BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kesiapsiagaan
Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat
guna dan berdaya guna (UU Penanggulangan Bencana, 2007). Pengelolaan bencana
yang efektif memerlukan kombinasi empat konsep, yaitu atas semua bahaya,
menyeluruh, terpadu, dan kesiapan masyarakat, pendekatan terpadu pegelolaan
bencana efektif memerlukan kerjasama aktif berbagai pihak terkait, artinya semua
organisasi dengan tugasnya masing masing bekerjasama dalam pengelolaan bencana.
Menurut Undang Undang No 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana
disampaikan bahwa pemerintah melaksanakan kesiapsiagaan penanggulangan
bencana sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 15 huruf a untuk memastikan
terlaksananya tindakan yang cepat dan tepat pada saat terjadi bencana meliputi,
penyusunan dan uji coba rencana penanggulangan bencana. Pengorganisasian,
pemasangan dan pengujian sistim peringatan dini. Penyediaan dan penyiapan barang
pasokan pemenuhan barang kebutuhan dasar. Pengorganisasian, penyuluhan,
pelatihan dan gladi tentang mekanisme tanggap darurat bencana. Penyiapan lokasi
evakuasi, penyusunan data akurat, informasi, dan pemukhtakiran prosedur tetap
tanggap darurat bencana, dan penyediaan dan penyiapan bahan, barang dan peralatan
Kesiapsiagaan adalah upaya yang dilaksanakan untuk mengantisipasi
kemungkinan terjadinya bencana guna menghindari jatuhnya korban jiwa, kerugian
harta benda dan berubahnya tata kehidupan masyarakat. Upaya kesiapsiagaan
dilakukan pada saat bencana mulai teridentifikasi akan terjadi, kegiatan yang
dilakukan antara lain: (a) pengaktifan pos pos siaga bencana dengan segenap
pendukungnya, (b). pelatihan siaga/ simulasi/ gladi/ teknis bagi setiap sektor
penanggulangan bencana (SAR, sosial, kesehatan, prasarana dan pekerjaan umum),
(c) inventaris sumberdaya pendukung kedaruratan, (d) penyiapan dukungan dan
mobilisasi sumberdaya/logistik, (e) penyiapan sistem informasi dan komunikasi
terpadu guna mendukung tugas kebencanaan, (f) penyiapan pemasangan instrument
sistem peringatan dini (early warning), (g) penyusun rencana kontigensi (contigency
plan), serta (h) mobilisasi sumberdaya dalam hal personil dan prasarana/ sarana
peralatan (Depkes, 2007).
Menurut WHO (1999), kesiapsiagaan adalah program pembangunan
kesehatan jangka panjang yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas dan
kemampuan seluruh potensi sumberdaya wilayah agar dapat menanggulangi masalah
kesehatan akibat kedaruratan dan bencana secara efisien dari tahap tanggap darurat
sampai rehabilitasi secara berkesinambungan sebagai bagian dari pembangunan
kesehatan yang menyeluruh.
Kesiapsiagaan menghadapi bencana yaitu bila upaya pencegahan dan mitigasi
upaya kesiapsiagaan, peringatan dini, dan beberapa kegiatan tanggap darurat bencana
masuk dalam kegiatan kesiapsiagaan (Disaster Risk Reduction Aceh, 2011).
Kesiapsiagaan menurut Kemenkes (2011), upaya yang dilaksanakan untuk
mengantisipasi kemungkinan terjadi bencana, dilakukan pada saat bencana sudah
mulai teridentifikasi terjadi. Upaya yang dapat dilakukan antara lain adalah,
penyusunan rencana kontijensi, simulasi/galdi/pelatihan siaga, penyiapan dukungan
sumberdaya, penyiapan sistim informasi dan komunikasi.
Kesiapsiagaan merupakan upaya upaya yang difokuskan kepada
pengembangan rencana rencana untuk menghadapi bencana. Ini penting artinya untuk
memastikan bahwa tindakan-tindakan yang akan diambil segera setelah terjadi
bencana terjadi merupakan tindakan yang cepat, tepat, dan efektif. Tujuan dari usaha
kesiapsiagaan dalam bidang kesehatan adalah: (a) meminimalkan jumlah korban. (b)
mengurangi penderitaan korban (c) mencegah munculnya masalah kesehatan pasca
bencana (d) memudahkan upaya tanggap darurat dan pemulihan cepat (Kepmenkes,
2006).
Upaya kesiapsiagaan dilaksanakan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadi
bencana. Upaya kesiapsiagaan dilakukan pada saat bencana mulai teridentifikasi akan
terjadi. Upaya upaya yang dapat dilakukan adalah: penyusunan rencana kontinjensi,
simulasi/gladi/pelatihan siaga, penyiapan dukungan sumberdaya, dan penyiapan
2.1.1. Parameter Kesiapsiagaan Masyarakat terhadap Bencana
Menurut LIPI – UNESCO/ISDR (2006) terdapat 5 faktor kritis kesiapsiagaan
untuk mengantisipasi bencana alam, terutama tsunami, yaitu :
(a) pengetahuan dan sikap terhadap resiko bencana, (b) kebijakan dan panduan, (c)
rencana untuk keadaan darurat bencana, (d) sistem peringatan bencana dan, (e)
kemampuan untuk memobilisasi sumberdaya. Kelima faktor kritis ini kemudian
disepakati menjadi parameter dalam assessment framework.
1. Parameter pertama adalah pengetahuan dan sikap terhadap resiko bencana.
Pengetahuan merupakan faktor utama dan menjadi kunci untuk kesiapsiagaan.
Pengalaman bencana tsunami di Banda Aceh dan daerah lain akan memberikan
pelajaran bahwa pengetahuan memiliki peran yang sangat penting terutama
mengenai bencana alam. Pengetahuan yang dimiliki biasanya dapat memengaruhi
sikap dan kepedulian untuk siap dan siaga dalam mengantisipasi bencana terutama
bagi mereka yang tinggal di wilayah yang memiliki resiko bencana.
2. Parameter kedua adalah kebijakan dan panduan yang berkaitan dengan
kesiapsiagaan untuk mengantisipasi kejadian bencana alam. Kebijakan
kesiapsiagaan bencana alam sangat penting dan merupakan upaya konkrit untuk
melaksanakan kegiatan siaga bencana. Kebijakan yang signifikan berpengaruh
terhadap terhadap kesiapsiagaan meliputi pendidikan publik, emergency planing,
sistem peringatan bencana, dan mobilisasi sumberdaya, termasuk pendanaan,
organisasi pengelola, sumber daya manusia (SDM) dan fasilitas penting untuk
tetapi akan lebih bermakna apabila dicantumkan secara konkrit dalam peraturan
peraturan, seperti Surat Keputusan atau Peraturan Daerah (di Aceh Qanun) yang
disertai dengan job description yang jelas. Agar kebijakan dapat diimplementasikan dengan optimal, maka dibutuhkan panduan operasionalnya.
3. Parameter ketiga adalah rencana untuk keadaan darurat bencana alam, rencana
ini menjadi bagian penting dalam kesiapsiagaan terutama berkaitan dengan
evakuasi, pertolongan dan penyelamatan, agar korban bencana dapat
diminimalkan. Upaya upaya ini sangat krusial, terutama ada saat terjadi bencana
dan hari hari pertama setelah bencana sebelum bantuan dari pemerintah dan pihak
luar datang. Pengalaman bencana di Aceh dan Indonesia secara umum
menunjukkan bantuan dari pihak luar tidak segera datang, karena rusaknya sarana
dan infrastruktur, seperti jalan jembatan dan pelabuhan.
4. Parameter ke empat berkaitan dengan sistim peringatan bencana. Sistim ini
meliputi tanda peringatan dan distribusi informasi akan terjadinya bencana.
Dengan peringatan bencana ini, masyarakat dapat melakukan tindakan yang tepat
untuk mengurangi korban jiwa, harta benda dan kerusakan lingkungan, untuk itu
diperlukan latihan dan simulasi apa yang harus dilakukan apabila mendengar
peringatan, kemana dan bagaimana harus menyelamatkan diri dalam waktu
tertentu, sesuai dengan lokasi dimana masyarakat sedang berada saat terjadi
peringatan.
5. Parameter kelima yaitu: mobilisasi sumber daya. Sumberdaya yang tersedia
penting untuk keadaan darurat merupakan potensi yang dapat mendukung atau
sebaliknya menjadi kendala dalam kesiapsiagaan bencana alam, karena itu
mobilisasi sumberdaya menjadi faktor yang krusial.
2.2. Kemampuan
Kemampuan menurut Spencer adalah karakteristik dasar yang terdiri dari
keterampilan (skill), pengetahuan (knowledge) serta atribut personal lainnya yang
mampu membedakan sesorang yang melakukan dan tidak melakukan. Setiap orang
mempunyai kekuatan dan kelemahan dalam kemampuan yang membuatnya relatif
unggul atau menonjol dibandingkan orang lain dalam melakukan tugas atau kegiatan
tertentu. Kemampuan (ability) merujuk kesuatu kapasitas individu untuk mengerjakan
berbagai tugas dalam suatu pekerjaan (Sedarmayanti,2010).
Kemampuan merupakan kombinasi dari semua kekuatan dan sumberdaya
yang ada dalam masyarakat, kelompok atau organisasi yang bisa mengurangi tingkat
resiko atau akibat dari bencana. Kajian kemampuan mengidentfikasi kekuatan dan
sumberdaya yang ada di tiap individu, rumah tangga dan masyarakat untuk
mengatasi, bertahan, mencegah, menyiapkan, mitigasi atau segera pulih setelah
bencana. Mengatasi berarti memanfaatkan sumberdaya dalam keadaan yang tidak
menguntungkan (BNPB, 2011)
Kemampuan merupakan keadaan adanya atau tersedianya upaya atau tindakan
dapat dilakukan seseorang atau masyarakat untuk mengurangi korban jiwa, harta
benda atau kerusakan.
Secara sederhana, hubungan antara kejadian bencana, ancaman bahaya
(hazard-H), kerentanan (Vulnerable-V), kapasitas atau kemampuan (capacity-C) dan
risiko bencana (Risk-R) dapat digambarkan sebagai berikut:
Bencana dapat terjadi setiap saat dimana saja. Tiap bencana mengandung
ancaman bahaya (hazard). Tiap orang atau masyarakat menjadi lebih rentan terhadap
ancaman bahaya bila keadaan fisik, sosial dan ekonominya rentan serta tinggal di
daerah rawan bencana. Ancaman bahaya dapat menimbulkan risiko yang tinggi pada
manusia atau masyarakat yang rentan saat terjadi bencana. Oleh karena itu untuk
mengurangi dampak risiko maka kapasitas atau kemampuan orang atau masyarakat
harus ditingkatkan. Kemampuan ditingkatkan, dibuktikan, dan ditunjukkan dengan
upaya untuk mengurangi tingkat kerentanan (Disaster Risk Reduction Aceh, 2011).
Kemampuan petugas dalam penanganan gizi pada situasi darurat secara cepat
dan tepat sehingga dapat mencegah terjadinya penurunan status gizi pengungsi,
diantara kemampuan tersebut dapat dijabarkan menjadi tiga yaitu:
1. Kemampuan petugas di lapangan dalam mengenali dan memecahkan masalah gizi
terutama pada bayi, baduta, ibu hamil, dan ibu menyusui pada situasi darurat.
2. Kemampuan petugas di lapangan dalam penyelenggaraan makanan kepada
pengungsi pada situasi darurat khususnya kelompok rawan.
3. Kemampuan petugas di lapangan dalam mengelola bantuan makanan termasuk
Dalam manajemen bencana, resiko bencana adalah interaksi antara tingkat
kerentanan daerah dengan ancaman bahaya yang ada, tingkat kerentanan daerah
dapat dikurangi sehingga kemampuan dalam menghadapi bencana semakin
meningkat dengan kata lain menurunkan tingkat kerentanan dan meningkatkan
kemampuan, sehingga resiko jika terjadi bencana akan berkurang (Nurjanah, 2012).
Menurut Twigg (2007) dalam rangka pengurangan resiko bencana diperlukan
masyarakat yang tahan bencana agar jika terjadi bencana maka masyarakat sudah siap
sehingga resiko yang mungkin ditimbulkan dapat diminimalkan. Diketahui bahwa
pegurangan resiko bencana adalah pendekatan sistematis untuk mengidentifikasi,
mengkaji, dan mengurang resiko bencana. Ini merupakan upaya pengembangan dan
penerapan secara luas dari kebijakan, strategi, kegiatan untuk meminimalkan
kerentanan dan resiko bencana di masyarakat dengan tujuan untuk mengurangi
kerentanan sosial, ekonomi terhadap bencana dan mengurangi ancaman bahaya
lingkungan maupun bahaya lainnya yang menimbulkan kerentanan. Untuk itu
masyarakat perlu diberdayakan agar tahan menghadapi bencana, adapun ciri ciri
masyarakat yang tahan bencana harus mempunyai:
1. Kemampuan untuk menyerap tekanan yang menghancurkan yang dilakukan
melalui perlawanan atau adaptasi.
2. Kemampuan untuk mengelola atau mempertahankan fungsi fungsi dan struktur
dasar tertentu selama adanya kejadian yang mendatangkan malapetaka.
3. Kemampuan untuk memulihkan diri setelah kejadian bencana sehingga kehidupan
2.3. Makanan dan Gizi pada Saat Darurat
Upaya penanganan gizi dalam situasi rangkaian kegiatan dimulai sejak
sebelum terjadi bencana yang dilakukan melalui pembekalan tentang penanganan gizi
dalam situasi darurat kepada tenaga gizi (Depkes,2010).
Kekurangan makanan pada kondisi pasca bencana umumnya terjadi akibat
dua sebab. Pertama adalah kerusakan persediaan makanan di daerah yang tertimpa
bencana, disertai dengan kehilangan persediaan makanan pribadi sehingga
menggurangi ketersediaan atau keterjangkauan makanan secara langsung. Kedua
adalah sistim distribusi yang tidak teratur, ikut berperan dalam kekurangan makanan
walau sebenarnya kelangkaan total tidak benar benar terjadi. Setelah gempa bumi,
kasus kekurangan makanan jarang mencapai tingkatan yang cukup parah yang dapat
mengakibatkan malnutrisi. Meluapnya sungai dan gelombang pasang luar biasa yang
menyebabkan banjir di pesisir pantai dapat mempengaruhi persediaan makanan dan
merusak panen, selain mengganggu distribusinya. Distribusi makanan yang efisien
mungkin menjadi kebutuhan kunci dalam jangka pendek tetapi skala besar atau
sumbangan makanan jarang dibutuhkan (World Health Organization, 2006)
Ketika beberapa indikator bencana diidentifikasi, perlu langkah-langkah
kesiapsiagaan dan darurat, seperti persedian makanan darurat dan staf terlatih untuk
mengurangi tingkat kematian, karena kematian pada populasi pengungsi dapat
meningkat sepuluh kali lebih tinggi jika dibandingkan pada tingkat kematian untuk
Tujuan dari bantuan makanan pada tanggap darurat adalah untuk memberikan
makanan tepat waktu dalam jumlah yang cukup dengan kualitas makanan yang baik
kepada penduduk yang terkena bencana untuk mengurangi risiko kekurangan gizi
akut dan mencegah kematian pada kelompok rawan dan pengungsi, sehingga
masyarakat, rumah tangga dan individu dapat bertahan dan pulih dari keadaan
darurat. Menerapkan bantuan pangan yang memadai pada tahap awal merupakan
kombinasi tindakan dengan kesehatan masyarakat sehingga akan mempertahankan
status gizi penduduk yang terkena bencana (Johshopkins,2013).
2.4. Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia kesehatan adalah seorang yang bekerja secara aktif di
bidang kesehatan baik yang memiki pendidikan formal kesehatan maupun tidak yang
untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan dalam melakukan upaya kesehatan,
(DepKes Nomor 066/MenKes/SK/II/2006). Manajemen sumber daya manusia
kesehatan adalah serangkaian kegiatan perencanaan dan pendayagunaan tenaga yang
bekerja secara aktif di bidang kesehatan dalam melakukan upaya kesehatan. Pada
saat terjadi bencana perlu adanya mobilisasi sumber daya manusia kesehatan yang
tergabung dalam suatu tim penanggulangan krisis yang meliputi: tim reaksi cepat,
tim penilai cepat, tim bantuan kesehatan.
Untuk mengkoordinir kegiatan tersebut maka ditunjuklah kepala Dinas
Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 066 Tahun 2006, dan ahli gizi perannya
termasuk kedalam tim bantuan kesehatan.
Menurut hasil penelitian yang dilakukan Nurul (2010) tentang kesiapsiagaan
sumberdaya manusia kesehatan di DKI Jakarta, sebagaian besar sumberdaya manusia
kesehatan menyatakan siap siaga dalam menghadapi bencana (68,1%) dan sebanyak
31,9% menyatakan tidak siap dalam menghadapi bencana.
2.5. Kebutuhan Tenaga Ahli Gizi Berdasarkan Jumlah Pengungsi
Kebutuhan ahli gizi dalam tim bantuan kesehatan yang diberangkatkan setelah
tim reaksi cepat atau tim RHA kembali dengan laporan hasil kegiatan dilapangan
adalah sebagai berikut, jika jumlah pengungsi antara 10.000-20.000 orang
dibutuhkan ahli gizi sebanyak 2-4 orang. Dan jikalau jumlah pengungsi 5.000 orang
dibutuhkan 1 orang ahli gizi untuk pelayanan 8 jam, dan 1 orang untuk pelayanan 24
jam (Kemenkes RI, 2012).
Kabupaten Aceh besar saat ini memiliki 57 orang ahli gizi yang bisa
memberikan pelayanan kegizian, jika dibandingkan dengan jumlah penduduk
Kabupaten Aeh Besar saat ini maka mashi terjadi kekurangan sumberdaya tenaga gizi
sebanyak 15 orang.
2.6. Standart Profesi Gizi
Profesi gizi adalah suatu pekerjaan di bidang gizi yang dilaksanakan
melalui pendidikan yang berjenjang, memiliki kode etik dan bersifat melayani
masyarakat (Standart Profesi Gizi, 2007).
Profesi gizi memiliki ciri ciri yaitu, menekankan pada teknik intelektual
dalam melaksanakan layanan. Memerlukan latihan latihan khusus dalam masa relatif
panjang. Para anggota mempunyai otonomi yang luas dalam melaksanakan keahlian.
Menekankan pada pengabdian daripada keuntungan ekonomi. Mempunyai kode etik
yang jelas bagi para anggotanya. Adanya asosiasi atau organisasi profesi. Adanya
pengakuan masyarakat sebagai profesi. Adanya perhatian yang profesional terhadap
pelaksanaan profesi (adanya sanksi, perlu lisensi, dan sebagainya). Mempunyai
hubungan kerja sama dengan profesi lain (Bakri, 2010).
Soekirman dalam Bakri (2010), menyatakan bahwa profesional harus
memiliki persyaratan sebagai berikut: (a) berpendidikan, berpengetahuan, dan
memiliki keterampilan yang cukup. (b) mempunyai etika yang baik, antara lain jujur,
tepat janji, berfalsafah ilmu padi. (c) mempunyai integritas yaitu, memiliki nilai
intelektual yang baik, harga diri, dan memiliki kebanggaan serta kepribadian.
(d) mempunyai organisasi, tempat ia bertukar pikiran dan bertukar pengetahuan/ilmu
serta mengembangkan diri. (e) memiliki jurnal yang bisa menunjang profesinya.
Sedangkan Tait de Marco (1996), menyatakan bahwa professional harus
memenuhi tiga hal yaitu: memiliki pengetahuan, keahlian, dan keterampilan khusus
yang tidak dimiliki profesi lain. Memegang teguh nilai- nilai dan prilaku khas untuk
Selanjutnya Azwar (1994), menjelaskan bahwa profesional mempunyai 4 (empat) ciri
sebagai berikut:
1. Body of Knowledge, yaitu memiliki seperangkat pengetahuan sesuai bidang profesi
yang digelutinya.
2. Continuing Education, yaitu senantiasa meningkat kemampuan dan keterampilan
melalui pendidikan berkelanjutan.
3. Altruism, artinya memiliki jiwa pengabdian dan dedikasi, bekerja adalah untuk
bekerja sesuai profesi yang diembannya, tanpa pamrih, apa pun.
4. Ethics, yaitu seperangkat standar/ prinsip-prinsip moral yang menilai,
menyesuaikan, dan mengatur perilaku manusia.
Standar kompetensi gizi adalah standart kemampuan yang menjamin bahwa
ahli gizi dan ahli madya dapat menyelenggarakan praktek pelayanan gizi dalam
masyarakat. Sedangkan standar pelayanan gizi adalah standar yang mengatur
penerapan ilmu gizi dalam memberikan pelayanan dan asuhan gizi dengan
pendekatan manajemen kegizian (KepMenKes RI,2008).
Pelayanan gizi adalah suatu upaya memperbaiki atau meningkatkan gizi,
makanan, dietetik masyarakat, kelompok individu atau klien yang merupakan suatu
rangkaian kegiatan yang meliputi pengumpulan, pengolahan, analisis, kesimpulan,
anjuran, implementasi, dan evaluasi gizi, makanan dan dietetik dalam rangka
mencapai status kesehatan optimal dalam kondisi sehat atau sakit. Ada beberapa
pengertian tentang ahli gizi. Dari berbagai pengertian tersebut dapat disimpulkan
gizi serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui suatu pendidikan
khususnya bidang gizi. Tugas yang diemban oleh ahli gizi berguna untuk
kesejahteraan manusia. Peran ahli gizi diantaranya adalah berpartisipasi bersama tim
kesehatan dan tim lintas sektoral (Bakri, 2010).
2.7. Organisasi Profesi Gizi di Indonesia
Saat ini terdapat beberapa organisasi profesi yang berkaitan dengan gizi,
antara lain: PERSAGI (Persatuan Ahli Gizi Indonesia), ASDI (Asosiasi Dietesien
Indonesia), PERGIZI PANGAN (Perhimpunan Peminat Gizi dan Pangan Indonesia),
PDGKI (Persatuan Dokter Gizi Klinik Indonesia), PERNEPARI (Perhimpunan
Nutrisi Enteral dan Parenteral Indonesia). Masing masing organisasi profesi tersebut
memiliki anggaran dasar/ anggaran rumah tangga serta kode etik masing masing.
PERSAGI didirikan di Jakarta pada Tanggal 13 Januari 1957. Pada saat itu
beranggotakan para lulusan SMK Gizi dan Akademi Gizi. Sesuai dengan
perkembangannya, organisasi ini telah mengubah sejumlah ketentuan tentang
anggotanya, yaitu sebagai anggota biasa memiliki ijazah sekurang kurangnya sarjana
muda gizi atau D3 gizi dan sarjana berlatar belakang gizi yang diakui pemerintah.
Sesuai dengan Anggaran Dasar dalam organisasi ini pada pasal 5 PERSAGI
memiliki tujuan untuk: (a) meningkatkan keadaan gizi masyarakat.
(b) mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi bidang gizi dan bidang lainnya
yang terkait. (c) membina dan mengembangkan kemampuan profesional anggota.
2.8. Pelayanan Tanggap Darurat Bencana
Pelayanan kesehatan pada saat bencana merupakan faktor yang sangat penting
untuk mencegah terjadinya kematian, kecacatan dan kejadian penyakit, karena
bencana merupakan suatu kejadian yang tidak diinginkan dan biasanya terjadi secara
mendadak serta disertai jatuhnya korban (Rustrini, dkk,2011)
Posko pelayanan kesehatan sangat diperlukan dalam penanganan bencana/
musibah. Hal tersebut dikarenakan pengungsi/masyarakat yang terkena musibah atau
bencana rawan terhadap penyakit, baik secara fisik maupun secara psikologi. Oleh
karena itu petugas kesehatan yang berhadapan langsung dengan masyarakat harus
cepat tanggap mendirikan posko pelayanan.
Salah satu pelayanan yang perlu dilakukan adalah pelayanan gizi pada posko
pelayanan bencana. Pada keadaan dimana belum tersedianya fasilitas dan sarana air
bersih maka tidak ada salahnya untuk memberikan makanan yang siap saji kepada
pengungsi, baik makanan kaleng, susu evaporasi dalam kaleng, buah buahan, roti dan
lainnya yang siap santap (Depkes, 2008).
2.8.1. Pengawasan Makanan (Fisik, Kimia dan Bakteriologi)
Makanan yang diberikan kepada pengungsi tidak jarang bantuan dari
dermawan, baik makanan siap santap, maupun bahan makanan mentah atau yang
perlu pengolahan. Oleh karena itu petugas kesehatan yang berada diposko harus
memperhatikan makanan-makanan bantuan baik siap santap. Adapun yang perlu
diperhatikan adalah: tanggal kadaluarsa, basi/keadaan hampir basi, bentuk makanan
dengan makanan tersebut, karena dapat mengakibatkan keracunan atau alergi
(Kemenkes, 2008).
Lebih baik lagi jika makanan jangan memakai kuah atau makanan kering.
Untuk menghindari terjadinya masalah malnutrisi yang berat pada golongan anak dan
bayi, khususnya dibawah dua tahun maka dilakukan: memberikan ASI, menciptakan
dan mempertahan kondisi yang kondusif, mengontrol dengan ketat distribusi dan
penggunaan susu penganti ASI (susu formula), menyiapkan makanan pendamping,
mempermudah akses kepada seluruh ibu atau pengasuh bayi berbagai bahan
makanan, mengurangi stres mental atau fisik, melindungi kesehatan bayi dan anak,
melakukan pencarian terus menerus kepada anak yang kurang gizi, melakukan
intervensi secepat mungkin sejak awal kejadian, memantau kejadian secara terus
menerus. (Depkes, 2008).
2.8.2. Dapur Umum
Dapur umum harus ditempatkan pada suatu lokasi, lebih disukai jika berada
dalam satu bangunan dan di pagar, ruang dapur ditata untuk keperluan, menampung
air, pencucian, dan membersihkan makanan, pengadaan awal, penyiapan makanan
sebelum disajikan dan pencucian alat alat makan, dan alat masak. Pada umumnya
penyelenggaraan dapur umum dapat dilaksanakan didalam ruangan maupun di luar
ruangan. Apabila dalam ruangan diperhatikan hal hal berikut: tidak ada kemungkinan
kebakaran, lokasi baik, tempat tidak rusak, mempunyai lantai yang kuat, cukup
cahaya, cukup persedian air, atau sumber air, ada fasilitas kamar mandi dan jamban,
Jika diluar ruangan, beberapa hal yang harus diperhatikan: tempatnya datar,
kering dan tidak ada binatang kecil, ada pohon pohon sebagai pelindung, dekat
dengan tempat pemberian makanan, dekat dengan tempat pembekalan, dekat dengan
sumber air, tidak ada benda benda atau logam berbahaya.
Beberapa faktor yang perlu diperhatikan untuk mempersiapkan dapur umum:
susun tempat masak sedemikian rupa, tempat makan dibuat beberapa lajur, arah
pembagian makanan ditentukan dengan petunjuk, susun alat dapur darurat,
hendaknya diatur sedemikian rupa, tempat pencucian hendaknya sesuai dengan
urutan kerja (Depkes, 2008).
2.8.3. Penanganan Gizi dalam Situasi Darurat
Penanganan gizi dalam situasi darurat terdiri dari dua tahapan yaitu tahap
penyelamatan dan tahap tanggap darurat:
a. Tahap Penyelamatan, tahap penyelamatan terdiri dari dua fase yaitu:
1. Fase pertama, ditandai dengan kondisi sebagai berikut, korban bencana bisa
dalam pengungsian atau belum dalam pengungsian, petugas belum sempat
mengidentifikasi korban secara lengkap, bantuan pangan sudah mulai
berdatangan, adanya penyelenggaraan dapur umum, tenaga gizi mulai terlibat
sebagai penyusun menu dan mengawasi penyelenggaraan dapur umum,
pemberian makan pada fase ini bertujuan agar pengungsi tidak lapar dan dapat
mempertahankan status gizinya (Kemenkes, 2012).
Melakukan pemeriksaan cepat sebagai bagian dari kegiatan Rapid
pengungsi, Bayi 0-5 bulan, 6-11 bulan, anak 12-24 bulan, anak usia 25-59
bulan, bayi piatu, ibu hamil, ibu menyusui, orang lanjut usia, dan lain lain.
Bayi dan anak dibawah usia dua tahun (Baduta) merupakan kelompok
yang paling rawan sehingga memerlukan penanganan gizi secara khusus.
Pemberian makanan yang tidak tepat serta kekurangan gizi pada kelompok
tersebut dapat meningkatkan risiko kesakitan dan kematian yang lebih tinggi
pada situasi darurat (Kemenkes, 2010).
Penelitian di pengungsian menunjukkan bahwa kematian anak balita
2-3 kali lebih besar dibandingkan kematian pada semua kelompok umur.
Kematian terbesar terjadi pada kelompok umur 0-6 bulan (WHO, Unicef,
2001). Oleh karena itu dalam situasi darurat penanganan gizi kelompok ini
dalam situasi darurat menjadi bagian penting untuk menangani pengungsi
secara cepat dan tepat.
2. Fase kedua, kegiatan yang dilakukan meliputi:
Melakukan pengukuran berat badan dan tinggi atau panjang badan balita serta
informasi faktor pemburuk (Diare, ISPA, campak, dan malaria) untuk
mengetahui besar dan luasnya masalah gizi dan kesehatan yang ada. Besar
sampel yang diperlukan ditentukan sebagai berikut: populasi kurang dari
10.000 rumah tangga gunakan sistematik random sampling dengan jumlah
sampel minimal 450 balita. Populasi sampai 3000 jiwa seluruh balita diukur.
Populasi lebih dari 10.000 rumah tangga, gunakan kluster sampling, yaitu
Menentukan klasifikasi kedaruratan sebagai berikut: jika tingkat
kedaruratan adalah gawat atau kritis, dilakukan skrining pada semua balita
dan bumil dengan melakukan pengukuran LILA, skrining dimaksudkan untuk
mengetahui balita kurang gizi buruk serta Bumil KEK.
b. Tahap Tanggap Darurat
Tahap ini dimulai setelah selesai tahap penyelamatan, adapun tujuannya
adalah untuk menanggulangi masalah gizi melalui intervensi sesuai tingkat
kedaruratan, kegiatan dalam tahap ini meliputi: menghitung prevalensi status gizi
balita berdasarkan indeks BB/TB-P dan menganalisis adanya faktor pemburuk seperti
kejadian diare, campak, demam berdarah dan lain lain. Informasi tentang prevalensi
dari hasil surveilans gizi ini selanjutnya digunakan untuk penentuan jenis intervensi
yang sesuai dengan mempertimbangkan pula hasil surveilans penyakit.
Melakukan modifikasi/perbaikan interveni sesuai dengan perubahan tingkat
kedaruratan, jika prevalensi balita kurus ≥ 1 5% atau 1 0 -14,9 % dengan faktor
pemburuk, maka tindakan yang diperlukan adalah pemberian ransum ditambah PMT
darurat kepada semua kelompok rawan khususnya Balita, ibu hamil, dan ibu
menyusui (Blanket Supplementary Feeding Program) dengan ketentuan kecukupan
gizi. Untuk balita gizi buruk tingkat berat ditangani sesuai tata laksana gizi buruk.
Jika prevalensi Balita kurus 10-14,9 % atau 5-9,9% dengan faktor pemburuk maka
tindakan yang perlu dilakukan adalah PMT darurat terbatas (Targeted Supplementary
Feeding Program) hanya kepada balita kurus dan sangat kurus, untuk balita gizi
balita kurus 5-9,9% atau < 5 % dengan faktor pemburuk maka tindakan yang
dilakukan melalui pelayanan kesehatan rutin.
2.9. Domain Prilaku
Prilaku menurut Skinner (1938) dalam Notoatmodjo (2010) adalah merupakan
respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (ransangan dari luar). Dengan
demikian perilaku manusia terjadi melalui proses. Prilaku terbentuk di dalam diri
seseorang dari dua faktor utama yakni faktor dari luar seseorang tersebut (eksternal),
dan respon merupakan faktor dari dalam diri orang yang bersangkutan (faktor
internal).
Blum (1908) dalam Notoatmdjo (2010), membedakan tiga ranah atau domain
prilaku yaitu kognitif, afektif dan psikomotor. Selanjutnya dalam perkembangan
berdasarkan pembagian domain oleh Blum ini dikembangkan menjadi tiga tingkat
ranah prilaku yaitu:
1. Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang
terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga dan
sebagainya). Dengan sendirinya, pada waktu penginderaan sampai menghasilkan
pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi
terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indera
terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda. Secara garis
besarnya dibagi dalam 6 tingkat pengetahuan, yaitu:
a. Tahu (Know)
Tahu diartikan hanya sebagai recall (memanggil) memori yang telah ada
sebelumnya setelah mengamati sesuatu. Untuk mengetahui atau mengukur
bahwa seseorang tahu sesuatu dapat menggunakan pertanyaan pertanyaan.
b. Memahami (Comprehension)
Memahami suatu objek bukan sekedar tahu terhadap objek tersebut, tidak
sekedar menyebutkan, tetapi orang tersebut harus dapat menginterprestasikan
secara benar tentang objek yang diketahui tersebut.
c. Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan apabila seseorang yang telah memahami objek. Yang
dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui
tersebut pada situasi yang lain.
d. Analisis (Analysis)
Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan atau
memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen komponen yang
terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui. Indikasi bahwa
pengetahuan seseorang itu sudah sampai pada tahap analisis adalah apabila
seseorang tersebut telah mampu untuk membedakan, atau memisahkan,
mengelompokkan, membuat diagram (bagan) terhadap pengetahuan atas objek
e. Sintesis (Synthesis)
Sintesis menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk merangkum atau
meletakkan dalam hubungan logis dari komponen-komponen pengetahuan
yang dimiliki. Dengan kata lain, sintesis adalah suatu kemampuan untuk
menyusun formulasi baru dari formulasi formulasi yang telah ada, misalnya
dapat meringkas dengan kata kata atau kalimat sendiri tentang hal hal yang
telah dibaca atau didengar, dapat membuat kesimpulan tentang artikel yang
telah dibaca.
f. Evaluasi (Evaluasi)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan justifikasi
atau penilaian terhadap suatu objek tertentu. Penilai ini dengan sendirinya
didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau norma norma yang
berlaku di masyarakat.
Pengetahuan selalu dijadikan sebagai awal dari sebuah tindakan dan
kesadaran seseorang sehingga dengan kapasitas pengetahuan yang dimilikinya bisa
menjadi dasar dari tindakan seseorang (Nugroho,2007).
2. Sikap
Sikap adalah juga respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu,
yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang
tidak senang, setuju tidak setuju, baik tidak baik dan sebagainya). Campbell dalam
sindroma atau kumpulan gejala dalam merespon stimulus atau objek, sehingga
sikap tersebut melibatkan pikiran, perasaan, perhatian dan gejala kejiwaan lainnya.
Menurut Allport dalam Nooadmodjo (2010) sikap itu terdiri atas tiga komponen
pokok yaitu:
1. Kepercayaan atau keyakinan, ide, dan konsep terhadap objek terhadap.
Artinya, bagaimana keyakinan dan pendapatan atau pemikiran seseorang
terhadap objek.
2. Kehidupan emosional atau evaluasi orang terhadap objek, artinya bagaimana
penilaian (terkandung didalamnya faktor emosi) orang tersebut terhadap objek.
3. Kecendrungan untuk bertindak (tend to behave), artinya sikap adalah
merupakan komponen yang mendahului tindakan atau prilaku terbuka. Sikap
adalah ancang ancang untuk bertindak atau berprilaku terbuka (tindakan).
Ketiga komponen tersebut secara bersama sama membentuk sikap yang utuh
(total attitude). Dalam menentukan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran,
keyakinan, dan emosi memegang peranan penting. Seperti halnya pengetahuan, sikap
juga mempunyai tingkat tingkat berdasarkan intesitasnya, sebagai berikut:
1. Menerima (Receiving)
Menerima diartikan bahwa seseorang atau subjek mau menerima stimulus yang
diberikan objek.
2. Menanggapi (Responding)
Menangapi disini diartikan memberikan jawaban atau tanggapan terhadap
3. Menghargai (Valuing)
Menghargai diartikan subjek, atau seseorang memberikan nilai positif terhadap
objek atau stimulus, dalam arti, membahasnya dengan orang lain dan bahkan
mengajak atau mempengaruhi atau menganjurkan orang lain merespons.
4. Bertanggung Jawab (Responsible)
Sikap yang paling tinggi tingkatannya adalah bertanggung jawab terhadap apa
yang diyakininya. Seseorang yang telah mengambil sikap tertentu berdasarkan
keyakinannya dia harus berani mengambil resiko bila ada orang lain
mencemoohkan atau ada resiko lain.
3. Keterampilan atau Praktik (Practice)
Seperti telah disebutkan bahwa sikap adalah kecendrungan untuk bertindak
(praktik). Sikap belum tentu terwujud dalam tindakan, sebab untuk mewujudkan
tindakan perlu faktor lain, yaitu antara lain adanya fasilitas atau sarana prasarana.
Praktik atau tindakan ini dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan yaitu:
a. Praktik Terpimpin (Guided Response)
Apabila subjek atau seseorang telah melakukan sesuatu tetapi masih
tergantung pada tuntunan atau menggunakan panduan.
b. Praktik secara Mekanisme (Mechanism)
Apabila subjek atau seseorang telah melakukan atau mempraktikkan sesuatu
c. Adopsi (Adoption)
Adopsi adalah suatu tindakan atau praktik yang sudah berkembang. Artinya,
apa yang dilakukan tidak sekedar rutinitas atau mekanisme saja akan tetapi
sudah dilakukan modifikasi, atau tindakan atau prilaku yang berkwalitas.
Kajian kesiapsiagaan masyarakat dalam mengantisipasi bencana yang
dilakukan oleh LIPI-UNESCO/ISDR (2006) ditiga kabupaten meliputi Kabupaten
Aceh Besar, Kota Padang, dan Kota Bengkulu yang mengkaji pengetahuan dan sikap,
dimana masyaraat Kabupaten Aceh Besar dinilai kurang siap siaga bila dibandingkan
Kota Padang namun sama dengan Kota Bengkulu. Untuk pengetahuan mengenai
bencana ketiga kabupaten ini relatif bagus, dan untuk kemampuan memobilisasi
sumberdaya yang dinilai kurang mampu adalah Kabupaten Aceh Besar.
Hal ini juga tidak jauh berbeda dengan hasil dari Survei yang dilakukan
(Usman, 2010). Survei ini mengukur pengetahuan dan sikap serta praktek dimana
pengetahuan tentang tindakan yang harus diambil sebelum terjadi bencana responden
sebagian besar menjawab tidak tahu harus melakukan tindakan apa.
2.10. Pengembangan Manajemen Bencana
Bencana adalah suatu kejadian yang ekstrem dalam lingkungan alam atau
manusia yang secara merugikan mempengaruhi kehidupan manusia, harta benda, atau
aktivitas sampai pada tingkat yang menimbulkan bencana (UNDP, 1995). Menurut
Undang Undang Bencana No 24 Tahun 2007, bencana adalah peristiwa atau
masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/ atau faktor non alam maupun
faktor manusia sehingga menimbulkan korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda dan dampak psikologis. Manajemen bencana adalah upaya
sistematis dan komprehensip untuk menanggulangi semua kejadian bencana secara
cepat, tepat, dan akurat untuk menekan korban dan kerugian yang ditimbulkan
(Ramli, 2010).
Pengembangan suatu sistem manajemen bencana untuk suatu organisasi dapat
dilakukan melalui beberapa tahapan atau langkah langkah: Menunjuk koordinator
penanggulangan. Identifikasi dan evaluasi potensi bencana. Tentukan langkah
pengendalian. Tentukan sumberdaya yang diperlukan. Kembangkan sasaran.
Kembangkan prosedur darurat bencana. Lakukan pelatihan. Pelihara dan tingkatkan
sistem manajemen bencana.
Kelemahan dari manajemen bencana antara lain: kurangnya dukungan
manajemen puncak. Kurangnya keterlibatan dan dukungan pekerja dan masyarakat,
kurang atau tidak adanya perencanaan. Kurangnya pelatihan dan pendidikan. Tidak
adanya penanggung jawab khusus untuk mengkoordinir sistem tanggap darurat.
Sistem tanggap darurat tidak dievaluasi atau disempurnakan secara berkala. Sistem
komunikasi dan peringatakan dini tidak memadai. Pekerja tidak dijelaskan tindakan
atau langkah apa yang harus dilakukan jika dalam keadaan darurat (Ramli, 2010).
Keinginan yang tinggi untuk menambah wawasan pengetahuan mengenai
bencana dan sistim penanggulangan bencana masih menemukan banyak kendala.
kegiatan peningkatan kapasitas juga sering dirasakan memiliki peluang yang kecil
untuk diperoleh (Nugroho, 2007).
Pengembangan manajemen bencana memang membutuhkan kerja keras dan
berkesinambungan. Untuk mencapai keberhasilan dalam menerapkan dan
mengembangkan manajemen bencana diperlukan hal sebagai berikut; dukungan
manajemen secara penuh dan konsisten yang ditunjukkan secara nyata. Manajemen
bencana harus dianggap sebagai program strategis untuk memelihara dan menjaga
hasil pembangunan. Peran serta semua pihak, dan ketersediaan sumberdaya yang
memadai untuk menangani bencana sesuai dengan kondisi dan sifat masing masing
(Ramli,2010)
Kegiatan manajemen bencana merupakan kegiatan yang tidak berdiri sendiri,
dan tidak dapat dipisahkankan tetapi terkait dengan berbagai aspek kehidupan
masyarakat dan memerlukan pendekatan yang bersifat multi disiplin serta lintas
sektor. Melalui manajemen bencana program dilaksanakan pada masing masing
kuadrant, kegiatan antar segmen cendrung ada kaitan, waktu yang dibutuhkan setiap
segmen tidak sama dalam setiap kuadrant siklus manajemen bencana, akan tetapi bisa
berbeda beda tergantung dari kondisi setiap lokasi dan daerah bencana tersebut
(Nurjanah, 2011). Secara jelas siklus manajemen bencana digambarkan sebagai
Gambar 2.1. Siklus Manajemen Bencana (Sumber, Nurjanah, 2012)
2.11. Kerangka Teori
Konsep kesiapsiagaan adalah upaya yang dilakukan untuk mengantisipasi
kemungkinan terjadinya bencana guna menghindari jatuhnya korban jiwa, kerugian
harta benda dan berubahnya tata kehidupan masyarakat. Adapun menurut Depkes
(2007) tujuan kesiapsigaan di bidang kesehatan adalah (a) meminimalkan jumlah
korban, (b) mengurangi penderitaan korban, (c) mencegah munculnya masalah
kesehatan pasca trauma, (d) memudahkan upaya tanggap darurat dan pemulihan
cepat.
Pengetahuan merupakan faktor utama dan menjadi kunci untuk kesiapsiagaan.
Pengetahuan yang dimiliki biasanya dapat mempengaruhi sikap dan kepedulian untuk
siap dan siaga dalam mengantisipasi bencana terutama bagi mereka yang tinggal di
wilayah yang memiliki resiko bencana. Sikap akan mempengaruhi keterampilan
penting untuk keadaan darurat merupakan potensi yang dapat mendukung atau
sebaliknya menjadi kendala dalam kesiapsiagaan bencana.
2.12. Kerangka Konsep
Pengetahuan merupakan faktor utama dan menjadi kunci untuk kesiapsiagaan.
Pengalaman bencana akan memberikan pelajaran bahwa pengetahuan memiliki peran
yang sangat penting terutama mengenai bencana alam. Pengetahuan yang dimiliki
biasanya dapat mempengaruhi sikap dan kepedulian untuk siap dan siaga dalam
menghadapi bencana dalam hal ini lebih diarahkan pada kesiapsiagaan yang berkaitan
dengan keadaan gizi darurat serta terampil dalam mengantisipasi bencana terutama
bagi tenaga gizi yang tinggal di wilayah yang memiliki resiko bencana yang tinggi.
Untuk jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut ini:
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian
Ini merupakan salah satu unsur dari kesiapsiagaan agar pada saat terjadinya
masa tanggap darurat dapat dilaksanakan tindakan yang tepat dengan baik berkenaan
dengan gizi darurat. Selain dari itu juga perlu adanya dukungan dari berbagai pihak
yang memengaruhi kesiapsiagaan tenaga gizi antara lain adalah Dinas Kesehatan,
Badan Penanggulangan Bencana Daerah dan juga organisasi profesi gizi. Kesiapsiagaan
Tenaga Gizi Pengetahuan
Sikap