• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEDOMAN KLIRENS ETIK RISET KIMIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PEDOMAN KLIRENS ETIK RISET KIMIA"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

i JULI 2022

BADAN RISET DAN INOVASI NASIONAL

PEDOMAN

KLIRENS ETIK

RISET KIMIA

(2)

i PEDOMAN KLIRENS ETIK RISET BIDANG KIMIA

Penyusun:

Yenny Meliana

Sri Djangkung Sumbogo Murti Tjandrawati

Noer Laily

Joddy Arya Laksmono Ade Sholeh Hidayat R. Ahmad Fauzantoro Andri Frediansyah Yosi Aristiawan Kurnia Aliyanti Devi Apriana Layout dan editing:

Nur Ichsan Kurnia Aliyanti

Sekretariat Komisi Etik Gedung B.J. Habibie Lantai 8 Jl. M.H. Thamrin No. 8 Jakarta Pusat 10340

Email: [email protected] Website: klirensetik.brin.go.id

DIREKTORAT TATA KELOLA PERIZINAN RISET DAN INOVASI DAN OTORITAS ILMIAH DEPUTI FASILITASI RISET DAN INOVASI

BADAN RISET DAN INOVASI NASIONAL JULI 2022

(3)

ii

KATA PENGANTAR

Pedoman Klirens Etik Riset bidang Kimia ini merupakan penjabaran dari pelaksanaan Peraturan Kepala BRIN Nomor 22 Tahun 2022 tentang Klirens Etik Riset untuk bidang Kimia. Klirens Etik Riset bidang Kimia merupakan instrumen untuk mengukur keberterimaan secara etik dalam riset kimia.

Tujuan utamanya adalah untuk melindungi pelaku riset, subyek riset, serta lingkungan dari bahaya yang dapat timbul sebagai akibat dari riset yang dilakukan.

Pada dasarnya, riset kimia dapat dipertanggungjawabkan apabila telah menerapkan aspek kemanfaatan (beneficience), keselamatan dan keamanan (safety and security), keselamatan bagi manusia yang terlibat dalam riset, dan akuntabilitas (accountability). Riset yang tidak memenuhi standar kode etik dapat berisiko merugikan dan kurang bermanfaat bagi khalayak. Oleh karena itu, kehadiran pedoman ini sangatlah penting sebagai acuan bagi para periset untuk menjaga prinsip – prinsip kode etik dalam melakukan riset.

Implementasi Klirens Etik Riset bidang kimia diharapkan dapat turut memperkuat landasan etik dalam pelaksanaan riset di Indonesia khususnya riset bidang kimia

Yenny Meliana Ketua Komisi Etik Riset Bidang Kimia

(4)

iii DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... ii

PENDAHULUAN ... 1

LATAR BELAKANG ... 1

TUJUAN KLIRENS ETIK RISET BIDANG KIMIA ... 1

RUANG LINGKUP KLIRENS ETIK BIDANG KIMIA ... 3

RISET TERKAIT DENGAN PSIKOTROPIKA ... 3

RISET MENGGUNAKAN SENYAWA YANG TERMASUK DALAM BAHAN KIMIA DAFTAR 1, 2, DAN 3 KONVENSI SENJATA KIMIA (SCHEDULE 1, 2, DAN 3 KONVENSI SENJATA KIMIA) ... 5

RISET TERKAIT DENGAN BAHAN KIMIA BERBAHAYA (BAHAN ALAM ATAU SINTETIS) ... 6

RISET MENGGUNAKAN BAHAN DENGAN KANDUNGAN SENYAWA NON-HALAL DALAM HAL RISET FARMASI, PANGAN, NUTRASETIKAL, DAN KOSMETIK ... 7

RISET MENGGUNAKAN SENYAWA ADITIF BERBAHAYA UNTUK FARMASI, PANGAN, NUTRASETIKAL, DAN KOSMETIK ... 9

RISET MENGGUNAKAN BAHAN KIMIA PEMBENTUK KEMASAN YANG BERBAHAYA UNTUK OBJEK UJI ... 10

RISET YANG MELAKUKAN UJI ORGANOLEPTIK ... 12

RISET MENGGUNAKAN BAHAN BIOPROSES (MELIBATKAN MIKROORGANISME) YANG MEMBAHAYAKAN MANUSIA DAN/ATAU LINGKUNGAN ... 12

RISET YANG MENGHASILKAN HAL BARU BAIK BERUPA SENYAWA, SINTESIS, METODE ATAU PROSESNYA ... 15

MEKANISME PENGAJUAN KLIRENS ETIK RISET BIDANG KIMIA ... 16

PENILAIAN MANDIRI (SELF ASSESSMENT) DAN USULAN KLIRENS ETIK RISET ... 16

PROSES REVIEW KLIRENS ETIK ... 17

KEPUTUSAN KOMISI ETIK ... 17

ALUR DAN WAKTU PENGAJUAN KLIRENS ETIK RISET ... 18

(5)

1

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Riset kimia telah membuat dampak positif yang signifikan pada dunia di sekitar kita. Namun, aspek dari penemuan bermanfaat tersebut juga dapat digunakan atau memiliki potensi untuk tujuan negatif. Dalam kondisi ini, periset atau ilmuwan kimia harus mampu menjadi pendukung dalam penerapan kimia yang aman dan terjamin untuk memberi manfaat bagi umat manusia dan melestarikan lingkungan untuk generasi mendatang, seperti tertuang dalam “Global Chemists’ Code of Ethics” yang disusun oleh The American Chemical Society (ACS) International Activities pada tahun 20161.

Khususnya dalam dunia riset, klirens etik menjadi alat untuk mengukur keberterimaan secara etik suatu rangkaian proses riset yang akan dilakukan. Tujuan utama mendapatkan persetujuan klirens etik pada bidang kimia adalah untuk melindungi pelaku riset, subyek riset, serta lingkungan dari bahaya yang dapat timbul sebagai akibat dari riset yang dilakukan.

Sebagai institusi yang mengawasi dan membina riset di Indonesia, pada tahun 2022 Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menerbitkan Peraturan BRIN Nomor 22 Tahun 2022 tentang Klirens Etik Riset. Dalam rangka mendukung pelaksanaan Klirens Etik Riset dari berbagai bidang ilmu, maka BRIN membentuk Komisi Etik untuk memberikan persetujuan klirens etik dan memastikan proses klirens etik dilaksanakan secara transparan, akuntabel, dan objektif.

TUJUAN KLIRENS ETIK RISET BIDANG KIMIA

Klirens Etik Riset bidang Kimia bertujuan untuk melindungi pelaku riset, subyek riset, serta lingkungan dari bahaya yang dapat timbul sebagai akibat dari riset yang dilakukan. Semua riset bidang Kimia dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip dasar kode etik, yaitu

1. Kemanfaatan (beneficience): kewajiban secara etik untuk memaksimalkan manfaat bagi umat manusia dan meminimalkan ancaman bahaya terhadap manusia dan lingkungan.

Sehingga, rancangan riset harus jelas dan peneliti yang bertanggung jawab harus mempunyai kompetensi yang sesuai dan dapat melindungi pelaku dan subyek riset dari resiko yang tidak diinginkan.

2. Keselamatan dan Keamanan (safety and security). Pelaksana riset harus mendorong aplikasi, penggunaan, dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang

1 The Global Chemists' Code of Ethics,

https://www.acs.org/content/dam/acsorg/global/international/scifreedom/global-chemists-code-of-ethics-fi- 2016.pdf

(6)

2

bermanfaat sambil mendorong dan memelihara budaya keselamatan, kesehatan, dan keamanan yang kuat.

3. Keselamatan bagi manusia yang terlibat dalam riset (security of people involved in scientific research). Dalam riset yang melibatkan manusia sebagai subyek risetnya, periset harus berusaha untuk meminimalkan kerusakan dan risiko serta memaksimalkan manfaat. Periset harus menghormati martabat manusia, privasi, dan otonomi, serta mampu melindungi individu/subyek riset yang memiliki keterbatasan atau kerentanan dari eksploitasi dan bahaya.

4. Akuntabilitas (accountability). Periset memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa bahan kimia, peralatan, dan fasilitas dilindungi dari pencurian dan penyelewengan serta tidak digunakan untuk tujuan ilegal, berbahaya, atau merusak.

Pelaksana riset harus mengetahui undang-undang dan peraturan yang berlaku yang mengatur pembuatan dan penggunaan bahan kimia, dan melakukan tindakan apabila ada penyalahgunaan bahan kimia, pengetahuan ilmiah, peralatan, dan fasilitas

(7)

3

RUANG LINGKUP KLIRENS ETIK BIDANG KIMIA

RISET TERKAIT DENGAN PSIKOTROPIKA

Pembangunan kesehatan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan, dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal, yang dilakukan melalui berbagai upaya kesehatan penyelenggaraan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan tersebut, psikotropika memegang peranan penting. Di samping itu, psikotropika juga digunakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan meliputi penelitian, pengembangan, pendidikan dan pengajaran sehingga ketersediaannya perlu dijamin melalui kegiatan produksi dan impor.

Penyalahgunaan psikotropika dapat mengakibatkan sindroma ketergantungan apabila penggunaannya tidak dibawah pengawasan dan petunjuk tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Hal ini tidak saja merugikan bagi penyalahguna, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi, dan keamanan nasional. Sehingga, hal ini merupakan ancaman bagi kehidupan bangsa dan negara. Penyalahgunaan psikotropika mendorong adanya peredaran gelap, sedangkan peredaran gelap psikotropika menyebabkan meningkatnya penyalahgunaan yang makin

(8)

4

meluas dan berdimensi internasional. Oleh karena itu, diperlukan upaya pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan psikotropika dan upaya pemberantasan peredaran gelap.

Di samping itu, upaya pemberantasan peredaran gelap psikotropika terlebih dalam era globalisasi komunikasi, informasi dan transportasi sekarang ini sangat diperlukan. Dalam hubungan ini dunia internasional telah mengambil langkah-langkah untuk mengawasi psikotropika melalui:

1. Convention on Psychotropic Substances 1971 (Konvensi Psikotropika 1971), dan

2. Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances 1988 (konvensi Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika 1988).

Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoatif melalui pangaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Berdasarkan sindroma ketergantungan, zat psikotropika dapat dibagi menjadi beberapa golongan sebagai berikut:

a. Psikotropika Golongan I;

b. Psikotropika Golongan II;

c. Psikotropika Golongan III;

d. Psikotropika Golongan IV;

Penggolongan ini sejalan dengan Konvensi Psikotropika 1971, sedangkan psikotropika yang tidak termasuk golongan I, golongan II, golongan III, dan golongan IV pengaturannya tunduk pada ketentuan perundang-undangan di bidang obat keras.

Secara terpisah untuk dapat mengetahui perbedaan antara psikotropika dan narkotika, bahwa narkotika berdasarkan Undang Undang (UU) No. 35 Tahun 2009 tentang narkotika didefinisikan sebagai zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.

Sedangkan Prekursor Narkotika adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika yang dibedakan dalam tabel sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.

Berdasarkan Keputusan Kepala BRIN No. 22 Tahun 2022 mengenai prosedur klirens etik bagi riset khususnya yang berkenaan dengan penggunaan bahan baku maupun produk psikotropika, maka para periset dapat memahami serta melaksanakan skrining awal sesuai dengan UU No 5 Tahun 1997 tentang psikotropika. Secara khusus untuk para periset yang menggunakan bahan tersebut mengacu kepada pasal 4 sebagai persyaratan yang harus dipenuhi jika menggunakan bahan baku maupun produk psikotropika. Untuk informasi lain yang diperlukan adalah daftar bahan baku dan produk psikotropika yang tertulis pada list of psychotropics substances under international control

(9)

5

in accordance with the Convention of Psychotropics Substances 1971 yang dikeluarkan oleh International Narcotics Control Board yang merupakan Annex laporan statistika tahun 2019. Selain itu, rujukan yang diperlukan lainnya adalah Farmakope Indonesia Edisi VI Tahun 2020 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Referensi yang dapat dibaca terkait dengan bahan psikotropika adalah sebagai berikut:

1. Convention on Psychotropic Substances 1971

2. List of Psychotropic Substances under International Control,

https://www.incb.org/documents/Psychotropics/forms/greenlist/Green_list_ENG_08673.

pdf

3. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1996 tentang Pengesahan Convention on Psychotropic Substances 1971

4. Undang Undang Republik Indonesia No. 35 Tahun 2009 & Lampiran daftar bahan kimia 5. Undang Undang No. 5 Tahun 1997 & Lampiran daftar bahan kimia

6. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2022 7. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2021

8. Farmakope Indonesia Edisi VI Tahun 2020 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

RISET MENGGUNAKAN SENYAWA YANG TERMASUK DALAM BAHAN KIMIA DAFTAR 1, 2, DAN 3 KONVENSI SENJATA KIMIA (SCHEDULE 1, 2, DAN 3 KONVENSI SENJATA KIMIA)

Senjata kimia adalah senjata yang memanfaatkan sifat racun dari senyawa kimia yang digunakan untuk membunuh, melukai, atau melumpuhkan makhluk hidup. Konvensi Senjata Kimia (The Convention on the Prohibition of the Development, Production, Stockpiling and Use of Chemical Weapons and on their Destruction) menegaskan terkait pelarangan penggunaan senjata bahan kimia baik untuk memproduksi, memiliki, menyimpan, mentransfer, atau menggunakan (memiliki izin khusus untuk menggunakan Bahan Kimia Daftar 1, 2, dan 3 berdasarkan UU No. 9 Tahun 2008).

Kegiatan yang dibatasi dalam penggunaan bahan kimia ini untuk industri, pertanian, penelitian, medis, farmasi, atau tujuan-tujuan damai lainnya (Pasal 7 UU No. 9 Tahun 2008). Oleh karena itu, kegiatan riset yang berhubungan dengan Bahan Kimia Daftar 1, 2, dan 3 perlu untuk dilakukan klirens etiknya. Informasi mengenai daftar senyawa/bahan kimia yang termasuk dalam kategori ini dapat ditemukan pada referensi berikut:

1. Undang Undang Republik Indonesia No. 9 Tahun 2008 tentang Penggunaan Bahan Kimia dan Larangan Penggunaan Bahan Kimia Sebagai Senjata Kimia

2. Convention on the Prohibition of the Development, Production, Stockpiling and Use of Chemical Weapons and on their Destruction,

https://www.opcw.org/sites/default/files/documents/CWC/CWC_en.pdf

(10)

6

RISET TERKAIT DENGAN BAHAN KIMIA BERBAHAYA (BAHAN ALAM ATAU SINTETIS)

Bahan berbahaya adalah bahan kimia baik dalam bentuk tunggal maupun campuran yang dapat membahayakan kesehatan dan lingkungan hidup secara langsung atau tidak langsung yang mempunyai sifat racun, karsinogenik, teratogenik, mutagenik, korosif dan iritasi (Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 472/Menkes/Per/V/1996 tentang Pengamanan Bahan Berbahaya Bagi Kesehatan).

Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 74 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), yang dimaksud dengan Bahan Berbahaya dan Beracun atau disingkat B3 adalah bahan karena sifatnya dan atau konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan atau merusak lingkungan hidup, dan atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya. Sedangkan definisi menurut OSHA (Occupational Safety and Health of the United State Government) B3 adalah bahan yang karena sifat kimia maupun kondisi fisiknya sangat berpotensi menyebabkan gangguan pada kesehatan manusia, kerusakan dan atau pencemaran lingkungan.

1. B3 dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a. mudah meledak (explosive);

b. pengoksidasi (oxidizing);

c. sangat mudah sekali menyala (extremely flammable);

d. sangat mudah menyala (highly flammable);

e. mudah menyala (flammable);

f. amat sangat beracun (extremely toxic);

g. sangat beracun (highly toxic);

h. beracun (moderately toxic);

i. berbahaya (harmful);

j. korosif (corrosive);

k. bersifat iritasi (irritant);

l. berbahaya bagi lingkungan (dangerous to the environment);

m. karsinogenik (carcinogenic);

n. teratogenik (teratogenic);

o. mutagenik (mutagenic).

2. Klasifikasi B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari :

(11)

7

a. B3 yang dapat dipergunakan;

b. B3 yang dilarang dipergunakan; dan c. B3 yang terbatas dipergunakan.

3. B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tercantum dalam Lampiran PP No. 74 Tahun 2001.

Sedangkan untuk Simbol B3 sesuai dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 03 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pemberian Simbol dan Label Bahan Berbahaya dan Beracun.

Referensi yang dapat dibaca terkait dengan bahan kimia berbahaya ini adalah sebagai berikut:

1. Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup bahwa "Setiap orang yang memasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan republik Indonesia, menghasilkan, mengangkut, mengedarkan, menyimpan, mamanfaatkan, membuang, mengolah, dan.atau menimbun B3 wajib melakukan pengelolaan B3"

2. Peraturan Pemerintah No.74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun

3. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 03 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pemberian Simbol dan Label Bahan Berbahaya dan Beracun.

4. Peraturan Pemerintah No.22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

RISET MENGGUNAKAN BAHAN DENGAN KANDUNGAN SENYAWA NON-HALAL DALAM HAL RISET FARMASI, PANGAN, NUTRASETIKAL, DAN KOSMETIK

.

Halal (Arab: للاح) artinya boleh, jadi produk halal ialah produk yang diperbolehkan untuk dimanfaatkan oleh umat muslim menurut ketentuan syari'at Islam. Dalam rangka mendukung pengembangan industri halal, pemerintah Indonesia mewajibkan seluruh produk yang diedarkan dan diperdagangkan di dalam negeri telah bersertifikat halal. Ketetapan tersebut didukung negara melalui UU No. 33 Tahun 2014 tentang jaminan produk halal dan UU No. 11 Tahun 2020 tentang cipta kerja yang didalamnya juga memuat tentang sertifikasi halal, serta PP No. 39 Tahun 2021 tentang penyelenggaraan bidang jaminan produk halal. Oleh karena itu, riset dan pengembangan pada sektor pangan, obat, dan kosmetik perlu diselaraskan dengan kebutuhan halal.

(12)

8

Klirens etik pada bidang kimia merekomendasikan periset untuk senantiasa berpedoman pada regulasi jaminan halal dalam: 1) penggunaan bahan termasuk bahan baku (raw material), bahan tambahan (additive), dan bahan penolong (processing aid), 2) proses untuk mendapatkan produk, dan 3) produk jadi atau antara (intermediate), sehingga proses riset dan pengembangan yang dilakukan terjamin kehalalannya. Hal ini dilakukan dalam upaya melindungi periset, panelis, masyarakat dan lingkungan dari bersinggungan dengan produk non-halal.

Periset berkewajiban untuk memperhatikan titik kritis keharaman apabila menggunakan bahan – bahan seperti: pengemulsi, gelatin, perisa (flavor), enzim, oleoresin, penyedap (seasoning), pewarna, penguat rasa, pemanis, antioksidan, antibuih, antikempal, humektan dan pelapis sebagaimana dijelaskan secara detil dalam buku ‘Daftar referensi bahan- bahan yang memiliki titik kritis halal dan substitusi bahan non-halal’ yang dikeluarkan oleh Komisi Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNKS)’.

Bahan-bahan yang dikategorikan haram secara umum adalah produk/bahan yang berasal dari dan atau mengandung babi, alkohol dari pengolahan khamer, hewan yang disembelih tidak berdasarkan syariat islam, dan bahan/produk tidak halal yang ditetapkan melalui fatwa Majelis Ulama Indonesia.

Dalam hal riset menggunakan bahan, aditif atau produk kategori non-halal perlu diperhatikan pada saat proses dan penanganannya agar tidak bersentuhan atau menjadi kontaminan pada bahan lain yang digunakan oleh periset dan lingkungan.

(13)

9

RISET MENGGUNAKAN SENYAWA ADITIF BERBAHAYA UNTUK FARMASI, PANGAN, NUTRASETIKAL, DAN KOSMETIK

Riset kimia yang berorientasi pada produk pangan, kesehatan maupun kosmetik secara langsung maupun tidak langsung akan berhubungan dengan manusia baik mengenai produk akhirnya yang akan dikonsumsi atau diserap oleh tubuh manusia maupun dalam prosesnya yang akan melibatkan pengujian terhadap manusia seperti dalam pengujian organoleptik maupun uji klinis. Keterlibatan masyarakat dalam riset terkait produk pangan, kesehatan (obat maupun suplemen kesehatan) dan kosmetik perlu dilindungi dari kemungkinan dampak negatif dari penggunaan produk tersebut terhadap kesehatannya.

Oleh sebab itu, dalam melaksanakan risetnya, baik dari penggunaan bahan maupun prosesnya untuk menghasilkan suatu produk pangan, kesehatan maupun kosmetik, periset wajib berpedoman pada beberapa regulasi yang dikeluarkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), terutama memperhatikan 3 (tiga) prinsip utama yaitu prinsip Keamanan, Kemanfaatan, dan Mutu. Proses klirens etik perlu dilakukan terhadap proposal yang bertujuan untuk menghasilkan produk pangan, kesehatan maupun kosmetik serta untuk melakukan pengujian yang melibatkan manusia seperti uji organoleptik maupun uji klinis.

Periset dapat mengajukan klirens etik kimia apabila risetnya menggunakan bahan-bahan aditif/tambahan untuk produk pangan, kesehatan maupun kosmetik dengan merujuk pada regulasi dari BPOM sebagai berikut:

1. Riset Produk Pangan:

- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 86 Tahun 2019 tentang Keamanan Pangan: Pasal 7-12 tentang Pengaturan bahan tambahan pangan;

(14)

10

- Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 11 Tahun 2019 tentang Bahan Tambahan Pangan: Lampiran I tentang jenis bahan tambahan pangan yang diizinkan dan Lampiran II tentang Batas maksimal penggunaan bahan tambahan pangan.

2. Riset Produk Kesehatan (obat/nutrasetikal/suplemen kesehatan):

- Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 32 Tahun 2019 tentang Persyaratan Keamanan dan Mutu Obat Tradisional: Lampiran II tentang Bahan Tambahan;

- Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 17 Tahun 2019 tentang Persyaratan Mutu Suplemen Kesehatan: Lampiran I tentang Bahan Suplemen Kesehatan yang Mempunyai Potensi Mengandung Cemaran yang Berisiko Terhadap Kesehatan dan Lampiran III tentang Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan.

3. Riset Produk Kosmetika:

- Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 23 Tahun 2019 tentang Persyaratan Teknis Bahan Kosmetika: Lampiran V tentang Daftar Bahan Yang Tidak Diizinkan Dalam Kosmetika.

RISET MENGGUNAKAN BAHAN KIMIA PEMBENTUK KEMASAN YANG BERBAHAYA UNTUK OBJEK UJI

Pengemasan adalah proses penyimpanan suatu bahan atau produk dalam wadah atau kemasan tertentu sehingga bahan atau produk tersebut dapat terjaga, tidak rusak, awet, dan mudah untuk didistribusikan. Tujuan utama pengemasan adalah untuk memperpanjang umur simpan dan perlindungan dari bahaya fisik seperti getaran dan guncangan; kondisi iklim mikro luar seperti suhu, cahaya, dan kelembapan; dan dari kontaminasi mikroba yang tidak diinginkan, cacing, maupun virus.

Regulasi pengemasan di Indonesia diatur dalam UU No. 7 Tahun 1996 tentang pangan, Peraturan BPOM No. 20 Tahun 2019 tentang kemasan pangan, dan Peraturan Menteri Kesehatan RI No.

329/Menkes/Per/XII/76 tentang Produksi dan Peredaran Pangan.

Seiring dengan perkembangan teknologi, muncul berbagai bentuk, ukuran, dan jenis bahan pengemas seperti kertas, fiber, mikro dan makro plastik, gelas, polivinil, monomer, polimer, logam, termasuk didalamnya katalisator pengemasan (seperti formalin dan melamin).

(15)

11

Dalam prosesnya, pembuatan kemasan plastik pada khususnya, biasanya menambahkan bahan-bahan aditif seperti bahan pemlastis (plasticizer), zat pengembang (blowing agent), katalisator untuk pengemas dan bahan aditif lainnya. Pada dasarnya, bahan-bahan aditif yang ditambahkan pada kemasan harus tidak termasuk dalam kategori POPs (Persistent Organic Pollutants) seperti Bis-Phenol A yang memiliki sifat karsinogenik dalam waktu penggunaan jangka lama. Contoh lain adalah jenis plasticizer seperti di-octyl phthalate yang memang telah dilarang penggunaannya. Sedangkan untuk jenis kemasan lain seperti kemasan berbahan logam, kaca, kertas dan lainnya, hendaknya juga dapat menghindari penggunaan bahan-bahan aditif yang berbahaya dan masuk kategori POPs.

Menyikapi keberadaan jenis bahan kemasan yang heterogen, maka periset dan pengembang wajib memperhatikan tiga poin yaitu 1) sifat bahan kimia pengemas yang digunakan, meliputi prediksi laju migrasi dan pengaruh suhu dan waktu kontak terhadap komposisi yang dikandung pengemas; 2) sifat bahan kimia pada produk yang akan digunakan 3) faktor lingkungan seperti suhu, lama kontak, dan kelembapan.

Klirens etik pada bidang kimia mengatur: 1) penggunaan bahan kemasan dan target penggunaan kemasan dan 2) proses untuk mendapatkan pengemas sehingga proses riset dan pengembangan yang dilakukan memenuhi syarat keamanan kemasan pangan. Hal ini dilakukan dalam upaya untuk melindungi periset, pengembang, dan masyarakat.

Bahan bahan yang tidak boleh digunakan dalam bahan pengemas meliputi: timbal (Pb), kromium (Cr), kadmium (Cd), dan merkuri (Hg) karena sifat toksik dan karsinogenik yang ditimbulkan.

Sedangkan aditif polimer seperti yang disebutkan di atas dalam lingkup kategori POPs; termasuk katalisator pengemasan berupa formalin dan melamin dapat mengganggu kesehatan manusia sehingga perlu perhatian khusus oleh Komisi Etik Kimia.

(16)

12

RISET YANG MELAKUKAN UJI ORGANOLEPTIK

Uji organoleptik (atau juga dikenal dengan istilah pengujian sensorik) adalah suatu pengujian yang melibatkan penilaian berdasarkan proses penginderaan, meliputi rasa, bau, serta penampilan pada suatu objek (makanan, minuman, obat, dan lain-lain). Uji organoleptik ini dilakukan dengan lima tahapan proses antara lain menerima objek uji, mengenali objek uji, melakukan klarifikasi sifat-sifat inderawi objek uji, mengingat kembali objek uji yang telah diamati, dan menguraikan kembali sifat- sifat inderawi objek uji tersebut2. Evaluasi penilaian penginderaan ini umumnya melibatkan manusia sebagai panelisnya untuk memperoleh data hasil respon sensorik dari suatu objek yang diuji. Riset yang melibatkan uji organoleptik ini perlu dikaji oleh Komisi Etik terkait objek ujinya, panelisnya, bagaimana pelaksanaan uji organoleptiknya, dan kelengkapan uji organoleptiknya demi keselamatan dan keamanan riset yang dilakukan.

RISET MENGGUNAKAN BAHAN BIOPROSES (MELIBATKAN MIKROORGANISME) YANG MEMBAHAYAKAN MANUSIA DAN/ATAU LINGKUNGAN

Bioproses adalah proses untuk menghasilkan suatu produk dengan menggunakan konsep- konsep utama berupa bioteknologi, biologi dan juga teknik rekayasa proses. Teknologi bioproses adalah teknologi yang berkaitan dengan segala operasi dan proses yang memanfaatkan organisme baik dalam fase hidup, maupun produk enzimnya untuk menghasilkan suatu produk. Dalam teknologi bioproses tentunya melibatkan organisme (mikroorganisme atau mikroba) sebagai jasad pemroses substrat (bahan baku) menjadi suatu produk.

Mikroba juga terbukti mendominasi penggunaannya dalam aplikasi bioproses disebabkan karena beberapa faktor, diantaranya yaitu: ukurannya yang kecil (skala mikron hingga nano) sehingga ratio luas dengan volume sel menjadi tinggi, perkembangbiakannya cepat, materi genetik penyusunnya juga sederhana, dapat tumbuh pada berbagai medium cair maupun padat serta relatif tidak menghasilkan limbah toksik (aman bagi lingkungan).

2 Ayustaningwarno, F. Teknologi Pangan: Teori Praktis dan Aplikasi. 2014. Graha Ilmu

(17)

13

Klirens etik riset bidang riset kimia mengatur penggunaan bahan bioproses terutama penggunaan mikroba yang tidak bersifat patogenik (non-patogen) sehingga aman digunakan untuk kegiatan penelitian maupun industri (dikenal juga dengan istilah asing Generally Recognized as Safe (GRAS)).

Penggunaan mikroba patogenik dalam kegiatan riset maupun industri tidak diperbolehkan.

Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, mikroba patogen merupakan kelompok mikroba parasit yang bisa memberikan masalah kesehatan kepada manusia, hewan, hingga tumbuhan. Bahkan, beberapa jenis mikroba ini mampu menyebabkan kematian sehingga mikroba jenis ini sering disebut juga sebagai mikroba berbahaya.

Beberapa mikroba patogen yang sudah diketahui berbahaya bagi manusia, diantaranya adalah3: 1. Bacillus cereus (penyebab diare, kejang (kram) perut, dan muntah)

2. Bacillus anthracis (agen penyebab penyakit antrax yang mematikan)

3. Campylobacter jejuni (penyebab diare yang diikuti dengan muntah-muntah, diare berair dan diare berdarah)

4. Clostridium botulinum (penyebab penyakit dan kematian oleh konsumsi sosis (“botulus”) dan penyakitnya disebut botulisme)

5. Clostridium perfringens (penyebab sakit perut, mual dan diare akut)

6. Escherichia coli (ada empat kelompok bakteri patogenik jenis ini yang menjadi penyebab diare yaitu EPEC (Enteropathogenic Escherichia coli), ETEC (Enterotoxigenic E. coli), EIEC (Enteroinvasif E. coli) dan E. coli penghasil verotoksin (VTEC))

7. Listeria monocytogenes (Gejala hanya demam ringan tanpa atau dengan gastroenteritis atau gejala mirip-flu, tetapi akibatnya pada janin atau bayi baru lahir dapat fatal. Gejala paling umum adalah septikemia, kadang-kadang disertai meningitis, juga terlihat luka pada kulit) 8. Neisseria gonorrhoeae (penyebab penyakit kencing nanah atau gonore)

9. Pseudomonas cocovenenans (dapat memproduksi dua senyawa beracun dalam tempe bongkrek yaitu asam bongkrek (tidak berwarna) dan toksoflavin (berwarna kuning))

10. Salmonella sp. (penyebab penyakit salmonelosis pada manusia, berupa galur-galur tifus atau paratifus atau gastroenteritis/kolitis nontifus yang dapat berlanjut menjadi infeksi sistemik yang lebih serius)

11. Shigella sp. (penyebab penyakit disentri basiler pada manusia dan primata)

12. Staphylococcus aureus (menghasilkan racun enterotoksin yang berbahaya bagi manusia) 13. Vibrio cholerae (penyebab penyakit kolera)

14. Vibrio parahaemolyticus (penyebab penyakit gastroenteritis disertai diare, kejang perut, mual, muntah, sakit kepala, demam dan rasa dingin)

15. Yersinia enterocolitica (penyebab penyakit yersiniosis yaitu infeksi gastrointestinal dengan gangguan-gangguan seperti: enteritis dan ileitis terminal, serta dikenal sebagai penyakit

“usus buntu semu” (pseudoappendicitis), limfadenitis mesenterik)

3 Sumber: Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan Deputi III, Badan Pengawas Obat dan Makanan tahun 2012. Lihat juga pada dokumen Standar Nasional Indonesia nomor 7388 tahun 2009 tentang batas maksimum cemaran mikroba dalam pangan

(18)

14

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga mengeluarkan peraturan nomor 13 tahun 2019.

Dalam acuan BPOM tersebut telah dijelaskan aturan batas cemaran maksimal mikroba yang diperbolehkan (ditoleransi) pada berbagai bahan ataupun produk olahan pangan (lihat Peraturan BPOM nomor 13 tahun 2019 tentang batas maksimal cemaran mikroba dalam pangan olahan).

Selain mikroba berbahaya, bahan baku bioproses yang juga sering digunakan adalah bahan-bahan simplisia dari tumbuhan. Simplisia adalah bahan alami yang digunakan untuk obat dan belum mengalami perubahan proses apapun dan umumnya berbentuk bahan yang telah dikeringkan.

Terdapat 48 jenis simplisia dari tumbuhan yang sudah dinyatakan dilarang untuk digunakan sebagai bahan obat tradisional disebabkan karena memiliki efek toksik atau beracun pada manusia. Silahkan merujuk pada tautan daftar bahan-bahan simplisia berbahaya (dilarang untuk digunakan) sebagai rincian dari 48 jenis simplisia tumbuhan tersebut.

Referensi yang dapat dibaca terkait hal ini adalah:

1. Anonim, 2019, Bahan yang Dilarang untuk Digunakan dalam Obat Tradisional, Direktorat Registrasi Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan, dan Kosmetik, Badan Pengawas Obat dan Makanan, Republik Indonesia.

2. Indriani, R. et al., 2019, Pedoman Penerapan Peraturan Badan POM tentang Cemaran Mikroba dalam Pangan Olahan, Direktorat Standardisasi Pangan Olahan, Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan, Badan Pengawas Obat dan Makanan, Republik Indonesia.

3. Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 13 Tahun 2019 tentang Batas Maksimal Cemaran Mikroba Dalam Pangan Olahan, Badan Pengawas Obat dan Makanan, Republik Indonesia.

4. Sparingga, R. A. et al., 2012, Pedoman Kriteria Cemaran pada Pangan Siap Saji dan Pangan Industri Rumah Tangga, Direktorat Standardisasi Produk Pangan, Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan Dan Bahan Berbahaya, Badan Pengawas Obat Dan Makanan, Republik Indonesia.

5. Standar Nasional Indonesia nomor 7388 tahun 2009 tentang batas maksimum cemaran mikroba dalam pangan, Badan Standardisasi Nasional (BSN), Republik Indonesia.

(19)

15

RISET YANG MENGHASILKAN HAL BARU BAIK BERUPA SENYAWA, SINTESIS, METODE ATAU PROSESNYA

Riset dapat didefinisikan sebagai penciptaan pengetahuan baru dan/atau penggunaan pengetahuan yang ada dengan cara yang baru dan kreatif sehingga menghasilkan konsep, metodologi, dan pemahaman baru4. Dalam lingkup kimia, riset dapat menghasilkan suatu senyawa, sintesis, metode, atau proses baru untuk tujuan aplikasinya. Dalam penerapan kimia yang aman dan terjamin untuk memberi manfaat bagi umat manusia dan melestarikan lingkungan, hal baru yang dihasilkan dalam riset kimia perlu dikaji oleh Komisi Etik.

4

https://www.westernsydney.edu.au/research/researchers/preparing_a_grant_application/dest_definition_of_resear ch

(20)

16

MEKANISME PENGAJUAN KLIRENS ETIK RISET BIDANG KIMIA

Periset yang akan melakukan riset bidang kimia perlu memastikan bahwa mereka akan menerapkan etika riset dan prinsip dasar penelitian bidang kimia yaitu kemanfaatan (beneficience), keselamatan dan keamanan (safety and security), keselamatan bagi manusia yang terlibat dalam riset, dan akuntabilitas (accountability dalam pelaksanaan risetnya. Untuk dapat memastikan hal ini, periset dapat dapat mengajukan usulan klirens etik melalui http://klirensetik.brin.go.id. Usulan klirens etik harus dilakukan sebelum riset dilaksanakan. Komisi Klirens Etik Riset Bidang Kimia menerima usulan klirens etik riset, baik dari periset di lingkungan BRIN maupun periset dari lembaga lain yang melakukan riset bidang kimia.

PENILAIAN MANDIRI (SELF ASSESSMENT) DAN USULAN KLIRENS ETIK RISET

Sebelum periset mengajukan usulan klirens etik, periset dapat melakukan penilaian mandiri (self- assessment) untuk mengetahui apakah risetnya memerlukan klirens etik atau tidak. Self-assessment ini dilakukan dengan menjawab satu set pertanyaan dengan jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’. Hasil dari self- assessment akan menyatakan apakah riset tersebut memerlukan klirens etik atau tidak.

Apabila riset tidak memerlukan klirens etik, maka sistem informasi akan mengeluarkan surat keterangan bahwa riset tidak memerlukan klirens etik berdasarkan hasil self-assessment yang dilakukan oleh periset itu sendiri. Namun apabila hasilnya adalah riset tersebut memerlukan klirens etik, maka periset dapat langsung mengajukan usulan klirens etik dengan mengisi dan mengunggah dokumen – dokumen yang diperlukan.

Untuk mengajukan klirens etik bidang kimia, periset memilih kategori ‘Kimia’ pada usulannya dan mengunggah dokumen – dokumen sebagai berikut:

1. Proposal riset yang minimal terdiri dari:

a. Judul;

b. Latar belakang, tujuan dan ruang lingkup;

c. Metodologi;

d. Hasil riset/ luaran yang diharapkan;

e. Nama periset yang terlibat dan afiliasinya;

f. Sumber dana riset;

g. Lokasi riset;

h. Tata kelola objek riset;

i. Perencanaan manajemen data;

j. Waktu pelaksanaan riset;

2. Formulir Klirens Etik Riset bidang Kimia;

3. Surat Pengantar dari Kepala Satuan Kerja/Pimpinan Lembaga;

(21)

17

4. Pernyataan Koordinator Riset; dan

5. Informed Consent (apabila penelitian tersebut melibatkan manusia sebagai subjek riset).

Adapun template untuk dokumen nomor 2 – 5 dapat diunduh di beranda website http://klirensetik.brin.go.id

PROSES REVIEW KLIRENS ETIK

Setelah semua dokumen diajukan, Sekretariat Komisi Etik akan melakukan verifikasi kesesuaian dokumen. Apabila dokumen tidak lengkap, maka akan dikembalikan kepada Pengusul untuk dilengkapi. Hasil verifikasi dan informasi akan disampaikan melalui sistem informasi dan notifikasi akan dikirimkan melalui email Pengusul yang terdaftar di sistem informasi.

Usulan yang telah dinyatakan ‘Lengkap’ oleh Sekretariat Komisi Etik akan direview oleh Komisi Etik.

Dalam proses review ini memungkinkan akan adanya permintaan kelengkapan dokumen lain atau penjelasan tambahan yang dibutuhkan Komisi Etik kepada pengusul. Apabila rekomendasi revisi ini tidak dipenuhi oleh Pengusul maka Komisi Etik berhak menolak usulan klirens etik yang diajukan.

Perlu diperhatikan bahwa Komisi Etik hanya akan mengeluarkan klirens etik untuk riset yang belum dilaksanakan.

KEPUTUSAN KOMISI ETIK

Komisi Etik akan melakukan sidang untuk memutuskan keberterimaan etik dari usulan. Sidang tersebut dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan atau diselaraskan dengan usulan klirens etik yang diterima. Sidang harus dihadiri oleh lebih dari setengah jumlah anggota. Keputusan dicapai melalui kesepakatan berdasarkan musyawarah atau diambil berdasarkan suara terbanyak. Keputusan Komisi Etik dapat berupa persetujuan klirens etik atau penolakan terhadap usulan. Keputusan Komisi Etik akan disampaikan secara tertulis kepada Pengusul melalui sistem informasi dan notifikasi akan dikirimkan melalui email Pengusul yang terdaftar di sistem informasi.

(22)

18

ALUR DAN WAKTU PENGAJUAN KLIRENS ETIK RISET

Gambar 1 Bagan Alir Pengajuan Klirens Etik Riset

Penjelasan bagan alir pengajuan Klirens Etik Riset

1. Periset menyiapkan dokumen kelengkapan usulan klirens etik.

2. Periset melakukan penilaian mandiri melalui http://klirensetik.brin.go.id.

(23)

19

3. Dokumen yang sudah disiapkan diunggah pada akun pengusul yang akan diverifikasi oleh Sekretariat Komisi Etik.

4. Bila berkas sudah lengkap, akan dikirimkan ke anggota Komisi Etik Riset bidang Kimia. Bila berkas belum lengkap, akan dikembalikan ke pengusul untuk dilengkapi.

5. Usulan yang sudah dikirim ke anggota komisi, akan diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) kategori:

a. Hijau : Tidak berisiko (tidak ada keterlibatan manusia/menggunakan data sekunder atau subjek dan/atau isu riset tidak “sensitif”)

b. Kuning : Berisiko (subjek dan/atau isu riset “sensitif”)

c. Merah : Berisiko tinggi (subjek dan/atau isu riset sangat “sensitif”) Riset yang termasuk dalam klasifikasi Merah adalah riset dalam lingkup:

i. Uji organoleptik yang menggunakan bahan aditif yang dilarang dan menggunakan bahan aditif yang diperbolehkan namun melebihi ambang batas yang diperbolehkan.

ii. Melibatkan psikotropika Golongan 1 berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No 2 Tahun 2021.

iii. Bahan senjata kimia Bahan Kimia Daftar 1 Undang-Undang Republik Indonesia No. 9 Tahun 2008.

iv. Mikroba cemaran yang melebihi ambang batas yang diperbolehkan berdasarkan Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan No. 13 Tahun 2019.

v. Bahan yang dilarang untuk digunakan sebagai bahan baku dalam obat tradisional, sesuai dengan daftar yang dikeluarkan oleh Direktorat Registrasi Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan, dan Kosmetik - Badan Pengawas Obat dan Makanan.

vi. Bahan kemasan pangan yang mengandung timbal, kromium, nikel, cadmium, dan merkuri berdasarkan Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan No.

20 Tahun 2019.

6. Usulan riset yang masuk dalam kategori “hijau” akan langsung mendapatkan persetujuan dari Komisi Etik berupa surat pernyataan bahwa proposal/rancangan riset sudah memenuhi standar etika riset yang segera dikirim ke pengusul.

7. Usulan riset yang masuk dalam kategori “kuning” akan disidangkan dalam Sidang Biasa, cukup disidangkan oleh anggota subkomisi tanpa perlu mengundang pihak lain.

8. Usulan riset yang masuk dalam kategori “merah” akan disidangkan dalam Sidang Istimewa.

9. Keputusan Sidang dalam tiga jenis kategori:

a. Disetujui tanpa perbaikan

b. Disetujui setelah perbaikan minor (diberi waktu maksimal 5 hari kerja) c. Disetujui setelah perbaikan mayor (diberi waktu maksimal 10 hari kerja).

Apabila pengusul tidak dapat melakukan perbaikan sesuai dengan waktu yang diberikan, pengusul harus memberikan alasan yang dapat diterima oleh anggota Komisi. Jika hal ini tidak dilakukan, maka proses penilaian usulan yang bersangkutan tidak lagi menjadi prioritas anggota komisi, dan Komisi Etik dapat menolak usulan klirens etik tersebut.

(24)

20

Direktorat Tata Kelola Perizinan Riset Dan Inovasi Dan Otoritas Ilmiah Deputi Fasilitasi Riset Dan Inovasi

Badan Riset Dan Inovasi Nasional

Gedung B.J. Habibie Lantai 8 Jl. M.H. Thamrin No. 8 Jakarta Pusat 10340

Referensi

Dokumen terkait