• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS

A. Kajian Pustaka

1. Kemampuan Berpikir Kritis dalam Pembelajaran IPS pada Siswa Kelas IV Sekolah Dasar

a. Hakikat Kemampuan Berpikir Kritis

Berpikir merupakan kegiatan dalam pembelajaran. Menurut Afandi

& Sajidan (2017: 77) berpikir merupakan aktivitas dari mental atau intelektual dengan melibatkan kesadaran serta subjektivitas individu dengan karakteristik yang bersifat empiris, factual, dan melibatkan kemampuan indrawi untuk menangkap fakta yang kemudian diolah menjadi kesimpulan yang empiris. Kemampuan berpikir yang diimpelmentasikan dalam kurikulum 2013 adalah HOTS (High Order Thinking Skills). Menurut Saputra (Sofyan, 2019: 3) HOTS (High Order Thinking Skills) adalah proses berpikir siswa dalam level kognitif yang lebih tinggi dan dikembangkan dari berbagai konsep dan metode kognitif, seperti pemecahan masalah, taksonomi pembelajaran, dan pengajaran.

Melalui HOTS (High Order Thinking Skills) siswa dapat mebedakan gagasan dengan jelas, dapat berargumen dengan baik, dapat melakukan pemecahan masalah, mampu membuat hipotesis, dan mampu memahami hal yang bersifat kompleks menjadi lebih jelas. Salah satu kemampuan yang terdapat dalam HOTS (High Order Thinking Skills) yaitu kemampuan berpikir kritis.

Ennis (Larsson, 2017) mengemukakan pendapatnya bahwa

“critical thinking as reasonable reflective thinking focused on deciding what to believe or do” yang artinya yaitu berpikir kritis sebagai pemikiran reflektif yang masuk akal dan berfokus pada memutuskan tentang apa yang harus dipercaya ataupun dilakukan. Menurut Santrock (Desmita, 2017: 153) “critical thingking

commit to user

(2)

involves grasping the deeper meaning of problems, keeping an open mind about different approaches and perspectives, not accepting on faith what other people and books tell you, and thinking reflectively rather than accepting the firt idea that comes to mind” yang artinya berpikir kritis melibatkan untuk memahami makna permasalahan yang lebih dalam, menjaga pikiran agar tetap terbuka tentang berbagai pendekatan dan perspektif, tidak menerima secara langsung apa yang orang lain maupun buku jelaskan, dan berpikir reflektif daripada menerima ide pertama yang muncul. Dewey (Fisher, 2017: 3) mendefinisikan berpikir kritis sebagai proses memikirkan sesuatu hal secara mendalam, mengajukan berbagai pertanyaan, dan menemukan informasi yang relevan. Scriven & Paul (Anggriani, Karyadi, dan Ruyani, 2018) berpendapat bahwa berpikir kritis adalah proses berpikir secara aktif dan terampil untuk membangun konsep, mencari, menerapkan, mensintesis, menganalisis, serta mengevaluasi informasi yang diperoleh melalui pengamatan, pengalaman, penalaran, atau komunikasi untuk memandu apa yang harus dilakukan.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa hakikat kemampuan berpikir kritis merupakan suatu proses berpikir secara mendalam dan reflektif mengenai suatu permasalahan, kemudian mencari informasi, membangun konsep, menerapkan, mensintesis, menganalisis dan mengevaluasi informasi yang diperoleh.

Berpikir kritis berarti merefleksi sebuah masalah dengan mendalam, membuka pikiran untuk menerima pandangan berbeda, tidak mudah mempercayai berbagai informasi yang ada dan berpikir reflektif daripada menerima ide tanpa melalui pemahaman serta evaluasi yang signifikan.

(3)

Seifert & Hoffnung (Desmita, 2017: 154) mengemukakan tentang komponen berpikir kritis, yaitu:

1) Basic operations of reasoning. Jika ingin berpikir kritis, seseorang harus mampu untuk menjelaskan, mengeneralisasi, menyimpulkan, dan merumuskan langkah secara logis.

2) Domain-specific knowledge. Untuk menghadapi suatu permasalahan, seseorang harus memahami kontennya.

3) Metacognitive knowledge. Keefektifan berpikir kritis mengharuskan seseorang untuk memonitor ketika ingin memahami suatu ide.

4) Values, beliefs, and dispositions. Berpikir kritis merupakan kegiatan menilai secara objektif.

Siswa yang memiliki kemampuan berpikir kritis memiliki beberapa karakteristik. Berikut karakteristik siswa yang memiliki kemampuan untuk berpikir secara kritis menurut Santrock (Hikmah, 2019: 13):

1) menanyakan tentang bagaimana dan mengapa;

2) mencari bukti yang dapat mendukung dari fakta;

3) melakukan adu pendapat melalui cara yang masuk akal;

4) mampu mengenali bahwa terkadang terdapat lebih dari satu penjelasan ataupun jawaban;

5) dapat membandingkan berbagai jawaban untuk menentukan jawaban yang tepat;

6) dapat mengevaluasi informasi dari orang lain; dan

7) mengajukan berbagai pertanyaan dan berani untuk berpendapat tentang ide atau informasi baru.

Siswa harus aktif dalam pembelajaran agar memiliki kemampuan berpikir kritis. Menurut Santrock (Desmita, 2017: 156) peran aktif siswa dalam pembelajaran agar memiliki kemampuan untuk berpikir kritis, yaitu:

1) dapat mendengarkan dengan seksama;

(4)

2) dapat mengajukan berbagai pertanyaan yang sesuai dengan konteks;

3) mampu mengorganisasikan pemikiran;

4) memperhatikan berbagai persamaan serta pebedaan;

5) melaksanakan deduksi; dan

6) mampu membedakan kesimpulan dengan logis.

b. Indikator Kemampuan Berpikir Kritis

Ennis (Hikmah, 2019: 14 ) mengidentifikasi indikator dari berpikir kritis, yaitu:

1) Siswa mampu memberikan penjelasan dasar, meliputi kegiatan memfokuskan dan menganalisis pertanyaan serta mampu melaksanakan tanya jawab;

2) Siswa mampu membangun keterampilan dasar, yaitu siswa mampu mempertimbangkan sumber yang digunakan dan mempertimbangkan laporan dari observasi;

3) Siswa mampu membuat kesimpulan, yang terdiri dari kegiatan untuk mempertimbangkan hasil deduksi dan induksi serta mampu menilai pertimbangan;

4) Siswa mampu memberi penjelasan lanjut, yaitu siswa mampu mengidentifikasi istilah mapun definisi pertimbangan dan mengidentifikasi dari pendapat; dan

5) Siswa mampu mengatur strategi serta taktik, meliputi siswa mampu menentukan tindakan serta melakukan interaksi dengan orang lain.

Indikator kemampuan berpikir kritis dalam penelitian ini, mengacu pada indikator dari pendapat Ennis, yaitu: 1) Siswa mampu memberikan penjelasan dasar; 2) Siswa mampu membangun keterampilan dasar; 3) Siswa dapat menyimpulkan; 4) Siswa mampu memberi penjelasan lanjut; dan 5) Siswa mampu mengatur strategi dan taktik. Indikator dalam penelitian ini mengambil pendapat Ennis karena penelitian ini dilaksanakan pada jenjang

(5)

sekolah dasar, sehingga dibutuhkan indikator yang lebih sederhana, dan banyak penelitian yang menggunakan indikator dari Ennis, hal ini menunjukkan bahwa indikator dari pendapat Ennis tepat untuk digunakan.

c. Hakikat IPS Sekolah Dasar 1) Pengertian IPS

Salah satu mata pelajaran di sekolah dasar adalah Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Menurut Susanto (2014: 6) Ilmu Pengetahuan Sosial adalah mata pelajaran yang mengintegrasikan beberapa cabang ilmu sosial dan humaniora, yaitu: sejarah, geografi, sosiologi, ekonomi, hukum, politik serta budaya. Menurut Pusat Kurikulum (Wahidmurni, 2017: 17) Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan mata pelajaran yang bersumber dari kehidupan sosial dalam masyarakat yang diseleksi menggunakan konsep ilmu sosial dan digunakan untuk pembelajaran.

Pratiwi, Ardianti & Kanzunnudin (2018) berpendapat bahwa Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan mata pelajaran yang mempelajari tentang konsep, fakta serta gejala dan mengenai fakta-fakta sosial yang ada dalam masyarakat.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) adalah mata pelajaran yang mengintegrasikan beberapa cabang ilmu sosial yang bersumber dari kehidupan sosial dan mempelajari konsep, fakta, serta gejala yang ada.

2) Tujuan IPS

Tujuan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) harus sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Menurut Supardan (2015: 19) tujuan dari Ilmu Pengetahuan Sosial yaitu agar siswa menjadi warga Indonesia yang memiliki sikap tanggung jawab, demokratis dan menjadi warga dunia yang senantiasa mencintai kedamaian. Susanto (2014: 11) mengemukakan bahwa tujuan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) yaitu mengembangkan

(6)

potensi peserta didik agar memiliki rasa peka terhadap masalah yang timbul dalam masyarakat dan mampu mengatasi masalah tersebut.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) adalah mengembangkan potensi peserta didik agar memiliki sikap tanggung jawab, demokratis, mencintai kedamaian serta memiliki kepekaan terhadap masalah yang ada dalam masyarakat serta mampu menyelesaikannya.

3) Ruang Lingkup Materi Pelajaran IPS Sekolah Dasar

IPS merupakan mata pelajaran yang mengkaji tentang fakta, konsep, peristiwa yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat. IPS diberikan mulai dari tingkat sekolah dasar sampai dengan sekolah menengah. Menurut Depdiknas (Susanto, 2016: 160) ruang lingkup materi pelajaran IPS di sekolah dasar yaitu: a) manusia, tempat, dan lingkungan;

b) waktu, keberlanjutan, dan perubahan; c) sistem sosial dan budaya; dan d) perilaku ekonomi serta kesejahteraan. Hakim (2017) berpendapat bahwa ruang lingkup materi pelajaran IPS sekolah dasar yaitu manusia dan segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupannya dalam masyarakat.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup materi pelajaran IPS sekolah dasar yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan sosial, meliputi manusia, tempat, lingkungan, waktu, keberlanjutan, perubahan, sistem sosial dan budaya, serta perilaku ekonomi dan kesejahteraan.

d. Materi Keragaman Budaya

Menurut Chasanati (2019: 12) keragaman adalah kondisi masyarakat yang terdapat perbedaan baik dari segi ras, agama, suku bangsa, ekonomi, budaya dan lain sebagainya. Dalam pembelajaran IPS SD kelas IV terdapat beberapa keragaman yang dipelajari, yaitu keragaman sosial, keragaman

(7)

budaya, dan keragaman etnis. Penelitian ini memfokuskan pada keragaman budaya. Keragaman budaya terdiri dari keragaman suku bangsa, keragaman bahasa daerah, keragaman rumah adat, dan keragaman pakaian adat.

Menurut Chasanati (2019: 12) terdapat beberapa faktor yang menyebabkan keragaman budaya, yaitu: 1) Indonesia adalah Negara kepulauan; 2) letak Indonesia yang strategis; 3) perbedaan kondisi alam; 4) perbedaan sarana dan prasarana; dan 5) adanya perubahan dan kemajuan.

e. Karakteristik Siswa Kelas IV Sekolah Dasar

Seorang guru harus mampu memahami karakteristik dari siswa yang akan diajarnya, hal ini bertujuan agar guru mampu melaksanakan pembelajaran dengan menyesuaikan perkembangan anak. Perkembangan anak meliputi perkembangan fisik dan mental. Menurut Susanto (2016: 71) perkembangan mental anak meliputi perkembangan intelektual, bahasa, emosi, sosial, serta moral keagamaan. Perkembangan intelektual anak usia sekolah dasar menurut Susanto (2016: 73) yaitu anak mampu melaksanakan tugas belajar yang melibatkan kemampuan kognitif, seperti membaca, menulis, dan menghitung.

Menurut Piaget (Susanto, 2016: 73) anak usia sekolah dasar berada pada rentang usia 7-11 tahun termasuk dalam tahap perkembangan operasional konkret, yaitu siswa mampu berpikir secara logis tentang segala sesuatu dan mampu berpikir secara sistematis mengenai peristiwa yang terjadi secara nyata atau konkret. Menurut Buhler (Sobur, 2016: 118) anak pada rentang usia 9-11 tahun berada dalam fase keempat yaitu fase anak berada pada masa untuk mencoba, menyelidiki, dan melakukan eksperimen yang dirangsang oleh rasa ingin tahu yang tinggi, selain itu anak juga berada pada masa penimbunan tenaga untuk melakukan penjelajahan, berlatih dan melakukan eksplorasi.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa karakteristik siswa usia sekolah dasar yaitu mampu melaksanakan tugas

(8)

belajar yang melibatkan kemampuan kognitif, berpikir secara logis dan sistematis serta berada pada masa untuk melakukan penyelidikan dan eksperimen yang didorong dari rasa ingin tahu yang tinggi. Siswa usia sekolah dasar mampu berpikir secara logis, hal ini mendukung siswa untuk memahami konsep dengan baik. Selain itu, kemampuan siswa berpikir logis dan sistematis akan menjadi dasar anak untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis.

Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir kritis dalam pembelajaran IPS tentang keragaman budaya pada siswa kelas IV SD adalah kemampuan siswa kelas IV SD untuk berpikir secara mendalam mengenai suatu permasalahan, kemudian mencari informasi melalui pengamatan, pengalaman dan penalaran dalam pembelajaran IPS materi keragaman budaya dengan indikator berikut: 1) siswa mampu memberikan penjelasan dasar; 2) siswa mampu membangun keterampilan dasar; 3) siswa dapat menyimpulkan; 4) siswa mampu memberi penjelasan lanjut; dan 5) siswa mampu mengatur strategi dan taktik.

2. Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL)

Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran yaitu menggunakan model pembelajaran yang inovatif dan berpusat pada siswa. Model pembelajaran sebagai pendukung dalam penyampaian pembelajaran kepada siswa.

Model pembelajaran sangat beragam dan selalu dikembangkan untuk mendukung kegiatan dalam pendidikan agar sesuai dengan perkembangan zaman.

Joyce dan Weil (Rusman, 2014: 133) berpendapat bahwa “model pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum (rencana pembelajaran jangka panjang), merancang bahan-bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran di kelas atau yang lain”.

Tayeb (2017: 48) mengemukakan bahwa model pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang menggambarkan langkah-langkah yang sistematis

(9)

dalam pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan dan sebagai pedoman dalam merancang aktivitas dalam pembelajaran agar dapat berjalan dengan efektif dan efisien. Ibrahim (2017: 200) menyatakan bahwa model pembelajaran adalah desain kerangka konseptual yang disusun secara berurutan dalam kegiatan pembelajaran dan dijadikan pedoman bagi guru untuk merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran.

Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran merupakan sebuah kerangka konseptual yang berisi langkah-langkah pembelajaran yang disusun secara sistematis, dan dijadikan sebagai pedoman oleh guru dalam merencanakan serta melaksanakan aktivitas pembelajaran.

Seiring dengan perkembangan zaman, pendidikan dituntut untuk menciptakan individu yang unggul dan dapat bersaing dalam dunia modern. Upaya yang dapat dilakukan untuk mewujudkan hal tersebut yaitu dengan meningkatkan kualitas pembelajaran melalui model pembelajaran yang bersifat inovatif. Salah satu model pembelajaran yang inovatif yaitu model pembelajaran Problem Based Learning (PBL). Barrow (Huda, 2015: 271) mendefinisikan bahwa model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) sebagai “pembelajaran yang diperoleh melalui proses menuju pemahaman akan resolusi suatu masalah”.

Kemudian Strobel & Van Barneveld (Ulger: 2018) berpendapat bahwa “Problem Based Learning is an ideal learning approach that teachers can use to help students determine solutions to nonroutine problems.” Yang artinya bahwa pembelajaran berbasis masalah adalah pendekatan pembelajaran yang ideal yang dapat digunakan guru untuk membantu siswa menentukan solusi untuk masalah non-rutin.

Firmansyah (Fauzan, Gani dan Syukri, 2017) berpendapat bahwa model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) adalah suatu model pembelajaran yang memberi kesempatan kepada siswa untuk menggali pengalaman yang menyeluruh sehingga dapat mendorong siswa untuk lebih aktif

(10)

belajar, membangun pengetahuan, dan dapat mengintegrasikan konteks belajar dengan kehidupan nyata siswa secara ilmiah. Wulandari, Astuti dan Widodo (2018) mengemukakan bahwa model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) adalah model pembelajaran yang mengharuskan siswa lebih aktif untuk memahami konsep melalui penyajian masalah yang bertujuan melatih siswa untuk menyelesaikan permasalahan.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) adalah model pembelajaran yang menyajikan suatu permasalahan, sehingga siswa lebih aktif belajar, membangun pengetahuannya dan dapat menemukan solusi dari suatu permasalahan.

Pembelajaran yang menerapkan model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) melibatkan siswa untuk berperan aktif, mampu berkolaborasi, mampu memecahkan permasalahan dan mampu belajar secara mandiri untuk menghadapi berbagai tantangan dan permasalahan di lingkungan siswa.

Pembelajaran dengan model Problem Based Learning (PBL) bisa dimulai dengan siswa bekerja secara berkelompok, mengidentifikasi masalah dan mampu mencari solusi dari permasalahan tersebut.

Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) memiliki beberapa langkah pembelajaran yang mendorong siswa untuk melakukan pemecahan masalah, dengan tujuan agar siswa mampu menemukan dan membangun pengetahuannya sendiri. Menurut Herzon, Budijanto, Utomo (2018) langkah- langkah pembelajaran Problem Based Learning (PBL) adalah:

a. memberikan orientasi permasalahan pada siswa;

b. mengorganisasikan siswa untuk melakukan penelitian;

c. membantu penyelidikan mandiri dan kelompok;

d. mengembangkan serta menyajikan hasil atau artefak; dan e. menganalisis serta mengevaluasi proses pemecahan masalah.

(11)

Rerung, Sinon dan Widyaningsih (2017) menjelaskan mengenai aktivitas guru dalam pembelajaran Problem Based Learning (PBL) yang dijelaskan pada tabel 2.1 berikut ini:

Tabel 2.1 Aktivitas guru dalam pembelajaran Problem Based Learning (PBL)

Langkah Pembelajaran Aktivitas Guru

Langkah 1:Memberikan orientasi permasalahan pada siswa

Menyampaikan tujuan pembelajaran, mendeskripsikan kebutuhan penting dan memberikan motivasi kepada siswa untuk memecahkan permasalahan.

Langkah 2: Mengorganisasikan siswa untuk melakukan penelitian

Membimbing siswa untuk

mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas yang berkaitan dengan

permasalahan yang disajikan.

Langkah 3: Membantu

penyelidikan mandiri dan kelompok

Mendorong siswa untuk mencari informasi, melakukan percobaan, serta mencari solusi dari permasalahan.

Langkah 4:Mengembangkan dan menyajikan hasil atau artefak

Membimbing siswa untuk menyiapkan hasil atau artefak, seperti video, laporan, model serta membantu siswa untuk menyajikan hasil kepada orang lain.

Langkah 5: Menganalisis serta mengevaluasi proses pemecahan masalah

Mendorong siswa untuk melaksanakan evaluasi atau refleksi terhadap penyelidikan dan proses yang telah

siswa laksanakan.

Aktivitas guru dalam pembelajaran Problem Based Learning (PBL) yaitu sebagai fasilitator. Guru harus mampu membimbing, memberi arahan dan membantu siswa untuk belajar, sehingga siswa mampu mengetahui untuk apa, bagaimana dan mengapa mereka harus belajar. Model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) memiliki kelebihan dan kekurangan, yaitu:

1) Kelebihan model pembelajaran Problem Based Learning (PBL)

Shoimin (2017: 132) mengemukakan beberapa kelebihan dari model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) yaitu: a) siswa didorong untuk mampu memecahkan masalah dalam situasi nyata; b) siswa mempunyai

(12)

kemampuan untuk membangun pengetahuaannya sendiri; c) pembelajaran lebih terfokus pada permasalahan; d) terjadi kegiatan ilmiah melalui kerja kelompok; e) siswa terbiasa menggunakan berbagai sumber pembelajaran; f) siswa mempunyai kemampuan untuk menilai dan mengevaluasi kemajuan belajarnya sendiri; g) siswa mampu melakukan komunikasi secara ilmiah melalui kegiatan diskusi atau penyajian hasil pekerjaan; dan h) kesulitan belajar individual dapat mudah diatasi melalui kegiatan kerja kelompok.

Wulansari (2017) menyebutkan beberapa kelebihan dari model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) yaitu: a) pendidikan lebih relevan dengan kehidupan nyata siswa; b) melatih siswa untuk melakukan pemecahan masalah; dan c) melatih siswa untuk berpikir secara kritis.

Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kelebihan dari model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) yaitu: a) melatih siswa untuk memiliki kemampuan memecahkan masalah yang berkaitan dengan kehidupan nyata siswa; b) siswa mampu membangun pengetahuannya sendiri;

c) pembelajaran terfokus pada permasalahan yang disajikan; d) terjadi kegiatan ilmiah; e) siswa mampu menggunakan berbagai sumber pembelajaran; f) siswa berlatih untuk berpikir secara kritis; g) siswa dapat menilai kemajuan belajarnya sendiri; dan h) kesulitan belajar individual dapat diatasi dengan kerja kelompok.

2) Kekurangan model pembelajaran Problem Based Learning (PBL)

Shoimin (2017: 132) mengemukakan kekurangan model pembelajaran Problem Based Learning (PBL), yaitu: a) Problem Based Learning (PBL) tidak dapat diterapkan pada setiap mata pelajaran, terutama pada pembelajaran yang tidak ada kaitannya dengan pemecahan masalah; dan b) dapat terjadi kesulitan pembagian tugas apabila kelas memiliki tingkat keragaman yang tinggi.

(13)

Wulansari (2017) juga mengemukakan kekurangan model pembelajaran Problem Based Learning (PBL), yaitu: a) siswa terkadang kesulitan dalam memahami permasalahan; b) pembelajaran membutuhkan waktu yang relatif lebih lama karena siswa harus mencari data, menganalisis data, merumuskan hipotesis dan memecahkan permasalahan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kekurangan dari model pembelajaran Problem Based Learning (PBL), yaitu: a) tidak dapat diterapkan pada setiap mata pelajaran; b) terjadi kesulitan pembagian tugas apabila kelas memiliki tingkat keragaman tinggi; dan c) siswa terkadang kesulitan dalam memahami permasalahan d) pembelajaran membutuhkan waktu yang relatif lebih lama.

Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran Problem Based Learning adalah model pembelajaran yang menyajikan suatu permasalahan, sehingga siswa lebih aktif belajar, membangun pengetahuannya dan dapat menemukan solusi dari suatu permasalahan dengan langkah pembelajaran yaitu memberikan orientasi permasalahan pada siswa;

mengorganisasikan siswa untuk melakukan penelitian; membantu penyelidikan mandiri dan kelompok; mengembangkan serta menyajikan hasil atau artefak; dan menganalisis serta mengevaluasi proses pemecahan masalah.

3. Model Pembelajaran Ekspositori

a. Hakikat Model Pembelajaran Ekspositori

Model pembelajaran yang saat ini masih banyak digunakan adalah model pembelajaran ekspositori. Penerapan model ekspositori dalam pembelajaran masih berpusat pada guru (teacher centered). Menurut Jacobson, et al (Harjono, dkk. 2018) model pembelajaran ekspositori merupakan model pembelajaran yang berpusat pada guru dan guru adalah sumber informasi utama yang memberikan informasi tentang konsep, menyajikan keterampilan, memberikan contoh serta penyelesaiaannya dan

(14)

guru memberikan kesempatan untuk bertanya. Menurut Sanjaya (Setiawan, 2017) model pembelajaran ekspositori merupakan model pembelajaran yang dalam penyampaian materi masih secara verbal dari guru kepada siswa dengan tujuan agar siswa mampu menguasai materi dengan maksimal. Cahyawati, Hamdani dan Nanang (2018) berpendapat bahwa model pembelajaran ekspositori merupakan model pembelajaran yang menekankan kepada siswa untuk menguasai materi pembelajaran dengan maksimal.

Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran ekspositori adalah model pembelajaran yang berpusat pada guru dan materi disampaikan secara verbal dengan tujuan siswa mampu menguasai materi secara maksimal.

Model ekspositori dilaksanakan dengan penyampaian materi secara verbal, sehingga sering disebut dengan ceramah. Dalam pembelajaran, materi yang disampaikan merupakan materi yang sudah jadi, baik data, fakta dan konsep yang harus dihafalkan oleh siswa tanpa perlu pemikiran ulang.

Suhartono, et al. (2014) berpendapat bahwa

Expository deemed effective if teachers teach to a group of students who on average have lower capabilities. Expository is also effective if the material to be taught is suitable for presentation. In addition, if a teacher wants to demonstrate something specific techniques or procedures for the practical activities then expository is the right choice.

Ekspositori dianggap efektif jika guru mengajar kepada kelompok siswa yang rata-rata memiliki kemampuan lebih rendah. Ekspositoris juga efektif jika materi yang akan diajarkan cocok untuk presentasi. Selain itu, jika seorang guru ingin menunjukkan sesuatu teknik atau prosedur spesifik untuk kegiatan praktis maka ekspositori adalah pilihan yang tepat.

(15)

Prinsip yang harus diperhatikan guru dalam pembelajaran Ekspositori menurut Indriyani (2019: 33) yaitu:

1) Berorientasi pada tujuan. Sebelum melaksanakan pembelajaran dengan model ekspositori perlu dirumuskan tujuan pembelajaran terlebih dahulu secara jelas dan terstruktur.

2) Prinsip komunikasi. Pembelajaran sebagai proses komunikasi yang merujuk pada penyampaian informasi oleh guru kepada siswa. komunikasi dikatakan efektif apabila penerima dapat memahami pesan yang disampaikan secara utuh.

3) Prinsip kesiapan. Sebelum memulai pembelajaran, seorang guru perlu menyiapkan siswa untuk menerima pelajaran, baik secara fisik maupun psikis.

4) Prinsip Berkelanjutan. model ekspositori memiliki prinsip untuk mendorong siswa agar memiliki keinginan untuk mempelajari materi pelajaran lebih lanjut.

b. Langkah Model Pembelajaran Ekspositori

Menurut Marisa (2019) model pembelajaran ekspositori memiliki empat langkah pembelajaran yaitu a) persiapan, yaitu tahap mempersiapkan siswa untuk menerima pelajaran; b) penyajian, yaitu tahap penyampaian materi oleh guru; c) korelasi, yaitu tahap mengaitkan materi pembelajaran kehidupan siswa; dan d) menyimpulkan, yaitu tahap memahami inti dari pelajaran. Menurut Acep (2018) langkah pembelajaran ekspositori yaitu a) pemaparan informasi atau pemberian penjelasan; b) pemberian tes, kegiatan ini bertujuan untuk mengukur pemahaman siswa; c) pemberian latihan siswa untuk menerapkan prinsip umum kedalam bentuk contoh dalam kehidupan;

dan d) pemberian kesempatan untuk menerapkan informasi yang telah diterima dalam kehidupan siswa.

(16)

Langkah pembelajaran ekspositori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu a) menyiapkan siswa untuk menerima pembelajaran; b) menyajikan materi; c) mengaitkan materi dengan kehidupan siswa; dan d) menyimpulkan pembelajaran.

Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran ekspositori adalah model pembelajaran yang berpusat pada guru dan materi disampaikan secara verbal serta memiliki tujuan agar siswa mampu menguasai materi secara maksimal dengan langkah pembelajaran berikut:

menyiapkan siswa untuk menerima pembelajaran; menyajikan materi; mengaitkan materi dengan kehidupan siswa; dan menyimpulkan pembelajaran.

(17)

B. Kerangka Berpikir

HOTS (High Order Thinking Skills) merupakan proses berpikir siswa dalam level yang lebih tinggi. Terdapat beberapa kemampuan dalam HOTS (High Order Thinking Skills), yaitu kemampuan berpikir kreatif, kemampuan pemecahan masalah, kemampuan mengambil keputusan dan kemampuan berpikir secara kritis. Kemampuan berpikir kritis merupakan proses berpikir secara mendalam mengenai suatu permasalahan, kemudian dilakukan pemecahan permasalahan melalui pencarian informasi, analisis, dan penalaran. Kemampuan berpikir kritis tidak dapat dimiliki seseorang begitu saja, tetapi harus melalui suatu proses. Kemampuan berpikir kritis siswa dapat dilatih melalui proses pembelajaran. Terdapat beberapa komponen dalam proses pembelajaran yang sangat berpengaruh terhadap kemampuan berpikir kritis siswa, salah satunya yaitu model pembelajaran. Penggunaan model pembelajaran yang tepat dapat meningkatkan kemampuan siswa untuk berpikir secara kritis dengan efektif.

Salah satu model pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis yaitu model pembelajaran Problem Based Learning (PBL). Model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) merupakan model pembelajaran yang menyajikan suatu permasalahan, sehingga siswa lebih aktif belajar, membangun pengetahuannya, melakukan penyelidikan dan dapat menyelesaikan permasalahan. Melalui penyajian permasalahan, siswa dituntut untuk berpikir secara mendalam mengenai permasalahan tersebut, sehingga timbul berbagai pertanyaan yang membutuhkan jawaban yang dapat ditemukan melalui kegiatan penyelidikan, pencarian informasi, dan analisis informasi dari berbagai sumber yang relevan. Model ini melatih kemampuan siswa untuk menghadapi berbagai permasalahan dalam kehidupan, mencari dan menggunakan sumber yang tepat, serta mampu melaksanakan penyelidikan untuk menyelesaikan permasalahan.

Saat ini, masih banyak sekolah dasar yang melaksanakan pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran konvensional, seperti model pembelajaran

(18)

Pembelajaran dengan model Problem Based

Learning (PBL) dan Ekspositori

Kemampuan Berpikir Kritis

ekspositori. Model pembelajaran ekspositori merupakan model pembelajaran yang berpusat pada guru dan materi disampaikan secara verbal dengan tujuan siswa menguasai materi pembelajaran secara maksimal. Dalam pembelajaran dengan menerapkan model ekspositori, guru menjadi sumber informasi yang menyajikan informasi tentang konsep, menyajikan keterampilan, dan memberikan contoh penyelesaian permasalahan. Berdasarkan hal tersebut, model ekspositori dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis.

Model pembelajaran Problem Based Learning dan ekspositori, keduanya mempengaruhi kemampuan berpikir kritis. Pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) melibatkan siswa untuk berperan aktif, mampu berkolaborasi, mampu memecahkan permasalahan dan mampu belajar secara mandiri untuk menghadapi berbagai tantangan dan permasalahan yang ada di lingkungan siswa. Pembelajaran yang menggunakan model ekspositori terdapat langkah yaitu mengaitkan materi pembelajaran dengan kehidupan siswa, hal ini akan merangsang siswa untuk berpikir secara mendalam, sehingga meningkatkan kemampuan berpikir kritis.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) dan Ekspositori terhadap kemampuan berpikir kritis dalam pembelajaran IPS tentang keragaman budaya pada siswa kelas IV SD Negeri.

Adapun skema kerangka berpikir digambarkan pada gambar 2.1 sebagai berikut:

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir

(19)

C. Hipotesis

Dari berbagai pemaparan di atas, dan disesuaikan pula dengan rumusan masalah dan tujuan penelitaian, maka hipotesis dalam penelitian ini yaitu:

Ho = Terdapat pengaruh model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) dan Ekspositori terhadap kemampuan berpikir kritis dalam pembelajaran IPS tentang keragaman budaya pada siswa kelas IV SD Negeri se-Kecamatan Kutowinangun

H1 = Tidak terdapat pengaruh model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) dan Ekspositori terhadap kemampuan berpikir kritis dalam pembelajaran IPS tentang keragaman budaya pada siswa kelas IV SD Negeri se-Kecamatan Kutowinangun

Hipotesis ststistik:

H0 : µ1 ≤ µ2

H1 : µ1 > µ2

Referensi

Dokumen terkait

Kami juga akan memberikan dukungan dan pantauan kepada yang bersangkutan dalam mengikuti dan memenuhi tugas-tugas selama pelaksanaan diklat online. Demikian

Data hasil pretes dan postes yang telah diperoleh akan dianalisis untuk melihat bagaimana efektivitas model pembelajaran reflektif untuk meningkatkan pemahaman

confirmed that the degradation effects, such as uneven corrosion wastages (grooving and pitting) and cracks, could significantly reduce the ultimate strength of

Penelitian mengenai pengaruh gelombang mikro terhadap tubuh manusia menyatakan bahwa untuk daya sampai dengan 10 mW/cm2 masih termasuk dalam nilai ambang batas aman

Informasi tersebut ditampilkan pada masing-masing baris data pendukung yang berisi isian data tidak valid.. Jika Tanggal tidak valid , aka pada aris terse ut aka ta pil tulisa

Hasil panen pada percobaan menunjukkan bahwa dosis pupuk kandang sapi 15 ton/ha lebih tinggi pada varietas Turangga dibandingkan varietas Patriot dalam parameter

In measuring phase the sequences (i.e. patterns) of HO and LAU zones can be determined and stored in database on each road. There are operating solutions and IPRs based

Dengan teknik inilah peneliti mendapatkan data atau hasil berupa nilai atau skor dari tes yang diadakan pada waktu penelitian, kemudian nilai atau kor yang