• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ruang Kosong Dalam Perspektif Wacana Kritis.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Ruang Kosong Dalam Perspektif Wacana Kritis."

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

RUANG KOSONG

DALAM PERSPEKTIF WACANA KRITIS

Disampaikan dalam Seminar Bulanan Jurusan Sastra Sunda

Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran pada 11 Juni 2010

Oleh:

Asep Yusup Hudayat

FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS PADJADJARAN

(2)
(3)

1

RUANG KOSONG

DALAM PERSPEKTIF WACANA KRITIS

*

Oleh:

Asep Yusup Hudayat

Pengantar

Pembicaraan ruang kosong dalam perspektif wacana kritis ini dimaksudkan sebagai

sebuah celah penawaran pembacaan atas sejumlah teks yang dalam beberapa kondisi

pernah terkungkung oleh tradisi positivisme empiris. Tradisi positivisme empiris

menghendaki bahwa makna teks harus tunggal, utuh, dan selesai pada satu pemaknaan.

Pada kenyataannya, teks yang sama mampu “dibaca” secara berbeda oleh pembaca yang

berbeda-beda; bahkan oleh satu pembaca dalam kondisi yang berbeda-beda telah

dihasilkan pembacaan yang berbeda pula. Sambutan-sambutan yang terjadi berpangkal

dari aktivitas mereka dalam memproduksi kembali teks, salah satunya aktivitas mereka

dalam mengisi ruang-ruang kosong dalam teks. Di sinilah interaksi antara teks dan

pembaca menjadi lahan perbincangan analisis wacana kritis.

Wacana kritis yang dimaksud dalam kepentingan ini adalah cara bertutur yang

memberikan makna yang berasal dari pengalaman-pengalaman yang dipetik berdasarkan

perspektif tertentu (praktik kewacanaan menyangkut pemroduksian dan pengonsumsian

teks). Wacana ini berkontribusi pada pengonstruksian identitas, hubungan sosial, sitem

pengetahuan, dan makna.Dalam wilayah teks naratif, Teks tidak berada dalam kondisi

memberi tahu pembacanya secara menyeluruh. Teks sendiri memuat celah dan

kekosongan yang harus dirundingkan dalam tindakan pembacaan.

---

* disampaikan pada acara Seminar Jurusan Sunda Fakultas Sastra Universitas

(4)

2 Celah dan kekosongan dalam teks naratif secara tipikal membukakan hubungan

antara perspektif-perspektif tekstual, melalui: narator, tokoh-tokoh, alur cerita, dan

pembaca fiktif di dalam teks. Pembaca mengkoordinasi perspektif-perspektif yang

dipolakan tersebut. Namun, pembaca harus bereaksi tidak hanya kepada instruksi yang

diberi oleh kekosongan di dalam teks, tetapi juga kepada produk dari aktivitas

pengagasan mereka sendiri, kapan pun penanggunalangan atas celah dan kekosongan

diperlukan. Ketidaklengkapan penyingkapan atau ketaklangsungan apapun merupakan

potensi-potensi celah dan kekosongan teks.

Menyangkut wujud kosong atau celah teks tersebut, ruang-ruang pembacaan akan

semakin terbuka ketika wilayah-wilayah masa lampau menjadi bagian yang bersinergi

dengan aktivitas pembacaan dari pembaca kontemporer yang berada pada wilayah

sekarang. Hal tersebut dapat ditunjukkan melalui tanggapan-tanggapan pembaca atas

sejumlah karya sastra Sunda, misalnya terhadap novel Baruang ka nu Ngarora (1914)

dan Gogoda ka nu Ngarora (1951). Prolematis pembacaan tidak saja bersumber pada dua

karya yang berbeda yang ditempatkan dalam satu ikatan yang lekat karena Gogoda ka nu

Ngarora ditempatkan oleh pengarangnya sebagai lanjutan dari Baruang ka nu Ngarora,

tetapi juga banyak kemungkinan ketaklangsungan pengungkapan kedua karya tersebut

yang berhubungan dengan spirit kelas sosial atau negasinya menjadi hal yang menarik

untuk dihubungkan ke pembicaraan ruang-ruang kosong yang terkandung dalam kedua

novel tersebut. Pembicaraan ini tentu akan menjadi memadai saat teori respon estetik

yang dikemukakan wolfgang Iser digunakan dalam telaah ruang kosong ini.

Jangkauan Teoretis

Iser (2006: 9) menyebutkan tiga konsep utama menyangkut tujuan teori-teori

modern, yaitu: (1) struktur, (2) fungsi, dan (3) komunikasi. Teori-teori modern ini

menekankan pada hubungan-hubungan antarkarya seni, disposisi pembaca, dan (3)

kenyataan tentang konteks. Aksi komunikasi, keberhasilannya menurut Iser (1987: 107),

terletak pada sejauh mana teks menetapkan dirinya sebagai suatu korelat dalam kesadaran

pembaca. Hal ini artinya bahwa teks memberi tuntunan mengenai apa yang mesti

diproduksi, dan karenanya teks itu sendiri tidak bisa menjadi produk. Keberhasilan

transfer teks ke pembaca bergantung kepada keberhasilan teks mengaktivasi kapasitas

persepsi dan pengolahan pembaca individual. Dinamika tersebut ditunjukkan Iser (1987:

(5)

3 dimulai bila pembaca itu sendiri menjadi produktif, yakni bila teks memungkinkannya

untuk mengerahkan semua kapasitas yang dimilikinya. Sudah barang tentu, ada

limit-limit pada kesediaan pembaca untuk berpartisipasi. Limit-limit-limit ini akan terlampaui jika

teks membuat segala sesuatu terlalu jelas atau di lain pihak, teks terlalu kabur. Kebosanan

dan pemaksaan perhatian merepresentasikan kutub toleransi, dan dalam kasus pembaca

masing-masing mungkin akan membuat pilihan.

Berlandaskan teori pembaca dalam bagian model fenomenologikal Ingarden,

Wolfgang Iser (dalam Makaryk, 1993: 562-563) menuangkan kembali indeterminasi

dalam wujud kosong, atau celah ( leerstellen), di dalam teks tersebut. Kekosongan

menduduki suatu posisi pusat di dalam fungsi komunikatif karya sastra, penjelasan, dan

pembatasan peran pembaca. Di dalam interaksinya dengan teks, secara implisit, pembaca

digerakkan untuk memindahkan atau melengkapi berbagai hal yang kosong pada

beberapa tingkatan, dari hubungan yang paling sederhana di dalam alur cerita hingga

hubungan yang semakin kompleks, antara tema yang menonjol terhadap horizon yang

tersembunyi.

Tanggapan-tanggapan atas karya memang diprastruktur oleh tiga komponen

dasar (Iser, 1987: 36), yaitu (1) perspektif-perspektif berbeda yang terepresentasi di

dalam teks, (2) sudut pandang yang perspektif-perspektifnya dipersatukan oleh pembaca,

dan (3) tempat pertemuan perspektif-perspektif tersebut.

Menurut Austin (Iser, 1987: 55-56), dua bentuk dasar ucapan bahasa adalah

konstatif dan performatif. Bentuk pertama membuat pernyataan-pernyataan tentang fakta,

dan harus diukur dengan kriteria-kriteria kebenaran dan ketidakbenaran. Bentuk kedua,

menciptakan satu aksi yang dapat diukur dengan standard-standard keberhasilan atau

kegagalan. Menurut Iser (1987: 59), sesungguhnya tidak akan pernah ada interaksi

diadik apa pun jika speech-act tidak melahirkan indeterminasi-indeterminasi yang perlu

diresolusi. Indeterminasi inilah yang memberikan nilai estetik dinamis kepada teks (1987:

70). Kondisi teks yang tidak penuh (terdapat tempat kosong) inilah yang membuat teks

mampu muncul dalam pembacaan yang beraneka ragam (Chamamah, 2001: 148).

Terdapat dua struktur indeterminasi di dalam teks, yaitu kekosongan dan negasi. Dua

struktur tersebut merupakan kondisi esensial untuk komunikasi antara teks dan pembaca

yang sampai tingkat tertentu terjadi pengaturan untuk keduanya (Iser, 1987: 182).

Meskipun konsep indeterminasi Iser mendapat kritikan dari Gerhad Kaiser

(6)

4 dikemukakan Kaiser. Bagi Kaiser, konsep indeterminasi Iser menggiring kebebasan

pembaca untuk merealisasikan, atau melengkapi bagian-bagian indeterminasi menurut

proyeksinya sendiri yang bersifat subjektif. Atas pandangan tersebut, Iser menjelaskan

bahwa bagian-bagian indeterminasi merupakan kondisi-kondisi bagi proses komunikasi

sebuah teks, dan hal itu bukan kualitas konstitutif efek estetis. Sebagai kondisi bagi

proses komunikasi, indeterminasi pada prinsipnya memerankan dua fungsi: (1) menandai

hubungan skema tekstual karena ikatan itu sendiri tidak diberikan dan (2) dalam suatu

teks literer dunia diciptakan untuk pembaca dari perspektif yang berubah-ubah. Pada

fungsi pertama, tugas pembaca adalah menyusun ikatan-ikatan yang hilang, tidak

sekehendak hati, berdasarkan “pengalaman dan pengharapan hidup” miliknya, tetapi

berdasarkan kesesuaiannya dengan struktur tekstual. Adapun fungsi kedua mendorong

pembaca untuk menghubungkan dua perspektif konstitutif agar cocok dengan struktur

tekstual.

Konsep-konsep dasar respon estetik yang dikemukakan Iser tersebut merupakan

landasan terpenting untuk memahami ruang-ruang kosong pada kedua novel yang

dijadikan bahan telaah pada makalah ini. Aktivitas interpretasi dalam pembacaan

ruang-ruang kosong ditujukan untuk menjembatani keterbatasan interpretasi sebelumnya

menyangkut kedua karya tersebut. Dengan demikian, pendekatan wacana kritis pun

menjadi bagian yang menopang kepentingan tersebut. Pendekatan wacana kritis yang

cukup relevan dengan penerapan respon estetik adalah wacana kritis yang dikemukakan

Fairclough.

Pendekatan Fairclough intinya menyatakan bahwa wacana merupakan bentuk

penting praktik sosial yang mereproduksi dan mengubah pengetahuan, identitas dan

hubungan sosial yang mencakup hubungan kekuasaan dan sekaligus dibentuk oleh

struktur dan praktik sosial yang lain (Jorgens & Philip, 2007: 122-123). Dengan

demikian, tiga dimensi tataran komunikatif yang dikemukakan Fairclough menyangkut:

tataran teks, praktik kewacanaan, dan praktik sosial memiliki kesepadanan dengan

dimensi repertoar, strategi, dan realisasi pembacaan yang dikemukakan Iser.

Baik Fairclough maupun Iser keduanya menempatkan teks sebagai lahan pertama

dan utama pembacaan. Dimensi praktik kewacanaan Fairclough (menyangkut

pemroduksian dan pengonsumsian teks) relevan dengan realisasi pembacaan dalam

konsep Iser. Kegiatan pembacaan untuk menghasilkan sejumlah interpretasi tersebut

(7)

5 sejumlah jawaban atas pertanyaan: dalam kondisi apa sehingga dapat memiliki makna

bagi pembacanya?

3. Ruang-ruang Kosong dalam Perspektif Wacana Kritis

Teks GN tidak berada dalam kondisi memberi tahu pembacanya secara

menyeluruh. GN sendiri memuat celah dan kekosongan yang harus dirundingkan dalam

tindakan pembacaan. Celah dan kekosongan GN membukakan hubungan antara

perspektif-perspektif tekstual, melalui: narator, tokoh-tokoh, alur cerita, dan pembaca

fiktif di dalam teks. Pembaca GN mengkoordinasi perspektif-perspektif yang dipolakan

tersebut. Namun, pembaca harus bereaksi tidak hanya kepada instruksi yang diberi oleh

kekosongan di dalam teks, tetapi juga kepada produk dari aktivitas pengagasan mereka

sendiri, kapan pun penanggunalangan atas celah dan kekosongan diperlukan.

Ketidaklengkapan penyingkapan, baik dalam BN maupun GN, merupakan potensi

yang terhubung kepada permasalahan celah dan kekosongan teks. Pembaca yang

membaca kedua karya tersebut, secara berurutan dimulai dari BN ke GN, tentulah akan

menjadikan BN sebagai bagian reportoar yang terkandung dalam GN.

Menyangkut wujud kosong atau celah teks tersebut, sebagai pembaca BN,

Salmun mengatasi berbagai hal yang kosong dalam BN melalui GN. Jika Salmun melihat

kekosongan nyata dalam BN berpusat pada akhir cerita BN dan ia menganggap BN perlu

diselesaikan dengan membela kebenaran, maka Salmun, dalam GN, cukup banyak

memberi ruang-ruang interpretasi baru, sehubungan dengan tersedianya celah-celah dan

kekosongan-kekosongan dalam GN. Ruang-ruang yang dimaksud dapat dijajaki dari

ketaktersediaan teks GN yang menempatkan sejumlah masalah menyangkut kelas sosial,

pandangan-pandangan tokoh dan naratornya, serta hal-hal yang ditunjukkan dengan jelas

oleh pengarang, atau bahkan hal-hal yang sengaja disembunyikan. Berikut ini uraian

menyangkut celah-celah dan kekosongan-kekosongan teks, yang mengaktivasi pembaca,

yang menempatkan GN sebagai karya yang tak akan pernah kehilangan sifat inovatifnya,

bagi pembaca-pembaca yang berlainan. Empat subbab berikut ini mendeskripsikan upaya

(8)

6 Sunda-Palembang

Tidak satu pun kata “Sunda” secara eksplisit dimunculkan dalam BN. Namun,

sejumlah indikasi menunjukkan bahwa Ujang Kusen beserta keluarganya dapat

ditempatkan ke dalam identitas kesundaan. Indikasi-indikasi yang menunjukan

kemungkinan tersebut dapat dicermati melalui bahasa yang digunakan, pakaian,

lingkungan, adat lamaran dan pernikahan, dan sejumlah adat perilaku lain yang

menyertainya. Hal ini menjadi problematik bagi pembaca BN yang kemudian

melanjutkan pembacaannya kepada GN. Di dalam GN, Haji Samsudin, ayah Ujang

Kusen, dinyatakan Salmun sebagai orang Palembang. Pernyataan tersebut sekaligus

mengaktivasi pembaca GN untuk kembali mengingat peristiwa dalam BN. Dorongan

tersebut membuahkan efek nyata bagi pembaca. Efek ini dihasilkan oleh upaya pembaca

yang menemukan ekuivalensi di dalamnya. Upaya tersebut tentu dalam kepentingan

mengatasi celah teks yang dimaksud.

Celah dalam mempertemukan kesepakatan, antara teks dan pemahaman pembaca

ini, dapat terwaliki oleh kemungkinan ditafsirkannya keluarga Ujang Kusen sebagai

orang Palembang karena satu peristiwa di dalam BN menunjukkan hal yang dianggap

relevan dengan hal itu. Kutipan berikut menunjukkan indikasi yang dimaksud.

Pandeurieun panganten gendjring Palembang ditema ku aleutan anu ngiring, nja eta ondangan tea sakur anu ngarora.... (BN, 1950: 21)

Di belakang pengantin, ada genjring Palembang diikuti oleh iring-iringan

yang mengikutinya, yaitu para undangan yang masih muda.

Namun, hal itu tidak cukup menunjukkan bahwa Ujang Kusen berasal dari

Palembang. Pakaian pengantin Sunda yang dikenakan Ujanag Kusen dan mempelai

wanitanya cukup memberi peluang Ujang Kusen untuk ditempatkan sebagai orang Sunda

meskipun tradisi mengikuti pakaian pengantin wanita, masih menunjukkan kemungkinan

lainnya jika Ujang Kusen tidak satu suku dengan mempelai wanitanya.

Di dalam GN, catatan kaki Salmun menggiring pembaca ke upaya mencari satu

(9)

7 termasuk Ujang Kusen, adalah orang Palembang. Penyebutan Tuan oleh Asta kepada Haji

Samsudin, Salmun memberi catata kaki sebagai berikut.

Orang Sunda dulu menyebut lelaki yang dihormat yang bukan asli orang Sunda dengan sebutan “Tuan”. Adapun Haji Samsudin sekeluarga termasuk menantunya adalah orang Palembang. Yang mudanya biasa dipanggil Asep atau Ujang (GN, 1966: 34)

Tentu saja, celah tersebut akan berimplikasi kepada bagaimana pembaca

melakukan sejumlah reaksi. Di satu sisi, pembaca harus mempertalikan GN kepada BN

karena sejumlah narasi dan catatan kaki menghendaki itu. Di sisi lain, pembaca sendiri

diaktifkan untuk menjangkau perspektifnya berdasarkan daya bacanya atas kondisi

tersebut. Bagi pembaca kontemporer, upaya re-evaluasi norma-norma yang terkandung

dalam repertoar GN, antara sosok Sunda dan Palembang, akan membuat pembaca

melepaskan norma-norma ini dari konteks kultural dan sosialnya. Kemudian pembaca

akan merekognisi limitasi-limitasi efektivitas norma-norma tersebut di dalam teks. Dua

suku bangsa tersebut tidak secara eksplisit dipertalikan Salmun sehingga di dalamnya

tidak secara potensial menunjukkan evaluasi Salmun atas norma-norma yang mengikat

kedua Suku tersebut. Dengan demikian, pembaca GN dapat merekonstruksi konteks

sosial dan kultural, berdasarkan arahan dominan teksnya, yaitu sebatas menyangkut

kehidupan tokoh-tokoh berlatar kelas sosial yang berbeda dan segala konflik yang terjadi

di dalamnya.

Kampung Pasar – Bandung

Begitu banyak elemen narasi yang dieksplisitkan ke dalam banyak peritiwa di

dalam GN. Nama tempat, yang terhubung ke dalam realitas faktual sangat sedikit

dimunculkan di dalam BN. Hal itu pun masih menempatkan nama-nama tersebut ke

dalam kemungkinan yang tidak seutuhnya berpotensi memiliki rujukan faktualnya. Di

dalam BN, nama-nama tempat yang disebutkan secara eksplisit adalah Kampung Pasar

dan Kampung Sekeawi. Kampung Pasar mewakili wilayah kota. Adapun Sekeawi

mewakili wilayah desa. Berikut ini deskripsi tempat-tempat yang dimaksud.

(10)

8 Malam Senin tanggal 14 bulan hapit 1291, di rumah Tuan Haji Abdul Raup, di Kampung Pasar, tampak begitu hangat suasananya. Tidak seperti biasanya. Sepertinya ada hal yang khusus.

Berbeda dengan BN, di dalam GN nama-nama tempat ditunjukkan secara jelas

dengan deskripsi pemetaan lokasinya. Narator begitu rinci menunjukkan bahwa keluarga

Nyi Rapiah, Aom Usman, dan keluarga Ujang Kusen berada di kota Bandung.

Penunjukkan ini banyak ditemukan melalui deskripsi menyangkut Pasar Baru, alun-alun

kabupaten, jalan Pungkur, jalan Kepatihan, Gedung Concordia, Braga, toko Cavadino,

jalur kereta api sepanjang Bandung-Batawi, Banceuy, Hotel Preanger, Hotel Homan,

Jalan Tamblong, Kebonkalapa, Balubur, dan sebagainya.

Menyangkut kelengkapan tempat tersebut di dalam GN, pembaca yang sudah

berada dalam perspektif pengetahuan mengenai Bandung, secara faktual, akan tidak saja

menghubungkan kepentingan Salmun memilih kota tersebut sebagai latar tempat

penceritaannya, melainkan juga akan menemukan potensi-potensi di dalamnya yang

menyangkut wawasan tokoh yang dibesarkan di lingkungan kota tersebut, pergerakan

sosialnya, gaya hidup, atau bahkan dunia pelacurannya. Salah satu kutipan berikut ini

menunjukkan bagaimana hubungan lingkungan kota terhadap potensi wawasan Nyi

Rapiah sebagai penduduknya.

Bubuhan Nji Rapiah teh urang dajeuh, loba deudeuleuan-dedengean djeung sanadjan enja ge awewe ropoh pager, ipis bendungan, da ari hatena mah tjaang, pikirna njaring boga bakat tjalakan. Ditambah, sanggeus sering pulang anting ka Nji Dampi, tjampur djeung “kakasihna” nonoman baleunghar, palinter djeung rea nu boga bakat demokratis – make ukuran taun 1875!- kusial bae rasa pangaribawana hudang awas atra kana susunan masarakat. Bet rea kateuadilan! Naha bet masarakat kudu njieun golongan djelema diumpak-umpak, dikelas-kelas? Naha bet make aja golongan menak, aja golongan somah? Naha bet ari nu disarebut menak kudu dienak-enak, diagung-agung, dipundjung-pundjung. (GN, 1966: 69)

(11)

9 Menyangkut nama tempat secara eksplisit tersebut, upaya mengatasi celah-celah

teks, yang muncul karenanya, adalah lebih bersinggungan dengan masalah bagaimana

pembaca merekonstruksi imajinasinya sehubungan dengan sejumlah deskripsi yang

membatasi reaksi pembacanya. Persinggungan tersebut berpusat pada narasi GN yang

menghubungkan masa penceritaan (1870-1880-an) dengan masa diciptakannya karya

(1950-an). Salmun selalu menempatkan fakta cerita yang menyangkut tempat-tempat

yang dimunculkannya ke dalam perspektif kekiniannya. Dengan demikian, sebenarnya

pembaca pun, akhirnya, menerima efek dengan kondisi penceritaan tersebut karena ia pun

mengomposisikan fakta-fakta tersebut berdasarkan perspektif yang dimilikinya, baik

berada dalam maupun di luar wilayah-wilayah penceritaan GN. Pembaca yang

mengetahui tempat-tempat yang dimaksud secara faktual akan memiliki reaksi, dalam hal

mengimajinasikan peristiwa-peritiwa di dalamnya, yang berbeda dengan pembaca

lainnya, yang di satu kondisi kehilangan momen untuk mencari rujukan di

peristiwa-peristiwa yang dianggap khusus dan sukar dicari rujukannya. Misalnya untuk jenis

pembaca yang kehilangan moment rujukan, tempat pelacuran yang dideskripsikan di

dalam GN dengan segala karakteristiknya, celah-celah teks di dalamnya hanya bisa

diatasi dengan mengoptimalkan imajinasi pembaca.

Pelacuran

Peristiwa-peristiwa yang terhubung ke dalam praktik pelacuran, di dalam GN,

sebenarnya merupakan area pusat yang sengaja dipilih Salmun. Dalam hal ini, secara

leluasa, Salmun menghubungkan semua area yang ditempati masing-masing kelompok

kelas sosial: menak-santana-cacah. Area pelacuran merupakan area yang dapat dijangkau

oleh semua golongan kelas sosial. Dengan demikian, bagi Salmun, area ini cukup efektif

untuk menempatkan tokoh-tokoh dari semua golongan tersebut ke dalam sejumlah

penilaiannya menyertai sejumlah perilaku yang ada di dunia pelacuran tersebut.

Meskipun judul GN merujuk kepada pengertian eksplisit bahwa yang menjadi

godaan bagi muda-mudi adalah mim pitu, tetapi pusatnya adalah kesenjangan kelas sosial

antara menak dan cacah. wilayah pelacuran dipilih Salmun sebagai mediasi sekaligus

area pelarian dan kebangkitan sebagian tokoh-tokohnya. Melalui area ini pula, Salmun

mengefektifkan pengungkapan sejumlah norma ideal yang terhubung ke setiap kelas

sosialnya.

Pergerakan Nyi Dampi, dari kalangan cacah, telah berhasil memasuki semua

(12)

10 Tidak saja kaum pribumi yang memanfaatkan tempat tersebut, tetapi juga para

indo-Belanda. Dalam hal ini, Salmun menempatkan Nyi Rapiah sebagai tokoh yang mampu

menerima dan memasuki kehidupan mereka sekaligus ia mampu menerima sejumlah

pengalaman baru, termasuk tentang spirit menuntut keadilan.

Bagi pembaca, sejumlah deskripsi rinci, menyangkut segala kehidupan yang

dikisahkan narator tentang pelacuran tersebut, menyisakan banyak celah. Norma-norma

yang sulit ditemukan rujukan faktualnya menyangkut strategi persembunyian lokasi

pelacuran menyebabkan dijalankannya imajinasi pembaca untuk menjangkau itu. Dua

kondisi lokasi pelacuran yang berbeda, ditandai dengan lentera merah dan yang tidak

ditandai, menggiring pembaca kepada dua perspektif yang berbeda, yaitu menyangkut

penyembunyian dan penunjukkan. Penunjukkan lokasi pelacuran dengan lentera merah,

setidaknya, membuat pembaca mampu menghubungkan kepentingan di dalamnya, tidak

saja bagi aparat keamanan yang ingin membebaskan masyarakatnya dari kehidupan

tersebut, tetapi juga penegasan lokasi tersebut yang malah bisa diakses secara langsung

oleh orang-orang yang berkepentingan dengan lokasi tersebut. Hal ini lebih didasarkan

pada pembatasan teks yang menunjukkan bahwa tanda tersebut untuk menghindarkan

orang baik-baik memasuki area tersebut. Menyangkut area pelacuran yang tersembunyi,

pembaca dihadapkan kepada pemahaman substansi terhadap lokasi tersembunyi dan

orang-orang yang terlibat di dalamnya. Berikut ini kutipan teks GN yang menunjukkan

dua kondisi tersebut.

Geusan ngadjaga supaja nu balageur teu kaganggu ku nu balangor, eta nu balangor teh dilarang matuh di kampung-kampung djalma balageur, malah dihadja diajakeun panonobanana make ditjirian ku lantera beureum digantungan di tepas; dilarang keras kalawan diantjam hukum berok lamun aja nu ngulajaban, ngalantrah neangan jalan.

(13)

11 Untuk menjaga agar yang baik-baik tidak terganggu oleh para pelacur, para

pelacur dilarang bermukim di kampung-kampung tempat orang-orang baik. Malahan

sengaja tempat-tempat kediamannya diberi tanda dengan lentera merah yang

digantungkan di terasnya. Dilarang keras serta diancam hukum penjara jika ada yang

berkeliaran mencari jalan.

Tapi karena manusia banyak akalnya, polisi susila selalu saja kecolongan sebab

para pelacur ketika keluar suka menyamar. Sebagian ada yang menyamar seperi

agan-agan, berdandang serba seperti menak dengan mengapit tempat menginang segala rupa.

Jika tidak demikian, meniru bak nyi haji, memakai kerudung segala. Ada pula yang

berpakaian sederhana saja, menuntun anak, agar disangka sedang mengantar. Tetapi bagi

santri piawai, meski menyamar jadi agan, berganti menjadi nyi haji atau menyamar jadi

babu, tetap saja tampak. Katanya akan tampak dari gerak-geriknya matanya, tampak dari

lenggangnya. Katanya lenggangnya seperti mempersilahkan, anggun menunduk tapi

sebenarnya mengajak, ketika memalingkan muka seperti benci, bukan berpaling benci

tapi isyarat agar segera diikuti.

Salmun memilih menggunakan topeng religi untuk menyembunyikan lokasi

pelacuran yang dimiliki Nyi Dampi. Sebuah paradok yang dilekatkan Salmun dalam

upaya memberi atmosfir kuat bagi penyembunyian yang dimaksud. Dalam hal ini,

pembaca harus menarik kesimpulan atas paradoks tersebut. Setidaknya yang dapat

dipahami pembaca adalah bahwa paradoks tersebut menolong memberikan penekanan

akan arti penting sebuah penyembunyian. Berikut ini adalah kutipan teks BN yang

menunjukkan paradoks yang dimaksud.

Di tepas, aya sawatara rekal, di djuru njotjok gulungan samak, di luhurna erak tempat kitab-kitab. Ditendjo ti luarna mah, tjek saha lain imah paranti diadjar ngadji, komo dumeh bilikna dipapaes ku lapad, gambar burak djeung gambar kabah. Da djeung enjana, ari ti peuting mah, lamun sore keneh, di tepas Nji Dampi teh reang ku barudak dialajar ngadji, diguruan ku Haji Gombel – kawasna mah lain hadji enjaan, da bedjana leuwih apal kana balak batan kana manasik; leuwih njaho kana ledot batan tawaf -. Mun ti beurang, meudjeuhna lalaki-lalaki djarongdjon di pagaweanana atawa pausahaanana, sok rea awewe ngarora djeung urang asing nu baleunghar, boh anom-anom ti kontrakan, boh babah-babah ti kalangan sudagar daratang ka imah Nji Dampi. Kalan-kalan sok aja oge bangsa urang, tapi rada tjarang, kawasna dompetna bangsa urang mah kurang padet. (GN, 1966: 58-59)

(14)

12 bukan saja tempat mengaji, apalagi biliknya dihiasi lafadz, gambar buraq dan gambar ka’bah. Benar adanya kalau malam. Jika masih sore, di teras Nyi Dampi terdengar banyak anak-anak yang sedang belajar mengaji, gurunya adalah Haji Gobel. Sepertinya bukan haji sebenarnya. Kabarnya, ia lebih hafal kepada balak daripada tentang manasik. Lebih tahu mengenai ledot daripada tawaf. Jika siang, saat para lelaki biasanya tenang di tempat pekerjaan atau perusahaannya, biasa banyak pemudi dan orang asing yang kaya, baik anom-anom dari kontrakan maupun babah-babah dari kalangan saudagar berdatangan ke Rumah Nyi Dampi. Kadang-kadang ada juga bangsa kita, tetapi jarang; sepertinya dompet bangsa kita yang kurang tebal.

Hal-hal yang ditunjukkan secara langsung di dalam BN, menyangkut sikap Nyi

Rapiah terhadap kalangan menak, menjadi paradoks pula bagi penyembunyian

keterlibatan orang-orang di dalam dunia pelacuran. Ini akan berimplikasi kepada struktur

pemikiran pembaca secara lebih luas. Di satu sisi, pembaca memahami bahwa dunia

pelacuran dalam GN memberi alasan, secara tidak langsung, bagi terjangkaunya kalangan

menak ke dalam dunia seperti itu sehingga kalangan menak ditarik ke area “hina”. Di sisi

lain, secara substansi kesenjangan kelas sosial yang menjadi jiwa cerita GN, harus

pembaca cari di setiap permukaan yang menampilkan kehidupan pelacuran. Teks berikut

ini menunjukkan latar pelacuran yang melibatkan Nyi Dampi dan banyak orang di

dalamnya, dari berbagai kelas sosial.

Upama pareng aja nu naja, rek naon Nji Anu atawa Neng Anu ka imahna. Nji Dampi aja bae djawabna. Magar teh nu menta dipangdjualkeun geulang, nu menta dipajukeun samping, nu menta asihan, nu diaku baraja bae djeung djaba ti eta. Ari anom-anom djeung babah-babah, magarkeun teh ngilikan berlian, urusan dagangan, neangan pibabueun jeung djaba ti eta. Kabeh nu nanja biasana pertjaja bae. Ari tatangga, puguh ku Nji Dampi dikanjahokeun kabutuhna, aja nu dibandjel urusan dapurna, aja nu diruruba ku lungsuran, aja nu dipangdjeudjeuhkeun kaperluanana djeun djaba ti eta, atuh kabeh ge balem. Djaba ti di unggal djalan parapatan ka imahna neundeun tjalo purah mere isarah mun aja nu rek ngagaradah teh, di kalangan pulisi oge Nji Dampi teh masang usung-esangna. Teu pertjumah djurutulis sakaut disamping weuteuh unggal bulan atawa ganti badju lena opat bulan sakali teh, mun lain panjogok ti Nji Dampi. Djaba ari agen-agen mah, sasat kabeh geus ngasaan bako tampang “Ibu Empi”. Tjindekna pikeun djaman harita mah, “pausahaan” Nji Dampi teh pohara rikip tur limitna. (GN, 1966: 58-59)

(15)

13 yang dipenuhi urusan dapurnya, ada yang disogok dengan bekas pakaiannya, ada yang diuruskan keperluanya dan lainnya. Tentu semuanya pun tutup mulut. Selain itu, di tiap jalan perempatan menuju rumahnya, ia menyimpan calo untuk memberi isyarat jika akan ada yang memeriksa. Di kalangan polisi pun, Nyi Dampi memasang bala bantuannya. Tidak akan percuma jurutulis sakaut mengenakan kain samping baru tiap bulan atau ganti baju lena empat bulan sekali. Itu semua sogokan dari Nyi Dampi. Apalagi kalau agen-agen, semua sudah merasakan tembakau tampang “Ibu Empi”. Kesimpulannya untuk zaman itu, “usaha” Nyi Dampi begitu rapi, licin, dan halus.

Kutipan di atas menjadikan rumah pelacuran milik Nyi Dampi yang tersembunyi

dapat dihubungkan ke lapisan substansial sesungguhnya, yaitu upaya GN memasukkan

semua kelas sosial ke dalam koridor pertemuan yang sama. Keterhubungan mereka di

koridor tersebut akan menghasilkan bentuk-bentuk persinggungan antara afirmasi yang

terhimpun dalam BN dan interogasi dan intimidasi GN terhadap BN. Dalam hal ini,

pembaca akan memperhitungkan kontinuitas secara tematis di setiap peristiwa yang

mengandung potensi persinggungan yang dimaksud sehingga celah-celah lain kembali

muncul dan kembali terhubung ke dalam upaya pembaca mengatasi celah atau bahkan

kekosongan baru, misalnya menyangkut hubungan Indo-Belanda dengan kaum pribumi.

Indo-Belanda dan Pribumi

Ruang-ruang narasi yang direntangkan Salmun dari awal sampai akhir kisah

masih menempatkan secara stereotip tokoh-tokoh di dalamnya. Hal ini terbukti dari tidak

dimunculkannya tokoh-tokoh orang Belanda - bukan Indo-Belanda - dan menak luhung

‘tinggi’ ke dalam area tersebut. Hal ini bukan berarti bahwa alasan Salmun yang

bermaksud melakukan pengungkapan dan evaluasi terhadap tokoh menak dan cacah

dapat disepakati pembaca. Bagi pembaca, ketidakhadiran ini sebagai kekosongan teks.

Pembaca akhirnya dapat kembali menemukan celah-celah teks menyangkut tokoh-tokoh

yang dinyatakan narator sebagai Indo-Belanda. Hal ini tidak saja terikat kepada

peristiwa-peristiwa di tempat pelacuran atau yang terhubung ke dalamnya, tetapi juga

sampai ke kungkungan stereotipe menyangkut penguasa atau bahkan harkat sebuah

bangsa.

GN telah menunjukkan dengan cukup problematis kehadiran tokoh-tokoh

Indo-Belanda di dalam lingkungan kaum pribumi. Menyangkut hal ini, Salmun telah

(16)

Indo-14 Belanda sebagai tokoh-tokoh yang ditonjolkan dalam hubungannya dengan kaum

pribumi. Ia menempatkan sebagian tokoh Belanda, yang selanjutnya diperjelas pada

bagian lain, sebagai orang Indo-Belanda. Tentunya, pada sepanjang momen pembacaan,

pada akhirnya, hal tersebut mampu membuka celah-celah teks untuk diatasi pembacanya.

Setidaknya, hal ini bisa tampak pada peristiwa-peristiwa yang memunculkan

pandangan-pandangan narator menyangkut kesenangan kaum pribumi memasuki kehidupan kaum

Belanda. Kutipan berikut menunjukkan potensi celah teks BN yang dapat digunakan

pembaca untuk mengatasi sejumlah celah menyangkut hubungan kaum pribumi dengan

Belanda.

Heuleut tilu poe ti harita di imah Hadji Samsudin aja hadjat rongkah, nu diondang djaba ti baraja-baraja, babakuna sobat-sobat Udjang Kusen; sumawonna anu kanjahoan loma, anu ngan ukur kabedjakeun wawuh munding oge, boh bangsa urang, boh Walanda, Tionghoa atawa Arab dihadja diondang. (GN, 1966: 32)

Selang tiga hari semenjak itu, Haji Samsudin mengadakan syukuran besar-besaran. Selain saudara-saudaranya terutama sahabat-sahabat Ujang Kusen, yang diundang pun tak ketinggalan orang-orang yang hanya sebatas kenal biasa saja, baik bangsa kita maupun bangsa Belanda, Tionghoa, atau pun Arab.

Kutipan tersebut memberi peluang kepada pembaca untuk menghimpun secara

skematik hubungan-hubungan secara lebih lengkap menyangkut tokoh-tokoh di

dalamnya. Hubungan yang dimaksud, tentunya, mampu mendorong imajinasi pembaca

untuk sampai kepada penghimpunan satu peristiwa yang dapat melampaui pemberian teks

itu sendiri. Hal ini dapat ditinjau melalui cara teks di atas menunjukkan satu hubungan

yang sekaligus mengindikasikan adanya pembatasan hubungan. Orang-orang asing yang

diundang Haji Samsudin dalam acara syukuran, tidak dinyatakan sebagai bagian yang

dekat dengan kehidupan keluarga Haji Samsudin secara emosional. Teks tersebut hanya

menunjukkan bahwa orang asing, termasuk orang Belanda yang diundang, adalah

orang-orang yang dikenal Ujang Kusen secara sepintas saja. Namun, potensi tersebut masih

akan menggiring pembaca ke dalam penemuan celah-celah baru yang bersinggungan

dengan kehadiran orang-orang Indo-Belanda di dalam lingkungan kaum pribumi.

Salmun menunjukkan pembatasan hubungan yang dimaksud dengan

menempatkan tokoh-tokoh pribumi semakin dekat dengan kaum Indo-Belanda; begitu

juga sebaliknya. Hal tersebut dipertimbangkannya untuk membawa kaum pribumi kepada

(17)

15 Perubahan Nyi Rapiah menjadi percaya diri dengan sikap-sikapnya ditunjukkan narator

sebagai akibat dari orang Indo-Belanda yang dekat dengannya. Celah yang ditunjukkan

teks berikut ini berpangkal pada status Indo-Belanda dalam sejumlah persepsi

menyangkut hubungan dan tempatnya di antara kelompok-kelompok sosial lainnya.

...Tjindekna mah Nji Rapiah teh dibobotohan weh. Meudjeuhna gede hate ge, da boga panjalindungan Walanda, paranakan-paranakan ge, mangkaning Walanda teh djaman harita mah, weu, lain lumajan diarambeuanana. (GN, 1966: 75).

Nyi Rapiah itu memanglah disemangati oleh Luih. Wajar saja jika dia berbesar hati karena punya perlindungan orang Belanda meski hanya peranakan saja; apalagi zaman itu Belanda bukan lumayan lagi, begitu mendapat tempat.

Melalui narator, pembaca diarahkan untuk mengisi celah teks menyangkut status

peranakan. Teks tersebut menunjukkan kualitas hubungan secara berbeda. Narator

mengatakan bahwa cukuplah bagi Nyi Rapiah untuk berbesar hati karena ada orang

Belanda yang bisa diandalkan. Namun, narator kemudian menyebutkan bahwa kondisi

yang dimiliki Nyi Rapiah dapat terwujud meski hanya melalui sosok peranakan saja.

Narator masih menempatkan keberuntungan Nyi Rapiah karena mendapatkan sejumlah

pengalaman hidupnya dari seorang peranakan Belanda. Pandangan tersebut juga dapat

dilihat pada uraian narator mengenai citra orang Belanda dan interaksinya dengan kaum

pribumi. Teks berikut menunjukkan hal yang dimaksud.

Luih anak djago kopi, budak nora meudjeuhna belekesenteng, puguh bae sagala rosa mah, eta deuih djaman harita, boga angkeuh ieu aing Walanda, miseubeuhan napsuna teh teu anggeus ka Nji Rapiah bae. Bubuhan anak Walanda beunghar djaman harita, blas-blus ka bumi menak-menak teh pohara “lalogorna”. Djeung duka kumaha eta mah djaman harita, bangsa urang teh asal ka Walanda, tangtu ngarasa asa ka saluhureun. Dipisobat ku Walanda teh, masing ukur pangkat werekbas atawa kepala tukang wesel kareta api ge, harita mah, leuh, asa unggah harkat. (GN, 1966: 87)

(18)

16 Sebagai realitas yang bisa dirujuk pembaca ke dalam kepentingan mengisi

celah-celah tersebut, pendapat Bezemer (dalam Gouda, 2007: 303) menjadi relevan untuk

menempatkan kalangan peranakan dalam perspektif tertentu. Menurutnya, pada tahun

akhir kekuasaan kolonial Belanda, masyarakat berdarah campuran multi warna di Hindia

mendapatkan makna baru. Kepercayaan yang buta pada “kekulitputihan” masyarakat

Eropa yang universal, meskipun sejumlah anggotanya berdarah campuran, kehilangan

sebagian kekuatan imajinatifnya. Lebih jelas daripada masa lalu, kaum indo digambarkan

sebagai menguasai ruang bayang-bayang di antara putih dan cokelat, di antara majikan

dan bawahan. Mereka mengembara hilir mudik di antara kaum pribumi dan masyarakat

Eropa, serta mereka merupakan bagian populasi yang tidak bahagia, tidak puas, dan

berbahaya.

Penilaian tersebut, jika digunakan sebagai informasi yang terhubung ke dalam

repertoar, akan direkonstruksi pembaca ke dalam kepentingan menghimpun perspektif

pembacaan secara lebih luas. Hal yang paling relevan dengan pengkonstruksian yang

dimaksud, untuk menggunakan fakta realitas ke dalam pembacaan GN menyangkut orang

Indo-Belanda, dapat dilihat melalui potensi menghimpun dan mengatasi celah peristiwa

berikut ini.

“Djurutulis!” tjek Hatebessy basa Malaju, “aja jalma anjar ti Bandung, pendjahat gerot, wani-wani maehan bangsa kuring, orang kulit... kulit... kulit.” (Maksudna mah rek njebut orang kulit-putih, ari ret Hatebessy kana kulitna pribadi bet geheng, atuh rada kaeraan, boro sok reueus djadi “Walanda” teh). (GN, 1966: 182)

“Jurutulis!”, kata Hatebesy berbahasa Melayu, “ada orang baru dari Bandung, penjahat kelas kakap, berani membunuh bangsa saya, orang kulit.... kulit.... kulit,” (maksudnya akan menyebut orang kulit putih, begitu melihat Kulit Hatebessy sendiri hitam, ia tampak agak malu; mulanya suka bangga menjadi “Belanda” tersebut).

Kondisi yang dihadapi Hatebessy tersebut akan mengaktivasi pembaca ke dalam

pemahaman citra tubuh dan warna kulit. Hal tersebut akan pula merentangkan jangkauan

pembacaan ke sejumlah peristiwa yang kembali menempatkan kaum Indo-Belanda dalam

hubungan hierarkis: Belanda, Indo-Belanda, Pribumi. Demikian pula dengan santana,

(19)

17 Perasaan malu yang ditunjukkan Hatebessy bersinggungan dengan kondisi

gamang yang menimpa kalangan santana atas menak. Skema berikut mengilustrasikan

hubungan dua kondisi yang sama-sama berada dalam wilayah transisi.

menak Belanda

santana Indo-Belanda

cacah Pribumi

Lajur kiri dan kanan sama-sama memiliki area tengah, yaitu santana dan

Indo-Belanda. Penguasaan kaum Indo-Belanda terhadap pribumi atau kegelisahan kaum

santana untuk merebut wilayah menak dan hubungan kedua golongan transisi tersebut

menghasilkan banyak celah lainnya. Celah-celah tersebut bisa ditemukan sekaligus

diatasi pembaca selama pembaca menyadari adanya benturan-benturan teks dengan

sejumlah gagasannya menyangkut pangagung ‘penguasa tertinggi’, baik dalam tataran

penguasa lokal atau penguasa Hindia Belanda. Pangangung, yang tidak terjangkau atau

sengaja disembunyikan oleh teks untuk kepentingan tertentu, merupakan saluran lain

yang harus dicari dan dihubungkan pembaca ke dalam tataran yang lebih luas. Jangkauan

ke hal yang lebih luas dapat dilakukan pembaca dengan menghubungkan persinggungan

perspektif feodal dengan demokrasi yang tentunya menyisakan banyak celah untuk

(20)

18 4. Penutup

Aktivitas interpretasi dalam memahami ruang-ruang kosong pada sebuah karya

tentu bersentuhan dengan perangkat pembacaan yang menyertainya. Dalam kondisi ini,

teks tentu tidak dapat menyesuaikan dengan kondisi saat teks tersebut dibaca pembacanya

tetapi pembacalah yang aktif menemukan ruang-ruang kosong selama proses

pembacaannya. Dalam beberapa kondisi, ruang-ruang kosong yang terkandung dalam BN

dan GN dibaca dan diisi oleh pembaca kontemporer setidaknya bersentuhan dengan

ruang-ruang spasial dan temporal dalam jarak yang jauh berbeda. Horizon harapan

pengarang, harapan teks, harapan pembaca, dan harapan semangat zamannya tentu

menjadi begitu dialektis.

Pada GN, pembaca pembaca dirangsang untuk mengambil sifat negatif terhadap

apa yang dituangkan dalam BN menyangkut kelas sosial. Melalui GN, Salmun pun

menawarkan “semangat demokratis” secara gencar. Kondisi demikian tentu melahirkan

overdeterminasi yang sesungguhnya akan membuka jalan bagi terciptanya ruang-ruang

kosong kembali.

Sejumlah kekosongan menyangkut problematis identitas (suku, hubungan

indo-pribumi, kota-desa, dll.) yang terkandung dalam GN sebagai karya sambutan terhadap BN

tentu perlu diisi melalui peta mental pembaca yang memberdayakan pengetahuannya,

baik menyangkut pengetahuan tentang BN, GN, dan hubungan GN terhadap BN.

Kebebasan mengisi ruang-ruang kosong teks dalam upaya pemaknaan hanya lahir dari

konstruksi yang dikembangkan dari pola yang ditawarkan teks. Dengan demikian, dapat

diketahui bahwa sejumlah ruang kosong dalam BN dan GN secara dialektis ditunjukkan

oleh kedua karya tersebut menyangkut: (1) identitas Palembang dalam pelekatan tradisi

Sunda, (2) representasi kota-desa yang menggiring kepada perekonstruksian imajinasi

karena potensi teks yang berjarak secara ruang dan waktu bagi pembaca kontemporer, (3)

dunia pelacuran dalam GN merupakan ruang yang menjembatani praktik interogasi dan

intimidasi terhadap BN (cacah dan santana terhadap menak), dan (4) hubungan

indo-pribumi sebagai aksentuasi gejolak demokratis dalam penguasaan pihak santana terhadap

menak.

Tentu saja ruang-ruang kosong dan konstruksi pembacaan dalam mengisi

kekosoangan-kekosongan yang dimaksud tidak menjadi bagian yang tetap dan mutlak.

Dengan demikian, setiap kegiatan pembacaan di momen-momen yang berbeda oleh

(21)

19 pula. Pada kondisi seperti itulah, ruang-ruang kosong berpeluang untuk ditemukan

kembali.

Daftar Pustaka

Ardiwinat a, D.K., 1950. Baruang ka nu Ngarora. Cet akan ket iga. Jakart a: Balai Pust aka.

Bracher, M ark. 2005. Jacques lacan: Diskursus dan Perubahan Sosial. Terjem ahan Gunaw an Adm irant o. Yogyakart a-Bandung: Jalasut ra.

Eaglet on, Terry. 2006. Teori Sast ra: Sebuah Pengant ar Komprehensif. Terjem ahan Harfiyah Widyaw at i dan Evi Set yarini. Yogyakart a-Bandung: Jalasut ra. Fairclugh, Norman. 1995. Critical Discourse Analysis. Lodon-New York: Longman.

Herlina, Nina. 1998. Kehidupan Kaum M enak Priangan 1800-1942. Bandung: Pusat Inform asi Kebudayaan Sunda.

Iser, Wolgang. 1987. The Act of Reading: A Theory of Aest het ic Respone. 4t h print ing. Balt im ore & London: The John Hopkins Universit y Press.

Jorgensen, Marianne & Philips, Louise J.. 2007. Analisis Wacana: Teori dan Metode. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

---. 2006. How t o Do Theory. USA-UK-Aust ralia: Black Well.

M oriyam a, M ikihiro. 2005. Semangat Baru, Kolonialisme, Budaya Cet ak, dan

Kesusast raan Sunda Abad ke-19. Terjem ahan Suryadi. Jakart a: Kepust akaan Populer Gram edia.

Plekhanov, G. 2006. Seni dan Kehidupan Sosial. Terjem ahan Sam anjaya. Bandung: Ult im us.

(22)

Referensi

Dokumen terkait

Sang penyelamat dalam pandangan filosof muslim adalah ke- turunan orang baik, sehat jasmani dan rohani, tidak ada cacat, kuat ingatan memiliki pemahaman yang baik, cerdas, tangkas,

Tindak pidana pengguguran dan pembunuhan kandungan yang dilakukan oleh orang lain yang mempunyai kualitas tertentu, yaitu dokter, bidan, atau juru obat baik yang

Mereka berkata kepadanya, “Di Betlehem di tanah Yudea, karena beginilah ada tertulis dalam kitab nabi: Dan engkau, Betlehem di tanah Yehuda, engkau sekali-kali

Sesuai dengan arahan Presiden, target yang harus dicapai dalam penanganan masalah sosial kemasyarakatan yang terkait dengan ganti rugi adalah terselesaikannya

Hasil penelitian adalah (1) perencaanaan kurikulum meliputi: (a) manajemen kurikulum dilaksanakan berdasarkan konsep MBS, (b) kalender akademik yang digunakan dari

Perubahan jam operasi bandar udara yang bersifat sementara harus 1 (satu) jam diNOTAMkan sebelum keberangkatan pesawat udara dari bandar udara asal oleh Kepala Badan Usaha Bandar

Pemanfaatan tumbuhan eceng gondok sebagai kerajinan ini dapat menguntungkan bagi lingkungan dan yang mengolah kerajinannya tersebut. Keuntungan bagi lingkungan dapat

Allan Bloom menyajikan makna proposisi tersebut dengan ringkas, “Kita membutuhkan sejarah, bukan untuk mengatakan kepada kita apa yang terjadi pada masa silam atau menjelaskan