PERISTIWA 27 JUNI 1955
Kajian Tentang Hubungan Sipil Dan Militer Pada Masa Demokrasi Liberal
(1950-1959)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Dari Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Jurusan Pendidikan Sejarah
Oleh
Anny Wahyuni
(0806582)
JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
ABSTRAK
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
UCAPAN TERIMAKASIH ... iv
DAFTAR ISI ... vi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ...8
C. Tujuan Penelitian ...8
D. Metode Teknik Penelitian ……….. 8
E. Manfaat Penelitian ...11
F. Sistematika Penulisan ……….. 12
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Hubungan Sipil dan Militer ...14
B. Hubungan Sipil dan Militer Pada Masa Demokrasi Liberal ...24
C. Peristiwa 27 Juni 1955...33
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode dan Teknik Penelitian ...38
B. Persiapan Penelitian...43
C. Pelaksanaan Penelitian ………. 45
D. Penulisan Laporan Penelitian ... 55
BAB IV PEMBAHASAN A. Latar Belakang Peristiwa 27 Juni 1955 ... 58
B. Kronologis Peristiwa 27 Juni 1955... 81
C. Dampak Peristiwa 27 Juni 1955 Terhadap Hubungan Sipil dan Militer …91 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 117
DAFTAR PUSTAKA ... 123
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Militer adalah sebuah organisasi yang paling sering melayani kepentingan
umum tanpa menyertakan orang-orang yang menjadi sasaran usaha-usaha organisasi.
Militer merupakan salah satu organ yang penting di miliki oleh pemerintah dalam suatu
Negara. Tujuan pokok adanya militer dalam satu negara seperti yang dikatakan Finer,
untuk bertempur dan memenangkan peperangan. Guna mempertahankan dan
memelihara eksistensi negara. Hakekat tugas militer yang sebenarnya dalam suatu
negara ialah melatih diri dan menyediakan perlengkapan untuk menghadapai musuh
dari luar, mereka (golongan militer) yang harus bertanggung jawab dalam berbagai
bidang keamanan dan keselamatan umum terhadap ancaman musuh dari luar
(Muhaimin, 2005:1)Militer merupakan suatu kelompok orang-orang yang diorganisasi
dengan disiplin untuk melakukan pertempuran yang dibedakan dari orang-orang sipil
(Masa demokrasi liberal berdasarkan sistem multipartai yang banyak memiliki segi
positif dan juga memiliki segi negatif.
Dalam periode 1950-1959 yang disebut sebagai Demokrasi Liberal merupakan
zaman keemasan kehidupan partai-partai politik di Indonesia. Suatu masa dimana dalam
sejarah perjalanan partai-partai politik yang penuh kegairahan dan dinamika. Boleh
dikatakan hampir dalam struktur kenegaraan diperebutkan oleh “orang orang partai”
karena menganut sistem pemerintahan Parlementer. Kursi-kursi di pemerintahan
pendapat daripada menghasilkan rumusan-rumusan konstruktif demi kepentingan
nasional. Sedangkan Soekarno lebih banyak sebagai pengendali pemerintah di atas
pertentangan antar partai. Posisi golongan tentara berjajar menjadi “penonton” serta
bertugas sebagai pelaksana setiap kebijaksanaan pemerintah. Agenda sidang kabinet
banyak berisi tentang pertikaian kepentingan yang begitu tajam antar partai politik.
Keadaan ini terjadi pada masa Demokrasi Liberal. Seringnya pergantian kabinet karena
perbedaan pendapat antara partai, banyak menimbulkan kejengkelan golongan tentara,
sehingga sering pula pihak tentara menunjukan sikap yang keras dan menentang
kebijaksanaan kabinet. Melihat gejolak pemerintahan dalam sistem parlementer nampak
bahwa tentara merasa terombang ambing oleh sikap para pemimpin sipil dari
partai-partai yang boleh di bilang “kurang becus memegang kursi parlemen dan kabinet”
dalam situasi yang demikian golongan tentara nampak aktif mengikuti terus jalannya
politik, tetapi tidak melakukan tindakan.
Ketika revolusi berakhir dan negara harus dibangun kembali, banyak diantara
perwira Angkatan Darat (AD) yang sulit menerima kenyataan bahwa mereka harus
mundur di latar belakang kehidupan negara. Di samping itu, sejak tahun 1950 mereka
masih meneruskan perjuangan untuk menumpas berbagai pemberontakan dan gangguan
dalam negeri. Dilain pihak kekhawatiran mereka menyaksikan manajemen negara yang
sangat tidak efesien oleh pemerintahan sipil yang korup dalam pemerintahan.
Menurut Lev (1996:6) dalam Nasution (2009:281) menyebutkan
pemerintah sipil dituduh sebagai penyebab kekurangan-kekurangan dalam tubuh AD sendiri.”
Akibatnya, muncul ketidakpuasan yang meluas antara korps perwira, dan ini
membangkitkan kembali kecendrungan mereka untuk melakukan intervensi politik atau
mempengaruhi proses pengambilan keputusan politik negara. Sudah menjadi rahasia
umum bahwa dari awal AD menolak asas supremasi pemerintahan sipil terutama
kendali dalam urusan militer, menurut Mc Vey (1971:131) dalam Nasution (2009: 281).
Karena kurangnya penghargaan AD terhadap sistem parlementer yang mereka anggap
sebagai hasil pemikiran Liberal-Demokrasi yang hanya dimengerti oleh orang-orang
elite sipil yang berpendidikan Belanda dan sesudah revolusi mereka mengetahui bahwa
pemerintahan parlementer tidak akan memberi kesempatan untuk membebaskan AD
dari pengawasan sipil, menurutMc Vey (1971:132) dalam Nasution (2009: 282).
Dengan sistem multipartai ini AD mulai tidak senang, tetapi AD sendiri pada
waktu itu masih mengalami kebingungan di dalam tubuhnya yaitu jiwa dan pikirannya
masih membelah dua, pendiriannya belum ditentukan kearah mana akan dikembangkan
pertumbuhan dan fungsinya. Sementara itu sistem pemerintahan parlementer tidak
mampu membuktikan tumbuhnya stabilitas politik. Ketidak stabilan politik dibuktikan
dengan jatuh bangunya kabinet-kabinetdalam waktu amat pendek. Sistem parlementer
yang tidak di topang oleh sebuah partai yang menguasai suara mayoritas (mayoritas
tunggal) atau sebuah koalisi yang kuat dari partai-partai pemegang suara mayoritas
sehingga menghasilkan pemerintah yang tidak stabil. Keraguan tentara terhadap sistem
parlementer semakin lama semakin membesar sehingga mereka mulai melakukan
“Didalam sistem parlementer ini, kekuasaan politik dan pembuat keputusan adalah partai politik saja. Presiden dan kaum militer merupakan kekuatan politik yang sifatnya ekstra parlementer dengan kekuasaannya yang terbatas (muhaimin 1982;68). Personal dan kebijaksanaan eksekutif kurang lebih erat hubungannya dan distribusi pendapat dan kepentingan yang diwakili dalam dewan perwakilan rakyat. Bilamana pemerintahan menjalankan suatu program yang tak mendapat dukungan dari mayoritas anggota dewan, pemerintah dapat dicopot dari jabatannya dan digantikan oleh pemerintah baru yang mempunyai komitmen pada program yang berbeda (Rodee et al, 1988:80).”
Di sepanjang umurnya Indonesia selalu menghadapi kesulitan serius
menempatkan militer pada posisi yang sebenarnya. Selepas kemerdekaan, republik
Indonesia berhasil meletakkan militer di bawah kontrol sipil secara demokratis. Tetapi
pada saat yang sama militer selalu bernafsu untuk masuk ke sektor politik dan
meruntuhkan kontrol sipil terhadap militer. Konon militer menuduh sipil sangat lemah
dan jengkel terhadap diplomasi sipil yang bertele-tele yang membuat militer tanpa
keputusan sipil mengangkat senjata untuk menghadapi agresi Belanda. Konteks inilah
yang pertama kali membuat runtuh kontrol sipil terhadap militer. Bahkan cerita sukses
gerilya militer (tentara rakyat) di masa-masa revolusi (1945-1950), selalu direproduksi
militer untuk melegitimasi dirinya pada masa-masa sesudahnya.
Pada masa Kabinet Natsir (September 1950-Maret 1951) kerjasama sipil dan
militer tampak harmonis. Pada periode 1952 timbul perbedaan pandangan antara militer
dan sipil pertentangan ini meruncing pada masa kabinet Wilopo yaitu dengan
meletusnya peritiwa 17 Oktober 1952. Dalam peristiwa ini markas besar AD
menempatkan satuan-satuan bersenjata di depan Istana Presiden sambil mengarahkan
meriam mereka ke pintu istana dan mengirim delegasi korps perwira untuk bertemu
dengan Presiden Soekarno dengan maksud mendesak supaya ia membubarkan parlemen
dan mengambil alih pemerintahan parlementer serta digantikan dengan kabinet
presidensial dibawah kepemimpinanya sendiri, menurut Feith (1962:258-260:
Sundhaussen,1982:70-71) dalam Nasution (2009:282). Usaha militer untuk mengubah
sistem pemerintahan dari pemerintahan parlementer menjadi sistem pemerintahan
presidensial yang otoriter ini ternyata gagal karena presiden Soekarno menolak tuntutan
mereka dan menegaskan bahwa ia tidak akan menjadi diktator.
Percobaan kudeta 17 Oktober 1952 serta penyelesaian masalah 17 Oktober yang
berlarut-larut dan tak kunjung diselesaikan sehingga menyebabkan suasana pro dan
kontra dikalangan AD, akhirnya mereka berpendapat bahwa masa krisis harus segera
diselesaikan dan di akhiri. Setelah masalah ini terkatung-katung selama 28 bulan pada
tanggal 21 Juni 1955 diadakan rapat-rapat angkatan darat yang di laksankaan di
Yogyakarta. Rapat ini menghasilkan Piagam Yogyakarta.
Perkembangan paska piagam Yogya mengalami babak baru dengan mundurnya
Kepala Staff Angkatan Darat Bambang Sugeng pada tanggal 2 mei 1955. Mundurnya
mereka adalah Kolonel Bambang Supeno, Kolonel Zulkifli Lubis, Letkol Sapari dan
Letkol Abimayu. Bahkan perwira tersebut sudah mengadakan pertemuan dengan
menteri pertahanan dan Presiden untuk menurunkan Bambang Sugeng dari jabatannya
semenjak bulan September 1954. Sejak awal pengangkatan bambang sugeng memang
bersifat politis dan hanya mengandalkan dukungan dari Perdana Mentri Wilopo.
Bambang Sugeng dinilai gagal dalam membina keutuhan AD dan dimata para politisi
sipil tidak mempunyai wibawa sehingga mudah dilangkahi wewenangnya oleh Menteri
Pertahanan. Ia juga tidak mampu melaksanakan isi Piagam Yogya. Sebenarnya ini
sudah disadari semenjak tahun 1953 ketika ia mengajukan permohonan mengundurkan
diri dari jabatannya untuk pertama kali. Permohonan pengunduran ini pertama kali
langsung disetujui oleh pemerintah dan untuk mengisi jabatan KSAD ditunjuk pejabat
sementara yaitu wakil KSAD Kolonel Zulkifli Lubis.
Seperti yang diketahui pada waktu pengangkatan Bambang Sugeng sebagai
KSAD, hanya semata-mata akibat pertentangan politik yang bergejolak saat itu. Seperti
kasus mosi dari Manai Sophian pada masa Kabinet Wilopo sampai meletusnya
Peristiwa 17 Oktober 1952. Ketika dipilih menjadi KSAD, Bambang Sugeng adalah
perwira yang netral yang tidak memihak salah satu pihak dari kelompok pro -17
Oktober maupun kontra 17 Oktober. Ternyata harapan untuk menyelesaikan masalah
persatuan dalam AD ternyata tidak berhasil. Sebelum Bambang Sugeng mengundurkan
diri dari jabatannya, ia telah mempersiapkan sebuah mutasi besar-besaran dalam tubuh
penolakan rencana mutasi ini menjadi sebab utama Bambang Sugeng mengundurkan
diri dari jabatannya dan Kabinet mengabulkan permintaan Bambang Sugeng.
Pengunduran diri Bambang Sugeng kemudian menjadi suatu test case bagi
kalangan politisi sipil terhadap kesediaanya untuk melepaskan campur tangannya dalam
pengangkatan dan pengisian personalia pada jabatan militer yang biasa mereka dasarkan
pada pertimbangan politik dan sekaligus merupakan ujian dari kalangan militer
sehubungan dengan pelaksanaan Piagam Yogya.
Peristiwa 17 Oktober 1952 membawa rentetan kejadian antara lain, Kolonel
Bambang Sugeng, meletakan jabatan. Sementara itu di lingkungan AD para perwira
mengadakan pembicaraan untuk menentukan kriteria calon KSAD yang baru dan
pemerintah juga memikirkan kriteria-kriteria sendiri untuk memilih KSAD yang baru.
Pemerintah menunjuk Bambang Utoyo sebagai kepala staff AD yang baru, protes
pemimpin AD sendiri terhadap pengangkatan kolonel Bambang Utoyo sebagai KSAD
pada tanggal 27 Juni 1955 secara sepihak menyebabkan AD tidak dapat menerima
keputusan pemerintah. Hal ini menimbulkan keputusan baru dalam tubuh TNI-AD
maupun pemerintah. Implikasi dan peristiwa – peristiwa yang ada di dalam tubuh
TNI-AD telah memberi pengaruh dalam kehidupan politik TNI TNI-AD dalam pemerintahan.
Sehingga hal ini menarik minat penulis untuk mengkaji lebih dalam PERISTIWA 27
JUNI 1955 : Kajian Tentang Hubungan Sipil Dan Militer Pada Masa Demokrasi
B. Rumusan dan Batasan Masalah.
Berdasarkan latar belakang diatas maka yang menjadi pokok permasalahan yang
akandi angkat adalah “ Bagaimanakah Terjadinya Peristiwa 27 Juni 1955?”. Adapun
untuk lebih memperjelas kajian dalam skripsi ini, maka rumusan masalah dikerucutkan
dalam pertanyaan pertanyaan yang lebih rinci sebagai berikut:
1. Apa yang melatarbelakangi terjadinya Peristiwa 27 Juni 1955?
2. Bagaimana kronologis Peristiwa 27 Juni 1955?
3. Bagaimana dampak Peristiwa 27 Juni 1955 terhadap hubungan sipil dan militer?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian yang dilakukan penulis dalam skripsi yang berjudul “Peristiwa 27
Juni 1955: kajian tentang hubungan sipil dan militer pada masa Demokrasi Liberal
(1950-1959)” memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui alasan penyebab terjadinya peristiwa 27 juni 1955.
2. Untuk menjelaskan kronologis peristiwa 27 Juni 1955.
3. Untuk mengetahui dampak peristiwa 27 Juni 1955 terhadap hubungan sipil
dan militer.
D. Metode Teknik Penelitian
1. Metode Penelitian
Dalam skripsi ini, metode yang penulis gunakan metode historis yang lazim
digunakan dalam penelitian sejarah. Menurut Louis Gottschalk (1986:32) metode
historis merupakan proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan
pelaksanaan dan petunjuk teknik tentang bahan, kritik, interpretasi, dan penyajian
sejarah. Adapun langkah-langkah penelitian ini mengacu pada proses metodologi
penelitian dalam penulisan sejarah, yang mengandung empat langkah penting,
diantaranya:
a. Heuristik, merupakan upaya mencari dan mengumpulkan sumber-sumber
yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji, dalam proses mencari
sumber ini penulis mendatangi berbagai perpustakaan, dan mencari
sumber-sumber melalui internet.
b. Kritik, yaitu dengan melakukan penelitian terhadap sumber-sumber sejarah
baik isi maupun bentuknya (internal dan eksternal). Kritik internal dilakukan
penulis untuk melihat kelayakan isi dari sumber-sumber yang diperoleh
tersebut untuk selanjutnya dijadikan bahan penelitian dan penulisan skripsi.
Kritik eksternal dilakukan oleh penulis untuk melihat betuk dari sumber
tersebut. Dalam tahap ini, penulis berusaha melakukan penelitian terhadap
sumber-sumber yang di peroleh yang tentunya berkaitan dengan topik
penelitian ini.
c. Interpretasi dalam hal ini penulis memberikan penafsiran terhadap
sumber-sumber yang telah dikumpulkan selama penelitian berlangsung. Dalam tahap
ini penulis mengerahkan seluruh kemampuan dalam membuat deskripsi,
analisis kritis serta seleksi dari fakta-fakta tentang Peristiwa 27 Juni 1955
Kajian tentang hubungan sipil-dan militer pada masa demokrasi liberal,
penafsiran ini dilakukan dengan cara menafsirkan fakta dan data dengan
konsep yang telah di teliti penulis sebelumnya. Penulis juga melakukan
pemberian makna terhadap fakta dan data yang kemudian disusun,
ditafsirkan dan dihubungkan satu sama lain. Fakta dan data yang telah
diseleksi selanjutnya dijadikan pokok pikiran sebagai kerangka dasar
penyusunan penelitian ini. Misalnya dalam kegiatan ini penulis memberikan
penekanan penafsiran terhadap fakta dan data yang berkaitan dengan
penelitian ini. Penjelasan lebih lanjut tentang metode ini akan di bahas pada
BAB III dalam metodologi penelitian.
d. Historiografi merupaka langkah terakhir dalam penelitian ini. Dalam hal ini
penulis menyajikan hasil temuannya pada tiga tahap yang dilakukan
sebelumnya dengan cara menyusunnya dalam satu tulisan yang jelas dalam
bahasa yang sederhana dan menggunakan tata penulisan EYD yang baik dan
benar.
2. Teknik Penelitian
Dalam mengumpulkan sumber-sumber yang di perlukan untuk penulisan skripsi
ini, penulis menggunakan teknik studi literatur. Studi literatur digunakan oleh penulis
untuk mengumpulkan fakta dari berbagai sumber yang relevan dengan penelitian yang
dikaji, baik literatur lokal maupun asing yang semua itu dapat memberikan informasi
mengenai permasalahan yang hendak dikaji. Sumber yang dapat dikumpulkan penulis
akan melakukan teknik studi literatur ini karena disesuaikan dengan permasalahan yang
dikaji.
E. Manfaat Penelitian
Nilai suatu penelitian dapat dilihat dari besarnya manfaat yang bisa diperoleh
dari penelitian tersebut. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai
berikut:
1. Mengetahui dinamika hubungan sipil dan militer pada masa Demokrasi Liberal
(1950-1959).
2. Mengetahui dampak peristiwa 27 Juni 1955
3. Memberikan sumbangan pengetahuan ilmiah yang berguna dalam rangka
pengembangan ilmu sejarah.
4. Dengan penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi para pembaca
tentang Peristiwa 27 Juni 1955.
F. Sitematika Penulisan
Sitematika penulisan dibuat dengan dua tujuan. Pertama, sebagai langkah bagi
penulis untuk menyusun bab-bab yang belum terselesaikan. Kedua, untuk
mempermudah pembaca dalam memahami keseluruhan bagian skripsi. Untuk mendapat
gambaran yang jelas dari penelitian dan penulisan skripsi ini. Sistematika penulisan
akan disusun kedalam lima bab yang terdiri dari :
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini akan membahas mengenai latar belakang masalah yang didalamnya
kajian tentang hubungan sipil dan militer pada masa Demokrasi Liberal (1950-1959)”.
Pada bab ini juga membahas mengenai rumusan masalah yang disusun dalam bentuk
kalimat pertanyaan untuk mempermudah peneliti mengkaji dan mengarahkan
pembahasan, tujuan peneltian, metode dan teknik penelitian serta sistematika
penelitian.
BAB IIKAJIAN PUSTAKA
Bab ini merupakan kajian pustaka dari berbagai referensi yang berhubungan
dengan “Peristiwa 27 Juni 1955: Kajian Tentang Hubungan Sipil dan Militer Pada Masa
Demokrasi Liberal (1950-1959)”. Untuk mengkaji dan memahami serta menganalisis
sejauh mana pembahasan yang diteliti dalam penulisan skripsi ini.
BAB IIIMETODOLOGI PENELITIAN
Bab ini membahas tentang langkah-langkah, metode dan teknik penelitian yang
digunakan oleh peneliti dalam mencari sumber-sumber, cara pengolahan sumber,
analisis dan sitematika penulisannya. Semua prosedur dalam penelitian akan dibahas
dalam bab ini.
BAB IVPERISTIWA 27 JUNI 1955 KAJIAN TENTANG HUBUNGAN
SIPIL DAN MILITER PADA MASA DEMOKRASI LIBERAL
(1950-1959).
Bab ini merupakan isi utama dari tulisan sebagai jawaban pertanyaan-pertanyaan
yang terdapat pada rumusan masalah. Pada bab ini akan di jelaskan konflik antara
pemerintah terhadap peristiwa 27 Juni 1955. Pada bab ini juga akan dibahas mengenai
dampak peristiwa 27 Juni 1955 terhadap TNI-AD dan terhadap pemerintahan.
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Bab ini mengemukakan kesimpulan dan yang merupakan jawaban dari masalah
keseluruhan. Hasil terakhir ini merupakan temuan dan interpretasi dari peneliti tentang
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Dalam bab ini kan menjelaskan tentang metode penelitian yang akan di
pakai dalam membahas permasalahan yang berkaitan dengan skripsi yang
berjudul “Peristiwa 27 Juni 1955: Kajian Tentang Hubungan Sipil Dan Militer
Pada Masa Demokrasi Liberal (1950-1959)”. Metodologi yang digunakan penulis
dalam penelitian ini adalah metode historis dan teknik penelitian berupa literatur.
Pada bagian pertama penulis akan memaparkan metode dan teknik
penelitian secara teoritis sebagai acuan dalam pelaksanaan penelitian yang akan
penulis lakukan. Pada bagian kedua, akan di jelaskan mengenai tahapan-tahapan
persiapan dalam pembuatan skripsi yaitu penentuan dan pengajuan tema,
penyusunan rancangan penelitian, dan proses bimbingan. Bagian ketiga berisi
tentang pelaksanaan penelitian yang dimulai dari pengumpulan data (heuristik)
baik sumber tertulis maupun sumber lisan, kritik, sumber dan interpretasi. Pada
bagian akhir akan dipaparkan mengenai proses penulisan skripsi (historiografi)
sebagai bentuk laporan tertulis dari penelitian sejarah yang di lakukan
A. Metode dan Teknik Penelitian
1. Metode Penelitian
Metode historis adalah rekonstruksi imajinatif tentang gambaran masa
lampau peristiwa-peristiwa sejarah secara kritis dan analitis berdasarkan
bukti-bukti dan data peninggalan masa lampau yang disebut sumber sejarah (Ismaun,
2005: 34). Pernyataan ini sependapat dengan Garrangan bahwa metode sejarah
sejarah secara efektif, melakukan penilaian secara kritis dan mengajukan sintesis
dari hasil-hasil yang dicapai dalam bentuk tulisan (Abdurrahman, 1999:43).
Selain itu pengertian metode sejarah adalah suatu proses pengkajian penjelasan
dan penganalisaan secara kritis terhadap rekaman serta peninggalan masa lampau
(Sjamsuddin, 2007: 17-19). Abdurrahman (1999:43) metode sejarah dalam
pengertian secara umum adalah penyelidikan atas sesuatu masalah dengan
mengaplikasikan jalan pemecahannya dari perspektif historis.
Ciri-ciri khas metode sejarah yaitu :
1. Metode sejarah lebih banyak menggantungkan diri pada data yang
diamati orang lain di masa lampau.
2. Data yang dipergunakan banyak bergantung pada data primer
dibandingkan dengan data sekunder. Bobot data harus dikritik, baik
secara internal maupun eksternal.
3. Metode sejarah mencari data secara lebih tuntas serta menggali
informasi yang lebih tua yang tidak diterbitkan ataupun yang tidak
dikutip dalam bahan acuan yang standar.
4. Sumber data harus dinyatakan secara benar, baik nama pengarang,
tempat dan waktu. Sumber tersebut harus diuji kebenarannya.
Dari beberapa pengertian diatas, penulis berasumsi bahwa metode sejarah
digunakan berdasarkan pertimbangan bahwa data-data yang digunakan berasal
dari masa lalu sehingga perlu dianalisis terhadap tingkat kebenarannya agar
kondisi pada masa lampau dapat digambarkan dengan baik. Jadi dapat ditarik
metode yang digunakan untuk mengkaji suatu peristiwa atau permasalahan pada
masa lampau secara deskriptif dan analitis. Oleh sebab itu penulis menggunakan
metode ini karena data dan fakta yang di butuhkan sebagai sumber penelitian
skripsi ini berasal dari masa lampau. Dengan demikian, metode sejarah
merupakan metode yang paling cocok dengan penelitian ini khususnya mengenai
“Peristiwa 27 Juni 1955: Kajian Tentang Hubungan Sipil Dan Militer Pada Masa
Demokrasi Liberal (1950-1959)”.
Mengemukakan ada enam langkah dalam metode historis (Sjamsuddin,
2007 : 89) yaitu
1. Memilih suatu topik yang sesuai.
2. Mengusut semua evidensi (bukti) yang relevan dengan topik.
3. Membuat catatan tentang apa saja yang dianggap penting dan relevan
dengan topik yang ditemukan ketika penelitian sedang berlangsung.
4. Mengevaluasi secara kritis semua evidensi yang telah di kumpulkan
(kritik sumber).
5. Menyusun hasil-hasil penelitian (catatan fakta-fakta) ke dalam suatu
pola yang benar berarti yaitu sistematika tertentu yang telah disiapkan
sebelumnya
6. Menyajikannya dalam suatu cara yang dapat menarik perhatian dan
mengkomunikasikannya kepada para pembaca sehingga dapat
Pendapat lain dikemukakan oleh Kuntowijoyo (2003:89) mengemukakan
bahwa dalam melaksanakan penelitian sejarah terdapat lima tahapan yang harus
ditempuh yaitu:
1. Pemilihan topik.
2. Pengumpulan sumber
3. Verifikasi (kritik sejarah atau keabsahan sumber).
4. Interpretasi, analisis dan sintesis.
5. Penulisan.
Sementara itu, metode sejarah menurut Ernest Bernsheim yang terdapat
dalam buku Ismaun (2005:32) mengatakan bahwa ada beberapa langkah yang
harus dilakukan dalam mengembangkan metode historis. Langkah yang harus di
lakukan dalam melakukan penelitian historis tersebut adalah :
1. Heuristik yakni mencari, menemukan dan mengumpulkan sumber-sumber sejarah.
2. Kritik yaitu menganalisis secara kritis sumber-sumber sejarah.
3. Aumasung yakni penangkapan terhadap fakta-fakta sejarah yang dipunguti dari sumber sejarah.
4. Dahrstellung yaitu penyajian cerita yang memberikan gambaran sejarah yang terjadi pada masa lampau yang penulis wujudkan dalam bentuk skripsi yang berjudul “Peristiwa 27 Juni 1955 ; Kajian Tentang Hubungan Sipil dan
Militer Pada Masa Demokrasi Liberal (1950-1959).
Agar metode sejarah mempunyai makna yang lengkap dan komprehensif,
maka dalam melaksanakan penelitian sejarah harus memperhatikan hal-hal berikut
(Kartodirdjo, 1992: 236):
1. Dalam historiografi diperlukan pendekatan fenomenalogis yang
2. Pengungkapan yang bersifat reflektif, sehingga dimungkinkan tetap
adanya kesadaran akan subjektivitas diri sendiri seperti kepentingan,
perhatian, logika, metode dan latar belakang historisnya.
3. Bersifat komprehensif, sehingga memilki relevansi terhadap realitas
sosial dari berbagai ruang lingkup.
4. Perlu memiliki relevansi terhadap kehidupan praktis.
2. Teknik Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini penulis menggunakan teknik studi
kepustakaan atau literatur. Studi kepustakaan ini di lakukan dengan membaca bab
mengkaji buku-buku serta artikel yang dapat membantu penulis dalam
memecahkan permasalahan yang dikaji yaitu mengenai Peristiwa 27 Juni 1955.
Berhubungan dengan ini, dilakukan kegiatan kunjungan pada
perpustakaan-perpustakaan yang ada di Bandung serta Jakarta yang mendukung dalam
penulisan ini. Setelah berbagai literatur terkumpul dan cukup relevan sebagai
acuan penulisan mulai mempelajari, mengkaji dan mengidentifikasikan serta
memilih sumber yang relevan dan dapat dipergunakan dalam penulisan.
Berdasarkan penjelasan diatas, penulis mencoba memaparkan beberapa
langkah yang digunakan dalam melakukan penelitian sehingga menjadi karya tulis
ilmiah yang sesuai dengan tuntutan keilmuan. Langkah-langkah yang dilakukan
terbagi menjadi tiga tahap yaitu persiapan penelitian, pelaksanaan penelitian dan
B. Persiapan Penelitian
1. Penentuan dan Pengajuan Tema Penelitian
Tahap ini merupakan tahap yang paling awal untuk memulai suatu
jalannya penelitian. Pada tahap ini penulis melakukan proses memilih dan
menentukan topik yang akan dikaji kemudian penulis melakukan upaya-upaya
pencarian sumber dengan membaca berbagai sumber literatur yang berhubungan
dengan tema yang penulis kaji. Berdasarkan pembacaan dari literatur, penulis
selanjutnya mengajukan rancangan judul penelitian kepada Tim Pertimbangan
Penulisan Skripsi (TPPS) yang secara khusus menangani masalah penulisan
skripsi di Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI Bandung. Setelah melakukan
seminar penulisan skripsi dan bimbingan akhirnya judul proposal ini menjadi
Peristiwa 27 Juni 1955 : Kajian Tentang Hubungan Sipil dan Militer Pada Masa
Demokrasi Liberal (1950-1959). Setelah judul ini disetujui maka penulis
menyusun suatu rancangan penelitian dalam bentuk proposal skripsi.
2. Penyusunan Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian merupakan salah satu tahapan yang harus dilakukan
oleh penulis. Rancangan penelitian ini kemudian dijabarkan dalam bentuk
proposal penelitian skripsi yang diajukan kembali kepada TPPS untuk di
presentasikan dalam seminar 18 Maret 2013 adapaun proposal penelitian tersebut
pada dasarnya berisi tentang :
1. Judul penelitian
3. Rumusan Masalah
4. Tujuan Penelitian
5. Tinjauan Kepustakaan
6. Metode dan Teknik Penelitian
7. Sistematika Penulisan
Setelah rancangan penelitian diseminarkan dan disetujui, maka
pengesahan penelitian di tetapkan dengan surat keputusan bersama oleh TPPS dan
ketua jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS dengan No 002/TPPS/JPS/2012
Tertanggal 16 April 2012 sekaligus menentukan pembimbing satu dan dua
3. Proses Bimbingan dan Konsultasi
Dalam melaksanakan penelitian ini penulis dibimbing oleh dua orang
dosen yang kemudian disebut dengan Dosen Pembimbing I dan II pada tahap ini
mulai dilakukan proses bimbingan atau konsultasi dengan H. Didin Saripudin M.
Si. Ph.D selaku Dosen Pembimbing I dan Drs R. H. Achmad Iriyadi selaku
pembimbing II. Proses bimbingan diperlukan agar penelitian yang berlangsung
berjalan dengan baik dan tidak mengalami hambatan yang berarti. Dalam proses
bimbingan ini selain menentukan teknis dari bimbingan sendiri, penulis juga
menerima masukan dan arahan terhadap proses penulisan skripsi ini, baik teknis
penulisan maupun terhadap isi dari skripsi ini. Setelah melakukan beberapa kali
bimbingan dan konsultasi dengan Dosen Pembimbing, penulis menerima masukan
tentang permasalahan-permasalahan penting yang harus di kaji dalam skripsi ini.
ini. Selain itu penulis juga menerima masukan dari segi teknis penulisan karya
ilmiah yang baik sehingga dirasa sangat membantu dalam proses penelitian.
C. Pelaksanaan Penelitian
Tahap ini merupakan sebuah proses yang paling penting dalam suatu
penelitian. Ada beberapa tahapan yang harus dilakukan penulis untuk melakukan
penelitian diantaranya tahap pengumpulan sumber (Heuristik) baik sumber lisan
maupun tulisan yang berhubungan dengan Peristiwa 27 Juni 1955 : Kajian
Tentang Hubungan Sipil dan Militer Pada Masa Demokrasi Liberal (1950-1959).
Kritik sumber dan kritik eksternal maupun internal serta yang terakhir
Historiografi yang merupakan serangkaian kegiatan penulisan laporan hasil
penelitian. Agar lebih jelas, penulis jabarkan mengenai pelaksanaan penelitian
sebagai berikut :
1. Heuristik atau Pengumpulan Sumber
Langkah kerja sejarawan dalam mengumpulkan sumber-sumber atau
bukti-bukti sejarah disebut heuristik. Heuristik dalam bahasa Jerman disebut
Quellankunde merupakan sebuah kegiatan awal mencari sumber-sumber untuk
mendapatkan data-data atau materi sejarah (Sjamsuddin, 2007: 86). Pada tahap ini
penulis akan mencari sumber-sumber yang relevan bagi permasalah yang sedang
dibahas. Sumber-sejarah berupa bahan-bahan sejarah yang memuat bukti-bukti
aktifitas manusia dimasa lampau yang berbentuk tulisan atau cerita. Sumber
tertulis berupa buku dan artikel yang berhubungan dengan permasalahan penulis
kaji. Jenis sumber sejarah yang digunakan peneliti dalam proses penelitian berupa
buku-buku, artikel dan majalah yang di dalamnya terdapat pembahasan tentang
Peristiwa 27 Juni 1955. Sumber-sumber literatur yang peneliti dapatkan dengan
cara mengunjungi perpustakaan yang sekiranya memuat sumber sumber dan
data-data yang peneliti perlukan. Untuk memperoleh sumber tertulis peneliti
melakukan kunjungan ke beberapa tempat seperti
a. Perpustakaan TNI-AD peneliti mendapatkan sumber-sumber berupa buku,
antara lain: Politik Militer Indonesia 1945-1967 Menuju Dwi Fungsi ABRI
karya Ulf Sundhaussen (1986); Indonesia Abad Ke 20 Dari Perang
Kemerdekaan Pertama Sampai Pelita III karya G.Moedjanto (1998);
Sistem Politik Indonesia karya Arbi Sanit (1981); Militer Dan Politik
karya Amos Permutter (1984); Panggilan Tugas karya A. H. Nasution
(1983); Sejarah TNI Jilid II (1950-1959) karya Markas Besar Tentara
Nasional Indonesia Pusat Sejarah Dan Tradisi TNI (2000).
b. Perpustakan Gedung Sate peneliti mendapatkan satu buku yang berjudul:
PRRI, PERMESTA Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis karya
R. Z. Leirissa (1997).
c. Perpustakan SMAN 14 Bandung di perpustakaan ini penulis menemukan
buku yang berjudul: Sejarah Indonesia Jilid 8 (Zaman Orde Lama) karya
Eko Praptanto; Sang Pejuang Dalam Gejolak Sejarah (1897) karya Pusat
Penelitian Kemasyarakatan Dan Kebudayaan Lembaga Penelitian
d. Perpustakaan Unpad di perpustakaan ini penulis menemukan buku yang
berjudul: Indonesia Merdeka Biografi Politik Mohamad Hatta karya
Mavis Rose.
Selain mengunjugi perpustakaan tersebut peneliti juga memiliki koleksi
buku pribadi mengenai Peristiwa 27 Juni 1955 antara lain: Sejarah Indonesia
Modern 1200-2004 karya M. C. Riecklefs (2008); Sejarah Nasional Indonesia
Jilid VI karya Marwati Djoened Poesppnegoro dan Nugroho Notosusanto (1993).
Selain dari sumber diatas peneliti juga memperoleh pinjaman buku dari dosen
yang berjudul: Pergolakan Politik Tentara Sebelum Dan Sesudah G 30 S/PKI
karya Todiruan Dydo; Kemelut Demokrasi Liberal karya Boyd R.. Compton
(1992).
2. Kritik Sumber
Setelah melakukan tahapan pengumpulan sumber, langkah selanjutnya
adalah melaksanakan kritik sumber. Pada tahap ini penulis melakukan krititik
terhadap sumber-sumber sejarah yang telah di peroleh, baik yang sumber utama
maupun sumber penunjang lainnya. Kritik sumber ini dilakukan karena
sumber-sumber yang di dapatkan tidak bisa diterima begitu saja oleh penulis sumber-sumber
tersebut akan di pilah untuk dinilai dan diselidiki kebenaran sumber, keterkaitan
serta keobjektifannya karena tidak semua sumber memiliki tingkat kebenaran
yang sama. Fungsi kritik sumber bagi sejarawan sangat erat kaitannya dengan
tujuan sejarawan itu untuk mencari kebenaran. Sejarawan selalu dihadapkan
dengan kebutuhan untuk membedakan apa yang benar dan apa yang tidak benar,
2007 :131). Dengan kritik ini maka akan memudahkan dalam penulisan karya
ilmiah yang objektif tanpa rekayasa sehingga dapat di pertanggung jawabkan
secara keilmuan. Adapun kritik yang di lakukan penulis sebagai berikut:
1. Kritik eksternal
Kritik ekstern adalah cara pengujian sumber terhadap aspek-aspek luar
dari sumber sejarah secara terinci. Kritik eksternal merupakan suatu penelitian
atas asal usul dari sumber. Suatu pemeriksaan atas catatan atau peninggalan itu
sendiri untuk mendapatkan informasi yang mungkin dan untuk mengetahui
apakah pada suatu waktu sejak asal mulanya sumber itu telah diubah oleh
orang-orang tertentu atau tidak (Sjamsuddin, 2007:104-105). Adapun langkah penulis
dalam melakukan kritik eksternal terbagi kedalam dua yaitu
a. Kategori penulis sumber
b. Karakteristik sumber
Dalam melaksanakan kritik eksternal terhadap sumber tertulis berupa
buku-buku penulis tidak menyeleksinya secara ketat hanya
mengklasifikasikannya dari aspek latar belakang penulis buku tersebut untuk
melihat konsistensinya sehubungan dengan judul tema penulisan skripsi ini tahun
terbitnya karena semakin kekinian angka tahunnya maka semakin baik disebabkan
setiap saat terjadi perubahan dari penerbit serta dimana tempat buku tersebut
diterbitkan untuk melihat spesialisasi tema-tema buku yang dikeluarkan oleh
penerbit tersebut. Selain itu popularitas penulis akan membuat tingkat
Kritik eksternal terhadap sumber tertulis dilakukan melihat kelayakan
sumber apabila akan dijadikan bahan penelitian skripsi. Kategori penulis sumber
dimaksud untuk mengetahui dari mana asal usul penulis sumber dan latar
belakang penulis. Adapun kritik dalam karakteristik sumber yaitu membedakan
dan mengelompokan dalam bentuk buku atau lainnya. Hal ini untuk menunjukan
tingkat keobjektifitasan penulis dalam penelitian ini.
Kritik eksternal ini dilakukan terhadap buku yang berjudul “Politik Militer
Indonesia 1945-1967 Menuju Dwi Fungsi ABRI” karya Ulf Sundhaussen. Buku
ini sangat bermanfaat karena banyak menjelaskan tentang hubungan sipil-militer
melihat dari kenyataan tidak polanya diberbagai negara di Dunia. Terutama
terdapat perbedaan antara negara-negara yang sudah berkembang (khususnya
negara barat) dengan negara baru yang mulai berkembang. Di dalam buku ini juga
dijelaskan tanggung jawab militer terhadap negara yang tentu sangat berhubungan
dengan penelitian skripsi ini yaitu konflik antara politisi dan militer. Kondisi buku
ini masih bagus walaupun diterbitkan tahun 1986 dan layak di pakai oleh peneliti.
Berikutnya buku yang berjudul “Pergolakan Politik Tentara Sebelum Dan
Sesudah G 30 S/PKI” karya Todiruan Dydo buku yang setebal 171 halaman
banyak mendeskripsikan peranan tentara dalam kekuasaan pemerintahan selain
menimbulkan antagonisme juga melahirkan konsepsi baru dalam budaya politik
kenegaraan. Kekuasaan pemerintah berkecamuk dalam campur tangan
orang-orang militer. Dan dalam buku ini juga mengatakan kaum militer tidak mampu
mampu berdiri sendri untuk memerintah tanpa diikuti peranan sipil, selain itu
Buku ini diterbitkan tahun 1989 walaupun terbitan lama tapi kondisi fisiknya
masih bagus dan tidak terlalu sulit bagi peneliti untuk mendapatkannya.
Buku berikutnya adalah buku yang berjudul “Kemelut Demokrasi Liberal”
karya Boyd R. Compton. Buku ini merupakan kumpulan surat-surat rahasia
Compton yang di tulisnya selama masa tahun lima puluhan, dimana merupakan
masa proses perwujudan Demokrasi Liberal dinegara ini. Pada masa itulah
berbagai konflik internal terjadi. Dalam buku ini juga membahas tentang
perdebatan-perdebatan di parlemen, demontrasi anti parlemen, reaksi reaksi dari
kalangan militer dan upaya pemerintah mencapai pemecahan. Kondisi fisik buku
ini masih bagus dan diterbitkan tahun 1992 sehingga masih layak digunakan oleh
peneliti. Buku ini diterbitkan oleh LP3ES yang merupakan salah satu pernerbit
yang terkenal dalam buku-buku sejarah.
Berikutnya buku yang berjudul “Indonesia Abad Ke 20 Dari Perang
Kemerdekaan Pertama Sampai Pelita III” karya G. Moedjanto. Buku yang di
terbitkan oleh Kanisius tahun 1998 dengan kondisi buku yang masih bagus dan
layak digunakan oleh peneliti karena didalamnya membahas mengenai peristiwa
17 Oktober 1952 yang merupakan latar belakang dari peristiwa 27 juni 1955.
Serta buku ini juga mengulas sejarah militer yang selalu menunjukan sumbangan
dan peranannya yang besar dalam persoalan non militer sehingga AD
menghendaki ikut serta dalam pemerintah atau lembaga non militer.
Buku berikutnya berjudul “Panggilan Tugas” karya A. H. Nasution. Buku
yang terdiri dari 9 jilid, jilid ketiga yang membahas tentang masa pancaroba yang
dari luar maupun dari dalam negeri sendiri. Dalam buku ini menceritakan tentang
latar belakang peritiwa 27 juni 1955 tentang hubungan sipil dan militer pada masa
Demokrais liberal. Buku ini diterbitkan tahun 1983 dan kondisi fisiknya yang
masih sangat bagus dan mudah di dapat sehingga layak digunakan oleh peneliti.
Buku berikutnya yang berjudul “PRRI, PERMESTA Strategi Membangun
Indonesia Tanpa Komunis” karya R. Z. Leirissa buku ini di terbitkan oleh PT
Pustaka Utama Grafiti tahun 1997. Dalam buku ini peneliti memperoleh informasi
tentang sistem UUDS 1950 itu sangat menghambat dan dirasakan juga oleh AD.
Karena AD menganggap dirinya bukan saja tentara tetapi juga Pembina rakyat.
Sehingga terjadi peristiwa 27 Juni 1955. Pada buku ini juga mengatakan Iwa
Kusumasumantri mencoba memaksakan calonnya sendiri tanpa menunggu usulan
pihak tentara sehingga para perwira senior dalam markas AD menentang
pengangkatan Bambang Utoyo sebagai KSAD. Buku ini kondisinya masih bagus
dan layak untuk di pakai untuk peneliti.
Buku berikutnya berjudul “Sejarah TNI Jilid III (1950-1959)” karya
Markas Besar Tentara Nasional Indonesia Pusat Sejarah dan Tradisi TNI. Buku
ini secara garis besar membahas mengenai sejarah TNI pada periode 1950-1959.
Dalam perjalanannya TNI menghadapai berbagai masalah yaitu masalah intern
dengan adanya pertentangan dalam tubuh TNI serta berkaitan dengan peristiwa 17
Oktober 1952 sehingga berdampak munculnya kelompok pro dan kontra. Dalam
buku ini memberikan gambaran bagi penulis mengenai pengangkatan Bambang
intruksi Kolonel Zulkifli Lubis . buku ini terbit tahun 2000, kondisi bukunya
masih sangat bagus dan mudah di dapatkan oleh penulis.
c. Kritik internal
Kritik internal di lakukan penulis untuk melihat kelayakan isi dari
sumber-sumber yang telah di peroleh tersebut untuk selanjutnya dijadikan penelitian dan
penulisan skripsi. Kritik internal melihat dan berusaha mengkaji dari dalam
realibilitas dan kreadibilitas isi dari sumber-sumber sejarah (Sjamsuddin,
2007:131). Kritik internal yang di lakukan penulis diawali ketika penulis
memperoleh sumber, penulis membaca keseluruhan isi sumber kemudian
dibandingkan dengan sumber-sumber lain yang telah dibaca penulis. Pokok
pikiran apa saja yang terkandung dalam setiap kajian dari beberapa penulis serta
apa yang menjadi fokus kajiannya. Hasil perbandingan sumber tersebut maka
akan diperoleh kepastian akan sumber tersebut bisa digunakan sesuai dengan
topik. Buku buku yang peneliti lakukan kritik internal diantaranya sebagai
berikut:
Pertama, buku yang di tulis oleh Ulf Sundhaussen (1986) yang berjudul
“Politik Militer Indonesia 1945-1967 Menuju Dwi Fungsi ABRI”. Buku ini secara
rinci menggambarkan ketidak puasan militer terhadap elite politik sipil yang
saling jatuh menjatuhkan serta banyaknya kebijakan pemerintah sipil yang
mengancam otonomi khusus dan eksklusifitas militer. Sehingga militer secara
Bila dilihat dari kegunaannya buku ini sangat lengkap bagi peneliti karena
tidak hanya membahas tentang ketidak puasan militer terhadap elite politik sipil
akan tetapi buku ini juga membahas tentang sejarah militer dan berkembang
menjadi alat pertahanan serta dilain pihak juga berkembang menjadi lembaga
yang secara fungsi dan peran di luar jalur yang ikut terlibat di dalam kehidupan
politik. Selain itu buku ini membahas tentang keunikan militer Indonesia
dibandingkan dengan militer negara lain militer Indoensia membentuk dirinya
sendiri melalui perjuangan kemerdekaan melawan penjajah. Perjuangan
mendapatkan kemerdekaan membuat militer tidak hanya melakukan kegiatan
bertempur secara fisik akan tetapi terlibat juga dalam penyusunan strategi
pendirian bangsa. Peneliti berpendapat bahwa buku ini membahas secara rinci
tentang kehidupan militer dari tahun 1945-1967. Sebagaiman yang ditulis
Sundhaussen dalam buku ini ia mengatakan tentara sebagai lembaga. Secara
umum buku ini membahas tentang politik Indonesia dari perspektif kaum militer,
tetapi juga diimbangi dengan pandangan para pengkritik pemerintah sipil terutama
para pemimpin militer.
Kedua, buku yang berjudul “Panggilan Tugas” yang di tulis oleh A. H.
Nasution (1983). Dalam buku ini lebih dibahas mengenai perjalanan hidup
pengalaman dan sikap politik Nasution dalam kiprahnya yang dijalankannya
dalam berbagai posisi penting di Indonesia. Buku ini yang terdiri dari Sembilan
jilid, jilid ketiga yang membahas peristiwa 17 Oktober 1952 yang merupakan latar
belakang peristiwa 27 juni 1955. Buku ini bisa di katakana sebagai kesaksian
peristiwa sejarah berdasarkan sudut pandangnya serta ia juga mempergunakan
dokumen yang ia miliki.
Ketiga , buku yang berjudul “ Sejarah TNI Jilid II (1950-1959)” yang
ditulis oleh Markas Besar Tentara Nasional Indonesia Pusat Sejarag dan Tradisi
TNI (2000). Pada buku ini dikatakan bahwa dalam perjalanannya TNI
menghadapi berbagai masalah intern dengan adanya pertentangan dalam tubuh
TNI yang berkaitan dengan peristiwa 17 Oktober 1952. Dalam buku ini
mengatakan bahwa pada bulan Desember 1953 menteri pertahanan Mr. Iwa
Kusumasumantri mengangkat kolonel Zulkifli Lubis sebagai wakil KSAD.
Terbukti tindakan ini menimbulkan ketegangan baru karena bertentangan dengan
kebijaksanaan untuk tidak mengangkat orang-orang yang terlibat dalam peristiwa
17 Oktober 1952 dalam jabatan-jabatan TNI-AD sebelum ada penyelesaian
masalah. Pemerintah juga melakukan pengangkatan Bambang Utoyo sebagai
KSAD tanpa bermusyawarah dulu dengan AD sehingga pelantikan ini diboikot
oleh seluruh tentara dan teritorium.
Ketiga buku ini memberikan gambaran mendetail ke peneliti mengenai
peristiwa 27 Juni 1955 baik mengenai latar belakang peristiwa 27 Juni 1955,
bagaimana sikap pemerintah menghadapi peristiwa 27 Juni 1955, dan bagaimana
dampak peristiwa 27 Juni 1955 terhadap hubungan sipil dan militer.
3. Interpretasi (Penafsiran Fakta)
Setelah melakukan kritik sumber penulis melaksanakan tahap interpretasi.
Langkah-langkah yang dilakukan dalam tahap ini adalah mengolah, menyusun
telah didapat tersebut dirangkai dan dihubungkan satu sama lain sehingga
menjadi satu kesatuan yang selaras. Dimana peristiwa yang satu di masukkan
kedalam konteks peristiwa lain yang melingkupinya (Ismaun, 1992:131).
Penafsiran di lakukan dengan cara mengolah beberapa fakta-fakta yang
telah di kritisi dan menunjukkan beberapa referensi yang telah dijadikan pokok
pikiran sebagai kerangka dasar dalam penyususnan skripsi ini. Berdasarkan
penjelasan tersebut dalam tahap ini penulis mencoba menyusun fakta-fakta dan
menafsirkan dengan cara saling dihubungan dan dirangkaikan sehingga terbentuk
fakta-fakta yang kebenarannya telah teruji dan dapat menjawab masalah-masalah
yang dikaji.
Setelah fakta yang satu dengan fakta yang lain dihubungkan maka akan
diperoleh suatu rekontruksi sejarah yang berkaitan dengan pokok permasalahan.
Dalam penelitian ini pokok permasalahan dibagi menjadi tiga yaitu latar belakang
peristiwa 27 Juni 1955, sikap pemerintah terhadap peristiwa 27 Juni1955 dan
dampak dari peristiwa 27 Juni 1955 terhadap hubungan sipil dan militer. Fakta
yang diseleksi dan ditafsirkan selanjutnya dijadikan pokok pikiran sebagai
kernagka penyususnan skripsi.
D. Penulisan Laporan Penelitian (Historiografi)
Tahap ini merupakan tahap terakhir. Laporan penelitian merupakan
puncak dari suatu prosedur penelitian sejarah setelah melakukan heuristik, kritik
interpretasi. Semua hasil penelitian di tuangkan dalam bentuk penulisan sejarah
yang disebut historiografi. Heliaus Sjamsuddin (2007:155) menjelaskan bahwa
daya pikirannya bukan saja keterampilan, teknik penggunaan kutipan dan
catatan-catatan tetapi yang terutama menggunakan pikiran kritis dan analisisnya karena
pada akhirnya ia harus menghasilkan suatu sintesis dari seluruh hasil
penelitiannya. Hasil penelitian yang telah diperoleh tersebut disusun menjadi
sebuah karya tulis ilmiah berupa skripsi dengan melakukan analisis yang
menyeluruh terhadap berbagai aspek yang berkaitan dengan peristiwa 27 Juni
1955: Kajian Hubungan Sipil dan Militer Pada Masa Demokrasi Liberal
(1950-1959). Laporan ini disusun dengan sistematika yang telah baku dengan
menggunakan bahasa yang baik dan benar. Sistematika penulis dibagi kedalam
lima bagian yang memuat pendahuluan, kajian kepustakaan, metodologi
penelitian, pembahasan dan kesimpulan. Pembagian ini bertujuan untuk
memudahkan dalam penulisan.
Teknik penulisan skripsi yang digunakan penulis mengacu pada sistem
Harvard. Penggunaan sistem ini digunakan penulis karena disesuaikan dengan
yang lazim digunakan akademisi UPI dalam penulisna karya ilmiah. Sistematika
penulisan skripsi dibagi kedalam lima bab yaitu:
BAB I, merupakan bab pendahuluan dari penulis. Bab ini akan membahas
mengenai latar belakang masalah yang didalamnya termuat mengenai alasan dan
pentingnya penelitian mengenai “peritiwa 27 Juni 1955: kajian tentang hubungan
sipil dan militer pada masa Demokrasi Liberal (1950-1959)”. Pada bab ini juga
membahas mengenai rumusan masalah yang disusun dalam bentuk kalimat
pembahasan, tujuan peneltian, metode dan teknik penelitian serta sistematika
penelitian.
BAB II, merupakan hasil kajian pustaka dari berbagai referensi yang
berhubungan dengan “Peristiwa 27 Juni 1955: Kajian Tentang Hubungan Sipil
dan Militer Pada Masa Demokrasi Liberal (1950-1959)”. Untuk mengkaji dan
memahami serta menganalisis sejauh mana pembahasan yang diteliti dalam
penulisan skripsi ini.
BAB III, Bab ini membahas tentang langkah-langkah, metode dan teknik
penelitian yang digunakan oleh peneliti dalam mencari sumber-sumber, cara
pengolahan sumber, analisis dan sitematika penulisannya. Semua prosedur dalam
penelitian akan dibahas dalam bab ini.
BAB IV, Bab ini merupakan isi utama dari tulisan sebagai jawaban
pertanyaan-pertanyaan yang terdapat pada rumusan masalah. Pada bab ini akan di
jelaskan konflik antara politisi dan militer serta keadaan TNI-AD menjelang
peristiwa 27 Juni 1955. Sikap pemerintah terhadap peristiwa 27 Juni 1955. Pada
bab ini juga akan dibahas mengenai dampak peristiwa 27 Juni 1955 terhadap
TNI-AD dan terhadap pemerintahan.
BAB V, Bab ini mengemukakan kesimpulan dan yang merupakan jawaban
dari masalah keseluruhan. Hasil terakhir ini merupakan temuan dan interpretasi
dari peneliti tentang inti pembahasan. Selain itu di tambah pula berbagai atribut
baku lainnya mulai dari kata pengantar, riwayat hidup penulis. Semua bagian
tersebut termuat kedalam bentuk laporan utuh, setelah dilakukan koreksi dan
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan.
Dinamika hubungan sipil dan militer pada masa Demokrasi Liberal
(1950-1959) sangat menarik untuk dikaji. Militer adalah organ yang penting yang
dimiliki oleh negara, guna mempertahankan bangsa dari ancaman baik dari luar
maupun dari dalam. Pada masa Demokrasi Liberal militer berada di bawah
supremasi sipil. Sistem Demokrasi Liberal menyebabkan berkembangnya
partai-partai politik di Indonesia sehingga berdampak pada usia kabinet.
Pada masa Kabinet Natsir hubungan sipil dan militer berjalan dengan
baik, tapi pada tahun 1952 muncul pertikaian pandangan antara sipil dan militer
pada masa Kabinet Wilopo dengan meletusnya peristiwa 17 Oktober 1952.
Dampak dari peristiwa 17 Oktober menyebabkan militer terbagi kedalam dua
golongan yaitu golongan yang pro 17 Oktober dan anti 17 Oktober. Peristiwa 17
Oktober ini merupakan salah satu latar belakang dari peristiwa 27 Juni 1955.
Peristiwa 17 Oktober merupakan aksi protes militer terhadap pemerintahan sipil
terutama kepada parlemen. Peristiwa 17 Oktober salah satu penyebab jatuhnya
Kabinet Wilopo. Kabinet Wilopo digantikan oleh Kabinet Ali. Yang menjabat
Menteri Pertahanan pada masa Kabinet Ali adalah Iwa Kusumasumantri, pada
masa Iwa Kusumasuamntri menjabat keretakan dalam tubuh militer semakin
besar.
Keretakan dalam tubuh militer samakin besar kelompok pro dan anti 17
kesatuan militer. Pada tanggal 17 Februari 1955 militer berhasil melaksanakan
serangkaian pertemuan. Pertemuan ini berlangsung di daerah Yogyakarta,
pertemuan ini berakhir pada tanggal 25 Februari 1955 dengan menghasilkan
resolusi yang diterima oleh seluruh perwira yang hadir dan disahkan oleh KSAD
Bambang Sugeng. Isi dari Piagam Yogyakarta adalah:
1. Menekankan bahwa korps perwira akan selalu mempertahankan persatuan
dan profesionalisme di dalam tubuh TNI-AD, tidak membenarkan campur
tangan politik didalam masalah militer yang didasarkan atas senioritas dan
kecakapan.
2. Korps perwira TNI-AD akan mematuhi segala keputusan yang diambil
oleh pemerintah bersama-sama Dwitunggal (Soekarno-Hatta).
3. Peristiwa 17 Oktober dianggap tidak pernah terjadi dan meminta kepada
pemerintah sebelum peringatan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1955
pemerintah sudah menyelesaikan secara formil mengenai peristiwa
tersebut.
Pada tanggal 2 Mei 1955 setelah terjadi KAA, Kolonel Bambang Sugeng
mengajukan permintaan mengundurkan diri kepada Kabinet Ali dengan alasan
selama tiga bulan kurang mampu melaksanakan resolusi dari piagam Yogyakarta.
Kabinet menerima pengunduran Bambang Sugeng. Karena pengunduran
Bambang Sugeng sebagai KSAD pemerintah akhirnya memutuskan mengangkat
Kolonel Bambang Utoyo sebagai KSAD, pengangkatan Bambang Utoyo sebagai
KSAD oleh pemerintahan secara sepihak menyebabkan permasalahan lagi
27 Juni 1955 Presiden resmi melantik Bambang Utoyo sebagai KSAD. Pimpinan
dari TNI-AD yang di undang melakukan pemboikotan atas perintah Zulkifli
Lubis. Peristiwa 27 Juni 1955 merupakan peristiwa yang mencoreng
pemerintahan militer khususnya Angkatan Darat dalam perjalanan militer
Indonesia. Atas aksi Kolonel Zulkifli Lubis ia di pecat dari jabatannya. Peristiwa
pemboikatan yang dilakukan oleh Kolonel Zulkifli Lubis merupakan cerminan
dari kegagalan pemerintahan Kabinet Ali.
Pemerintah dan militer sama-sama mengajukan syarat untuk mengakhiri
krisis yang terjadi antara sipi dan militer. Tapi kedua belah pihak tidak ada yang
mau mengalah sehingga sementara waktu penyelesain tentang peristiwa 27 Juni
1955 tidak ada penyelesaian sampai Kabinet Ali jatuh. Kabinet Ali digantikan
oleh Kabinet Burhanudin Harahap. Pada masa kabinet inilah diambil keputusan
dan kebijakan menghentikan Bambang Utoyo sebagai KSAD dengan mengangkat
Nasution sebagai KSAD yang baru serta mencabut pemecatan terhadap Kolonel
Zulkifli Lubis dan menyatakan peritiwa 17 Oktober resmi telah selesai.
Kabinet Burhanudin Harahap tidak memerintah dalam waktu yang cukup
lama dan digantikan oleh Kabinet Ali yang dikenal dengan kabinet Ali II.
Beberapa bulan Kabinet Ali II menjalankan pemerintahan bermunculan banyak
krisis baru yaitu:
1. Hasil pemelihan umum tidak sesuai dengan yang diharapkan.
2. Korupsi semakin merajalela dan Sentimen kesukuan semakin jelas.
4. Hubungan dengan Belanda semakin memburuk disebabkan penolakan
Belanda menyerahkan Papua ke Indonesia.
Permasalahan-permasalah yang dihadapi pada masa Kabinet Ali II
menyebabkan terjadinya protes-protes di daerah luar Jawa karena merasa
terabaikan dan tidak di perhatikan. Sehinga berdampak terjadinya penyelundupan
di daerah daerah luar Jawa. Pemerintah militer di daerah memberikan alasan
terbuka bahwa dengan penyelundupan ini bisa mencukupi kebutuhan para perwira
serta mensejahterakan daerah. Pembebasan terhadap Ruslan Abdul Gani yang
dilakukan oleh Ali dan KSAD Nasution menyebabkan keretakan hubungan
Nasution dengan Zulkifli Lubis, Kolonel Zulkifli Lubis menyatakan bahwa
Perdana Menteri Ali serta Nasution membantu dan melindungi kejahatan dan
yang dilakukan oleh Ruslan Abdul Gani.
Muchtar Lubis seorang wartawan ikut memberitakan tentang Korupsi yang
dilakukan oleh Ruslan Abdul Gani disertakan bukti dokumen. Masalah-masalah
yang terjadi pada masa Kabinet Ali II mendapatkan kritikan yang tajam
berdampak kepada kepercayaan terhadap pemerintahan Kabinet Ali semakin
menurun. Ditambah dengan pengunduran diri Mohammad Hatta dari jabatannya
sebagai Wakil Presiden pada tanggal 1 Desember telah memperhebat kekecewaan
dan kebencian daerah-daerah di luar Jawa, terutama Sumatera terutama pada
pemerintahan pusat dan khususnya terhadap Presiden Soekarno.
Daerah akhirnya tidak mengakui lagi kabinet Ali II dan pemerintah pusat
serta memutuskan hubungan dengan pemerintah pusat, pergolakan yang terjadi di
Udara. KSAD Nasution melakukan tindakan yang lebih lunak serta melakuakn
kunjungan ke Sumatera dan mengadakan pertemuan (perundingan). Tindakan
KSAD Nasution ini semata-mata bersifat politis dalam rangka mejalankan
kebijaksanaan untuk memelihara status quo dalam hubungan sipil-militer
mengingat keadaan TNI masih dalam politik yang lemah.
Kabinet Ali II sudah tidak sanggup lagi menghadapi tantangan serta
tuntutan yang saling bertentangan. Pada tanggal 14 Maret 1957 sesaat sebelum Ali
menyerahkan mandatnya kembali ke Presiden. Perdana Mentri menandatangani
sebuah dekrit. Sesudah kabinet ali jatuh Presiden Soekarno menunjuk Suwirjo
dari PNI sebagai formatur untuk pembentukan Kabinet baru sesuai keinginan
Preisden tetapai Suwirjo tidak berhasil membantuk Kabinet, sehingga Presiden
Soekarno menunjuk dirinya sebagai formatir dengan alasan darurat perang. Pada
bulan April, Soekarno berhasil membentuk kabinet yang sesuai dengan
keinginanya. Kabinet itu diberi nama Kabinet Kerja dengan perdana Menteri Ir.
Djuanda Kartawidjaja yang program kerjanya dari Presiden Soekarno. Banyaknya
kejadian telah menunjukan bahwa militer telah dijadikan landasan oleh
pemerintah, bukan lagi partai-partai politik dan parlemen. Pembentukan Kabinet
Kerja mengurangi peranan parlemen dan partai dalam perkembangannya serta
naiknya peranan politik Presiden dan TNI-AD.
Dengan keadan seperti ini Nasution medapat kesempatan yang besar buat
TNI untuk lebih memasuki arena perpolitikan. Nasution juga mengatakan bahwa
angkatan bersenjata bukan semata-mata alat bagi pemerintahan. Nasution juga
untuk kesatuan bangsa Indonesia. Pada bulan Juli 1959 secara resmi Soekarno
mengembalikan negara kebawah naungan Undang-Undang Dasar 1945 dan
Soekarno mengumumkan konsepsinya bahwa negara memakai sistem
pemerintahan baru dengan kabinet gotong royong. Dengan berlakunya dekrit
keterlibatan militer beserta wakil-wakilnya dalam politik dan lembaga politik
meluas dengan cepat.
B. Rekomendasi
Berdasarkan temuan dalam skripsi yang berjudul “Peristiwa 27 Juni 1955:
Kajian Tentang Hubungan Sipil Dan Militer Pada Masa Demokrasi Liberal
(1950-1959)” peneliti memberikan rekomendasi bahwa skripsi peneliti memiliki
Keterhubungan dengan SK yaitu Menganalisis perjuangan bangsa Indonesia sejak
proklamasi hingga lahirnya orde baru dengan KD yaitu Menganalisis
perkembangan politik dan ekonomi serta persatuan masyarakat di Indonesia dalam
upaya mengisi serta mempertahankan kemerdekaan mata pelajaran sejarah SMA
kelas XI IPA semester dua dan kelas XII IPS semester satu, fokus pada bidang
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, D. (1999). Metodologi Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana
Ilmu.
Budiardjo, M. (1986). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia.
Bulkin, F. (1985). Analisa Kekuatan Politik Di Indonesia. Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia.
Compton, R.B. (1992). Kemelut Demokrasi Liberal. Jakarta: LP3ES.
Crouch, H. (1986). Militer dan Politik DI Indonesia. Jakarta: Pustaka Sina Harapan.
Dydo, T. (1989). Pergolakan Politik Tentara Sebelum Dan Sesudah G 30 S/ PKI. Jakarta: PT Golden Terayon Press.
Dinas Sejarah Militer TNI-AD. (1972). Sejarah Perjuangan TNI-AD. Jakarta: Fa Mahjuma.
Hartoto, E. (2012). Panglima Komando Pertempuran Merebut Ibu Kota Djogja Kembali 1949 dan Seorang Diplomat. Jakarta: Kompas.
Ismaun. (1996). Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta: Dirjen Dikti.
Kantaprawira, R. (2006). Sistem Politik Indonesia. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Karim, R.M. (1988). Peranan ABRI Dalam Politik. Jakarta: Yayasan Idayu.
Karim, R.M. (1993). Perjalanan Partai Politik Di Indonesia Sebuah Potret Pasang surut. Jakarta: PT Rajawali Pers.
Kartodirdjo, S. (1993). Pendekatan Ilmu-Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia.
Kasenda, P. (2012). Kolonel Misterius di Balik Pergolakan TNI AD. Jakarta: Kompas.
Kuntowijoyo. (1994). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.
Marihandono, D. (2008). Titik Balik Historiografi di Indonesia. Jakarta Selatan: Wedatama Widya Sastra.
Markas Besar Tentara Nasional Indoensia Pusat Sejarah Dan Tradisi TNI. (2000). Sejarah TNI Jilid II (1950-1959), Jakarta.
Moedjanto, G. (1998). Indonesia Abad Ke 20 Dari Perang Kemerdekaan Pertama Sampai Pelita III, Yogyakarta: Konisius.
Muhaimin, A. Y. (2005). Perekembangan Militer Dalam Politik Di Indonesia 1945-1966, Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Nasution, H.A. (1983). Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 3. Jakarta: PT Gunung Agung.
Nasution, B.A. (2009). Aspirasi Pemerintahan Konstitusional Di Indonesia. Jakarta: PT Pustaka Pratama Grafiti.
Notosusanto, N. (1974). Hubungan Sipil dan Militer dan Dwifungsi ABRI, Jakarta.
Permutter, A. (1984). Militer dan Politik. Jakarta: CV Rajawali.
Praptanto, E. (2010). Sejarah Indonesia Jilid 8. Jakarta: PT Bina Sumber Daya.
Raga, R. (2001). Pengantar Sosiologi Politi. Jakarta:PT Rineka Cipta.
Rieklefs, C.M. (2008). Sejarah Indonesia Moderen 1200-2004, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.
Rizal,dkk. Hubungan Sipil-Militer Dan Transisi Demokrasi Di Indonesia Persepsi Sipil dan Militer. Jakarta: Centre for Strategic and Intenational Studies (CSIS).
Rodee, dkk. (2008). Pengantar Ilmu Politik, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Sanit, A. (1981). Sistem Politik Indonesia. Jakarta: CV Rajawali.
Said, S. (2001). Wawancara Tentara dan Politik. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Sarnata. (2003). TNI Dalam Sorotan. Jakarta: Yayasan Dian Satria.
Sigh, B (1995). Dwifungsi ABRI Asal-Usul Aktualisasi dan Implikasinya Bagi Stabilitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Sjamsuddin, H. (2007). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.
Tim Peneliti PPW-LIPI. (1998). Tentara Mendambakan Mitra. Bandung: MIZAN.
Taufik, M. (2010.). Peristiwa 27 Juni 1955.