• Tidak ada hasil yang ditemukan

TERAPI SULIH TESTOSTERON MENINGKATKAN KETEBALAN OTOT POLOS KORPUS KAVERNOSUM TIKUS WISTAR (Rattus norvegicus) DIABETES MELITUS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TERAPI SULIH TESTOSTERON MENINGKATKAN KETEBALAN OTOT POLOS KORPUS KAVERNOSUM TIKUS WISTAR (Rattus norvegicus) DIABETES MELITUS"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

TERAPI SULIH TESTOSTERON MENINGKATKAN

KETEBALAN OTOT POLOS KORPUS

KAVERNOSUM TIKUS WISTAR (Rattus norvegicus)

DIABETES MELITUS

NI LUH KADEK ALIT ARSANI

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2011

(2)

TESIS

TERAPI SULIH TESTOSTERON MENINGKATKAN

KETEBALAN OTOT POLOS KORPUS

KAVERNOSUM TIKUS WISTAR (Rattus norvegicus)

DIABETES MELITUS

NI LUH KADEK ALIT ARSANI NIM 0990761001

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(3)

TERAPI SULIH TESTOSTERON MENINGKATKAN

KETEBALAN OTOT POLOS KORPUS

KAVERNOSUM TIKUS WISTAR (Rattus norvegicus)

DIABETES MELITUS

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik

Program Pascasarjana Universitas Udayana

NI LUH KADEK ALIT ARSANI NIM 0990761001

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(4)

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 8 AGUSTUS 2011

Pembimbing I

Prof. Dr. dr. Wimpie I. Pangkahila, Sp.And., FAACS NIP 194612131971071001

Pembimbing II

Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.Sc., Sp.And. NIP 194402011964091001

Mengetahui

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana

Universitas Udayana

Prof. Dr. dr. Wimpie I. Pangkahila, Sp.And., FAACS NIP 194612131971071001

Direktur

Program Pascasarjana Universitas Udayana

Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP 195902151985102001

(5)

Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 8 Agustus 2011

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor

Universitas Udayana, No.: 1334/UN 14.4/HK/2011, Tanggal 1 Agustus 2011

Ketua : Prof. Dr. dr. Wimpie I. Pangkahila, Sp.And., FAACS

Anggota :

1. Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.Sc.,Sp.And. 2. Prof. dr. I Gusti Made Aman, Sp.FK

3. Prof. Dr. dr. A.A. Gede Budhiarta, Sp.PD-KEMD 4. Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH, Ph.D

(6)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa atas asung wara nugraha-Nya, sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Berkat petunjuk, bimbingan, serta bantuan dari berbagai pihak, segala hambatan dan rintangan dalam penyusunan tesis ini dapat diselesaikan dengan baik, untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Rektor Universitas Udayana yang telah menerima kami sebagai mahasiswa pada Program Pascasarjana Ilmu Biomedik Universitas Udayana Denpasar. 2. Direktur Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar atas kesempatan yang

diberikan kepada kami untuk mengikuti Program Pasca Sarjana Ilmu Biomedik Universitas Udayana Denpasar.

3. Prof. Dr. dr. Wimpie I. Pangkahila, Sp. And., FAACS, selaku pembimbing I dan Ketua Program Studi Ilmu Biomedik yang telah banyak memberikan masukan dan bimbingan kepada penulis selama penyusunan tesis ini.

4. Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.Sc.,Sp.And., selaku pembimbing II yang telah banyak memberikan masukan dan bimbingan dalam penyusunan tesis ini.

5. Prof. dr. I Gusti Made Aman, Sp.FK, Prof. Dr. dr. A.A. Gede Budhiarta, Sp.PD-KEMD, dan Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH, Ph.D, selaku penguji yang telah banyak memberikan masukan, arahan, dan koreksi dalam penyusunan tesis ini.

(7)

6. Drh. I.B. Oka Winaya, M.Kes., yang telah banyak memberikan bantuan dalam pembuatan dan pembacaan preparat penelitian.

7. I Gede Wiranatha, S.Si., selaku staf Laboratory Animal Unit, Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang telah banyak membantu pelaksanaan penelitian.

8. Staf administrasi serta teman mahasiswa Program Magister Ilmu Biomedik Kekhususan Kedokteran Reproduksi yang telah banyak membantu serta memberikan dorongan dan semangat kepada penulis.

Tidak lupa penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada ayah, ibu, suami, anak tercinta, dan kedua adik penulis yang dengan tulus memberikan doa dan dukungan, baik moral, materiil, maupun spiritual, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Terima kasih pula kepada seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu perkenankanlah penulis mohon maaf atas segala kekurangan yang ada, serta kritik dan saran dari berbagai pihak yang bersifat konstruktif sangat diharapkan.

Denpasar, 8 Agustus 2011 Penulis

(8)

ABSTRAK

TERAPI SULIH TESTOSTERON MENINGKATKAN

KETEBALAN OTOT POLOS KORPUS KAVERNOSUM

TIKUS WISTAR (Rattus norvegicus) DIABETES MELITUS

Disfungsi ereksi lebih sering terjadi pada penderita diabetes melitus (DM) dibandingkan dengan populasi yang bukan diabetes melitus. Terjadinya hipogonadisme, autonomic neuropathy, dan arterial insuficiency dihubungkan dengan tingginya kejadian disfungsi ereksi pada diabetes melitus. Sebagai akibat diabetes melitus akan terjadi kehilangan yang progresif dari otot polos dan endotel yang normal dari korpus kavernosum diganti dengan jaringan fibrotik sehingga menyebabkan terjadinya disfungsi ereksi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh terapi sulih testosteron terhadap peningkatan ketebalan otot polos korpus kavernosum tikus wistar (Rattus norvegicus) diabetes melitus.

Rancangan penelitian yang digunakan adalah Randomized Pretest-posttest

Control Group Design. Penelitian dilakukan di Laboratorium Farmakologi

Fakultas Kedokteran dan di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana selama 9 minggu dengan menggunakan 28 ekor tikus wistar jantan diabetes melitus. Tikus dibagi menjadi 2 kelompok dan setelah 6 minggu, masing-masing 7 ekor tikus pada tiap kelompok dieutanasi dan dilakukan pemeriksaaan histologis penis untuk melihat kerusakan korpus kavernosum. Sisa 7 ekor tikus pada kelompok kontrol (P0) diberikan plasebo (aqua pro injeksi) dan pada kelompok perlakuan (P1) diberikan hormon testosteron dengan dosis 4,5 mg/200 gram berat badan tikus secara intramuskular. Setelah 3 minggu seluruh tikus dieutanasi dan dilakukan pemeriksaaan histologis penis.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa uji normalitas (uji Shapiro Wilk) dan homogenitas (Levene test) untuk kelompok pre test dan post test masing-masing kelompok berdistribusi normal dan homogen (p>0,05). Uji perbandingan dengan

t-test terhadap ketebalan otot polos korpus kavernosum penis tikus post-test

kelompok kontrol (46,31±11,12 μm) dan kelompok perlakuan (92,16±14,69 μm) menunjukkan perbedaan yang bermakna (p < 0,05).

Simpulan penelitian ini bahwa terapi sulih testosteron meningkatkan ketebalan otot polos korpus kavernosum penis tikus diabetes melitus. Saran yang dapat disampaikan adalah perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap peranan testosteron dalam memperbaiki disfungsi ereksi yang disebabkan oleh karena kerusakan yang terjadi pada korpus kavernosum penis.

(9)

ABSTRACT

TESTOSTERONE REPLACEMENT THERAPY INCREASES

THE THICKNESS OF SMOOTH MUSCLE OF PENILE

CORPUS CAVERNOSUM IN DIABETIC RATS

Erectile dysfunction mostly occurs to those who suffers from diabetic compared to non-diabetic population. Hypogonadism, autonomic neuropathy, and arterial insufficiency are correlated to the levels of erectile dysfunction on diabetic. As results of diabetic, progressive lost of smooth muscle and normal endotel of corpus cavernosum are replaced by fibrotic tissue and it causes erectile dysfunction. This study was aimed at investigating the effect of testosterone replacement therapy on smooth muscle of penile corpus cavernosum of diabetic rats.

The study based on an experimental design using a randomized pretest-posttest control group design. The t-test was used to compare the pre and post groups and between the two groups. This study was conducted at the Laboratory of Pharmacology of Medical Faculty and the Laboratory of Anatomy Pathology of Faculty of Veterinary Medicine at Udayana University for nine weeks by using 28 male diabetic wistar rats. The rats were devided into two groups and after week-6, seven rats in each group were euthanatized and then penile histologist examination was conducted to find the destruction of corpus cavernosum. The other seven rats in control group (P0) were given placebo and the treatment group (P1) were given substitute testosterone injection intramuscularly 4,5 mg/200 gram rats body weight. After three weeks all rats were euthanized for histological examination of corpus cavernosum.

The result showed that the normality test (Shapiro Wilk) and homogeneity (Levene test) for pre test and post test groups for each group shows normal and homogenous distribution (p>0,05). The test comparisson of the thickness of smooth muscle penile corpus cavernosum between post-test of control group (46,31±11,12 μm) and P1 (92,16±14,69 μm) with t-test showed significant differences (p < 0,05).

The conclusion of this study was that testosterone replacement therapy increasing the thickness of smooth muscle of penile corpus cavernosum in diabetic rats. From this study, it is recommended that further research of the roles of testosterone on erectile dysfunction need to be developed.

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM... i

PRASYARAT GELAR ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN ... iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... iv

UCAPAN TERIMA KASIH ... v

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR ARTI LAMBANG, SINGKATAN, DAN ISTILAH ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv BAB I PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Rumusan Masalah ... 5 1.3 Tujuan Penelitian ... 6 1.4 Manfaat Penelitian ... 6

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 7

2.1 Fungsi Seksual Pria ... 7

2.2 Ereksi... ... 7

2.2.1 Mekanisme Ereksi ... 8

2.2.2 Disfungsi Ereksi ... 12

2.3 Diabetes Melitus... 13

2.3.1 Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus ... 15

2.3.2 Diabetes Melitus, Sindrom Metabolik, dan Testosteron... 16

2.3.2 Patofisiologi Disfungsi Ereksi pada Diabetes Melitus ... 17

(11)

2.4.1 Sintesis, Sekresi, dan Regulasi ... 19

2.4.2 Testosteron pada Sirkulasi ... 20

2.4.3 Metabolisme Testosteron ... 21

2.4.4 Efek Biologis Testosteron dan Metabolitnya ... 21

2.5 Terapi Sulih Testosteron ... 24

2.6 Penis Manusia ... 26

2.6.1 Anatomi Penis ... 26

2.6.2 Organ Erektil ... 27

2.6.3 Struktur Mikroanatomi Penis ... 28

2.6.4 Vaskularisasi dan Persarafan ... 30

2.7 Tikus (Rattus norvegicus galur Wistar) ... 32

2.7.1 Karakteristik Tikus ... 32

2.7.2 Anatomi Penis ... 33

2.7.3 Gambaran Mikroskopis ... 34

2.7.4 Hormon Testosteron pada Mamalia... 34

2.8 Aloksan ... 35

BAB III KERANGKA BERFIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN ... 36

3.1 Kerangka Berfikir ... 36

3.2 Konsep ... 38

3.3 Hipotesis ... 38

BAB IV METODE PENELITIAN ... 39

4.1 Rancangan Penelitian ... 39

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 40

4.3 Penentuan Sumber Data ... 40

4.3.1 Besar Sampel ... 40

4.3.2 Kriteria Sampel ... 41

4.4 Variabel Penelitian ... 42

(12)

4.4.2 Definisi Operasional Variabel ... 42

4.5 Bahan dan Alat Penelitian ... 44

4.6 Prosedur Penelitian ... 45

4.6.1 Pemilihan dan Pemeliharaan Hewan Uji ... 45

4.6.2 Pelaksanaan Penelitian ... 45

4.6.3 Alur Penelitian ... 46

4.6.4 Teknik Operasi Penis ... 47

4.6.5 Teknik Pemrosesan Sediaan Histologis Penis ... 47

4.7 Analisis Data ... 51

BAB V HASIL PENELITIAN... 52

5.1 Analisis Deskriptif Ketebalan Otot Polos Korpus Kavernosum .... 52

5.2 Uji Normalitas Data... 53

5.3 Uji Homogenitas ... 54

5.4 Uji Komparabilitas ... 54

5.5 Analisis Efek Perlakuan ... 55

BAB VI PEMBAHASAN ... 58

6.1 Subyek Penelitian ... 58

6.2 Diabetes Melitus, Testosteron, dan Korpus Kavernosum Penis .... 58

6.3 Terapi Sulih Testosteron dan Fungsi Ereksi ... 61

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ... 63

7.1 Simpulan ... 63

7.2 Saran ... 63

DAFTAR PUSTAKA ... 64

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

2.1 Kriteria Diagnosis DM ... 15 2.2 Data Biologis Tikus... 33 5.1 Rerata Ketebalan Otot Polos Korpus Kavernosum Sebelum

dan Setelah Perlakuan ... 53 5.2 Hasil Uji Normalitas Ketebalan Otot Polos Korpus Kavernosum

Penis Tikus Sebelum dan Setelah Perlakuan ... 54 5.3 Hasil Uji Homogenitas Ketebalan Otot Polos Korpus Kavernosum

Penis Tikus Sebelum dan Setelah Perlakuan ... 54 5.4 Hasil Uji Perbedaan Ketebalan Otot Polos Korpus Kavernosum

Penis Tikus Kelompok Kontrol dan Kelompok P1 Sebelum Perlakuan ... 55 5.5 Hasil Uji Perbedaan Ketebalan Otot Polos Korpus Kavernosum

Penis Tikus Kelompok Kontrol dan Kelompok P1 Setelah Perlakuan ... 56 5.6 Hasil Uji Perbedaan Ketebalan Otot Polos Korpus Kavernosum

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

2.1 Mekanisme Ereksi ... 9

2.2 Regulasi Sekresi dan Sintesis Testosteron ... 19

2.3 Efek Testosteron Terhadap Fungsi Ereksi ... 23

2.4 Penis Manusia ... 27

2.5 Potongan Melintang Penis Manusia ... 29

2.6 Jaringan Erektil Penis ... 30

3.1 Kerangka Konsep Penelitian ... 38

4.1 Rancangan Penelitian ... 39

4.2 Alur Penelitian ... 46

5.1 Grafik Rerata Ketebalan Otot Polos Korpus Kavernosum Sebelum dan Setelah Perlakuan ... 57

(15)

DAFTAR ARTI LAMBANG, SINGKATAN, DAN ISTILAH

ABP : Androgen Binding Protein

ADA : American Diabetes Association

AGEs : Advanced glication end products,

cAMP : cyclic Adenosine Monophosphate

DE : Disfungsi Ereksi

DHT : Dihydrotestosterone

DM : Diabetes Melitus

eNOS : endothelial NOS

FSH : Follicle-Stimulating Hormone

GnRH : Gonadotrophin-Releasing Hormone

iNOS : inducible NOS

LH : Luteinizing Hormone

μm : mikrometer

MMAS : Massachusetts Male Aging Studi

NANC : Nonadrenergic Non Cholinergic

nNOS : neuronal NOS

NO : Nitric Oxide

NOS : Nitric Oxide sinthase

PDE-5 : Phosphodiesterase type 5

SHBG : Sex Hormone Binding Globulin

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1 Tabel Konversi Perhitungan untuk Berbagai Jenis (Species)

Hewan Uji dan Manusia... 69

Lampiran 2 Kadar Gula Darah ... 70

Lampiran 3 Ketebalan Otot Polos Korpus Kavernosum Penis Tikus ... 71

Lampiran 4 Pengolahan data Penelitian ... 73

Lampiran 5 Foto Pelaksanaan Penelitian ... 77

Lampiran 6 Hasil Pemeriksaan Mikroskopik Histologis Penis Tikus ... 81

(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hubungan seksual yang harmonis adalah dambaan bagi setiap pasangan, namun demikian ternyata tidak semua pasangan dapat mengalami. Hubungan seksual yang harmonis dapat berlangsung apabila fungsi seksual berkembang secara normal baik dari segi fisik maupun dari segi perilaku seksualnya.

Perubahan persepsi dan perilaku seksual yang terjadi sejak lebih dari dua dekade yang lalu menyebabkan masyarakat lebih terbuka menyampaikan keluhan seksual yang dialaminya. Disfungsi seksual banyak terjadi di masyarakat, baik pada pria maupun wanita, walaupun belum ada data yang pasti tentang insidennya. Salah satu disfungsi seksual pada pria yang sering dijumpai adalah disfungsi ereksi. Diduga tidak kurang dari 10% pria menikah di Indonesia mengalami disfungsi ereksi (Pangkahila, 2005).

Di Amerika Serikat, the Massachusetts Male Aging Studi (MMAS) melakukan survei pada 1.290 pria berumur 40-70 tahun dari tahun 1987-1989 mendapatkan prevalensi disfungsi ereksi (DE) sebesar 52%. Prevalensi DE meningkat sesuai dengan umur. Pada umur 40 tahun prevalensinya sebesar 40% dan pada umur 70 tahun mencapai hampir 70%. Pada tahun 2005 diduga terdapat 322 juta pria yang mengalami disfungsi ereksi di seluruh dunia. Di Indonesia, belum ada data yang pasti berapa banyak pria mengalami DE (Pangkahila, 2005; Agarwal et al., 2006).

(18)

Disfungsi ereksi bisa disebabkan oleh faktor fisik dan faktor psikis. Faktor fisik dapat dikelompokkan menjadi faktor endokrin, neurogenik, vaskulogenik dan iatrogenik (Pangkahila, 2005). Faktor risiko utama yang berpengaruh terhadap terjadinya disfungsi ereksi adalah diabetes melitus (DM), hiperkolesterolemia, merokok, dan penyakit kronis. Faktor-faktor ini meningkatkan risiko untuk terjadinya aterosklerosis yang merupakan faktor predominan untuk terjadinya disfungsi ereksi vaskulogenik (Agarwal et al., 2006).

Disfungsi ereksi lebih sering terjadi pada penderita diabetes melitus dibandingkan dengan populasi umum. Sekitar 30%-90% pria dengan diabetes melitus akan menderita disfungsi ereksi (Cho et al., 2005; Kapoor et al., 2007). Studi-studi sebelumnya melaporkan prevalensi berkisar antara 20-70% (Penson et

al., 2004). Terjadinya hipogonadisme, autonomic neuropathy, dan arterial insuficiency dihubungkan dengan tingginya kejadian disfungsi ereksi pada

diabetes melitus.

Relaksasi jaringan erektil pada korpus kavernosum memerlukan nitrit oksida (Nitric Oxide/NO) dari neuron nonadrenergik-nonkolinergik dan endotel. Jaringan penis penderita diabetes melitus menunjukkan gangguan relaksasi dari otot polos yang dimediasi oleh faktor neurogenik dan endotel, peningkatan

advanced glication end products (AGEs), dan upregulation arginase yang

merupakan kompetitor dari nitrat oksida sintase (NOS) dengan substratnya yaitu L-arginin, sehingga terjadi penurunan sintesis, pelepasan, dan aktivitas nitrit oksida. Sebagai akibat dari diabetes melitus maka akan terjadi kehilangan yang progresif dari otot polos dan endotel yang normal dari korpus kavernosum diganti

(19)

dengan jaringan fibrotik sehingga menyebabkan terjadinya disfungsi ereksi yang komplit (Penson et al., 2004; Brown et al., 2005; Sakka dan Yassin, 2010).

Studi-studi epidemiologis selama 2 dekade terakhir menunjukkan pria dengan DM tipe 2 mempunyai kadar hormon testosteron yang rendah. Dhindsa et

al. (2004) melakukan penelitian pada pria dengan DM tipe 2 yang berumur antara

31-75 tahun, sepertiga diantaranya mempunyai kadar free testosterone yang rendah. Hal ini berhubungan dengan tidak cukupnya kadar luteinizing hormone (LH) dan follicle-stimulating hormone (FSH), menyebabkan terjadinya

hypogonadotrophic hypogonadism. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan

penelitian yang dilakukan di United Kingdom, Italia, Australia, dan Brazil.

Chandel et al. (2007) juga melaporkan tingginya prevalensi hypogonadotrophic hypogonadism pada pria muda (18-35 tahun) dengan DM tipe 2 yaitu sebesar

58%.

Testosteron yang rendah dihubungkan dengan penurunan libido, disfungsi ereksi, peningkatan masa lemak, penurunan masa otot dan tulang, serta penurunan energi, depresi, dan anemia (Dandona et al., 2009). Investigasi yang dilakukan pada binatang menunjukkan bahwa kekurangan hormon testoteron menyebabkan atropi jaringan penis, perubahan struktur nervus dorsalis, perubahan morfologi endotel, penurunan otot polos trabekular, dan akumulasi jaringan lemak pada daerah subtunika korpus kavernosum (Sakka dan Yassin, 2010).

Mekanisme terjadinya hipogonadotropik hipogonadisme pada pria dengan DM tipe 2 belum jelas. Berdasarkan studi yang dilakukan pada binatang

(20)

hypothalamo-hypophyseal-testis axis. Insensitivitas insulin pada level hipotalamus

menyebabkan terjadinya hipogonadotropik hipogonadisme sehingga terjadi penurunan fungsi testis dan menyebabkan terjadi penurunan produksi hormon testosteron (Dandona et al., 2009).

Pada pria dengan gejala-gejala hipogonad, maka pemberian hormon sulih testosteron (testosterone replacement therapy) dapat meningkatkan fungsi seksual dan memelihara karakteristik seks sekunder (Dandona et al., 2009). Synder et al. (2000) menyatakan bahwa terapi dengan testosteron pada pria hipogonad dapat meningkatkan fungsi seksual, libido, masa otot, kekuatan fisik, densitas tulang, dan perasaan senang. Lazarou dan Morgentaler (2005) menyatakan bahwa pemberian hormon testosteron merupakan terapi terbaik pada pria hipogonad dengan disfungsi ereksi.

Sejak ditemukannya PDE-5 (Phosphodiesterase type 5) inhibitors untuk terapi disfungsi ereksi testosteron telah dikesampingkan sebagai terapi pilihan pada disfungsi ereksi. Tetapi sebesar 50% pria yang diterapi dengan PDE-5

inhibitors menunjukkan kegagalan (Park et al., 2005). Hal ini menimbulkan

ketertarikan pada terapi disfungsi ereksi dengan hormon testosteron (Hesle et al., 2005).

Pada penderita diabetes melitus dengan disfungsi ereksi, maka pemberian testosteron akan dapat mengembalikan fungsi ereksinya. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Yassin et al. (2006); Yassin & Saad (2006; 2007 b) terhadap peran hormon testosteron pada disfungsi ereksi dengan penyakit penyerta seperti diabetes melitus, sindrom metabolik, dislipidemia, obesitas, dan

(21)

kombinasi dari penyakit ini, dimana dengan terapi PDE-5 inhibitor telah gagal untuk mengembalikan fungsi ereksinya. Dilaporkan bahwa terjadi peningkatan dalam fungsi ereksi setelah 12-20 minggu diterapi dengan testosteron. Greenstein

et al. (2003) juga melaporkan bahwa 63% dari pria hipogonad dengan disfungsi

ereksi yang diberikan terapi dengan testosteron saja mendapatkan kembali fungsi ereksi yang normal dan peningkatan sexual desire.

Melihat hal tersebut di atas, dimana disfungsi ereksi sering terjadi pada penderita diabetes melitus karena terjadi penurunan hormon testosteron sehingga mengakibatkan kehilangan yang progresif dari otot polos dan endotel yang normal dari korpus kavernosum penis, maka peneliti ingin melihat perubahan yang terjadi pada korpus kavernosum penis tikus jantan diabetes melitus dengan induksi aloksan apabila diberikan terapi dengan hormon testosteron.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: apakah terapi sulih testosteron (testosterone

replacement therapy) dapat meningkatkan ketebalan otot polos korpus

kavernosum tikus wistar (Rattus norvegicus) diabetes melitus?

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui pemberian terapi sulih testosteron dapat meningkatan ketebalan otot polos korpus kavernosum tikus wistar (Rattus norvegicus) diabetes melitus.

(22)

1.4 Manfaat Penelilitian

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Dapat menambah wawasan pengetahuan tentang pengaruh terapi sulih

testosteron terhadap peningkatan ketebalan otot polos korpus kavernosum tikus wistar (Rattus norvegicus) diabetes melitus untuk kesehatan reproduksi. 2. Hasil penelitian terapi sulih testosteron dapat dijadikan salah satu alternatif

untuk memperbaiki disfungsi ereksi pada diabetes melitus yang dicurigai salah satu penyebabnya karena kerusakan struktur korpus kavernosum penis.

(23)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Fungsi Seksual Pria

Fungsi seksual pria terdiri dari 4 komponen, yaitu: dorongan seksual, bangkitan seksual, orgasme, dan ejakulasi. Bangkitan seksual terutama berupa ereksi penis. Setiap gangguan pada salah satu komponen itu dapat menimbulkan disfungsi seksual. Disfungsi seksual pria dikelompokkan menjadi: 1) Gangguan dorongan seksual yang meliputi dorongan seksual hipoaktif dan gangguan aversi seksual; 2) Disfungsi ereksi; 3) Gangguan ejakulasi yang meliputi ejakulasi dini (rapid ejaculation) dan ejakulasi terhambat (retarded ejaculation); 4) Gangguan orgasme. Ejakulasi sebenarnya lebih banyak berfungsi reproduksi. Tetapi karena pada pria normal ejakulasi terjadi pada saat orgasme, maka gangguan ejakulasi seringkali juga mengganggu sensasi orgasme (Pangkahila, 2005).

2.2 Ereksi

Ereksi penis adalah suatu fenomena neurovaskular, yang tergantung dari integritas saraf, fungsi dari sistem vaskular, dan jaringan kavernosal yang sehat. Fungsi ereksi yang normal meliputi tiga proses sinergis dan simultan yaitu: 1) peningkatan arterial inflow yang dimediasi secara neurologis, 2) relaksasi dari otot polos kavernosal, dan 3) restriksi aliran keluar vena penis (Bivalacqua et al., 2003).

(24)

Telah lama diketahui bahwa NO memegang peranan yang penting dalam regulasi ereksi penis dalam keadaan fisiologis dan patologis (Bivalacqua et al., 2003). NO merupakan mediator yang sangat penting dalam proses relaksasi otot polos kavernosa yang menyebabkan ereksi. Relaksasi ini disebabkan oleh adanya guanetidin dan atropin pada lapisan otot dan diduga merupakan mediator saraf nonadrenergik-nonkolinergik. Relaksasi otot polos yang disebabkan oleh NO terjadi melalui peningkatan siklus GMP (guanosin monophosphate) (Tendean, 2004).

2.2.1 Mekanisme Ereksi

Ereksi penis adalah manifestasi bangkitan seksual yang terjadi bila pria normal menerima rangsangan seksual yang cukup. Ereksi penis tergantung pada interaksi yang kompleks antara faktor psikis, neurogenik, vaskuler, dan hormon. Hormon testosteron mempunyai peran penting baik di tingkat pusat maupun perifer pada proses ereksi. Proses ereksi juga tergantung pada keseimbangan antara aliran darah yang masuk dan keluar dari korpus kavernosum. Bila terjadi keseimbangan antara aliran darah masuk dan keluar, maka penis menjadi flaccid (fleksid=lemas). Bila aliran masuk ke arteri korpus kavernosum meningkat, sedangkan aliran keluar vena terhambat, maka penis mengalami tumescence (tumesensi= membesar dan memanjang) (Pangkahila, 2006).

Faktor saraf yang mempengaruhi mekanisme ereksi adalah stimulasi saraf parasimpatetik S2-S4 yang menimbulkan dilatasi arteriol dan relaksasi otot polos trabekula penis. Di pihak lain, stimulasi saraf simpatetik Th12-L2 mengakibatkan

(25)

konstriksi arteriol dan otot polos korpus kavernosum yang menimbulkan detumesensi dan fleksid penis.

Ketika mengalami rangsangan seksual, impuls saraf menyebabkan pelepasan NO dari neuron parasymphatetic nonadrenergic non cholinergic (NANC) dan sel endotel korpus kavernosum. NO merupakan mediator kimia yang terpenting untuk menimbulkan relaksasi otot polos korpus kavernosum.

(26)

Peristiwa ereksi berlangsung melalui rangkaian delapan fase sebagai berikut: a. Fase 0: fase fleksid

Dalam keadaan fleksid, penis berada di bawah pengaruh saraf simpatetik. Aliran masuk arteri lambat, hanya kurang dari 15 cm per detik, dan otot polos trabekula mengalami kontraksi.

b. Fase 1: fase pengisian (filling phase)

Rangsangan parasimpatetik menyebabkan dilatasi arteriol yang menyebabkan aliran arteri meningkat sampai 30 cm per detik. Relaksasi trabekula

menyebabkan terjadi pengisian sinusoid tanpa peningkatan yang bermakna pada tekanan intrakavernosa.

c. Fase 2: fase tumesensi

Pada fase ini, tekanan intrakavernosa mulai meningkat, yang menyebabkan penurunan relatif pada aliran masuk arteri. Karena tekanan meningkat di atas tekanan diastolik, maka aliran hanya terjadi pada saat tekanan sistolik. Selanjutnya, karena sinusoid melebar, terjadilah kompresi pada pleksus vena subtunika. Akibatnya penis memanjang dan membesar ke kapasitas

maksimalnya.

d. Fase 3: fase ereksi sempura (full erection phase)

Pada fase ini tekanan intrakavernosa meningkat sampai 90% dari tekanan darah sistolik. Aliran darah arteri ke dalam penis terus menurun, tetapi masih lebih besar daripada selama fase fleksid. Sinusoid yang melebar menekan pleksus vena subtunika, yang menyebabkan berkurangnya aliran darah ke

(27)

dalam vena emissaria. Pada saat ini, tekanan gas darah sama dengan di darah arteri.

e. Fase 4: fase ereksi rigid

Karena pengaruh nervus pudendus, muskulus ishiokavernosus berkontraksi sehingga menekan crura dan meningkatkan tekanan darah intrakavernosa di atas tekanan darah sistolik. Maka penis mengalami ereksi atau rigiditas yang sempurna. Muskulus ishiokavernosus dapat dibuat berkontraksi atau di bawah pengaruh refleks bulbokavernosus, yang mampu mempertahankan rigiditas selama penetrasi. Aliran masuk arteri berhenti dan vena emissaria tertutup rapat sehingga penis menjadi sebuah ruangan tertutup. Mekanisme yang menyebabkan aliran keluar vena dari penis tertutup, disebut veno-occlusive

mechanism.

f. Fase 5: fase detumesensi awal

Pada fase ini terjadi sedikit peningkatan tekanan intrakavernosa, yang bersifat sesaat. Peningkatan ini mungkin dipengaruhi oleh rangsangan simpatetik terhadap aliran keluar vena yang tertutup.

g. Fase 6: fase detumesensi lambat

Pada saat ini terjadi kontraksi otot polos trabekula, konstriksi arteriola

helicinae, dan menurunnya tekanan darah intrakavernosa. Reaksi ini

menyebabkan kompresi vena subtunika berkurang dan aliran keluar vena meningkat.

(28)

h. Fase 7: fase detumesensi cepat

Pada fase ini terjadi rangsangan simpatetik yang menyebabkan aliran masuk arteri dan tekanan darah intrakavernosa menurun cepat. Perubahan ini diikuti peningkatan aliran keluar vena dan detumesensi yang cepat.

2.2.2 Disfungsi Ereksi

Disfungsi ereksi berarti ketidakmampuan mencapai atau mempertahankan ereksi penis yang cukup untuk melakukan hubungan seksual dengan baik. Pada dasarnya disfungsi ereksi disebabkan oleh faktor fisik dan faktor psikis. Penyebab fisik dapat dikelompokkan menjadi faktor hormonal, faktor vaskulogenik, faktor neurogenik, dan faktor iatrogenik (Pangkahila, 2005).

Beberapa gangguan hormonal yang berkaitan dengan disfungsi ereksi adalah hipogonadisme, hiperprolaktinemia, hipertiroidisme, dan hipotiroidisme. Penyebab neurogenik disfungsi ereksi meliputi setiap penyakit atau trauma yang mempengaruhi susunan saraf pusat, korda spinalis, dan susunan saraf perifer. Disfungsi ereksi vaskulogenik adalah faktor penyebab tersering disfungsi ereksi pada pria tua. Faktor resiko terhadap disfungsi ereksi vaskulogenik adalah:

overweight, hipertensi, diabetes melitus, dan merokok. Faktor arterial berupa

penyakit atau gangguan yang menghambat aliran darah ke dalam korpus

kavernosum. Penyebab tersering faktor arteri adalah aterosklerosis. Aliran darah yang terhambat ke penis mengakibatkan iskemia dan oksigenasi korpus

kavernosum terganggu. Keadaan ini mengakibatkan disfungsi otot polos yang menimbulkan disfungsi veno-oklusif. Beberapa cara operasi, obat-obatan, dan

(29)

radioterapi dapat mengakibatkan disfungsi ereksi. Kerusakan saraf atau arteri yang berkaitan dengan fungsi ereksi yang terjadi selama operasi dapat

mengakibatkan disfungsi ereksi. Beberapa obat yang mengakibatkan disfungsi ereksi misalnya obat psikotropik, antidepresan, antihipertensi, obat hormon, antikolinergik (Pangkahila, 2005; Hargreave, 2006).

Faktor psikis meliputi semua faktor yang dapat menghambat mekanisme ereksi, meliputi semua faktor dalam semua periode kehidupan yaitu periode anak-anak, remaja, dan dewasa. Faktor psikis dapat dikelompokkan menjadi faktor predisposisi, faktor presipitasi, dan faktor pembinaan. Faktor predisposisi misalnya pandangan yang negatif tentang seks, trauma seksual, pendidikan seks kurang, percaya mitos, hubungan keluarga terganggu. Faktor presipitasi misalnya hambatan psikis karena penyakit atau gangguan fisik, proses penuaan,

ketidaksetiaan terhadap pasangan, harapan yang berlebihan, depresi, dan kecemasan. Faktor pembinaan misalnya karena pengalaman sebelumnya, hilangnya daya tarik pasangan, komunikasi tidak baik, takut yang berkaitan dengan keintiman, dan pendidikan seks kurang. Faktor psikis tersebut pada akhirnya mengakibatkan peningkatan kadar norepinefrin, baik di sirkulasi maupun penis mengakibatkan ereksi terhambat (Pangkahila, 2005).

2.3 Diabetes Melitus

Disfungsi ereksi lebih sering terjadi pada penderita diabetes melitus dibandingkan dengan populasi umum. Diabetes melitus dapat menyebabkan berkembangnya komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular berupa

(30)

aterosklerosis pembuluh besar, penebalan dan kerusakan membran basalis

pembuluh-pembuluh kapiler sehingga terjadi gangguan mikroangiopati. Terhadap organ reproduksi laki-laki menyebabkan penebalan dinding pembuluh darah dan jaringan testis mengakibatkan terjadinya gangguan fungsi organ testis dan penebalan jaringan ikat penunjang pembuluh darah penis sehingga akan menghalangi aliran darah, sehingga terjadi gangguan ereksi (Guyton and Hall, 2002).

Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (Perkeni, 2008). DM disebabkan karena interaksi yang kompleks dari faktor genetik, faktor lingkungan, dan gaya hidup (life-style). Berdasarkan etiologi dari DM, faktor-faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya

hiperglikemia adalah penurunan sekresi insulin, penurunan penggunaan glukosa, dan peningkatan produksi glukosa. Terjadinya disregulasi metabolik pada DM menyebabkan secara sekunder perubahan patofisiologi pada multipel sistem organ yang menyebabkan masalah dan beban yang besar pada penderita dan sistem pelayanan kesehatan (Powers, 2005).

Klasifikasi DM menurut Perkeni, 2008 adalah: 1) DM tipe 1, terjadi oleh karena kerusakan sel beta pankreas, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut karena autoimun dan idiopatik; 2) DM tipe 2: penyebabnya bervariasi, mulai dari yang dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang dominan defek sekresi insulin disertai resistensi insulin; 3) DM tipe lain:

(31)

oleh karena defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, karena obat atau zat kimia, infeksi, sebab imunologi yang jarang, sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM; 4) DM gestasional.

2.3.1 Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus

Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti tersebut di bawah ini (Perkeni, 2008):

1. Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

2. Keluhan lain berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.

Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui 3 cara seperti terangkum pada tabel 2.1 berikut.

Tabel 2.1 Kriteria Diagnosis DM

1

Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol/L). Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu

hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir. Atau

2

Gejala klasik DM +

Kadar glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl (7,0 mmol/L). Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam.

Atau 3

Kadar glukosa plasma 2 jam pada TTGO (tes toleransi glukosa oral) ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol/L).

TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75gram glukosa anhidros yang dilarutkan ke dalam air.

(32)

Resistensi insulin yang terutama disebabkan oleh adipositas abdominal, terbukti sebagai abnormalitas patologis utama dalam terjadinya sindrom metabolik dan diabetes. Jaringan adiposa sangat aktif secara metabolik dan menghasilkan berbagai zat yang memperantarai hubungan antara obesitas, resistensi insulin, diabetes, dan penyakit vaskuler serta kondisi lainnya. Hormon-hormon yang berasal dari sel adiposit secara kolektif dikenal sebagai adipositokin dan telah mengubah paradigma dari sel lemak sebagai tempat penyimpanan energi menjadi jaringan adiposa sebagai komponen penting dari sistem endokrin.

Adipositokin yang paling banyak pada manusia adalah leptin yang meningkat pada obesitas dan adiponektin yang menurun pada obesitas.

Bukti dari beberapa populasi studi longitudinal menunjukkan bahwa testosteron rendah adalah faktor risiko independen untuk terjadinya obesitas, sindrom metabolik, dan diabetes tipe 2. Data penelitian menunjukkan terdapat hubungan antara kadar testosteron rendah dengan akumulasi lemak sentral, dimana kadar testosteron berkorelasi negatif dengan akumulasi lemak sentral (Tsai and Boyko, 2000).

Obesitas berhubungan dengan kadar sex hormon binding globulin (SHBG) yang rendah yang mengakibatkan penurunan kadar total kolesterol dan kadar testosteron bebas pada pria obesitas. Dari penelitian HERITAGE family, dalam sekelompok 217 pria sehat yang dilakukan pemeriksaan kadar testosteron dan juga dilakukan CT scan, bahwa penurunan total testosteron dan SHBG merupakan prediktor untuk terjadinya peningkatan timbulnya obesitas dan kadar lemak sentral (Couillard, et al., 2000).

(33)

Penurunan kadar testosteron juga terkait dengan abnormalitas dalam metabolisme glukosa. Dalam studi terhadap 1.292 orang non-diabetes, didapatkan adanya korelasi terbalik antara kadar total kolesterol dengan kadar insulin yang tetap signifikan setelah pengendalian faktor umur dan obesitas (Hardiman, 2010).

2.3.3 Patofisiologi Disfungsi Ereksi Pada Diabetes Melitus

Hipogonadisme, autonomic neuropathy, dan arterial insuficiency dihubungkan dengan tingginya kejadian disfungsi ereksi pada pria dengan diabetes melitus, pada penelitian cross-sectional dan longitudinal. Observasi ini telah dilakukan baik pada binatang maupun jaringan manusia secara in-vitro dan

in-vivo (Penson et al., 2004).

Kadar hormon testosteron yang rendah, baik bioavailable testosterone dan

free testosterone secara bermakna lebih rendah pada pria diabetes melitus dengan

disfungsi ereksi (Stellato et al., 2000; Kapoor et al., 2007). Sensitivitas insulin, obesitas, dan testosteron saling terkait satu sama lain, dimana testosteron dapat menurunkan obesitas dan resistensi insulin. Mekanisme kerja dari testosteron terhadap fungsi ereksi pada studi yang dilakukan pada tikus adalah melalui stimulasi sintesis NO dan sebagai vasodilator pada penis (Yassin and Saad, 2008). Relaksasi dari jaringan erektil pada korpus kavernosum memerlukan NO dari neuron nonadrenergik-nonkolinergik dan endotel. Jaringan penis penderita diabetes melitus menunjukkan gangguan relaksasi dari otot polos yang dimediasi oleh faktor neurogenik dan endotel, peningkatan advanced glication end products (AGEs) dan upregulation arginase yang merupakan kompetitor dari nitrat oksida

(34)

sintase (NOS) dengan substratnya yaitu L-arginin, sehingga terjadi penurunan sintesis, pelepasan, dan aktivitas nitrit oksida (Yassin and Saad, 2008).

Terjadinya neuropati sentral dan perifer, gangguan neurotransmisi, dan disfungsi endotel juga ditemukan pada pria diabetes melitus dengan disfungsi ereksi. Gangguan pada refleks penis dan tingkah laku kopulasi juga terjadi pada tikus dengan diabetes melitus setelah 4-12 bulan, karena terjadi neuropati perifer dan gangguan yang berat pada refleks seksual spinal (Yassin and Saad, 2008). Tahap akhir kerusakan jaringan penis adalah terjadi kehilangan yang progresif dari otot polos dan endotel yang normal dari korpus kavernosum diganti dengan jaringan fibrotik sehingga menyebabkan terjadinya disfungsi ereksi yang komplit pada penderita diabetes melitus (Penson et al., 2004; Brown et al., 2005).

2.4 Hormon Testosteron

Testosteron adalah hormon seks pria yang tergolong hormon androgen. Istilah androgen berarti hormon steroid yang mempunyai efek maskulinisasi, terdiri atas testosteron, dihidrotestosteron, dan androstenedion. Testosteron merupakan hormon utama dan terpenting di antara ketiganya, sedangkan dihidrotestosteron dan androstenedion adalah bentuk androgen yang lemah. Semua androgen merupakan senyawa steroid. Baik dalam testis maupun dalam adrenal, androgen dapat dibentuk dari kolesterol atau langsung dari asetil koensim A (Guyton and Hall, 2002).

(35)

Testosteron terutama disintesis dan disekresikan oleh testis. Testis memproduksi antara 5-7 mg/hari atau sekitar 95% dari total produksi pada pria dewasa, sisanya diproduksi oleh zona retikularis korteks adrenal. Pelepasan testosteron mempunyai ritme sirkadian (circadian rhythm) dengan levelnya pada sirkulasi mencapai puncaknya antara pukul 06.00-08.00 dan level terendah antara pukul 18.00-20.00. Testosteron disintesis dari kolesterol pada sel Leydig testis. Sumber kolesterol ini bisa berasal dari sintesis pada sel Leydig dan sirkulasi (Jones, 2008).

Gambar 2.2 Regulasi Sekresi dan Sintesis Testosteron: Aksis Hipothalamus-Hipofisis-Testis

(36)

Untuk mempertahankan testosteron pada tingkat yang tepat maka

kecepatan produksi harus seimbang dengan metabolisme dan ekskresi. Pengaturan sintesis dan sekresi testosteron adalah melalui Hypothalamic-Pituitary-Testicular

Axis. Hipothalamus mensekresi Gonadotrophin-Releasing Hormone (GnRH)

yang mengatur sekresi LH dan FSH (Follicle-Stimulating Hormone) dari hipofisis (pituitary) anterior. LH menstimulasi sekresi testosteron dari sel Leydig dengan meningkatkan cyclic adenosine monophosphate (cAMP) dan level kalsium intraseluler. Bila level testosteron sudah mencukupi, maka testosteron akan menimbulkan negative-feed back ke hipofisis dan hipothalamus. Sedangkan FSH utamanya berpengaruh terhadap sel Sertoli untuk menginisiasi dan pemeliharaan proses spermatogenesis. FSH juga menstimulasi sintesis dan pelepasan hormon

inhibin dan activin dari sel Sertoli. Inhibin menyebabkan negative-feed back ke

hipofisis sehingga menekan pelepasan FSH (Jones, 2008).

2.4.2 Testosteron pada Sirkulasi

Terdapat tiga fraksi testosteron pada serum. Proporsi yang paling besar (50-80%) adalah testosteron yang terikat dengan sex hormone binding globulin (SHBG), 20-50% berikatan dengan albumin, dan 2-3% yang bebas atau tidak berikatan (free testosteron). Free testosteron dimetabolisme dengan cepat oleh hepar dan mempunyai half-life yang pendek, kira-kira 10 menit. Testosteron berikatan sangat kuat dengan SHBG, tidak mempunyai efek biologis aktif dan mungkin berfungsi sebagai simpanan hormon pada sirkulasi. Testosteron berikatan secara lemah dengan albumin dan bisa lepas untuk menimbulkan efek

(37)

biologis. Free testosteron dan testosteron yang berikatan dengan albumin disebut

bioavailable testosteron (Klingmuller et al., 2006; Jones, 2008).

2.4.3 Metabolisme Testosteron

Testosteron dimetabolisme menjadi metabolit aktif dan inaktif. Metabolit aktif testosteron adalah 17β-estradiol dan 5α-dihydrotestosterone (DHT).

Testosteron dikonversi menjadi 17β-estradiol oleh enzim aromatase. Enzim aromatase mempunyai aktivitas yang tinggi pada jaringan lemak, khususnya pada lemak visceral. Makin besar jumlah lemak maka produksi 17β-estradiol akan semakin besar. Tempat lain aktivitas aromatase adalah pada testis, prostat, dan tulang. Konversi testosteron menjadi DHT adalah oleh enzim 5α-reduktase. Proporsi testosteron yang dikonversi menjadi 17β-estradiol dan DHT tergantung dari individu dan jenis jaringan, misalnya produksi DHT lebih tinggi pada prostat dan estradiol lebih tinggi pada tulang (Jones, 2008).

Testosteron dan androgen yang lain, termasuk DHT diinaktivasi melalui reduksi, oksidasi, dan hidroksilasi oleh liver, yang kemudian berikatan dengan asam glukoronat. Metabolit ini kemudian akan diekskresikan oleh ginjal (Jones, 2008).

2.4.4 Efek Biologis Testosteron dan Metabolitnya

Hormon testosteron secara langsung dapat menimbulkan efek biologis dan dapat melalui metabolitnya yaitu DHT dan 17β-estradiol. Diferensiasi seksual pada embrio, selama pubertas, dan memelihara virilisasi, utamanya tergantung

(38)

dari kombinasi efek dari testosteron dan DHT. DHT, mempunyai peran yang lebih besar terhadap kedalaman suara, peningkatan produksi sebum, dan pembesaran dari genetalia eksterna, termasuk panjang penis. Pentingnya DHT pada kasus ini, dapat dibuktikan pada keadaan gangguan fungsi enzim 5α-reduktase, akan menyebabkan terjadinya mikropenis (Jones, 2008).

Efek tostosteron dan DHT sangat tergantung dari topografi tubuh. Pertumbuhan jenggot tergantung dari testosterone, sedangkan pertumbuhan rambut aksila dan pubis tergantung dari DHT. DHT menghambat pertumbuhan rambut kepala sehingga bisa menyebabkan kebotakan pada beberapa pria. Pertumbuhan dan kekuatan otot tergantung dari testosteron dan tidak tergantung pada DHT. Testosteron merangsang haematopoiesis melalui dua mekanisme, yaitu: menstimulasi produksi erythropoietin renal dan ekstra-renal dan efek langsung pada sumsum tulang. Estrogen (17β-estradiol) pada pria berguna untuk memelihara kekuatan tulang dan penutupan epifisis. Pria dengan defisiensi enzim aromatase akan menjadi osteoporosis.

Terdapat banyak bukti bahwa testosteron mempunyai efek terhadap metabolisme, meningkatkan sensitivitas insulin dan toleransi glukosa, pada metabolisme lemak dapat menurunkan kadar kolesterol dan meningkatkan HDL (high-density lipoprotein). Testosteron juga berefek sebagai vasodilator melalui efek langsung terhadap otot polos. Estradiol juga berefek sebagai vasodilator melalui pengaruhnya terhadap nitrit oksida. Testosteron mempunyai efek psikotropik yang penting terhadap otak, yaitu dapat meningkatkan motivasi,

(39)

meningkatkan mood dan libido, meningkatkan fungsi kognitif seperti

visual-spatial skill, memori jangka pendek, dan kemampuan matematika.

Disfungsi ereksi dihubungkan dengan terjadinya defisiensi testosteron. Penelitian yang dilakukan pada binatang, menunjukkan bahwa kekurangan testosteron menyebabkan kehilangan elastic fibers, digantikan dengan jaringan kolagen pada tunika albuginea, selubung saraf, dan otot polos pembuluh darah. Lebih jauh, ditemukan adanya jaringan lemak pada tunika albuginea dan korpus kavernosum. Bukti-bukti ini menggambarkan bahwa testosteron penting di dalam mempertahankan struktur penis yang normal dan untuk terjadinya aktivitas yang normal dari NO, yang merupakan zat utama dalam proses terjadinya ereksi, sangat tergantung dari testosteron.

Gambar 2.3 Efek testosteron terhadap fungsi ereksi (dikutip dari Sakka and Yassin, 2010)

(40)

Setelah umur 40 tahun level testosteron akan turun 1-2% per tahun. Beberapa studi melaporkan terjadi penurunan level testosteron mencapai kurang dari 12 nmol/l pada pria umur 40-60 tahun sebesar 7%, 60-80 tahun sebesar 21%, dan umur lebih dari 80 tahun sebesar 35%. Penurunan produksi testosteron ini terjadi karena kegagalan pada hipothalamus, hipofisis, dan testis. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan kejadian osteoporosis, anemia, penurunan kognitif, depresi, metabolik sindrom, dan disfungsi ereksi pada usia tua (Guyton and Hall, 2002; Jones, 2008).

2.5 Terapi Sulih Testosteron (Testosterone Replacement Therapy)

Indikasi terapi sulih testosteron pada pria adalah keadaan hipogonadisme yang menunjukkan sindrom klinis yang kompleks yaitu adanya gejala-gejala hipogonadisme dan level testosteron yang rendah. Beberapa pilihan baru dalam terapi sulih testosteron telah tersedia sejak pertengahan tahun 1990. Ambang batas level testosteron yang menimbulkan gejala-gejala hipogonad bervariasi tergantung jenis gejala dan individu (Arver and Lehtihet, 2008).

Formulasi optimal dari testosteron adalah formula yang mampu

menormalisasi level testosteron yang beredar dan juga menimbulkan level yang fisiologis dari metabolit aktifnya yaitu: estradiol dan DHT. Bentuk-bentuk sediaan testosteron adalah: testosteron oral, testosteron bukal, testosteron gel,

dihydrotestosteron gel, trasdermal testosterone patches, testosteron injeksi intramuskular, testosteron implan. Testosteron mempunyai half-life yang pendek tetapi dengan esterifikasi half-lifenya dapat diperpanjang setelah injeksi

(41)

intramuskuler. Jenis-jenis ester yang telah digunakan adalah propionat, fenilpropionat isocaproat, enanthate, decanoate, undecanoate (Arver and Lehtihet, 2008).

Salah satu jenis preparat sulih testosteron yang ada adalah Sustanon ‘250’ yang merupakan oil-based injectable esterized testosterone yang terdiri dari testosteron propionat 30 mg, testosteron fenilpropionat 60 mg, testosteron isokaproat 60 mg, dan testosteron dekanoat 100 mg. Ada dua keuntungan menggabungkan beberapa ester dalam formula yang sama seperti pada Sustanon ‘250’. Di sini, dengan menggunakan beberapa ester memungkinkan konsentrasi total cukup tinggi 250 mg/mL tanpa memerlukan persentase besar dari zat yang mempertinggi kelarutan dalam vehicle. Secara umum, kelarutan dari ester yang berbeda dari steroid hampir independen satu sama lain, jadi misalnya jika vehicle (minyak ditambah zat yang dapat mempertinggi kelarutan) dapat melarutkan 100 mg/mL satu ester steroid saja atau 100 mg/mL ester steroid yang lain, hal ini mungkin bisa melarutkan total 200 mg/mL sebagai kombinasi keduanya. Hal ini dapat menambah kenyamanan. Keuntungan kedua dari pencampuran ini adalah bahwa lama kerja obat dapat diperpanjang dengan menggunakan ester long-acting dalam campuran tanpa menyebabkan onset yang lambat bila ester seperti itu diberikan secara terpisah. Dengan demikian kerja sustanon ‘250’ dimulai segera setelah penyuntikan dan dipertahankan selama kurang lebih 3 minggu (Roberts, 2010).

(42)

2.6 Penis Manusia 2.6.1 Anatomi penis

Penis adalah alat kelamin eksternal dan merupakan organ kopulasi pria yang juga berfungsi sebagai saluran keluar bersama urin dan semen. Penis terdiri atas: 1) radix penis yang melekat pada regio (trigonum) urogenitale perineum; 2) korpus yang tertutup sempurna oleh kulit; dan 3) glans penis yang berbentuk kerucut bulat. Radix penis terdiri atas tiga masa jaringan erektil pada trigonum urogenitale, yakni dua buah crus dan satu bulbus penis. Masing-masing crus penis melekat erat pada tepi ramus ischiopubis pelvis dan tertutup oleh muskulus ischiocavernosus. Dekat tepi inferior simpisis pubis, kedua crus tersebut membelok ke arah bawah dan depan menjadi korpus kavernosum. Sewaktu melintas ke arah anterior, crus penis bersatu dengan pasangannya (Gunardi, 2007).

Bulbus penis berada di antara crura penis dan melekat pada aspek inferior membran perinealis. Ke arah anterior bulbus penis menyempit menjadi korpus spongiosum, membelok ke arah bawah dan depan. Bulbus penis diliputi oleh m.

bulbospongiosus; ditembus oleh uretra pars kavernosa yang melintas sampai glans

penis. Bagian uretra yang berada dalam bulbus penis ini memiliki pelebaran, sebagai fossa intrabulbar. Kulit penis orang dewasa sangat tipis dan berwarna agak gelap dan longgar (Johnston et al., 2000; Pangkahila, 2006; Gunardi, 2007).

(43)

Gambar 2.4 Penis Manusia (dikutip dari Moore and Agur, 2007)

2.6.2 Organ Erektil

Korpus penis terdiri atas tiga masa erektil panjang, yang mampu membesar bila terisi darah sewaktu ereksi. Korpus memiliki permukaan yang penamaannya didasarkan sewaktu ereksi; permukaan sebelah posterosuperior penis disebut dorsum penis dan aspek lawannya disebut permukaan uretral. Masa-masa erektil tersebut adalah korpora kavernosa kanan dan kiri serta korpus spongiosum penis yang letaknya di garis tengah permukaan uretral korpora kavernosa penis. Masa-masa erektil ini saling melekat erat pada seluruh

panjangnya. Tunika albuginia lapis luar menutupi ketiga masa jaringan erektil ini. Tunika albuginia lapis dalam menutupi korpora kavernosa penis dan terpisah dengan tunika albuginea lapis dalam yang menutupi korpus spongiosum. Ujung korpora kavernosa berada dalam cekungan pada aspek proksimal glans penis. Permukaan dorsal korpus penis berisi vena dorsalis penis profunda. Dari sini, ke

(44)

arah lateral kanan dan kiri, berturut-turut dijumpai arteri dorsalis penis dan nervus dorsalis penis (Gunardi, 2007).

Korpus spongiosum penis dilintasi uretra. Dekat ujung penis, korpus spongiosum membesar, membentuk bangunan semu kerucut yang disebut glans penis. Basis glans penis mempunyai proyeksi melebar yang disebut korona glandis; di belakang korona glandis ini terdapat penyempitan yang disebut kolum penis. Fossa navicularis urethrae berada dalam glans penis dan bermuara lewat celah sagital pada atau dekat apeks glans penis yang dikenal sebagai orificium

urethrae externum (Gunardi, 2007).

Kulit penutup glans penis terlipat, membentuk preputium penis. Bagian dalam lapis preputium ini dilekatkan pada glans penis dan tepi mukosa orificium

urethrae externum melalui sebuah lipatan mukosa di garis tengah yang disebut frenulum preputii. Sensitivitas kulit sekitar frenulum preputii sangat tinggi. Pada

korona glandis dan kolum penis dijumpai kelenjar-kelenjar sebasea yang menghasilkan smegma (Gunardi, 2007).

2.6.3 Struktur Mikroanatomi Penis

Korpora kavernosa merupakan jaringan berongga tersusun dari trabekula otot-otot polos dan saling berhubungan. Septum antara kedua korpora kavernosa mengandung banyak lubang yang memungkinkan aliran darah dari korpus kavernosum yang satu ke korpus kavernosum yang lain, sehingga secara esensial kedua korpora kavernosa merupakan kesatuan unit. Korpora kavernosa pada pria muda terdiri dari 40-52% otot polos, pada pria tua dengan corporal

(45)

veno-occlucive dysfunction (CVOD) terdiri dari 19-36% otot polos, dan pada pria

disfungsi ereksi mengandung 10-25% otot polos disertai peningkatan kolagen (Sakka and Yassin, 2010).

Tunika korpora kavernosa merupakan struktur bilayer dengan multipel sublayer. Lapisan bagian dalam terdiri dari jaringan berongga dan tersusun sirkuler. Lapisan luar tersusun longitudinal yang menentukan ketebalan dan kekuatan dari tunika. Sedangkan tunika dari korpus spongiosum tidak mempunyai lapisan luar, sehingga tekanannya rendah pada waktu ereksi dan mencegah kompresi uretra selama ereksi (Sakka and Yassin, 2010).

Gambar 2.5 Potongan Melintang Penis Manusia: U, uretra; CCU, korpus kavernosum uretra; CCP, korpus kavernosum penis; TA, tunika albuginea; SP, septum penis; V, pembuluh darah (dikutip dari Berman, 2003)

(46)

Gambar 2.6 Jaringan Erektil Penis, HA: arteri helicinae, S: sinus vaskular (dikutip dari Young and Heath, 2000)

2.6.4 Vaskularisasi dan Persarafan

Arteri yang mensuplai ruang-ruang kavernosa pada korpora kavernosa adalah arteri profunda penis dan cabang-cabang arteri dorsalis penis yang

menembus tunika albuginea sepanjang dorsum penis, terutama dekat glans penis. Pada tempat masuknya, arteri-arteri ini terbagi menjadi cabang-cabang pada trabecula dan cabang-cabang yang berkelok-kelok dan sedikit melebar yang disebut arteriole helicinae, yang bermuara ke dalam ruang kavernosa.

Aa.helicinae berlimpah pada daerah posterior korpora kavernosa. Korpus

spongiosum memperoleh darah dari arteri bulbi urethrae dan arteri urethralis (Gunardi, 2007).

Aliran darah vena penis lebih bervariasi dan kompleks dibandingkan dengan suplai arteri. Aliran darah dari ketiga korpora berasal dari venula yang

(47)

berada dekat tunika albuginea. Venula-venula ini membentuk vena emisari yang keluar dari tunika albuginea kemudian memasuki salah satu dari empat sistem utama aliran vena penis yaitu: vena dorsalis superfisialis, vena dorsalis profunda, vena kavernosa, dan vena uretra. Deybach berkesimpulan bahwa vena kavernosa merupakan vena yang utama pada korpora kavernosa, peneliti lain berpendapat bahwa aliran vena utama pada korpora kavernosa melalui vena dorsalis profunda (Tendean, 2004). Darah balik berkumpul pada vena dorsalis penis profunda dan berakhir pada plexus prostaticus (Gunardi, 2007).

Persarafan penis terdiri dari dua bagian, yaitu saraf otonom dan saraf somatik. Saraf otonom terdiri dari saraf parasimpatetik yang berasal dari segmen S2-S4 dan saraf simpatetik yang berasal dari segmen T10-L2. Saraf somatik bekerja melalui nervus pudendalis. Saraf simpatetik mencapai korpora, prostat, dan vesika urinaria melalui nervus hipogastrikus. Saraf parasimpatetik berasal dari

sacral erection center dan badan selnya yang teletak di dalam nuklei

intermediolateral S2-S4. Setelah keluar dari foramina sakralis, saraf ini menuju ke rektum sebagai nervus erigentes untuk mencapai pleksus pelvikus. Pada lokasi ini,

preganglionic fibers memancar di dalam ganglion dan postganglionic

nonadrenergic non-cholinergic (NANC) fibers melalui nervus kavernosus ke

dalam korpus kavernosum (Pangkahila, 2006).

Nitrit oksida (NO) dijumpai pada pleksus pelvis, saraf kavernosa, dan saraf terminal dari korpora kavernosa, cabang dari saraf dorsalis penis, dan pleksus saraf dekat arteri kavernosa profunda. NO adalah zat berbentuk gas yang dikeluarkan oleh sel-sel endotel yang menyebabkan vasodilatasi karena terjadinya

(48)

relaksasi otot polos vaskuler. NO bekerja secara parakrin pada sel-sel target. Dalam tubuh, waktu paruh NO hanya beberapa detik. Sintesis NO di dalam tubuh memerlukan NO synthase (NOS), yang mempunyai 3 isoform utama yaitu:

neuronal NOS (nNOS atau NOS I), inducible NOS (iNOS atau NOS II), dan endothelial NOS (eNOS atau NOS III) (Burnett, 2002). Pada saraf yang sama

ditemukan adanya NADPH (nikotinamide adenine dinukleotide phosphate

diaphorase), yang diperoleh dari hasil aktivitas nitrit oksida sintase (NOS) di

dalam neuron.

2.7 Tikus (Rattus norvegicus galur Wistar)

2.7.1 Karakteristik Tikus (Rattus norvegicus galur Wistar)

Tikus yang digunakan secara luas untuk penelitian di laboratorium adalah tikus putih yang berasal dari Asia Tengah. Terdapat beberapa galur yang memiliki kekhususan tertentu antara lain galur sprague-dawley yang berwarna albino putih berkepala kecil dan ekornya lebih panjang daripada badannya dan galur wistar yang ditandai dengan kepala besar dan ekor lebih pendek.

Tikus jarang berkelahi seperti mencit jantan, dapat tinggal sendirian dalam kandang, asal dapat mendengar dan melihat tikus lain. Jika dipegang dengan cara yang benar, tikus-tikus ini tenang dan mudah ditangani di laboratorium.

Pemeliharaan dan makanan tikus lebih mahal daripada mencit, tetapi karena hewan ini lebih besar daripada mencit untuk beberapa macam percobaan tikus lebih menguntungkan. Berikut ini adalah data biologis tikus (Kusumawati, 2004).

(49)

Tabel 2.2 Data Biologis Tikus

Karakteristik Ukuran

Berat badan

Jantan (gram) : 300-400

Betina (gram) : 250-300

Berat lahir (gram) : 5-6

Lama hidup (tahun) : 2,5-3

Temperatur tubuh (0C) : 35,9 - 37,5 Kebutuhan air (ml/100gBB) : 8 - 11 Kebutuhan makanan (g/100gBB) : 5

Frekuensi jantung (per menit) : 330 - 480 Frekuensi respirasi (per menit) : 66 -114

Tidal volume (ml) : 0,6 – 1,25

Pubertas (hari) : 50 - 60

Saat dikawinkan

Jantan (hari) : 65-110

Betina (hari) : 65-110

Lama siklus birahi (hari) : 4 - 5 Lama kebuntingan (hari) : 21 - 23 Jumlah anak perkelahiran : 6 - 12

Umur sapih (hari) : 21

2.7.2 Anatomi Penis Tikus

Pada beberapa mamalia termasuk tikus, penis sebagai organ kopulasi untuk mentransfer semen dari hewan jantan ke betina. Penis memiliki 3 jaringan erektil yaitu 2 korpora kavernosa yang terletak di bagian ventral di sisi kiri kanan penis dan satu korpus spongiosum yang terletak di bagian dorsal. Tiap korpus kavernosum dikelilingi oleh selapis membran tebal yaitu tunika albuginea yang terdiri dari ikatan-ikatan jaringan kolagen, jaringan fibrous, dan otot-otot polos. Bagian-bagian ini dipisahkan oleh endotel yang selanjutnya berhubungan dengan pembuluh darah (Kelly, 2000).

Penis memiliki jaringan tulang yang dinamakan os. Penis atau baculum.

(50)

bentuknya seiring dengan pertambahan usia hewan (Hafez, 1970). Baculum menempati 28% dari ujung distal penis, sedangkan korpus kavernosum

menempati sebagian besar panjang penis. Baculum dikelilingi oleh ruang vaskuler dari korpus spongiosum dan ujung proksimalnya berdempetan dengan bagian distal korpus kavernosum oleh selapisan fibrokartilago.

2.7.3 Gambaran Mikroskopis

Potongan melintang dari baculum dan korpus kavernosum memperlihatkan bahwa kedua struktur dipisahkan oleh selapisan jaringan fibrokartilago dengan ketebalan rata-rata 0,001 mm, serat-serat kolagen pada dinding korpus

spongiosum berbatasan langsung dengan baculum (Kelly, 2000).

Korpus kavernosum terdiri atas ruang-ruang vaskuler tunggal dan dikelilingi dinding tebal yakni tunika albuginea. Ruang vaskuler bentuknya agak elips, pada bagian ventral terdapat lekukan berbentuk tapal kuda yang dikelilingi oleh korpus spongiosum. Tunika albuginea terdiri atas serat-serat kolagen dalam bentuk ikatan paralel beraturan (Kelly, 2000).

2.7.4 Hormon Testosteron pada Mamalia

Fungsi biologis hormon testosteron pada mamalia adalah sebagai berikut: 1. Stimulasi pertumbuhan dan aktivitas sekresi dari organ-organ genital aksesori

jantan.

2. Perkembangan sifat karakteristik seksual sekunder jantan. 3. Turunnya testis.

(51)

4. Meningkatkan spermatogenesis bersama FSH.

5. Stimulasi proses anabolik dan sintesa dari sitoplasma protein. 6. Stimulasi pertumbuhan epifisa tulang rawan.

7. Perkembangan tingkah laku dan libido seksual jantan.

2.8 Aloksan

Aloksan atau 2,4,5,6 (1H,3H-pirimindintetron),

2,3-5,6-tetra-oksoheksahidropirimidin, mesoalilurea merupakan kristal berbentuk ortorombik. Aloksan pada suhu 2300C akan menjadi merah jambu dan terdekomposisi pada 2560C. Aloksan sangat larut dalam air, setelah kontak dengan kulit akan menjadi merah, larut dalam aseton, alkohol, asam asetat glasial, sedikit larut dalam kloroform, petroleum eter, toluen. Berfungsi untuk menginduksi diabetes pada hewan eksperimen. Terdapat tiga fase sesudah pemberian aloksan yaitu periode hiperglikemia dan hipoglikemia sementara diikuti hiperglikemia permanen dan gejala diabetes lainnya.

Kerja aloksan adalah secara langsung dan khas pada sel  pankreas dan sel tersebut mengalami degenerasi dan resorpsi, sel  relatif tetap dan tidak

dipengaruhi. Tikus hiperglikemik dapat dihasilkan dengan menginjeksikan 120 - 150 mg/kg BB Aloksan dapat diberikan secara intravena, intraperitoneal, atau subkutan pada binatang percobaan (Nugroho dan Puwaningsih, 2006; Filipponi, 2008).

(52)

BAB III

KERANGKA BERFIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Berfikir

Ereksi penis tergantung pada interaksi yang kompleks antara faktor psikis, neurogenik, vaskuler, dan hormon. Hormon testosteron mempunyai peran penting baik di tingkat pusat maupun perifer pada proses ereksi. Proses ereksi juga tergantung pada keseimbangan antara aliran darah yang masuk dan keluar dari korpus kavernosum.

Faktor saraf yang mempengaruhi mekanisme ereksi adalah stimulasi saraf parasimpatetik S2-S4 yang menimbulkan dilatasi arteriol dan relaksasi otot polos trabekula penis. Di pihak lain, stimulasi saraf simpatetik Th12-L2 mengakibatkan konstriksi arteriol dan otot polos korpus kavernosum yang menimbulkan

detumesensi dan fleksid penis. Ketika mengalami rangsangan seksual, impuls saraf menyebabkan pelepasan NO dari neuron parasymphatetic nonadrenergic

non cholinergic dan sel endotel korpus kavernosum. NO merupakan mediator

kimia yang terpenting untuk menimbulkan relaksasi otot polos korpus kavernosum.

Setiap gangguan pada salah satu komponen itu dapat menyebabkan disfungsi ereksi. Disfungsi ereksi bisa disebabkan oleh faktor fisik dan faktor psikis. Faktor fisik dapat dikelompokkan menjadi faktor endokrin, neurogenik, vaskulogenik dan iatrogenik. Disfungsi ereksi lebih sering terjadi pada penderita

(53)

diabetes melitus dibandingkan dengan populasi umum. Hipogonadisme,

autonomic neuropathy, dan arterial insuficiency dihubungkan dengan tingginya

kejadian disfungsi ereksi pada pria dengan diabetes melitus.

Pada pria diabetes melitus dengan disfungsi ereksi dijumpai kadar hormon testosteron yang rendah. Sensitivitas insulin, obesitas, dan testosteron saling terkait satu sama lain, dimana testosteron dapat menurunkan obesitas dan

resistensi insulin. Mekanisme kerja dari testosteron terhadap fungsi ereksi adalah melalui stimulasi sintesis NO dan sebagai vasodilator pada penis. Relaksasi dari jaringan erektil pada korpus kavernosum memerlukan NO.

Terjadinya neuropati sentral dan perifer, gangguan neurotransmisi, dan disfungsi endotel juga ditemukan pada pria diabetes melitus dengan disfungsi ereksi. Tahap akhir kerusakan jaringan penis adalah terjadi kehilangan yang progresif dari otot polos dan endotel yang normal dari korpus kavernosum diganti dengan jaringan fibrotik sehingga menyebabkan terjadinya disfungsi ereksi yang komplit. Kerusakan korpus kavernosum ini dapat dipulihkan salah satunya dengan pemberian terapi sulih testosteron, sehingga fungsi ereksi dapat menjadi lebih baik.

Berbagai faktor yang mempengaruhi fungsi korpus kavernosum dapat dibedakan menjadi faktor endogen antara lain: faktor saraf (neurogenik),

hormonal, pembuluh darah (vaskulogenik), dan faktor eksogen antara lain: trauma (iatrogenik), riwayat operasi, obat-obatan, dan life style. Terapi sulih testosteron termasuk faktor eksogen untuk pertumbuhan dan perbaikan struktur korpus kavernosum penis tikus diabetes melitus dengan induksi aloksan.

(54)

3.2 Konsep

Gambar 3.1 Konsep Penelitian

3.3 Hipotesis

Berpedoman pada konsep di atas, maka dirumuskan hipotesis penelitian adalah:

Terapi sulih testosteron meningkatkan ketebalan otot polos korpus kavernosum tikus wistar (Rattus norvegicus) diabetes melitus.

BAB IV TERAPI SULIH TESTOSTERON FAKTOR INTERNAL  Neurogenik  Hormonal  Vaskulogenik FAKTOR EKSTERNAL  Trauma (iatrogenik)  Riwayat operasi  Obat-obatan  Life style

Tikus Diabetes Melitus Ketebalan otot polos korpus kavernosum

(55)

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan Randomized

Pretest-postest Control Group Design (Pocock, 2008). Rancangan ini memiliki skema

sebagai berikut:

Gambar 4.1 Rancangan Penelitian

Keterangan:

P : populasi

S : sampel

R : randomisasi

O1,O3 : korpus kavernosum awal penis tikus pasca induksi aloksan enam minggu pada masing-masing kelompok

P0 : tikus diberikan plasebo (aqua pro injeksi) P1 : tikus diberi suntikan testosteron

O2 : korpus kavernosum setelah 3 minggu tanpa diberikan plasebo (9 minggu pasca induksi aloksan).

O4 : korpus kavernosum setelah 3 minggu diberi suntikan testosteron (9 minggu pasca induksi aloksan).

P P SS RR O O11 OO22 P P00 O O4 4 O O33 P P11 R R 39

(56)

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran dan Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana. Waktu Penelitian: April-Juni 2011.

4.3 Penentuan Sumber Data

4.3.1 Besar sampel

Besar sampel yang diperlukan dalam penelitian ini berdasarkan rumus Pocock (2008): 2σ2 n = _______ x f (α, β) 2 - µ1)2 Keterangan : n : jumlah sampel

σ : standar deviasi (SD) kelompok pretest kontrol µ1 : rerata nilai pada kelompok kontrol

µ2 : rerata nilai pada kelompok perlakuan α : tingkat kesalahan I (α = 0,05)

β : Tingkat kesalahan II (β = 0,1)

f (α,β) : besarnya didapat dari tabel Pocock = 10,5

Dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Musicki et al. (2005) terhadap fungsi ereksi tikus yang dibuat diabetes dengan induksi aloksan, didapatkan data:

1. Standar deviasi (δ) kelompok kontrol = 4,2 2. Rerata kelompok post kontrol (µ1) = 14,2

Gambar

Tabel 2.1 Kriteria Diagnosis DM
Gambar 2.2 Regulasi Sekresi dan Sintesis Testosteron: Aksis Hipothalamus- Hipothalamus-Hipofisis-Testis
Gambar 2.3 Efek testosteron terhadap fungsi ereksi (dikutip dari Sakka and  Yassin, 2010)
Gambar 2.4 Penis Manusia (dikutip dari Moore and Agur, 2007)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tracer Study akan bermanfaat dalam menyediakan informasi penting mengenai hubungan antara pendidikan tinggi yang dilaksanakan di prodi Pendidikan Fisika dan dunia kerja, menilai

Bilamana salah seorang pesero dinyatakan pailit atau ditaruh dibawah pengampuan atau karena apapun juga - tidak berhak lagi mengurus dan

”Sosiologi sastra yaitu suatu disiplin tanpa bentuk, tidak terdefenisikan dengan baik, terdiri dari sejumlah studi-studi empiris dengan berbagai percobaan pada teori yang

Biaya Kerja sama dengan sistem StartUpKit Happy Bear.. PERHITUNGAN BIAYA OPERSIONAL

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan petunjuk-Nya sehingga hanya dengan bimbingan, pertolongan dan kasih

Namun, dalam dunia modern saat ini, dalam mengukur suatu suhu sudah dapat dilakukan dengan cara yang mudah, yaitu dengan menggunakan sensor.. Salah satu sensor

Ketiga, bentuk puisi yang teratur pada beberapa puisi dalam kumpulan puisi Wakanashu ini juga berbeda dari puisi yang populer di masa itu yang cenderung berbentuk Haiku yakni

serta yang paling dicintai oleh baginda bahkan beliau juga seorang manusia luarbiasa yang memiliki ilmu bagaikan lautan, kefasihan lidahnya yang tiada bandingan sebagai seorang