kawasan perbatasan?

Pembangunan kawasan perbatasan tertuang dalam Nawacita ketiga, yaitu membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Ini ditunjang juga dengan Nawacita keenam dan ketujuh, yaitu meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional dan mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi dan domestik.

Dalam sebuah berita media cetak, Presiden Jokowi menyampaikan bahwa akan menjadikan kawasan perbatasan sebagai bagian dari etalase Indonesia. Bagaimana RPJMN 2015 – 2019 menerjemahkan hal tersebut ?

(6)

prasarana pertahanan dan pengamanan perbatasan laut dan darat, serta melibatkan peran aktif masyarakat dalam mengamankan batas dan kedaulatan negara; (6) penegasan batas wilayah negara di darat dan laut melalui pra-investigation, reixation, maintanance (IRM); (7) percepat penyelesaian status kewarganegaraan pelintas batas; (8) peningkatan arus perdagangan ekspor-impor di perbatasan, kerjasama

perdagangan, kerjasama sosial-budaya, dan kerjasama pertahanan dan keamanan batas wilayah dengan negara tetangga; dan (9) penerapan kebijakan desentralisasi asimetris untuk kawasan perbatasan negara dalam memberikan pelayanan publik dan distribusi keuangan negara.

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERBATASAN DALAM RPJMN 2015-2019

Secara singkat apa tujuan/visi yang ingin dicapai dari

pengembangan kawasan perbatasan dalam RPJMN 2015 – 2019?

Sasaran yang ingin dicapai yang termuat dalam RPJMN 2015-2019 adalah: (1) berkembangnya 10 (sepuluh) PKSN sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, simpul utama transportasi wilayah, pintu gerbang internasional/pos pemeriksaan lintas batas kawasan perbatasan negara, dengan 16 PKSN lainnya sebagai tahap persiapan pengembangan; (2) meningkatnya efektiitas diplomasi maritim dan pertahanan, dan penyelesaian batas wilayah negara dengan 10 (sepuluh) negara tetangga di kawasan perbatasan laut dan darat, serta meredam rivalitas maritim dan sengketa teritorial; (3) menghilangnya aktivitas illegal ishing, illegal logging, human traficking, dan kegiatan ilegal lainnya, termasuk mengamankan sumberdaya maritim dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE); (4) meningkatnya keamanan dan kesejahteran masyarakat perbatasan, termasuk di 92 pulau-pulau kecil terluar/terdepan; dan (5) meningkatnya kerjasama dan pengelolaan perdagangan perbatasan dengan negara tetangga, ditandai dengan meningkatnya perdagangan ekspor-impor di perbatasan, dan menurunnya kegiatan perdagangan ilegal di perbatasan.

Apa arah kebijakan dan strategi yang dilakukan untuk mempercepat pengembangan kawasan

perbatasan, serta mengatasi berbagai masalah yang ada?

Pengembangan kawasan perbatasan negara yang selama ini dianggap sebagai pinggiran negara, diarahkan dalam RPJMN 2015-2019 menjadi halaman depan negara yang berdaulat, berdaya saing, dan aman.

Pendekatan pembangunan kawasan perbatasan terdiri: (i) pendekatan keamanan (security approach), dan (ii) pendekatan peningkatan

kesejahteraan masyarakat (prosperity approach), yang difokuskan pada 10 (sepuluh) Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) dan 187 Kecamatan Lokasi Prioritas (Lokpri) di 41 Kabupaten/Kota dan 13 Provinsi .

Dalam sasaran pembangunan kewilayahan dan antarwilayah, pengembangan kawasan perbatasan dilakukan salahsatunya melalui pengembangan pusat ekonomi perbatasan (Pusat Kegiatan Strategis Nasional/PKSN) di beberapa lokasi. Dimana saja lokasi tersebut, dan apa saja kriteria untuk penentuan lokasi tersebut?

Pengembangan Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) di kawasan perbatasan untuk 2015-2019 terdapat di 10 (sepuluh) lokasi dan 16 lokasi persiapan pengembangan yang ditetapkan sesuai dengan kriteria PKSN dalam UU 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), yaitu (a) pusat perkotaan yang berpotensi sebagai pos pemeriksaan lintas batas dengan negara tetangga; (b) pusat perkotaan yang berfungsi sebagai pintu gerbang internasional yang menghubungkan dengan negara tetangga; (c) pusat perkotaan yang merupakan simpul utama transportasi yang menghubungkan wilayah sekitarnya; dan/atau (d) pusat perkotaan yang merupakan pusat pertumbuhan ekonomi yang dapat mendorong perkembangan kawasan di sekitarnya.

Adakah skema percepatan pembangunan, terutama kawasan perbatasan?

Skema percepatan pembangunan di kawasan perbatasan dilaksanakan dengan memadukan pengembangan PKSN sebagai pusat pertumbuhan dengan lokpri-lokpri sekitarnya sebagai hinterland.

Di dalam strategi pembangunan, akankah diterapkan kebijakan khusus dan penataan pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) di kawasan perbatasan? Kebijakan khusus seperti apa yang akan diterapkan?

Tidak ada kebijakan khusus pada Daerah Otonom Baru (DOB) karena kawasan perbatasan negara secara deinitif yang tertuang Sumber: Direktorat Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal, Bappenas

Prioritas Pengembangan PKSN

(7)

dalam UU 23/2014 adalah kecamatan-kecamatan terluar yang berbatasan langsung dengan negara lain.

Kekhususan masalah yang terjadi di kawasan perbatasan adalah status kewarganegaraan masyarakat perbatasan? Bagaimana kondisi saat ini? Dan strategi apa yang dicanangkan untuk menyelesaikan masalah tersebut?

Kondisi status kewarganegaraan masyarakat di kawasan perbatasan banyak yang memiliki status kewarganegaraan ganda, seperti yang terjadi di Miangas dan Nunukan. Dalam menangani permasalahan tersebut, sesuai dengan strategi pembangunan yang termuat dalam RPJMN Buku I akan dipercepat penyelesaian status kewarganegaraan pelintas batas melalui identiikasi, pendataan, serta veriikasi status kewarganegaraan masyarakat perbatasan.

Dalam mendukung kebijakan dan program – program, terutama untuk pengembangan kawasan perbatasan, adakah anggaran yang dialokasikan khusus untuk kawasan perbatasan? Seperti apa? Apa skema pendanaan yang digunakan?

Tidak ada alokasi khusus dalam anggaran pembangunan kawasan perbatasan. Penganggaran dilaksanakan oleh K/L terkait dalam komponen kegiatannya yang dialokasikan di kawasan perbatasan yang kemudian dimuat dalam Rencana Aksi BNPP. BNPP sendiri akan melaksanakan illing the gap bila K/L tidak dapat melaksanakan pembangunan tetapi dengan anggaran yang terbatas.

KOORDINASI LINTAS SEKTOR

Pengembangan kawasan perbatasan bersifat lintas sektor, yaitu pendidikan, kesehatan, energi, pertanian. Dari sisi perencanaan, bagaimana mengintegrasikan sektor – sektor tersebut?

Dalam pembangunan kawasan perbatasan, tidak dapat dilakukan oleh satu sektor sehingga perlu adanya koordinasi. Pembangunan

tersebut dikoordinasikan pelaksanaannya oleh Kemenko Polhukam dan BNPP serta Bappenas sebagai koordinator perencanaan, bagi Kementerian/lembaga pemerintah non kementerian (K/ LPNK) yang menjadi anggota BNPP sebagaimana tertuang dalam Perpres No. 12 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Pengelola Perbatasan. Peran koordinasi lintas sektor dalam pembangunan kawasan perbatasan terbagi dalam 10 (sepuluh) sasaran yang memuat aspek kesejahteraan masyarakat dan aspek keamanan di perbatasan. Sepuluh sasaran yang dikoordinasikan, yaitu: (1) penyediaan lahan dan kebijakan tata ruang; (2) percepatan penyediaan infrastruktur dasar; (3) peningkatan nilai tambah dan daya saing produk serta penyediaan sarpras, termasuk invenstasi, ekspor-impor; (4) penyediaan pelayanan pendidikan, kesehatan dan perumahan; (5) perkuatan koordinasi kelembagaan BNPP; (6) pengembangan Customs, Immigration, Quarantine, Security (CIQS) Terpadu; (7) penyusunan regulasi dan perdagangan lintas batas negara; (8) peningkatan peran serta dalam menjaga kedaulatan megara, termasuk penegasan status warga negara; (9) peningkatan koordinasi dan peningkatan sarpras hankam batas darat dan batas laut negara; dan (10) penguatan infrastruktur diplomasi dan perundingan.

Dalam hal implementasi, adakah instrumen yang disiapkan untuk mengawal komitmen seluruh sektor membangun kawasan perbatasan? Adakah instrumen peraturan perundangan?

Dalam mengawal komitmen K/LPNK dalam membangun kawasan perbatasan, instrumen yang digunakan adalah Rencana Induk Pengelolaan Kawasan Perbatasan yang ditetapkan oleh BNPP yang wajib dijadikan pedoman oleh anggotanya. Selain itu, instrumen perundangan yang digunakan adalah UU 23 Tahun 2014 pasal 361 tentang kawasan perbatasan yang menyatakan dengan tegas bahwa pembangunan perbatasan adalah kewenangan dan kewajiban pusat sehingga mengharuskan sektor berkomitmen dalam membangun perbatasan.

(8)

KAWASAN PERBATASAN NEGARA DALAM KONTEKS TATA RUANG

Di Bidang Tata Ruang, terdapat Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Strategis Nasional (KSN) Perbatasan. Pada akhir 2014, telah ditetapkan RTR KSN Perbatasan Negara di Provinsi Nusa Tenggara Timur melalui Perpres No. 179 Tahun 2014. Bagaimana korelasi/ integrasinya antara RTR KSN Perbatasan dengan RPJMN 2015 – 2019 terkait kawasan perbatasan?

Dalam konteks tata ruang berdasarkan PP 26 Tahun 2008 Pasal 15, kawasan perbatasan negara adalah wilayah kabupaten/kota yang secara geograis dan demograis berbatasan langsung dengan negara tetangga dan/atau laut lepas. Kawasan perbatasan negara meliputi kawasan perbatasan darat dan kawasan perbatasan laut termasuk pulau-pulau kecil terluar.

Pembangunan kawasan perbatasan difokuskan pada Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN). Pengembangan PKSN dimaksudkan untuk menyediakan pelayanan yang dibutuhkan untuk mengembangkan kegiatan masyarakat di kawasan

perbatasan, termasuk pelayanan kegiatan lintas batas antarnegara. Pengembangan PKSN dilakukan dalam kerangka sistem pusat perkotaan nasional sehingga

pusat perkotaan tersebut dapat dilekati fungsi pelayanan, baik sebagai PKN, PKW, maupun PKL.

Pembangunan kawasan perbatasan dalam RPJMN 2015 -2019 mengacu pada rencana tata ruang kawasan perbatasan yang berfungsi sebagai pedoman dalam: (1) penyusunan rencana pembangunan di Kawasan Perbatasan Negara; (2) pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang Kawasan Perbatasan Negara; (3) perwujudan keterpaduan,

keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antarwilayah kabupaten/kota, serta keserasian antarsektor di Kawasan Perbatasan Negara; (4) penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi di Kawasan Perbatasan Negara; (5) penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota di Kawasan Perbatasan Negara; (6) pengelolaan Kawasan Perbatasan Negara; dan (7) perwujudan keterpaduan rencana pengembangan Kawasan Perbatasan Negara dengan kawasan sekitarnya.

Konsekuensi pasal 361 UU 23 Tahun 2014?

Pada UU 23 Tahun 2014 pasal 361 ayat 2, 3 dan 7 menyebutkan bahwa pembangunan kawasan perbatasan adalah kewenangan dan kewajiban pusat, baik dari pembangunan infrastruktur, penyusunan rencana detail tata ruang, maupun izin pemanfaatan ruangnya. Harapannya, pembangunan kawasan perbatasan dapat dilakukan dengan cepat. Dalam hal ini, peran pemerintah daerah membantu pembebasan, pengamanan, dan penyediaan lahannya. Sedangkan, RDTR kawasan perbatasan yang saat ini menjadi kewenangan pemerintah pusat, ini masih perlu disusun peraturan turunannya (Peraturan Pemerintah).

CONTOH KASUS KAWASAN PERBATASAN NEGARA

Baru – baru ini, Presiden RI – Joko Widodo, mengunjungi salah satu kawasan perbatasan Indonesia dan Malaysia, wilayah Entikong

di Kalimantan Barat. Disampaikan bahwa beliau memastikan sendiri bahwa memang sudah lebih dari 25 tahun tidak dilakukan pembangunan di kawasan tersebut dan dari segi pelayanan, terutama isik, kondisinya sangat jauh berbeda dengan kondisi di seberangnya, Malaysia. Bagaimana pendapat Bapak terkait hal tersebut? Bagaimana RPJMN 2015 – 2019 menjawab permasalahan tersebut?

Terkait penilaian Presiden terhadap perbatasan RI-Malaysia terutama di Entikong yang jauh berbeda dengan seberang memang demikian kenyataannya. Jalan yang bagus hanya menuju ke kota Entikong Sebatik. Selebihnya itu jalan menuju kampung-kampung dan desa di kecamatan Entikong masih banyak yang buruk kondisinya. Kebanyakan hanya jalan setapak, sedangkan jalan di negara tetangga sudah dapat mengakses ke lingkungan permukiman di samping penataan lingkungan permukiman juga sudah baik. Minimnya akses jalan ini menyebabkan minimnya pelayanan kesehatan, pendidikan, dan aktivitas ekonomi masyarakat. Untuk itu, target RPJMN pada tahun 2019 jalan non status pembuka akses ke kampung dan desa harus sudah terbuka, karena akan memberikan efek kemudahan bagi seluruh pelayanan dasar dan pertumbuhan ekonomi masyarakat.

Bagaimana langkah strategis penyerasian penggunaan kawasan yang sama-sama penting secara nasional, untuk konservasi lingkungan dan untuk pertahanan negara seperti di Entikong?

Langkah strategis penyerasian kawasan perbatasan untuk konservasi dan pertahanan, telah didesain oleh BNPP, yaitu pada wilayah-wilayah perbatasan yang masih berupa hutan akan dibangun “ jalan inspeksi perbatasan (JIP)”. Jalan ini dibangun oleh TNI, berupa jalan setapak selebar 1-2 meter untuk keperluan patroli jalan kaki atau pasukan berkuda. Dengan demikian patroli yang intensif di kawasan hutan ini akan meminimalkan pencurian kayu pada wilayah-wilayah batas negara yang masih terisolir.

Apa harapan Bapak untuk pembangunan kawasan perbatasan ke depan?

Dari sisi kelembagaan, perlu penguatan BNPP yang rencananya akan dilakukan revisi terhadap Perpres No. 12 Tahun 2010. Dalam Perpres tersebut perlu dikaji ulang kewenangan – kewenangan instansi yang terlibat. Selain itu, diharapkan ada perubahan pemikiran yang lebih pada koordinasi dan fasilitasi karena pengelolaan kawasan perbatasan harus dikelola secara utuh.

Kawasan perbatasan harus lebih baik dari kabupatennya. Untuk itu perlu peraturan desentralisasi airmatif yang mendukung kawasan perbatasan. Misalnya, standar biaya umum (SBU) harus disesuaikan dengan kebutuhan di kawasan perbatasannya. Alasannya, contoh kasus pengiriman vaksin, untuk sampai ke kawasan perbatasan dengan kondisi vaksi yang baik, vaksin seharusnya dikirim dengan menggunakan pesawat untuk menyesuaikan waktu dan temperatur yang dibutuhkan oleh vaksin. Tetapi dalam praktiknya di lapangan hanya bisa menggunakan kendaraan darat karena SBU hanya mengenal transportasi darat, hasilnya, vaksin sudah rusak dan tidak bisa digunakan ketika tiba di lokasi.

(9)

Sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, semua pemerintah daerah (provinsi, kabupaten dan kota) wajib menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang selanjutnya dilegalisasikan menjadi Peraturan Daerah (Perda). RTRW tersebut memiliki masa berlaku selama 20 tahun dan ditinjau kembali setiap 5 tahun. Dalam mendukung upaya pengurangan risiko bencana, rencana tata ruang juga perlu memasukkan kajian risiko bencana untuk mengidentiikasikan kerawanan, tingkat ancaman, tingkat kerentanan, dan tingkat kapasitas di suatu wilayah. Mengintegrasikan upaya pengurangan risiko bencana ke dalam penataan ruang harus menjadi prioritas Pemerintah dalam rangka memberikan perlindungan terhadap kehidupan dan penghidupan masyarakat. Rencana tata ruang berdasarkan perspektif mitigasi bencana, sangat berguna dalam mereduksi keterpaparan jumlah penduduk, kerugian sosial, ekonomi, dan sarana prasarana (isik) dari ancaman bencana.

Tujuan dan Ruang Lingkup

Materi Teknis Revisi Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang berdasarkan Perspektif Pengurangan Risiko Bencana disusun sebagai bahan masukan terhadap penyempurnaan pedoman-pedoman penyusunan rencana tata ruang (RTR) yang telah ada saat ini untuk mengintegrasikan pendekatan pengurangan risiko bencana ke dalam penataan ruang, khususnya: (a) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 15 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi, dan (b) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 15 Tahun 2012 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Strategis Nasional (KSN).

Dalam mengintegrasikan pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang, terdapat 3 (tiga) hal yang harus dilakukan, yaitu: 1) Integrasi dokumen/proses: mengatur bagaimana

mengintegrasikan kajian risiko bencana (KRB) dalam dokumen Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) ke dalam dokumen rencana tata ruang (RTR) dalam proses penyusunan rencana tata ruang.

2) Integrasi spasial: mengatur bagaimana mengintegrasikan kajian risiko bencana (KRB) ke dalam muatan rencana tata ruang. Hal ini sudah diatur dalam Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana.

3) Koordinasi kelembagaan.

Sehubungan dengan itu, Materi Teknis ini lebih difokuskan pada integrasi proses/dokumen dan koordinasi kelembagaan, dengan tambahan pembahasan mengenai integrasi spasial/muatan yang menjadi irisan dengan Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana (SPR KRB). Integrasi spasial/muatan telah dibahas secara detil dalam Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana.

Metodologi

Kajian ini dihasilkan melalui serangkaian proses yang telah menghasilkan keluaran (output):

1. Keterkaitan Kajian Risiko Bencana dengan KLHS dalam RTRW Provinsi dan RTR Kawasan Strategis Nasional (KSN).

Output ini dicapai dengan melakukan kajian terhadap peraturan perundang-undangan tentang Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), pengurangan risiko bencana, Pedoman Penyusunan RTRW Provinsi, dan Pedoman Penyusunan RTR KSN dan dokumen-dokumen penunjang lainnya. Selain itu, juga dilakukan diskusi dengan Kementerian Negara Lingkungan Hidup.

2. Mitigasi Bencana dalam Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RPWP3K).

Output ini dicapai dengan melakukan kajian terhadap peraturan perundang-undangan tentang rencana pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RPWP3K), pengurangan risiko bencana, dan dokumen-dokumen penunjang lainnya, serta diskusi dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan.

3. Integrasi Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Penyusunan RTRW Provinsi dan RTR Kawasan Strategis Nasional (KSN). Output ini dicapai dengan melakukan desk study. Berdasarkan hasil kajian tersebut, dan diskusi dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana, dilakukan pengintegrasian pengurangan risiko bencana ke dalam penyusunan RTRW Provinsi dan RTR KSN.

kajian

Penyusunan Rencana Tata Ruang Berdasarkan

Perspektif Pengurangan Resiko Bencana:

Materi Teknis Revisi Pedoman

S

ebagai negara rawan bencana, sangat penting bagi Indonesia memiliki kesiapsiagaan dalam mengantisipasi bencana. Salah satunya, melalui upaya mitigasi bencana untuk mengurangi risiko bencana yang timbul. Undang – Undang No. 24 Tahun 2007 tentang

Penanggulangan Bencana mengamanatkan agar setiap daerah memiliki perencanaan penanggulangan bencana. Untuk menjamin efektivitas pelaksanaannya, sangatlah penting bagi setiap daerah untuk mengintegrasikan upaya pengurangan risiko bencana ke dalam dokumen perencanaan daerah, seperti Rencana Pembangunan Jangka Panjang, Menengah, dan Rencana Tata Ruang.

Integrasi

Keterkaitan Materi Teknis dengan Pedoman Penyusunan RTRW Provinsi dan RTR KSN, serta Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana

(10)

4. Pemetaan Kelembagaan Pengintegrasian Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Rencana Tata Ruang.

Output ini dicapai melalui: (i) Hasil dari output 3; dan (ii) pengumpulan data dan informasi dalam bentuk diskusi dan wawancara dengan stakeholder yang relevan. Hasil diskusi dengan berbagai stakeholder yang relevan, dikombinasikan dengan hasil dari output 3, dilakukan pemetaan kelembagaan.

5. Penyusunan Materi Teknis Revisi Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang berdasarkan Perspektif Pengurangan Risiko Bencana. Output ini dilakukan melalui: diskusi terarah (focus group

discussion/FGD) dan lokakarya. Hasil dari FGD ini menjadi masukan dalam perumusan draf materi teknis. Lokakarya diselenggarakan untuk mendiseminasikan draf materi teknis revisi pedoman penyusunan RTR yang telah disusun dan membangun kesepakatan rencana tindak lanjut dengan mengundang berbagai stakeholder yang lebih luas.

Hasil Kajian dan Analisis

Pengintegrasian pengurangan risiko bencana ke dalam RTR dimulai sejak tahap persiapan penyusunan RTR, yaitu dengan mengkaji muatan kebencanaan yang ada di RTR. Tahap paling penting adalah tahap pengolahan dan analisis data, pada tahap ini dilakukan pengintegrasian kajian risiko bencana yang ada dalam dokumen Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) ke dalam analisis penyusunan RTR. Pengintegrasiannya adalah: (i) Peta Kerawanan yang sifatnya jangka panjang, dijadikan dasar perumusan tujuan, kebijakan, strategi, serta perumusan rencana struktur ruang dan rencana pola ruang; dan (ii) Peta Kerentanan, Peta Kapasitas, dan

Peta Risiko yang bersifat jangka menengah (5 tahun) dijadikan masukan bagi perumusan arahan pemanfaatan ruang (indikasi program utama). Seperti dapat dilihat pada Gambar 2.

Salah satu isu yang muncul dalam upaya pengintegrasian adalah adanya perbedaan jangka waktu antara periode Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) dengan waktu penyusunan atau peninjauan kembali RTR, sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 3. Idealnya, pada saat peninjauan kembali/ penyusunan RTR, RPB sudah tersedia.

1. Keterkaitan Kajian Risiko Bencana dengan KLHS dalam RTRW Provinsi dan RTR Kawasan Strategis Nasional (KSN).

Terkait dengan kebencanaan, Permen LH No. 09 Tahun 2011 tentang Pedoman Umum KLHS tidak secara eksplisit menunjukkan keterkaitannya dengan penyelenggaraan penanggulangan bencana. Namun, secara substansial 7 (tujuh) isu-isu pokok yang dipertimbangkan dalam penapisan KLHS sangat relevan dengan komponen-komponen kebencanaan. Hal ini mengindikasikan bahwa KLHS sejalan dengan perencanaan penanggulangan bencana. Keterkaitan penapisan KLHS (7 isu pokok) dengan perencanaan penanggulangan bencana tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.

Untuk RTRW, tidak perlu melalui tahap penapisan, tetapi langsung ke tahap pelaksanaan KLHS. Pada tahap pelaksanaan KLHS, tahap pertama adalah mengkaji pengaruh Kebijakan, Rencana, dan/atau Program terhadap kondisi lingkungan hidup di wilayah perencanaan dimana salah satu tahapnya adalah identiikasi isu pembangunan berkelanjutan. Aspek kebencanaan adalah salah satu isu strategis dalam pembangunan berkelanjutan. Isu stategis terkait kebencanaan tersebut antara lain dapat dilihat dari historical data, misalnya di suatu kawasan terjadi banjir terus menerus setiap tahun dan memiliki kecenderungan semakin parah dampaknya dan semakin luas lingkupnya1. Maka banjir di daerah tersebut dapat

dikategorikan sebagai isu strategis, dan karenanya menjadi salah satu hal yang dikaji dalam pelaksanaan KLHS.

Penyelenggaraan KLHS bertujuan memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program. Melalui KLHS, potensi dampak dan/atau risiko lingkungan yang mungkin ditimbulkan oleh suatu kebijakan, rencana, dan/ atau program, sebelum pengambilan keputusan dilakukan, dapat diantisipasi. Dengan demikian, melalui KLHS dapat diminimalkan timbulnya dampak negatif suatu kebijakan, rencana, dan/atau program. Hal ini tentunya sejalan dengan atau bahkan menguatkan upaya mitigasi bencana. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa aspek kebencanaan sangat relevan dengan KLHS dalam penataan ruang.

1 Diskusi dengan Rima Yulianti, Kasubdit KLHS, Kementerian Lingkungan Hidup, 23 April 2014

Gambar 2 Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Proses Penyusunan RTR

(11)

2. Mitigasi Bencana dalam Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RPWP3K).

Dalam menyusun perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memuat mitigasi bencana yang merupakan bagian dari Rencana Penanggulangan Bencana (RPB). Muatan aspek kebencanaan dalam setiap dokumen perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah sebagai berikut:

i. Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RSWP3K) wajib memuat isu, visi, misi, strategi, kebijakan, dan program yang memasukkan mitigasi bencana.

ii. Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) wajib mempertimbangkan peta rawan bencana dan peta risiko bencana yang disusun dan ditetapkan oleh instansi yang berwenang (BNPB atau BPBD). RZWP3K provinsi dibuat dalam peta dengan skala 1:250.000 atau lebih besar. Jangka waktu berlakunya RZWP3K selama 20 (dua puluh) tahun dan dapat ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun. RZWP3K ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

iii. Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RPWP3K) wajib memasukkan rencana mitigasi bencana. Rencana mitigasi bencana tersebut menjadi bagian dari Rencana Penanggulangan Bencana Daerah (RPB Daerah). Bila RPB Daerah belum ditetapkan, satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang membidangi kelautan dan perikanan menyusun rencana mitigasi bencana untuk dimasukkan ke dalam RPWP3K. RPWP3K berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat ditinjau kembali sekurang-kurangnya sebanyak 1 (satu) kali. RPWP3K ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah.

iv. Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RAPWP3K) wajib memasukkan kegiatan mitigasi bencana yang ada dalam Rencana Aksi Daerah Pengurangan Risiko Bencana (RAD PRB). Bila RAD PRB belum ditetapkan, SKPD yang membidangi kelautan dan perikanan menyusun kegiatan mitigasi bencana untuk dimasukkan ke dalam RAPWP3K. Kegiatan mitigasi bencana meliputi kegiatan struktur/isik dan/atau non struktur/non isik mitigasi bencana yang berdampak langsung dalam pengurangan risiko. RAPWP3K provinsi atau kabupaten/ kota berlaku selama 1 (satu) sampai dengan 3 (tiga) tahun dan ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah.

3.a. Integrasi Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Penyusunan RTRW Provinsi.

Untuk 8 (delapan) provinsi yang penyusunan RTRWnya sudah mendapatkan persetujuan substansi dari Menteri Pekerjaan Umum, maka sebaiknya segera dilakukan pengintegrasian kajian risiko

bencana dengan mengacu pada RPB Provinsi 2012-2016 sebelum RTRW menjadi Perda. Apabila pengintegrasian dilakukan menunggu sampai dilakukan peninjauan kembali akan terlalu lama. Mengingat hampir semua provinsi tersebut masuk dalam kelas risiko tinggi, maka sebaiknya pengintegrasian dilakukan segera.

Mengingat RPB Provinsi yang ada mempunyai jangka waktu 2012-2016, sementara sekarang sudah tahun 2014, maka hal ini akan menjadi masalah. Alternatifnya adalah: (i) Pengintegrasian segera dilakukan walau hanya untuk 2 tahun terakhir (2014-2016); (ii) Pengintegrasian dilakukan setelah RPB yang baru disusun (jangka waktu 2017-2022); atau (iii) SKPD segera menyusun pengkajian risiko bencana yang baru berkoordinasi dengan BPBD dengan jangka waktu yang disesuaikan dengan penyusunan atau peninjauan kembali RTRW.

Untuk saat ini mungkin dapat dilakukan kombinasi dari (i) dan (iii), dengan pertimbangan (a) Peta Kerawanan dan peta ancaman bersifat jangka panjang, sehingga peta kerawanan dan peta ancaman yang ada dapat digunakan untuk acuan perumusan rencana struktur ruang dan rencana pola ruang, serta indikasi arahan peraturan zonasi; (b) Sedangkan peta kerentanan, peta kapasitas, dan peta risiko bersifat jangka menengah, sehingga perlu diperbaharui oleh SKPD sesuai waktu berkoordinasi dengan BPBD. Peta kerentanan, peta kapasitas, dan peta risiko yang telah diperbaharui digunakan untuk acuan perumusan indikasi program utama sebagai arahan pemanfaatan ruang untuk 5 tahun berikutnya; (c) Sebelum waktu peninjauan kembali, sebaiknya RPB yang baru sudah disusun dengan memperhatikan waktu peninjauan kembali RTRW Provinsi tersebut.

Sehubungan dengan upaya pengurangan risiko bencana ini, maka BKPRN perlu mempertimbangkan untuk memasukkan kajian risiko bencana menjadi salah satu muatan yang harus ada dalam rencana tata ruang, dan dikaji kualitasnya pada saat proses persetujuan substansi, seperti Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).

Integrasi pada saat peninjauan kembali RTRW Provinsi

(12)

dengan waktu peninjauan kembali RTRW Provinsi. Pengkajian risiko bencana secara mandiri ini dilakukan dengan mengacu pada Perka BNPB No. 02 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana.

Pengintegrasian pengurangan risiko bencana memiliki fungsi strategis dan berkaitan dengan peninjauan kembali rencana tata ruang. BKPRN perlu membahas hal tersebut dan mempertimbangkan apakah peninjauan kembali dapat dilakukan segera untuk mengantisipasi kejadian bencana alam dan sebagai upaya pengurangan risiko bencana, terutama di daerah-daerah dengan kelas risiko tinggi. Hal ini sangat signiikan mengingat bahwa hasil kajian BNPB menunjukkan 204 juta (80%) rakyat Indonesia tinggal di kawasan rawan bencana.

Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dilakukan pemrioritasan berdasarkan kelas risiko suatu daerah. Semakin tinggi kelas risikonya semakin diprioritaskan pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam rencana tata ruangnya untuk dapat segera dilakukan. Saat ini, dalam Indeks Risiko Bencana Indonesia 2013, kabupaten/kota dibedakan menjadi kelas risiko tinggi, sedang, dan rendah, dimana 322 kabupaten/kota (65%) memiliki kelas risiko tinggi, dan 174 kabupaten/kota (35%) memiliki kelas risiko sedang, dan tidak ada yang memiliki kelas risiko rendah. Dengan demikian perlu dilakukan perumusan ulang kelas risiko bencana yang lebih rinci untuk kebutuhan perumusan prioritas tersebut di atas. Penyusunan kajian risiko bencana (KRB) didasarkan pada tiga hal utama, yakni: a) jumlah jiwa terpapar; b) kerugian (rupiah); dan c) kerusakan lingkungan (ha). Ketiganya merupakan komponen penyusun KRB yang kemudian diterjemahkan ke dalam kelas risiko tinggi, risiko sedang, dan risiko rendah sesuai dengan dampak yang terjadi.Berdasarkan ketiga komponen tersebut dapat dirumuskan ulang kelas risikonya yang lebih rinci, untuk kebutuhan perumusan prioritas.

Apabila RTRW sedang dalam proses penyusunan, maka pengarusutamaan pengurangan risiko

bencana dapat segera diintegrasikan. Namun, bila RTRW sudah menjadi Perda, maka hal ini tidak mudah bagi Pemerintah Daerah. Karena tidak mudah membuat Perda, terutama terkait dengan hal-hal yang bersifat non-teknis. Dalam Lokakarya Materi Teknis – Bappenas-SCDRR II yang diselenggarakan pada tanggal 30 Juni 2014, ada usulan dari daerah, bahwa untuk RTRW yang sudah Perda, sebaiknya kajian risiko bencana dilakukan dengan memasukkannya sebagai addendum. Apabila perubahan dibuat dalam bentuk addendum, maka tidak perlu melibatkan DPRD lagi. Namun demikian perlu digarisbawahi bahwa upaya pengurangan risiko bencana tidak hanya terbatas pada tahap analisis, yaitu dengan melakukan kajian risiko bencana, tetapi hasil analisis tersebut harus diterjemahkan ke dalam kebijakan, strategi, rencana struktur ruang dan rencana pola ruang, serta rencana pemanfaatan ruang secara sinkron dengan alur yang jelas.

3.b. Integrasi Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Penyusunan RTRW Provinsi dan RTR Kawasan Strategis Nasional (KSN).

Sama seperti pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam RTRW Provinsi, tantangan pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam RTR KSN adalah kesesuaian jangka waktu antara Rencana Penanggulangan Bencana yang ada dengan waktu penyusunan atau peninjauan kembali RTR KSN.

Integrasi pada saat proses penyusunan RTR Kawasan Strategis Nasional (RTR KSN)

Untuk RTR KSN yang belum menjadi Perpres atau masih dalam proses penyusunan, perlu segera dilakukan pengintegrasian kajian risiko bencana. Sehubungan dengan itu perlu ada koordinasi antara BKPRN dengan BNPB/BPBD dalam mengintegrasikan kajian risiko bencana ke dalam penyusunan RTR KSN, dengan memperhatikan jangka waktunya.

Untuk RTR KSN yang sudah dalam proses penyusunan: (a) Bila RPB Provinsi/Kabupaten/Kota sudah ada dan jangka waktunya sesuai, maka kajian risiko bencana dapat segera diintegrasikan ke dalam penyusunan RTR KSN;dan (b) Bila RPB Provinsi/Kabupaten/Kota belum ada atau jangka waktunya tidak sesuai, maka K/L dapat melakukan pengkajian risiko bencana secara mandiri berkoordinasi dengan BPBD untuk: (i) Segera diintegrasikan ke dalam proses penyusunan RTR KSN; atau (ii) Diintegrasikan pada saat peninjauan kembali RTR KSN tersebut, tergantung sudah seberapa jauh tahap penyusunan RTR KSN tersebut, misal Raperpes.Pengkajian dilakukan oleh K/L dengan mengacu pada Perka BNPB No. 02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana.

Untuk RTR KSN yang belum disusun, maka dalam penyusunannya nanti langsung dilakukan pengintegrasian kajian risiko bencana sesuai dengan kebutuhan masing-masing tipologi.

Sumber: disadur dari “Kaji Ulang Pedoman Perencanaan Tata Ruang dalam rangka Pengurangan Risiko Bencana (PRB) di Indonesia” dengan perubahan.

Isu-isu Pokok Penapisan KLHS (Permen LH 09/2011)

Perencanaan Penanggulangan Bencana (PP 21/2008)

1. Perubahan iklim • Perubahan Iklim berpotensi untuk menimbulkan bencana “Hydrometrology” yang meliputi: banjir, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, tanah longsor, abrasi dan cuaca ekstrim.

2. Kerusakan, kemerosotan, dan/atau kepunahan keanekaragaman hayati

• Mempengaruhi tingkat kerentanan wilayah.

• Hal tersebut juga dapat merupakan salah satu dampak negatif kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh bencana

3. Peningkatan intensitas dan cakupan wilayah bencana banjir, longsor, kekeringan, dan/atau kebakaran hutan dan lahan

• Merupakan peningkatan ancaman bencana banjir, longsor, kekeringan, dan/atau kebakaran hutan dan lahan yang merupakan komponen ancaman dalam KRB.

4. Penurunan mutu dan kelimpahan sumber daya alam

• Mempengaruhi tingkat kerentanan wilayah

5. Peningkatan alih fungsi kawasan hutan dan/atau lahan

• Mempengaruhi tingkat kerentanan wilayah terhadap ancaman bencana banjir, tanah longsor, dan kekeringan

6. Peningkatan jumlah penduduk miskin atau terancamnya keberlanjutan penghidupan sekelompok masyarakat

• Mempengaruhi tingkat kerentanan wilayah. Hal ini juga mengindikasikan peningkatan indeks jiwa terpapar dan kerugian harta benda dari bencana.

7. Peningkatan risiko terhadap kesehatan dan keselamatan manusia

• Mempengaruhi tingkat kerentanan wilayah.

Tabel 1

(13)

Integrasi pada saat peninjauan kembali RTR Kawasan Strategis Nasional (RTR KSN)

Untuk RTR KSN yang telah menjadi Perpres, maka pengintegrasian kajian risiko bencana dilakukan pada saat peninjauan kembali. Langkah-langkah sebagai berikut: (i) Periksa apakah RPB Provinsi/ Kabupaten/Kota sudah ada dan apakah jangka waktunya sesuai. Bila sesuai, maka dapat langsung diintegrasikan; (ii) Bila RPB Provinsi/Kabupaten/Kota belum ada, maka K/L melakukan pengkajian risiko bencana secara mandiri berkoordinasi dengan BPBD, dan dengan mengacu pada Perka BNPB No. 02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana; (iii) Bila jangka waktunya tidak sesuai, maka K/L melakukan pengkajian risiko bencana secara mandiri berkoordinasi dengan BPBD, dengan memperhatikan RPB Provinsi/Kabupaten/Kota yang sudah ada.

Dalam konteks pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang, dapat dilakukan langkah-langkah berikut ini:

a. Membuat pemrioritasan. Kabupaten/kota/kawasan yang memiliki kelas risiko tinggi diprioritaskan pembuatannya. Semakin tinggi risikonya semakin diprioritaskan pembuatannya. Prioritas utama adalah untuk membuat peta skala 1:25.000 untuk kota-kota dengan kelas risiko tinggi, dan peta skala 1:10.000 untuk kawasan-kawasan dalam kabupaten/kota yang memiliki kelas risiko tinggi. Hal ini juga bukan merupakan hal yang mudah karena berdasarkan IRBI 2013 terdapat 322 kabupaten/kota (65%) dengan kelas risiko tinggi, sementara sisanya 174 kabupaten/kota (35%) memiliki kelas risiko sedang. Kabupaten/ kota dengan kelas risiko semakin tinggi, perlu semakin diprioritaskan pembuatan peta dasarnya. Contohnya, Kabupaten Cianjur yang memiliki kelas risiko tertinggi di Indonesia dengan skor 250. Perlu ada kesepakatan antara BNPB dan BKPRN mengenai kabupaten/kota dan kawasan-kawasan yang perlu diprioritaskan pembuatan petanya.

b. Perlu adanya koordinasi antara BKPRN dan BNPB dalam menetapkan kawasan-kawasan yang perlu diprioritaskan pembuatan peta dasar skala 1:5.000, 1:2.000, 1:1.000 untuk penyusunan rencana tata ruang kawasan rawan bencana. c. BKPRN perlu membahas tantangan penyediaan peta kerawanan

dan peta bahaya yang harus disiapkan oleh K/L dan Daerah. Karena tanpa peta-peta tersebut, peta risiko tidak dapat dibuat. Dan sementara ini peta yang ada, misalnya dari Badan Geologi, baru ada peta skala 1:250.000.

Untuk daerah yang belum memiliki peta dasar, maka dapat menggunakan Citra Tegak Resolusi Tinggi2. Citra Tegak Resolusi

Tinggi ini memiliki kedetilan skala submeter. Peta Citra Tegak Resolusi Tinggi tersebut masih memiliki banyak kesalahan, sehingga perlu dikoreksi dulu, yaitu dengan koreksi: (i) Radiometrik, koreksi dilakukan oleh LAPAN; dan (ii) Geometrik, koreksi dilakukan oleh BIG.Peta yang telah dikoreksi dapat digunakan oleh daerah sebagai peta dasar. Pemerintah Daerah dapat mengirim surat ke BIG untuk meminta agar penyusunan peta untuk daerahnya diprioritaskan.

4. Pemetaan Kelembagaan Pengintegrasian Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Rencana Tata Ruang.

Kerangka Regulasi

Saat ini peraturan perundang-undangan yang ada sudah banyak, namun masih berjalan sendiri-sendiri. Untuk penyusunan rencana tata ruang mengacu pada UU No. 26 Tahun 2007 tentang

Penataan Ruang dan peraturan turunannya, sedangkan untuk penyelenggaraan penanggulangan bencana, termasuk penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana (RPB), mengacu pada UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan peraturan turunannya. Saat ini belum ada peraturan yang dapat digunakan sebagai acuan dalam melakukan pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam penyusunan rencana tata ruang. Peraturan yang menjadi acuan dalam penyusunan rencana tata ruang, dalam hal ini RTRW Provinsi dan RTR KSN, adalah Permen PU No. 15/PRT/M/2009 dan Permen PU No. 15/PRT/M/2012. Namun peraturan tersebut belum secara jelas memberikan arahan bagi penyusunan RTRW Provinsi dan RTR KSN yang berbasis pengurangan risiko bencana (mitigasi bencana). Namun demikian, perlu dikemukakan pula bahwa saat ini Ditjen Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum sedang menyusun Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana (sudah pada tahap legal drafting).

Sehubungan dengan hal tersebut, langkah-langkah berikut ini dapat dijadikan alternatif solusi:

1. Diperlukan satu pedoman yang dapat menjadi acuan bagi pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang. Saat ini sudah terdapat upaya-upaya untuk merumuskan pedoman tersebut, antara lain:

a. Upaya yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri bekerja sama dengan Georisk Jerman dan Badan Geologi yang sedang menyusun pedoman penerapan informasi kebencanaan geologi untuk penyusunan rencana tata ruang;

b. Upaya yang dilakukan oleh Kementerian Pekerjaan Umum, berkoordinasi dengan BNPB, yang telah menyusun Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana (SPR-KRB) dan saat ini telah mencapai proses legal drafting; dan

c. Upaya yang dilakukan oleh Bappenas dengan dukungan SCDRR II yang tengah menyusun Materi Teknis Revisi Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang berdasarkan Perspektif Pengurangan Risiko Bencana, khususnya untuk RTRW Provinsi dan RTR Kawasan Strategis Nasional.

2. Apabila daerah akan melakukan pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang, maka sebaiknya pada saat melakukan penyusunan atau peninjauan kembali RTRW sudah tersedia pedoman yang dapat digunakan sebagai acuan. Pedoman tersebut harus jelas dan dapat diimplementasikan. Oleh karenanya, sebaiknya dibuat satu pedoman saja mengenai upaya pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang yang mengkombinasikan antara pedoman yang telah dibuat oleh Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian PPN/Bappenas, dan Kementerian Dalam Negeri. Selain itu, perlu dipertimbangkan bahwa pedoman tersebut tidak hanya menjadi acuan dalam penyusunan RTRW Provinsi dan RTR KSN, tetapi juga rencana tata ruang lainnya (RTRW Kabupaten dan RTRW Kota, serta rencana rinci lainnya).

Sehubungan dengan pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang ini, ada kekhawatiran dari Daerah terkait banyaknya arahan-arahan yang dibuat oleh Pemerintah Pusat sehingga membingungkan buat Daerah. Diperlukan integrasi arahan tersebut, salah satunya antara Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Dalam Negeri. Sudah saatnya norma-norma yang ada di Kementerian Pekerjaan

(14)

Umum dan Kementerian Dalam Negeri diintegrasikan dan disinkronkan, sehingga tidak membingungkan buat daerah.

3. Agar dapat menjadi acuan bagi pemerintah daerah maupun K/L dalam melakukan pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang, maka pedoman tersebut harus memiliki kerangka regulasi yang cukup kuat. Alternatif yang dapat dilakukan:

a. Membuat Surat Edaran Bersama 3 Menteri (Kemen PU, Kemendagri, dan BNPB) tentang Pedoman Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Rencana Tata Ruang. SEB ini dibuat agar pedoman pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam RTR dapat segera disusun dan menjadi acuan bagi pemerintah daerah maupun K/L. Dengan demikian pengarusutamaan PRB dapat segera dilakukan. SEB ini bersifat sementara.

b. Pada saat yang sama dimulai proses penyusunan Peraturan Menteri PU tentang Pedoman Pengurangan Risiko Bencana dalam Rencana Tata Ruang. Dengan demikian pedoman tersebut nantinya memiliki dasar hukum yang lebih kuat.

4. Materi Teknis yang disusun ini dapat digunakan sebagai masukan dalam penyusunan Pedoman Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Rencana Tata Ruang tersebut di atas. Diharapkan muatannya sudah sesuai dengan kebutuhan dan dapat dipertanggungjawabkan untuk memberikan masukan bagi penyusunan Pedoman Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Rencana Tata Ruang. Selain itu, dalam penyusunan Materi Teknis ini juga sudah memperhatikan Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana (draf) yang sedang disusun oleh Kementerian Pekerjaan Umum, sehingga muatannya dapat saling melengkapi.

Keberadaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)

Hingga bulan Februari 2014 telah terbentuk 436 BPBD yang terdiri dari 33 BPBD Provinsi dan 403 BPBD Kabupaten/Kota (81% dari 497 kabupaten/kota).Berarti masih ada 94 kabupaten/kota yang belum memiliki BPBD.Untuk kabupaten/kota yang belum memiliki BPBD, tugas dan fungsi penanggulangan bencana dilaksanakan oleh SKPD yang mempunyai fungsi yang bersesuaian dengan fungsi penanggulangan bencana.

Di kabupaten/kota yang belum memiliki BPBD, bentuk kelembagaan kebencanaan dapat berbeda-beda, baik dari segi SKPD

penanggungjawab maupun eselonnya.Di suatu kabupaten/kota kelembagaan kebencanaan ini dapat berada di bawah eselon 2, 3, atau 4. Mengingat bahwa hasil kajian BNPB menunjukkan bahwa 204 juta (sekitar 80%) rakyat Indonesia tinggal di kawasan rawan bencana3, maka sebaiknya semua kabupaten/kota memiliki BPBD.

Sehubungan dengan hal tersebut, prioritas utama adalah menyegerakan pembentukan BPBD di 94 kabupaten/kota yang belum memiliki BPBD saat ini. Setelah BPBD terbentuk, tantangan berikutnya adalah masalah kapasitas BPBD. Bila dibandingkan dengan BKPRD yang sudah terbentuk cukup lama, maka kapasitas BPBD merupakan salah satu isu yang penting diperhatikan. Isu kapasitas ini antara lain terkait dengan sumber daya manusia, sarana dan prasarana, serta anggaran yang dimiliki oleh BPBD. Kapasitas BPBD perlu diperkuat antara lain agar mampu menyusun

Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) sendiri yang berkualitas dan sesuai dengan kebutuhan rencana tata ruang sehingga dapat diintegrasikan.

Kapasitas Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)

Struktur BPBD yang ada saat ini dirasakan sudah cukup untuk penyelenggaraan penanggulangan bencana di daerah, hanya perlu dioptimalkan lagi dalam hal sumber daya manusia dan anggarannya.Dirasakan sumber daya manusia yang ada saat ini masih sangat kurang kapabilitasnya dalam penanggulangan bencana, khususnya untuk aspek pencegahan dan mitigasi bencana (perencanaan), karena saat ini fokusnya masih lebih pada hal-hal yang operasional (kesiapsiagaan dan tanggap darurat)4.

Dalam pembentukan dan penguatan BPBD ini, sebaiknya pemerintah daerah juga mempertimbangkan karakteristik isik daerahnya, misalnya provinsi kepulauan seperti NTT atau kota kepulauan seperti Ternate. Sebagai wilayah kepulauan, maka sarana dan prasarana evakuasi menjadi isu yang sangat penting untuk diperhatikan.

Penguatan BKPRD terkait Kebencanaan

Sehubungan dengan belum masuknya pengarusutamaan

pengurangan risiko bencana ke dalam salah satu tugas BKPRD dan tidak masuknya kelembagaan bencana, BPBD, sebagai anggota BKPRD, maka tantangannya adalah bagaimana meningkatkan kapasitas BKPRD terhadap kebencanaan, terutama dalam upaya pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam penataan ruang. Ada beberapa alternatif yang dapat diambil: (i) Memasukkan kelembagaan bencana, dalam hal ini BPBD, sebagai salah satu anggota BKPRD; atau (ii) Memasukkan BPBD ke dalam Kelompok Kerja Perencanaan Tata Ruang pada saat penyusunan rencana tata ruang, dan ke dalam Kelompok Kerja Pemanfaatan dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang pada saat rencana tata ruang sudah selesai disusun dan masuk pada tahap implementasi; atau (iii) Memasukkan BPBD dalam Tim Teknis tentang penanggulangan bencana.

3 Lilik Kurniawan, Direktur Pengurangan Risiko Bencana, “Isu-isu Strategis Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Rencana Tata Ruang”, Kedeputian

Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan, BNPB, Keynote Speech dalam Diskusi Terarah Materi Teknis-SCDRR-II, Bappenas, 10 Juni 2014.

4 Diskusi Terarah Materi Teknis-SCDRR-II, Bappenas, 10 Juni 2014.

(15)

Dalam rangka evaluasi pelaksanaan tugas Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) selama 5 tahun terakhir, Kementerian PPN/Bappenas selaku Sekretariat BKPRN menyelenggarakan rapat koordinasi tingkat Eselon II, untuk mengonirmasi laporan kegiatan BKPRN 2009 – 2014 sekaligus menjaring masukan dan perbaikan dari seluruh perwakilan anggota Kelompok Kerja (Pokja) BKPRN terkait.

Penyusunan laporan BKPRN tersebut sesuai dengan amanat penyusunan laporan pada Keppres No. 4 Tahun 2009 tentang Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) Pasal 10, yang menyebutkan “BKPRN melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada Presiden secara berkala setiap 6 (enam) bulan.”

Selanjutnya, Kementerian Perekonomian selaku Ketua BKPRN akan melaporkan pelaksanaan tugas BKPRN secara tertulis kepada Presiden, hal ini sesuai dengan Permenko No. Per-02/M. EKON/10/2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja BKPRN Pasal 6 “Ketua BKPRN melaporkan pelaksanaan tugas BKPRN secara tertulis kepada Presiden secara berkala setiap 6 (enam) bulan.”

Laporan Kegiatan BKPRN Semester 2 Tahun 2014 mencakup kegiatan BKPRN periode tahun 2009 – 2014 yang mengacu kepada: (i) Pelaksanaan Agenda Kerja BKPRN sejak tahun 2009 hingga 2014; (ii) Laporan Semester kepada Presiden; dan (iii) Penugasan lain sesuai dengan isu penataan ruang yang berkembang.

Adapun beberapa hal yang dibahas dalam laporan tersebut meliputi: (i) Struktur, Capaian, dan Tantangan; (ii) Fasilitasi

Penyelesaian Peraturan Perundangan Bidang Penataan Ruang; (iii) Penguatan Kelembagaan Penataan Ruang Nasional dan Daerah; (iv) Pendayagunaan Penataan Ruang Nasional dan Daerah; serta (v) Penyelesaian sengketa dan konlik pemanfaatan ruang.

Kelembagaan BKPRN

Kehadiran Kementerian Agraria dan Tata Ruang di akhir tahun 2014 telah memberi warna baru bagi bidang tata ruang dan memunculkan pemikiran untuk meninjau bentuk keberadaan BKPRN sebagai badan koordinasi tata ruang selama ini. Pada prinsipnya, keberadaan BKPRN seyogyanya tidak merupakan duplikasi terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi Kementerian ATR/BPN. Kita tunggu hasil peninjauan tersebut [ay].

Koordinasi

Rapat Koordinasi Eselon II BKPRN:

Penyelesaian Laporan BKPRN 2009 – 2014

Pembahasan Pendayagunaan Tanah Wakaf

sumber: dokumen Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan

Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan, Kementerian PPN Bappenas menghadiri pertemuan terkait pendayagunaan tanah wakaf yang diselenggarakan oleh Direktorat Permukiman dan Perumahan, Kementerian PPN/Bappenas, bertempat di Ruang SG-5, Bappenas. Rapat dihadiri oleh Perum Perumnas, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Agama, Badan Wakaf Indonesia, dan Dompet Dhuafa. Tujuan pertemuan adalah untuk menentukan lokasi pilot project pendayagunaan tanah wakaf dalam pembangunan perumahan rakyat tahun 2015.

Pendayagunaan tanah wakaf untuk pembangunan perumahan rakyat masuk dalam kegiatan Quick Wins dan akan dialokasikan anggarannya dalam APBN-P 2015. Untuk itu, akan dipilih 5 (lima) lokasi untuk pilot project kegiatan tersebut. Mengemuka pula dalam pertemuan bahwa telah tersusun kriteria penetapan lokasi tanah wakaf untuk perumahan sesuai ketentuan Perumahan Nasional (Perumnas). Ketentuan lain yang perlu diperhatikan adalah (a) status tanah clean and clear; (b) nadzir jelas, merupakan orang atau badan hukum yang memegang amanat untuk memelihara dan mengurus harta wakaf sesuai dengan wujud dan tujuan wakaf tersebut; (c) target penerima manfaat jelas. Untuk luasan tanah diusulkan luasnya kurang dari 5.000 m2 agar mudah terlaksana pada tahun

2015.

Pada kesempatan tersebut, forum menyepakati bahwa pada tahun 2015 pelaksana pembangunan perumahan dari tanah wakaf adalah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU-PR). Kementerian PU-PR perlu segera merumuskan tipologi disain rusunawa dengan memperhatikan faktor target penerima manfaat. Di sisi lain, Perum Perumnas perlu memikirkan skema pembiayaan yang dapat digunakan dan menyusun disain pembangunan area komersial pada rusunawa yang akan dibangun sebagai alternatif dalam implementasi skema wakaf produktif dan mempertimbangkan peran investasi Perumnas.

Lebih lanjut, akan ditetapkan Kelompok Kerja (Pokja) lintas K/L untuk menetapkan lokasi tanah wakaf dan pelaksanaan kegiatan tersebut. Pilot project pendayagunaan tanah wakaf masih kekurangan 2 (dua) lokasi sehingga perlu diidentiikasi dari data yang dipunyai Direktur Pemberdayaan Wakaf, Kementerian Agama sesuai kriteria yang telah disusun.

(16)

Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan menghadiri pembahasan rencana pelaksanaan Stocktaking dalam mendukung kebijakan

One Map Policy yang diselenggarakan oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.

Pertemuan ini merupakan pertemuan perdana yang bertujuan membahas rencana pelaksanaan stocktaking (audit) terkait peta pemanfaatan ruang. Sekaligus persiapan Rapat Koordinasi Kementerian Bidang Ekonomi terkait dengan kebijakan One Map Policy. Dengan adanya stocktaking ini, kedepan diharapkan akan tersedia data dan peta tematik tunggal pemanfaatan ruang di Indonesia dan rekomendasi penyelesaian masalahnya. Pada tahun 2009, Ditjen Penataan Ruang - Kementerian PU pernah melaksanakan stocktaking peta pemanfaatan ruang (kehutanan, pertambangan, pertanian/perkebunan, transmigrasi, dan status tanah) di Provinsi Kalimantan Tengah. Kemudian tahun 2010 dilaksanakan pada 7 provinsi yaitu Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Hasil stocktaking ini dapat digunakan sebagai dasar awal dalam pelaksanaan one map policy dalam tata ruang.

Rencana Pelaksanaan Stocktaking dalam Mendukung Kebijakan

One Map Policy

Pada kesempatan tersebut, BIG menyampaikan bahwa pihaknya sudah menyusun peta dasar secara resmi seluruh Indonesia dengan skala 1:25.000 dan 1:50.000 (bervariasi per pulau), namun ada yang perlu diperbaharui. Untuk mendukung hal tersebut, LAPAN juga memiliki beberapa data yang dapat dimanfaatkan untuk penyusunan peta skala 1:50.000, dapat diakses di bdpjn-catalog.lapan.go.id. Bersamaan dengan itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan anggaran bantuan dari Asian Development Bank (ADB) sudah pernah memetakan garis pantai yang sesuai antara darat dan laut untuk 15 provinsi (skala 1:250.000) dan 42 kabupaten/kota (skala 1:50.000).

Pihak Kementerian Pertanian juga menyampaikan bahwa mereka memiliki peta sawah eksisting, dengan skala 1:5.000 di Pulau Jawa dan skala 1:10.000 diluar Pulau Jawa. Keseluruhan lahan sawah yang terpetakan adalah seluas 8,1 juta Ha. Sementara itu, Kementerian Dalam Negeri ditugaskan untuk melaksanakan fasilitasi one map policy di 5 propinsi pilot.

Secara prinsip, BIG menyediakan peta dasar skala 1:50.000, dan K/L menyiapkan peta tematik berdasarkan peta dasar BIG [as/sy].

Implementasi Konsep Nawacita dalam Peninjauan Kembali

RTRWN

Dalam rangka menampung pemikiran dan ide-ide konstrukstif dalam upaya mempertegas peran dan fungsi RTRWN sebagai kebijakan spasial pembangunan kewilayahan dan sektoral yang mengikat, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, menyelenggarakan FGD Implementasi Konsep Nawacita dalam Peninjauan Kembali RTRWN. Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan turut berpartisipasi dalam FGD yang dilaksanakan selama dua hari, pada 13 – 14 Januari 2015.

Dalam sambutannya, Menteri Agraria dan Tata Ruang, Ferry Mursyidan Baldan, menyebutkan bahwa materi kemaritiman dalam RTRWN perlu diperkaya untuk mendukung perwujudan poros maritim, dan mewujudkan keterpaduan infrastruktur sehingga mempermudah pergerakan barang dan jasa, sekaligus mengurangi biaya logistik. Selain itu, perlu dilaksanakan

pemerataan pembangunan antarwilayah, terutama desa, kawasan timur indonesia, dan kawasan perbatasan.

Urgensi Peninjauan Kembali RTRWN

Terdapat 4 (empat) nilai penting RTRWN untuk ditinjau kembali, di antaranya: a) RTRWN berfungsi sebagai pedoman penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Kedua Pasca 2025 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional periode 2015-2019, sehingga harus memperhatikan kondisi objektif saat ini dan menjawab kesenjangan terhadap kondisi yang diharapkan; b) RTRWN adalah pedoman pemanfaatan ruang di wilayah nasional yang menjadi acuan pembangunan sektoral sehingga dapat menghindari terjadinya konlik pemanfaatan ruang antarsektor; c) RTRWN merupakan upaya untuk mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan

antarwilayah provinsi, yang sifatnya saling melengkapi

(komplementaritas) dan tidak bertentangan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi/Kabupaten/Kota; serta d) RTRWN adalah acuan dalam penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi, sehingga ada kepastian peruntukan fungsi masing-masing kawasan untuk investasi bagi dunia usaha dan investasi publik.

Empat Agenda Prioritas NAWACITA dalam RTRWN

Adapun empat agenda prioritas Nawacita dalam RTRWN antara lain: 1) Kedaulatan Maritim dan Pembangunan Infrastruktur Jalan Baru, Pelabuhan Baru, Bandara Baru, Kawasan Industri Baru; 2) Pemerataan Pembangunan AntarWilayah terutama Desa, Kawasan Timur Indonesia, dan Kawasan Perbatasan; 3) Kedaulatan Pangan dan Energi; dan 4) Membangun Infrastruktur untuk Peningkatan Produktivitas dan Daya Saing Indonesia.

(17)

Internalisasi Nawacita:

Membangun Kawasan Perbatasan dalam perspektif

Tata Ruang dan Pertanahan

Ir. Budi Situmorang, MURP Direktur Tata Ruang Wilayah Nasional, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional

Nawa Cita: Membangun Kawasan Perbatasan

Seperti kita ketahui bersama, pemerintahan baru Joko Widodo dan Jusuf Kalla menyertakan sembilan agenda prioritas untuk mewujudkan visi misi pemerintahan 5 (lima) tahun ke depan. Sembilan agenda prioritas itu disebut sebagai Nawa Cita.

Dalam konteks membangun Kawasan Perbatasan Negara, agenda prioritas yang perlu dicermati adalah agenda ketiga. Agenda ketiga tersebut adalah membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Salah satu daerah “pinggiran negara” di dalam Nawa Cita adalah kawasan perbatasan negara. Kebijakan ini dimaksudkan untuk melindungi kepentingan nasional Indonesia di kawasan perbatasan serta memperkuat daya saing ekonomi Indonesia secara global.

Lebih lanjut dalam Nawa Cita, salah satu program aksi sebagai upaya dalam rangka perbaikan menuju berdikari ekonomi adalah membangun tata ruang dan lingkungan yang berkelanjutan, salah satunya melalui pembangunan pusat pertumbuhan ekonomi baru di kawasan perbatasan.

RTR Kawasan Perbatasan: Perspektif Pengembangan Kawasan Perbatasan

Kawasan perbatasan negara memiliki peran sangat penting dan strategis, karena merupakan batas kedaulatan negara dan merupakan wilayah yang mencerminkan beranda depan suatu

negara. Sebagai batas kedaulatan, batas yuridiksi dan territorial negara berada di Kawasan Perbatasan Negara. Oleh karena itu, fungsi pertahanan dan keamanan sangat melekat di Kawasan Perbatasan Negara. Sebagai beranda depan negara, Kawasan Perbatasan Negara dapat dimanfaatkan sebagai pintu gerbang aktivitas ekonomi perdagangan dengan negara tetangga, sehingga tidak hanya fungsi pertahanan dan keamanan saja, tapi fungsi kesejahteraan atau ekonomi juga sangat melekat di Kawasan Perbatasan Negara. Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mempertimbangkan dengan tegas peran penting kawasan perbatasan tersebut. Sebagai beranda depan negara, kawasan perbatasan negara ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN). Dalam Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional ditetapkan 10 (sepuluh) kawasan perbatasan negara sebagai KSN dari sudut kepentingan pertahanan dan keamanan, dengan 26 Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) sebagai pusat utama perbatasan negara dan atau sebagai pintu gerbang ke negara tetangga. Dalam prosesnya, kemudian diambil kebijakan untuk menyusun 9 (sembilan) rencana tata ruang (RTR)

(18)

Kawasan Perbatasan Negara. Kesembilan RTR tersebut, yaitu RTR Kawasan Perbatasan Negara di Aceh dan Provinsi Sumatera Utara, RTR Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi Riau dan Provinsi Kepulauan Riau, RTR Kawasan Perbatasan Negara di Kalimantan, RTR Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi Sulawesi Utara-Provinsi Gorontalo-Utara-Provinsi Sulawesi Tengah-Utara-Provinsi Kalimantan Timur-Kalimantan Utara, RTR Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi Maluku Utara dan Provinsi Papua Barat, RTR Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi Papua, RTR Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi Maluku, RTR Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi Nusa Tenggara Timur, serta RTR Kawasan Perbatasan Negara dengan Laut Lepas.

Terdapat 5 (lima) RTR Kawasan Perbatasan Negara yang telah terbit, yaitu Perpres No. 179 Tahun 2014 tentang RTR Kawasan Perbatasan di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Perpres No. 31 Tahun 2015 tentang RTR Kawasan Perbatasan di Kalimantan, Perpres No. 32 Tahun 2015 tentang RTR Kawasan Perbatasan di Provinsi Papua, Perpres No. 33 Tahun 2015 tentang RTR Kawasan Perbatasan di Provinsi Maluku, dan Perpres No. 34 Tahun 2015 tentang RTR Kawasan Perbatasan di Provinsi Maluku Utara dan Provinsi Papua Barat.

Sedangkan 3 (tiga) RTR Kawasan Perbatasan Negara, yaitu RTR Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi Sulawesi Utara-Provinsi Gorontalo-Provinsi Sulawesi Tengah-Provinsi Kalimantan Timur-Kalimantan Utara, RTR Kawasan Perbatasan Negara di Aceh dan Provinsi Sumatera Utara, dan RTR Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi Riau dan Provinsi Kepulauan Riau masih dalam bentuk Rancangan Perpres. Sementara RTR Kawasan Perbatasan Negara dengan Laut Lepas masih dalam proses penyusunan materi teknis. Muatan RTR Kawasan Perbatasan Negara sendiri terkait erat dengan nilai strategis nasional yang dimilikinya, serta hal-hal spesiik di luar kewenangan pemerintah provinsi/kabupaten/kota. Oleh karena itu, RTR Kawasan Perbatasan menjadi dasar dalam penyusunan program sektoral serta pelaksanaan pembangunan oleh Kementerian/Lembaga di Kawasan Perbatasan Negara. Di dalam RTR Kawasan Perbatasan Negara yang telah disusun, tersurat pendekatan pengembangan Kawasan Perbatasan Negara yang mengedepankan 4 (empat) aspek, yaitu: i) aspek peningkatan pertahanan dan keamanan negara; ii) aspek pembangunan ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat; iii) aspek lingkungan hidup; serta iv) aspek sosial.

Dalam aspek pertahanan dan keamanan, RTR Kawasan Perbatasan Negara tidak hanya terkait dengan peningkatan fasilitas

pertahanan dan keamanan saja tapi juga dengan penegakan kedaulatan negara seperti penetapan dan penegasan garis batas negara, termasuk pulau-pulau kecil terluar.

Dalam aspek ekonomi atau kesejahteraan, RTR Kawasan Perbatasan Negara menetapkan sebaran kawasan peruntukan yang dikelompokkan menjadi tiga, yaitu kawasan peruntukan untuk kemandirian pangan masyarakat, kawasan peruntukan untuk pertumbuhan ekonomi antarwilayah, dan kawasan peruntukan untuk peningkatan ekonomi yang berdaya saing (ekspor/impor). Aspek lingkungan hidup terkait dengan pemertahanan kawasan lindung Kawasan Perbatasan Negara, seperti eksistensi garis pantai yang memiliki titik-titik garis pangkal terluar, kawasan lindung lintas negara, dan ekosistem penting yang berada di Kawasan Perbatasan Negara.

Dalam aspek sosial, RTR Kawasan Perbatasan Negara terkait dengan penyediaan prasarana dasar di Kawasan Perbatasan Negara, termasuk prasarana untuk meningkatkan hubungan

kekerabatan antarmasyarakat (adat) di Kawasan Perbatasan Negara.

Pendekatan pengembangan Kawasan Perbatasan Negara di atas pada dasarnya menunjukkan arah kebijakan pengembangan Kawasan Perbatasan Negara untuk mempercepat pembangunan kawasan perbatasan di berbagai bidang, baik keamanan, ekonomi dan sosial yang terintegrasi dan berwawasan lingkungan. Lebih lanjut, RTR Kawasan Perbatasan Negara juga menetapkan pusat-pusat permukiman sebagai pusat pelayanan yang berhirarki. Pusat pelayanan kawasan perbatasan negara terdiri atas pusat pelayanan utama, pusat pelayanan penyangga, dan pusat pelayanan pintu gerbang.

Pusat pelayanan utama merupakan pusat kegiatan utama dalam peningkatan pelayanan pertahanan dan keamanan negara serta pendorong pengembangan kawasan perbatasan negara yang berupa PKSN.

Sementara pusat pelayanan penyangga adalah pusat kegiatan penyangga pintu gerbang peningkatan pelayanan pertahanan dan keamanan negara, keterkaitan antara pusat pelayanan utama dan pusat pelayanan pintu gerbang, serta kemandirian pangan

Gambar

Gambar 2 Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Proses Penyusunan RTRSumber: Hasil Analisis
Gambar 3,  Waktu Pengintegrasian PRB ke dalam RTR,
Tabel 1

Referensi

Dokumen terkait

1) Proses penggilingan dimulai ketika daun teh yang berada di stasiun pelayuan sudah siap untuk digiling. Proses turunnya teh dari stasiun pelayuan ke stasiun

7 Tahun 2011 jo Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Umum Bupati dan Wakil Bupati Sambas Tingkat Kabupaten oleh Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Sambas jo

Bagi perusahaan-perusahaan yang menghasilkan cat maka cat adalah produk (hasil produksi) sehingga mereka menyebutnya sebagai barang. Namun, bagi pengusaha pengecatan

Dari seluruh komponen PDRB yang mengalami penurunan, komponen PMTDB (Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto), turun paling tinggi dengan pertumbuhan mencapai - 2,40

Dari uji mekanik disimpulkan bahwa dibandingkan pada binder poliester, penggunaan binder silicone rubber menghasilkan sifat mekanik yang semakin menurun pada

Pelaksanaan kegiatan Sosialisasi Penyusunan Rencana Kerja, Indikator Kinerja Utama dan Penetapan Kinerja Polres Lingga tahun 2020 yang dilaksanakan pada hari Jumat

Untuk itulah dilaksanakan kegiatan Pengabdian pada Masyarakat dalam bentuk “Pelatihan Digital Marketing Melalui Sosial Media” pada Kelompok Binaan Kuliner (makanan dan minuman)

Laporan ini merupakan hasil Pengabdian Kepada Masyarakat dengan tema ‘ Kreativitas Sebagai Salah Satu Bentuk Pembelajaran Tari di SMA N 2 Sukoharjo .” Tujuan dari pelatihan