BAB II
TINJAUAN PUSTAKA.
1. Hama utama tanaman jagung.
Hama jagung menyerang seluruh fase pertumbuhan tanaman jagung, baik
vegetatif maupun generatif. Hama yang biasa ditemukan pada tanaman jagung
adalah lalat bibit (Atherigona sp.), penggerek batang (Ostrinia furnacalis),
penggerek tongkol (Helicoverpa armigera), pemakan daun (Spodoptera litura),
kutu daun (Aphis sp) dan belalang (Locusta sp.). Hama - hama ini memberikan
kontribusi dalam kehilangan hasil tanaman jagung. Ketersediaan tehnologi
penanganan hama ini telah banyak dilakukan baik oleh Balai Penelitian Tanaman
Seralia maupun lembaga-lembaga lain. Tehnologi penanganannya dapat berupa
pemanfaatan agen hayati, pola tanam, kultur tehnis, varietas resisten, mekanis, dan
kimiawi (Adnan, 2009).
Penelitian serangan hama pada tanaman jagung (Zea mays) menggunakan
metode survey atau patroli langsung pada hamparan tanaman jagung. Pengamatan
langsung dengan mengamati 10 persen dari luas lahan pada ubinan 1 x 1 m secara
random dengan 4 ulangan. Pengumpulan data dengan cara kualitatif mengamati
jenis-jenis hama yang menyerang, jenis-jenis musuh alami, gejala serangan, dan
persentase serangan. Data yang didapat disusun secara tabulasi dan dilakukan
analisis secara destruktif. Dari pengamatan di lapangan ditemukan 3 species hama
yang menyerang tanaman jagung yaitu penggerek tongkol (Helicoverpa
armigera), kutu daun (Aphis sp.), dan belalang kembara (Locusta sp.) dengan
2. Pestisida.
Penggunaan biopestisida, khususnya pestisida nabati merupakan kearifan
lokal bangsa Indonesia. Pemanfaatan pestisida nabati mendapat perhatian penting
seiring dengan munculnya dampak negatif penggunaan pestisida sintetis terhadap
kesehatan dan lingkungan. Beberapa formula pestisida nabati yang terbukti
manjur untuk mengendalikan OPT telah diproduksi dan sebagian diekspor ke
negara tetangga. Namun, pengembangan pestisida nabati menghadapi beberapa
kendala, antara lain: (1) daya kerjanya lambat sehingga petani lebih memilih
pestisida sintetis yang cara kerjanya cepat terlihat; (2) banyaknya pestisida sintetis
yang beredar di pasaran sehingga petani mempunyai banyak pilihan dan
kemudahan untuk memperoleh pestisida dan tidak tertarik pada pestisida nabati;
(3) sulitnya memperoleh bahan baku dalam jumlah banyak karena masyarakat
enggan mengembangkannya dan hanya mengandalkan pada alam; dan (4) sulitnya
proses pendaftaran dan perizinan karena umumnya pestisida nabati dikembangkan
oleh pengusaha kecil (Kardinan, 2011).
Penelitian aplikasi pestisida nabati pada pertanaman jagung bertujuan
untuk mendapatkan dosis yang tepat dalam pengendalian hama tanaman jagung.
Pestisida ini merupakan hasil fermentasi dari bahan dasar babandotan 32,5 %,
umbi gadung 25 %, serei 22,5 %, lengkuas 20 %, EM-4 150 ml, molases 150 ml
dan air 4 liter. Penelitian terdiri dari lima perlakuan yang disusun menurut
Rancangan Acak Kelompok (RAK), yaitu: P0 = tanpa perlakuan, P1 = 25 cc /
liter air, P2 = 50 cc / liter air, P3 = 75 cc / liter air, P4 = 100 cc / liter air dan
masing-masing perlakuan diulang sebanyak empat kali. Hasil penelitian
serangan dan populasi belalang. Sedangkan untuk menekan populasi ulat
penggulung dan ulat tongkol lebih efektif dengan menggunakan dosis 25 cc / liter
air pestisida nabati tersebut (Hasanuddin, at al., 2008).
Penelitian Keefektifan limbah tembakau sebagai insektisida nabati untuk
mengendalikan hama Helopeltis sp pada kakao bertujuan untuk mengendalikan
serangga hama Helopeltis sp pada tanaman kakao dilakukan pada kondisi
laboratorium dan lapangan. Dampak negatif aplikasi ekstrak tembakau terhadap
pertumbuhan bunga kakao dan predator hama Helopeltis sp juga diamati pada
percobaan di lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak Iimbah
ternbakau dalam air pada konsentrasi 10.0% sangat efektif dalam menekan
populasi Helopeltis sp baik pada kondisi di laboratorium maupun di lapangan dan
tidak berbeda nyata dengan perlakuan insektisida sipermetrin konsentrasi 0,10
formulasi dan BPMC konsentrasi 0,2. Aplikasi ekstrak tembakau juga tidak
berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan bunga kakao, akan tetapi berpengaruh
negatif terhadap populasi serangga predator Helopeltis sp. dari golongan laba-laba
dan kepik Reduviidae (Wiryadiputra, 2003).
Penelitian Aktivitas antibakteri minyak atsiri daun sirih merah (Piper
crocatumruiz & pav.) bertujuan bertujuan untuk mengetahui kandungan
komponen kimia dan uji antibakteri minyak atsiri daun sirih merah (Piper
crocatum Ruiz & Pav.). Analisis Kromatografi Gas-Spektrometri Massa (GC-
MS) menunjukkan 16 senyawa terdeteksi dengan senyawa utama sabinen
(44,91%) dan β-mirsena (18,88%). Nilai Konsentrasi Hambat Minimum (KHM)
untuk bakteri gram positif yaitu Bacillus cereus, Staphylococcus aureus,
sedangkan untuk bakteri gram negatif Shigellaflexneri mempunyai KHM sebesar
0,25%, Eschericia coli sebesar 1% dan Pseudomonas aeruginosa sebesar 0,075%
(Soerya, 2008).
Penelitian efikasi pestisida nabati minyak atsiri tanaman tropis terhadap
mortalitas ulat bulu gempinis dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui metode
untuk mengontrol populasi ulat berbulu yang meningkat drastis pada tahun 2010
menjadi 2011 di Indonesia. Untuk mengontrol ulat, baru-baru ini, masyarakat
menggunakan insektisida kimia, namun dampak dari bahan kimia insektisida
berbahaya bagi manusia, ternak, dan lingkungan. Oleh karena itu untuk
meminimalkan masalah tersebut, metode pengendalian harus ramah lingkungan
dan aman terhadap manusia. Salah satu metode adalah memanfaatkan pestisida
nabati yang diekstrak dari tanaman tropis. Tiga tanaman topikal seperti: serai
wangi (Cymbopogon nardus), serai (Cymbopogon citratus), nimba (Azadirachta
indica), dilakukan dalam penelitian ini untuk memanfaatkan sebagai pestisida
nabati. Hasil penelitian menunjukkan pada konsentrasi 10%, semua minyak
esensial yang efektif untuk membunuh ulat (90-100%). Oleh karena itu
pemeriksaan konsentrasi rendah dari minyak atsiri dilakukan (5%, 2%, dan 1%).
Hasil konsentrasi 1% dari sereh ditemukan paling efektif untuk membunuh ulat
(98%). Pemeriksaan untuk sereh bawah konsentrasi 1% (0.75%, 0.50%, dan
0.25%) dilanjutkan. Dari pemeriksaan tersebut, di bawah konsentrasi 0.50% ulat
mati 90%, sedangkan konsentrasi 0,25% tidak efektif (50%) (Adnyana, et.al.,
2012).
Penelitian efektifitas pestisida nabati berbasis minyak jarak pagar,
di rumah kaca Balai Besar Bioteknologi Pertanian dari bulan Februari hingga
Maret 2011. Penelitian bertujuan mengkaji potensi pestisida nabati berbasis
minyak jarak pagar, cengkeh dan serai wangi untuk mengendalikan wereng batang
cokelat, Nilaparvata lugens. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga minyak
yang diuji mempunyai tingkat toksisitas yang tidak berbeda nyata satu dengan
lainnya, tetapi berbeda nyata terhadap kontrol (Wiratno, 2010).
Ekstrak biji mimba dapat berperan sebagai larvisida dan ovisida,
menghambat perkembangan larva, memperpendek umur imago, dan mengurangi
fekunditas. Pemanfaatan biji mimba sebagai pestisida nabati dapat dibuat dengan
dua cara, yaitu serbuk dan ekstrak. Cara pertama adalah cara sederhana, dibuat
serbuk. Biji mimba dibuat serbuk sampai halus, direndam dalam air, disaring dan
disemprotkan. Cara kedua adalah ekstrak, yaitu biji mimba dibuat dengan cara
melarutkan serbuk biji mimba dalam pelarut organik (Subiyakto, 2009).
Penggunaan pestisida alami dapat mempermudah dan menghemat tenaga,
adapun keuntungan dari pestisida alami antara lain: Pengerjaan penyemprotan
akan lebih cepat, pestisida organik dapat menjamin keamanan ekosistem, dengan
penggunaan pestisida organik dapat mencegah lahan pertanian menjadi keras dan
menghindari ketergantungan pada pestisida kimia. Pestisida organik hanya
membuat hama tidak betah pada tanaman atau tidak membunuhnya dan telur
hama tidak bisa menetas. Penggunaan pestisida organik juga harus dilakukan
dengan hati-hati dan dengan kesabaran serta ketelitian (Tombe, 2008).
Tren penggunaan pestisida di dunia sudah mengarah ke pestisida alami
sehingga pemanfaatan tumbuhan sebagai pestisida nabati pun mulai dilirik. Hal ini
efektif dan ramah lingkungan. Pada saat itu, banyak petani yang beralih ke
kearifan lokal, dengan memanfaatkan tumbuhan sebagai pestisida, atau dikenal
dengan pestisida nabati (Kardinan et al., 1994).
Subiyakto (2009), menyatakan bahwa penggunaan pestisida organik juga
harus dilakukan dengan hati-hati dan dengan kesabaran serta ketelitian.
Banyaknya pestisida organik yang disemprotkan ke tanaman harus disesuaikan
dengan hama. Waktu penyemprotan juga harus diperhatikan petani sesuai dengan
siklus perkembangan hama. Untuk pencegahan adanya hama, penyemprotan dapat
dilakukan secara periodik pada tanaman holtikultura. Sebaiknya dalam waktu satu
minggu sekali atau disesuaikan dengan ada tidaknya hama karena hama selalu
berpindah.
Bahan tambahan untuk pembuatan pestisida alami dalam fermentasi dapat
digunakan jahe, kencur, lengkuas, temulawak. Pembuatannya dengan dihaluskan,
diberi air, diperas, disaring dan dilakukan permentasi selama 9 - 12 hari
(Santosa et al., 2009).
Pestisida Matador merupakan pestisida kimia yang banyak digunakan
petani untuk mengendalikan ulat kubis (P. xylostella) yang mempunyai bahan
aktif lamdasihalotrin yang dibuat khusus untuk mengendalikan berbagai larva
serangga hama. Tingginya jumlah rata – rata jumlah larva yang mati pada
pestisida matador dari tiap waktu pengamatan diduga bahan aktif yang terkandung
dalam pestisida matador mampu menurunkan kekebalan tubuh dai larva ulat kubis
3. Yellow trap.
Kajian tentang perangkap untuk hama penggerek buah kopi
(Hypothenemus hampei) telah dilakukan untuk mengevaluasi aspek warna
perangkap, desain atau tipe perangkap dan senyawa penarik yang paling efektif
untuk menarik serangga Hypothenemus hampei, serta potensinya dalam
menurunkan populasi hama Hypothenemus hampei. Warna perangkap yang
dievaluasi terdiri atas warna merah, oranye, kuning, hijau dan biru dan dipasang di
kebun kopi menggunakan alat perangkap tipe corong ganda yang berisi empat
corong. Perangkap diletakkan pada tiang kayu pada ketinggian sekitar 175 cm di
atas permukaan tanah dan ditempatkan di antara pohon kopi. Pengamatan jumlah
serangga yang terperangkap dilakukan setiap hari selama satu minggu. Hasil yang
diperoleh menunjukkan bahwa perangkap warna merah dan biru dapat menangkap
serangga Hypothenemus hampei secara nyata lebih banyak dibanding tipe