• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN PENELITIAN JEJAK HABAIB DALAM MANUSKRIP BORNEO. oleh: Iskandar NIP: LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN MASYARAKAT (LP2M)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN PENELITIAN JEJAK HABAIB DALAM MANUSKRIP BORNEO. oleh: Iskandar NIP: LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN MASYARAKAT (LP2M)"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

1

LAPORAN PENELITIAN

JEJAK HABAIB DALAM MANUSKRIP BORNEO

(Kajian Filologi Naskah Kesultanan Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat)

oleh:

Iskandar

NIP: 197003101996031001

LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN MASYARAKAT (LP2M) INSTITU AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)SAMARINDA

TAHUN 2021

CLUSTER PENELITIAN DASAR PENGEMBANGAN PROGRAM STUDI

(2)

2

HALAMAN PENGESAHAN

1. Judul Penelitian : Jejak Habaib Dalam Manuskrip Borneo

(Kajian Filologi Naskah Kesultanan Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat)

2. Jenis Penelitian : Kelompok

3. Kluster : Penelitian Dasar Pengembangan

Program Studi 4. Identitas Peneliti

a. Nama Peneliti : Iskandar

b. NIP : 197003101996031001

c. Jenis Kelamin : Laik-laki

d. Pangkat/ Gol : Pembina / IVa

e. Jabatan : Lektor Kepala

f. Jurusan / PTAI : FTIK / IAIN Samarinda g. Bidang Ilmu yang Diteliti : Sejarah keIslaman dan Sosial 5. Lokasi Penelitian : Kalimantan Timur dan Kalimantan

Barat

6. Waktu Penelitian : 15 Mei – 15 Juli 2021

Samarinda, 20 Juli 2021 Mengetahui,

Ketua LP2M Peneliti

Alfitri, M. Ag., LL. M., P.hD Iskandar

197607092001121004 NIP. 197003101996031001

Mengesahkan, a.n Rektor IAIN Samarinda

Wakil Rektor 1

Dr. Muhammad Nasir, M.Ag

(3)

3

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT, Shalawat dan salam senantiasa tercurah untuk Nabi Besar Muhammad SAW, penelitian dengan judul “Jejak Habaib Dalam Manuskrip Borneo (Kajian Filologi Naskah Kesultanan Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat)” ini dapat diselesaikan dengan baik.

Sesuai dengan judulnya, penelitian ini betujuan untuk menginventarisir dan mendiskripsikaan naskah tulis tangan (manuskrip) peninggalan Kesultanan Kutai Kartanegara Kalimantantan Timur dan Kesultanan Pontianak Kalimantan Barat. Hasil inventarisasi manuskrip ini digunakan untuk data analisis konstruksi teori tentang Jejak Habaib dan peranannya dalam sistem pemerintahan kesultanan dan sosial keagamaan.

Penelitian terhadap naskah Panji Salatin ini merupakan kajian filologis sekaligus sosiologis untuk mengangkat sisi kesejarahan Islam di Borneo dan tentunya kesejarahan Islam Nusantara. Teknik dukung menggunakan bukti-bukti arkeologis lainnya, sehingga informasi tertulis dalam manuskrip bisa dilihat pula dalam bukti kesejarahan dalam bentuk situs-situs.

Terimakasih yang tiada terhingga penulis ucapkan kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP2M) IAIN Samarinda yang telah memberikan fasilitas atas pelaksanaan penelitian ini.

Segala kekurangan dan kekhilafan sangat diperlukan demi perbaikan dan kesempurnaan dimasa-masa yang akan datang.

Samarinda, Juli 2021 Peneliti,

Iskandar

(4)

4 DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian D. Telaah Pustaka

E. Metode Penelitian F. Landasan Teori

G. Sistematika Pembahasan

BAB II FOLOLOGI DAN KAJIAN MANUSKRIPT

A. Pengertian dan Signifikansi Filologi B. Signifikansi Filologi dalam Penelitian C. Suntingan dan Refleksi

BAB III MANUSKRIP BORNEO

A. Manuskrip Kesultanan Kalimantan Timur 1. Inventasisasi

2. Edisi Teks

B. Manuskrip Kesultanan Kalimantan Barat 1. Inventarisasi

2. Edisi Teks

BAB IV PERANAN HABAIB DALAM KESULTANAN BORNEO

(5)

5 A. Sejarah Masuknya Habaib B. Jalur Dakwah Hababib

C. Peran Habaib di Mayarakat dan Pemerintahan

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan B. Rekomendasi

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

(6)

6 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Peran habaib (tunggal:habib) dalam sejarah penyebaran Islam di kawasan Borneo (Kalimantan) memiliki kedudukan yang sangat penting.

Mereka datang ke kawasan ini tidak hanya berperan sebagai ulama dalam urusan agama tapi bahkan sebagai kepala pemerintahan/sulthan dalam urusan politik kemasyarakatan.

Di Kalimantan Timur, pada sekitar abad ke 16, seorang habib bernama Hasyim bin Musyayakh bin Abdullah bin Yahya (Habib Tunggangparangan) pernah mengislamkan Aji Raja Mahkota Mulia Alam (1545-1610 M) sebagai raja pertama Kutai Kartanegara yang beragama Islam. Kemudian pada abad ke 18, terkenal seorang habib bernama Sayyid Abdurrahman Assegaf yang berperan sebagai Kepala Bendahara (Pangeran Bendahara) dan pendiri Masjid Jami pertama pada masa kesulthanan Aji Muhammad Sulaeman (1850-1899).

Demikian pula di Kalimantan Barat, pada sekitar abad ke 18 berdiri kesultanan Pontianak yang langsung dipimpin oleh seorang habib bernama Syarif Abdurrahman al-Kadri (1771-1808 M) yang pindah dari Mempawah, dan membangun masjid dengan nama Masjid Sulthan Syarif Abdurrahman.

Jejak habaib dalam menjalankan perannya sebagai pemimpin agama dan kepala pemerintahan/kesultanan sebagaimana tersebut di atas tidak hanya diakui dalam hasil-hasil penelitian historis, tetapi juga tercatat dalam beberapa naskah manuskrip filologis. Dalam naskah warisan Kesultanan Kutai Kartanegara disebutkan, bahwa habaib yang berperan dalam proses islamisasi di wilayah ini adalah berasal dari wilayah Mempawah, Kalimantan Barat.1 Sebaliknya disebutkan, bahwa sebagian habib yang berasal dari

1 Lihat Naskah Salasila Kutai. Naskah ini ditulis di atas kertas erofa (Pro Patria) menggunakan huruf arab Melayu (huruf pegon) dengan dialek (gaya) bahasa Kutai.

(7)

7

Mempawah telah pergi merantau menjalankan dakwahnya hingga ke Kutai Kartanegara dan Paser Kalimantan Timur.2

Jejak habaib dan hubungan keulamaan antara Kesultanan Kutai Kartanegara Kalimantan Timur dan Kesultanan Mempawah dan Pontianak Kalimantan Barat, tampak masih bersifat parsial dan terpisah, sehingga belum ditemukan benang merah yang jelas untuk menggambarkan jaringan keulamaannya.

Rekonstruksi jaringan keulamaan antara habaib di masing-masing wilayah ini perlu dilakukan, karena bukan hanya untuk menemukan gambaran tentang peran pengembangan Islam Borneo, tetapi juga pengembangan Islam Nusantara.

B. Penjelasan Judul

1. Jejak Habaib. Istilah “Habaib” merupakan bentuk jamak dari “Habib”

yang secara tekstual berarti “kekasih”, yaitu gelar kehormatan yang ditujukan kepada para keturunan Nabi Muhammad SAW yang tinggal di daerah Lembah Hadhramaut, Yaman; Asia Tenggara; dan Pesisir Swahili, Afrika Timur. Lebih spesifik lagi, definisi “keturunan” ini mesti dari keturunan Husein, yakni putra Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az- Zahra (putri Nabi Muhammad SAW). Jejak habaib berarti upaya menemukan peninggalan mereka, baik berbentuk fikiran maupun karya hasil perjuangan.

2. Manuskrip Borneo. Manuskrip (Latin: manu-script) adalah karya hasil tulisan tangan dalam bentuk naskah secara utuh atau hanya merupakan bagian-bagian (teks) nya saja. Sedangkan Borneo adalah sebutan lain untuk Kalimantan seperti yang terpakai pada masa kolonial Inggris dan Belanda. Dalam penelitian ini, Borneo dibatasi pada Kalimantan Timur dan Kalimantar Barat, karena adanya jaringan naskah yang sangat dekat.

2 Perjalanan hidup Syarif Abdurrahman Al-Qadri dari Mempawah hingga ke Kalimantan timur diabadikan dalam sebuah manakib, sebuah manuskrip yang ditulis ulang oleh Sayid Alwi bin Sayid Ahmad bin Sayid Ismail Al-Qadri pada Agustus 1935.

(8)

8 C. Rumusan Penelitian

1. Bagaimana jejak habaib dalam manuskrip borneo?

2. Apa saja peran habaib dalam Kesultanan Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat?

D. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengungkap jejak habaib dalam manuskrip borneo

2. Untuk menggali peran habaib dalam Kesultanan Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat

E. Signifikansi Penelitian

1. Untuk memperkuat teori tentang masuk dan berkembangnya Islam oleh ulama-ulama Arab, dalam hal ini para Awaliyyin atau habaib terutama yang berasal dari Tanah Yaman, Hadhramaut.

2. Untuk mengembangkan metodologi kesejarahan dengan pendekatan filologis, yaitu membuktikan suatu peristiwa atau fenomena islamisasi berdasarkan bukti-bukti manuskrip masa lalu (kuno).

3. Untuk memberikan rekomendasi institusional, bahwa manuskrip- manuskrip yang tersimpan di Perpustakaan Nasional/Daerah maupun pribadi harus terus digali teks dan konteksnya, agar memiliki makna kesejarahan yang tinggi bagi perkembangan Islam Nusantara.

F. Kajian Pustaka

Telaah tentang Habaib pernah dilakukan Faizal Amin dalam ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012 dengan judul “Potensi Naskah Kuno Di Kalimantan Barat : Studi Awal Manuskrip Koleksi H.

Abdurrahman Husin Fallugah Al-Maghfurlahu Di Kota Pontianak”. Sesuai judulnya, telaah ini melakukan inventarisasi terhadap sejumlah naskah, terutama yang dimiliki oleh tokoh masyarakat Pontianak. Hasil telaah

(9)

9

hanya melakukan upaya kodikologi sederhana meliputi identitas dan keadaan naskah, dan tidak sampai kepada isi naskah.

Telaah lainnya tentang habaib, terdapat dalam tulisan berjudul

“Melacak Asal-Usul Habib di Indonesia: Habaib dalam Pusaran Kerajaan di Indonesia. Tulisan ini dimuat dalam Gana Islamika: Mozaikperadaban Islam terbit pada 30 December, 2017. Tulisan ini memaparkan mengenai asal usul habaib masuk ke Nusantara dan metode dakwah yang mereka gunakan dalam menyiarkan Islam.

Dua telaah tersebut di atas, cukup memberikan informasi awal yang berguna untuk memahami peran habaib dalam kesultanan di Nusantara.

Namun telaah tersebut murni pendekatan kesejarahan, dan tidak menggunakan pendekatan filologis dan arkeologis dalam penggalian datanya.

G. Metode Penelitian

1. Jenis, Obyek, dan Sifat Penelitian

Penelitian ini berbentuk penelitian filologi, yang menjadi objek adalah manuskrip, yaitu naskah yang memuat jejak habaib dalam Kesultanan, baik di wilayah Kalimantan Timur maupun wilayah Kalimantan Barat. Sifat dari penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik komparatif atau perbandingan naskah. Jenis penelitian tergolong dalam penelitian pustaka (library research).

2. Instrument Pengumpulan Data a. Dokumentasi

Sesuai dengan jenis data yang diteliti (library research), maka instrument utama adalah dokumen, yaitu naskah/manuscript yang berisi jejak habaib dalam lingkup kesultananan yang ada di Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat.

b. Wawancara

(10)

10

Untuk mendukung pencarian data manuskirpt, maka diperlukan wawancara terutama kepada pihak yang dipandang memiliki kewenangan memberikan informasi dan keterangan berkenaan dengan naskah/manuscript yang diteliti.

3. Langkah dan Analisis Penelitian

1. Inventarisasi Naskah

Langkah awal penelitian teks ini adalah dengan melakukan upaya inventarisasi naskah.3 Langkah kerja ini akan terrealisasi pada deskripsi naskah dan aparat kritik. Adapun Inventarisasi naskah dilakukan setelah diketahui sejumlah naskah yang dimaksud dalam suatu katalog naskah. Upaya memperoleh naskah dilakukan dengan perunutan ke perorangan yang diketahui memiliki naskah tersebut.

2. Kajian Teks

Langkah selanjutnya adalah kajian teks. Langkah kajian teks didahului oleh suatu edisi, baik yang sifatnya diplomatic maupun kritis. Untuk edisi diplomatik diperlukan adanya transliterasi mengingat naskah sumber dalam tulisan naskah ini adalah non-latin, yaitu tulisan arab (huruf pegon). Transliterasi merupakan pemindahan dari satu tulisan ketulisan yang lain. Hal-hal dalam transliterasi yang perlu diperhatikan meliputi: pertama mengurai aksara; kedua pembagian “scriptio continua”; ketiga penggunaan huruf besar; dan keempat struktur sintaksis, diantaranya tanda baca dari naskah, dan juga karakteristik pengejaan baik yang beraturan maupun tidak.

Sedangkan edisi kritis digunakan untuk menghasilkan terbitan dengan perbaikan. Edisi kritis menurut Robson, dipakai untuk

3 Langkah-langkah penelitian filologi ini mengacu kepada karya Djamaris Edwar. 1977.

“Filologi dan Cara Kerja Penelitian Filologi”, dalam Bahasa dan Sastra.Buletin Kebudayaan.

Jakarta: Dikti., h. 44.

(11)

11

membantu pembaca dalam mengatasi berbagai kesulitan yang bersifat tekstual yang berkaitan dengan interpretasi pemahaman isi.

3. Kontekstualisasi dan Refleksi Teks

Langkah terakhir adalah melakukan upaya kontekstualisasi naskah, yaitu dengan menghubungkan satu kategori kepada kategori lainnya dalam satu kesatuan. Disamping itu, dilakukan pula kroscek terhadap data-data arkeologis atau situs-situs bersejarah yang dipandang terkait dan memperkuat, serta memperkaya data tertulis.

Sehingga terbentuk satu kerangka konseptual yang utuh. Hal ini dilakukan agar teks atau naskah tidak berhenti hanya sampai pada ranah tertulis dan terbaca, tapi juga sampai pada ranah reflektif untuk pengembangan keilmuan yang lebih dalam.

H. Sistematika Uraian

Penelitian ini terdiri dari V bab uraian, yaitu Bab I berupa Pendahuluan, meliputi: Latar Belakang Masalah, Penjelasan Judul, Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian, Signifikansi Penelitian, Kajian Pustaka, Landasan Teori, dan sistematika penulisan. BAB II Memuat Landasan Teori tentang Filologi dan Kajian Manuskript, meliputi pengertian dan signifikansi filologi, signifikansi filologi dalam penelitian, serta tujuan akhir berupa suntingan dan refleksi

Pada BAB III berisi sajian deskriptif tentang Manuskript Borneo, dalam hal ini akan mengetahkan inventarisasi dan edisi teks, kemudian dibahas pada BAB IV mengenai Peran Habaib sebagaimana tergambar dalam manuskrip dan peninggalan situs bersejarah kesultanan.

Hasil penelitian dituangkan pada BAB V bagian penutup, berisi kesimpulan dan rekomendasi penelitian.

(12)

12

BAB II

FOLOLOGI DAN KAJIAN MANUSKRIPT

1. Pengertian dan Fungsi Filologi

Kata Filologi berasal dari bahasa Yunani philein, "cinta" dan logos,

"kata". Filologi merupakan ilmu yang mempelajari naskah-naskah manuskrip biasanya dari zaman kuno.4

Sebuah teks yang termuat dalam sebuah naskah manuskrip, terutama yang berasal dari masa lampau seringkali sulit untuk dipahami, tidak karena bahasanya yang sulit, tetapi karena naskah manuskrip disalin berulang-ulang kali. Dengan begini naskah-naskah banyak yang memuat kesalahan- kesalahan.

Tugas seorang filolog, nama untuk ahli filologi, ialah menelititi naskah-naskah ini, membuat laporan tentang keadaan naskah-naskah ini dan menyunting teks yang ada di dalamnya.

2. Filologi antara Edisi Teks dan Kritik Teks

Edisi teks atau sering dikenal dengan istilah suntingan teks adalah (upaya) menyusun suatu teks secara utuh setelah dilakukan pemurnian teks ke dalam sesuatu bahasa. Pemurnian teks adalah upaya untuk menentukan salah satu teks yang akan dipakai sebagai dasar transliterasi naskah berdasarkan penelitian teks dengan suatu metode kritik teks. Metode kritik teks meliputi perbandingan naskah untuk mengelompokkan varianvarian yang ada dan merekonstruksi garis penurunan naskah (stema).5 Jadi menyunting teks bukan sekedar memilih salah satu naskah untuk ditransliterasi, tetapi pilihan itu harus didasarkan pada penelitian yang seksama.

4 Siti Baroroh Baried, dkk., 1983. Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta: Fakultas Sastra UNS., h. 14.

5 Siti Baroroh Baried, dkk., 1983, h. 21. Lihat juga Christomy, 1988: “Beberapa Catatan tentang Studi Filologi di FSUI”. Seminar Pernaskahan 3031 Agustus. Jakarta: Fak. Sastra UI., h.

32.

(13)

13

Langkah awal dari suatu penelitian teks adalah menginventarisasi naskah. Langkah kerja ini akan terrealisasi pada deskripsi naskah dan aparat kritik. Adapun Inventarisasi naskah dapat dilakukan setelah diketahui sejumlah naskah yang dimaksud dalam suatu katalog naskah. Upaya memperoleh naskah kecuali dapat dilakukan dengan perunutan ke dalam katalogus naskah dapat juga ke suatu badan atau perorangan yang diketahui memiliki naskah tersebut.

Penyuntingan naskah di dalam bidang filologi didasarkan pada suatu penelitian yang menggunakan metode kritik teks. Pentransliterasian naskah yang tidak melalui suatu edisi kritis terdapat banyak kelemahan. Karena besar sekali kemungkinannya keutuhan atau kemurnian teks itu tidak dapat dibuktikan secara ilmiah, yang berarti kesahihan teks dapat diragukan. Oleh sebab itu setiap kajian teks harus didahului oleh suatu edisi kritis. Masalah ini kelihatannya hanya sederhana, tetapi sering dilupakan oleh ilmuwan lain yang mengambil objek kajian berupa teks, padahal teks yang belum digarap secara filologis masih terdapat kelemahan, misalnya salah tulis, kurang lengkap isinya, dsb. Transliterasi naskah yang tanpa didahului penelitian yang seksama, meskipun naskah yang dipakai sebagai objek penelitian berupa naskah cetakan juga sering ada kelemahan.

3. Pengembangan Penelitian Filologi

Dalam penyelenggaraan pertemuanpertemuan ditingkat internasional, disiplin ilmu filologi sering dikaitkan bidang sastra, atau dengan kata lain pertemuanpertemuan itu tidak begitu mempermasalahkan perbedaan antara kajian filologi dengan kajian sastra, dan kajian bidang filologi sering dimasukkan ke kajian bidang sastra. Karena kajian yang bersifat filologis dengan melalui suatu edisi kritis dapat dikembangkan ke bentuk kajian yang lain dengan menggunakan metode literer. Hal itu dapat dipahami setelah diketahui terlebih dahulu mengenai ruang lingkup pengembangan penelitian filologi.

(14)

14

Jika sumber data itu sudah merupakan hasil edisi kritis, pendekatan literer itu dapat diterapkan. Di sini terbuka kesempatan bagi para filolog untuk menerapkan seperangkat pendekatan sastra yang makin hari makin pesat perkembangannya. Dan di sini pula filolog dapat menerapkan suatu kajian yang relevan dengan arus perkembangan ilmu pengetahuan. Kajian terhadap teks terbuka kemungkinan untuk mempergunakan berbagai pendekatan literer, kebahasaaan, dan pendekatan multidisipliner. Pendekatan literer yang dapat dipakai (disesuaikan dengan keadaan, bentuk, dan isi teks) adalah pendekatan struktural, mimetik, pragmatik, ekspresif, reseptif, fungsional, intertekstual, semiotik, dekonstruktif, penafsiran, dsb.

Dapat pula dilakukan dengan gabungan antara pendekatan literer dan kebahasaan, misal: fungsi poetik bahasa Roman Jakobson, lapislapis makna Roman Ingarden, dan berbagai pendekatan semiotik. Dan pendekatan yang merupakan gabungan antara pendekatan literer dengan pendekatan multidisipner, misal: sejarah sastra, sosiologi sastra, reseptif, feminisme atau bahkan post feminime, dsb. Dan juga khusus tentang pendekatan reseptif (misalnya analisis reseptif terhadap kitab Undangundang dapat dikomparasikan dengan ilmu hukum). Akhirakhir ini banyak penulis yang menyukai pendekatan struktural, fungsional, reseptif, dan intertekstual; tetapi jarang yang menggunakan pendekatan yang lain sebagaimana disebutkan di atas. Hal ini dapat memberi peluang bagi penulispenulis lain untuk mengembangkan penelitiannya dengan variasi pendekatan yang praktis dan mutakhir. Dengan menggunakan pendekatan mutakhir dan relevan dengan masalah kekinian akan menempatkan filologi sesuai dengan arus perkembangan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan. Dimungkinkan pula sebuah teks dikaji dari berbagai aspek secara menyeluruh (holistik), sehingga peranan filologi dapat dirasakan manfaatnya dalam kalangan yang lebih luas terutama di dunia ilmu pengetahuan.

(15)

15 BAB III

HABAIB DALAM MANUSKRIP BORNEO

C. Sejarah Habaib

1. Pengertian Habaib

“Habib” yang yang secara tekstual berarti “kekasih” adalah gelar kehormatan yang ditujukan kepada para keturunan Nabi Muhammad SAW yang tinggal di daerah Lembah Hadhramaut, Yaman; Asia Tenggara; dan Pesisir Swahili, Afrika Timur.6 Lebih spesifik lagi, definisi

“keturunan” ini mesti dari keturunan Husein, yakni putra Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra (putri Nabi Muhammad SAW).

Secara pemaknaan, “habib” berarti orang yang mengasihi dan dikasihi. Jadi kalau ‘mengasihi’ dalam bahasa Arab itu artinya ‘muhib’.

Kalau ‘yang dikasihi’ itu ‘mahbub’. Kalau ‘habib’, bisa berarti subjek bisa berarti objek. Jadi, ‘habib’ tidak boleh bertepuk sebelah tangan, hanya mau dicintai tapi tidak mencintai orang.

Asal muasal keberadaan para Habib dapat dilacak dari pendirinya, yaitu Ahmad bin Isa (wafat tahun 345 H). Pria yang lebih dikenal dengan nama Al-Imam Ahmad bin Isa atau al-Imam al-Muhajir ini adalah generasi ke-8 dari keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra.4

Ahmad bin Isa diketahui melakukan hijrah dari Basra ke Hadhramaut (Yaman) bersama keluarganya pada tahun 317 H untuk menghindari Dinasti Abbasiyah yang sedang berkuasa pada saat itu.

Sebelum ke Yaman, Ahmad bin Isa diketahui pernah melakukan hijrah dari Mekah ke Madinah, dia kemudian tinggal di dekat kuburan buyutnya.

Di Madinah, beredar isu bahwa para keturunan Rasul akan mengambil

6 Ismail Fajrie Alatas, Habaib in Southeast Asia, The Encyclopaedia Of Islam Three (Leiden: Brill, 2018), hlm 56.

(16)

16

alih kekuasaan. Isu tersebut membuat pemerintah yang berkuasa saat itu cemas sehingga banyak keturunan Nabi yang diburu dan bahkan dibunuh.

Karena hal itu lah, akhirnya Ahmad bin Isa dan keluarganya memutuskan untuk berhijrah.5

Sementara, versi lain mengatakan bahwa Ahmad bin Isa adalah seorang yang ‘alim, ‘amil (mengamalkan ilmunya), hidupnya bersih dan wara’ (pantang bergelimang dalam soal keduniaan). Di Irak beliau hidup terhormat dan disegani, mempunyai kedudukan terpandang, dan mempunyai kekayaan cukup banyak. Mereka hijrah ke Hadhramaut bukan karena dimusuhi atau dikejar-kejar oleh penguasa, melainkan karena lebih mementingkan keselamatan akidah keluarga dan pengikutnya. Mereka hijrah dari Basrah ke Hadhramaut mengikuti contoh kakek buyutnya, yaitu Muhammad Rasulullah SAW yang hijrah dari Mekah ke Madinah.6

Ahmad bin Isa semasa hidupya dikenal sebagai orang yang berilmu tinggi dan berbudi tinggi, selain itu, beliau adalah keturunan Nabi Muhammad SAW, sehingga banyak orang yang beranggapan bahwa beliaulah pewaris agama Islam serta Ahlul Bait yang sah.[8] Berdasarkan fakta tersebut, maka dalam perkembangannya, wilayah Hadhramaut menjadi semacam “sekolah” bagi orang-orang yang ingin menimba ilmu agama Islam, walaupun sebenarnya di sana tidak ada institusi formal.

Hubungan antara murid dan guru di sana lebih diikat dalam bentuk ikatan spiritual. Di kemudian hari sekolah Hadhramaut dikenal memiliki aliran tersendiri yang disebut al-tariqa al-Alawiyya (Tarikat Alawiyin).9

Seiring dengan keberadaan Tarikat Alawiyin, maka istilah Habib di Hadhramaut menjadi lebih luas, tidak lagi dibatasi sebatas garis keturunan. Lulusan sekolah Tarikat Alawiyin yang ternama pun dapat dipanggil sebagai Habib. Namun, bagi kalangan Alawiyin di Asia Tenggara, istilah Habib masih dibatasi berdasarkan garis keturunan, oleh karena itu lah muncul varian-varian lain dari gelar yang disematkan

(17)

17

kepada para keturunan Nabi, yaitu Sayyid dan Sharif.[10] Sayyid berarti keturunan Nabi Muhammad SAW dari garis Husein, sementara Sharif adalah keturunan Nabi Muhammad SAW dari garis Hasan.11

2. Marga Habaib

Dalam dunia islam, baik dari sunni mapun syiah, di arab maupun di luar arab, bertarikat ataupun tidak, dikenal dengan adanya golongan- golongan yang mengaku sebagai ahlul bayt, atau sebagai keturunan nabi.

Dengan berbagai silsilah yang dinyatakan sebagai yang paling valid atau benar, mereka banyak yang diagung-agungkan oleh ummat. Dalam sejarah Hejaz, keturunan nabi ini hingga abad ke-20 memegang peranan penting dalam pemerintahan arab bahkan setelah keruntuhan Turki.

Semenjak masa-masa sebelumnya mereka ini mendapat tempat khusus dimata penduduk Hejaz. Mereka dibaiat menjadi penguasa dan imam serta pelindung tanah suci,

Dalam tatanan Hejaz, mereka diberikan sebutan Syarif untuk laki- laki dan Syarifah untuk perempuan. Sedangkan diluar Hejaz, dari beberapa golongan ada yang memberikan title Sayyid dan Sayyidah, atau juga dengan sebutan Habaib, dan lain sebagainya untuk memberikan satu tanda bahwa mereka yang diberikan titlr ini dianggap masih memiliki kaitan darah dengan nabi Muhammad saw.

Rabithah Alawiyah :: dalam artikel onlinenya, menyatakan bahwa menurut Sayyid Muhammad Ahmad al-Syatri dalam bukunya Sirah al- Salaf Min Bani Alawi al-Husainiyyin, para salaf kaum ‘Alawi di Hadramaut dibagi menjadi empat tahap yang masing-masing tahap mempunyai gelar tersendiri. Gelar yang diberikan oleh masyarakat Hadramaut kepada tokoh-tokoh besar Alawiyin ialah :

a. IMAM (dari abad III H sampai abad VII H). Tahap ini ditandai perjuangan keras Ahmad al-Muhajir dan keluarganya untuk menghadapi kaum khariji. Menjelang akhir abad 12 keturunan Ahmad al-Muhajir tinggal beberapa orang saja. Pada tahap ini tokoh-tokohnya

(18)

18

adalah Imam Ahmad al-Muhajir, Imam Ubaidillah, Imam Alwi bin Ubaidillah, Bashri, Jadid, Imam Salim bin Bashri.

b. SYAIKH (dari abad VII H sampai abad XI H). Tahapan ini dimulai dengan munculnya Muhammad al-Faqih al-Muqaddam yang ditandai dengan berkembangnya tasawuf, bidang perekonomian dan mulai berkembangnya jumlah keturunan al-Muhajir. Pada masa ini terdapat beberapa tokoh besar seperti Muhammad al-Faqih al-Muqaddam sendiri. Ia lahir, dibesarkan dan wafat di Tarim.

c. HABIB (dari pertengahan abad XI sampai abad XIV). Tahap ini ditandai dengan mulai membanjirnya hijrah kaum ‘Alawi keluar Hadramaut. Dan di antara mereka ada yang mendirikan kerajaan atau kesultanan yang peninggalannya masih dapat disaksikan hingga kini, di antaranya kerajaan Alaydrus di Surrat (India), kesultanan al-Qadri di kepulauan Komoro dan Pontianak, al-Syahab di Siak dan Bafaqih di Filipina. Tokoh utama ‘Alawi masa ini adalah Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad yang mempunyai daya pikir, daya ingat dan kemampuan menghafalnya yang luar biasa, juga terdapat Habib Abdurahman bin Abdullah Bilfaqih, Habib Muhsin bin Alwi al- Saqqaf, Habib Husain bin syaikh Abu Bakar bin Salim, Habib Hasan bin Soleh al-Bahar, Habib Ahmad bin Zein al-Habsyi.

d. SAYYID (mulai dari awal abad XIV ). Tahap ini ditandai kemunduran kecermelangan kaum ‘Alawi. Di antara para tokoh tahap ini ialah Imam Ali bin Muhammad al-Habsyi, Imam Ahmad bin Hasan al-Attas, Allamah Abu Bakar bin Abdurahman Syahab, Habib Muhammad bin Thahir al-Haddad, Habib Husain bin Hamid al- Muhdhar. Sejarawan Hadramaut Muhammad Bamuthrif mengatakan bahwa Alawiyin atau qabilah Ba’alawi dianggap qabilah yang terbesar jumlahnya di Hadramaut dan yang paling banyak hijrah ke Asia dan Afrika. Qabilah Alawiyin di Hadramaut dianggap orang Yaman karena mereka tidak berkumpul kecuali di Yaman dan sebelumnya tidak terkenal di luar Yaman.

(19)

19

Jauh sebelum itu, yaitu pada abad-abad pertama hijriah julukan Alawi digunakan oleh setiap orang yang bernasab kepada Imam Ali bin Abi Thalib, baik nasab atau keturunan dalam arti yang sesungguhnya maupun dalam arti persahabatan akrab. Kemudian sebutan itu (Alawi) hanya khusus berlaku bagi anak cucu keturunan Imam al-Hasan dan Imam al-Husein. Dalam perjalanan waktu berabad-abad akhirnya sebutan Alawi hanya berlaku bagi anak cucu keturunan Imam Alwi bin Ubaidillah. Alwi adalah anak pertama dari cucu-cucu Imam Ahmad bin Isa yang lahir di Hadramaut. Keturunan Ahmad bin Isa yang menetap di Hadramaut ini dinamakan Alawiyin diambil dari nama cucu beliau Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa yang dimakamkan di kota Sumul.

Kaum Arab, terutama yang beragama islam telah sejak berabad lamanya melakukan perniagaan dengan berbagai negara didunia, yang selanjutnya menciptakan jalur-jalur perdagangan dan komunitas- komunitas Arab baru diberbagai negara. Dalam berbagai sejarah dinyatakan bahwa kaum Arab yang datang ke Indonesia merupakan koloni Arab dari daerah sekitar Yaman dan Persia. Namun, yang dinyatakan berperan paling penting dan ini diperlihatkan dengan jenis madhab yang ada di Indonesia, dimungkinkan adalah dari Hadramaut.

Dan orang-orang Hadramaut ini diperkirakan telah sampai ke Indonesia semenjak abad pertengahan (abad ke-13) sesudah adanya huru-hara di Baghdad.

Secara umum, tujuan awal kedatangan mereka adalah untuk berdagang sekaligus berdakwah, dan kemudian berangsur-angsur mulai menetap dan berkeluarga dengan masyarakat setempat. Dari mereka inilah kemudian muncul banyak tokoh dakwah yang termaktub dalam team Walisongo dan banyak tokoh dakwah islam hingga masa sekarang.

Walaupun masih ada pendapat lain seperti menyebut dari Samarkand (Asia Tengah), Champa atau tempat lainnya, tampaknya itu semua adalah jalur penyebaran para Mubaligh dari Hadramaut yang sebagian besarnya adalah kaum Sayyid (Syarif).

(20)

20

L.W.C Van Den Berg dalam bukunya Le Hadramawt et Les Colonies Arabes dans l’Archipel Indien (1886) mengatakan:”Adapun hasil nyata dalam penyiaran agama Islam (ke Indonesia) adalah dari orang-orang Sayyid Syarif. Dengan perantaraan mereka agama Islam tersiar diantara raja-raja Hindu di Jawa dan lainnya. Selain dari mereka ini, walaupun ada juga suku-suku lain Hadramaut (yang bukan golongan Sayyid Syarif), tetapi mereka ini tidak meninggalkan pengaruh sebesar itu. Hal ini disebabkan mereka (yakni kaum Sayyid Syarif Hadramaut) adalah keturunan dari tokoh pembawa Islam (Nabi Muhammad SAW).”

Dalam buku yang sama hal 192-204, Van Den Berg menulis:”Pada abad XV, di Jawa sudah terdapat penduduk bangsa Arab atau keturunannya, yaitu sesudah masa kerajaan Majapahit yang kuat itu.

Orang-orang Arab bercampul-gaul dengan penduduk, dan sebagian mereka mempuyai jabatan-jabatan tinggi. Mereka terikat dengan pergaulan dan kekeluargaan tingkat atasan. Rupanya pembesar-pembesar Hindu di kepulauan Hindia telah terpengaruh oleh sifat-sifat keahlian Arab, oleh karena sebagian besar mereka berketurunan pendiri Islam (Nabi Muhammad SAW). Orang-orang Arab Hadramaut membawa kepada orang-orang Hindu pikiran baru yang diteruskan oleh peranakan- peranakan Arab mengikuti jejak nenek moyangnya.” Perhatikanlah tulisan Van Den Berg ini yang spesifik menyebut abad XV, yang merupakan abad spesifik kedatangan dan / atau kelahiran sebagian besar Wali Songo di pulau Jawa. Abad XV ini jauh lebih awal dari abad XVIII yang merupakan kedatangan kaum Hadramaut gelombang berikutnya yaitu mereka yang sekarang kita kenal bermarga Assegaf, Al Habsyi, Al Hadad, Alaydrus, Alatas, Al Jufri, Syihab, Syahab dan banyak marga hadramaut lainnya.

Hingga saat ini Umat Islam di Hadramaut bermadzhab Syafi’ie sama seperti mayoritas di Ceylon, pesisir India Barat (Gujarat dan Malabar), Malaysia dan Indonesia. Sedangkan Uzbekistan dan seluruh

(21)

21

Asia Tengah, kemudian Pakistan dan India pedalaman (non-pesisir) mayoritasnya bermadzhab Hanafi.

Bahasa para pedagang Muslim yang datang ke Asia Tenggara (utamanya Malaka dan Nusantara) dinamakan bahasa Malaya (Melayu) karena para pedagang dan Mubaligh yang datang di abad 14-15 sebagian besar datang dari pesisir India Barat yaitu Gujarat dan Malabar, yang mana orang-orang Malabar (sekarang termasuk neg. bagian Kerala) mempunyai bahasa Malayalam, walaupun asal-usul mereka adalah keturunan dari Hadramaut mengingat kesamaan madzhab Syafi’ie yang sangat spesifik dengan pengamalan tasawuf dan penghormatan kepada Ahlul Bait. Satu kitab fiqh mazhab Syafi’ie yang sangat popular di Indonesia Fathul Muin pengarangnya bahkan Zainuddin Al Malabary (berasal dari tanah Malabar), satu kitab fiqh yang sangat unik karena juga memasukkan pendapat kaum Sufi, bukan hanya pendapat kaum Fuqaha.

Satu bukti yang sangat akurat adalah kesamaan Madzhab Syafi’ie dengan corak tasawuf dan pengutamaan Ahlul Bait yang sangat kental seperti kewajiban mengadakan Mawlid, membaca Diba & Barzanji, membaca beragam Sholawat Nabi, membaca doa Nur Nubuwwah (yang juga berisi doa keutamaan tentang cucu Rasul, Hasan dan Husayn) dan banyak amalan lainnya hanya terdapat di Hadramaut, Mesir, Gujarat, Malabar, Ceylon, Sulu & Mindanao, Malaysia dan Indonesia.

Pengecualian mungkin hanya terhadap kaum Kurdistan di segitiga perbatasan Iraq, Turki dan Iran, yang mana mereka juga bermadzhab Syafi’ie dengan corak Tasawuf yang sangat kuat dan mengutamakan ahlul bait (Kitab Mawlid Barzanji dan Manaqib Syekh Abdul Qadir Jilani adalah karya Ulama mereka Syekh Ja’far Barzanji) tapi tinggal di daerah pedalaman dan pegunungan, bukan pesisir seperti lainnya. Analisis sejarah diatas menandakan agama Islam dari madzhab dan corak ini sebagian besarnya disebarkan melalui jalur pelayaran dan perdagangan dan berasal dari satu sumber yaitu Hadramawt, karena Hadramaut adalah

(22)

22

sumber pertama dalam sejarah Islam yang menggabungkan fiqh Syafi’ie dengan pengamalan tasawuf dan pengutamaan ahlul bait.

Di abad 15 Raja-raja Jawa (yang berkerabat dengan Walisongo) seperti Raden Patah dan Pati Unus sama-sama menggunakan gelar Alam Akbar, yang mana di abad 14 di Gujarat sudah dikenal keluarga besar Jamaluddin Akbar cucu keluarga besar Datuk Azhimat Khan (Abdullah Khan) putra Abdul Malik putra Alwi putra Muhammad Shahib Mirbath Ulama besar Hadramawt Abad 13M. Keluarga besar ini sudah sangat terkenal sebagai Mubaligh Musafir yang berdakwah jauh hingga pelosok Asia Tenggara dan mempunyai putra-putra dan cucu-cucu yang banyak menggunakan nama Akbar, seperti Zainal Akbar, Ibrahim Akbar, Ali Akbar, Nuralam Akbar dan banyak lainnya.

Keturunan Arab Hadramaut di Indonesia, seperti negara asalnya Yaman, terdiri 2 kelompok besar yaitu kelompok Alawi (Sayyidi) keturunan Rasul SAW (terutama melalui jalur Husayn bin Ali) dan Qabili yaitu kelompok diluar kaum Sayyid.

Nama-nama marga/keluarga keturunan Arab Hadramaut dan Arab lainnya yang terdapat di Indonesia sangat banyak, diantaranya adalah:

Alatas (Sayyid) – Alaydrus (Sayyid) – Algadrie (Sayyid) – Alhabsyi (Sayyid) –AlHadad (Sayyid) – AlJufri (Sayyid) –Assegaff (Sayyid) – Ba’asyir (Qabil) –Badjubier (Qabil) – Bafadhal –Baswedan (Qabil) – Bawazier (Sayyid) –Jamalullail (Sayyid) Shahab (Sayyid) – Shihab (Sayyid) – Sungkar (Qabil) – dan lain-lain.7

3. Awal Mula Habaib di Nusantara

Asal muasal kehadiran para Habib di Indonesia sebenarnya telah ada sejak dulu sebelum masa kemerdekaan Indonesia. Mereka datang dari Hadhramaut (Yaman Selatan).

7Beberapa nama warga lainnya bisa dilihat pada laman https://pondokhabib.wordpress.com/2010/01/23/marga-marga-arab-di-indonesia/ Dikses pada tanggal 18/8/2019.

(23)

23

Dalam laman Rabithah Alawiyah, https://rabithahalawiyah.id/, disebutkan bahwa dzurriyah (keturunan) Habib itu dimulai dari Imam Ahmad Bin Muhazir yang melakukan perjalanan dari Basra ke Hadhramaut (Yaman Selatan). Setelah berkembang banyak, mereka melakukan perjalanan ke Asia Timur dan masuklah ke Indonesia.

Mereka datang melalui Aceh, dan wilayah barat lainnya. Kemudian masuklah Wali Songo ke daerah Demak dan selanjutnya menyebar ke arah Jawa Timur. Setelah itu, masuklah gelombang kedua di abad 19 dan 20. Mereka langsung dari Yaman, merekalah yang disebut Sayyid.

Habaib yang masuk ke wilayah Borneo atau wilayah Kalimantan, diperkirakan terjadi sebelum gelombang kedua, yaitu pada akhir abad 18 ketika raja-raja diwilayah Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur memulai memeluk agama Islam.

D. Manuskrip Borneo Kesultanan Kalimantan Timur 3. Manuskrip Kalimantan timur

Manuskrip yang sangat terkenal di wilayah Kesultanan Kutai yang ada di Kalimantan Timur adalah Naskah Salasila Kutai dan Undang-undang Panji Selatin dan Braja Nanti.

a. Salasila Kutai

Naskah “Salasilah Raja dalam Negeri Kutai Kertanegara”

ditulismenggunakan aksara Jawi alias Arab-Melayu. Naskah ini digarap oleh juru tulis istana bernama Khatib Muhammad Tahir.

Orang Banjar ini menyelesaikan tulisannya pada 24 Februari 1849 atau 30 Rabiul Awal 1265 H.

Naskah yang populer disebut “Salasilah Kutai” ini di satu sisi merupakan pujasastra. Namun, ia juga mengandung kronologi peristiwa awal berdirinya Kerajaan Kutai Kertanegara di Jaitan Layar (Kutai Lama) sampai masa pemerintahan Sultan Aji Muhammad Salehuddin di Tenggarong pertengahan abad ke-19.

Sayangnya, naskah yang asli tersebut tak lagi ada di wilayah RI,

(24)

24

melainkan di Berlin-Jerman. Adapun naskah yang dimiliki Kesultanan Kutai pada abad ke-20 adalah salinan versi Aji Demang Kedaton.

Kemudian, pada 1979 mantan Bupati Kutai Ahmad Dahlan menggubah naskah Salasilah Kutai, tidak sekadar ejaannya, tetapi juga gaya bahasanya dari Melayu kuno ke gramatikal bahasa Indonesia. Efek positif dari gubahan pria yang bernama samaran D.

Adham ini adalah kenyamanan bagi pembaca untuk memahami isinya. Namun, buku Salasilah Kutai versi Ahmad Dahlan ini memiliki kelemahan karena ia juga menyisipkan unsur data yang fiktif, dramatisasi, dan cerita-cerita lain dari berbagai sumber.

Naskah Salasilah Kutai yang memuat kronologi tentang raja – raja Kutai Martadipura, sehingga pada abad 13 informasi mengenai raja-raja Kutai baru terungkap. Selanjutnya pada abad ke-14 di Muara Sungai Mahakam, tepatnya di jahitan layar, berdirilah sebuah kerajaan yang bernama Kutai Kertanagara. Raja pertama Kerajaan Kutai Kertanagara adalah Adji Betara Agung Dewa Sakti, dan mempunyai permaisuri yang bernama Puteri Karang Melenu.

Pada masa ini, islam telah muncul sebagai kekuatan politik di Kalimantan Timur, dan islam masuk ke Kutai Kertanegara yakni pada masa raja Adji Mahkota pada tahun 1525 M, dan bergelar Adji Mahkota Mulia Islam. Masuk dan berkembangnya Islam di Kutai tidak terlepas dari jasa dua ulama / mubaligh kenamaan yang bernama Syekh Abdul Qodir Khatib Tunggal yang bergelar Datuk Ri Bandang dan Datuk Ri Tiro yang bergelar Tuanku Tunggang Parangan. Dalam beberapa buku sejarah dikatakan bahwa Datuk Ri Bandang adalah seorang ulama terkenal dari yang berasal Minang Kabau yang diutus oleh Sultan Aceh untuk menyebarkan agama Islam ke Nusantara Timur pada awal Abad ke 17.

(25)

25

Gambar1: Naskah Asli Salasila Kutai, memuat kronologi raja-raja Kutai dan proses Islamisasi Raja Mahkota oleh Habib Tunggang Parangan.

b. Undang-undang Panji Selatin dan Braja Nanti

Undang-undang Panji Selaten terdiri dari 39 pasal dan Undang-undang Beraja Niti terdiri dari 164 pasal. Kedua perundangan ini diterbitkan semasa pemerintahan Pangeran Aji Sinum Panji Mandapa (1635-1650), dengan menggunakan aksara Arab berbahasa Melayu. Naskah asli undang-undang ini tersimpan di Museum Nasional dan yang ada di Museum Mulawarman Tenggarong Kutai Kartanegara merupakan hasil alih aksara ke dalam huruf latin. Masing-masing diberi judul “Panji Selaten: Undang- undang Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura” dan “Undang- undang Maharaja Nanti atau Beraja Niti”. Hingga saat ini, kedua naskah dan salinan alih aksarana ini masih terawat dengan baik.

Sebagaimana telah disebutkan, bahwa Undang-undang Dasar Panji Salaten terdiri dari 39 pasal dan lampirannya yang dikenal dengan nama Undang-undang Beraja Niti memuat 164 pasal peraturan. Salah satu yang diatur di dalam Undang-undang Dasar Panji Salaten adalah mengenai persoalan kedudukan Raja/Sultan.

Disebutkan bahwa Raja/Sultan menempati urutan paling tinggi dan merupakan orang yang paling berkuasa dalam struktur pemerintahan

(26)

26

Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martapura. Raja/Sultan didudukkan sebagai orang nomor satu berdasarkan pemahaman bahwa seorang Raja/Sultan dipercaya mampu menjamin kesejahteraan dan keselamatan rakyat. Mengenai hal ini, Pasal 14 Undang-undang Dasar Panji Salaten menyebutkan bahwa: “Raja orang yang mulia, turun-temurun memang asalnya raja.

Raja basanya (perkataannya) membawa tuah, yang menjadi nyawa dalam negeri. Raja umpamanya pohon waringin. Tempat berteduh di waktu hujan, wadah bernaung di kala panas. Batangnya tempat bersandar. Menjadi alamat di dalam negeri.”

Selain itu, dalam pasal-pasal lainnya disebutkan rumusan sebagai berikut: Segala sesuatu yang telah menjadi keputusan raja tidak dapat diganggu gugat (Pasal 26), kecuali orang-orang besar dan arif bijaksana (penasehat dan alim ulama) bermusyawarah dengan Raja/Sultan untuk mengubah keputusan (Pasal 15). Dalam melaksanakan tugas, Raja/Sultan hanya memberikan perintah kepada seorang Mangkubumi yang akan meneruskan perintah Raja/Sultan kepada para Menteri dan Senopati kesultanan.

Jabatan Mangkubumi biasanya diampu oleh kerabat dekat Raja/Sultan. Selain selaku penasehat Raja/Sultan, Mangkubumi juga bertindak sebagai menjadi wakil kesultanan dalam suatu acara apabila Raja/Sultan berhalangan hadir. Selain itu, Mangkubumi juga diberi mandat memangku jabatan Raja/Sultan untuk sementara apabila putra mahkota (calon Raja/Sultan) dinilai belum cukup umur (kurang dari 21 tahun) untuk dinobatkan sebagai Raja/Sultan.

Undang-undang Dasar Panji Salaten juga mengatur susunan kabinet pemerintahan kesultanan. Kedudukan di bawah Raja/Sultan yang setara dengan Mangkubumi adalah Majelis Orang-orang Besar dan Arif Bijaksana. Majelis ini berisi para bangsawan dan rakyat biasa yang dianggap mengerti tentang adat-istiadat Kutai. Majelis Orang-orang Besar dan Arif Bijaksana mengemban tugas sebagai

(27)

27

pembuat rancangan peraturan sebelum diajukan kepada Raja/Sultan.

Jika Raja/Sultan menyetujui hasil mufakat majelis, maka rancangan peraturan itu bisa diberlakukan di Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura. Peraturan seperti ini ini dikenal dengan nama “adat yang diadatkan” dan diatur dalam Pasal 9 Undang-undang Dasar Panji Salaten.

Sedangkan untuk kedudukan, fungsi, dan wewenang para Menteri Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura diatur Pasal 17, 18, 37, dan 38 Undang-undang Panji Salaten. Disebutkan bahwa jabatan Menteri berkedudukan di bawah Raja/Sultan dan berperan sebagai mediator antara Raja/Sultan dan mangkubumi dengan rakyat, punggawa, dan petinggi (kepala kampung). Menteri diangkat dari keluarga dekat raja atau setidak-tidaknya orang yang berasal dari keturunan bangsawan.

Sebagaimana yang tertuang dalam Undang-undang Dasar Panji Salaten, tugas para Menteri antara lain melaksanakan perintah Raja/Sultan dan Mangkubumi, memberikan masukan kepada Raja/Sultan saat menjalankan tugas hukum dan adat, bersama Senopati dan para punggawa lainnya berkewajiban menjaga agar adat dan hukum tetap berjalan sebagai pegangan dalam pemerintahan kesultanan, melaksanakan hukum gantung bagi Senopati (hulubalang) yang berkhianat kepada kesultanan, bersama Raja/Sultan dan Majelis Orang-orang Besar dan Arif Bijaksana wajib mengupayakan kesejahteraan seluruh rakyat seluruhnya demi kebesaran dan kejayaan kesultanan. Selain itu, Menteri diperbolehkan untuk mengingatkan atau mengoreksi keputusan Raja/Sultan yang dinilai tidak berpihak kepada kepentingan rakyat.

Pasal 21 Undang-undang Dasar Panji Salaten mengatur tentang tugas, fungsi, dan wewenang Senopati atau hulubalang kesultanan. Kedudukan Senopatai adalah di bawah tanggungjawab Menteri. Tugas utama Senopati adalah menjaga keselamatan

(28)

28

Raja/Sultan, menjadi orang yang bertanggungjawab pelaksanaan peraturan adat, menjaga keamanan kesultanan, dan wajib mentaati perintah Raja/Sultan, Mangkubumi, serta semua peraturan yang telah diadatkan.

Lebih rinci, diatur juga tentang tugas, fungsi, dan wewenang jabatan punggawa yang kedudukannya sejajar dengan Senopati (sama-sama berkedudukan di bawah Menteri). Punggawa adalah seorang pemimpin yang membawahi beberapa kampung. Tugas utama punggawa adalah menjaga keberlangsungan pelaksanaan peraturan dan adat. Fungsi ini hampir sama dengan tugas yang dijalankan oleh Menteri. Tetapi, karena kedudukan punggawa berada di bawah Menteri dan merupakan orang yang berhubungan langsung dengan rakyat, maka punggawa menerima perintah langsung dari Menteri.

Strata paling bawah dalam struktur pemerintahan di Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura adalah jabatan petinggi atau kepala kampung. Kedudukan kepala kampung berada di bawah punggawa. Jabatan ini biasanya diberikan kepada orang biasa (bukan bangsawan) yang dianggap berjasa terhadap Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura. Fungsi petinggi sebagai kepala kampung adalah melanjutkan perintah dari punggawa kepada rakyat.

Selain itu, petinggi juga berfungsi sebagai penyambung aspirasi rakyat untuk disampaikan kepada punggawa, yang kemudian disampaikan kepada Menteri dan Raja/Sultan.

Sedangkan Undang-undang Beraja Niti memiliki sekitar 163 pasal yang mengatur tentang kenegaraan, mu’amalah, jinayah, kewarisan, peradilan, erbudakan, kelautan, zakat, ketentuan hewan piaraan, etika, pernikahan, dukun dan peramal, sumpah, pelacuran, pemeliharaan anak. Sebagai contoh, dalam persoalan kenegaraan yang mencakup 27 pasal—(pasal 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 22, 34, 48, 49, 53, 54, 57, 63, 64, 108, 119, 111, 112, 113, 114, 118, 122, 126, 129,

(29)

29

130), membicarakan tentang prinsip-prinsip dalam menjalankan pemerintahan, seperti Raja harus memiliki sifat keadilan, musyawarah, mufakat, arif, bijaksana, peduli, pemaaf, tegas, selektif, penyayang, pengayom, santun, dermawan, pemberani, toleransi dan jujur.

Dalam persoalan pidana ada sekitar 47 pasal, yaitu pasal- pasal tentang pidana pembunuhan, pencurian, perampokan, penganiayaan, penculikan, pencabulan, mengganggu rumah tangga raja, membawa senjata tajam, perjudian, penadahan, hukuman berupa denda, menyogok, perzinahan, penghasut, pemaafan pidana, penjaminan tersangka, penyuruh pidana.

Disamping itu, terdapat sekitar 38 pasal yang terkait erat dengan persoalan hukum mu’amalah, seperti jual beli, hutang piutang, pinjam meminjam, kewarisan dan lain-lain. Dalam hal utang piutang, undang-undang Beraja Niti mengatur dalam beberapa pasal,seperti sanksi bagi orang yang melanggar tata aturan dalam penyelesaian utang piutang tersebut.

Gambar2: Naskah salinan Undang-Undang Panjki Selaten, memuat undang-undangan kesultanan yang sebagian besar merupakan ajaran dari Habaib yang ada di kesultanan Kutai.

Manuskrip peninggalan kesultanan Kutai Kartanegara yang ada di wilayah Kalimantan Timur tersebut di atas memberikan gambaran mengenai sejarah asal mula masuknya Islam dan perkembangan tata

(30)

30

administrasi dan hukum/perundang-undangan yang berlaku di kesultanan dan masyarakat.

4. Manuskrip Kalimantan Barat

Sedangkan manuskrip yang terkenal di wilayah Kesultanan Pontianak yang di wilayah Kalimantan Barat setidaknya ada empat buah yang akan memberikan gambaran mengenai Islamisasi di wilayah Pontianak. Menurut hasil penelitian yang pernah dilakukan Faizal Amin,8 naskah penting Pontianak yang paling penting adalah:

Pertama, Naskah dari Timur. Naskah ini disebutkan dalam buku terkenal Tuhfat al-Nafis, karya Raja Ali Haji. Naskah ini menggambarkan keadaan kepulauan Melayu pada abad ke-18 dan ke-19. Kitab ini mengulas mengenai hubungan antara Pontianak, Sambas, Matan, dengan kerajaan di Sumatera. Naskah ini menggambarkan keperwiraan orang Bugis diRiau dan di Kalimantan Barat, khususnya Opu Daeng Manambon, Opu Daeng Kamase, Opu Daeng Celak, Daeng Rilaga, dan lain-lain. Meskipun tidak disebutkan judul naskah tulisan ini, dan tidak disebutkan siapa penulisnya, naskah ini sudah menggambarkan adanya

‘bahan tertulis dari Kalimantan Barat’ yang ditemukan Raja Ali Haji.

Raja Ali Haji menetap di Riau, tepatnya di Pulau Penyengat.

Naskah kedua, Syair Perang Cina di Monterado. Syair ini dialeterasi dari Arab Melayu kepada tulisan Latin, oleh Arenawati, sastrawan Malaysia asal Bugis. Syair ini ditemukannya ketika beliau pergi ke Leiden, Belanda. Syair ini menggambarkan situasi peperangan yang melibatkan orang Cina di beberapa wilayah kongsi tempat pertambangan emas di Monterado, melawan orang Melayu dan kemudian melibatkan Belanda.

Naskah ketiga, Syair Pangeran Syarif. Syair ini juga dialeterasi dari Arab Melayu kepada tulisan Latin, oleh Arenawati. Syair ini juga

8 Faizal Amin, “Potensi Naskah Kuno Di Kalimantan Barat : Studi Awal Manuskrip Koleksi H. Abdurrahman Husin Fallugah Al-Maghfurlahu Di Kota Pontianak”. Jurnal Thaqãfiyyãt, Vol. 13, No. 1, Juni 2012

(31)

31

ditemukannya di Leiden, Belanda, dituliskan oleh Sultan Matan. Syair ini menggambarkan situasi di kota Pontianak pada abad ke-21, seperti yang dilihat oleh Sultan saat harus ke Pontianak mengurus adiknya yang ditahan oleh Belanda. Pontianak abad ke-21 digambarkan dengan detail–

terutama mengenai relasi etnik, kegiatan ekonomi dan perdagangan, serta dinamika sosial.

Naskah keempat, Bahar Al-Lahut. Kitab ini ditulis oleh al-Arif, berhubungan dengan aliran Syiah di Nusantara. Al-Arif diduga adalah nama samaran, atau nama pena penulis, bukan nama sebenarnya. Kitab ini ditemukan di Kalimantan Barat, merupakan kitab tertua dalam bidang ini. Meskipun bukan ditulis oleh orang Kalimatan Barat, namun, keterangan yang menyebutkan bahwa naskah ini ditemukan di Kalimatan Barat, menunjukkan relevansinya dengan tema “perjalanan” naskah dari Kalimatan Barat ke tempat lain. Jika naskah ini tidak terlanjur diselamatkan sudah pasti Kalimatan Barat tidak akan dikaitkan dengan penyebaran aliran ini.

Menyadari hal tersebut, dapat diasumsikan bahwa naskah yang ditulis orang Kalimatan Barat masa lalu, hampir bisa dipastikan bukan dua atau tiga naskah saja, pasti lebih banyak daripada itu. Karena itulah, penelusuran dan pendataan naskah di Pontianak merupakan salah satu langkah kecil dalam upaya melakukan pengkajian awal potensi pernaskahan di Kalimantan Barat.

(32)

32 BAB IV

PERANAN HABAIB DALAM KESULTANAN BORNEO

A. Sejarah Masuknya Habaib

Kaum Arab, terutama yang beragama islam telah sejak berabad lamanya melakukan perniagaan dengan berbagai negara didunia, yang selanjutnya menciptakan jalur-jalur perdagangan dan komunitas-komunitas Arab baru diberbagai negara. Dalam berbagai sejarah dinyatakan bahwa kaum Arab yang datang ke Indonesia merupakan koloni Arab dari daerah sekitar Yaman dan Persia. Namun, yang dinyatakan berperan paling penting dan ini diperlihatkan dengan jenis madhab yang ada di Indonesia, dimungkinkan adalah dari Hadramaut. Dan orang-orang Hadramaut ini diperkirakan telah sampai ke Indonesia semenjak abad pertengahan (abad ke- 13) sesudah adanya huru-hara di Baghdad.

Secara umum, tujuan awal kedatangan mereka adalah untuk berdagang sekaligus berdakwah, dan kemudian berangsur-angsur mulai menetap dan berkeluarga dengan masyarakat setempat. Dari mereka inilah kemudian muncul banyak tokoh dakwah yang termaktub dalam team Walisongo dan banyak tokoh dakwah islam hingga masa sekarang. Walaupun masih ada pendapat lain seperti menyebut dari Samarkand (Asia Tengah), Champa atau tempat lainnya, tampaknya itu semua adalah jalur penyebaran para Mubaligh dari Hadramaut yang sebagian besarnya adalah kaum Sayyid (Syarif). Beberapa buktinya (no 1 dan 2) adalah sebagian dari yang telah dikumpulkan oleh penulis Muhammad Al Baqir dalam Thariqah Menuju Kebahagiaan:

L.W.C Van Den Berg dalam bukunya Le Hadramawt et Les Colonies Arabes dans l’Archipel Indien (1886) mengatakan:”Adapun hasil nyata dalam penyiaran agama Islam (ke Indonesia) adalah dari orang-orang Sayyid Syarif.

Dengan perantaraan mereka agama Islam tersiar diantara raja-raja Hindu di Jawa dan lainnya. Selain dari mereka ini, walaupun ada juga suku-suku lain Hadramaut (yang bukan golongan Sayyid Syarif), tetapi mereka ini tidak

(33)

33

meninggalkan pengaruh sebesar itu. Hal ini disebabkan mereka (yakni kaum Sayyid Syarif Hadramaut) adalah keturunan dari tokoh pembawa Islam (Nabi Muhammad SAW).”

Berdasarkan catatan sejarah bernama Haji Ali bin Khairuddin di dalam bukunya “Keterangan-keterangan Kedatengan Bongso Arab Ing Tanah Jawi Saking Hadramaut,” (halaman 113), mengatakan antara lain, bahwa kedatangan orang-orang Arab di Kepulauan ini (Indonesia) terjadi pada akhir abad ke- 7 H. Mereka datang dari India, terdiri dari 9 orang yang oleh penduduk Jawa disebut “Wali Songo”, yakini Sembilan orang waliyullah.

Mereka adalah bersaudara, antara lain: 1. Sayyid Jamaluddin,2. Sayyid Qamaruddin, 3. Sayyid Tsanauddin, 4. Sayyid Majduddin, 5. Sayyid Muhyuddin, 6. Sayyid Zainul ‘Alam, 7. Sayyid Nurul ‘Alam, 8. Sayyid

‘Alawi, 9. Sayyid Fadhl Sunan Lembayung.

Mereka semua putera dari Sayyid Ahmad Syah Jalal bin Abdullah Khan bin Abdul Malik bin Sayyid Alwi bin Muhammad Shahib Marbath bin Ali Khalli Qassam bin Alawi bin Muhammad bin Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa al-Bashry bin Muhammad an-Naqib bin Ali al- Uraidh bin Ja’far Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Imam al-Husain bin Abi Thalib. Mereka adalah dzurriyatun Nabi dari putri Rasululullah; Fathimah az-Zahra.

Masuknya para habib ke wilayah Borneo di kerajaan Kutai Kalimantan Timur bermula dari Mempawah Kalimantan Barat dan dari Sulawesi. Sementara yang ke wilayah Pontianak Kalimantan Barat berasal dari Hadhramatut Yaman.

B. Jalur Dakwah Hababib 1. Jalur Perdagangan

Pada tahun 1880, Said Abdurachman bin Assegaf dengan gelar Pangeran Bendahara, seorang pedagang muslim dari Pontianak, datang ke Kesultanan Kutai. Ia memilih kawasan Samarinda

(34)

34

Seberang sebagai tempat tinggalnya dan ditanggapi oleh Sultan Kutai saat itu, Aji Muhammad Sulaiman setelah melihat ketekunan dan ketaatan Said Abdurachman dalam menjalankan syariat Islam.

2. Jalur Perkawinan

Salah satu mufti Kesultanan Kutai yang dikenal oleh masyarakat Kutai adalah Habib Muhammad bin Yahya Tenggarong. Tokoh berdarah Arab keturunan dari Hadramaut, Yaman, ini menjabat mufti atas permintaan Sultan Aji Sultan Alimuddin (1899-1910) raja Kutai Kertanegara ke-17 meski Habib Yahya bukan warga asli Kutai, ia berasal dari Penang, Malaysia.

Perkenalan tokoh yang lahir pada 1844 Masehi ini dengan Sultan Aji berawal dari pengembaraannya di sejumlah wilayah nusantara, terutama di wilayah timur. Pada 1877, ia singgah di Tenggarong (kini masuk wilayah Kalimantan Timur) dan akhirnya menetap serta berdakwah di daerah tersebut. Kiprahnya yang semakin dikenal luas oleh masyarakat setempat membuat ia dikenal dengan panggilan Tenggarong di ujung namanya.

Kabar tentang kehadiran seorang ulama muda yang berilmu, bersahaja, dan berwibawa terdengar oleh Sultan Aji. Sang sultan meminta Habib Yahya yang saat itu berumur 33 tahun untuk mengobati Aisyah, putri sang sultan. Atas izin Allah SWT sang putri kemudian sembuh.

Sebagai wujud rasa syukur dan terima kasih kepada Habib Tenggarong, begitu akrab disapa, Sultan Aji menikahkan putrinya tersebut dengan tokoh ulama tersohor itu. Buah dari pernikahan tersebut, kedua pasangan ini mendapat 10 anak yang terdiri dari enam laki-laki dan empat perempuan.

Sultan Aji memberi jabatan kepercayaan kepada wulaity, sebutan untuk keturunan Hadhramaut Yaman Selatan tersebut, berupa kedudukan sebagai penghulu dan mufti kesultanan. Selama menjabat sebagai mufti, ia bergelar Raden Syarif Pangeran Noto Igomo.

(35)

35

C. Peran Habaib di Mayarakat dan Pemerintahan

1. Menjadi Da’i dan Mufti

Perjalanan bangsa Indonesia tak akan pernah terlepas dari kontribusi para ulama. Mereka memainkan peran penting di berbagai lini kehidupan bangsa dan negara, mulai dari pendidik, pendakwah, pemberdaya ekonomi, hingga pemberi nasihat dan petuah kepada penguasa.

Sejarah Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura mencatat, betapa para ulama itu berjasa besar dalam membangun peradaban.

Terutama setelah kerajaan yang semula menganut Hindu ini beralih menjadi kesultanan besar yang berlandaskan Islam. Kutai memberikan kedudukan terhormat bagi ulama ini setidaknya terlihat dari posisi mereka sebagai penasihat sultan.

Salah satu mufti Kesultanan Kutai yang dikenal oleh masyarakat Kutai adalah Habib Muhammad bin Yahya Tenggarong. Tokoh berdarah Arab keturunan dari Hadramaut, Yaman, ini menjabat mufti atas permintaan Sultan Aji Sultan Alimuddin (1899-1910) raja Kutai Kertanegara ke-17 meski Habib Yahya bukan warga asli Kutai, ia berasal dari Penang, Malaysia.

Perkenalan tokoh yang lahir pada 1844 Masehi ini dengan Sultan Aji berawal dari pengembaraannya di sejumlah wilayah nusantara, terutama di wilayah timur. Pada 1877, ia singgah di Tenggarong (kini masuk wilayah Kalimantan Timur) dan akhirnya menetap serta berdakwah di daerah tersebut. Kiprahnya yang semakin dikenal luas oleh masyarakat setempat membuat ia dikenal dengan panggilan Tenggarong di ujung namanya.

Kabar tentang kehadiran seorang ulama muda yang berilmu, bersahaja, dan berwibawa terdengar oleh Sultan Aji. Sang sultan meminta Habib Yahya yang saat itu berumur 33 tahun untuk mengobati Aisyah, putri sang sultan. Atas izin Allah SWT sang putri kemudian sembuh.

(36)

36

Sebagai wujud rasa syukur dan terima kasih kepada Habib Tenggarong, begitu akrab disapa, Sultan Aji menikahkan putrinya tersebut dengan tokoh ulama tersohor itu. Buah dari pernikahan tersebut, kedua pasangan ini mendapat 10 anak yang terdiri dari enam laki-laki dan empat perempuan.

Sultan Aji memberi jabatan kepercayaan kepada wulaity, sebutan untuk keturunan Hadhramaut Yaman Selatan tersebut, berupa kedudukan sebagai penghulu dan mufti kesultanan. Selama menjabat sebagai mufti, ia bergelar Raden Syarif Pangeran Noto Igomo.

Jabatan yang diemban Habib Tenggarong, bukanlah posisi yang sembarangan. Ia memiliki wewenang penuh untuk mengurus segala persoalan kesultanan yang berkaitan dengan keagamaan. Tidak hanya di lingkunan istana, tetapi juga bertugas sebagai guru bagi masyarakat Kesultanan Kutai.

Tak heran bila di luar kesibukannya sebagai mufti resmi kesultanan, ia tetap meluangkan waktu untuk mendidik masyarakat. Ia aktif mengajarkan ilmu agama kepada masyarakat Kutai, dari ilmu syariat sampai ilmu tasawuf. Semasa hidupnya beliau curahkan segenap kemampuannya untuk kemaslahatan umat dan masyarakat di Kerajaan Kutai dan sekitarnya.

Bersama para ulama, Habib Tenggarong mendorong akselerasi dakwah Islam di Kalimantan. Salah satu rekan berdakwah yang menyokong "jihad"-nya tersebut adalah Habib Alwi bin Abdullah al- Habsy yang tinggal di Barabai Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan.

Keduanya adalah sahabat dekat selama berada di Hadramaut dan dipertemukan kembali oleh Allah di tanah Kalimantan.

Hubungan sesama sahabat dan ulama ini terjalin sangat baik dan keduanya dikenal bahu membahu menyebarkan agama Islam di Kalimantan. Ini misalnya terlihat dari kerja sama antarkeduanya dalam membangun perekonomian masyarakat. Pada saat Habib Alwi membangun

(37)

37

Pasar Batu di Hulu Sungai, Habib Tenggarong mengirimkan bantuan berupa semen dan batu.

2. Menjadi Kepala Pemerintahan

Diantara peran habib selain menjadi mufti adalah juga menjadi bagian penting dalam mengurusi roda pemerintahan. Pada tahun 1880, Said Abdurachman bin Assegaf dengan gelar Pangeran Bendahara, seorang pedagang muslim dari Pontianak, datang ke Kesultanan Kutai. Ia memilih kawasan Samarinda Seberang sebagai tempat tinggalnya dan ditanggapi oleh Sultan Kutai saat itu, Aji Muhammad Sulaiman setelah melihat ketekunan dan ketaatan Said Abdurachman dalam menjalankan syariat Islam.

Pada masa itu, Samarinda Seberang cukup dikenal sebagai daerah arena judi, baik sabung ayam pada siang hari atau pun judi dadu pada malam hari. Selain itu, peredaran minuman keras juga marak di kawasan Samarinda Seberang sehingga menimbulkan keresahan warga sekitar, karena bisa merusak citra Samarinda Seberang sebagai syiar Islam. Warga kampung hampir tak ada yang berani ke kawasan ini karena takut. Namun, Pangeran Bendahara mendatangi mereka untuk mengajak menjalankan syariat Islam.

Pangeran Bendahara dan tokoh masyarakat setempat berunding untuk mencari jalan keluar agar Samarinda Seberang bersih dari aktivitas itu. Dalam perundingan disepakati, lahan seluas 2.028 meter persegi di sana akan didirikan masjid sebagai pusat dakwah dan pembinaan masyarakat.

3. Bukti Situs Kesejarahan a. Masjid Sulthan

(38)

38

Salah satu situs penting sebagai bukti peran dakwah para habaib adalah berupa masjid. Diantara masjid yang terkenal adalah:

1.1. Masjid Jami’ Amir Hasanudin

Masjid Jami Aji Amir Hasanuddin yang dahulunya dinamakan masjid Sultan didirikan tahun 1874 dan telah direnovasi pada tahun 1929 merupakan masjid yang terletak di lokasi strategis antara museum, dan keraton Kutai kartanegara. Masjid ini digagas pada masa Kesultanan Adji Mohammad Sulaiman dengan morfologi khas Kutai. 9 Bahannya terbuat dari kayu ulin, dan menara masjid yang terletak di bagian depan tampil sederhana tetapi khas. Menara tersebut dinamakan sesuai mubaligh dari abad ke-19 yang berjasa bagi pengembangan dakwah di Kutai Kertanegara, Tuan Guru Sayyid Sagaf Baraqbah. Pada 1980- an, menara tersebut ditinggikan menjadi sekira 30 meter.

1.2. Masjid Shirathal Mustaqim

Pada masa pemerintahan Sultan Kutai Adji Mohammad Sulaiman, tepatnya pada tahun 1881, empat tiang utama (soko guru) Masjid Shirathal Mustaqim mulai dibangun.

Penggagas utama dibangunnya masjid ini adalah seorang habi bernama Said Abdurachman, dan dalam pembangunannya dibantu oleh warga setempat.10 Selama

9 Morfologi Masjid Jami Amir Hasanuddin ini pernah diteliti Abu Muslim, “Morfologi Masjid Kuno Aji Amir Hasanuddin Tenggarong Kutai Kartanegara” dalam Jurnal Penelitian Agama dan Sosial Budaya. Balai Litbang Agama, Makassar, Volume 21 Nomor 1 Juni, 2015.

10 Ada folklor (cerita turun temurun di kalangan masyarakat), bahwa berdirinya empat tiang itu karena bantuan seorang nenek misterius yang hingga kini belum diketahui keberadaannya. Kala itu, banyak warga yang tak mampu mengangkat dan menanamkan tiang utama. Berkali-kali dilakukan, tetap saja gagal. Beberapa menit kemudian, datanglah seorang perempuan berusia lanjut. Dengan tenang dia mendekati warga yang sedang gotong royong. Nenek tadi meminta izin kepada warga untuk mengangkat dan memasang tiang. Warga yang mendengar ucapan sang nenek, langsung tertawa. Namun Said Abdurachman malah sebaliknya. Dia menyambut kedatangan nenek itu. Said pun meminta warga untuk memperkenankan si nenek

(39)

39

sepuluh tahun, pada 1891, atau tepat pada 27 Rajab 1311 Hijriyah, Masjid Shirathal Mustaqiem rampung dari pengerjaannya. Sultan Kutai Adji Mohammad Sulaiman, sekaligus menjadi imam masjid pertama yang memimpin salat.

Situs sejarah berupa masjid tersebut di atas menjadi bukti bahwa peran habaib sangat penting dalam penyebaran dakwah Islamiyah dan pembinaan masyarakat.

b. Pemakaman

Para habaib yang berjasa dalam penyebaran Islam kebanyakan wafatnya dimakamkan berdekatan atau berdampingan dengan makam sulthan yang berkuasa ketika itu. Beberapa makam habaib yang terkenal adalah:

1.1. Makam Habib Hasyim bin Musayyakh

Habib Hasyim bin Musayyakh terkenal dengan sebutan Tuan Tunggang Parangan, tokoh yang pertama kali mengislamkan Aji Mahkota, sebagai raja kutai ke-6 yang berkuasa ketika itu. Makam Habib Hasyim ini terletak tidak jauh dari makam Raja Mahkota, di Desa Kutai Lama, tempat asal mula berdirinya Kesulthanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura.

1.2. Makam Sayyid Muhammad bin Sayyid Shaleh bin Yahya (w. 1311 H/1892 M)

Sayyid Muhammad bin Sayyid Shaleh bin Yahya, Makkawi merupakan da’i yang wafatnya dimakamkan secara berdampingan dengan makam Sulthan Adji Mohammad Sulaiman, Khalifatul Mu’minin (1317 H/1899 M), Sulthan Kutai yang ke-17 yang wafat lebih awal dari Habib Shaleh bin Yahya.

1.3. Makam Habib Tenggarong

untuk melakukan apa yang diinginkan. Nenek pun meminta warga dan Said Abdurachman balik ke rumah masing-masing. Esok harinya usai salat Subuh, warga berbondong-bondong mendatangi lokasi pembangunan masjid. Seperti tak percaya, empat tiang utama telah tertanam kokoh. Warga pun kaget, tetapi tak satu pun orang yang mampu menemukan keberadaan nenek itu. Setelah itu, Said Abdurachman dan tokoh masyarakat membangun masjid.

(40)

40

Habib Muhammad bin Yahya Tenggarong yang terkenal dengan sebutan Habib Muhammad Tenggarong atau Pangeran Noto Igomo wafat pada 26 Rabi'ul awwal 1366 H atau bertepatan dengan 17 Februari 1947 M pada usia 103 tahun. Jasadnya dimakamkan di Pekuburan Jalan Gunung Gandek Tenggarong yang juga dikenal dengan Kompleks Pemakaman Kelambu Kuning. Peristirahatan terakhirnya berdekatan dengan makam istri dan mertuanya, Sultan Aji Muhammad Alimuddin (w. 1910 M), Sultan Kutai yang ke-18.

Situs bersejarah berupa pemakaman para habaib yang letaknya berdampingan dan berdekatan dengan para sultan yang berkuasa ketika itu menjadi bukti betapa dekat dan akrabnya para habaib dalam kekuasaan dan menjadi kenangan betapa perjuangan dakwah Islamiyah para habaib sangat penting bagi pembinaan masyarakat.

Referensi

Dokumen terkait

Plagiat adalah pencurian proses, objek dan/atau hasil (plagirism) dalam mengajukan usul penelitian, melaksanakannya, menilainya dan dalam melaporkan hasil-hasil suatu

Pada Kesempatan ini, undangan tersebut disambut baik oleh beberapa dosen dan menjadi Kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) yang adalah salah satu perwujudan Tri

N0 Nama Peneliti Judul Penelitian PRODI FAKULTAS SKIM Usulan Dana Keterangan..

Pelatihan Ukir Kayu Kepada Anak-Anak Dan Remaja Pada Usaha Ukir Metasedana Di Kabupaten Bandung Krita Seni FSRD Pengabdian 6.000.000,- DIPA.. N0 Nama Peneliti Judul Penelitian

Tri Bhanga Dalam Nuansa Monochromatik Seni Murni FSRD PENCIPTAAN 19,000,000 DIPA DATA USULAN PROPOSAL PENELITIAN TAHUN 2013 DI DANAI TAHUN 2013. FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN

Proses Kreativitas dalam Pembelajaran Koposisi Tari Seni Tari FSP Pemula Dosen 8,000,000 DIPA.. DATA USULAN PROPOSAL PENELITIAN TAHUN 2008 DI DANAI TAHUN 2008 FAKULTAS

Masyarakat Wonomulyo yang membagi wilayahnya menjadi empat titik dengan satu wilayah sebagai titik pusat serta dikelilingi empat gunung dan satu gunung menjadi titik pusat

Halaman ini memuat ; Judul proposal /laporan, lambang stikes surya mitra husada tidak berwarna , Ketua pelaksana dan NIK disertai gelar, anggota pelaksana dan NIM,