• Tidak ada hasil yang ditemukan

RIGHT TO NATURAL RESOURCES SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM BAGI MASYARAKAT ADAT DI IDNONESIA BELAJAR DARI PEMBERIAN RIGHT TO NATURAL RESOURCES BAGI SUKU NAVAJO INDIAN DI AMERIKA SERIKAT.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "RIGHT TO NATURAL RESOURCES SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM BAGI MASYARAKAT ADAT DI IDNONESIA BELAJAR DARI PEMBERIAN RIGHT TO NATURAL RESOURCES BAGI SUKU NAVAJO INDIAN DI AMERIKA SERIKAT."

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)

1

JUDUL PENELITIAN

RIGHT TO NATURAL RESOURCES SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM

BAGI MASYARAKAT ADAT DI INDONESIA: BELAJAR DARI PEMBERIAN RIGHT

TO NATURAL RESOURCES BAGI SUKU NAVAJO INDIAN DI AMERIKA SERIKAT

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada hakekatnya, masyarakat adat mempunyai hak untuk memiliki, mengelola, dan

mengontrol sumber daya alam yang berada di wilayah territorialnya.1 Meskipun pengakuan ini

telah secara eksplisit tertuang dalam beberapa perjanjian internasional, pengakuan tersebut

membutuhkan pengaturan yang lebih jelas dan tegas di sebagian besar negara. Dalam era

globalisasi, timbul suatu paradoks dengan munculnya eksploitasi ekonomi dan ekstraksi agresif

dari sumber daya alam di tanah masyarakat adat dengan mengabaikan prinsip partisipatif dan

pembagian keuntungan yang adil dan merata.2 Salah satu kelemahan mendasar yang

mengakibatkan ketidakadilan ini terjadi adalah kurangnya kemampuan masyarakat adat untuk

mengatur atau mengelola sendiri (self-govern) urusan mereka di dalam wilayahnya.3

Di Indonesia sejak era kolonial hingga kini, proses diskursif mengenai masyarakat adat

menimbulkan pola hubungan yang tidak seimbang dimana satu pihak berada di posisi yang

superior (Negara dan masyarakat modern) sementara kelompok lainnya berada di posisi inferior

(Masyarakat adat), khususnya dalam pemanfaatan sumber daya alam.4 Realitas kesenjangan ini

terjadi tatkala Negara atau pemerintah tidak mengakui hak-hak masyarakat adat atas tanah,

Collective Rights to Lands and Resources: Exploring the Comparative Natural Resource Revenue Allocation Model of Native American Tribes and Indigenous African Tribes, The Arizona Journal of International Law and Comparative Law, Vol. 29 (2012), p.177.

3 Eric Lemont,

Developing Effective Process of American Indian Constitutional and Governmental Reform: Lessons from the Cherokee Nation of Oklahoma, Hualapai Nation,Navajo Nation, and Northern Cheyenne Tribe, The American Indian Law Review, Vol. 26.(2002), p.155.

4Steny, Bernadinus, Politik Pengakuan Masyarakat Adat atas Tanah dan Sumber Daya Alam: Dari Hindia Be

landa hingga Indonesia Merdeka

(6)

2

wilayah, dan sumber daya alam.5 Tidak kalah pentingnya, proses

pendefinisian dan pemaknaan terhadap masyarakat adat yang dilakukan pemerintah melalui

serangkaian aturan hukum justru membatasi ruang gerak mereka. Di sisi lain, pemerintah justru

membuka peluang bagi timbunya sejumlah kekerasan dan perampasan

hak-hak masyarakat adat yang justru mengancam eksistensi masyarakat adat itu sendiri.6

Konflik diantara pemerintah dan pemilik modal dengan masyarakat adat dalam

pemanfaatan sumber daya alam menjadi realitas yang tidak dapat dihindarkan dari pola relasi

yang tidak seimbang bagi masyarakat adat. Bahkan beberapa konflik belum terselesaikan secara

tuntas hingga saat ini. Sebagai contoh, kasus yang melibatkan PT Freeport McMoran Indonesia

dengan Suku Amungme dan Komoro, dimana konsesi pertambangan diberikan di atas wilayah

adat yang justru berakhir pada pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat adat. Sejumlah

pelanggaran tersebut terkualifikasi sebagai pelanggaran hak asasi manusia seperti; pelanggaran

hak atas kepemilikan, hak atas makanan dan gizi yang mencukupi, hak terhadap standar hidup

yang layak.7

Tak hanya kasus yang terjadi di Papua diatas, di daerah lain juga terdapat konflik yang

berakar pada ketidakseimbangan pola relasi antara pemerintah, pemilik modal dengan

masyarakat adat. Sebagai contoh, konflik Masyarakat Adat Moronene, Sulawesi Tenggara

dengan Pengelola Taman Nasional Opa Watumohai pada Kawasan Konservasi,8 Konflik

Masyarakat Adat Peminggir, Lampung atas pengelolaan Hutan Lindung,9 dan Konflik

Masyarakat Adat Bunaken, Sulawesi Utara atas pengelolaan Taman Laut Bunaken.10 Di Provinsi

Bali, pertumbuhan industri pariwisata yang tak terkendali telah menimbulkan alih fungsi lahan

sehingga terjadilah ekploitasi hutan berlebihan, penebangan ilegal, serta konflik dengan masyarakat hukum adat yang berkepanjangan atas pemilikan dan penasionalan manfaat hutan adat didalam wilayah adat.

7

Rafael Edy Bosko, op.cit., h. 99.

(7)

3 pertanian menjadi lahan kawasan industri pariwisata. Kondisi ini tentu menimbulkan kerugian

yang cukup signifikan bagi masyarakat adat yang umumnya memanfaatkan tanah pertanian yang

berada diwilayahnya untuk menopang kehidupan perekonomiannya.11

Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat, suku asli Amerika, termasuk Navajo Indian,

memiliki ruang partisipasi yang luas dalam menangani isu-isu tentang eksploitasi, manajemen,

dan distribusi sumber daya alam yang ditemukan di wilayah mereka.12 Mereka diberikan

kewenangan untuk menetapkan beberapa kebijakan dalam mempertahankan kontrol atas sumber

daya alam mereka.13 Selain itu, mereka diberikan keleluasaan dalam menentukan mekanisme

atau prosedur yang bertujuan untuk menjaga dan menjamin standar kualitas lingkungan di

wilayah mereka.14 Di sisi lain, pemerintah federal bertindak sebagai wali dari masyarakat adat

tersebut.15 Oleh karenanya, peran ini mengharuskan pemerintah federal untuk menjamin

pengelolaan yang adil dalam pemanfaatan sumber daya alam yang terletak di wilayah

masyarakat adat. 16

Dengan ketiadaan pemberian hak atas pemanfaatan alam bagi masyarakat adat akan

berpotensi mengancam eksistensi masyarakat adat tersebut. Hal ini dapat terlihat ketika terjadi

sejumlah pelanggaran-pelanggaran yang menghilangkan hak masyarakat adat untuk hidup secara

layak, menentukan nasibnya sendiri, dan menjalankan aktivitas-aktivitas kebudayaan yang

menjadi salah satu ciri pembeda dari masyarakat adat tersebut. Oleh karena itu, pemerintah patut

mempertegas pengaturan pengelolaan sumber daya alam dengan memberikan right to Natural

Resources bagi masyarakat adat. Perumusan pengaturan ini sudah barang tentu mengacu kepada

11

Jan Hendrik Peters dan Wisnu Wardhana, Discovering the Spirit of Bali dalam Michael Gerbert Faure (ed).

Sustainable Tourism and Law, (The Hague: Eleven International Publishing, 2014), hlm. 31.

Lihat juga R. Butler dan T.Hinch, Tourism and Indigenous Peoples: Issues and Implications, (Elsevier, Qxford, 2007), hlm. 2.

12

Eluyod,op.cit., p. 181

13

Mark Allen, Native American Control of Tribal Natural Resource Development in the Context of the Federal Trust and Tribal Self-Determination, The British Columbia Environmental Law Review, Vol. 16 (1989), hlm. 857.

14

S. James Anaya & Robert A. Williams, Jr., The Protection of Indigenous Peoples’ Rights over Lands and Natural Resources Under the Inter-American Human Rights System, The Harvard Human Rights Journal, Vol. 14 (2001), hlm. 33.

15

Janice Aitken, The Trust Doctrine in Federal Indian Law: A Look at Its Development and at How Its Analysis Under Social Contract Theory Might Expand Its Scope, The Northern Illinois University Law Review, Vol. 18 (1997), hlm. 115.

16

(8)

4 aturan-aturan hukum yang bersifat internasional dan praktek-praktek Negara lain yang telah

memberikan right to natural resources bagi masyarakat adat.

Sejalan dengan realitas di atas, maka penelitian ini mengambil judul Right to Natural

Resources sebagai Bentuk Perlindungan Hukum bagi Masyarakat Adat di Indonesia:

Belajar dari Pemberian Right to Natural Resources bagi Suku Navajo Indian di Amerika

Serikat. Pada langkah pertama, penelitian ini akan mengidentifikasi dan menganalisis sejumlah

peraturan nasional dan daerah yang mengatur tentang pemanfaatan sumber daya alam dan

kontribusinya bagi masyarakat adat sekitar. Selanjutnya, penelitian ini akan menjelaskan praktek

pemerintah federal Amerika Serikat dalam pemberian right to natural resources untuk Suku

Navajo Indian sebagai bentuk perlindungan hukum bagi masyarakat adat. Sebagai pamungkas,

penelitian ini berupaya merumuskan pola pemberian right to natural resources bagi masyarakat

adat di Indonesia setelah terlebih dahulu mempelajari pola pemberian right to natural resources

bagi masyarakat adat yang dilakukan oleh Pemerintah Federal Amerika Serikat.

1.2 Permasalahan

Dalam menganalisis Right to Natural Resources sebagai Bentuk Perlindungan Hukum

bagi Masyarakat Adat di Indonesia: Belajar dari Pemberian Right to Natural Resources bagi

Suku Navajo Indian di Amerika Serikat, terdapat tiga permasalahan pokok meliputi:

1. Bagaimanakah pengaturan Right to Natural Resources bagi masyarakat adat di Indonesia

dan Amerika Serikat?

2. Dengan mempelajari Right to Natural Resources bagi Suku Navajo Indian,

bagaimanakah model pemberian Right to Natural Resources harus diberikan kepada

(9)

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Right to Natural Resources bagi Masyarakat Adat dalam Konvensi Internasional

Organisasi Perburuhan Internasional atau the International Labor Organization (ILO)

Konvensi No. 16917 dan Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat atau the United

Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP) tahun 200718 telah secara

tegas mengakui hak-hak dari masyarakat adat yang mencakup hak-hak atas tanah, wilayah dan

sumber daya alam yang mereka warisi. dan untuk melaksanakan kontrol dan administrasi atas

tanah, wilayah, dan sumber daya alam mereka.19 Hak-hak ini merupakan kelanjutan dari

pemberian pengakuan atas hak untuk menentukan nasib sendiri (self determination). Hak ini

memberikan kebebasan bagi semua orang untuk menentukan status politik dan mengejar

pemenuhan kebutuhan ekonomi, sosial, dan budaya, yang mencakup kebebasan untuk mengelola

kekayaan dan sumber daya alam.20

Menurut Konvensi ILO No. 169, hak-hak masyarakat adat atas sumber daya alam yang

berkaitan dengan tanah dan wilayah mereka harus mendapatkan pengakuan yang tegas.21Secara

khusus, hak-hak ini harus mencakup hak masyarakat adat untuk ikut serta dalam penggunaan,

pengelolaan, dan konservasi sumber daya alam di wilayah mereka.22

Sementara itu, Pasal 26 UNDRIP dengan tegas menyatakan:

1. Indigenous groups have the right to the lands, territories and resources that they have

traditionally owned, occupied or otherwise used or acquired.

2. Indigenous groups have the right to own, use, develop and control the lands,

territories and resources that they possess by reason of traditional ownership or

other traditional occupation or use, as well as those which they have otherwise

acquired, and;

17 International Labour Organisation, Indigenous and Tribal Peoples Convention, 1989, No. 169

18

Declaration on the Rights of Indigenous Peoples, G.A. Res. 61/295, U.N. Doc. A/RES/61/295, 2007 [hereinafter UNDRIP].

19 United Nations Department of Economic and Social Affairs, State of The World’s Indigenous People, U.N. Doc.

ST/ESA/328, U.N. Sales No. 09.Vol.13 (2009), p.86

(10)

6

3. States shall give legal recognition and protection to these lands, territories and

resources. Such recognition shall be conducted with due respect to the customs,

traditions and land tenure systems of the indigenous peoples concerned.23

Selain kedua konvensi internasional diatas, beberapa konvensi dan komitmen

internasional juga memberikan perhatian khusus bagi keberadaan masyarakat adat khususnya

dalam pemberian right to natural resources. Pasal 22 Deklarasi Rio 1992 memberikan perhatian

yang lebih serius terkait pengakuan dan pemberdayaan masyarakat hukum adat dengan

memberikan perlakuan yang lebih adil bagi mereka.24 Selanjutnya Resolution of World

Conservation Strategy, Caring for the Earth pada 1991, menyetujui peran khusus masyarakat

adat dalam menjaga sumber daya alam.25

Sementara itu, Resolution of General assembly of World Conservation Union (IUCN),

secara aklamasi mendukung hak-hak masyarakat adat yang meliputi hak untuk memanfaatkan

sumber aya alam secara bijaksana berdasarkan kebiasaan yang telah berlangsung turun

temurun.26 Selanjutnya dalam IUCN Working Group on Community Involvement in Forest

Management pada tahun 1996, telah merekomendasikan agar regenerasi hutan secara natural

yang terintegrasi dalam sistem pengelolaan hutan oleh masyarakat adat harus diakui sebagai

alternatif cara pemulihan hutan.27

Dalam International Tropical Timber Agreement pada 1994, dinyatakan bahwa aktivitas

pengelolan hutan harus memperhatikan kepentingan masyarakat adat yang hidupnya bergantung

pada pemanfaatan hutan.28 Tidak kalah pentingnya, Convention on Biological Diversity tahun

1992 telah mengakui pentingnya perlindungan terhadap hak hak atas kekayaan intelektual dari

masyarakat adat.29 Perserikatan Bangsa-bangsa juga memberikan perhatiannya. Melalui United

Nations Declaration and Programme of Action to Combat Racism and Racial Discrimination di

1978, dinyatakan bahwa masyarakat adat memiliki hak untuk memelihara struktur ekonomi

23 UNDRIP, op.cit, h. 26.

24

Rio Declaration on Environment and Development 1992, Pasal 21

25

Resolution of World Conservation Strategy, Caring for the Earth 1991.

26 Resolution of 18th General assembly of World Conservation Union, IUCN,Perth, Australia,1990. 27

IUCN Working Group on Community Involvement in Forest Management 1996.

28

International Tropical Timber Agreement 1994.

29

(11)

7 tradisional dan budaya mereka, serta hubungan khusus dengan tanah dan sumber daya alam yang

tidak boleh dipisahkan dari mereka.30

Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) dalam National Forestry Action Plan

menyatakan bahwa proses perencanaan pemanfaatan hutan harus melibatkan partisipasi

masyarakat adat. Selain itu, masyarakat adat yang tinggal di dalam hutan harus dilihat sebagai

bagian integral dari ekosistem.31 Sebagai pamungkas, hasil deklarasi International Alliance of

Indigenous-Tribal Peoples of the Tropical Forest pada tahun 1996 menyatakan bahwa program

konservasi lingkungan harus dilakukan secara berkelanjutan sebagai sarana dalam

mempertahankan eksitensi masyarakat adat. Selain itu, konservasi lingkungan dapat membantu

meningkatkan pengembangan swadaya dan mendapatkan hubungan yang saling menguntungkan

berdasar atas keterbukaan dan akuntabilitas.32

2.2 Kerangka Teori

2.2.1 Teori Justice as Fairness dalam Menganalisis Tujuan Pemberian Right to Natural

Resources bagi Masyarakat Adat

Teori Justice as Fairness ini akan digunakan sebagai pisau analisis dalam menganalisis

tujuan dari pemberian right to natural resources bagi masyarakat adat di Indonesia. John Rawls

dengan tegas menyatakan suatu konsep keadilan yang baik haruslah bersifat kontraktual,

konsekuensinya setiap konsep keadilan yang tidak berbasis kontraktual harus dikesampingkan

demi kepentingan keadilan itu sendiri.33Pada konteks ini, Rawls menyebut “Justice as fairness”

yang ditandai dengan adanya prinsip rasionalitas, kebebasan dan kesamaan.34

Berangkat dari pemahaman di atas, diperlukan prinsip-prinsip keadilan yang lebih

mengutamakan asas hak daripada asas manfaat. Lebih lanjut Rawls35 merumuskan dua prinsip

keadilan distributif, sebagai berikut:

30

United Nations Declaration and Programme of Action to Combat Racism and Racial Discrimination 1978.

31

Food and Agriculture Organization (FAO),National Forestry Action Programmes as tools for sustainable forest development, 1999.

32

International Alliance of Indigenous-Tribal Peoples of the Tropical Forest 1996.

(12)

8 1. The Greatest Equal Principle, bahwa setiap orang harus memiliki hak yang sama atas

kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang. Ini

merupakan hal yang paling mendasar (hak asasi) yang harus dimiliki semua orang. Hanya

dengan adanya jaminan kebebasan yang sama bagi semua orang maka keadilan akan

terwujud (prinsip kesamaan dasar).

2. Ketidaksamaan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga perlu

diperhatikan asas atau prinsip berikut:

a. The different principle

b. The principle of fair equality of opportunity

Keadilan harus dipahami sebagai fairness, dalam arti bahwa tidak hanya mereka yang

memiliki bakat dan kemampuan yang lebih baik saja yang berhak menikmati pelbagai manfaat

sosial lebih banyak, tetapi keuntungan tersebut juga harus membuka peluang bagi mereka yang

kurang beruntung untuk meningkatkan prospek hidupnya..

Menarik untuk diperhatikan adalah bahwa konsep kesamaan menurut Rawls harus

dipahami sebagai “kesetaraan kedudukan dan hak” bukan dalam arti “kesamaan hasil” yang

dapat diperoleh semua orang. Bagi Rawls, kesamaan hasil bukanlah suatu alasan untuk

membenarkan sebuah prosedur. Keadilan sebagai fairness atau sebagai pure procedure justice

tidak menuntut setiap orang yang terlibat dan menempuh prosedur yang sama juga harus

mendapatkan hasil yang sama. Sebaliknya, hasil prosedur yang fair itu harus diterima sebagai

adil, juga apabila setiap orang tidak mendapat hasil yang sama. Terkait dengan hal demikian,

konsep keadilan yang lahir dari suatu prosedur yang diterima oleh semua pihak juga harus

diterima sebagai konsep yang pantas berlaku untuk umum.36

Keadilan ini akan selalu bergandengan dengan kepatutan. Di mana kepatutan ini sangat

diperlukan untuk melengkapi berlakunya keadilan. Menurut Aristoteles37 “epieikeia” (equity;

billijkheid; kepatutan) merupakan penjaga dari pelaksanaan undang-undang, karena equity

terletak diluar undang-undang (hukum) yang menuntut keadilan dalam keadaan dan situasi

tertentu. Equity merupakan gagasan fairness dalam pelaksanaan hukum, dengan demikian

memberi peluang untuk penilaian yang melengkapi sifat umum dari undang-undang. G.W. Paton

menegaskan bahwa equity dalam pelaksanaannya tidak berlawanan dengan hukum, bahkan

36

Andre Ata Ujan. Op.Cit. hlm. 45

37

(13)

9 pengaruhnya semakin kuat dalam penyelesaian sengketa ketika aspek hukum tidak

mengaturnya.38

Equity tidak bermaksud untuk mengubah atau mengurangi keadilan, melainkan sebatas

memberikan koreksi dan atau melengkapi dalam keadaan individu tertentu, kondisi serta kasus

tertentu. Eksistensi equity sebagai pelengkap keadilan, dalam praktik telah banyak

dikembangkan, terutama melalui keputusan-keputusan pengadilan. Hal ini disebabkan equity

sangat mempertimbangkan aspek-aspek penting yang melingkupi suatu kasus, yaitu: Itikad baik,

maksud para mitra, dan situasi atau keadaan-keadaan. 39

Pada konteks pemberian right to natural resources bagi masyarakat adat, hak untuk

mengelola sumber daya alam sesungguhnya merefleksikan adanya kesempatan yang sama untuk

menikmati haknya itu dan menghindari ketidakadilan. Keadilan menuntut agar ketidakadilan

ditiadakan, agar setiap orang diperlakukan menurut hak-haknya, dan agar tidak ada perbedaan

yang sewenang-wenang dalam memperlakukan anggota-anggota masyarakat.40 Menurut Rawls,

keadilan harus mampu memberikan kesempatan yang fair serta hak yang sama bagi semua

anggota masyarakat untuk berpartisipasi dalam setiap proses pengambilan keputusan politik dan

ekonomi.41 Teori Rawls ini sesungguhnya sejalan dengan sila kelima Pancasila yang menyatakan

“Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Spirit inilah yang harus menjiwai pengakuan

dan pemenuhan hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam, termasuk untuk

melindungi dari hal-hal yang mengancam kebebasan untuk melaksanakan hak tersebut.

2.2.2 Teori Perlindungan Hukum Dalam Menganalisis Urgensi Pemberian Right to Natural

Resources bagi Masyarakat Adat.

Perlindungan hukum menurut Hadjon meliputi dua macam perlindungan hukum bagi

rakyat meliputi:42

1. Perlindungan Hukum Preventif : dimana kepada rakyat diberi kesempatan untuk

mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah

mendapat bentuk yang definitif

2. Perlindungan Hukum Represif; dimana lebih ditujukan dalam penyelesian sengketa.

38

George White Paton. A Text Book Of Jurisprudence. (Oxford:Oxford University Press, 1969), hlm. 57

39 O.Notoamidjojo.

Op.Cit. h. 27

40

Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 90.

41 John Rawls, A Theory of Justice, op.cit., hlm. 228

42

(14)

10 Perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia adalah prinsip pengakuan dan perlindungan

terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada Pancasila dan prinsip Negara

Hukum yang berdasarkan Pancasila. Adapun elemen dan ciri-ciri Negara Hukum Pancasila

ialah:43

1. Keserasian hubungan antara pemerintah dengan rakyat berdasarkan asas kerukunan.

2. Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara

3. Prinsip penyelesian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana

terakhir.

4. Keseimbangan antara hak dan kewajiban.

Berdasarkan elemen-elemen tersebut, perlindungan hukum bagi rakyat terhadap

pemerintah diarahkan kepada:44

1. Usaha-usaha untuk mencegah terjadinya sengketa atau sedapat mungkin mengurangi

terjadinya sengketa, dalam hubungan ini sarana perlindungan hukum preventif patut

diutamakan daripada sarana perlindungan represif.

2. Usaha-usaha untuk menyelesaikan sengketa antara pemerintah dan rakyat dengan

cara musyawarah.

3. Penyelesaian sengketa melalui peradilan merupakan jalan terakhir, peradilan

hendaklah merupakan ultimum remedium dan peradilan bukan forum konfrontasi

sehingga peradilan harus mencerminkan suasana damai dan tentram terutama melalui

hubungan acaranya.

Terkait dengan adanya pemberian right to natural resources bagi masyarakat adat, secara

preventif, Negara memiliki kewajiban untuk mengantisipasi dan mencegah tindakan-tindakan

yang akan merugikan hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam. Sebagai

contoh, pengusiran paksa masyarakat adat dari wilayah yang telah ditempati secara turun

temurun hanya karena wilayah tersebut akan diberikan ijin HPH. Disamping itu, setiap tahapan

pengelolaan sumber daya alam, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi,

harus mengikutsertakan pendapat atau aspirasi dari masyarakat adat. Sementara itu secara

represif, pemerintah wajib menyediakan pola penyelesaian sengketa yang independen dan tidak

43

Ibid, hlm.90

44

(15)

11 memihak apabila hak-hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam telah dilanggar

(16)

12

BAB III

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3.1 Tujuan

Pada langkah pertama, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis

sejumlah peraturan nasional dan daerah yang mengatur tentang pemanfaatan sumber daya alam

dan kontribusinya bagi masyarakat adat sekitar. Kedua, penelitian ini bertujuan menjelaskan

praktek pemerintah federal Amerika Serikat dalam pemberian right to natural resources untuk

Suku Navajo Indian sebagai bentuk perlindungan hukum bagi masyarakat adat. Ketiga,

penelitian ini bertujuan merumuskan pola pemberian right to natural resources bagi masyarakat

adat di Indonesia setelah terlebih dahulu mempelajari pola pemberian right to natural resources

bagi masyarakat adat yang dilakukan oleh Pemerintah Federal Amerika Serikat.

3.2 Manfaat

Terdapat beberapa manfaat yang dapat diberikan dalam penelitian ini. Bagi masyarakat

adat, penelitian ini akan memberikan pengetahuan dan informasi yang berharga terkait

pengaturan Right to Natural Resources bagi masyarakat adat di Indonesia. Selain itu, mereka pun

akan dapat membandingkan bagaimanakah Right to Natural Resources diberikan oleh

Pemerintah Federal Amerika Serikat kepada suku Navajo Indian. Bagi pemerintah, penelitian ini

akan bermanfaat dalam membantu pemerintah dalam merumuskan model model pemberian

Right to Natural Resources yang tepat kepada komunitas masyarakat adat di Indonesia, dengan

(17)

13

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian dan Metode Pendekatan

Secara umum penelitian yang diambil disini adalah penelitian hukum normatif

(normative legal research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji

peraturan-perundang-undangan yang berlaku atau diterapkan terhadap suatu permasalahan hukum tertentu.

Soerjono Soekanto mengidentikkan penelitian hukum normatif tersebut sebagai penelitian

hukum kepustakaan, yang mencakup penelitian terhadap asas- asas hukum, sistematik hukum,

penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum, serta sejarah

hukum.45 Sementara itu, Peter Mahmud Marzuki merumuskan penelitian hukum sebagai suatu

proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum

guna menjawab isu hukum yang dihadapi.46

Penelitian ini akan mengidentifikasi dan menganalisis tata hukum positif untuk

memahami ius constitutum yang dalam konteks ini adalah konstruksi pengaturan right to natural

resources bagi masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam secara internasional

maupun nasional. Tidak hanya itu, penelitian ini juga merupakan penelitian dalam asas-asas

hukum untuk menemukan ius constituendum yang dalam penelitian ini akan merekomendasikan

adanya suatu pengaturan yang tegas terkait pengakuan right to natural resources bagi

masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam setelah mempelajari beberapa konvensi

internasional dan studi komparatif dengan praktek pemberian right to natural resources oleh

Pemerintah Federal Amerika Serikat kepada suku Navajo Indian.

Terkait dengan metode pendekatan, Peter Mahmud Marzuki menguraikan

pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum meliputi:47

a. Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua

undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cet.2, (Jakarta : Kencana, 2008). hlm. 29

47

(18)

14 b. Pendekatan kasus dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang

berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah

mempunyai kekuatan yang tetap.

c. Pendekatan historis dilakukan dengan menelaah latar belakang apa yang dipelajari dan

perkembangan pengaturan mengenai isu yang dihadapi.

d. Pendekatan komparatif pendekatan ini dilakukan dengan membandingkan

undang-undang suatu negara dengan undang-undang-undang-undang dari satu atau lebih negara lain mengenai

hal yang sama.

e. Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang

berkembang di dalam ilmu hukum.

Penelitian ini akan menggunakan beberapa metode pendekatan. Pertama pendekatan

undang-undang dimana penelitian ini akan mengidentifikasi dan menganalisis pengaturan right

to natural resources bagi masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam. Proses ini

melibatkan pengaturan yang berdimensi internasional yang tertuang dalam beberapa konvensi

internasional dan pengaturan yang berdimensi nasional yang tertuang dalam undang-undang di

Indonesia dan Amerika Serikat.

Selanjutnya, penelitian ini juga menggunakan pendekatan kasus mengingat penelitian ini

akan menggunakan beberapa yurisprudensi dari Mahkamah Agung Amerika Serikat yang telah

memiliki kekuatan hukum mengikat, khususnya dalam memaparkan posisi, kewenangan, dan

hubungan hirarki dari suku Navajo Indian di Amerika Serikat.

Kemudian, penelitian ini menggunakan pendekatan komparatif karena dalam

memformulasikan pengaturan right to natural resurces bagi masyarakat adat di Indonesia,

mengacu kepada pengaturan right to natural resources bagi suku Navajo Indian di Amerika

Serikat. Amerika Serikat dipilih sebagai obyek perbandingan mengingat praktek pemberian right

to natural resources telah dijalankan sejak akhir tahun 1800-an dan suku Navajo Indian

merupakan salah satu komunitas adat terbesar di dunia yang masih eksis hingga saat ini. Selain

itu, pemberian right to natural resources telah dikuatkan oleh keputusan pengadilan (mahkamah

agung) sehingga memiliki kekuatan hukum yang mengikat sejalan dengan prinsip binding force

of precedent dalam konstruksi adversarial legalism di Amerika Serikat.

Pada akhirnya, penelitian ini juga menggunakan pendekatan konseptual karena

(19)

15

pemberian right to natural resources bagi masyarakat adat dan diskursus perlindungan hukum

baik secara preventif dan represif dalam menjelaskan urgensi pemberian right to natural

resources bagi masyarakat adat.

4.2. Jenis dan Sumber Bahan Hukum

Data yang diperoleh dan diolah dalam penelitian hukum normatif adalah jenis data

sekunder yang dalam penelitian ini dijadikan bahan utama.48 Data ini diperoleh dari sumber

kepustakaan. Macam data hukum dalam penelitian ini antara lain:

a. Bahan Hukum Primer: yaitu bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari norma

atau kaedah dasar, peraturan dasar, peraturan-peraturan perundang-undangan yang

mengatur tentang right to natural resources bagi masyarakat adat dalam pengelolaan

sumber daya alam, baik yang berdimensi internasional dan nasional meliputi:

1. International Labour Organisation, Indigenous and Tribal Peoples Convention,

1989.

2. Declaration on the Rights of Indigenous Peoples 2007.

3. International Covenant on Civil and Political Rights, 1966.

4. International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights,1966.

5. Rio Declaration on Environment and Development 1992.

6. Resolution of World Conservation Strategy, Caring for the Earth 1991.

7. Resolution of 18th General assembly of World Conservation Union, 1990.

8. International Tropical Timber Agreement 1994.

9. Convention on Biological Diversity 1992

10. Navajo Nation Air Pollution Prevention and Control Act

11. Navajo Nation Water Code

12. Navajo Nation Solid Waste Act

13. Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria.

14. Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

15. Undang-undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

16. Undnag-undang No.32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah

17. Undang-undang No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air

48

(20)

16

18. Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara

19. Undang-undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa

b. Bahan hukum sekunder: yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer yang ada sehingga dapat dilakukan analisis

dan pemahaman yang lebih mendalam, yang terdiri atas: 49

1. Penjelasan dari konvensi internasional dan peraturan perundang-undangan yang

digunakan sebagai bahan hukum primer;

2. Buku-buku literatur atau bacaan yang menjelaskan right to natural resources bagi

masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam;

3. Hasil-hasil penelitian khususnya tentang konflik-konflik pemerintah, pemilik

modal dan masyarakat adat yang sebelumnya pernah terjadi;

4. Pendapat ahli yang berkompeten dengan penelitian penulis;

5. Artikel atau tulisan dari para ahli;

6. Sarana elektronika (westlaw, bloomberg law dan lexisnexis) yang sangat

membantu proses pencarian bahan hukum primer dan sekunder.

c. Bahan hukum tersier: bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan

tambahan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang terdapat dalam penelitian

yaitu: 50

1. Kamus Bahasa Indonesia

2. Kamus Hukum

3. Kamus Ilmiah Populer

4.3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum yang dilakukan adalah dengan cara menggali

kerangka normatif menggunakan buku-buku yang membahas tentang right to natural resources

bagi masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.

a. Bahan Hukum Primer didapat dengan cara:

Mempelajari ketentuan-ketentuan hukum terkait pengaturan pemberian right to natural

resources bagi masyarakat adat berdasarkan pada sejumlah konvensi internasional

(21)

17

dan praktek Pemerintah Federal Amerika Serikat yang telah memberikan right to

natural resources bagi suku Navajo Indian.

b. Bahan Hukum Sekunder didapat dengan cara:

1. Mengutip penjelasan dari peraturan perundang-undangan yang berkaitan

2. Menelusuri pendapat para ahli hukum dan para ahli yang berkompeten dalam

penelitian penulis yang ada di buku-buku pustaka.

3. Melakukan akses di internet atau tulisan artikel yang berkaitan.

4.4. Metode Analisis Bahan Hukum

Berbagai informasi dan bahan yang diperoleh kemudian akan dianalisis dengan

menggunakan metode analisis isi (content analysis).51 Metode ini menguraikan materi peristiwa

hukum atau produk hukum secara rinci guna memudahkan interpretasi dalam pembahasan.

Terdapat dua content analysis method, yaitu:52

1. Tinjauan Yuridis, yaitu suatu bentuk analisis dari berbagai aspek dan mengungkapkan

segi positif dan negatif suatu produk hukum dengan menitiberatkan pada penggunaan

data sekunder yakni produk hukum.

2. Analisis Yuridis, yaitu suatu bentuk analisis dari berbagai aspek dan mengungkapkan

segi positif dan negatif suatu produk hukum dengan menitiberatkan pada penggunaan

data primer yang bersumber dari para intelektual dan lapisan masyarakat bawah serta

data sekunder.

Penelitian ini lebih menitikberatkan pada tinjauan yuridis dengan mengungkapkan sisi

negatif dalam suatu peraturan seperti potensi kekaburan norma dan konflik norma dalam

pemberian right to natural resources bagi masyarakat adat di Indonesia. Selanjutnya untuk

mempertajam analisis, penelitian ini juga menggunakan teori-teori tentang keadilan dalam

melihat tujuan pemberian right to natural resources bagi masyarakat adat dan teori-teori

perlindungan hukum dalam menjelaskan urgensi pengaturan right to natural resources bagi

masyarakat adat di Indonesia.

51

Valerina JL Kriekhoff, Analisis Kontent Dalam Penelitian Hukum : Suatu Telaah Awal, Era Hukum No.6 Tahun 2002.hlm. 27

52

(22)

18

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Pengaturan Right to Natural Resources bagi Masyarakat Adat di Indonesia

Dalam Undang-undang nasional, eksistensi masyarakat adat telah mendapatkan

pengaturan tersendiri sebagai refleksi pemberlakukan pluralism hukum di Indonesia. Dalam

Undang-Undang Dasar 1945, pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat adat tercantum

dalam pasal 18B ayat (2), yaitu; “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam

undang-undang.” Tidak hanya itu, pasal 28 I ayat (3) menyebutkan “Identitas budaya dan hak

masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.”

Dalam level undang-undang, Pasal 5 Undang-undang No.5 Tahun 1960 menyatakan

bahwa “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat,

sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang didasarkan atas

persatuan bangsa.”53

Disamping itu, Pasal 6 Undang-undang No. 39 tahun 1999 menyatakan

bahwa terkait penegakkan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat

hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah.

Selanjutnya, indentitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat

dilindungi, selaras dengan perkembangan jaman. 54

Dalam penjelasan pasal 6 diatas, disebutkan bahwa “hak adat” yang secara nyata masih

berlaku dan dijunjung tinggi di dalam lingkungan masyarakat hukum adat harus dihormati dan

dilindungi dalam rangka perlindungan dan penegakn Hak Asasi Manusia dalam masyarakat yang

bersangkutan dengan memperhatikan hukum dan perundangan-undangan. Selanjutnya, bahwa

dalam rangka penegakan hak asasi manusia, identitas budaya nasional masyarakat hukum adat,

hak-hak adat yang masih secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat

tetap dihormati dan dilindungi sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas hukum negara

yang berintikan keadilan dan kesejahteraan rakyat.55

53

Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Pasal 5

54

Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 6.

55

(23)

19 Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan bahkan mengakui adanya wilayah

masyarakat hukum adat, seperti dinyatakan dalam pasal 1 angka 6: “Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”. Kendatipun demikian, pasal ini

masih belum menunjukkan pengakuan hak masyarakat adat atas sumber daya alam dalam

wilayahnya, karena hutan adat dapat dikategorikan sebagai hutan negara, seperti tercantum

dalam pasal 5 ayat (2), bahwa: “Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,

dapat berupa hutan adat”; dan bahwa “Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang

tidak dibebani hak atas tanah (pasal 1 angka 4).56

Selanjutnya Undang-undang otonomi daerah No. 32 Tahun 2004 memberikan pengakuan

hak-hak masyarakat hukum adat untuk mengelola sistem politik dan pemerintahannya sesuai

dengan ketentuan-ketentuan hukum adat setempat. Sebagai contoh, Pasal 203 ayat (3),

menyebutkan: “Pemilihan Kepala Desa dalam kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak

tradisionalnya sepanjang masih hidup dan yang diakui keberadaannya berlaku ketentuan hukum

adat setempat yang ditetapkan dalam perda dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah.”57 Dalam Undang-undang No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Pasal 6

menyebutkan bahwa penguasaan sumber daya air diselenggarakan oleh Pemerintah dengan tetap

mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat setempat dan hak yang serupa dengan itu,

sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan.

Tidak hanya itu, hak ulayat masyarakat hukum adat atas sumber daya air tetap diakui sepanjang

kenyataannya masih ada dan telah dikukuhkan dengan peraturan daerah setempat.58

Dalam Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,

pasal 3 menyebutkan dalam rangka mendukung pembangunan nasional yang berkesinambungan,

tujuan pengeiolaan mineral dan batubara adalah: meningkatkan pendapatan masyarakat lokal,

daerah, dan negara, serta menciptakan lapangan kerja uiituk sebesar-besar kesejahteraan rakyat.59

Undang-undang ini memberikan peluang bagi masyarakat untuk mendapatkan ijin pertambangan

rakyat dimana disebutkan Bupati/walikota dapat memberikan Ijin Pertambangan Rakyat (IPR)

56 Undang-undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan 57

Undang-undang No.32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah

58

Undang-undang No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Pasal 6.

59

(24)

20 terutama melalui penduduk setempat, baik perseorangan maupun kelompok masyarakat dan/atau

koperasi.60

Dalam Pasal 67 Undang-undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa disebutkan bahwa desa

berhak:mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal usul, adat istiadat,

dan nilai sosial budaya masyarakat Desa.61 Dalam Pasal 103, disebutkan bahwa kewenangan

desa adat meliputi: a. pengaturan dan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli; b.

pengaturan dan pengurusan ulayat atau wilayah adat; c. pelestarian nilai sosial budaya Desa

Adat; dan d. penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di Desa Adat

dalam wilayah yang selaras dengan prinsip hak asasi manusia dengan mengutamakan

penyelesaian secara musyawarah.62

Pada hakekatnya, konstruksi undang-undang nasional telah mengakui eksistensi

masyarakat adat sebagai kesatuan mandiri yang memiliki ciri, karakteristik, dan sistem

pengelolaan yang otonom. Kendatipun demikian, undang-undang nasional belum mencantumkan

secara eksplisit dan tegas right to natural resources bagi masyarakat adat dalam pengelolaan

sumber daya alam yang berada di wilayah masyarakat adat. Bahkan terdapat aturan hukum yang

menempatkan wilayah territorial masyarakat adat sebagai aset negara. Sebagai contoh, Pasal 5

Undang-undang 41 Tahun 1999 yang menempatkan hutan adat sebagai hutan negara.63

5.2 Pengaturan Right to Natural Resources Bagi Suku Navajo Indian di Amerika Serikat

5.2.1 Eksistensi Suku Navajo Indian di Amerika Serikat

Dalam skema konstitusi di Amerika Serikat, masyarakat adat memiliki kedaulatan yang

mandiri selain kedaulatan yang dimiliki pemerintah negara bagian dan federal.64 Saat ini,

setidaknya terdapat 500 masyarakat adat yang secara bertahap melaksanakan kekuasaan mereka

di bidang eksekutif, legislatif, dan yudikatif..65 Lebih penting lagi, masyarakat adat tidak

diwajibkan untuk mematuhi Konstitusi Amerika Serikat dalam membangun model pemerintahan

60

Ibid, pasal 67.

61

Undang-undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, pasal 67.

62

Ibid, pasal 109.

63 Undang-undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pasal 5. 64

Gloria Valencia Weber, Tribal Courts: Custom and Innovative Law,The New Mexico Law Review Vol. 24 (1994), hlm.225 N.M. L. Rev. 225

65

(25)

21

dan menentukan hukum yang berlaku bagi mereka karena mereka merupakan pihak

extra-constitutional.66

Sebagai contoh, sesuai dengan Perjanjian pada tahun 1866 antara Pemerintah Federal

Amerika Serikat dan Cherokee Nation, Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam kasus

Cherokee Nation v. Journeycake, menyatakan bahwa tanah dan wilayah yang tunduk pada

perjanjian adalah milik bersama semua masyarakat adat Cherokee dan mereka memegang hak

penuh atas segala properti yang berada di wilayah mereka.67 Dengan demikian, kedudukan

mereka terpisah dari pemerintah federal dan pemerintah negara bagian. Skema ini menunjukkan

bahwa pemerintah adat merupakan pemerintahan tersendiri dan menciptakan hubungan antara

pemerintahan adat dan pemerintah federal sebagai hubungan government to government."68

Dalam menjalankan kekuasaannya, sebagian besar masyarakat adat di Amerika Serikat telah

memiliki konstitusi formal dan peraturan-peraturan lain yang memberikan kewenangan untuk

melaksanakan yurisdiksi atas berbagai kegiatan di dalam wilayah mereka, termasuk tindak

pidana, hubungan hukum privat, dan perpajakan.69

Salah satu masyarakat adat paling berpengaruh di Amerika Serikat adalah Navajo.

Mereka merupakan masyarakat adat terbesar dari semua suku asli di Amerika Serikat.70 Mereka

tersebar di 27.000 mil persegi, meliputi wilayah tenggara Utah, wilayah timur laut Arizona, dan

wilayah barat laut New Mexico.71 Dalam sejarahnya, Navajo didirikan sebagai wilayah berdaulat

melalui Perjanjian antara masyarakat Navajo dan Pemerintah Federal Amerika Serikat di tahun

1868.72 Pada dasarnya, masyarakat Navajo telah lama memiliki struktur pemerintahan tersendiri,

namun penemuan minyak dan sumber daya alam lainnya di wilayah Navajo di awal abad ke-20

mengharuskan mereka untuk membentuk pemerintahan Navajo yang lebih terstruktur dan

berkelanjutan.73 Pada tahun 1923, struktur pemerintahan formal masyarakat Navajo telah diakui

oleh Amerika Serikat. Pengakuan ini dilakukan untuk memberikan ha katas pengelolaan atas

Navajo People, The Dine,http://navajopeople.org/ diakses pada 2 Januari 2015.

71

Ibid.

72

Raymond Darrel Austin, Navajo Courts and Navajo Common Law: a Tradition of Tribal Self-Governance

(Minesota: University of Minesota Press, 2009), hlm.6

73

(26)

22 sumber daya alam mengingat di wilayah Navajo terdapat perusahan-perusahaan minyak dan

pertambangan.74 Selain itu, batu bara yang terdapat di wilayah Navajo telah menghasilkan

pendapatan yang besar bagi masyarakat Navajo.75

5.2.2 Pengaturan Right to Natural Resources bagi Suku Navajo Indian di Amerika Serikat

Bagian ini akan menjelaskan bagaimana masyarakat adat Navajo memiliki kewenangan

untuk mengatur urusannya sendiri di dalam wilayahnya, khususnya terkait dengan hak atas

sumberdaya alam. Terdapat dua parameter bagaimana mereka dapat menggunakan hak sumber

daya alamnya. Pertama, bagaimana kewenangan mereka dalam mengeluarkan peraturan dalam

mengontrol sumber daya alam mereka; kedua, bagaimana mereka memiliki hak untuk

mendapatkan pembagian keuntungan yang adil atas sumber daya alam dan akuntabilitas untuk

setiap pelanggaran yang terjadi di wilayah mereka

5.2.2.1 Peraturan Masyarakat Adat Navajo Indian

Dalam pengeluaran peraturan, masyarakat adat Navajo telah mengeluarkan beberapa

peraturan diantaranya the Air Pollution Prevention and Control Act, the Clean Water Act, dan

the Solid Waste Act.76

a. Navajo Nation Air Pollution Prevention and Control Act77

Mengingat potensi polusi udara yang ditimbulkan dalam kegiatan pemanfaatan sumber

daya alam, masyarakat adat Navajo telah mengeluarkan The Navajo Nation’s Air Pollution

Prevention and Control Act ("NN APPCA"). Tujuan dari tindakan ini adalah untuk mengontrol

tingkat polusi udara di wilayah adat Navajo. Hal ini dilakukan untuk menjamin kesehatan,

keselamatan dan kesejahteraan umum dari semua masyarakat Navajo, dan segala asset yang

menyertainya termasuk kehidupan tumbuhan dan hewan di wilayah Navajo.78

Selain itu, NN APPCA mengharuskan pemerintah Navajo untuk membuat laporan

berkala dari kualitas udara sehingga akan dapat mengetahui wilayah yang memiliki tingkat

Intergovernmental Panel on Climate Change, Summary for Policymakers, in Climate Change 2007 available at http://www.ipcc.ch/pdf/assessment-report/ar4/wg1/ar4-wg1-spm.pdf diakses pada 29 Desember 2014.

77Navajo Nation Air Pollution Prevention and Control Act, Navajo Nation Code Ann. tit. 4, Pasal 1101-1162 (2010);

St. Regis Mohawk Tribe, Tribal Implementation Plan (2004), available at

http://www.srmtenv.org/pdf_files/airtip.pdf 78

(27)

23 polusi udara tertinggi di wilayah Navajo. Setiap proyek-proyek baik pemerintah atau swasta

yang dapat memiliki dampak besar pada kualitas udara79 harus melengkapi persyaratan tingkat

polusi udara yang diperkenankan oleh NN APPCA.80

Mekanisme penegakan hokum juga terdapat dalam NN APPCA. Hal ini terjadi ketika

Direktur Eksekutif Navajo Nation of the Environmental Protection Agency Navajo Nation

("Direktur") menyimpulkan bahwa NN APPCA telah dilanggar, Direktur dapat mengeluarkan

beragam tindakan meliputi: 1) mengeluarkan perintah untuk mematuhi NN APPCA;81 2)

mengeluarkan sanksi administratif;82 3) mengajukan gugatan perdata,83 dan 4) pengajuan tindak

pidana.84

b. Navajo Nation Clean Water Act85

Mengingat hubungan yang erat antara pembangunan sumber daya alam, terutama untuk

keperluan energi, dan penggunaan air, masyarakat Navajo telah mengeluarkan Clean Water Act

("NN CWA").86 Peraturan ini menyatakan bahwa pelepasan bahan-bahan polutan ke perairan

Navajo oleh perusahaan industri, dan ketidaktepatan manajemen pengelolaan limbah,

berpotensi membahayakan kesehatan, kesejahteraan, dan lingkungan masyarakat Navajo.87

Hal yang menarik, di dalam Pasal 1311 disebutkan bahwa standar kualitas air harus

dirancang untuk melindungi "nilai budaya" yang dimiliki oleh masyarakat Navajo dalam

pengelolaan air.88 Hal ini disebabkan karena air memiliki nilai khsusu bagi masyarakat Navajo

(28)

24 Sama dengan NN APPCA, NN CWA juga menyiapkan mekanisme penegakan hokum

yang meliputi: 1) perintah kepatuhan;90 2) sanksi administrasi; 913) gugatan perdata.92 dan 4)

tuntutan pidana.93

c. Navajo Nation Solid Waste Act94

Suku Navajo Indian telah memberlakukan Navajo Nation Solid Waste Act (NN SWA)

yang mendefinisikan waste” as “any garbage, refuse or sludge from a wastewater treatment

plant, water supply treatment plant or air pollution control facility and other discarded material,

including solid, liquid, semi-solid, or contained gaseous material resulting from residential,

industrial, commercial, mining, and agricultural operations and from community activities.”95 NNSWA menyatakan bahwa pembuangan sampah di atas dan di dalam tanah tanpa

perencanaan dan pengelolaan yang cermat dapat menghadirkan bahaya bagi kesehatan

masyarakat dan lingkungan hidup.96 NN SWA juga menyediakan berbagai metode penegakan

hukum melalui perintah kepatuhan, sanksi administrasi, gugatan perdata, dan penegakan hukum

pidana. 97

5.2.2.2 Right to Equitable Benefit Sharing dan Accountability for Breach

Masyarakat adat Navajo memiliki peran penting dalam perencanaan, pengelolaan dan

pengawasan sumber daya alam yang ditemukan di wilayah mereka, termasuk melaksanakan

kekuasaan untuk mengeluarkan sewa atau izin, dan menetapkan tarif untuk sewa dan royalti,

serta berbagai manfaat lain yang diperoleh dari eksploitasi sumber daya alam.98 Selain itu,

mereka memiliki legal standing untuk melakukan proses penuntutan ataupun gugatan terhadap

pemerintah Amerika Serikat apabila terdapat pelanggaran komitmen khususnya apabila mereka

90

Navajo Nation Water Code,op. cit, pasal 1382

91

94 Comprehensive Environmental Response, Compensation and Liability Act, Navajo Nation Code Ann. tit. 4, Pasal

2101-2805 (2010)

(29)

25 menganggap pemerintah federal Amerika Serikat tidak memberikan porsi keuntungan yang adil

dan merata atas pemanfaatan sumber daya alam di wilayah masyarakat adat Navajo.99

Dalam kasus United States v. Navajo Nation100 yang dibawa di hadapan Mahkamah

Agung Amerika Serikat, , Sekretaris Dalam Negeri menyetujui sewa pertambangan yang

dilakukan pada tahun 1964 antara Masyarakat adat Navajo dan perusahaan swasta "Peabody

Coal." Sewa tersebut memungkinkan perusahaan untuk terlibat dalam pertambangan batu bara di

Navajo.101 Tingkat royalti maksimum yang disepakati adalah 37,5 sen per ton batubara, dengan

adanya proses penyesuaian harga yang wajar setelah dua puluh tahun.102

Selanjutnya, pada tahun 1984, ketika periode dua puluh tahun pertama berlalu, suku

meminta agar Sekretaris kekuasaannya untuk meningkatkan tingkat royalti, karena 37,5 sen per

tingkat ton menjadi lebih rendah dari tarif royalti minimal 12,5% dari gross hasil penjualannya

ditetapkan oleh Kongres AS.103 Biro Urusan India (BIA) direkomendasikan menyesuaikan tarif

royalti sewa sampai 20% dari hasil kotor. Namun, Sekretaris Dalam Negeri menyetujui tarif

royalti ditetapkan sebesar 12,5% dari hasil kotor bulanan.104 Untuk merespon situasi ini, Navajo

Suku membawa tindakan melawan Amerika Serikat mencari sekitar $ 600 juta kerusakan atas

dasar bahwa persetujuan Sekretaris dari amandemen sewa royalti kurang menguntungkan

merupakan pelanggaran kepercayaan oleh pemerintah AS.he U.S. government.105

Hal yang dapat disimpulkan adalah Masyarakat adat Navajo Indian di Amerika Serikat

telah memiliki kemampuan untuk mengatur sendiri (self-govern) sumber daya alam yang terletak

di dalam wilayahnya. Dalam hal law making proses, mereka telah mengeluarkan sejumlah

peraturan dalam mengontrol pengelolaan sumber daya alam di wilayah mereka meliputi: the Air

Pollution Prevention and Control Act, the Clean Water Act, and the Solid Waste Act. Dalam hal

penegakan hukum, masyarakat adat Navajo memiliki hak atas pembagian keuntungan yang adil

dan mendapatkan akuntabilitas dalam setiap pelanggaran yang terjadi. Penerapan hak untuk

sumber daya alam ini dapat melahirkan sistem pemerintahan yang adil dimana pengelolaan

sumber daya alam harus sesuai dengan kepentingan dan tujuan masyarakat adat Navajo.

99

Eluyod, op.cit p. 181

100 Yurisprudensi Mahkamah AGung Amerika Serikat pada kasus Navajo Nation v. United States (Navajo I), (2000)

dan Kasus Navajo Nation v. United States (Navajo II), (Fed. Cir. 2001).

(30)

26

5.3. Model pemberian Right to Natural Resources Bagi Komunitas Masyarakat Adat di

Indonesia

5.3.1 Model Kewenangan dalam mengeluarkan Peraturan

Dengan merujuk pada praktek masyarakat adat Navajo dalam mengeluarkan suatu

peraturan mereka memiliki kekuatan mengikat yang sangat kuat. Hal ini tidak dapat dilepaskan

dari posisi masyarakat adat itu sendiri dalam skema konstitusi di Amerika Serikat dimana

masyarakat adat memiliki kedaulatan yang mandiri selain kedaulatan yang dimiliki pemerintah

negara bagian dan federal. Menariknya, masyarakat adat tidak diwajibkan untuk mematuhi

Konstitusi Amerika Serikat dalam membangun model pemerintahan dan menentukan hukum

yang berlaku bagi mereka karena mereka merupakan pihak extra-constitutional.

Dengan posisi yang sedemikian kuat, masyarakat adat di Amerika Serikat bahkan telah

memiliki konsitusi tersendiri yang diikuti dengan peraturan-peraturan tertulis lainnya.Bahkan

beberapa peraturan telah memberikan kewenangan untuk melaksanakan yurisdiksi atas berbagai

kegiatan di dalam wilayah mereka, termasuk tindak pidana, hubungan hukum privat, dan

perpajakan.106 Dalam masyarakat adat Navajo, hal ini terbukti dengan diterbitkannya beberapa

peraturan diantaranya the Air Pollution Prevention and Control Act, the Clean Water Act, dan

the Solid Waste Act.

Dalam praktek di Indonesia, walaupun tidak dimungkinkan mengadopsi pola

extra-constitutional yang diterapkan oleh Pemerintah Federal Amerika Serikat, masyarakat adat di

Indonesia membutuhkan kewenangan yang lebih luas dalam menetapkan peraturan khususnya

yang terkait pola pencegahan terhadap eksploitasi sumber daya alam yang berada di wilayah

mereka.Tidak hanya itu, kewenangan dalam menetapkan suatu peraturan juga selayaknya

menjangkau pola pengaturan dalam memitigasi dampak dari kegiatan eksplorasi dan eksploitasi

sumber daya alam yang telah terlanjur terjadi.

Aturan hukum nasional, baik dalam konstitusi, undang-undang hingga

peraturan-peraturan dibawahnya, relatif hanya mengakui dan menghormati keberadaan masyarakat hukum

adat dan belum menjangkau pola perlindungan yang diinginkan. Dalam perspektif hak asasi

manusia, pola yang diberikan masih bersifat right to respect dan belum menjangkau right to

protect hingga right to fulfill.

106

(31)

27

5.3.2 Model pembagian keuntungan yang adil atas sumber daya alam

Walaupun beberapa konvensi internasional dan hukum nasional telah mengakui dan

menghormati keberadaan masyarakat adat, timbul suatu ketimpangan dengan munculnya

eksploitasi ekonomi dari sumber daya alam di tanah masyarakat adat dengan mengabaikan

prinsip partisipatif dan pembagian keuntungan yang adil dan merata. Hal ini utamanya

disebabkan oleh ketiadaan mekanisme yang adil dalam pembagian keuntungan atas hasil

eksplorasi atas sumber daya alam yang berada di wilayah masyarakat hukum adat.

Absennya pola pembagian keuntungan yang adil telah menjadi pemicu utama konflik

masyarakat hukum adat dengan pemerintah dan/atau pemilik modal. Sebagai contoh, kasus yang

melibatkan PT Freeport McMoran Indonesia dengan Suku Amungme dan Komoro, dimana

konsesi pertambangan diberikan di atas wilayah adat yang justru berakhir pada pelanggaran

terhadap hak-hak masyarakat adat.107 Tak hanya kasus yang terjadi di Papua diatas, di daerah

lain juga terdapat konflik yang berakar pada ketidakseimbangan pola relasi antara pemerintah,

pemilik modal dengan masyarakat adat. Sebagai contoh, konflik Masyarakat Adat Moronene,

Sulawesi Tenggara dengan Pengelola Taman Nasional Opa Watumohai pada Kawasan

Konservasi,108 Konflik Masyarakat Adat Peminggir, Lampung atas pengelolaan Hutan

Lindung,109 dan Konflik Masyarakat Adat Bunaken, Sulawesi Utara atas pengelolaan Taman

Laut Bunaken.110

Merujuk pada masyarakat adat Navajo, mereka memiliki peran penting dalam

perencanaan, pengelolaan dan pengawasan sumber daya alam yang ditemukan di wilayah

mereka, termasuk melaksanakan kekuasaan untuk mengeluarkan sewa atau izin, dan menetapkan

tarif untuk sewa dan royalti, serta berbagai manfaat lain yang diperoleh dari eksploitasi sumber

daya alam.Selain itu, mereka memiliki legal standing untuk melakukan proses penuntutan

ataupun gugatan terhadap pemerintah Amerika Serikat apabila terdapat pelanggaran komitmen

khususnya apabila mereka menganggap pemerintah federal Amerika Serikat tidak memberikan

107

Rafael Edy Bosko, op.cit., h. 99.

(32)

28 porsi keuntungan yang adil dan merata atas pemanfaatan sumber daya alam di wilayah

masyarakat adat Navajo.

Dengan merujuk realitas eksploitasi ekonomi yang terjadi di Indonesia dan melihat pola

pembagian yang diberikan pemerintah Federal Amerika Serikat kepada masyarakat adat Navajo,

masyarakat hukum adat di Indonesia perlu mendapatkan pola pembagian keuntungan yang lebih

adil. Mereka selayaknya mendapatkan hak keuntungan yang lebih besar baik terkait tarif sewa

ataupun pembagian royalty yang diterima. Selain karena sumber daya alam yang berada di

wilayahnya, pola pembagian keuntungan yang lebih adil dapat menjadi sarana kompensasi atas

terambilnya hak-hak masyarakat adat sebagai dampak adanya ekplorasi sumber daya alam.

Hak-hak ini antara lain seperti: Hak-hak atas udara yang bersih atau Hak-hak atas lingkungan yang sehat. Tidak

kalah pentingnya, masyarakat hukum adat seharusnya memiliki legal standing untuk melakukan

proses penuntutan ataupun gugatan terhadap pemerintah Indonesia apabila terdapat pelanggaran

komitmen khususnya apabila mereka menganggap pemerintah Indonesia tidak memberikan porsi

(33)

29

BAB VI

KESIMPULAN

Dalam Undang-undang nasional, eksistensi masyarakat adat telah mendapatkan

pengaturan tersendiri sebagai refleksi pemberlakukan pluralism hukum di Indonesia. Dalam

Undang-Undang Dasar 1945, pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat adat tercantum

dalam pasal 18B ayat (2), pasal 28 I ayat (3). Dalam tingkatan undang-undang, eksistensi

masyarakat hukum adat diatur dalamUndang-undang No.5 Tahun 1960, Pasal 6 Undang-undang

No. 39 tahun 1999, Undang-Undang No. 41 tahun 1999, Undang-undang otonomi daerah No. 32

Tahun 2004, Undang-undang No.7 Tahun 2004, Undang-undang No. 4 Tahun 2009 dan

Undang-undang No. 6 Tahun 2014. Sementara itu di Amerika Serikat, masyarakat adat Navajo

telah memiliki kewenangan untuk mengatur urusannya sendiri di dalam wilayahnya, khususnya

terkait dengan hak atas sumberdaya alam. Terdapat dua kewenangan yang mereka miliki;

Pertama, bagaimana mereka berwenang dalam mengeluarkan peraturan dalam mengontrol

sumber daya alam mereka; dan kedua, bagaimana mereka memiliki hak untuk mendapatkan

pembagian keuntungan yang adil atas sumber daya alam dan akuntabilitas untuk setiap

pelanggaran yang terjadi di wilayah mereka

Dalam praktek di Indonesia, model pengaturan yang dilakukan sebaiknya memberikan

kewenangan yang lebih luas dalam menetapkan peraturan khususnya yang terkait pola

pencegahan terhadap eksploitasi sumber daya alam yang berada di wilayah mereka dan untuk

memitigasi dampak dari kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam. Selanjutnya,

masyarakat hukum adat di Indonesia perlu mendapatkan pola pembagian keuntungan yang lebih

adil. Mereka selayaknya mendapatkan hak keuntungan yang lebih besar baik terkait tarif sewa

ataupun pembagian royalty yang diterima. Selain karena sumber daya alam yang berada di

wilayahnya, pola pembagian keuntungan yang lebih adil dapat menjadi sarana kompensasi atas

terambilnya hak-hak masyarakat adat sebagai dampak adanya ekplorasi sumber daya alam. Tidak

kalah pentingnya, masyarakat hukum adat seharusnya memiliki legal standing untuk melakukan

proses penuntutan ataupun gugatan terhadap pemerintah Indonesia apabila terdapat pelanggaran

komitmen khususnya apabila mereka menganggap pemerintah Indonesia tidak memberikan porsi

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan teori dalam jurnal “ Power generation with pressure retarded osmosis: An experimental and theoretical investigation ” yang dituliskan

Penerapan, pengamalan/aplikasi sila ini dalam kehidupan sehari hari yaitu dapat diwujudkan dalam bentuk kepedulian akan hak setiap orang untuk memperoleh pembangunan

Probabilita signifi kansi jauh lebih kecil dari 0,05, maka model dapat digunakan untuk memprediksi variabel kinerja perbankan syariah, atau dapat dikatakan bahwa variabel

dan berkat-Nya kami dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah dengan judul “Faktor Risiko Kardiomiopati Dilatasi di Rumah Sakit Dr. Penulisan Karya Tulis Ilmiah ini dilakukan

Oleh karena itu, dalam penelitian ini disimpulkan bahwa, perjalanan haji ke Puncak Bawa Karaeng adalah bentuk artikulasi dari jemaat Haji Bawa Karaeng, yang

Hubungan antara harga dengan jumlah permintaan ini berlaku untuk hampir semua barang dalam transaksi di pasar Bintoro Demak, dan dalam kenyataannya, para pedagang

Demikian kami sampaikan, atas perhatiaannya kami ucapkan

Hasil Penelitian: Berdasarkan analisis multivariate diperoleh variabel yang paling dominan berhubungan dengan kejadian dismenore primer pada siswi SMA Negeri di