ATECU untuk Mengendalikan OPT Utama Pada Tanaman Cabai ...
Pemanfaatan Teknologi Indigenous ATECU untuk Mengendalikan OPT
Utama Pada Tanaman Cabai Merah serta Pengaruhnya
Terhadap Predator Menochilus sexmaculatus
(The used of Indigenous ATECU Technology to Control Pest and
Diseases on Chili Pepper and Safer to Predator Menochilus sexmaculatus)
Wiwin Setiawati dan Abdi Hudayya
Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Jln. Tangkuban Parahu No. 517 Lembang, Bandung Barat, Jawa Barat, Indonesia 40391 E-mail: [email protected]
Diterima: 18 Mei 2018; direvisi: 7 Desember 2018; disetujui: 28 Maret 2019
ABSTRAK. Meningkatnya kesadaran konsumen terhadap keamanan pangan dan issue pelestarian lingkungan menjadikan budidaya ramah lingkungan menjadi salah satu pilihan yang tepat untuk mengatasi masalah tersebut. Budidaya ramah lingkungan tidak menimbulkan pencemaran serta tidak memerlukan input yang mahal seperti pupuk dan pestisida kimia sintetis. Kebutuhan bahan input tersebut dipenuhi dari bahan organik lokal (indigenous) yang tersedia di sekitar lahan pertanian (kearifan lokal) sehingga biaya produksi menjadi lebih murah. ATECU (akronim dari campuran Azadirachta indica, Tephrosia vogelli, dan urine sapi yang difermentasi selama 15 hari) merupakan salah satu teknologi indigenous yang efikasinya terhadap hama penting pada tanaman cabai sangat diperlukan. Tujuan penelitian adalah mengetahui efikasi teknologi indigenous ATECU (fermentasi mimba, kacang babi, dan urine sapi) terhadap OPT penting cabai merah yang dapat mengurangi penggunaan pestisida kimia >50% dan aman terhadap predator M. sexmaculatus. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Balai Penelitian Tanaman Sayuran Lembang (1.250 m dpl.) dengan jenis tanah Andisol dari bulan Maret sampai dengan bulan November 2016. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok terdiri atas enam perlakuan dan diulang empat kali. Perlakuan yang diuji adalah ATECU 10 ml/l yang diaplikasikan secara rutin berdasarkan ambang kendali dan kombinasi dengan insektisida kimia Spinetoram (1,0 ml/l ), insektisida Spinoteram (1,0 ml/l ) yang diaplikasikan secara rutin dan berdasarkan ambang kendali serta kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi teknologi indigenous ATECU 10 ml/l efektif mengendalikan OPT penting pada tanaman cabai merah seperti Thrips parvispinus dengan tingkat efikasi (53,56%), Polyphagotarsonemus latus (90,71%), Heliothis armigera (98,41%), Bractocera spp. (83,28%) dan penyakit yang diakibatkan oleh cendawan Colletotrichum acutatum dengan tingkat efikasi sebesar (70,18%). Selain itu aplikasi ATECU 10 ml/l dapat mengurangi penggunaan insektisida sebesar 40–50%, menghemat biaya penggunaan insektisida sebesar 45,38–95,36%, aman terhadap musuh alami (predator Menochilus sexmaculatus) serta menghasilkan hasil panen di atas 10 ton/ha. Penggunaan ATECU selain efektif untuk pengendalian OPT juga dapat meningkatkan produktivitas tanaman. Karena keefektifannya, sifat ramah lingkungan, dan relatif lebih ekonomis. ATECU dapat direkomendasikan sebagai pestisida potensial untuk pengendalian OPT dalam budidaya sayuran ramah lingkungan.
Kata kunci : Cabai merah; SDH indigenous; Azadirachta indica; Tephrosia vogelii; Urine sapi
ABSTRACT. Increased consumer awareness of food safety and environmental conservation issues make environmentally friendly cultivation to be one of the right choices to overcome the problem. Eco-friendly agriculture does not cause pollution and does not require expensive inputs such as synthetic chemical fertilizers and pesticides. Some potential of Biological Control Agent (BCA) indigenous included bio-pesticide (ATECU) should be manipulated. Most of the potential BCA is underutilized among common farmers. The used of indigenous ATECU technology (neem, tephrosia and cow urine fermented) to control pest and diseases on chili pepper is needed. The research aimed to determine the efficacy indigenous material ATECU (neem + tephrosia + cow urine fermented) to control pest and diseases of chili pepper that can reduce the use of chemical pesticides > 50% and safe to predator M. sexmaculatus. The research was conducted in Margahayu Station from March to November 2016. Randomized block design consisting of 6 treatments was used in this experiment with four replications. The treatment being tested is the use of applications of ATECU 10 ml/l based on routinely, action threshold and combine with Spinetoram 1 ml/l, Spinoteram 1 ml/l insecticide applied routinely and based on control threshold and control. The results showed that ATECU 10 ml/l was effective for controlling important pests in chili pepper such as Thrips parvispinus with efficacy levels (53.56%), Polyphagotarsonemus latus (90.71%), Helicoverpa armigera (98.41%), Bractocera spp. (83.28%) and Colletotrichum acutatum disease with efficacy 70.18%; ATECU 10 ml/l can reduce pesticide use by 40–50%, save pesticide usage 45.38–95.36%, and safe to predator Menochilus sexmaculatus and highest yield of chili up to 10 ton/ha. From this experiment which was strongly gave on indication that ATECU fermented from neem, tephrosia plants and cow urine would be able to replace synthetic pesticides in controlling pest and diseases, and to reduce the quantity of synthetic pesticide application on environmentally friendly cultivation of chili.
Key words: Chili peppers ; BCA indigenous; Azadirachta indica; Tephrosia vogelii; Cow urine Pada tiga dekade terakhir ini, kepedulian konsumen
terhadap lingkungan semakin meningkat. Konsumen tidak lagi hanya memperhatikan mahal atau murahnya harga suatu produk yang akan dikonsumsi, tetapi juga akan memperhatikan atribut-atribut lainnya
yang melekat pada suatu produk tersebut seperti aman dikonsumsi, bebas residu pestisida, dan atribut ekologis lainnya (Hasyim, Setiawati & Lukman. 2015). Dalam bidang hortikultura khususnya sayuran, penggunaan pupuk dan pestisida kimia yang sangat
daya dukung lingkungan terhadap produktivitas alam. Kondisi ini harus segera ditata kembali, antara lain dengan pemberdayaan sumber daya hayati (SDH) yang sifatnya domestik (indigenous). Penerapan budidaya tanaman ramah lingkungan sesuai dengan yang dicanangkan pemerintah mengenai green agriculture menjadi solusi terbaik. Pada tanaman sayuran, budidaya ramah lingkungan lebih mengutamakan pada penggunaan bahan organik atau bahan alami sebagai sumber pupuk atau pestisida. Petani sayuran, termasuk cabai merah sejak jaman dahulu kala telah menerapkan budidaya sayuran ramah lingkungan. Petani sayuran banyak menggunakan sediaan yang mengandung ekstrak tumbuhan, urine sapi, kotoran sapi, dan olahan domestik lainnya untuk mengurangi kehilangan hasil karena serangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT) dan sekaligus sebagai pupuk hayati.
Tumbuhan penghasil insektisida nabati kebanyakan berasal dari tanaman yang tergolong ke dalam famili Meliaceae, Rutaceae, Asteraceae, Annonaceae, Labiatae, dan Canellacea. Mimba (Azadirachta indica) merupakan salah satu insektisida nabati yang paling banyak digunakan dalam pengendalian OPT ramah lingkungan dengan berbagai formulasi dan berbagai produk komersial di beberapa negara di seluruh dunia (Isman 2006; Chaudhary et al. 2017). Senyawa aktif insektisida dari mimba dilaporkan berpengaruh terhadap lebih dari 400 spesies serangga hama (Indiati & Marwoto 2008), di antaranya adalah pengisap polong (Gerendás & Führs 2013; Hendrival, Latifah & Nisa 2013); Myzus persicae (Déla et al. 2014), trips (Aliakbarpour, Che Salmah & Dzolkhifli. 2011; Nikolova & Georgieva 2014); Epilachna sp. (Ara et al. 2015); Helicoverpa armigera (Wondafrash, Getu & Terefe. 2012), Schistocerca gregaria (Sharma & Khan 2008) dan OPT dalam tanah (Abudulai et al. 2013). Selain sebagai biopestisida, mimba juga berfungsi ganda sebagai pupuk dan penguat tanah serta dapat menekan pertumbuhan bakteri dan cendawan (Moyin-Jesu 2013; Abudulai et al. 2013).
Kacang babi, Tephrosia vogelii mengandung rotenone, dequelin, alfa-toxicarol, tephrosin, sarcolobin, dan 5-methoxyisolonchocarpin lebih bersifat sebagai antifeedant (Belmain et al. 2012). Meskipun senyawa ini sangat beracun bagi kebanyakan serangga, akan tetapi ekstrak tephrosia relatif tidak beracun bagi kebanyakan serangga berguna (Zarkani, Prijono & Pudjianto 2010). Efektif untuk mengendalikan hama Plutella xylostella, Crocidolomia pavonana (Zarkani, Prijono & Pudjianto 2010), (Belmain et al. 2012), thrips (Alao, Adebayo & Olaniran 2011), aphid (Brevicoryne brassicae L.) (Mudzingwa, Muzemu &
Latifah & Nisa 2013).
Secara tradisional, urine sapi telah lama digunakan sebagai obat-obatan di negara berkembang dan sedang berkembang. Namun, belakangan ini urine sapi banyak digunakan sebagai bahan pengendali OPT dicampur dengan berbagai tumbuhan karena kombinasi ini terbukti efektif dan lebih murah dibandingkan dengan pestisida sintetis. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa urine sapi dapat digunakan sebagai anti bakteri, anti kanker, antioksidan, dan anti cendawan. Penggunaan urine sapi untuk mengendalikan OPT (serangga, cendawan, bakteri, dan nematoda) telah banyak dilakukan (Pradhan, Verma & Kumari 2018; Jandaik, Thakur & Kumar 2015; Kumawat et al. 2014) dengan hasil yang memuaskan. Selain itu urine sapi dapat dimanfaatkan sebagai pupuk hayati yang banyak mengandung nitrogen, fosfat, potasium, kalsium, magnesium, klorit, dan sulfat (Khanal et al. 2011). Aplikasi urine sapi juga telah dilaporkan memperbaiki defisiensi mikronutrien, selain memperbaiki tekstur tanah dan bekerja sebagai hormon tanaman. Minocheherhomji & Vyas (2014) melaporkan bahwa hasil analisis fermentasi urine sapi dan tanaman mengandung senyawa bioaktif seperti alkaloid, antrakuinon, flavonoid, tanin, dan saponin yang menjadi bahan aktif utama sebagai fungisida. Gahukar (2013) melaporkan bahwa urine sapi bersifat sinergis dapat meningkatkan efikasi berbagai tumbuhan penghasil pestisida terhadap OPT sasaran.
Pada tanaman cabai merah, serangan OPT terjadi sebelum masa tanam di pertanaman, sampai di penyimpanan dan pengangkutan produk. Hasil survey yang dilakukan di Jawa Barat, DI Jogyakarta, Jawa Timur, dan Bali pada musim kemarau, kemarau basah, dan musim penghujan menempatkan trips (Thrips parvispinus), tungau (Polyphagotarsonemus latus), ulat buah (Helicoverpa armigera), lalat buah (Bactrocera sp.), antraknosa (Colletotrichum acutatum), layu fitoptora (Phytophthora capsici), dan layu bakteri (Ralstonia solanacearum) sebagai OPT penting pada tanaman cabai merah dan cabai rawit. Kehilangan hasil yang diakibatkan oleh OPT tersebut mencapai 25–100% (Setiawati et al. 2011; Hudayya et al. 2017).
ATECU merupakan akronim dari campuran A. indica, T. vogelli, dan urine sapi yang difermentasi selama 15 hari. Bioefikasi ATECU terhadap hama penting pada tanaman cabai sangat diperlukan. Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian di lapangan. Dari hasil penelitian ini diharapkan ATECU dapat digunakan sebagai biopestisida pengendali OPT penting pada tanaman cabai.
Tujuan penelitian adalah mengetahui efikasi SDH indigenous ATECU (fermentasi mimba, kacang babi, dan urin sapi) terhadap OPT penting cabai merah yang dapat mengurangi penggunaan pestisida kimia >50% dan aman terhadap predator M. sexmaculatus. Dari penelitian tersebut diharapkan akan diperoleh biopestisida yang berasal dari SDH indigenous (ATECU) yang mampu menggantikan posisi pestisida kimia sintetik dalam mengendalikan OPT penting pada budidaya cabai merah ramah lingkungan sehingga akan dihasilkan provitas cabai yang lebih tinggi, kualitas yang lebih baik serta serangan OPT dapat diatasi.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan dari bulan Maret sampai dengan bulan November 2016 di Kebun Percobaan Balai Penelitian Tanaman Sayuran Lembang (1.250 m dpl.) dengan jenis tanah Andisol. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok terdiri atas enam perlakuan dan diulang empat kali. Perlakuan yang diuji adalah sebagai berikut:
a. ATECU (10 ml/l)/diaplikasikan secara terjadwal (1 minggu sekali)
b. ATECU (10 ml/l)/diaplikasikan berdasarkan ambang kendali (AK)
c. ATECU (10 ml/l) + Spinetoram 120 SC (1,0 ml/l) diaplikasikan berdasarkan ambang kendali (AK)
d. Spinoteram 120 SC (1,0 ml/l) sebagai insektisida pembanding/diaplikasikan secara terjadwal (1 minggu sekali)
e. Spinoteram 120 SC (1,0 ml/l)/diaplikasikan berdasarkan ambang kendali (AK)
f. Kontrol/tanpa insektisida Cara Pembuatan ATECU
Untuk membuat 10/l ATECU diperlukan daun mimba dan tephrosia masing – masing sebanyak 2,5 kg. Semua bahan dicacah, dicampur, dan digiling halus, ditambah dengan 10 l urine sapi dan 1l molasses. Aduk selama 5 menit, difermentasi selama 14 hari, kemudian disaring.
Cabai varietas Kencana ditanam dengan jarak tanam 70 cm x 50 cm, luas plot 10 m x 4,2 m (120 tanaman/plot), luas percobaan ± 2.500 m2. Pestisida diaplikasikan sesuai dengan ambang kendali sebagai berikut : (a) intensitas serangan trips dan kutudaun
10%, (b) intensitas serangan tungau 10%, dan (c) intensitas serangan ulat grayak 12,5%.
Seluruh pertanaman cabai merah diberi tanaman penghalang dengan empat baris jagung. Pupuk organik yang digunakan adalah pupuk kandang kuda 30 ton/ ha dan pupuk NPK sebanyak 1.000 kg/ha.
Pengambilan tanaman contoh dilakukan dengan menggunakan metode U shape sebanyak 10 tanaman contoh/petak perlakuan. Pengamatan awal dilakukan pada umur 30 hari setelah tanam (HST) dengan interval 7 hari.
Parameter Pengamatan
a. Untuk pengamatan trips dan tungau diambil dua daun contoh/tanaman dari bagian atas tanaman cabai yang letaknya berlawanan (Timur – Barat). b. Untuk pengamatan kerusakan tanaman oleh trips
dan tungau dilakukan dengan rumus sebagai berikut: P =Σ n x v N x Z x 100% EI = Ca – Ta Ca x 100% Keterangan:
P = Tingkat kerusakan tanaman (%)
Nilai (skor) kerusakan (v) berdasarkan luas daun seluruh tanaman yang terserang, yaitu:
0 = Tidak ada kerusakan sama sekali
1 = Tuas kerusakan > 0 – ≤ 20% bagian daun terserang
3 = Luas kerusakan > 20 – ≤ 40% bagian daun yang terserang
5 = Luas kerusakan > 40 – ≤ 60% bagian daun yang terserang
7 = Luas kerusakan > 60 – ≤ 80% bagian daun yang terserang
9 = Luas kerusakan > 80 – ≤ 100% bagian daun yang terserang
n = Jumlah tanaman yang memiliki nilai v yang sama
Z = Nilai kategori serangan tertinggi N = Jumlah tanaman yang diamati
c. Tingkat efikasi insektisida yang diuji dengan rumus Abbott (1925):
kerusakan tanaman pada petak perlakuan insektisida yang diuji setelah penyemprotan insektisida
Ca = Populasi hama sasaran atau persentase kerusakan tanaman pada kontrol setelah penyemprotan insektisida
d. Populasi musuh alami (M. sexmaculatus) dihitung pertanaman contoh
e. Jumlah Penggunaan Insektisida
f. Pada saat panen dilakukan pengamatan terhadap: bobot buah sehat per petak dan intensitas serangan hama dan penyakit yang menyerang buah cabai. g. Intensitas serangan lalat buah, ulat buah, penyakit
virus kuning, penyakit virus kompleks, dan penyakit antraknose dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Pengaruh Perlakuan Terhadap Serangan OPT Selama penelitian berlangsung, OPT yang menyerang pertanaman cabai merah adalah trips (T. parvispinus), tungau (P. latus), ulat penggerek buah (H. armigera), lalat buah (Bractocera spp.), dan penyakit antraknose yang disebabkan oleh (C. acutatum). Intensitas serangan kelima OPT tersebut disajikan pada Tabel 1 sampai dengan Tabel 4. Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa T. parvispinus sudah mulai menyerang tanaman cabai sejak umur 30 HST sampai dengan umur 93 HST (pengamatan terakhir). Aplikasi ATECU 10 ml/l dan insektisida Spinetoram 120 SC (2,0 ml/l ) secara nyata dapat menurunkan populasi T. parvispinus pada umur 58–93 HST bila dibandingkan dengan kontrol, walaupun memiliki daya efikasi yang berbeda tergantung dari cara aplikasi. Efikasi ATECU (10 ml/l) yang diaplikasikan secara rutin, berdasarkan ambang pengendalian ataupun kombinasi dengan insektisida Spinetoram 120 SC dan efikasinya setara dengan insektisida Spinoteram 120 SC. Tingkat efikasi tertinggi terdapat pada perlakuan insektisida yang diaplikasikan secara rutin masing–masing sebesar 53,56–54,84%. Secara umum penggunaan ATECU bila dikombinasikan dengan pestisida akan menurunkan tingkat efikasinya. Suryaningsih (2008) menyatakan bahwa A. indica (mimba) mengandung bioaktif azadirachtin yang multikerja, baik sebagai biotoksin (racun), pencegah makan (antifeedant), maupun penolak (repellent).
Mimba mengandung senyawa hasil metabolisme sekunder, yaitu golongan limonoid dan tripernoid, Tabel 1. Rata-rata populasi T. parvispinus pada tiap perlakuan (The average of T. parvispinus populations
on treatments) Perlakuan
(Treatments)
Rata-rata populasi T. parvispinus
(The average of T. parvispinus at ...), HST (DAT) Rata-rata(Mean)
% efikasi (Reduction in thrips population over control), % 30 37 44 51 58 65 72 79 86 93 ATECU 10 ml/l/ Rutin 2,75 a 4,75 ab 0,48 a 0,15 a 0,78 ab 0,78 b 0,73 b 0,35 bc 0,43 b 0,28 b 1,01 53,56 ATECU 10 ml/l/ AK 2,25 a 3,75 ab 1,13 a 0,15 a 0,65 bc 0,63 b 0,60 b 0,25 bc 0,48 b 0,23 b 1,15 47,04 ATECU 10 ml + SPINETORAM 120 SC (AK) 3,25 a 4,50 ab 0,27 a 0,13 a 0,78 ab 0,80 b 0,63 b 0,33 bc 0,45 b 0,40 b 1,15 47,04 SPINETORAM 120 SC/Rutin 4,00 a 2,75 b 0,33 a 0,13 a 0,45 c 0,60 b 0,60 b 0,13 c 0,52 b 0,33 b 0,98 54,84 SPINETORAM 120 SC/AK 3,00 a 5,75 a 0,30 a 0,13 a 0,73 abc 0,85 b 0,65 b 0,55 b 0,25 b 0,28 b 1,25 42,68 Kontrol 3,00 a 3,75 ab 0,40 a 0,25 a 0,98 a 1,88 a 3,03 a 2,40 a 3,55 a 2,55 a 2,18 -BNT 0,05 2,92 2,85 0,92 0,22 0,28 0,53 0,51 0,41 0,29 0,37 -
-Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut Uji Lanjut Beda Nyata Terkecil pada taraf 5% (Number followed by the same letter on the same column are not significant base on DMRT at 5% level)
P = a
a + b x 100% Keterangan:
P = Intensitas serangan (%) a = Jumlah buah yang terserang b = Jumlah buah sehat
Analisis Statistik
Data pengamatan dianalisis dengan sidik ragam. Jika terdapat perbedaan pengaruh perlakuan yang nyata maka dilanjutkan dengan uji lanjut LSD pada taraf nilai kepercayaan 95%.
Senyawa biotoksin yang utama adalah azadirachtin (C35H44O16) yang mempunyai multi cara kerja baik sebagai biotoksin (bakterisida, mitisida, virisida, rodentisida, spermatisida, fungisida, nematisida, dan insektisida), pencegah makan dan penolak. Sebagai insektisida, waktu kerja azadirachtin tidak terlalu cepat, tetapi memengaruhi pertumbuhan (growth inhibitor), khususnya pada proses metamorfosis, pencegah makan, memengaruhi proses perkawinan, penekanan daya tetas telur, dan juga pembentukan khitin. Biotoksin tersebut juga mampu bekerja secara sistemik. Salah satu biotoksin yang terkandung dalam daun T. vogeliie adalah tefrosin dan deguelin, keduanya adalah isomer rotenon dan model kerjanya yang utama yaitu sebagai penghambat pertumbuhan serangga.
Hasil analisis data intensitas kerusakan daun akibat serangan T. parvispinus disajikan pada Tabel 2. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa intensitas kerusakan daun sejalan dengan populasi T. parvispinus. Pada pengamatan awal (30 HST) sampai dengan 51 HST tingkat kerusakan tanaman relatif masih rendah sehingga semua perlakuan yang diuji tidak menunjukkan perbedaan yang nyata bila dibandingkan dengan kontrol. Pada pengamatan selanjutnya, yaitu pada umur 58 HST sampai dengan pengamatan 93 HST, semua perlakuan insektisida ATECU 10 ml/l yang diuji maupun insektisida sintetik Spinetoram 120 SC 2,0 ml/l secara konsisten lebih rendah dan berbeda nyata bila dibandingkan dengan kontrol. Hal tersebut menunjukkan bahwa semua insektisida yang diuji efektif untuk mengendalikan T. parvispinus meskipun tingkat efikasi ATECU 10 ml/l bervariasi, tetapi
tingkat efikasinya sama bahkan lebih tinggi daripada insektisida sintetik Spinopteram 120 SC 2,0 ml/l.
Nimfa maupun imago T. parvispinus mampu merusak daun cabai dengan cara menggaruk dan menghisap isi cairan daun. Kerusakan tanaman akibat serangan T. parvispinus dapat dilihat pada permukaan bawah daun yang berwarna keperak-perakan dan daun mengeriting atau berkerut kemudian tanaman mati. Serangan trips pada buah dapat mengurangi harga jual produk tersebut. Kehilangan hasil yang diakibatkannya diperkirakan dapat mencapai 22,8% (Sastrosiswojo 1991 dalam Johari et al. 2014). ATECU 10 ml/l baik yang diplikasikan secara rutin, berdasarkan ambang kendali maupun dikombinasikan dengan Spinoteram 2,0 ml/l ternyata mampu mengurangi kerusakan yang diakibatkan oleh T. parvispinus dengan tingkat efikasi berkisar antara 56,82 – 69,77%. Efikasi ATECU 10 ml/l setara atau setingkat lebih baik dibandingkan dengan insektisida Spinopteram 120 SC 2,0 ml/l dengan tingkat efikasi sebesar 56,82–68,35%.
Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa ambang kendali trips tercapai pada umur tanaman 58–93 HST. Pada petak perlakuan ATECU 10 ml/l dan Spinetoram 2,0 ml/l, kerusakan tanaman mencapai ambang kendali sebanyak lima kali, sedangkan pada petak perlakuan ATECU kombinasi dengan Spinetoram sebanyak enam kali.
Serangan tungau sudah tampak pada umur 30 HST (Tabel 3), semua perlakuan yang diuji secara nyata dapat menekan serangan tungau bila dibandingkan dengan kontrol. Pada pengamatan terakhir, serangan tungau pada petak kontrol mencapai 11,95%, sedangkan pada Tabel 2. Kerusakan tanaman akibat serangan T. parvispinus (Plant damage due to T. parvispinus)
Perlakuan (Treatments)
Rata-rata kerusakan tanaman pada pengamatan ke (The average of plant damage (%) at (HST/DAP)
% efikasi (Reduction in plant damage over control), % 30 37 44 51 58 65 72 79 86 93 ATECU 10 ml/L /Rutin 3,89 a 4,72 a 4,16 ab 1,67 a 13,33 a 14,72 b 18,34 b 19,45 b 18,34 b 11,67 d 69,77 ATECU 10 ml/L / AK 2,50 a 3,05 a 4,44 a 3,89 a 9,72 b 13,33 b 17,23 b 17,79 b 16,12 bc 14,73 bc 61,85 ATECU 10 ml + SPINETORAM 120 SC (AK) 2,78 a 3,61 a 3,33 ab 3,61 a 10,83 ab 13,34 b 17,78 b 17,78 b 17,23 bc 16,67 b 56,82 SPINETORAM 120 SC/Rutin 5,00 a 5,56 a 3,33 ab 2,50 a 10,28 b 9,17 b 16,12 b 15,56 b 15,56 bc 12,22 cd 68,35 SPINETORAM 120 SC/AK 2,78 a 2,78 a 2,50 b 1,16 a 8,89 b 11,67 b 15,28 b 17,22 b 13,89 c 12,50 cd 67,62 Kontrol 3,61 a 4,44 a 3,55 ab 3,06 a 13,05 a 25,00 a 29,45 a 40,00 a 40,28 a 38,61 a -BNT 0,05 2,96 3,24 1,68 3,18 2,67 5,87 3,61 6,21 3,64 2,86
-Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut Uji Lanjut Beda Nyata Terkecil pada taraf 5% (Number followed by the same letter on the same column are not significant base on DMRT at 5% level)
petak perlakuan berkisar antara 0,40–1,67%, dengan demikian semua insektisida yang diuji dapat menekan serangan tungau sebesar 86,03–96,65%. Pengaruh aplikasi ATECU terhadap tungau kemungkinan disebabkan oleh efek dari ekstrak tanaman mimba dan tephrosia yang mengandung fitokimia seperti asam amino non-protein, fenol, alkaloid, glikosida, terpen, dan flavonoid yang beracun bagi kebanyakan serangga (Chandrashekharaiah & Sannaveerappanavar 2013). Demikian juga urine sapi mengandung mineral, asam, vitamin, dan hormon. Metabolit sekunder yang dikeluarkan dari tanaman akan meningkatkan aktivitas mikroorganisme yang berasal dari urine sapi, yang menyebabkan efek sinergisme Chandrashekharaiah et al. 2015). Selanjutnya, Chand & Tiwari (2010); Geetanjaly & Tiwari (2014); Bijewar Chouragade & Das (2018), melaporkan bahwa penambahan urine sapi pada berbagai jenis pestisida nabati dapat meningkatkan persen efikasinya di atas 20%.
Organisme pengganggu tumbuhan (OPT) yang menyerang buah cabai pada saat panen antara lain ulat penggerek buah (H. armigera), lalat buah (B. cucurbitae) dan penyakit antraknose (C. acutatum). ATECU 10 ml/l secara nyata dan konsisten efektif untuk mengendalikan ketiga OPT tersebut, dengan tingkat efikasi berkisar antara 54,18 – 98,41%, Hasil serupa didapatkan oleh Wondafrash Getu & Terefe (2012) yang melaporkan bahwa mimba efektif untuk menekan populasi H. armigera. Chand & Tiwari (2010) menyatakan bahwa kombinasi mimba dengan urine sapi efektif untuk mengendalikan S. litura.
Selain sebagai insektisida, mimba juga dapat digunakan sebagai akarisida, nematisida, dan fungisida. Nduagu, Ekefan & Nwankiti (2008) melaporkan bahwa mimba efektif untuk mengendalikan penyakit yang diakibatkan oleh C. capsici, selanjutnya Kekuda et al. (2014) melaporkan bahwa ekstrak urine sapi dengan tumbuhan Anacardium occidentale L., Pimenta dioica Perlakuan
(Treatments)
Rata-rata kerusakan tanaman pada pengamatan ke (Plant damage due to broad mite (%) at (HST/DAP)
% efikasi (Reduction in thrips population over control), % 30 37 44 51 58 65 72 79 86 91 ATECU 10 ml/l/Rutin 0,28 b 0,56 a 1,11 ab 1,39 a 3,33 b 3,33 c 1,94 b 3,33 bc 2,22 b 1,11 b 90,71 ATECU 10 ml/l/AK 2,22 ab 1,67 a 1,97 a 3,05 a 3,33 b 3,33 c 1,67 b 1,94 c 1,67 b 1,67 b 86,03 ATECU 10 ml + SPINETORAM 120 SC (AK) 1,94 ab 0,56 a 1,67 ab 3,05 a 5,56 a 5,83 ab 2,22 b 4,72 b 2,50 b 1,67 b 86,03 Spinetoram/Rutin 0,83 ab 0,56 a 0,58 b 1,66 a 3,89 ab 4,44 bc 2,17 b 4,44 b 2,78 b 0,40 b 96,65 Spinetoram/AK 0,28 b 1,11 a 0,56 b 1,39 a 3,05 b 2,50 c 2,50 b 3,33 bc 2,22 b 1,16 b 90,29 Kontrol 2,78 a 0,83 a 1,11 ab 1,94 a 3,05 b 7,78 a 6,39 a 10,28 a 11,95 a 11,95 a -BNT 0,05 2,39 1,39 1,31 2,10 1,88 2,32 1,30 1,97 2,04 1,88
-Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut Uji Lanjut Beda Nyata Terkecil pada taraf 5% (Number followed by the same letter on the same column are not significant base on DMRT at 5% level)
Tabel 4. OPT pada saat panen( Pest and diseases on harvest time) Perlakuan
(Treatments)
Persentase kerusakan (Percent damage), % Helicoverpa
armigera (Efficacy), %Efikasi Bactrocera spp. (Efficacy), %Efikasi Colletotrichum acutatum (Efficacy), %Efikasi
ATECU 10 ml/l/ Rutin 0,07 c 98,41 1,37 b 83,28 0,82 b 70,18 ATECU 10 ml/l/AK 0,07 c 98,41 1,96 b 67,22 0,87 b 68,36 ATECU 10 ml + SPINETORAM 120 SC (AK) 0,16 c 96,36 5,02 a 16,05 1,26 b 54,18 Spinetoram/ Rutin 0,09 c 97,95 1,49 b 75,08 2,64 a 4,0 Spinetoram/AK 3,11 b 29,32 1,50 b 74,92 2,43 a 11,6 Kontrol 4,40 a - 5,98 a - 2,75 a -BNT 0,05 1,08 2,68 1,52
Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut Uji Lanjut Beda Nyata Terkecil pada taraf 5% (Number followed by the same letter on the same column are not significant base on DMRT at 5% level level)
(Linn,) Merill., Alpinia galanga Willd. dan Anisomeles indica Linn. dapat menghambat pertumbuhan penyakit antraknose pada tanaman cabai. Akarsh et al. (2016) melaporkan bahwa kombinasi urine sapi dengan beberapa tumbuhan penghasil pestisida dapat menekan pertumbuhan cendawan C. capsici dan Fusarium sp. Gotora Masaka & Sungirai (2014) menyatakan bahwa urine sapi untuk mengendalikan Fusarium lateritium pada tanaman kopi. Campuran berbagai tumbuhan dengan urine sapi efektif mengendalikan penyakit seperti Rhizoctonia spp., Fusarium spp., Sclerotinia spp., Phytophthora spp., dan Colletotrichum spp. (Ashlesha 2011). Ghosh & Biswas (2018) menyatakan
bahwa urine sapi dapat menekan berbagai penyakit utama yang menyerang tanaman. Selanjutnya Singh et al. (2012) menyatakan bahwa urine sapi mengandung asam fenolik yang berfungsi sebagai fungisida.
Pengaruh aplikasi insektisida ATECU terhadap predator M. sexmaculatus disajikan pada Tabel 5. Myzus sexmaculatus merupakan salah satu predator yang mempuyai beberapa kelebihan di antaranya mempunyai kemampuan reproduksi tinggi, siklus hidup lama serta tingkat pemangsaan tinggi (Setiawati et al. 2012; Muharam & Setiawati 2007). Populasi predator mulai tampak pada umur 65 HST pada saat populasi trips mulai meningkat. Peningkatan populasi predator Tabel 5. Populasi predator M. sexmaculatus pada tiap perlakuan (Populations of M. sexmaculatus predator
at different treatments) Perlakuan
(Treatments)
Populasi predator M. sexmaculatus (Population of predator M. sexmaculatus), HST (DAT)
65 72 79 86 93 ATECU 10 ml/l/Rutin 87,25 a 146,00 a 60,50 a 30,25 a 9,00 a ATECU 10 ml/l/AK 55,25 b 136,75 a 41,25 ab 26,50 a 7,00 ab ATECU 10 ml + SPINETORAM 120 SC (AK) 52,50 b 67,50 b 28,75 bc 14,00 ab 5,25 abc SPINETORAM 120 SC/Rutin 1,25 c 0,50 c 2,75 c 0,25 b 0,00 d SPINETORAM 120 SC/AK 13,00 c 18,75 bc 13,50 bc 5,25 b 2,00 bcd Kontrol 13,75 c 21,00 bc 12,00 bc 4,00 b 1,75 cd BNT 0,05 17,62 64,35 29,54 17,13 5,14
Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut Uji Lanjut Beda Nyata Terkecil pada taraf 5% (Number followed by the same letter on the same column are not significant base on DMRT at 5% level)
Gambar 1. Populasi predator M. sexmaculatus pada tiap perlakuan selama penelitian berlangsung (M. secmaculatus population per treatments during experiments)
Jumlah predator (
Number of pr
edator
sejalan dengan keberadaan mangsanya (trips). Populasi predator berbeda sangat nyata pada semua perlakuan yang diuji. ATECU baik yang diaplikasikan secara rutin, berdasarkan AK maupun yang dikombinasikan dengan penggunaan insektisida secara nyata dapat berperan sebagai penarik predator. Hal ini dapat dilihat pada petak yang diaplikasikan dengan ATECU, populasi predator berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol dan insektisida Spinetoram 120 SC. Populasi predator pada petak ATECU akan berkurang bila jumlah aplikasi dikurangi atau dikombinasikan dengan insektisida kimia (Spinetoram 120 SC 2 ml/l). Joseph et al. (2010); Lokanadhan, Muthukrishnan & Jeyaraman (2012); Ogah & Ogbodo (2012); Nboyine et al. (2013), dan Sattar et al. (2011) menyatakan bahwa mimba aman/tidak membahayakan musuh alami. Selanjutnya Tiwari et al. (2016) juga melaporkan bahwa urine sapi merupakan salah satu bahan penarik serangga berguna seperti parasitoid, predator, dan polinator.
Aplikasi insektisida Spinetoram 120 SC secara rutin ternyata tidak selektif dan dapat mengurangi populasi predator sebesar 98,10% bila dibandingkan dengan kontrol. Dari Gambar 1, dapat dilihat bahwa populasi predator tertinggi terjadi pada perlakuan ATECU 10 ml/ha/rutin sebanyak 333 ekor, diikuti berturut-turut oleh perlakuan ATECU 10 ml/l/AK (266,75 ekor) dan ATECU 10 ml + Spinetoram 120 SC (AK) (168 ekor). Hasil Panen Cabai Merah
Hasil panen cabai disajikan pada Tabel 6. Semua perlakuan yang diuji ternyata dapat menekan kehilangan cabai akibat serangan OPT. Hasil panen tertinggi diperoleh oleh perlakuan ATECU 10 ml/l (10,27 ton/ha), diikuti oleh perlakuan insektisida Spinetoram 120 EC sebesar 10,25%. Dari hasil ini dapat dilihat bahwa penggunaan insektisida ATECU setara dengan insektisida pembanding Spinoteram
120 EC. Hasil serupa dilaporkan oleh Sobhana (2014) yang menyatakan bahwa penyemprotan urine sapi dapat meningkatkan jumlah bunga dan fruit set yang efikasinya setara dengan paclobutrazol, cycocel, GA3. Lithourgidis et al. (2007) melaporkan bahwa urine sapi dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman dan produktivitas tanaman. Moyin-Jesu (2013) melaporkan bahwa penggunaan mimba dapat meningkatkan produktivitas jagung. Selain dapat meningkatkan hasil panen cabai penggunaan ATECU dapat mengurangi penggunaan insektisida sebesar 40–50% dan dapat mengurangi biaya pemakaian pestisida sebesar 45,38 –95,36% bila dibandingkan dengan penggunaan insektisida kimia.
KESIMPULAN DAN SARAN
Aplikasi teknologi indigenous ATECU 10 ml/l efektif mengendalikan OPT penting pada tanaman cabai merah seperti T. parvispinus dengan tingkat efikasi 53.56%, P. latus (90,71%), H. armigera (98,41%), Bractocera spp. (83l28%), dan penyakit yang diakibatkan oleh cendawan C. acutatum dengan tingkat efikasi sebesar (70,18%). Selain itu aplikasi ATECU 10 ml/l dapat mengurangi penggunaan insektisida sebesar 40–50%, menghemat biaya penggunaan insektisida sebesar 45,38 – 95,36% aman terhadap musuh alami (predator M. sexmaculatus) serta menghasilkan hasil panen di atas 10 ton/ha. Penggunaan ATECU selain efektif untuk pengendalian OPT juga dapat meningkatkan produktivitas tanaman. Karena keefektifannya, sifat ramah lingkungan dan relatif lebih ekonomis.
ATECU dapat direkomendasikan sebagai pestisida potensial untuk pengendalian OPT dalam budidaya sayuran ramah lingkungan.
Perlakuan (Treatments) (Yield) Hasil
ton/ha Jumlah penyemprotan (Number of applications) Efisiensi penyemprotan (Efficiency of applications), % Biaya insektisida (Cost of insecticides) Efisiensi insektisida (Efficiency of insecticides), % ATECU 10 ml/L / Rutin 10,27 a 10 1,300,000 90,71 ATECU 10 ml/L / AK 10,05 a 5 50 650,000 95,36 ATECU 10 ml + Spinetoram 120 SC (AK) 9,80 a 5 50 7,650,000 45,38 Spinetoram 120 SC /Rutin 10,25 a 10 - 14,000,000 -Spinetoram 120 SC /AK 10,18 a 6 40 8,600,000 38,57 Kontrol 7,38 b 0 - - -BNT 0,05 1,08
-Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut Uji Lanjut Beda Nyata Terkecil pada taraf 5% (Number followed by the same letter on the same column not significant base on DMRT at 5%)
DAFTAR PUSTAKA
1. Abbott, WS 1925, ‘Methods for conperting the effectiveness insecticide’, J. Econ. Entomol, no. 18, pp. 265-267.
2. Abudulai, M, Salifu, AB, Opare-Atakora, D, Haruna, M, Baba, IIY, Dzomeku, IK, Brandenburg, RL & Jordan, DL 2013, ‘Field efficacy of neem (Azadirachta indica A. Juss) for managing soil Arthropods and Cercospora leaf spots damage for increased yield in peanut’, Plant Protection Science, vol. 49, no. 2, pp. 65–72.
3. Akarsh, S, Pavithra, GR, Roopa, KN, Ranjitha, MC & Prashith Kekuda, TR 2016, ‘Antifungal activity of cow urine extracts of selected plants against phytopathogenic fungi’, Scholars Journal of Agriculture and Veterinary Sciences, vol. 3, no. 4, pp. 305–308.
4. Alao, FO, Adebayo, TA & Olaniran, OA 2011, ‘Comparative efficacy of Tephrosia vogelii and Moringa oleifera against insect pests of watermelon (Citrullus lanatus Thumb)’, International Letters of Natural Sciences, vol. 35, no. May, pp. 71–78.
5. Aliakbarpour, H, Salmah, MRC & Dzolkhifli, O 2011, ‘Efficacy of neem oil against thrips (Thysanoptera) on mango panicles and its compatibility with mango pollinators’, Journal of Pest Science, vol. 84, no. 4, pp. 503–512. 6. Ara, R, Bachchu, M, Kulsum, M & Sarker, Z 2015, ‘Larvicidal
efficacy of some indigenous plant extracts against Epilachna beetle, Epilachna vigintioctopunctata (FAB.) (Coleoptera: Coccinellidae)’, Bangladesh Journal of Agricultural Research, vol. 40, no. 3, pp. 451–463.
7. Ashlesha, A 2011, ‘Antifungal activity of distillates of cow urine and botanicals’, Plant Disease Research. vol. 26 no. 2, pp. 163–164.
8. Belmain, SR, Amoah, BA, Nyirenda, SP, Kamanula, JF & Stevenson, PC 2012, ‘Highly variable insect control efficacy of Tephrosia vogelii chemotypes’, Journal of Agricultural and Food Chemistry, vol. 60, no. 40, pp. 10055–10063. 9. Bijewar, AK, Chouragade, V & Das, SB 2018, ‘Field efficacy
of plant leaf extracts , cow urine and in combination against pod borer complex in pigeonpea ( Cajanus cajan ( L ) Millsp .)’, Journal of Entomology and Zoology Studies, vol. 6, no. 5, pp. 342–347.
10. Chand, A & Tiwari, R 2010, ‘Influence of cow urine and indigenous plant leaf extracts on feeding potential and larval weight of Spodoptera litura (Fabricius) (Noctuidae : Lepidoptera)’, Journal of insect science, vol. 23, pp 313-317 11. Chandrashekharaiah, M & Sannaveerappanavar, VT 2013,
‘Biological activity of select plant and indigenous extracts against diamondback moth, Plutella xyllostella ( L .) ( Lepidoptera: Plutellidae ) and cowpea aphid, Aphis craccivora Koch ( Hemiptera: Aphididae )’, Current Biotica, vol. 7, no. 3, pp. 134–144.
12. Chandrashekharaiah, M, Satish, S, Vasudev, K, Arya, V V & GM, N 2015, ‘Efficacy of plant and aboriginal preparations against diamondback moth, Plutella xylostella ( L .) ( Lepidoptera : Plutellidae )’, Journal of Entomology and Zoology Studies, vol. 3, no. 4, pp. 18–23.
13. Chaudhary, S, Kanwar, RK, Sehgal, A, Cahill, DM, Barrow, CJ, Sehgal, R & Kanwar, JR 2017, ‘Progress on Azadirachta indica based biopesticides in replacing synthetic toxic pesticides’, Frontiers in Plant Science, vol. 8, no. 610, pp. 1–13.
14. Déla, M, Koffivi, K, Komina, A, Arnaud, A, Philippe, G & Adolé, G 2014, ‘Evaluation of neem leaves-based preparations as insecticidal agents against the green peach aphid, Myzus persicae (Sternorrhyncha: Aphididae)’, African J. Agri. Res., vol. 9 , no. 17, pp. 1344–1352.
15. Gahukar, RT 2013, ‘Cow urine: A potential biopesticide’, Indian Journal of Entomology, vol. 75, no. 3, pp. 212 – 216. 16. Geetanjaly, G & Tiwari, R 2014, ‘Bioefficacy of cow urine based eco-friendly formulations against Spilarctia obliqua (Walker)’, Journal of Applied and Natural Science, vol. 6, no. 2, pp. 680–686.
17. Gerendás, J & Führs, H 2013, ‘The significance of magnesium for crop quality’, Plant and Soil, vol. 368, no. 1–2, pp. 101–128.
18. Ghosh, T & Biswas, MK 2018, ‘Evaluation of antibacterial and antifungal activity of cow urine against some seed borne microflora’, International Journal of Current Microbiology and Applied Sciences, vol. 7, no. 05, pp. 1714–1727. 19. Gotora, T, Masaka, L & Sungirai, M 2014, ‘Effect of cow
urine on the growth characteristics of Fusarium lateritium, an important coffee fungus in Zimbabwe’, International Journal of Agronomy, vol. 2014, no. July.
20. Hasyim, A, Setiawati, W & Lukman, L 2015, ‘Inovasi teknologi pengendalian OPT ramah lingkungan pada cabai : upaya alternatif menuju ekosistem harmonis’, Pengembangan Inovasi Pertanian, vol. 8, no. 1, pp. 1–10.
21. Hendrival, Latifah & Nisa, A 2013, ‘Efikasi beberapa insektisida nabati untuk mengendalikan hama pengisap polong di pertanaman kedelai’, Jurnal Agrista, vol. 17, no. 1, pp. 18–27.
22. Hudayya, A, Setiawati, W, Susanto, A, Hasyim, A & Liferdi 2017, ‘Pemetaan hama dan musuh alaminya pada tanaman cabai sebagai akibat adanya fenomena perubahan iklim di Jawa Barat’,Seminar Nasional dan Workshop Perhimpunan Entomologi Indonesiam tantangan dan stategi pengelolaan serangga di era globalisasi, Universitas Padjadjaran, Jatinangor 25-26 Oktober 2017, 14p..
23. Indiati, SW & Marwoto 2008, ‘Insektisida nabati’, Bulletin Palawija, vol. 14, no. 15, pp. 9–14.
24. Isman, MB 2006, ‘Botanical insecticides, deterrents, and repellents in modern agriculture and an increasingly regulated world’, Annual Review of Entomology, vol. 51, no. 1, pp. 45–66.
25. Jandaik, S, Thakur, P & Kumar, V 2015, ‘Efficacy of cow urine as plant growth enhancer and antifungal agent’, Advances in Agriculture, vol. 2015, pp. 1–7.
26. Johari, A, Herlinda, S, Pujiastuti, Y, Irsan, C & Sartiami, D 2014, ‘Morphological and genetic variation of Thrips parvispinus ( Thysanoptera : Thripidae ) in chili plantation ( Capsicum annuum L .) in the lowland and highland of Jambi Province , Indonesia’, American Journal of BioSciences, vol. 2, no. 1, pp. 17–21.
27. Joseph, RA, Premila, KS, Nisha, VG, Rajendran, S & Mohan, SS 2010, ‘Safety of neem products to tetragnathid spiders in rice ecosystem’, Journal of Biopesticides, vol. 3, no. 1 Spec. Issue, pp. 088–089.
28. Kekuda, P, Vivek, M, Manasa, M, Kambar, Y, Nawaz, N & Raghavendra, H 2014, ‘Antifungal effect of cow urine extracts of selected plants against Colletotrichum capsici isolated from anthracnose of chilli’, Int. J. Agri. Crop Sc., vol. 7, no. 3, pp. 142.
waste to produce quality cauliflower’, Journal of Agriculture and Environment, vol. 12, pp. 91–96.
30. Kumawat, N, Shekhawat, PS, Kumar, R, Sanwal, RC & Kheti, P 2014, ‘Formulation of biopesticides for insect pests and diseases management in organic farming’, Pop. Kheti, vol. 2, no. 2, pp. 237–242.
31. Lithourgidis, AS, Dhima, K V., Vasilakoglou, IB, Dordas, CA & Yiakoulaki, MD 2007, ‘Sustainable production of barley and wheat by intercropping common vetch’, Agronomy for Sustainable Development, vol. 27, no. 2, pp. 95–99. 32. Lokanadhan, S, Muthukrishnan, P & Jeyaraman, S 2012,
‘Neem products and their agricultural applications’, Journal of Biopesticides, vol. 5, no. SUPPL., pp. 72–76.
33. Minocheherhomji, FP & Vyas, BM 2014, ‘International journal of advances in study of the antimicrobial activity of cow urine and medicinal plant extracts on pathogenic human microbial strains’,Int. J. Adv. Pharm. Biol Chel. , vol. 3, no. 4, pp. 836–840.
34. Moyin-Jesu, EI 2013, ‘Comparative evaluation of neem leaf (Azardiracta indica L), Wood ash and modified neem leaf extracts on the soil fertility, growth and yield of garden eggplant (Solanium melongena L.)’, American Journal of Agricultural Science and Technology, vol.3, no. 1. pp. 90. 35. Mudzingwa, S, Muzemu, S & Chitamba, J 2013, ‘Pesticidal
efficacy of crude aqueous extracts of Tephrosia vogelii L., Allium sativum L. and Solanum incanum L. in controlling aphids (Brevicoryne brassicae L.) in rape (Brassica napus L.)’, Journal of Research in Agriculture, vol. 2, no. 1, pp. 152–156.
36. Muharam, A & Setiawati, W 2007, ‘Teknik perbanyakan masal predator menochilus sexmaculatus pengendali serangga Bemisia tabaci vektor virus kuning pada tanaman cabai’, J. Hort., vol. 17, no. 4, pp. 365–373.
37. Nboyine, J, M, A & DY, O-A 2013, ‘Journal of experimental biology and agricultural sciences field efficacy of neem ( Azadirachta indica A . Juss ) based biopesticides for the management of insect-pests of cotton in Northern Ghana’, Journal of Experimental Biology and Agricutural Science, vol. 1, no. 4, pp. 321-327
38. Nduagu, C, Ekefan, E. & Nwankiti, A. 2008, ‘Effectof some crude plant extracts on growth of Colletotrichum capsici (Synd) Butler & Bisby, causal of pepper anthracnose’, Journal of Applied Biosciences, vol. 6, no. 2, pp. 184–190.
39. Nikolova, IVN & Georgieva, NAG 2014, ‘Effect of botanical insecticides Neemazal-T/S and pyrethrum applied alone and in combination with different organic products on Thrips tabaci population density’, Acta entomologica serbica, vol. 19, no. 1/2, pp. 1–11.
40. Ogah, EO & Ogbodo, EN 2012, ‘Comparative efficacy of neem seed extract with carbofuran in the management of African rice gall midge, Orseolia oryzivora Harris and Gagne ( Diptera : Cecidomyppdae )’, Journal of Biology, Agriculture and Healthcare, vol. 2, no. 5, pp. 147–153.
of cow urine on crop production : A review’, International Journal of Chemical Studies, vol. 6, no. 3, pp. 298–301. 42. Sattar, S, Farmanullah, Saljoqi, AUR, Arif, M, Sattar, H &
Qazi, JI 2011, ‘Toxicity of some new insecticides against Trichogramma chilonis (Hymenoptera: Trichogrammatidae) under laboratory and extended laboratory conditions’, Pakistan Journal of Zoology, vol. 43, no. 6, pp. 1117–1125. 43. Setiawati, W, Gunaeni, N, Uhan, TS & Hasyim, A
2012, ‘Potency of predator ( Menochilus sexmaculatus ) augmentation for white fly ( Bemisia tabaci ) management and its effect on gemini virus infestation on tomato’, Indonesian Science of Agricultural Science, vol. 13, no. 1, pp. 18–26. 44. Setiawati, W, Sutarya, R, Sumiarta, K, Kamandalu, A,
Suryawan, IB, Latifah, E & Luther, G 2011, ‘Incidence and severity of pest and diseases on vegetables in relation to climate change (with emphasis on East Java and Bali). In Poerwanto, Susanto, Susila, Khumaida, Sukma, Suketi and Ardhie (eds) Prosiding Seminar Nasional Perhimpunan Hortikultura’, November 2011, Balitsa, Lembang, Indonesia. 45. Sharma, T & Khan, AM 2008, ‘Toxic effect of neem
(Azadirachta indica ) extracts against Schistocerca gregaria F . adults under laboratory conditions’, Journal of Environmental Research And Development, vol. 2, no. 4, pp. 639–643. 46. Singh, U, Maurya, S, Singh, A, Nath, G & Singh, M 2012,
‘Antimicrobial efficacy, disease inhibition and phenolic acid inducing potential of chloroform fraction of cow urine’, Archives of Phytopathology and Plant Protection, vol. 45, no. 13, pp. 1546–1557.
47. Sobhana, A 2014, ‘Effect of bioregulators and cow ’s urine on flower production in jasmine ( Jasminum sambac )’,Asian Journal of Horticulture , vol. 9, no. 1, p. 2014.
48. Suryaningsih, E 2008, ‘Efikasi pestisida biorasional untuk mengendalikan Thrips palmi Karny pada tanaman kentang’, J. Hort., vol. 18, no. 3, pp. 319–325.
49. Tiwari, R, Tewari, AK, Brijesh, B, Puspendra, S & Megha, P 2016, ‘Role of cow urine in beekeeping and crop protection in Uttarakhand , India’,India Res. J. Recent. Sci., vol. 5, pp. 100–107.
50. Wondafrash, M, Getu, E & Terefe, G 2012, ‘Survival and feeding of African bollworm , Helicoverpa armigera (Hubner) (Lepidoptera : Noctuidae) affected by neem, Azadirachta indica (A . Juss) extracts, Wordl J. Agri. Sci., vol. 8, no. 3, pp. 280–285.
51. Zarkani, A, Prijono, D & Pudjianto 2010, ‘Efikasi insektisida nabati ekstrak daun Tephrosia vogelii Hook. terhadap Crocidolomia pavonana (F.) dan Plutella xylostella (L.) serta pengaruhnya pada Diadegma semiclausum (Hellen)’, Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia, vol. 12, no. 1, pp. 68–75.