• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN RASIO ALBUMIN KREATININ URIN DENGAN MORTALITAS PADA PASIEN ANAK DENGAN SEPSIS TESIS RIADY ASHARI / IKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "HUBUNGAN RASIO ALBUMIN KREATININ URIN DENGAN MORTALITAS PADA PASIEN ANAK DENGAN SEPSIS TESIS RIADY ASHARI / IKA"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN RASIO ALBUMIN KREATININ URIN DENGAN MORTALITAS PADA PASIEN ANAK DENGAN SEPSIS

TESIS

RIADY ASHARI 127041126 / IKA

PROGRAM MAGISTERKLINIK- SPESIALIS ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2018

(2)

HUBUNGAN RASIO ALBUMIN KREATININ URIN DENGAN MORTALITAS PADA PASIEN ANAK DENGAN SEPSIS

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kedokteran Klinik (Anak) dalam Program Kedokteran Klinik Konsentrasi Ilmu Kesehatan Anak - Spesialis pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

RIADY ASHARI 127041126 / IKA

PROGRAM MAGISTERKLINIK- SPESIALIS ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2018

(3)

JudulPenelitian : Hubungan Rasio Albumin Kreatinin Urin dengan Mortalitas pada Pasien Anak dengan Sepsis

Nama Mahasiswa : Riady Ashari Nomor Induk Mahasiswa : 127041126

Program Magister : Magister Kedokteran Klinik Konsentrasi : Kesehatan Anak

Menyetujui

Ketua

Prof. dr. H. Munar Lubis, Sp.A(K)

Dr. Ir. Erna Mutiara, M.Kes

Tanggal lulus :25 April 2018

(4)

PERNYATAAN

HUBUNGAN RASIO ALBUMIN KREATININ URIN DENGAN MORTALITAS PADA PASIEN ANAK DENGAN SEPSIS

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diujikan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis dijadikan acuan dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka

Medan, Mei 2018

(5)

Telah di uji pada Tanggal :25 April 2018

PANITIA PENGUJI TESIS

KETUA : Prof. dr. H. Munar Lubis, SpA(K) ...………

Anggota :

1. Dr.Ir. Erna Mutiara, M.Kes ...………

2. dr. Muhammad Ali, SpA(K) ...………

3. dr. Bugis Mardina Lubis, SpA(K) ...………

4. Dr. dr. Rina Amalia. C. Saragih, M.Ked(Ped), SpA ...………

(6)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah Yang Maha Kuasa atas segala berkat, rahmat, dan kasihNya yang telah memberikan kesempatan kepada saya sehingga dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

Tesis ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dan merupakan tugas akhir pendidikan magister Kedokteran Klinik Konsentrasi Ilmu Kesehatan Anak di FK-USU/RSUP.H. Adam Malik Medan.

Pada kesempatan ini, perkenankanlah penulis menyatakan penghargaan dan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum sebagai rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K) sebagai dekan fakultas kedokteran Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. dr. Rodiah Rahmawaty Lubis, M.Ked(Oph), SpM(K) sebagai ketua program studi magister kedokteran klinik.

4. Prof. dr. H. Munar Lubis, SpA(K) dan Dr. Ir. Erna Mutiara , M.Kes sebagai pembimbing yang telah memberikan bimbingan, bantuan serta saran-saran yang sangat berharga dalam pelaksanaan penelitian dan penyelesaian tesis ini.

5. Dr. Supriatmo, M.Ked(Ped), Sp.A(K), selaku Ketua Departemen Ilmu

Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran USU/RSUP.H. Adam Malik Medan

(7)

yang telah memberikan bantuan dalam penelitian dan penyelesaian tesis ini.

6. Dr. Selvi Nafianti M.Ked(Ped), Sp.A(K), selaku Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis Anak FK-USU, yang telah banyak membantu dalam menyelesaikan tesis ini.

7. Dr. Muhammad Ali, SpA(K), dr. Bugis M. Lubis, Sp(K) dan Dr. dr. Rina A.

C. Saragih, M.ked(Ped), SpA sebagai penguji dalam tesis ini.

8. Seluruh staf pengajar di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK USU/RSUP. H. Adam Malik Medan yang telah memberikan sumbangan pikiran dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini.

9. Rekan-rekan sejawat dan seangkatan PPDS Ilmu Kesehatan Anak khususnya dr. Harry dan dr. Dwi Herawati yang telah berpartisipasi baik dalam diskusi maupun memberikan semangat untuk menyelesaikan penelitian ini.

10. Kedua orang tua saya Joni Setiawan dan Nuryani yang telah membesarkan saya dengan penuh kasih sayang dan selalu memberikan dukungan dalam mengikuti pendidikan sampai selesai.

11. Adik saya Herryadi Ashari dan Verawati Ashari yang tetap memberikan dorongan dan semangat dalam mengikuti pendidikan sampai selesai.

12. Seluruh keluarga yang telah memberikan dukungan baik doa maupun

semangat dalam menyelesaikan penelitian ini.

(8)

Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa membalas semua jasa dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis tanpa pamrih. Akhirnya penulis berharap agar penelitian ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, April 2018

Riady Ashari

(9)

DAFTAR ISI

Lembaran Persetujuan Pembimbing iii

Lembar Pernyataan iv

Lembar Pengesahan v

Ucapan Terima Kasih vi

Daftar Isi ix

DaftarTabel xi

DaftarGambar xii

DaftarSingkatan xiii

Abstrak xv

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 LatarBelakang 1

1.2 RumusanMasalah 3

1.3 Hipotesis 3

1.4 Tujuan Penelitian 4

1.4.1 TujuanUmum 4

1.4.2 TujuanKhusus 4

1.5 ManfaatPenelitian 4

BAB 2.TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Defenisi Sepsis 6

2.2 Patofisiologi Sepsis 12

2.3 DisfungsiEndotel pada Sepsis 12

2.4 Albuminuria dan Rasio Albumin Kreatinin Urin 15 2.5 Peningkatan Rasio Albumin Kreatinin Urin pada Pasien

Sepsis 17

2.6 Kerangka Konseptual 22

BAB 3. METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian 23

3.2 Tempat dan Waktu 23

3.3 Populasi dan Sampel 23

(10)

3.4 MetodePengumpulan Data 24

3.5 Perkiraan BesarSampel 24

3.6 KriteriaInklusidanEksklusi 25

3.6.1 Kriteria Inklusi 25

3.6.2 Kriteria Eksklusi 26

3.7 Persetujuan Setelah Penjelasan/ Informed Consent 26

3.8 EtikaPenelitian 26

3.9 Cara Kerja 26

3.10 Alur Penelitian 28

3.11 Identifikasi Variabel 28

3.12 Definisi Operasional 29

3.13 RencanaPengolahan dan Analisis Data 31

BAB 4 HASIL PENELITIAN 33

BAB 5. PEMBAHASAN 37

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN 42

Ringkasasan 43

Daftar Pustaka 54

Lampiran

1. Personil Penelitian 58

2. BiayaPenelitian 58

3. Jadwal Penelitian 59

4. Penjelasan dan Persetujuan Kepada Orang Tua 69

5. PersetujuanSetelahPenjelasan 61

6. Data PribadiSubjekPenelitian 62

7. Pemantauan 63

8. Daftar Riwayat Hidup Peneliti 64

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Pembagian Kelompok Usia untuk Batasan Sepsis pada Anak 6 Tabel 2.2. Defenisi SIRS, Infeksi, Sepsis, Severe Sepsis, dan Syok Sepsis 7 Tabel 2.3 Kriteria Disfungsi Organ pada Anak 8 Tabel 2.4. Denyut Jantung dan Frekuensi Nafas Normal sesuai Kelompok Usia 10

Tabel 2.5 Skoring Pediatric Logistic Organ Dysfunction 2 11

Tabel 2.6 Pembagian dan Nilai Albuminuria 16

Tabel 4.1 Distribusi Karakteristik Sampel Penelitian 34 Tabel 4.2 Hubungan Antara Rasio Albumin Kreatinin Urin dengan

Mortalitas pada Pasien Anak dengan Sepsis 34 Tabel 4.3 Hubungan Rasio Albumin Kreatinin Urin Kategori 2 dengan 35 Kematian

Tabel 4.4 Hubungan Rasio Albumin Kreatinin Urin dengan Skoring

PELOD-2 35

Tabel 4.5 Hubungan Rasio Albumin Kreatinin Urin dengan Lama Rawat 36

(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Endotel pada Keadaan Normal (A) dan Sepsis (B) 14 Gambar 2.2 Lapisan Glomerular Filtration Barrier 17

Gambar 2.3 Stuktur Glikokaliks 19

Gambar 2.4 Glikokaliks pada Endotel Normal dan Disfungsi Endotel 20

Gambar 2.5 Kerangka Konseptual Penelitian 22

Gambar 3.1 Alur Penelitian 28

(13)

DAFTAR SINGKATAN DAN KATA

α : alfa. kesalahan tipe 1

A1 : normaly to mildly increased albuminuria A2 : moderately increased albuminuria A3 : severely increased albuminuria

ACCP : American College of Chest Physicians ACR : albumin creatinine ratio

ARDS : Acute Respiratory Distress Syndrome AVPU : alert verbal pain unrespon

β : beta, kesalahan tipe 2

BB : berat badan

ETC : endothelial cleft, celah endotel GFB : glomerular Filtration Barrier

IL1 : interleukin-1

IK : interval kepercayaan

ICAM : intercellular adhesion molecule IDAI : Ikatan Dokter Anak Indonesia

IPSCC : International Pediatric Sepsis Consensus Conference KDIGO : Kidney Disease Improving Global Outcome

PB : panjang badan

PR : prevalence ratio, rasio prevalensi PSP : persetujuan setelah penjelasan

PELOD : pediatric logistic organ dysfunction

SD : standard deviasi

SCCM : Society of Critical Care Medicine

(14)

SIRS : Systemic Inflammatory Respone Syndrome

TB : tinggi badan

VCAM : vascular cell adhesion molecule

(15)

ABSTRAK

Latar belakang: Sepsis adalah disfungsi organ yang mengancam nyawa akibat disregulasi sistem imun terhadap infeksi. Pada sepsis terjadi kerusakan endotel yang menyebabkan kebocoran kapiler sistemik dan peningkatan dari eksresi albumin pada urin. Penelitian tentang rasio albumin kreatinin urin dengan mortalitas pada pasien anak dengan sepsis di Indonesia masih sangat terbatas.

Tujuan: Untuk menilai hubungan antara rasio albumin kreatinin urin dan mortalitas pada pasien anak dengan sepsis.

Metode: Penelitian secara cross sectional dilakukan di Rumah Sakit Haji Adam Malik dan Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara. Dilakukan pencatatan data demografi, skor PELOD-2 dan nilai rasio albumin kreatinin urin. Semua subjek penelitian di ikuti selama pengobatan untuk melihat apakah pasien meninggal atau pulang/hidup.

Hasil: Jumlah sampel pada penelitian ini sebanyak 51 orang. Kematian pada rasio albumin kreatinin kategori 2 sebesar 40.5%. Didapatkan hubungan yang bermakna antara rasio albumin kreatinin dengan kematian (p<0.001).

Semua pasien dengan kategori 3 (>300mg/gram) meninggal dan hanya satu pasien kategori 1 (<30mg/gram). yang meninggal. Pasien dengan rasio albumin kreatinin kategori 2 (30-300 mg/gram) memiliki risiko 2.997 kali untuk mengalami kematian dibanding dengan kategori 1.

Kesimpulan: Terdapat hubungan yang signifikan antara nilai rasio albumin kreatinin urin dan mortalitas pada pasien dengan sepsis

Kata kunci: Kematian, rasio albumin kreatinin urin, sepsis

(16)

ABSTRACT

Background. Sepsis is life-threatening organ dysfunction caused by immune dsyregulation to infection. In sepsis there is endothelial dysfunction that will lead to systemic capillary leak and increased urinary albumin excretion.

There is very limited research on urinary albumin creatinine ratio (uACR) and mortality in children with sepsis in Indonesia.

Objective. To assess relationship between uACR and mortality in children with sepsis.

Methods. A cross sectional study was held in Haji Adam Malik Hospital and North Sumatra University Hospital. Demographic data, PELOD-2 Score and urinary albumin-creatinine value was recorded. All sample were followed during treatment whether there was mortality or discharge.

Results. 51 samples were participated. Mortality rate with uACR category 2 was 40.5%. There was significant relationship between uACR and mortality rates (p<0,001). All patients in uACR category 3 (>300mg/gram) was died, whereas only 1 in uACR category 1 (<30mg/gram). Children in uACR category 2 (30-300 mg/gram) were 2.997 times more chances to die compared with ACR category 1

Conclusions. There was significant relationship between uACR ratio and mortality in children with sepsis.

Keywords : Urinary albumin creatinine ratio, mortalitas, sepsis.

(17)

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Sepsis dapat diartikan sebagai suatu respon sistemik terhadap infeksi.1 Kata sepis berasal dari bahasa Yunani yaitu “sepo” yang artinya kerusakan. Pada tahun 1989 sepsis diartikan sebagai infeksi bakteri berat yang menyebabkan kerusakan pada jaringan tubuh.2,3Defenisi sepsis menurut TheSociety of Critical Care Medicine (SCCM) adalah systemic inflammatory respone syndrome (SIRS) yang disebabkan oleh infeksi.4

Sepsis masih merupakan masalah yang menyebabkan angka kesakitan dan kematian tersering pada pasien penyakit kritis.4Reaksi terhadap sepsis ini sangat kompleks, meliputi proses inflamasi dan non inflamasi, reaksi humoral dan selular serta abnormalitas sirkulasi. Insidensi sepsis meningkat hampir 9% setiap tahunnya.5Angka kejadian sepsis tertinggi dijumpai pada bayi, yaitu 5.6 kasus per 1000 penduduk sedangkan angka kejadian terendah pada anak remaja, yaitu 0.2 kasus per 1000 penduduk.3

Manifestasi sepsis sangat bervariasi.Diagnosa dan

penentuanderajatkeparahan sepsis sangatpentinguntukmencegahterjadinyakomplikasi. Hingga saat ini masih sulit untuk

menegakkan diagnosa sepsis.6 Biomarker, yang merupakan parameter objektifterhadap status biologisyang banyak digunakan untukmendeteksikeadaan

sepsis, menentukanderajatkeparahan, sertamembedakanberbagaikemungkinanpenyebab sepsis.5

(18)

Hubungan antara protein yang terdapat dalam urin dan penyakit telah diteliti selama berabad – abad lalu.Dalam 40 tahun terakhir telah ditemukan adanya albumin didalam urin yang pada awalnya digunakan sebagai prediktor terhadap risiko penyakit ginjal dan kardiovaskular, dan semakin berkembang pada penyakit diabetes, hipertensi, gagal ginjal, hingga berbagai kondisi inflamasi akut, baik itu sebagai penanda prognostik, kematian atau sebagai evaluasi terapi.7Pengukuran rasio albumin kreatinin merupakan pengukuran albumin urin kuantitatif dan banyak digunakan sebagai penanda disfungsi endotel.8

Pada sepsis terjadi disfungsi dari endotel yang disebabkan oleh proses inflamasi dan stres oksidatif yang akan menyebabkan kebocoran kapiler sistemik yang akhirnya menyebabkan peningkatan ekskresi albumin pada urin.6Hingga saat ini tidak ada kesepakatan tentang rentang nilai yang membedakan albuminuria patologis dan fisiologis.9National Kidney Foundation mendefenisikan mikroalbuminuria sebagai keadaan dimana dijumpai laju ekresi albumin diantara 20 mcg sampai 200 mcg/menit atau diantara 30 sampai 300 mg/hari atau 30 sampai 300 mg/g kreatinin dan makroalbuminuria apabila > 300 mg/hari.10 Namun berdasarkan pedoman Kidney Disease Improving Global Outcome (KDIGO), istilah mikroalbuminuria saat ini tidak direkomendasikan untuk digunakan karena tidak ada patofisiologi yang mendasar.9

Penelitian menunjukkan bahwa mikroalbuminuria (rasio albumin kreatinin ≥ 30 sampai < 300 mg/gram kreatinin) merupakan sebuah tes yang sederhana, tidak invasifyang dapat mengindikasi terjadinya SIRS,11 serta berguna untuk memprediksi angka mortalitas pada anak denganpenyakitkritis.12Hingga saat ini di Indonesia penelitan tentang rasio albumin kreainin urin dengan keparahan penyakit maupun

(19)

kematian khususnya pada anak masih sangat terbatas, hal inimenjadilatarbelakangdilakukanpenelitianuntukmengetahuihubunganantara rasio albumin kreatinin urin denganmortalitaspada pasien anak dengan sepsis.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

Apakah terdapat hubungan rasio albumin kreatinin urin dengan mortalitas pada pasien anak dengan sepsis?

1.3 Hipotesis

Terdapat hubungan antara rasio albumin kreatinin urin dengan mortalitas pada pasien anak dengan sepsis.

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan umum

Mengetahui hubungan rasio albumin kreatinin urin dengan mortalitas pada pasien anak dengan sepsis.

1.4.2 Tujuan khususMengetahui hubungan rasio albumin kreatinin urin dengan derajat keparahan penyakit pada pasien anak dengan sepsis.

- Mengetahui hubungan rasio albumin kreatinin urin dengan lama rawatan pada pasien anak dengan sepsis.

(20)

1.5 Manfaat penelitian Di bidang akademik: memberikan gambaran tentang peran

nilai rasio albumin kreatinin urin dalam memprediksi terjadinya luaran pada pasien sepsis.

1. Di bidang pelayanan masyarakat: dengan mengetahui peran rasio albumin kreatinin urin pada pasien sepsis, maka klinisi dapat lebih peka terhadap kemungkinan luaran pasien sepsis tanpa harus melakukan pemeriksaan yang lebih spesifik dan cenderung memerlukan biaya lebih besar. Masyarakat juga lebih terbantu dengan adanya pemeriksaan yang lebih sederhana.

2. Di bidang pengembangan penelitian: memberikan kontribusi ilmiah mengenai peran rasio albumin kreatinin urin pada pasien anak dengan sepsis.

(21)

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1Definisi Sepsis

Sepsis adalah kumpulan gejala inflamasi sistemik (SIRS) yang disebabkan oleh infeksi. Menurut konsensus theAmerican College of Chest Physicians (ACCP) dan theSociety of Critical Care Medicine (SCCM), SIRS adalah suatu keadaan inflamasi

umum, tidak spesifik yang dapat terjadi akibat trauma, luka bakar, infeksi dan lain- lain.13,14

Pada tahun 2005 International Pediatric Sepsis Consensus Conference(IPSCC) membuat batasan SIRS, infeksi, sepsis, sepsis berat dan syok septik. Kriteria SIRS disesuaikan dengan perubahan fisiologis menurut kelompok usia (Tabel 2.1) dengan penambahan kriteria suhu tubuh atau jumlah leukosit abnormal. Definisi sepsis adalah SIRS ditambah dengan infeksi atau terbukti infeksi (Tabel 2.2) sedangkan sepsis berat adalah sepsis dengan disfungsi kardiovaskular atau acute respiratory distress syndrome (ARDS) atau sekurang-kurangnya dua disfungsi sistem organ (Tabel 2.3).15

Tabel 2.1 Pembagian kelompok usia untuk batasan sepsis pada anak15

Kelompok Usia Usia

Bayi Baru lahir Neonatus Bayi Balita

Usia Sekolah Remaja

0-7 7-30 1-12 1-5 6-12 13-18

Hari Hari Bulan Tahun Tahun Tahun

(22)

Tabel 2.2 Definisi SIRS, infeksi, sepsis, severe sepsis, dan syok sepsis15

Pembagian Definisi SIRS

Infeksi

Sepsis

Sepsis berat Syok sepsis

Disfungsi sistem organ multipe

• Terdapat sekurang-kurangnya dua dari empat kriteria, dimana salah satu diantaranya harus suhu tubuh abnormal atau jumlah leukosit yang abnormal :

- Temperatur > 38,5 °C atau < 36 °C (rektum, kantung kemih, oral atau kateter sentral.

- Takikardi : Rerata denyut jantung > 2 SD diatas normal sesuai usia tanpa adanya stimulasi eksternal, obat kronis, atau rangsang nyeri

ATAU

- Adanya kenaikan denyut jantung persisten selama 0.5 sampai 4 jam yang tidak bisa diterangkan penyebabnya

ATAU

- Pada anak usia < 1 tahun, adanya bradikardia persisten (rerata denyut jantung < persentil ke 10 untuk usianya tanpa rangsang vagus, obat ß blocker atau penyakit jantung bawaan) selama 0.5 jam

- Rerata laju napas > 2 SD diatas normal untuk usianya atau kebutuhan akut pemasangan ventilasi mekanis yang tidak berhubungan dengan penyakit neuromuskular atau anastesi umum

- Jumlah leukosit yang meningkat atau menurun untuk usianya (bukan keukopenia sekunder karena kemoterapi) atau adanya neutrofil imatur > 10%

• Tersangka atau terbukti infeksi (dari hasil kultur yang positif, pewarnaan jaringan, atau uji polymerase-chain-reaction)

ATAU

• Sindrom klinik yang dihubungankan dengan kemungkinan yang tinggi untuk terjadinya infeksi.

• Pembuktian adanya infeksi dilihat dari pemeriksaan klinik, pencitraan dan laboratorium yang positif ( misalnya: adanya sel leukosit pada cairan tubuh yang seharusnya steril, terdapatnya tanda perforasi, adanya pneumonia, petekie atau purpura).

• SIRS ditambah tersangka atau terbukti infeksi

• Sepsis yang disertai salah satu hal berikut : - Adanya disfungsi organ kardiovaskular

- Adanya Sindrom distress napas akut ( acute respiratory distress syndrome/ARDS).

- Adanya disfungsi dua organ atau lebih (Kriteria disfungsi organ pada tabel 3).

• Sepsis dengan disfungsi organ kardiovaskular

• Adanya gangguan fungsi organ seperti hemostasis yang tidak dapat dipertahankan tanpa resusitasi

(23)

Tabel 2.3 Kriteria disfungsi organ pada anak15

Organ Variabel Kriteria

Kardiovaskular Tekanan darah sistolik <40 mmHg (bayi)

<50 mmHg (anak-anak)

Frekuensi jantung <50 x/menit atau >220 x/menit (bayi)

<40 x/menit atau >200 x/menit (anak) Henti jantung

pH darah <7.2 dengan PaCO2 normal

Pengobatan Infus kontinu agen inotropik untuk mempertahankan tekanan darah dan atau curah jantung (cardiac output)

Respiratori Frekuensi nafas >90 x/menit (bayi)

>70 x/menit (anak) Analisa gas darah PaCO2 >65 mmHg

PaO2 <40 mmHg (tidak termasuk pasien dengan kelainan jantung)

Lama pemberian ventilasi mekanik

>24 jam pada pasien pasca operasi Rasio PaO2/FiO2 <200, tidak termasuk pasien dengan

kelainan jantung

Ginjal BUN >100 mg/dL

Kreatinin serum >2 mg/dL (tidak ada penyakit ginjal sebelumnya)

Dialisis

Hematologi Hemoglobin < 5 g/dL

Jumlah Leukosit < 3000/mm3 Jumlah trombosit < 20000/mm3

Neurologi Skala Koma Glasgow < 5 Pupil dilatasi tanpa refleks

(24)

Di Indonesia terdapat pedoman nasional pelayanan kedokteran Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) untuk mendiagnosis sepsis sehingga dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas akibat sepsis.16

Berdasarkan pedoman nasional tersebut diagnosis sepsis dapat ditegakkan berdasarkan dua langkah yaitu:16

Langkah pertama berupa identifikasi bukti atau kecurigaan infeksi meliputi:16

1. Predisposisi infeksi seperti faktor genetik, usia, status nutrisi, status imunisasi, riwayat terapi dan komorbiditas (asplenia, penyakit kronis, penyakit bawaan).

2. Tanda atau bukti infeksi yang sedang berlangsung berdasarkan pemeriksaan klinis dan laboratorium. Secara klinis ditandai oleh demam atau hipotermia, atau adanya fokus infeksi. Secara laboratorium digunakan penanda (biomarker) infeksi yaitu pemeriksaan leukosit, trombosit, rasio neutrofil : limfosit, dan pemeriksaan darah tepi), c-reactive protein dan prokalsitonin.

3. Respon inflamasi terdiri dari :

- Demam (suhu inti >38,50C atau suhu aksila >37,50C atau hipotermia (suhu inti <360C)

- Takikardia : rerata denyut jantung diatas normal sesuai usia tanpa terdapat pada stimulus eksternal, obat kronis, dan nyeri, atau peningkatan denyut yang tidak dapat dijelaskan lebih dari 0.5 sampai 4 jam (Tabel 2.4)

- Bradikardia (pada anak <1 tahun) : rerata denyut jantung kurang dari normal sesuai usia tanpa adanya stimulus vagal eksternal, beta blocker, dan

(25)

penyakit jantung bawaan atau penurunan denyut jantung yang tidak dapat dijelakan selama lebih dari 0.5 jam (Tabel2.4).

- Takipneu: rerata frekuensi nafas diatas normal (Tabel2.4).

Tabel 2.4 Denyut jantung dan frekuensi nafas normal sesuai kelompok usia16 Kelompok usia Denyut jantung per menit Ferkuensi nafas per menit

0 - 1 bulan 100 - 190 ≤ 68

>1 bulan - <2 tahun 90 - 180 ≤ 58

2 - 5 tahun ≤ 160 ≤ 44

6 - 12 tahun ≤ 140 ≤ 38

13 - 18 tahun ≤ 130 ≤ 35

Langkah kedua : kecurigaan disfungsi organ/warning sign apabila ditemukan satu dari tiga tanda klinis yaitu penurunan kesadaran (metode Alert, Verbal, Pain, Unrespon (AVPU)), gangguan kardiovaskular (penurunan nadi, perfusi perifer atau rerata tekanan arterial, atau gangguan respirasi (peningkatan atau penurunan usaha nafas/work of breathing ).

Menentukan derajat keparahan penyakit dari pasien dengan penyakit kritis yang dirawat di ruang rawat intensif merupakan hal yang penting.17 Skor Pediatric Logistic Organ Dysfunction (PELOD) merupakan salah satu sistem skoring yang

pertama kali dikenalkan pada tahun 1999 dan telah digunakan untuk mengetahui derajat keparahan dari disfungsi organ pada pasien anak dengan penyakit kritis.

Skor PELOD akan bertambah sejalan dengan peningkatan difungsi dari organ dan keparahan sepsis. Penelitian sebelumnya menunjukan bahwa skor PELOD berhubungan dengan terjadinya disfungsi sistem organ multipel pada pasien sepsis.18 Skor PELOD dikatakan memiliki keterbatasan sehinga diperkenalkan Skor PELOD2 yang merupakan pengembangan dari skor PELOD untuk mengurangi keterbatasan yang ada (Tabel 2.5). Skor PELOD 2 ini menilai lima sistem organ.17

(26)

Tabel 2.5 Skoring pediatric logistic organ dysfunction 216

Disfungsi organ dan variable

Poin berdasarkan tingkat keparahan

0 1 2 3 4 5 6

Neurologi Glosgow coma scale

≥11 5-10 3-4

Papillary raction Keduanya reaktif

Keduanya nonreaktif Kardiovaskular

Laktatemia (mmol/L)

<5.0 5.0-10.9 ≥11.0

Mean arterial pressure (mmHg)

0 - <1 bulan ≥ 46 31 – 45 17 – 30 ≤ 16

1 - 11 bulan ≥ 55 39 – 54 25 – 38 ≤ 24

12 - 23 bulan ≥ 60 44 – 59 31 – 43 ≤ 30

24 - 59 bulan ≥ 62 46 – 61 32 – 44 ≤ 31

60 - 143 bulan ≥ 65 49 – 64 36 – 48 ≤ 35

≥ 144 bulan ≥ 76 52 - 68 38 – 51 ≤ 37

Renal Kreatinin (µmo/L)

0 - <1 bulan ≥ 69 ≥ 70

1 - 11 bulan ≥ 22 ≥ 23

12 - 23 bulan ≥ 34 ≥ 35

24 - 59 bulan ≥ 50 ≥ 51

60 - 143 bulan ≥ 58 ≥ 59

≥ 144 bulan ≥ 92 ≥ 93

Respiratori PaO2 (mmHg)/

FiO2

≥ ≤ ≤ 60

≥ 95

PaCO2 (mmHg) 59 – 94

Ventilasi invasif Tidak Ya

Hematologi Hitung sel darah putih (x 109/L)

>2 ≤ 2

Platelet (x 109/L) ≥ 142 77 - 141 ≤ 76

(27)

2.2 Patofisiologi Sepsis

Secara umum, proses terjadinya SIRS dapat diterangkan berdasarkan tiga mekanisme yaitu : respon proinflamasi, kegagalan kompensasi respon antiinflamasi, dan imunoparalisis yang ketiganya menyebabkan terjadinya pelepasan mediator yang menyebabkan respon inflamasi sistemik.15,19 Secara imunologi tubuh manusia telah dipersiapkan untuk menghadapi berbagai bahaya baik fisis, kimiawi maupun biologis. Patogen yang terdapat dialam mempunyai molekul unik yang tidak dimiliki verterbra yang akan mengaktifkan innate immunity yang berusaha mengeliminasi patogen dengan berbagai sel dan molekul imun yang teraktifasi oleh mediator inflamasi.19

Mediator inflamasi akan memicu pelepasan sitokin, komplemen, platelet activating factor, cyclooxygenase, phospholipase. TNF dan interleukin 1 (IL1)

memicu pelepasan sitokin proinflamasi yang berperan dalam pelepasan nitrogen monoksida. Stimulasi endotel akan memicu ekspresi molekul adhesi seperti Intercellular Adhesion Molecule(ICAM),Vascular Cell Adhesion Molecule (VCAM).14,15

2.3 Disfungsi Sel Endotel pada Sepsis

Sel endotelmerupakan lapisan luar dari pembuluh darah. Endotel pada vaskular memegang peranan penting untuk menjaga suplai darah yang adekuat ke organ vital.20 Endotel terdiri dari sekitar 1011 sel dan memiliki berat sekitar 1 kg dengan luas area meliputi 4000 sampai 7000 m2.21 Selain menjaga suplai ke organ vital, sel endotel juga penting dalam meregulasi tonus vaskular, menjaga sirkulasi nutrisi antara intravaskular dan ekstravaskular serta menjaga fungsi koagulasi. Proses

(28)

inflamasi menyebabkan kerusakan sel endotel, gangguan fungsiserta terjadinya apoptosis yangakhirnya menyebabkan edema subendotel pada daerah yang rusak dan gangguan pada permeabilitas endotel.20

Sel endotel yang mengalami apoptosis akan menginduksi reaksi inflamasi dengan menghasilkan sitokin dan radikal oksigen bebas dan mengaktifkan sistem komplemen. Sitokin seperti IL1 dan TNF α yang dihasilkan oleh sel inflamasi akan mengganggu kerja sel endotel menyebabkan inhibisi trombomodulin, antitrombin III, tissue plasminogen activator dan heparan sulfat sehingga menyebabkan blokade

dari pembentukan plasmin dan fibrinolisis dan mengganggu fungsi koagulasi serta memicu terjadinya kaskade koagulasi eksogenous.20-22 Sel endotel yang terganggu akan menghasilkan faktorVon Willebrant, yang penting untuk adhesi dan aktifasi dari platelet, akibatnya akan terjadi adhesi trombosit dan monosit pada endotel sehingga terbentuk mikrotrombus yang akan mengganggu mikrosirkulasi dari kapiler dan menyebabkan gangguan perfusi pada organ vital (Gambar 2.1).22

Karakteristik utama pada sepsis adalah hilangnya kontrol dari tonus pembuluh darah. Keseimbangan antara vasokontriktor dan vasodilator sangat terganggu. Vasodilator dijumpai lebih dominan terjadi penurunan yang hebat dari resitensi perifer dan sistemik.20,22 Vasodilatasi pada sepsis sangat resisten terhadap vasopresor eksogen seperti epinefrin dan norepinefrin.19

(29)

Gambar 2.1 Endotel pada keadaan normal (A) dan sepsis (B)22

Pada keadaan sepsis fungsi regulasi permeabilitas vaskular oleh endotel sangat buruk. Berbagai mediator inflamasi menyebabkan perubahan dari sitoskeleton sel endotel dan juga peningkatan dari kalsium intraselular sehingga terjadi gangguan pertahanan sel endotel serta ekstravasasi cairan dan protein dalam ruang intertisial yang dikenal dengan kebocoran kapiler.22

2.4 Albuminuria dan Rasio Albumin Kreatinin Urin

Albuminuria merupakan suatu keadaan dijumpai albumin dalam urin.Albumin dalam urin merupakan fraksi dari protein yang dapat dijumpai pada orang normal namun dalam jumlah yang berlebih dalam keadaan tertentu.23 Pengukuran kadar albumin dalam urin semakin banyak diteliti pada beberapa dekade terakhir terutama pada pasien anak. Hal ini disebabkan ditemukannya hubungan mikroalbuminuria dengan penyakit kardiovaskular dan beberapa keadaan lain seperti obesitas dan diabetes

(30)

pada pasien dewasa. Albuminuria diduga disebabkan oleh gangguan keadaan dan fungsi dari endotel.23Sebelumnya kehadiran albumin dalam urin di sebut mikroalbuminuria.8 Kadar albumin dalam urin dapat dijumpai bervariasi dari normal, mikroalbuminuria dan makroalbuminuria. Namun, sebutan normoalbuminuria, mikroalbuminuria dan makroalbuminuria merupakan terminologi lama yang oleh Kidney Disease Improving Global Outcome, telah dibuat terminologi baru menjadi 3

kategori berupa kategori 1 normal to mildly increased albuminuria, kategori 2 moderatly increased albuminuria dan kategori 3 severely increased albuminuria(Tabel 2. 6).9Hingga saat ini belum ada kesepakatan nilai normal untuk albumin yang dieksresikan melalui urin pada anak dan remaja karena masih terbatasnya studi pada anak.23

Tabel 2.6 Pembagian dan nilai albumiuria23

Terminologi lama Normoalbuminuria Mikroalbuminuria Makroalbuminuria Terminologi

KDIGO

Normaly to mildly increased

albuminuria

(Kategori 1 atau A1)

Moderately increased albuminuria

(Kategori 2 atau A2)

Severely increased albuminuria

(Kategori 3 atau A3)

Rasio albumin kreatinin urin

< 30 mg/gram Atau

<3 mg/mmol

30 - 300 mg/gram Atau

3-30 mg/mmol

>300 mg/gram Atau

>30 mg/mmol Penampungan 24

jam

<30 mg/hari 30-300 mg/hari >300 mg/hari

Peningkatan dari ekskresi albumin pada urin merupakan hasil dari peningkatan permeabilitas pembuluh darah pada glomerulus ginjal yang berhubungan dengan kerusakan endotel.8Rasio albumin kreatinin urin mungkin

(31)

merupakan suatu penanda dari disfungsi endotel yang disebabkan oleh inflamasi sistemik dimana dengan pengurangan dari inflamasi akan menurunkan kadar rasio albumin kreatinin urin.24

Albuminuria secara cepat dijumpai setelah serangan inflamasi akut seperti pada sepsis dan menetap pada pasien dengan komplikasi. Oleh karena itu mikroalbuminuria sering dijumpai pada pasien dengan penyakit kritis. Penelitian menunjukkan mikroalbuminuria dapat digunakan sebagai prediksi gagal organ dan kebutuhan vasopressor dan dikatakan lebih baik dibanding APACHE II sebagai penanda mortalitas.25

Tidak seperti kapiler lain, kapiler pada glomerulus mempunyai permeabilitas yang tinggi terhadap air dan relatif permeabel terhadap makromolekul. Proses regulasi permeabilitas vaskular dilakukan oleh Glomerular Filtration Barrier yang terdiri daritiga lapisan pada yaitu :glikokaliks, membran basal glomerulus dan podosit (Gambar 2.2).26

Gambar 2.2 Lapisan Glomerular Filtration Barrier26 Glikokaliks

Endotel glomerulus

Membran basal glomerulus Kaki podosit dan

diafragma celah (merah)

Badan podosit

(32)

2.5Peningkatan Rasio Albumin Kreatinin Urin pada Pasien Sepsis

Patofisiologi penyebab terjadinya mikroalbuminuria masih belum diketahui secara pasti, namun dijumpai adanya keterlibatan glomerulus dan tubulus. Pada keadaan inflamasi akut peningkatan rasio albumin kreatinin urin diduga disebabkan oleh kebocoran endotel glomelurus pada ginjal yang merupakan manifestasi peningkatan permeabilitas kapiler sistemik akibat dari inflamasi yang terus menerus pada endotel. Selain itu diduga inflamasi menyebabkan defek pada lapisan glikokaliks pada endotel yang menyebabkan mikroalbuminuria pada sepsis. Glikokaliks pada kapiler glomerulus fenestrated berfungsi sebagai barrier permeabilitas protein, akibat degradasi dari lapisan ini menyebabkan peningkatan albumin yang melewati glomerulus.6

Celah antara sel endotel yang satu dengan yang lain disebut celah endotel (endothelial cleft/ETC).27Pada glomerulus ginjal, permeabilitas vaskular diregulasi oleh struktur yang kompleks yang dikenal dengan glomerular filtration barrier(GFB).

GFB ini mempertahankan integritas terhadap albumin dan high weight endogenous molecules pada urin. Peran glomerular filtration barrier sebagai membaran

semipermiabel dilakukan oleh glikokaliks, glikoprotein, proteoglikans dan komponen terlarut (Gambar 2.3). Glikokaliks merupakan bagian terluar dari lapisan luminal sel endotel dan lapisan podosit dari glomerular filtration barrier.28 Pada keadaan sehat, glikokaliks berperan penting dalam menjaga homeostasis pada dinding pembuluh darah, mempertahankan lapisan antikoagulan serta mencegah perlekatan trombosit serta berinteraksi dengan faktor koagulasi yang tergantung pada vitamik K.22Glikokaliks mempunyai beberapa komponen penting yaitu salic acids, heparan sulfat dan hyaluronan.Salic acid merespon terhadap stabilitas membran dan

(33)

memodulasi beberapa fenomena baik intraseluler maupun ekstraseluler. Heparan sulfat merupakan kofaktor dari antitrombin III berpartisipasi memelihara keutuhan struktur dari glikokaliks. Sedangkan kehilangan dari hyaluronan berhubungan dengan keadaan patologis yang ditandai dengan peningkatan permeabilitas vaskular.29

Gambar 2.3 Stuktur Glikokaliks.29

Inflamasi lokal maupun sistemik akan menyebabkan kerusakan struktur dan fisiologi dari glikokaliks yang menyebabkan kerusakan endotel. Kerusakan glikokaliks berhubungan dengan peningkatan permeabilitas paraseluler dan perpindahan albumin atau cairan ke ruang interstisial melalui celah endotel.26,27 Akibat kerusakan glikokaliks menyebabkan hilangnya tonus vaskular, degradasi dari heparan sulfat dan peningkatan ekspresi molekul adhesi disertai peningkatan leukosit dan kehilangan dari antioksidan yang akan memperparah kerusakan

(34)

endotel.Kerusakan pada ginjal yang terjadi selama sepsis dianggap karena gangguan perfusi yang menyebabkan perubahan pada struktur GFB (Gambar 2.4).27

Gambar 2.4 Glikokaliks pada endotel normal dan disfungsi endotel.27

Respon inflamasi pada pasien dengan penyakit kritis berhubungan dengan kerusakan endotel yang menyebabkan terjadinya albuminuria. Derajat dari albuminuria dapat dinilai dengan mengukur rasio albumin kreatinin urine.Peningkatan dari rasio albumin kreatinin urine sejalan dengan derajat keparahan dari inflamasi dan berhubungan dengan tingkat gagal organ.28

Saat ini, terdapat beberapa penelitian yang menganalisis hubungan antara sepsis dan mikroalbuminiuria.28 Penelitian di Belgia tahun 2001 melaporkan bahwa mikroalbuminuria berguna untuk mengindentifikasi pasien dengan kemungkinan gagal ginjal akut dan gagal organ multiple pada pasien dewasa yang dirawat di

(35)

perawatan intensif.30 Penelitian di India tahun 2014 yang membandingkan nilai mikroalbuminuria pada pasien sepsis dengan tidak sepsis mendapati nilai mikroalbuminuria yang lebih tinggi pada pasien sepsis serta dijumpai penurunan nilai pada pasien yang selamat dalam 24 jam sehingga nilai mikroalbuminuria dapat dijadikan sebagai penandaprognostik.31 Penelitian di Jerman tahun 2010 dengan dijumpainya peningkatan kadar mikroalbuminuria dalam 24 jam pertama pada pasein yang tidak selamat.6

Penelitian di Kairo menjumpai penggunaan rasio albumin kreatinin merupakan suatu pemeriksaan yang mudah, cepat dan simple yang memiliki nilai prognostic pada pasien sepsis setelah operasi serta berguna sebagai prediktor keparahan penyakit, hasil luaran dari sepsis dan tingkat kematian.32 Penelitian lain di Belanda menjumpai peningkatan dari rasio albumin kreatinin urin pada hari pertama pada pasien yang dengan penyakit kritis di rawat di intensive care unit.25

Pada pasien dewasa mikroalbuminuria telah banyak diteliti dan berguna sebagai prediktor mortalitas pada pasien di ICU serta menilai derajat keparahan penyakit pada pasien dewasa, namun hubungan mirkoalbuminuria dengan mortalitas pada anak dengan sepsis masih sedikit diteliti.33

(36)

2.6 Kerangka konseptual

Gambar 2.5 Kerangka konseptual penelitian

: Yang diteliti Ket:

Kematian

: yang di teliti = Yang diteliti

(37)

BAB 3. METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan suatu penelitian observasional dengan desain potong lintang untuk menilai hubungan antara rasio albumin kreatinin urin dengan mortalitas pada anak sepsis.

3.2 Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan dan Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus 2017 sampai Oktober 2017.

3.3 Populasi dan Sampel

Populasi target pada penelitian ini adalah anak usia 1 bulan sampai 18 tahun dengan sepsis. Populasi terjangkau penelitian ini adalah pasien anak usia 1 bulan sampai 18 tahun dengan sepsis yang dirawat selama bulan Agustus 2017 sampai Oktober 2017 di rumah sakit tempat penelitian . Sampel pada penelitian ini adalah bagian dari populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang dipilih secara consecutive sampling.

(38)

3.4 Metode Pengumpulan Data

Data demografi subjek penelitian dikumpulkan melalui wawancara langsung dengan orang tua atau wali pasien menggunakan alat bantu daftar isian mengenai data pribadi, data orang tua, riwayat penyakit terdahulu dan riwayat pengobatan yang pernah dijalani. Penilaian derajat keparahan penyakit dengan skoring Pediatric Logistic Organ Disfunction 2 (PELOD 2) dilakukan secara langsung oleh peneliti

dibantu oleh peserta program pendidikan dokter spesialis anak yang bertugas di rumah sakit selama periode penelitian. Pencatatan berat badan (BB), panjang badan (PB) atau tinggi badan (TB), status gizi, parameter laboratorium (nilai Hb, leukosit, rasio neutrofil limfosit, CRP kualitatif, prokalsitonin, laktat arteri, kultur darah) serta rasio albumin kreatinin urin yang tersedia dilakukan secara langsung oleh peneliti. Keluaran berupa kematian dan lama rawatan pada subjek diikuti oleh peneliti.

3.5 Perkiraan Besar Sampel

Penghitungan besar sampel pada penelitian ini dihitung berdasarkan rumus besar sampel untuk uji hipotesis dengan satu kelompok (dua sisi).Besar sampel dalam penelitian ini menggunakan derajat kepercayaan (IK)95% danpower sebesar 80%.

Besar sampel minimal dapat dihitung dengan menggunakan rumus:34

𝑛𝑛 = �𝑍𝑍1−𝛼𝛼/2�𝑃𝑃𝑃𝑃(1 − 𝑃𝑃𝑃𝑃) + 𝑍𝑍1−𝛽𝛽�𝑃𝑃𝑃𝑃(1 − 𝑃𝑃𝑃𝑃)�2 (𝑃𝑃𝑃𝑃 − 𝑃𝑃𝑃𝑃)2

(39)

Keterangan :

n : Besar sampel

P0 : Proporsi kematian pada peningkatan rasio albumin kreatinin urin

padaanak dengan sepsis. 0,5035

Pa : Perkiraan kematian pada peningkatan rasio albumin kreatinin

urin pada anak dengan sepsis ditetapkan nilai 0,30

Pa-P0 : Clinical judgement, ditetapkan 0,2

Z1-α/2 : Nilai deviat baku normal pada α 5% = 1,96

Z1-β : Nilai deviat baku pada β 20% = 0,842

Power : 1 – β = 80%

Dengan menggunakan rumus di atas diperoleh besar sampel minimal adalah 47 orang.

3.6 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

3.6.1 Kriteria Inklusi

Pasien anak berusia 1 bulan sampai 18 tahun dengan sepsis

3.6.2 Kriteria Eksklusi

(40)

a. Pasien dengan riwayat penyakit diabetes melitus b. Pasien dengan riwayat hipertensi

c. Pasien dengan riwayat penyakit ginjal

3.7Persetujuan Setelah Penjelasan (Informed consent)

Semua sampel penelitian akan diminta persetujuan dari orang tua atau perwakilan orang tua setelah dilakukan penjelasan terlebih dahulu.

3.8 Etika Penelitian

Penelitian ini dilakukan setelah mendapat persetujuan dari Komite Etik Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

3.9Cara Kerja

1. Subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi akan dimintai persetujuan dari orang tua untuk mengikuti penelitian setelah diberikan penjelasan dan menandatangani lembar PSP oleh peneliti.

2. Data dasar pasien diperoleh dari rekam medis pasien tentang penyakit primer, BB, TB, status gizi, kemudian peneliti akan melakukan wawancara dengan orang tua pasien mengenai riwayat penyakit terdahulu dan riwayat pengobatan yang pernah dijalani.

3. Pengambilan darah untuk pemeriksaan laboratoium dipatologi klinik dan mikrobiologi akan di lakukan oleh petugas. Data yang diperoleh berupa Hb, leukosit, trombosit, analisa gas darah, fungsi ginjal, laktat arteri, CRP,

(41)

prokalsitonin dan kultur darah. Pemeriksaan rasio albumin kreatinin urin dilakukan untuk mengetahui albuminuria. Peneliti juga akan mencatat skor PELOD-2 pada pasien yang memenuhi kriteria inklusi.

4. Kemudian seluruh pasien yang termasuk sampel penelitian diikuti selama dirawat apakah terjadi kematian (mortalitas).

7. Data dimasukkan dalam tabel, kemudian dianalisis lebih lanjut terhadap hasil penelitian dan dilakukan penyusunan serta penggandaan laporan hasil penelitian.

3.10 Alur Penelitian 3.11

Gambar 3.1 Alur Penelitian Informed consent Pasien sepsis yang

memenuhi kriteria inklusi

Rasio albumin kreatinin Urine

- Mortalitas - Lama Rawatan - Skor PELOD 2

<30 mg/gr 30-300 mg/gr >300 mg/gr

(42)

3.11 Identifikasi Variabel

Variabel Bebas Skala Ukur

Rasio Albumin Kreatinine Urin Ordinal

Variabel Tergantung Skala Ukur

Mortalitas Nominal

Lama rawatan Rasio

Skor PELOD 2 Rasio

3.12 Definisi Operasional

1. Sepsis adalah disfungsi organ yang mengancam kehidupan yang disebabkan oleh disregulasi imun terhadap infeksi.19 Dikatakan sepsis apabila ditemukan kecurigaan atau terbukti infeksi dan kecurigaan disfungsi organ.

- Kecurigaan infeksi didasarkan pada pemeriksaan klinis dan laboratorium. Secara klinis yang ditandai oleh demam atau hipotermia, atau adanya fokus infeksi dan secara laboratorium digunakan penanda (biomarker) infeksi yaitu pemeriksaan leukosit, trombosit, rasio neutrofil:

limfosit, dan pemeriksaan darah tepi, c-reactive protein dan prokalsitonin sesuai dengan ketersediaan fasilitas pelayanan di rumah sakit.

- Pemeriksaankultur darah positif atau dijumpai bakteri pada pewarnaan gram menandakan terbukti infeksi.

(43)

- Kecurigaan disfungsi apabila dijumpai salah satu dari tiga tanda klinis yaitu: penurunan kesadaran (Metode AVPU), gangguan kardiovaskular (penurunan kualitas nadi, perfusi perifer, atau rerata arterial) atau gangguan respirasi (peningkatan atau penurunan work of breathing, sianosis).

2. Rasio albumin kreatinin urin diukur dengan menggunakan alat merk Siemens tipe ADVIA 1800, buatan Amerika Serikat yaitu:

- Albumin urin diukur dengan menggunakan kit Microlbumin_2 prinsip metode pemeriksaan berupa Polyethylene glycol (PEG) enhanced immunoturbidimetric assay

- Kreatinin urin diukur dengan menggunakan kit Enzymatic Creatinine_2 (ECRE_2), prinsip metode pemeriksaan berupa kreatinase.

Hasil ukur berupa data kategorik dengan skala ordinal, yaitu:10

• < 30 mg/gr sebagai ACR kategori 1

• 30 sampai 300 mg/gr sebagai ACR katergori 2

• > 300 mg/gr sebagai ACR kategori 3

3. Darah Lengkap adalah panel pemeriksaan laboratorium yang memberikan nilai parameter hemoglobin, hematokrit, leukosit, trombosit, eritrosit, indeks eritrosit, dan hitung jenis leukosit.

4. Skoring Pediatric Logistic Organ Dysfunction 2 (PELOD 2) adalah skoring untuk menentukan terjadinya disfungsi organ yang terjadi pada anak(Tabel2.5). Hasil pengukuran berupa skala rasio.

5. Usia dihitung dalam bulan, dihitung sejak tanggal lahir pasien hingga tanggal datang kerumah sakit.

(44)

6. Tinggi badan diukur dengan alat ukur terbuat dari alat pengukur/ meteran pada posisi tidur telentang untuk anak di atas 2 tahun dan dengan infantometer bila di bawah 2 tahun.

7. Riwayat diabetes melitus adalah pasien yang sudah pernah di diagnosis diabetes melitus oleh dokter anak.

8. Riwayat hipertensi adalah pasien yang sudah pernah di diagnosis hipertensi oleh dokter anak.

9. Riwayat penyakit ginjal adalah pasien yang sudah pernah di diagnosis penyakit ginjal oleh dokter anak.

10. Mortalitas adalah pasien meninggal selama dilakukan pemantauan di ruang rawat yaitu berhentinya seluruh aktivitas dan fungsi kehidupan secara permanen pada suatu organisme. Hasil pengukuran berupa skala nominal.

11. Lama rawatan adalah waktu pasien mulai masuk ruang rawat di rumah sakit hingga keluar dalam keadaan hidup atau meninggal (hari). Hasil pengukuran berupa skala rasio.

3.13 Pengolahan dan Analisis Data

Data yang terkumpul diolah, dianalisis dan disajikan dengan menggunakan sistem komputer dengan tingkat kemaknaan P < 0.05. Analisis univariat dilakukan untuk menilai median (range with) lama rawat dan skor PELOD-2 serta rerata (±SD) dari nilai rasio albumin kreatinin urin yang disajikan dalam bentuk tabel. Analisis bivariat dilakukan untuk menilai hubungan rasio albumin kreatinin urin dengan mortalitas, lama rawat dan skor PELOD- 2. Uji statistik yang digunakan dalam menilai hubungan rasio albumin kreatinin urin dengan kematian adalah uji Chi

(45)

Square.Untuk melihat besarnya risiko dilihat dari nilai rasio prevalens dengan

menggunakan regresi Poisson. Analisis hubungan rasio albumin kreatinin urin dengan skor PELOD-2 dan lama rawat dilakukan dengan uji Kruskal-Wallis. Untuk melihat normalitas dari usia, skor PELOD-2 dan lama rawatan dilakukan dengan uji Kolmogorov-Smirnov.

(46)

BAB 4. HASIL PENELITIAN

Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUP HAM) dan Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara (RS USU), Medan, Sumatera Utara sejak bulan Agustus 2017 sampai Oktober 2017. Dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pada anak 1 bulan – 18 tahun yang berjumlah 167 anak pada RSUP HAM dan 52 anak pada RS USU. Dari total 219 anak, didapati jumlah anak didiagnosis sepsis sebanyak 57 anak pada RSUP HAM dan 12 anak pada RS USU. Dua anak dari RSUP HAM dieksklusikan karena memiliki riwayat menderita diabetes mellitus, tujuh anak menderita riwayat penyakit ginjal. Sembilan anak tidak mendapat persetujuan dari orang tua untuk mengikuti penelitian.

Dari 51 sampel penelitian dijumpai lebih banyak anak laki-laki dengan jumlah 34 orang. Sampel yang meninggal dijumpai sebanyak 37 orang. Untuk data distribusi karakteristik sampel penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.1.

(47)

Tabel 4.1 Distribusi karakteristik sampel penelitian

Karakteristik n

Jenis kelamin Laki-laki Perempuan

34 (66.7%) 17 (33.3%) Status Gizi

Baik Kurang Buruk Kematian Hidup Meninggal

Rasio Albumin Kreatinin Urin Kategori 1

Kategori 2 Kategori 3

Kategori 1 (Mean ± SD) Kategori 2 (Mean ± SD) Kategori 3 (Mean ± SD) 27 (52.9%) 21 (41.2%) 3 (5.9%) 14 (27.5%) 37 (72.5%) 7 (13.7%) 23 (45.1%) 21 (41.2%) 16.33 ± 11.7 174.5 ± 95.7 1097.64 ± 815.05 Usia

1 – 11 bulan 12 – 23 bulan 24 – 59 bulan 60 – 143 bulan ≥ 144 bulan

Skor PELOD-2 [Med(Min-Max)]

Lama Rawat [Med(Min-Max)]

10 (19.6%) 9 (17.6%) 11 (21.6%) 10 (19.6%) 11 (21.6%) 8.75(1 – 20) 7.29 (0 – 40)

Untuk melihat hubungan rasio albumin kreatinin urin dengan mortalitas pada pasien anak dengan sepsis dilakukan uji Chi-Square yang dapat dilihat pada Tabel 4.2

(48)

Tabel 4.2 Hubungan antara rasio albumin kreatinin urin dengan mortalitas pada pasien anak dengan sepsis

Hidup n (%)

Meninggal n (%)

P

Kategori 1 Kategori 2 Kategori 3

6 (42.9) 8 (57.1) 0 (0)

1 (2.7) 15 (40.5) 21 (56.8)

<0.001

Berdasarkan analisis Chi-Squaredidapatkan hasil yang signifikan antara rasio albumin kreatinin urin dengan kematian pada pasien anak dengan sepsis.

Untuk melihat hubungan antara rasio albumin kreatinin urin kategori 1, kategori 2 dan kategori 3 dengan kematian pada pasien anak dengan sepsis dapat dilihat pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3 Hubungan rasio albumin kreatinin urin kategori 2 dengan kematian

Hidup n (%)

Meninggal n (%)

P PR IK 95%

Kategori 3 Kategori 2 Kategori 1

0 (0) 8 (57.1) 6 (42.9)

21 (56.8) 15 (40.5) 1 (2.7)

< 0.001 0.010

-

4.575 2.997 1

2.008 – 10.421 1.299 – 6.898

-

Berdasarkan analisis dijumpai bahwa rasio albumin kreatin urin kategori 3 memiliki risiko 4.575 kali untuk mengalami kematian dibandingkan kategori 1. Sedangkan kategori 2 kemungkinan 2.997 kali untuk mengalami kematian dibanding kategori 1.

Dari hasil uji normalitas data skor PELOD-2 dan lama rawat diketahui data tidak berdistribusi normal, sehingga untuk melihat hubungan rasio albumin kreatinin urin dengan skor PELOD-2 dan lama rawat dilakukan dengan uji Kruskall Wallis yang dapat dilihat pada Tabel 4.4 dan Tabel 4.5.

(49)

Tabel 4.4 Hubungan rasio albumin kreatinin urin dengan skor PELOD 2

Rasio albumin kreatinin urin

n Skor PELOD-2 Median (min - max)

P

Kategori 1 Kategori 2 Kategori 3

7 23 21

5 (1-8) 8 (6-12) 9 (6-20)

<0.001

Berdasarkan analisis Kruskal-Wallis didapati hubungan yang signifikan antara rasio albumin kreatinin urin dengan skor PELOD-2 dengan P <0.05.

Tabel 4.5 Hubungan rasio albumin kreatinin urin dengan lama rawat

Rasio albumin kreatinin urin

n Lama rawat, median (min – max)

P

Kategori 1 Kategori 2 Kategori 3

7 23 21

7 (1-24) 6 (1-20) 3 (0-40)

0.039

Berdasarkan analisis Kruskal-Wallis didapati hubungan yang signifikan antara rasio albumin kreatinin urin dengan lama rawatdengan P <0.05.

(50)

BAB 5. PEMBAHASAN

Sepsis hingga saat ini masih menjadi penyebab kematian dan kesakitan pada perawatan penyakit kritis. Karakteristik dari sepsis berupa inflamasi sistemik yang tidak terkontrol serta terjadinya peningkatan permeabilitas vaskular akibat inflamasi.

Peningkatan cepat dari nilai rasio albumin kreatinin urin dijumpai setelah inflamasi akut dan menunjukkan adanya hubungan dengan luaran penyakit termasuk sepsis.35 Beberapa penelitian sebelumnya terutama pada dewasa menyatakan bahwa terjadi peningkatan dari rasio albumin kreatinin urin pada pasien dengan sepsis. Namun penelitian pada anak masih sangat terbatas, penelitian yang menilai hubungan rasio albumin kreatinin urin pada anak dengan derajat keparahan penyakit berdasarkan skor PELOD 2 belum pernah dipublikasi.

Penelitian sebelumnya masih banyak menggunakan isitilah mikroalbuminuria. Namun berdasarkan terminologi dari KDIGO maka istilah normoalbuminuria, mikroalbuminuria dan makroalbuminuria diubah menjadi kategori 1, 2 dan 3.

9

Pada beberapa penelitian yang telah ada menyatakan bahwa mikroalbuminuria merupakan pemeriksaan yang sederhana, tidak invasif dan tidak mahal untuk penanda kematian.

36

Penelitian ini didapati proporsi rasio albumin kreatinin urin kategori 3 sebesar 41.2% dan kategori 2 sebesar 45.1%. Berbeda dengan penelitian di Tukri pada pasien anak yang dirawat diruang rawat intensif porporsi pasien dengan mikroalbuminuria sebesar 64%.33 Perbedaan ini mungkin disebabkan perbedaan dari derajat keparahan dari penyakit.

(51)

Pada penelitian ini dijumpai kematian pasien dengan rasio albumin urin kategori 2 kematian 40.5%. Hal ini tidak jauh berbeda dengan penelitaan lain yang menjumpai nilai kematian pada pasien dengan rasio albumin kreatinin urin kategori 2 sebesar 47%.

33

Hasil ini menunjukkan bahwa cedera sel endotel akut yang paling berat dijumpai pada pasien dengan sepsis dan peningkatan cedera sel endotel ini dapat memprediksi meningkatnya kematian pada pasien penyakit kritis.

Hasil uji statistik menjumpai adanya hubungan yang signifikan antara nilai rasio albumin kreatinin urin dan kematian. Dengan demikian pasien dengan nilai rasio albumin kreatinin urin meningkat memiliki luaran kematian yang lebih besar.

Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya dimana dijumpai adanya hubungan signifikan antara peningkatan nilai rasio albumin kreatinin urin dengan penggunaan inotropik, gagal organ dan kematian.33 Penelitian lain pada pasien dewasa di ICU di United Kingdom tahun 2000 menjumpai terdapat perbedaan yang signifikan nilai

ACR antara pasien meninggal dengan pasien yang hidup yang dapat dijadikan sebagai penanda dari gagal organ serta menilai risiko dari kematian.37 Penelitian di India tahun 2015 mendapatkan bahwa pada nilai ACR yang tinggi dijumpai juga skor APACHE, derajat keparahan penyakit dan tingkat kematian yang tinggi.38

Semakin banyak atau besar kadar albumin di dalam urin dikatakan bahwa kerusakan endotel semakin berat yang akan meningkatkan risiko kematian. Pada penelitian ini dilakukan analisis risiko terjadinya kematian pada pasien dengan peningkatan rasio albumin kreatinin urin, dimana pada pasien dengan rasio albumin kreatinin urin kategori 3 memiliki risiko 4.575 kali untuk mengalami kematian

(52)

dibanding kategori 1 sedangkan untuk kategori 2 kemungkinan 2.997 kali untuk mengalami kematian dibanding kategori 1. Sedikit berbeda dengan penelitian di Amerika tahun 2003, mendapatkan kematian pada pasien dengan ACR > 100 mg/g pada pasien dirawat di ICU dewasa 2.7 kali lebih besar untuk mengalami kematian dibanding pasien dengan ACR <100 mg/g.39 Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh karena perbedaan pembagian nilai kategori dari rasio albumin kreatinin urin.

Pada pasien dengan penyakit kritis, pemeriksaan mikroalbuminuria selain dapat berfungsi sebagai penanda permeabilitas vaskular dan sebagai penanda prognostik dapat juga digunakan untuk memprediksi tingkat keparahan dari penyakit.40 Pada penelitian ini dijumpai adanya hubungan yang signifikan secara statistik antara terjadinya peningkatan rasio albumin kreatinin urin dengan derajat keparahan skor PELOD2. Penelitian dewasa di India mendapatkan korelasi yang signifikan antara nilai APACHE II dan SOFA dengan mikroalbuminuria dan juga didapatkan peningkatan nilai rerata mikroalbuminuria pada pasien yang meninggal.41 Penelitian lain di India mendapatkan hubungan yang signifikan antara nilai ACR pada awal masuk ruang rawat intensif dengan nilai APACHE.37

Mikroalbuminuria terjadi akibat dari disfungsi endotel akibat efek dari sitokin dan mediator inflamasi lain selama terjadinya inflamasi yang menyebabkan ganggaun permeabilitas dari endotel vaskular. Derajat dari kadar albumin dalam urin tergantung dari respon inflamasi dan berhubungan dengan derajat keparahan penyakit dan lama rawat. Pada penelitian ini dijumpai lama rerata rawatan adalah 7 hari. Hal ini tidak jauh berbeda pada penelitian pada anak di Turki dimana rerata lama rawatan adalah 6 hari.33 PadapPenelitian ini dijumpai hubungan yang positif antara nilai rasio albumin kreatinin urin dengan lama rawatan. Sama halnya pada

(53)

penelitan pasien dewasa di Inggris dimana hubungan antara nilai rasio albumin kreatinin urin dengan lama rawatan menunjukkan hubungannya dengan tingkat keparahan penyakit.42

Perubahan nilai albuminuria dapat berubah sesuai dengan inflamasi yang terjadi. Nilai rasio albumin kreatinin urin akan menurun bila inflamasi berkurang dan akan menetap atau meningkat bila inflamasi bertambah.33Akan tetapi pada penelitian ini perubahan dari nilai rasio albumin kreatinin urin tidak dapat dinilai karena pemeriksaan nilai rasio albumin kreatinin urin dilakukan satu kali pada saat pasien masuk (24 jam pertama).

Variasi penyakit dan derajat keparahan penyakit pada penelitian ini sangat luas yang menghasilkan data yang cukup lebar, tetapi hal ini juga merupakan kelebihan dari penelitian ini oleh karena sesuai dengan praktek klinis sehari-hari.

Selain itu penelitian tentang rasio albumin kreatinin urin pada sepsis umumnya pada dewasa, penelitian pada anak masih sangat terbatas dan penelitian dengan derajat keparahan skoring PELOD-2 belum pernah dipublikasi sehingga hal ini mungkin dapat menjadi rujukan penggunaan rasio albumin kreatinin urin pada pasien anak dengan sepsis untuk memprediksi luaran dan tingkat keparahan. Seperti yang mana di ketahui nilai rasio albumin kreatinin urin merupakan pemeriksaan kuantitatif terhadap respon inflamasi akut yang sederhana, tidak mahal dan dapat diandalkan untuk memprediksi luaran dan derajat keparahan.

(54)

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 KESIMPULAN

1. Semakin tinggi nilai rasio albumin kreatinin semakin besar risiko mengalami kematian.

2. Rasio albumin kreatinin urin juga memiliki hubungan yang bermakna secara satistik dengan tingkat keparahan penyakit (skor PELOD-2) dan lama rawat.

6.2 SARAN

1. Dapat dianjurkan untuk pemeriksaan rasio albumin kreatinin urin pada pasien yang didiagnosis sepsis untuk mengambarkan tingkat keparahan penyakit dan memprediksi luaran terlebih pada keadaan skor PELOD-2 atau yang skoring derajat keparahan lain tidak dapat diperoleh.

2. Penelitian lebih lanjut dengan melakukan pemeriksaan rasio albumin kreatinin urin lebih dari satu kali untuk dapat melihat perubahan nilai rasio albumin kreatinin urin dan pemantauan terhadap perjalanan penyakit.

3. Penelitian lebih lanjut yang membandingkan rasio albumin kreatinin urin pada anak dengan sepsis dengan gangguan ginjal dan tanpa gangguan ginjal akibat sepsis.

(55)

DAFTAR PUSTAKA

1. Schouten M, Wiersinga W J, Levi M, Poll TV. Inflamation, endothelium, and coagulation in sepsis. J Leukoc Biol. 2008; 8:536-44

2. Sagy M, Al-Qaqaa Y, Kim P. Defenitions and pathopysiology of sepsis. Curr Probl Pediatr Adolesc Health Care. 2013: 260-3

3. Robert SM, Halstead ES, Carcillo JA, Aneja RK. Defenitions, epidemiology and pathophysiology. Open Inflamm J. 2011; 4:16-23

4. Remick DG. Pathophysiology of sepsis. Am J Pathol. 2007; 17(5):1435-43 5. Pierrakos C, Vincent JL. Sepsis biomarker a review. J Crit Care. 2010; 14:1-18 6. Basu S, Bhattacharya M, Chatterjee TK, Chaudhuri S, Todi SK, Majumdar A.

Microalbuminuria: a novel biomarker sepsis. Indian J Crit Care Med. 2010;

14(1):22-28

7. Din AH, Frew Q, Smails ST, Dzwiewulski P. The utility of microalbuminuria measurements in pediatric burn injuries in critical care. J Crit Care. 2014: 1-6 8. Bartz SK, Caldas MC, Tomsa A, Krishnamurthy R, Bacha F. Urine albumin to

creatinine ratio a marker of early endothelial dysfunction in youth. J Clin Endocrinol Metab. 2015; 100(9):3393-9

9. Stephen R, Jolly SE, Nally JV, Navaneetham SD. Albuminuria: when urine predicts kidney and cardiovascular disease. Clev Clin J Med. 2014; 81(1): 41-50 10. Khosla N, Sarafidis PA, Bakris GL. Microalbuminuria. Clin Lab Med. 2006;

26:635-53

11. Emara SS, Aboulwafa AM, Alzaylai AA, Farag MM. Detection of microalbuminuria a simple test for prognosis in severe burns. Burns. 2013

;39:723-8

12. Basu S. Chaudhuri S, Bhattacharyya M, Chatterjee TK, Todi S, Majumdar A.

Microalbuminuria an inexpensive, non invasive bedside tool to predict outcome in critically ill patients. Indian J Clin Biochem. 2010; 25(2):146-52

13. Sepsis dan kegagalan multiple organ. Dalam : Pudjiadi AH, Latief A, Budiwardhan N, editor. Buku ajar pediatri gawat darurat. Jakarta : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2011.h.152-61

14. Wynn J, Cornett TT, Wong HR, Shanley TP, Wheeler DS. The host respone to sepsis and develomental impact. Pediatrics. 2010; 125(5):1031-41

15. Pudjiaji A. Syok septik pediatrik. Dalam: Pardede SO, Djer M, Soesanti F, Ambarsari CG, Soebadi A. Tatalaksana berbagai keadaan gawat darurat pada anak. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK-UI, 2013:p.11-8.

16. Latif A, Chairulfatah A, Alam A, Pudjiadi AH, Malisie RF, Hadinegoro SRS, penyuting. Diagnosis dan tatalaksana sepsis pada anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2016

17. Gulla KM, Sachdev A. illness severity and organ dysfunction scoring in pediatric intensive care unit. Indian J Crit Care Med. 2016; 20:27-35.

(56)

18. Hendra, Runtuwu AL, Manoppo JIC. Pediatric logistic organ dysfunction score as a prognosis of multiple organ failure in sepsis. Paediatr Indones. 2010;

50(4):226-32

19. Plunkett A, Tong J. Sepsis in children. BMJ. 2015:1-12

20. Keller TT, Mairuhu ATA, de kruif MD, Klein SK, Gerdes VEA, Cate, et al.

Infections and endothelial cells. Europace. 2003; 60:40-8

21. Kotsovolis G, Kallaras K. The role of endothelium and endogenous vasoactive substances in sepsis. Hippokratia. 2010; 14(2):88-93

22. Ait-oufella H, Maury E, Leuhox S, Guidet B, Offenstadt G. The endothelium:

physiological functions and role in microcirculatory failure during sepsis.

Intensive Care Med. 2010; 36:1286-98

23. Lezaic V. Albuminuria as a biomarker of the renal disease. in: Patel PB, Preddy V, editor. Biomarkers in kidney disease. Serbia: Business Media Dordrecht.

2015:p.1-18

24. Radhermacger ER, Sinaiko AR. Albuminuria in children.Curr Opin Nephrol Hypertens. 2009; 18:246-51

25. Mattix HJ, Hsu CH, Shaykevich S, Curhan G. Use of the albumin creatinine ratio to detect microalbuminuria implication of sex and race. J Am Soc Nephrol. 2002;

13:1034-9

26. Satchell SC, Tooke JE. What is the mechanism of microalbuminuria in diabetes:

a role for the glomerular endothelium. Diabetologia. 2008; 51:714-25

27. Chelazzi C, villa G, Mancinelli P, De Gaudio AR, Adembri A. Glycocalyx and sepsis induced alterations in vascular permeability. J Crit Care. 2015; 19(26):1-7 28. Adembri C, Sgambati E, Vitali L, Slemi V, Margheri M, Tani A, dkk. Sepsis

induces albuminuria and alterations in the glomerular filration barrier a morphofunctional study in the rat. J Crit Care. 2011; 15(8):1-7

29. Kolarova H, Ambruzova B, sindlerova LS, Klinke A, Kunala L. Modulation of endothelial glycocalyx structure under inflammatory conditions. Mediators inflamm. 2014: 1-17

30. Abid O, Sun Q, Sugimoto K, Mercan D, Vincent JL. Predictive value of the microalbuminuria in medical ICU patients. Chest. 2001; 120(6):1984-8

31. Bhadade RR, deSouza R, Harde MJ, SridharB. Microalbuminuria: a biomarker of sepsis and efficacy of treatment in patients admitted to a medical intensive care unit of a tertiery referral center. J Postgrad Med 2014; 60(2):145-50

32. Seyam SH, Sabra MM, Eissa MM, Abdelmaboud MA, Nooreldin TM.

Microalbuminuria as a prognostic value for post operative patients with risk of sepsis after major abdominal surgery. ZUMJ. 2016; 22(3):123-132

33. Anil AB, Anil M, Yildiz M, Can FK, Bal A, Gokalp G, et.al. The importance of microalbuminuria in predicting patient outcome in a PICU. Pediatr Crit Care Med. 2014; 15(5):220-5

34. Lwanga SK, Lemeshow S. Sampel size in determination in health studies.

Genevea. World Health Organization. 1991.h.1-5

Gambar

Tabel 2.4 Denyut jantung dan frekuensi nafas normal sesuai kelompok usia 16 Kelompok usia  Denyut jantung per menit  Ferkuensi nafas per menit
Gambar 2.1 Endotel pada keadaan normal (A) dan sepsis (B ) 22
Gambar 2.2 Lapisan Glomerular Filtration Barrier 26  Glikokaliks
Gambar 2.3 Stuktur Glikokaliks. 29
+3

Referensi

Dokumen terkait