• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS DAMPAK KONFLIK TERHADAP INTERAKSI SOSIAL PASCA KONFLIK ANTARA WARGA DI KELURAHAN RIJALI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB IV ANALISIS DAMPAK KONFLIK TERHADAP INTERAKSI SOSIAL PASCA KONFLIK ANTARA WARGA DI KELURAHAN RIJALI"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

73 BAB IV

ANALISIS DAMPAK KONFLIK TERHADAP INTERAKSI SOSIAL PASCA KONFLIK ANTARA WARGA DI KELURAHAN RIJALI

Pada pembahasan bab ini, penulis akan memaparkan hasil analisis berdasarkan pemahaman-pemahaman teoritis yang telah dipaparkan sebelumnya pada bab II untuk melihat realita yang telah dipaparkan pada bab III. Dengan demikian penulis akan menganalisis tentang dampak konflik terhadap interaksi sosial pasca konflik antara warga di Kelurahan Rijali, Kota Ambon. Analsis akan dibahas di dalam tiga poin yaitu; pertama, interaksi sebelum konflik; kedua, interaksi ketika konflik, dan yang ketiga, interaksi pasca konflik, dimana poin pertama dan kedua menjadi bahan perbandingan terhadap poin tiga yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini. Pada akhir pembahasan analisis penulis akan memberikan tanggapan kritis penulis.

4.1. Interaksi Sebelum Konflik.

Kehidupan interkasi yang baik terjalin antara sesama warga Kelurahan Rijali sebelum konflik, di mana kegiatan ‘Masohi’ sering dilakukan oleh masyarakat setempat. Walaupun berasal dari berbagai latar-belakang yang berbeda-beda dan berasal dari suku maupun agama yang berbeda akan tetapi hal tersebut tidak menjadi penghalang bagi mereka untuk saling toleransi dan saling menghormati satu dengan yang lainnya. masyarakat di wilayah Rijali dapat hidup dengan rukun dan saling membantu dan bekerja sama untuk membangun masyarakat dan wilayahnya. Ketika kita mendefenisikan budaya sebagai

(2)

74

“keseluruhan dari pengetahuan, sikap dan pola perilaku yang merupakan kebiasaan yang dimiliki dan diwariskan oleh anggota suatu masyarakat tertentu”, maka budaya Maluku dapat dirumuskan sebagai keseluruhan nilai-nilai (hal-hal yang berharga) yang dipelihara, dikembangkan, dan diwariskan dalam masyarakat Maluku. Dengan demikian segala yang berupa pemikiran, nilai-nilai sosial atau benda (karya manusia) yang dianggap berharga oleh masyarakat Maluku termasuk budaya Maluku.1

Untuk jangka waktu yang panjang, masyarakat Islam dan masyarakat Kristen di Maluku hidup dalam dialektika kreatif antara pemahaman-diri (self- understand-ing) sebagai satu etnis, yang sekaligus terbedakan menurut agama.

Pandangan dunia dialektik yangterkondisikan ini dibutuhkan dalam rangka mengelola ketegangan prinsipil antara pemahaman mengenai hakikat kebudayaan sebagai basis eksistensi lokal pada satu sisi; dengan sandaran interpretatif teologi agama yang dianut sebagai basis eksistensi spiritual, pada sisi lain. Mantra-mantra kearifan lokal masyarakat berfungsi mengakomodasi dialektika tersebut, lalu mentransformasikannya kedalam harmonisasi kreatif. Dari proses ini terbentuk satu pola religiositas yang khas, sebagaimana oleh Frank Cooley disebut dengan

“agama Ambon”.2 Budaya Pela dan Gandong sebagai budaya tradisional yang merupakan warisan turun-temurun menjadi ikatan adat yang sangat kuat, sehingga mampu untuk menciptakan sebuah hubungan kekeluargaan dengan berlandaskan

1 Tamrin Amal Tamagola, et al. Revitalisasi Kearifan Lokal – Studi Resolusi Konflik di Kalimantan Barat, Maluku dan Poso (Jakarta Selatan: Internasional Center for Islam Pluralism, 2007)161.

2 Frank Cooley, Mimbar dan Tahta: Hubungan Lembaga-lembaga Keagamaan dan Pemerintahan di Maluku Tengah (Jakarta: Sinar Harapan, 1989) 53. Lihat juga Frank Cooley, Indjil dan Adat di Maluku dalam W.B Sidjabat (peny.), Panggilan Kita di indonesia Dewasa Ini (Djakarta: Badan Penerbit Kristen, 1964), 220-235.

(3)

75

ikatan persaudaraan yang erat antara warga Kelurahan di Rijali walaupun sedikit terlupakan akibat pengaruh perkembangan zaman.

Menurut penulis pengaruh modernisasi mengakibatkan budaya tradisional mulai dilupakan, akan tetapi kesadaran sebagai orang asli Ambon yang terlihat di dalam kehidupan Warga Rijali membuat budaya tradisional yaitu Pela dan Gandong tetap di pertahankan. Pela dan Gandong sebagai budaya lokal Pada tingkat individu, hubungan gandong menjadi acuan moral dan pengorganisasian bagaimana

’kehidupan bersama’ dan emosi warga diwujudkan dalam tidakan yang tercemin dalam realitas kehidupan sehari-hari.3 Pela-Gandong diharapkan nantinya menjadi simpul budaya yang potensial untuk mengeratkan kembali masyarakat yang terpisah karena konflik.

Simmel mengisolasikan bentuk atau pola di mana proses interaksi itu dapat dibedakan dari isi kepentingan, tujuan atau maksud tertentu yang sedang dikejar melalui interaksi itu. Isi kehidupan sosial meliputi: insting erotic, kepentingan objektif, dorongan agama, tujuan membela dan menyerang, bermain, keuntungan, bantuan atau instruksi, dan tidak terbilang lainnya yang menyebabkan orang untuk hidup bersama dengan orang lainnya, untuk bertindak terhadap mereka, bersama mereka, melawan mereka, untuk mempengaruhi orang lain, dan untuk dipengaruhi oleh mereka. Menurut penulis budaya pela-gandong merupakan isi dari interaksi yang terjalin atara sesama warga Kelurahan Rijali yang kemudian dipegang sebagai norma-norma untuk mengatur kehidupan warga.

3 Tontji Soumokil, Reintegrasi Sosial Pasca konflik Maluku (Salatiga: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Komunikasi Universitas Kristen Satya Wacana, 2011) 168.

(4)

76

Hal ini menyebabkan warga Kelurahan Rijali dapat hidup bersama-sama, saling berinteraksi dan salingmempengaruhi.

4.2. Interaksi Ketika Konflik Berlangsung

Ketika konflik terjadi, wilayah Rijali terlihat seperti kota mati, karena ditinggalkan warga untuk mengungsi ke tempat yang lebih aman. Ketika konflik berlangsung, nyaris tidak ada interaksi yang terjadi di antara masyarakat yang pernah menetap bersama-sama di wilayah Kelurahan Rijali. Hubungan antara sesama masyarakat Rijali yang berbeda keyakinan benar-benar terputus.

Menurut penulis, ini merupakan titik terendah dalam hubungan interaksi antara sesama Warga Rijali, dimana hubungan interaksi yang ada benar-benar terputus atau hilang. Seperti yang telah dikemukakan oleh Simmel bahwa sosiasi’

berarti “proses di mana masyarakat itu terjadi”. Sosiasi meliputi interaksi timbal- balik. Melalui proses ini, dimana individu saling berhubungan dan saling mempengaruhi, masyarakat itu sendiri muncul. Hubungan interaksi yang hilang merupakan bukti nyata dari tidak-adanya proses komunikasi dan hubungan timbak-balik antara kedua kelompok warga yang bertikai.

Terkadang masyarakat Rijali kembali ke Rijali, jika menurut mereka keadaan sudah cukup aman, itupun hanya mereka yang bertempat tinggal agak jauh dari wilayah rawan konflik di kawasan Rijali. Namun mereka juga harus

(5)

77

kembali mengungsi karena keadaan yang aman itu tidak berlangsung lama.4 Setelah beberapa tahun konflik berjalan, muncul interaksi antara kedua kelompok yang berselisih, secara tersembunyi atau secara diam-diam dilakukan di wilayah Kelurahan Rijali (perbatasan). Akan tetapi mereka tidak semua merupakan warga yang tinggal di wilayah Rijali, melainkan adalah orang-orang yang tinggal di luar wilayah Rijali. Mereka biasanya adalah para pedagang yang bertukar barang dagangan untuk dijual ke wilayah masing-masing.

Menurut penulis ini merupakan salah satu hal positif yang ditunjukan oleh warga khususnya mereka yang saling terlibat konflik. Mereka lebih memilih mengabaikan konflik yang terjadi dan melupakan permusuhan yang ada dengan menciptakan hubungan interaksi dengan warga lainnya untuk kepentingan mereka bersama. Menurut Simmel, ada pola interaksi timbal-balik dimana mereka saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Akan tetapi masyarakat tidak pernah ada sebagai sesuatu benda obyektif terlepas dari anggota-anggotanya. Dalam hal ini

“masyarakat” (atau tingkat “sosietalitasi”) yang muncul sangat rapuh dan sementara sifatnya, dimana ikatan-ikatan interaksi timbal-baliknya itu bersifat sementara saja.

4 Hasil wawancara Tanggal 20 Juni 2011 dengan saudara V.P.

(6)

78 4.3. Interaksi Pasca Konflik

Dampak dari tragedi kemanusiaan yang terjadi di Kota Ambon sangatlah menyisakan luka yang mendalam bagi masyarakatnya termasuk di dalamnya warga penghuni Kelurahan Rijali. Seperti yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya bahwa Kelurahan Rijali merupakan salah satu wilayah yang terkena langsung dari dampak konflik yang terjadi di Ambon. Ketika konflik berlangsung Kelurahan Rijali berubah menjadi medan pertempuran, karena letak wilayahnya yang berada ditengah-tengah dua wilayah mayoritas yang sedang berada dalam situasi konflik; yaitu wilayah Batu Merah (mayoritas Muslim) dan Karang Panjang dan Tanah Tinggi (mayoritas Kristiani). Penulis sebelumnya telah memaparkan bahwa Kelurahan Rijali sendiri merupakan salah satu wilayah yang dihuni oleh dua kelompok masyarakat yang terlibat di dalam konflik yaitu Muslim dan Kristen, walaupun sudah terjadi sedikit pemisahan pada wilayah pemukiman di wilayah tersebut. Namun sejatinya kedua kelompok warga yang terlibat konflik masih tinggal bersama dalam satu wilayah.

Kehidupan dan pola pemukiman warga Kelurahan Rijali yang dahulunya hidup dan bermukim saling berbaur menjadi terpisah akibat konflik yang terjadi.

Ada beberapa kepala keluarga yang menjadi korban langsung dari konflik, dimana rumah mereka ada yang hancur dan ada pula yang terbakar habis. Hal inilah yang mengakibatkan sebahagian besar di antara mereka enggan kembali ke rumah pemukiman mereka semula setelah konflik. Sebagian dari mereka ada yang menjual tanah bekas rumah mereka yang telah hancur karena terbakar, dan ada pula yang membangun kembali rumah mereka yang rusak tetapi tidak untuk

(7)

79

ditempati sendiri melainkan untuk di sewakan kepada orang-orang pendatang.

Bagi warga Kelurahan Rijali yang walaupun turut mengungsi ketika terjadi konflik namun yang rumah tempat tinggalnya luput dari kerusakan akibat konflik lebih memilih kembali menempati rumah mereka. Walaupun sewaktu-waktu jika konflik kembali pecah maka mereka harus kembali lagi mengungsi ke tempat pengungsian.

Semua agama mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan. Dengan demikian, penekanan harmonitas kehidupan menjadi bersifat lintas agama. Akan tetapi, pembangunan harmonitas kehidupan sering kali didasarkan pada ikatan-ikatan primodial seperti politik, budaya, dan etnis. Perwujudan harmonitas yang didasarkan pada ikatan-ikatan primodialis-antrophosentris semacam itu ternyata sering kali bersifat semu dan amat sementara, bahakan rapuh, sebab jika ada kesinggungan antar kelompok, segera mengakibatkan penganut agama menjadi kalut dan kemudian dihinggapi rasa permusuhan yang tidak jelas.5

Konflik mengakibatkan hilangnya rasa saling percaya terhadap warga di Kelurahan Rijali yang berbeda agama, hal ini menyebabkan rasa saling percaya terhadap sesama hanya terbatas pada mereka yang memiliki keyakinan atau beragama sama. Hal senada juga bendampak pada perubahan pemukiman warga di Kelurahan Rijali, dimana muncul dua kelompok wilayah pemukiman baru, yaitu wilayah pemukiman yang bermayoritaskan warga Kristen (yang bermukim lebih dekat dengan wilayah Karang Panjang dan wilayah Tanah Tinggi) dan

5 Prof.Dr.Syahrin Harahap,M.A, Teologi Kerukunan (Jakarta: Prenada Media Group 2011) 16

(8)

80

warga Muslim (yang bermukim lebih dekat dengan wilayah Batu Merah). Di dalam bab I telah dipaparkan bahwa ada segregasi yang terjadi pada warga Kelurahan Rijali pasca konflik yang terjadi di Ambon, akibatnya secara otomatis hubungan interaksi antara kedua belah pihak yang sedang bertikai menjadi terputus.

Seperti yang telah dikemukakan oleh Georg Simmel bahwa sosiasi’ berarti

“proses di mana masyarakat itu terjadi”. Sosiasi meliputi interaksi timbal-balik.

Melalui proses ini, dimana individu saling berhubungan dan saling mempengaruhi, masyarakat itu sendiri muncul. Demikian juga dengan warga yang bermukim di Kelurahan Rijali, baik yang beragama Kristen atau Muslim, mereka dapat terbentuk karena adanya interaksi sebelum terjadi konflik. Namun akibat konflik warga Kelurahan Rijali kemudian terpisah antara warga yang beragama Kristen dan yang bergagama Muslim. Setiap kelompok hanya berinteraksi dengan sesama mereka yang berkeyakinan atau bergama sama, dengan demikian maka terbentuklah dua pola proses interaksi baru. Situasi ini merupakan situasi di dalam kelompok, di mana kelompok sosial tempat orang-orangnya berinteraksi itu merupakan suatu keseluruhan tertentu, misalnya suatu perkumpulan, suatu partai, dan anggota-anggotanya sudah mempunyai saling hubungan yang lebih mendalam antara yang satu dengan yang lain, saling hubungan yang tidak berlaku pada hari itu saja mereka berkumpul, tetapi saling hubungan itu sudah terjalin sebelumnya.6

6 Dr.W.A. Gerungan, Dipl. Psych, Psikologi Sosial (Bandung: PT. Refika Aditama 2004), 79.

(9)

81

Dua pola proses interaksi baru yang muncul pasca konflik ini juga merupakan proses sosiasi yang di utarakan oleh Simmel. Timbul pertanyaan yaitu, bagaimana sehingga pola-pola interaksi ini dapat terbentuk?. Seperti yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, dimana Simmel membahas tentang bentuk dan isi dari proses interaksi. bentuk yang dimaksudkan oleh Simmel disini adalah terbentuknya dua komunitas agama atau dua pola interaksi yang terlahir pasca konflik, yaitu interaksi antar sesama warga beragama Kristen (kelompok warga Kristen) dan interaksi antar warga beragama Muslim (kelompok warga Muslim).

Menurut Simmel bentuk atau pola dimana proses interaksi itu terjadi karena ada persamaan kepentingan, tujuan atau maksud tertentu yang sedang dikejar melalui interaksi itu, inilah isi dari proses interaksi yang dimaksudkan oleh Simmel.

Kedua kelompok warga yang berada di Kelurahan Rijali, baik yang Kristen maupun Muslim memiliki persamaan yang sama, yaitu masing-masing kelompok hanya bermukim dan berinteraksi dengan sesama anggota kelompok mereka. Hal ini terjadi karena ada rasa saling percaya di dalam masing-masing kelompok, atas dasar keyakinan dan agama yang sama. Rasa saling percaya yang dimiliki setiap individu di dalam masing-masing kelompok tersebut, menurut penulis inilah yang dimaksudkan oleh George Herbert Meat tentang prioritas sosial, yaitu merupakan perkembangan keadaan mental kesadaran diri yang dihasilkan oleh kelompok sosial, dimana kelompok sosial tersebut telah terbentuk terlebih dahulu. Hal ini memungkinkan setiap warga di Kelurahan Rijali untuk hanya memilih kelompok yang sesuai dengan agama dan kepercayaannya atau kembali ke ‘agama ibu’ (kecil kemungkinan warga yang berbeda agama menetap

(10)

82

bersama). Kendati demikian kedua kelompok warga yang ada di Kelurahan Rijali tersebut juga memiliki kepentingan dan yang sama, yaitu untuk bertahan hidup dengan rasa aman dan damai walaupun sudah ada pemisahan dalam pola pemukiman di wilayah tersebut.

Satu pola interaksi yang ada pada warga Kelurahan Rijali berubah menjadi dua pola interaksi mengakibatkan terjadinya perubahan sosial di dalam kehidupan warga tersebut. Hilangnya toleransi antar umat beragama yang dahulunya ada dan berkembang, walaupun dahulu dan mungkin sampai sekarang Orang Maluku masih mempunyai pemahaman negatif, dimana umumnya mereka memandang orang yang tidak seagama dengannya sebagai “orang kafir” dan agama lain dianggap bukanlah agama yang diperkenankan Allah yang disembahnya.7 Seperti yang dikatakan Ajith Fernando “other religions are false paths thad misslead their followers”.8 Konflik mengakibatkan hilangnya nilai silahturahmi antara warga yang berbeda agama dan juga semangat “masohi” di antara mereka.

Setelah konflik berakhir warga Kelurahan Rijali yang berada di pengungsian kembali menempati kediaman mereka masing-masing. Beberapa warga Rijali mengklaim bahwa mereka merupakan penduduk asli setempat, sebab sejak lahir mereka telah menempati tempat itu. Kendati demikian, warga yang sampai saat ini tetap bertahan dan tinggal di Kelurahan Rijali berusaha untuk bertahan dan hidup dengan damai atara sesamamereka walaupun kehidupan

7Jhon Pieris, Tragedi Maluku: Sebuah Krisis Peradaban – Analisis Kritis Aspek:

Politik,Ekonomi,Sosia-Budaya dan Keagamaan -;edisi 1, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004). 81.

8Ajith Fernando, “Other Religions Are False Paths Thad Misslead Their Followers” dalam John Lyden, Enduring Issue in Reli (San Diego: Greenhaven Press Inc, 1995) 67.

(11)

83

pemukiman mereka telah mengalami perubahan. Melihat hubungan yang terjadi antara sesama warga Kelurahan Rijali walaupun hanya dalam bentuk tegur-sapa, interaksi jual-beli, maupun kegiatan-kegiatan terkait birokrasi, menunjukan bahwa ada keinginan untuk kembali hidup berdampingan secara normal antara sesama warga. Hal ini dapat dijadikan salah satu bentuk positif dalam usaha perdamaian agar kehidupan mereka tidak lagi ‘terisolasi’, dan cenderung lebih banyak melakukan kegiatan interaksi dengan warga di dalam kelompok mereka masing- masing melainkan salin berbaur.

Perubahan interaksi warga Kelurahan Rijali di atas menurut penulis, merupakan bentuk sosiabilita sesuai dengan yang dikemukakan oleh Simmel.

Simmel memaparkan bahwa kalau sosiasi atau interaksi itu dipisahkan isinya sendiri atau isi yang tidak ada hubungannya dengan itu maka, bentuk yang dihasilkan adalah sosiabilita. Dua kelompok warga di Kelurahan Rijali baik kelompok Muslim maupun Kristen cenderung jarang untuk saling berinteraksi.

Interaksi yang terjadi, sesuai yang telah dipaparkan penulis diatas, yaitu hanya sebatas tegur-sapa, interaksi jual-beli, maupun kegiatan-kegiatan terkait birokrasi merupakan bentuk-bentuk sosiabilita yang menurut Simmel sebagai sesuatu bentuk yang murni, merupakan interaksi yang terjadi demi interaksi itu sendiri dan bukan untuk tujuan lain. Penulis memberikan contoh; seorang warga Kristen dan seorang warga Muslim yang saling kenal dan sama-sama tinggal di Kelurahan Rijali bertemu dan berpapasan di jalan, mereka kemudian saling menyapa.

Mereka berdua hanya saling menyapa dan tidak ada interaksi lebih lanjut.

Interaksi yang terjadi di antara mereka hanya terbatas pada proses interaksi itu

(12)

84

sendiri, yaitu saling menyapa karena saling mengenal. Contoh lainnya; seorang warga Kristen membeli pisang goreng dari seorang penjual pisang goreng yang beragama Muslim. Interaksi tersebut hanya terbatas pada proses jual-beli, dimana masing-masing memiliki tujuannya sendiri-sendiri.

Kendati terjadi perubahan yang signifikan di dalam proses interaksi warga Kelurahan Rijali, akan tetapi baik warga Muslim maupun Kristen beranggapan hubungan antara mereka yang berbeda agama tetap sama seperti sebelum konflik terjadi. Salah satu warga memaparkan bahwa sejak sebelum konflik sampai pasca konflik hubungannya dengan dengan warga lain yang berbeda agama baik-baik saja. Walaupun berbeda agama mereka saling mengenal baik, dimana ada rasa saling memahami. Hal ini merupakan salah satu dampak positif yang terlihat, dimana ada usaha untuk tetap saling percaya diantara mereka yang telah hidup bersama sebelum konflik terjadi. Kendati demikian menurut penulis rasa saling kurang percaya itu masih tetap ada dan melekat di dalam kehidupan warga Kelurahan Rijali, seperti terlihat dari salah satu pernyataan warga Kelurahan Rijali yang mengatakan bahwa “jika kita berbuat baik kepada mereka, maka mereka juga pasti akan berbuat baik kepada kita. Akan tetapi jika mereka melakukan sesuatu yang buruk kepada kita, maka kitapun akan melakukan hal yang sama kepada mereka.”9 Hal ini merupakan salah satu bentuk masih adanya rasa saling tidak percaya diantara mereka. Hal ini mungkin dikarenakan keadaan keamanan yang tidak menentu, di mana konflik sering terjadi kemudian mereda akan tetapi kemudian muncul lagi konflik yang sama dan kembali mereda. Hal ini terjadi

9 Hasil wawancara tanggal 13 Juni 2011, dengan Ibu L.M.

(13)

85

berulang-ulang yang pada akhirnya mengakibatkan pudarnya rasa saling percaya di antara mereka. Menurunnya tingkat komunikasi dan dialog yang lebih mendalam dengan rasa kekeluargaan turut mempengaruhi situasi ini. Seperti yang dikatakan oleh Leonard Swidler bahwa:

Dialogue is conversation between two or more person with differing views, the primary purpose of which is for each participant to lern from the other so that be or she can change and grow-of course, both partners will also want to share their understanding with their partner.10

Jika dikaitkan dengan teori Meat menyangkut sikap-isyarat atau gesture, dimana Meat mendefenisikan gesture adalah gerakan organisme pertama yang bertindak sebagai rangsangan khusus yang menimbulkan tanggapan (secara sosial) yang tepat dari organisme kedua, maka penulis dapat simpulkan bahwa sikap di atas menunjukan sebuah respon terhadap rangsangan. Tanpa ada rangsangan maka respon tidak akan pernah terjadi. Dalam pernyataan di atas yang berbunyi;

“jika kita berbuat baik kepada mereka, maka mereka juga pasti akan berbuat baik kepada kita. Akan tetapi jika mereka melakukan sesuatu yang buruk kepada kita, maka kitapun akan melakukan hal yang sama kepada mereka.”

menunjukan adanya respon terhadap rangsangan yang di terima. Dalam hal ini bentuk respon yang diberikan sama dengan bentuk rangsangan yang diterima.

Mead menambahkan dalam proses interaksi sosial, manusia secara simbolik mengomunikasikan arti terhadap orang lain yang terlibat. Orang lain menafsirkan

10 Leonard Swidler, After the Absolute; The Dialogical Future of Relegion Reflection (Augsburg Fortess, 1990) 3

(14)

86

simbol komunikasi itu dan mengorientasikan tindakan balasan mereka berdasarkan penafsiran mereka. Jika berpatokan pada keadaan warga di Kelurahan Rijali maka, dapat dikatakan bahwa mereka pada dasarnya saling berinteraksi, hanya saja interaksi tersebut lewat simbol-simbol. Simbol-simbol yang dimaksudkan disini lebih dititik-beratkan pada perilaku dan tindakan. Rasa mempercayai akan muncul jika ada dipercayai sebaliknya rasa curiga ada karena dicurigai. Warga Kelurahan Rijali masih memiliki kesadaran sebagai sama-sama orang asli Ambon yang masih memegang teguh adat dan budaya gandong. Hal ini dapat menjadi nilai positif dalam upaya menjalin kembali tali persaudaraan yang terputus akibat konflik .

Seperti yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya bahwa, sejak sebelum konflik kemanusiaan terjadi, banyak pendatang dari luar pulau datang dan menetap di Kelurahan Rijali. Ketika pasca konflik jumlah pendatang pun semakin meningkat dengan tujuan melanjutkan studi mencari pekerjaan, ataupun berwiraswasta. Hal ini didukung dengan banyak munculnya rumah-rumah kos, dan rumah kontrakan yang disewakan oleh pemilik rumah yang sudah tidak ingin menempati kediamannya di Kelurahan Rijali, akibat trauma pasca konflik. Warga Rijali sendiri cukup mempermasalahkan jumlah pendatang yang ada di Kelurahan Rijali, karena menurut mereka selain membuat Kelurahan Rijali semakin padat, keamanan dan ketentraman warga juga menjadi terganggu, hal ini seakan-akan memunculkan konflik baru. Menurut beberapa warga asli Kelurahan Rijali, salah satu penyebab konflik terus berkepanjangan adalah faktor interfensi kaum pendatang terhadap konflik, dimana mereka malah memberikan pengaruh negatif lewat perbuatan- perbuatan yang berusaha untuk memprofokasi warga. Faktor-faktor inilah yang

(15)

87

kemudian setelah konflik berakhir, nyaris tidak ada interaksi yang terjadi antara warga Kelurahan Rijali asli atau yang telah lama menetap di sana dengan para pendatang yang baru menetap di Kelurahan Rijali.

Menurut Simmel, lawan dari persatuan bukanlah konflik tetapi ketidakterlibatan (noninvovelment, artinya tidakada satupun bentuk interaksi timbal-balik). Menurut Simmel konflik adalah salah satu bentuk interaksi walaupun faktor yang menyebabkannya adalah faktor yang negatif, seperti kebencian. Simmel menganalisa beberapa bentuk atau cara untuk mengakhiri konflik antara lain dengan cara kompromi, berdamai, sepakat untuk tidak sepakat.

Penulis menyimpulkan bahwa walaupun hubungan antara warga Kelurahan Rijali yang asli dengan warga pendatang memang kurang harmonis, akan tetapi mereka dapat hidup bersama-sama dengan berpegang pada norma- norma dan aturan yang telah ada.

4.4. Tanggapan Kritis.

Pada bagian ini penulis akan memaparkan tanggapan kritis menyangkut hasil analisa yang telah dipaparkan sebelumnya. Sejak dahulu interaksi sosial telah menjadi warisan turun-temurun bagi warga Kelurahan Rijali. Walaupun dari latar-belakang asal, agama dan budaya yang berbeda, akan tetapi warga Kelurahan Rijali dapat hidup bersama berlandaskan rasa kekeluargaan. Budaya gandong sebagai budaya tradisional mampu menjadi pemersatu antara satu dengan yang lainnya walaupun berbeda latar-belakang kehidupannya. Namun seiring dengan

(16)

88

perkembangan zaman, maka budaya tradisional pun menjadi terlupakan. Wilayah Kelurahan Rijali yang berada di pusat Kota Ambon secara langsung mendapat pengaruh budaya modernisasi. Pola kehidupan sosial mereka pun berubah menjadi lebih individualistis, membuat budaya gandong semakin tenggelam di telan kemajuan zaman. Ketika konflik kemanusiaan terjadi praktis hubungan interkasi sosial antara Warga Rijali yang beragama Muslim dan warga Rijali yang beragama Kristen terputus secara total. Dengan begitu mudahnya sebuah profokasi dapat menghancurkan hubungan interaksi yang telah lama terbina.

Mengapa hal tersebut dapat terjadi?, ini diakibatkan oleh faktor-faktor yang telah dipaparkan di atas, yaitu; hilangnya nilai-nilai kekeluargaan dan kebersamaan akibat mordernisasi. Budaya gandong tidak lagi dapat menyelamatkan hubungan interaksi yang telah terlanjur terputus. Ditambah lagi dengan kurangnya pelestarian budaya tradisional khususnya di wilayah perkotaan menambah redupnya semangat budaya gandong bagi warga Kelurahan Rijali.

Dampak modernisasi dan ditambah lagi dengan konflik kemanusiaan yang terjadi semakin memperburuk hubungan interaksi sosial warga Kelurahan Rijali.

Akan tetapi lambat-laun warga menjadi jenuh dengan konflik yang berkepanjangan, dan pada akhirnya mereka memilih untuk tidak mudah terprofokasi dengan isu-isu yang ada dalam rangka memecah-belah kerukunan dan persatuan. Ketika konflik berakhir, warga Kelurahan Rijali akhirnya memilih untuk kembali hidup berdampingan bersama-sama atas dasar kekeluargaan sebagai penduduk asli wilayah tersebut. Secara perlahan-lahan budaya gandong kembali diangkat sebagai pemersatu untuk menciptakan interaksi sosial yang

(17)

89

lebih baik. Kurang adanya campur tangan pemerintah dalam usaha rekonsiliasi pasca konflik secara khusus di desa-desa mengakibatkan proses untuk betul-betul saling menerima dan berdamai antara warga Kelurahan Rijali berjalan lambat.

Tingginya jumlah pendatang yang bermukim di Kelurahan Rijali bukan menjadi masalah baru bagi warga Kelurahan Rijali. Sebelum konflik pecah pun masalah ini sudah ada, dan ketika pasca konflik masalah ini semakin menjadi terselesaikan bagi warga Kelurahan Rijali. Ditambah lagi para pendatang ini diklaim sebagai salah satu penyebab terjadinya konflik sosial yang berkepanjangan. Hal ini semakin memperburuk hubungan antara warga asli Kelurahan Rijali dengan warga pendatang yang bermukim di Kelurahan Rijali.

Kembali lagi keterlibatan pemerintah dipertanyakan dalam upaya untuk menanggulangi permasalah ini.

Menurut penulis masalah-masalah yang telah dipaparkan sebelumnya harus diselesaikan secara bersama-sama dan menjadi tanggung jawab bersama, baik warga Kelurahan Rijali maupun para pengurus desa. Para pranata desa yang ada di Kelurahan Rijali harus mampu bertugas dalam rangka menjembatani setiap kelompok yang bertikai baik antara kelompok Muslim dan Kelompok Kristen, maupun antara warga asli dan warga pendatang di Kelurahan Rijali, sehingga dapat berdialog bersama demi menciptakan rasa kebersamaan dan kekeluargaan.

Seperti yang dikemukakan oleh Simmel menyangkut teori konflik, dimana konflik itu sendiri merupakan interaksi yang terbentuk karena adanya dualisme di dalam kelompok, sehingga untuk mencapai kesepakatan terkadang salah satu kelompok harus di musnahkan. Hal ini bukan berarti bahwa tidak ada solusi dalam upaya

(18)

90

menyelesaikan konflik, tetapi Simmel menawarkan beberapa point untuk menyelesaikan konflik, yaitu berkompromi dan berdamai atau dengan kata lain musyawarah untuk mufakat. Oleh sebab itu menurut penulis ini bukanlah hal sederhana yang harus diabaikan atau ditunda-tunda dalam pelaksanaannya. Perlu adanya penanganan dan perhatian serius dari pihak pemerintah daerah dengan dibantu oleh unsur-unsur yang ada di dalam pemerintahan desa dan bererja sama dengan segenap warga yang ada, untuk menciptakan sebuah perdamaian yang memberikan rasa aman dan tentram bagi semuannya.

Referensi

Dokumen terkait

Penerapan model pembelajaran Team Assited Individualization (TAI) dalam pembelajaran IPS (Ekonomi) dapat meningkatkan hasil belajar siswa dengan melihat hasil tes

Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa diperlukan minimal empat langkah strategis sebagai upaya dalam mengembangkan agroekowisata Jambu Air di wilayah Kecamatan

3 Meskipun soal ujian yang diberikan sulit, saya mampu tetap berusaha untuk dapat menyelesaikannya dengan baik.. 4 Apabila ada soal yang sulit saat ujian nasional,

Hasil analisa data dari keenam variabel kemitraan tersebut, menunjukkan bahwa komitmen (mean maksimum 5.60) sangat penting dalam hubungan kemitraan, baik dari pihak pengembang

Orientasi ketiga, yakni pengembangan ke arah alam sekitar yang diciptakan Allah untuk kepentingan hidup manusia, mengandung arti bahwa pendidikan islam adalah laksana

Variabel yang diukur adalah partisipasi orang tua dalam perawatan kesehatan gigi dan mulut anak di Puskesmas Tegallalang I sebagai variabel terikat, sedangkan

Belum adanya informasi tentang fraksi lipid darah dan persentase organ dalam dengan pemberian tepung daun Senduduk ( Melastoma malabathricum L.) untuk mengevaluasi

Dari tabel di atas, nilai F menunjukkan angka sebesar 9.282 dengan nilai signifikansi 0.000 (sig < 0.05) menunjukkan bahwa model ini dapat digunakan untuk