• Tidak ada hasil yang ditemukan

SISTEM PEMANTAUAN PRODUKSI DAN PEREDARAN KAYU DI ERA OTONOMI DAERAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SISTEM PEMANTAUAN PRODUKSI DAN PEREDARAN KAYU DI ERA OTONOMI DAERAH"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

SISTEM PEMANTAUAN PRODUKSI DAN PEREDARAN KAYU DI ERA OTONOMI DAERAH

Oleh:

Triyono Puspitojati

RINGKASAN

Sistem pemantauan produksi dan peredaran kayu secara self assessment yang berlaku saat ini perlu dirubah karena tidak efektif mengatasi kayu ilegal dan tidak sesuai dengan kebijakan otonomi daerah. Di era otonomi, setiap daerah mempunyai kewenangan untuk menyusun dan melaksanakan kegiatan pemantauan sendiri dengan menggunakan biaya sendiri yang berasal dari dana perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah sektor kehutanan. Dana perimbangan (provisi sumber daya hutan dan dana reboisasi – PSDH-DR) hanya untuk daerah penghasil kayu bulat dan pemerintah pusat, sedangkan daerah pemasaran kayu bulat tidak memperoleh langsung dana perimbangan dari kayu bulat yang masuk ke wilayahnya Hal ini dapat menyebabkan pemantauan peredaran kayu bulat dan pengenaan PSDH-DR di daerah pemasaran kayu tidak seintensif sebelum era otonomi daerah. Karena itu, lokasi pengenaan PSDH-DR harus dialihkan dari daerah pemasaran kayu ke daerah penghasil kayu, dan mengingat maraknya kayu ilegal maka sistem pemantauan pengenaan PSDH-DR sebaikmya dilakukan secara official assessment. Sebagai konsekuensinya, sistem pemantauan produksi dan peredaran kayu bulat juga harus dirubah dari self assessment menjadi official assessment, dengan fokus pemantauan di daerah penghasil kayu.

Kata kunci: sistem pemantauan, kayu bulat, otonomi daerah.

I. PENDAHULUAN

Provisi sumber daya hutan (PSDH) dan dana reboisasi (DR) merupakan penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari sektor Kehutanan. DR dipergunakan untuk pembangunan kehutanan yang terkait dengan kegiatan reboisasi hutan dan rehabilitasi lahan serta kegiatan lain yang mendukung kelestarian hutan. Sedangkan PSDH dipergunakan untuk pembangunan nasional dan pembangunan daerah. Penerimaan PSDH-DR hasil hutan sebagian besar berasal dari kayu. Nilai PSDH-DR tergantung tingkat produksi dan tarif untuk setiap jenis kayu. Semakin tinggi produksi kayu (legal) semakin tinggi PSDH-DR yang dapat dipungut.

Selama ini penerimaan negara dari PSDH-DR belum optimal karena banyaknya kayu yang diproduksi secara ilegal. Selain mempengaruhi penerimaan negara, produksi kayu ilegal menimbulkan dampak negatif berikut. Pertama, alokasi sumberdaya hutan tidak efisien. Produksi kayu menjadi berlebihan atau lebih besar dari kemampuan hutan untuk memproduksinya secara lestari. Hal ini juga terlihat

(2)

dari harga kayu yang rendah atau lebih rendah dibandingkan biaya untuk memproduksinya (biaya pengelolaan hutan dan biaya eksploitasi).

Kedua, distribusi pendapatan antara daerah penghasil kayu dan daerah pemasaran kayu menjadi tidak merata. Harga kayu yang rendah bukan hanya dinikmati oleh konsumen di daerah penghasil kayu tetapi sebagian besar dinikmati oleh konsumen di daerah pemasaran kayu baik konsumen dalam negeri maupun konsumen luar negeri. Sementara itu, biaya untuk memperbaiki hutan yang rusak akibat produksi kayu ilegal ditanggung sendiri oleh daerah penghasil kayu.

Ketiga, hutan yang rusak tersebut mengancam stabilitas ekonomi yang berbasis kayu. Di masa mendatang produksi kayu akan turun sehingga kegiatan industri berbahan baku kayu dan industri terkait lainnya juga akan menurun. Hal ini berarti distribusi pendapatan antara generasi sekarang dan generasi mendatang tidak merata.

Maraknya kayu ilegal antara lain disebabkan sistem pemantauan produksi dan peredaran kayu tidak efektif. Dengan berlakunya otonomi daerah, sistem pemantauan ini akan makin tidak efektif. karena efektifitasnya sangat tergantung pada efektifitas pemantauan yang dilakukan di daerah tujuan pemasaran kayu. Di era otonomi, kegiatan pemantauan tampaknya harus difokuskan di daerah asal kayu karena penerimaan PSDH-DR hanya untuk daerah penghasil kayu dan pemerintah pusat. Sedangkan daerah tujuan kayu tidak memperoleh bagian PSDH-DR secara langsung atas kayu dari daerah lain yang dipantaunya.

Kajian sistem pemantauan produksi dan peredaran kayu ini dilakukan bertitik tolak dari masalah tersebut di atas dan dimaksudkan untuk memberi masukan bagi perubahan sistem pemantauan yang sesuai dengan kebijakan otonomi daerah..

II. SISTEM PEMANTAUAN PRODUKSI DAN PEREDARAN KAYU

Pemantauan produksi dan peredaran kayu merupakan kegiatan penunjang pemantauan pengenaan PSDH-DR. Sistem pemantauan ini disusun untuk memenuhi kebutuhan sistem pemantauan pengenaan PSDH-DR. Karena pemantauan pengenaan PSDH-DR dilakukan secara self assessment (PSDH-DR dihitung dan dibayar sendiri oleh perusahaan) maka pemantauan produksi dan peredaran kayu dilakukan secara self assessment (perusahaan menerbitkan sendiri dokumen produksi dan peredaran kayu). Karena sebagian besar PSDH dikenakan di industri pengolahan kayu hulu (IPKH) maka rentang pemantauan kayu menjadi panjang, dari daerah penghasil kayu sampai daerah pemasaran kayu. Hal yang terakhir ini menyebabkan kegiatan pemantauan produksi dan peredaran kayu ilegal menjadi rumit.

A. Mekanisme Pemantauan

Pada era otonomi daerah ini, kegiatan pemantauan produksi dan peredaran kayu di Indonesia masih didasarkan pada Kepmenhut No 402/KPTS-IV/1990 jo No 525/KPTS-II/1991 (Anonim, 1992), Kepmenhut No. 486/Kpts-II/95 jo. No 532/Kpts-II/96 (Anonim, 1997). Berdasarkan peraturan ini, pelaksanaan pemantauan produksi dan peredaran kayu dilakukan secara self assessment.

(3)

Dalam sistem ini, pemantauan dititik beratkan pada pemeriksaan silang dokumen produksi dan peredaran kayu. Pemeriksaan fisik kayu yang diproduksi hanya dilakukan pada saat pengesahan laporan hasil penebangan (LHP) oleh petugas pengesah LHP (P2LHP). Sedangkan pemeriksaan fisik terhadap kayu yang diedarkan hanya dilakukan pada saat kayu sampai di IPKH oleh petugas pemeriksa penerimaan kayu bulat (P3KB). Sementara itu, penerbitan dokumen produksi dan peredaran kayu dilakukan oleh petugas perusahaan yang ditunjuk oleh Kanwil Kehutanan.

Dokumen produksi dan peredaran kayu yang dipantau antara lain adalah dokumen laporan hasil cruising (LHC), dokumen laporan hasil produksi (LHP) dan surat angkutan kayu bulat (SAKB). Dokumen LHC adalah dokumen rencana produksi yang diperoleh dari kegiatan survei potensi tegakan. LHC antara lain memuat informasi tentang nama pohon, diameter, tinggi dan volume pohon yang direncanakan untuk ditebang.

Dokumen LHP memuat informasi kegiatan penebangan antara lain nomor batang (nomor petak, nomor pohon dan nomor batang), diameter, panjang, jenis kayu dan volume dari masing-masing batang. Nomor pohon dan jenis kayu yang tercantum dalam LHP harus sama dengan yang tercantum dalam LHC. Pemeriksaan silang LHC dan LHP dilakukan oleh P2LHP pada saat pengesahan LHP. Kayu yang LHP-nya telah disahkan dapat diedarkan.

Sedangkan Surat Angkutan Kayu bulat (SAKB) adalah dokumen kayu bulat yang menyertai peredaran kayu. SAKB memuat informasi kayu seperti yang tercantum dalam dokumen LHP. Sehingga melalui pemeriksaan silang dokumen LHP dan SAKB dapat ditentukan ada tidaknya kayu ilegal yang diedarkan. Peredaran kayu bulat dari perusahaan hak pengusahaan hutan (HPH) ke perusahaan IPKH wajib disertai SAKB.

SAKB dibuat rangkap enam oleh petugas perusahaan yang ditunjuk Kanwil Kehutanan. SAKB lembar pertama (1) dan kedua (2) menyertai peredaran kayu bulat sampai ke IPKH. Lembar ketiga (3) dikirim ke CDK asal kayu dan lembar keempat (4) untuk P2LHP. Sementara itu lembar kelima (5) dikirim ke Kanwil Kehutanan tujuan kayu, dan lembar keenam (6) sebagai arsip penerbit SAKB (perusahaan HPH). Secara skematis arus peredaran kayu bulat dari HPH ke IPKH antar propinsi dan pelaporan dokumen SAKB dapat dilihat pada Gambar 1.

Pemeriksaan fisik peredaran kayu di daerah asal kayu biasanya tidak dilakukan sehingga petugas kehutanan asal kayu tidak mengetahui apakah fisik kayu yang diedarkan sama dengan fisik kayu yang tercantum dalam SAKB (3) dan (4).

Pemantauan hanya dilakukan melalui evaluasi dokumen, dan ini sesuai dengan Surat Edaran Menteri Kehutanan No. 1682 tahun 1990 (Anonim, 1990) dimana pemeriksaan peredaran kayu selama pengangkutan tidak dianjurkan. Surat edaran ini dimaksudkan untuk memperlancar peredaran kayu.

Pemeriksaan fisik dan dokumen kayu yang diedarkan dilakukan setelah kayu sampai di IPKH oleh petugas pemeriksa penerimaan kayu bulat (P3KB). Hasil pemeriksaan dicatat dalam buku register. SAKB (1) disimpan oleh P3KB dan SAKB (2) diserahkan kembali kepada IPKH.

Setiap bulan, SAKB (1) tersebut dikirim ke CDK (tujuan kayu). Setelah dicatat dan direkap, SAKB (1) tersebut oleh CDK dikirim ke Dinas Kehutanan (tujuan

(4)

P2LHP HPH

CDK asal kayu

P3KB

CDK ttujuan kayu

Dinas tujuan kayu

Kanwil tujuan kayu IPKH

Dinas asal kayu

Kanwil asal kayu

kayu) dan dari Dinas Kehutanan dikirim ke Kanwil Kehutanan (tujuan kayu). Selain itu, Dinas Kehutanan tujuan kayu setiap bulan juga mengirim laporan penerimaan kayunya kepada Dinas Kehutanan asal kayu.

Pemantauan dokumen di daerah tujuan kayu dilakukan oleh Kanwil Kehutanan yaitu dengan melakukan pemeriksaan silang dokumen SAKB (1) dan (5).

Sedangkan pemantauan dokumen di daerah asal kayu dilakukan dengan pemeriksaan silang antara SAKB (3) dan LHP, dan antara SAKB (3) dan laporan Dinas Kehutanan tujuan kayu.

(4) (1&2)

(1&2)

(4) (3) (2) (1)

(3) (5) (1)

(3) (1)

Keterangan: (1), (2), (3), (4), (5) secara berturut-turut adalah SAKB lembar ke-1, ke-2, ke-3, ke-4 dan ke-5.

Gambar 1. Arus peredaran kayu bulat dari HPH ke IPKH antar propinsi

B. Efektifitas Pemantauan

Pemantauan produksi dan peredaran kayu yang dilakukan secara self assessment tidak efektif mengatasi kayu ilegal karena adanya kelemahan sistem dan pelaksanaan pemantauan serta dipengaruhi oleh pasokan dan kebutuhan kayu bulat yang tidak seimbang.

1. Kelemahan sistem pemantauan

Sistem pemantauan peredaran kayu secara self assessment mengandung paling tidak dua kelemahan utama. Pertama, di daerah asal kayu tidak ada pemeriksaan fisik terhadap kayu yang diedarkan. Hal ini menyebabkan peredaran kayu ilegal (baik yang dilakukan melalui manipulasi dokumen, tanpa dokumen atau dengan menggunakan dokumen palsu) tidak terpantau di daerah asal kayu. Sebagai akibatnya kayu ilegal mengalir ke daerah tujuan kayu (Triyono dan Haryatno, 1996;

Triyono dan Sylviani, 1999; Haryatno dan Triyono, 2000).

Comment [BT1]:

Comment [BT2]:

(5)

Kedua, koordinasi pemantauan antara Dinas Kehutanan asal dan tujuan kayu tidak memadai atau tidak ada. Komunikasi yang ada hanya satu arah dan sangat terbatas, yaitu dari Dinas Kehutanan tujuan kayu ke Dinas Kehutanan asal kayu.

Hal ini menyebabkan Kanwil Kehutanan tujuan kayu sulit untuk memantau peredaran kayu di wilayahnya, karena tidak ada informasi awal tentang pengiriman kayu tersebut. Kelemahan ini dapat dimanfaatkan oleh perusahaan HPH, misalnya, untuk melakukan ekspor kayu bulat secara ilegal (Dirjen PHP, 2000).

2. Kelemahan pelaksanaan pemantauan

Pemantauan produksi dan peredaran kayu tidak dapat dilakukan dengan baik karena terbatasnya jumlah petugas, sarana dan prasarana. Hal ini paling tidak tercermin dari kegiatan pemantauan yang dilakukan oleh P2LHP, P3KB dan Dinas Kehutanan.

a. Pelaksanaan Pemantauan oleh P2LHP dan P3KB

P2LHP melaksanakan tugasnya mensahkan LHP sebulan 3 kali, sedangkan P3KB standby selama 24 jam untuk mengawasi kayu bulat yang masuk IPKH. Pada umumnya, P2LHP dan P3KB tidak mempunyai sarana dan prasarana yang memadai untuk melaksanakan tugasnya sehingga menggunakan sarana dan prasarana yang disediakan oleh perusahaan. Akibatnya, P2LHP dan P3KB tidak mandiri dalam melaksanakan tugasnya (Triyono dan Haryatno, 1996).

Dampak dari ketidak mandirian P2LHP dan P3KB sulit diketahui. Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa kayu yang LHP-nya telah disahkan dan kayu yang telah diperiksa P3KB sebagian besar tidak mempunyai identitas lengkap atau bahkan tidak mempunyai identitas sama sekali. Hal ini membuat aparat kehutanan sulit untuk membedakan kayu legal dan kayu ilegal (Triyono dan Haryatno, 1996).

b. Pelaksanaan pemantauan oleh Dinas Kehutanan

Dinas Kehutanan tujuan kayu pada umumnya tidak memberikan perhatian yang serius terhadap koordinasi pemantauan. Triyono dan Sylviani (1997) melaporkan bahwa Dinas Kehutanan DKI Jakarta setiap bulan menerima sekitar 480 dokumen SAKB/SAKO dari 17 propinsi pengirim kayu. Penerimaan kayu ini tidak dilaporkan ke Dinas kehutanan pengirim kayu (asal kayu) karena tidak ada pegawai yang secara khusus menangani hal tersebut. Hal ini menyebabkan, pemeriksaan silang dokumen di daerah asal kayu tidak berjalan baik.

c. Penawaran dan Permintaan Kayu

Pasokan dan permintaan kayu menunjukkan ketidak seimbangan. Pada tahun 1977, industri kayu lapis yang aktif berjumlah 105 unit dengan kebutuhan kayu bulat 16,29 juta m³ per tahun, sedangkan industri kayu gergajian berjumlah 1.701 unit dengan kebutuhan kayu bulat 26,57 juta m³ per tahun. Sementara itu industri pulp berjumlah 6 unit dengan kebutuhan kayu bulat/serpih sebesar 17,91 juta m³ per tahun. Dengan demikian kebutuhan kayu bulat untuk industri adalah sekitar 60,77 juta m³ per tahun (Dirjen PHP, 2000).

(6)

Pada tahun yang sama, total produksi kayu bulat diperkirakan 32,60 juta m³ per tahun. Produksi kayu ini berasal dari hutan alam (22,5 juta m³ per tahun), pembukaan lahan (7,5 juta m³ per tahun), Perum perhutani dan hutan tanaman industri (HTI) (2,05 juta m³ per tahun) dan hutan rakyat (0,55 juta m³ per tahun).

Kekurangan pasokan adalah 29,17 juta m³ per tahun (Dirjen PHP, 2000).

Hal ini mendorong berbagai tindakan yang mengancam kelestarian hutan seperti penebangan di luar blok tebangan, penebangan liar, penebangan berlebihan (over cutting) serta pemalsuan dan manipulasi dokumen. Dalam peredarannya kayu ilegal tersebut bercampur dengan kayu legal sehingga mengacaukan kegiatan pemantauan peredaran kayu (Triyono dan Hariyatno, 1996; Triyono dan Sylviani, 1999;

Hariyatno dan Triyono, 2000)..

D. Upaya Yang Telah Dilakukan

Upaya untuk meningkatkan efektifitas pemantauan telah banyak dilakukan. Ada kecenderungan bahwa upaya ini dilakukan dengan meningkatkan pemeriksaan fisik terhadap kayu yang diedarkan. Di beberapa daerah, pos pemeriksaan peredaran kayu bulat diaktifkan. Secara nasional, upaya mengatasi kayu ilegal dilakukan dengan membentuk Tim Pengamanan Hutan Terpadu (TPHT) yang melibatkan banyak instansi non kehutanan. TPHT yang membutuhkan biaya operasi besar ini dibubarkan pada tahun 1998 karena tidak mampu mengatasi kayu ilegal. Hal ini disebabkan TPHT dibentuk dengan tujuan untuk mengeliminir dampak dan bukan mengeliminir penyebab terjadinya peredaran kayu ilegal. Dalam banyak kasus, keterlibatan TPHT justru melemahkan kemampuan aparat kehutanan melaksanakan pemantauan (Triyono dan Sylviani, 1999; Hariyatno dan Triyono, 2000)..

Akhir-akhir ini, disinyalir SAKB diperjual belikan dan digunakan untuk mengedarkan kayu ilegal sehingga aparat kehutanan sulit untuk membedakan kayu legal dan kayu ilegal. Banyaknya SAKB yang berada di tangan pengedar kayu ilegal ini mendorong pemerintah, melalui Kepmenhutbun No. 132 tahun 2000, mengganti dokumen SAKB dengan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) dimana penerbitan SKSHH dilakukan secara official assessment (penerbitan dokumen dilakukan oleh aparat kehutanan). Dengan berlakunya otonomi daerah sejak Januari 2001, banyak perubahan tampaknya harus dilakukan untuk menyesuaikan dengan kebijakan otonomi daerah..

III. OTONOMI DAERAH

Kebijakan otonomi daerah yang terkait dan dapat mempengaruhi efektifitas pemantauan peredaran kayu tercantum pada pasal 12 dan 63 UU No. 22 Tahun 1999 dan pasal 6 ayat 1 dan pasal 8 UU No. 25 tahun 1999 (Anonim, 1999).

Pengaturan lebih lanjut pasal 12 UU No. 22 tahun 1999 tercantum dalam PP No. 25 tahun 2000 khususnya pasal 2 dan pasal 3 (Anonim, 2000).

Pasal 63 UU No. 22 Tahun 1999 menyebutkan bahwa penyelenggaraan wewenang yang dilimpahkan oleh Pemerintah kepada Gubernur selaku wakil pemerintah dalam rangka dekonsentrasi dilaksanakan oleh Dinas Propinsi. Dengan

(7)

berlakunya UU ini maka Kantor Wilayah Kehutanan dihapus dan tidak lagi terlibat dalam pemantauan produksi, peredaran dan pembayaran PSDH-DR. Kegiatan pemantauan sepenuhnya ditangani oleh aparat kehutanan di daerah.

Pasal 2 dan 3 PP No. 25 tahun 2000 antara lain menyebutkan bahwa pemasaran dan peredaran hasil hutan merupakan kewenangan pemerintah pusat. Kewenangan pusat dalam mengatur pemasaran dan peredaran kayu ini diperkirakan hanya diarahkan pada penyusunan pedoman dan standar kegiatan pemantauan sehingga memungkinkan kerjasama pemantauan antar daerah dapat dilakukan. Sementara itu, teknis pelaksanaan pemantauan diperkirakan diserahkan kepada daerah.

Pasal 6 ayat 5 UU No.25 Tahun 1999 menyebutkan bahwa Penerimaan Negara dari sumberdaya alam sektor kehutanan dari Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dibagi dengan imbangan 20% untuk Pemerintah Pusat dan 80% untuk Daerah. Sedangkan pasal 8 ayat 4 UU No. 25 Tahun 1999 menyebutkan bahwa penerimaan negara dari dana reboisasi (DR) dibagi dengan imbangan 40% untuk Daerah dan 60% untuk Pemerintah Pusat (Tabel 1). Dalam peraturan sebelumnya, 100% DR dan 80% PSDH dikelola oleh Pemerintah Pusat (20% PSDH untuk Daerah).

Tabel 1. Perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah sektor kehutanan (%)

Daerah

Propinsi Kabupaten/kota

Sumber Dasar bagi hasil Pusat

Penghasil Lain dalam propinsi

IHPH Total penerimaan 20 16 64 -

PSDH Total penerimaan 20 16 32 32

DR Total penerimaan 60 - 40 -

Perubahan ini menyebabkan daerah asal kayu mempunyai dana (terutama dari DR) untuk pemantauan sedangkan daerah tujuan kayu tidak mempunyai dana (atau mendapat sedikit dana yang dikelola Pemerintah Pusat) untuk memantau kayu yang berasal dari daerah lain. Sebagai konsekuensinya, pemantauan akan difokuskan pada daerah asal kayu. Koordinasi pemantauan dengan daerah lain diperkirakan hanya sebagai pendukung dan dilakukan melalui pemantauan dokumen.

IV. PERUBAHAN SISTEM PEMANTAUAN

Perubahan sistem produksi dan pemantauan kayu hanya dapat dilakukan apabila sistem pemantauan pengenaan PSDH-DR telah dirubah. Dengan berlakunya otonomi daerah maka sistem pemantauan PSDH-DR seharusnya telah berubah.

Perubahan sistem pengenaan PSDH-DR, apabila dilakukan tampaknya akan mengarah pada dua hal berikut. Pertama, pemungutan PSDH-DR dilakukan di kabupaten penghasil kayu yaitu di HPH segera setelah LHP disahkan (bukan di daerah tujuan kayu seperti yang selama ini terjadi).

Kedua, pemantauan pengenaan PSDH-DR dilakukan secara official assessment dan bukan self assessment. Perubahan-perubahan ini perlu dilakukan agar

(8)

pengenaan PSDH-DR sesuai dengan kebijakan otonomi daerah, pengenaan PSDH- DR mudah dilakukan, dan pemantauan produksi dan peredaran kayu dapat dilakukan secara efektif.

Perubahan sistem pemantauan PSDH-DR tersebut membawa konsekuensi berikut. Pertama, sistem pemantauan produksi dan peredaran kayu berubah dari self assessment ke official assessment atau semi official assessment. Dalam sistem ini, pemantauan dilakukan secara intensif dan penerbitan sebagian/seluruh dokumen dilakukan oleh aparat kehutanan, sebagai pengganti penerbitan dokumen oleh pegawai perusahaan. Kedua, kegiatan pemantauan difokuskan di kabupaten penghasil kayu sedangkan kegiatan pemantauan di kabupaten dan propinsi lainnya hanya sebagai penunjang.

Meskipun sistem pemantauan produksi dan peredaran kayu di era otonomi daerah (diasumsikan) berubah dari self assessment ke official assessment, alur dan kegiatan pemantauan pada dasarnya tidak perlu mengalami banyak perubahan.

Kegiatan pemantauan tetap dilakukan di hutan, selama kayu diangkut dan di industri. Dokumen produksi dan peredaran kayu yang selama ini digunakan juga masih memadai digunakan untuk memantau setiap kegiatan perusahaan.

Pemantauan di hutan terhadap rencana dan realisasi produksi, serta dokumen LHC dan LHP tampaknya tidak perlu dirubah. Ketentuan bahwa intensitas pengecekan cruising 5% dan pemeriksaan produksi kayu 10% masih memadai untuk digunakan.

Meskipun demikian, penerbitan dokumen LHP sebaiknya dilakukan oleh aparat kehutanan karena dokumen LHP (dan tarif PSDH-DR) menjadi dasar perhitungan PSDH-DR.

Ketentuan tentang pemantauan terhadap kayu yang akan dan sedang diedarkan tampaknya harus berubah. Dokumen angkutan kayu yang selama ini diterbitkan oleh pegawai perusahaan sebaiknya diterbitkan oleh aparat kehutanan (untuk menghindari manipulasi dokumen). Pemeriksaan fisik kayu yang akan diedarkan perlu dilakukan dengan intensitas sampling 5-10%.

Pemantauan kayu selama pengangkutan, yang dihapus sejak tahun 1990, tampaknya perlu diaktifkan kembali. Hal ini dilakukan dengan membangun pos-pos pemeriksaan kayu di lokasi-lokasi yang banyak dilalui kayu. Jumlah pos disesuaikan dengan volume peredaran kayu dan tingkat kerawanan daerah. Agar kegiatan ini tidak mengganggu kelancaran peredaran kayu maka pemeriksaan kayu di pejalanan sebaiknya difokuskan pada pemantauan dokumen. Pemeriksaan fisik kayu sebaiknya hanya dilakukan secara terbatas untuk mengetahui apakah kayu yang diedarkan mempunyai identitas yang jelas (mengecek legalitas kayu).

Pemeriksaan fisik kayu secara intensif hanya dilakukan apabila ada indikasi kayu yang diedarkan ilegal.

Pemantauan penerimaan kayu di industri tidak perlu dirubah. Tugas P3KB adalah memantau penerimaan kayu oleh IPKH, baik terhadap kayu yang berasal dari produksi setempat maupun kayu yang berasal dari kabupaten dan propinsi lainnya. Kayu yang masuk industri diperiksa keabsahan dokumennya dan pemeriksaan fisik kayu dilakukan dengan intensitas sampling 10%.

Dengan kegiatan pemantauan tersebut maka efektifitas pemantauan tidak lagi tergantung pada kegiatan pemantauan di daerah tujuan kayu (kabupaten lain dalam propinsi dan propinsi lain). Apabila setiap daerah (Cabang Dinas Kehutanan –

(9)

CDK) melakukan kegiatan pemantauan yang sama maka kerjasama pemantauan antar CDK dalam satu propinsi dan propinsi lain dengan sendirinya terjadi.

Kegiatan-kegiatan pemantauan tersebut di atas perlu ditunjang tenaga kerja, sarana dan prasarana yang memadai sehingga aparat dapat mandiri dan mampu melaksanakan kegiatan pemantauan dengan baik.

IV. PENUTUP

Hutan dikelola secara lestari agar hasilnya dapat dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat. Kelestarian hutan tidak banyak artinya apabila hasilnya hanya cukup untuk membiayai kelestarian hutan itu sendiri. Karena itu, pemantauan produksi dan peredaran kayu harus memenuhi hal berikut. Pertama, pemantauan peredaran kayu harus efektif mengatasi kayu ilegal sehingga hutan tidak rusak dan biaya pengelolaan hutan rendah. Kedua, pemantauan kayu harus dilakukan secara efisien sehingga biaya pemantauan rendah dan sebagian besar penerimaan negara dari PSDH-DR dapat dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Penghentian penebangan liar tidak mungkin dilakukan hanya melalui penyempurnaan sistem pemantauan peredaran kayu bulat namun harus diikuti dengan penyempurnaan kebijakan yang terkait dengan restrukturisasi dan rasionalisasi industri perkayuan nasional dimana melalui kebijakan ini kebutuhan kayu bundar dapat diturunkan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2000. Bahan Paparan dan Diskusi Direktur Jendral Pengelolaan Hutan Produksi. Rakernas 2000 Departemen Kehutanan dan perkebunan. Dirjen PHP, Jakarta.

, 1992. Peraturan-Peraturan di Bidang Tata Usaha Kayu. Keputusan menteri Kehutanan No 402/KPTS-IV/1990 jo No 525/KPTS-II/1991. Dirjen Pengusahaan Hutan, Departement Kehutanan, Jakarta.

, 1997. Peraturan-Peraturan di Bidang Tata Usaha Kayu. Keputusan Menteri Kehutanan No. 486/Kpts-II/95 jo. No 532/Kpts-II/96. Dirjen Pengusahaan Hutan, Departement Kehutanan, Jakarta.

, 2000. Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 tentang Pemerintah Daerah.

, 1990. Surat Edaran Menteri Kehutanan No. 1682 tahun 1990 tentang Pos Pemeriksaan Kayu. Dirjen Pengusahaan Hutan, Departemant Kehutanan, Jakarta.

, 1999. Undang Undang Otonomi Daerah: UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintanhan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Sinar Grafika, Jakarta

Haryatno dan Triyono, 2000. Kajian Kasus Pemantauan Peredaran Kayu dan Pengenaan PSDH-DR di Jawa Tengah. Info Hasil Hutan Vol 6 No 2, 2000.

Pusat penelitian Hasil Hutan, Bogor.

(10)

Sylviani dan Triyono, 2000. Dampak Pengamanan Hutan Terhadap Peredaran Kayu Ilegal. Info Hasil Hutan Vo. 7 No. 1, 2000. Pusat Penelitian Hasil Hutan, Bogor.

Triyono dan Haryatno, 1996. Pemantauan Produksi dan Peredaran Kayu Bulat.

Buletin Penelitian Hasil Hutan Vol No. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan, Bogor.

Triyono dan Sylviani, 1999. Kajian Pemantauan Peredaran Kayu di Jakarta.

Majalah Kehutanan Indonesia Edisi 1/XIII/, 1999-2000. Jakarta.

ABSTRAK

Sistem pemantauan produksi dan peredaran kayu secara self assessment yang berlaku saat ini perlu dirubah karena tidak efektif mengatasi kayu ilegal dan tidak sesuai dengan kebijakan otonomi daerah. Di era otonomi, setiap daerah mempunyai kewenangan untuk menyusun dan melaksanakan kegiatan pemantauan dengan menggunakan biaya sendiri yang berasal dari dana perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah sektor kehutanan. Dana perimbangan (tertutama berasal dari provisi sumber daya hutan dan dana reboisasi – PSDH-DR) hanya untuk daerah penghasil kayu bulat dan pemerintah pusat. Dengan kata lain, daerah pemasaran kayu bulat, tidak memperoleh pendapatan langsung dari kayu bulat yang masuk ke wilayahnya Hal ini dapat menyebabkan pemantauan peredaran kayu bulat dan pengenaan PSDH-DR di daerah pemasaran kayu tidak seintensif sebelum era otonomi daerah. Karena itu, lokasi pengenaan PSDH-DR harus dialihkan dari daerah pemasaran kayu ke daerah penghasil kayu, dan mengingat maraknya kayu ilegal maka sistem pemantauan pengenaan PSDH-DR sebaikmya dilakukan secara official assessment. Sebagai konsekuensinya, sistem pemantauan produksi dan peredaran kayu bulat juga harus dirubah dari self assessment menjadi official assessment, dengan fokus pemantauan di daerah penghasil kayu.

Kata kunci: sistem pemantauan, kayu bulat, otonomi daerah.

Gambar

Gambar 1. Arus peredaran kayu bulat dari HPH ke IPKH antar propinsi
Tabel 1. Perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah sektor kehutanan (%)

Referensi

Dokumen terkait

Mengingat kegiatan utama bank pada prinsipnya adalah bertindak sebagai perantara, yaitu menghimpun dan menyalurkan dana (misalnya dana masyarakat), maka biaya dan

Clarkson et al (2008 dan 2011) menyatakan terdapat hubungan positif antara environmental performance dan level of environmental disclosure bahwa perusahaan dengan

membedakan yang baik dan buruk), dan fase kanak-kanak akhir (9 – 12 tahun), masa perkembangan kecerdasan (keinginan memahami fenomena alam, kemampuan koreksi.. dan

Gaya komunikasi asertif tersebut digunakan pada saat memberikan tugas pekerjaan, saat memberikan tugas yang berhubungan dengan divisi lain, memberikan informasi mengenai

Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2015:1) Aset tetap adalah aset yang dimiliki dan tidak untuk diperjualbelikan (baik dibuat sendiri maupun diperoleh dari

Tujuan penelitian ini adalah membuat alat pengering tipe Solar Dryer dengan media udara panas yang dihasilkan dari panas matahari yang ditangkap oleh kolektor termal..

Power Amplifier adalah alat yang berfungsi untuk mengubah sinyal input dengan. amplitude rendah menjadi output dengan amplitude yang lebih tinggi

Produk yang dihasilkan PT Aneka Dharna Persada adalahbeton tipe dry mixed yaitu hasil pencampuran semua bahan-bahan pembuat beton sesuai dengan mix design  sesuai dengan