RUANG KOSONG
DALAM PERSPEKTIF WACANA KRITIS
Disampaikan dalam Seminar Bulanan Jurusan Sastra Sunda
Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran pada 11 Juni 2010
Oleh:
Asep Yusup Hudayat
FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS PADJADJARAN
1
RUANG KOSONG
DALAM PERSPEKTIF WACANA KRITIS
*Oleh:
Asep Yusup Hudayat
Pengantar
Pembicaraan ruang kosong dalam perspektif wacana kritis ini dimaksudkan sebagai
sebuah celah penawaran pembacaan atas sejumlah teks yang dalam beberapa kondisi
pernah terkungkung oleh tradisi positivisme empiris. Tradisi positivisme empiris
menghendaki bahwa makna teks harus tunggal, utuh, dan selesai pada satu pemaknaan.
Pada kenyataannya, teks yang sama mampu “dibaca” secara berbeda oleh pembaca yang
berbeda-beda; bahkan oleh satu pembaca dalam kondisi yang berbeda-beda telah
dihasilkan pembacaan yang berbeda pula. Sambutan-sambutan yang terjadi berpangkal
dari aktivitas mereka dalam memproduksi kembali teks, salah satunya aktivitas mereka
dalam mengisi ruang-ruang kosong dalam teks. Di sinilah interaksi antara teks dan
pembaca menjadi lahan perbincangan analisis wacana kritis.
Wacana kritis yang dimaksud dalam kepentingan ini adalah cara bertutur yang
memberikan makna yang berasal dari pengalaman-pengalaman yang dipetik berdasarkan
perspektif tertentu (praktik kewacanaan menyangkut pemroduksian dan pengonsumsian
teks). Wacana ini berkontribusi pada pengonstruksian identitas, hubungan sosial, sitem
pengetahuan, dan makna.Dalam wilayah teks naratif, Teks tidak berada dalam kondisi
memberi tahu pembacanya secara menyeluruh. Teks sendiri memuat celah dan
kekosongan yang harus dirundingkan dalam tindakan pembacaan.
---
* disampaikan pada acara Seminar Jurusan Sunda Fakultas Sastra Universitas
2 Celah dan kekosongan dalam teks naratif secara tipikal membukakan hubungan
antara perspektif-perspektif tekstual, melalui: narator, tokoh-tokoh, alur cerita, dan
pembaca fiktif di dalam teks. Pembaca mengkoordinasi perspektif-perspektif yang
dipolakan tersebut. Namun, pembaca harus bereaksi tidak hanya kepada instruksi yang
diberi oleh kekosongan di dalam teks, tetapi juga kepada produk dari aktivitas
pengagasan mereka sendiri, kapan pun penanggunalangan atas celah dan kekosongan
diperlukan. Ketidaklengkapan penyingkapan atau ketaklangsungan apapun merupakan
potensi-potensi celah dan kekosongan teks.
Menyangkut wujud kosong atau celah teks tersebut, ruang-ruang pembacaan akan
semakin terbuka ketika wilayah-wilayah masa lampau menjadi bagian yang bersinergi
dengan aktivitas pembacaan dari pembaca kontemporer yang berada pada wilayah
sekarang. Hal tersebut dapat ditunjukkan melalui tanggapan-tanggapan pembaca atas
sejumlah karya sastra Sunda, misalnya terhadap novel Baruang ka nu Ngarora (1914)
dan Gogoda ka nu Ngarora (1951). Prolematis pembacaan tidak saja bersumber pada dua
karya yang berbeda yang ditempatkan dalam satu ikatan yang lekat karena Gogoda ka nu
Ngarora ditempatkan oleh pengarangnya sebagai lanjutan dari Baruang ka nu Ngarora,
tetapi juga banyak kemungkinan ketaklangsungan pengungkapan kedua karya tersebut
yang berhubungan dengan spirit kelas sosial atau negasinya menjadi hal yang menarik
untuk dihubungkan ke pembicaraan ruang-ruang kosong yang terkandung dalam kedua
novel tersebut. Pembicaraan ini tentu akan menjadi memadai saat teori respon estetik
yang dikemukakan wolfgang Iser digunakan dalam telaah ruang kosong ini.
Jangkauan Teoretis
Iser (2006: 9) menyebutkan tiga konsep utama menyangkut tujuan teori-teori
modern, yaitu: (1) struktur, (2) fungsi, dan (3) komunikasi. Teori-teori modern ini
menekankan pada hubungan-hubungan antarkarya seni, disposisi pembaca, dan (3)
kenyataan tentang konteks. Aksi komunikasi, keberhasilannya menurut Iser (1987: 107),
terletak pada sejauh mana teks menetapkan dirinya sebagai suatu korelat dalam kesadaran
pembaca. Hal ini artinya bahwa teks memberi tuntunan mengenai apa yang mesti
diproduksi, dan karenanya teks itu sendiri tidak bisa menjadi produk. Keberhasilan
transfer teks ke pembaca bergantung kepada keberhasilan teks mengaktivasi kapasitas
persepsi dan pengolahan pembaca individual. Dinamika tersebut ditunjukkan Iser (1987:
3 dimulai bila pembaca itu sendiri menjadi produktif, yakni bila teks memungkinkannya
untuk mengerahkan semua kapasitas yang dimilikinya. Sudah barang tentu, ada
limit-limit pada kesediaan pembaca untuk berpartisipasi. Limit-limit-limit ini akan terlampaui jika
teks membuat segala sesuatu terlalu jelas atau di lain pihak, teks terlalu kabur. Kebosanan
dan pemaksaan perhatian merepresentasikan kutub toleransi, dan dalam kasus pembaca
masing-masing mungkin akan membuat pilihan.
Berlandaskan teori pembaca dalam bagian model fenomenologikal Ingarden,
Wolfgang Iser (dalam Makaryk, 1993: 562-563) menuangkan kembali indeterminasi
dalam wujud kosong, atau celah ( leerstellen), di dalam teks tersebut. Kekosongan
menduduki suatu posisi pusat di dalam fungsi komunikatif karya sastra, penjelasan, dan
pembatasan peran pembaca. Di dalam interaksinya dengan teks, secara implisit, pembaca
digerakkan untuk memindahkan atau melengkapi berbagai hal yang kosong pada
beberapa tingkatan, dari hubungan yang paling sederhana di dalam alur cerita hingga
hubungan yang semakin kompleks, antara tema yang menonjol terhadap horizon yang
tersembunyi.
Tanggapan-tanggapan atas karya memang diprastruktur oleh tiga komponen
dasar (Iser, 1987: 36), yaitu (1) perspektif-perspektif berbeda yang terepresentasi di
dalam teks, (2) sudut pandang yang perspektif-perspektifnya dipersatukan oleh pembaca,
dan (3) tempat pertemuan perspektif-perspektif tersebut.
Menurut Austin (Iser, 1987: 55-56), dua bentuk dasar ucapan bahasa adalah
konstatif dan performatif. Bentuk pertama membuat pernyataan-pernyataan tentang fakta,
dan harus diukur dengan kriteria-kriteria kebenaran dan ketidakbenaran. Bentuk kedua,
menciptakan satu aksi yang dapat diukur dengan standard-standard keberhasilan atau
kegagalan. Menurut Iser (1987: 59), sesungguhnya tidak akan pernah ada interaksi
diadik apa pun jika speech-act tidak melahirkan indeterminasi-indeterminasi yang perlu
diresolusi. Indeterminasi inilah yang memberikan nilai estetik dinamis kepada teks (1987:
70). Kondisi teks yang tidak penuh (terdapat tempat kosong) inilah yang membuat teks
mampu muncul dalam pembacaan yang beraneka ragam (Chamamah, 2001: 148).
Terdapat dua struktur indeterminasi di dalam teks, yaitu kekosongan dan negasi. Dua
struktur tersebut merupakan kondisi esensial untuk komunikasi antara teks dan pembaca
yang sampai tingkat tertentu terjadi pengaturan untuk keduanya (Iser, 1987: 182).
Meskipun konsep indeterminasi Iser mendapat kritikan dari Gerhad Kaiser
4 dikemukakan Kaiser. Bagi Kaiser, konsep indeterminasi Iser menggiring kebebasan
pembaca untuk merealisasikan, atau melengkapi bagian-bagian indeterminasi menurut
proyeksinya sendiri yang bersifat subjektif. Atas pandangan tersebut, Iser menjelaskan
bahwa bagian-bagian indeterminasi merupakan kondisi-kondisi bagi proses komunikasi
sebuah teks, dan hal itu bukan kualitas konstitutif efek estetis. Sebagai kondisi bagi
proses komunikasi, indeterminasi pada prinsipnya memerankan dua fungsi: (1) menandai
hubungan skema tekstual karena ikatan itu sendiri tidak diberikan dan (2) dalam suatu
teks literer dunia diciptakan untuk pembaca dari perspektif yang berubah-ubah. Pada
fungsi pertama, tugas pembaca adalah menyusun ikatan-ikatan yang hilang, tidak
sekehendak hati, berdasarkan “pengalaman dan pengharapan hidup” miliknya, tetapi
berdasarkan kesesuaiannya dengan struktur tekstual. Adapun fungsi kedua mendorong
pembaca untuk menghubungkan dua perspektif konstitutif agar cocok dengan struktur
tekstual.
Konsep-konsep dasar respon estetik yang dikemukakan Iser tersebut merupakan
landasan terpenting untuk memahami ruang-ruang kosong pada kedua novel yang
dijadikan bahan telaah pada makalah ini. Aktivitas interpretasi dalam pembacaan
ruang-ruang kosong ditujukan untuk menjembatani keterbatasan interpretasi sebelumnya
menyangkut kedua karya tersebut. Dengan demikian, pendekatan wacana kritis pun
menjadi bagian yang menopang kepentingan tersebut. Pendekatan wacana kritis yang
cukup relevan dengan penerapan respon estetik adalah wacana kritis yang dikemukakan
Fairclough.
Pendekatan Fairclough intinya menyatakan bahwa wacana merupakan bentuk
penting praktik sosial yang mereproduksi dan mengubah pengetahuan, identitas dan
hubungan sosial yang mencakup hubungan kekuasaan dan sekaligus dibentuk oleh
struktur dan praktik sosial yang lain (Jorgens & Philip, 2007: 122-123). Dengan
demikian, tiga dimensi tataran komunikatif yang dikemukakan Fairclough menyangkut:
tataran teks, praktik kewacanaan, dan praktik sosial memiliki kesepadanan dengan
dimensi repertoar, strategi, dan realisasi pembacaan yang dikemukakan Iser.
Baik Fairclough maupun Iser keduanya menempatkan teks sebagai lahan pertama
dan utama pembacaan. Dimensi praktik kewacanaan Fairclough (menyangkut
pemroduksian dan pengonsumsian teks) relevan dengan realisasi pembacaan dalam
konsep Iser. Kegiatan pembacaan untuk menghasilkan sejumlah interpretasi tersebut
5 sejumlah jawaban atas pertanyaan: dalam kondisi apa sehingga dapat memiliki makna
bagi pembacanya?
3. Ruang-ruang Kosong dalam Perspektif Wacana Kritis
Teks GN tidak berada dalam kondisi memberi tahu pembacanya secara
menyeluruh. GN sendiri memuat celah dan kekosongan yang harus dirundingkan dalam
tindakan pembacaan. Celah dan kekosongan GN membukakan hubungan antara
perspektif-perspektif tekstual, melalui: narator, tokoh-tokoh, alur cerita, dan pembaca
fiktif di dalam teks. Pembaca GN mengkoordinasi perspektif-perspektif yang dipolakan
tersebut. Namun, pembaca harus bereaksi tidak hanya kepada instruksi yang diberi oleh
kekosongan di dalam teks, tetapi juga kepada produk dari aktivitas pengagasan mereka
sendiri, kapan pun penanggunalangan atas celah dan kekosongan diperlukan.
Ketidaklengkapan penyingkapan, baik dalam BN maupun GN, merupakan potensi
yang terhubung kepada permasalahan celah dan kekosongan teks. Pembaca yang
membaca kedua karya tersebut, secara berurutan dimulai dari BN ke GN, tentulah akan
menjadikan BN sebagai bagian reportoar yang terkandung dalam GN.
Menyangkut wujud kosong atau celah teks tersebut, sebagai pembaca BN,
Salmun mengatasi berbagai hal yang kosong dalam BN melalui GN. Jika Salmun melihat
kekosongan nyata dalam BN berpusat pada akhir cerita BN dan ia menganggap BN perlu
diselesaikan dengan membela kebenaran, maka Salmun, dalam GN, cukup banyak
memberi ruang-ruang interpretasi baru, sehubungan dengan tersedianya celah-celah dan
kekosongan-kekosongan dalam GN. Ruang-ruang yang dimaksud dapat dijajaki dari
ketaktersediaan teks GN yang menempatkan sejumlah masalah menyangkut kelas sosial,
pandangan-pandangan tokoh dan naratornya, serta hal-hal yang ditunjukkan dengan jelas
oleh pengarang, atau bahkan hal-hal yang sengaja disembunyikan. Berikut ini uraian
menyangkut celah-celah dan kekosongan-kekosongan teks, yang mengaktivasi pembaca,
yang menempatkan GN sebagai karya yang tak akan pernah kehilangan sifat inovatifnya,
bagi pembaca-pembaca yang berlainan. Empat subbab berikut ini mendeskripsikan upaya
6 Sunda-Palembang
Tidak satu pun kata “Sunda” secara eksplisit dimunculkan dalam BN. Namun,
sejumlah indikasi menunjukkan bahwa Ujang Kusen beserta keluarganya dapat
ditempatkan ke dalam identitas kesundaan. Indikasi-indikasi yang menunjukan
kemungkinan tersebut dapat dicermati melalui bahasa yang digunakan, pakaian,
lingkungan, adat lamaran dan pernikahan, dan sejumlah adat perilaku lain yang
menyertainya. Hal ini menjadi problematik bagi pembaca BN yang kemudian
melanjutkan pembacaannya kepada GN. Di dalam GN, Haji Samsudin, ayah Ujang
Kusen, dinyatakan Salmun sebagai orang Palembang. Pernyataan tersebut sekaligus
mengaktivasi pembaca GN untuk kembali mengingat peristiwa dalam BN. Dorongan
tersebut membuahkan efek nyata bagi pembaca. Efek ini dihasilkan oleh upaya pembaca
yang menemukan ekuivalensi di dalamnya. Upaya tersebut tentu dalam kepentingan
mengatasi celah teks yang dimaksud.
Celah dalam mempertemukan kesepakatan, antara teks dan pemahaman pembaca
ini, dapat terwaliki oleh kemungkinan ditafsirkannya keluarga Ujang Kusen sebagai
orang Palembang karena satu peristiwa di dalam BN menunjukkan hal yang dianggap
relevan dengan hal itu. Kutipan berikut menunjukkan indikasi yang dimaksud.
Pandeurieun panganten gendjring Palembang ditema ku aleutan anu ngiring, nja eta ondangan tea sakur anu ngarora.... (BN, 1950: 21)
Di belakang pengantin, ada genjring Palembang diikuti oleh iring-iringan
yang mengikutinya, yaitu para undangan yang masih muda.
Namun, hal itu tidak cukup menunjukkan bahwa Ujang Kusen berasal dari
Palembang. Pakaian pengantin Sunda yang dikenakan Ujanag Kusen dan mempelai
wanitanya cukup memberi peluang Ujang Kusen untuk ditempatkan sebagai orang Sunda
meskipun tradisi mengikuti pakaian pengantin wanita, masih menunjukkan kemungkinan
lainnya jika Ujang Kusen tidak satu suku dengan mempelai wanitanya.
Di dalam GN, catatan kaki Salmun menggiring pembaca ke upaya mencari satu
7 termasuk Ujang Kusen, adalah orang Palembang. Penyebutan Tuan oleh Asta kepada Haji
Samsudin, Salmun memberi catata kaki sebagai berikut.
Orang Sunda dulu menyebut lelaki yang dihormat yang bukan asli orang Sunda dengan sebutan “Tuan”. Adapun Haji Samsudin sekeluarga termasuk menantunya adalah orang Palembang. Yang mudanya biasa dipanggil Asep atau Ujang (GN, 1966: 34)
Tentu saja, celah tersebut akan berimplikasi kepada bagaimana pembaca
melakukan sejumlah reaksi. Di satu sisi, pembaca harus mempertalikan GN kepada BN
karena sejumlah narasi dan catatan kaki menghendaki itu. Di sisi lain, pembaca sendiri
diaktifkan untuk menjangkau perspektifnya berdasarkan daya bacanya atas kondisi
tersebut. Bagi pembaca kontemporer, upaya re-evaluasi norma-norma yang terkandung
dalam repertoar GN, antara sosok Sunda dan Palembang, akan membuat pembaca
melepaskan norma-norma ini dari konteks kultural dan sosialnya. Kemudian pembaca
akan merekognisi limitasi-limitasi efektivitas norma-norma tersebut di dalam teks. Dua
suku bangsa tersebut tidak secara eksplisit dipertalikan Salmun sehingga di dalamnya
tidak secara potensial menunjukkan evaluasi Salmun atas norma-norma yang mengikat
kedua Suku tersebut. Dengan demikian, pembaca GN dapat merekonstruksi konteks
sosial dan kultural, berdasarkan arahan dominan teksnya, yaitu sebatas menyangkut
kehidupan tokoh-tokoh berlatar kelas sosial yang berbeda dan segala konflik yang terjadi
di dalamnya.
Kampung Pasar – Bandung
Begitu banyak elemen narasi yang dieksplisitkan ke dalam banyak peritiwa di
dalam GN. Nama tempat, yang terhubung ke dalam realitas faktual sangat sedikit
dimunculkan di dalam BN. Hal itu pun masih menempatkan nama-nama tersebut ke
dalam kemungkinan yang tidak seutuhnya berpotensi memiliki rujukan faktualnya. Di
dalam BN, nama-nama tempat yang disebutkan secara eksplisit adalah Kampung Pasar
dan Kampung Sekeawi. Kampung Pasar mewakili wilayah kota. Adapun Sekeawi
mewakili wilayah desa. Berikut ini deskripsi tempat-tempat yang dimaksud.
8 Malam Senin tanggal 14 bulan hapit 1291, di rumah Tuan Haji Abdul Raup, di Kampung Pasar, tampak begitu hangat suasananya. Tidak seperti biasanya. Sepertinya ada hal yang khusus.
Berbeda dengan BN, di dalam GN nama-nama tempat ditunjukkan secara jelas
dengan deskripsi pemetaan lokasinya. Narator begitu rinci menunjukkan bahwa keluarga
Nyi Rapiah, Aom Usman, dan keluarga Ujang Kusen berada di kota Bandung.
Penunjukkan ini banyak ditemukan melalui deskripsi menyangkut Pasar Baru, alun-alun
kabupaten, jalan Pungkur, jalan Kepatihan, Gedung Concordia, Braga, toko Cavadino,
jalur kereta api sepanjang Bandung-Batawi, Banceuy, Hotel Preanger, Hotel Homan,
Jalan Tamblong, Kebonkalapa, Balubur, dan sebagainya.
Menyangkut kelengkapan tempat tersebut di dalam GN, pembaca yang sudah
berada dalam perspektif pengetahuan mengenai Bandung, secara faktual, akan tidak saja
menghubungkan kepentingan Salmun memilih kota tersebut sebagai latar tempat
penceritaannya, melainkan juga akan menemukan potensi-potensi di dalamnya yang
menyangkut wawasan tokoh yang dibesarkan di lingkungan kota tersebut, pergerakan
sosialnya, gaya hidup, atau bahkan dunia pelacurannya. Salah satu kutipan berikut ini
menunjukkan bagaimana hubungan lingkungan kota terhadap potensi wawasan Nyi
Rapiah sebagai penduduknya.
Bubuhan Nji Rapiah teh urang dajeuh, loba deudeuleuan-dedengean djeung sanadjan enja ge awewe ropoh pager, ipis bendungan, da ari hatena mah tjaang, pikirna njaring boga bakat tjalakan. Ditambah, sanggeus sering pulang anting ka Nji Dampi, tjampur djeung “kakasihna” nonoman baleunghar, palinter djeung rea nu boga bakat demokratis – make ukuran taun 1875!- kusial bae rasa pangaribawana hudang awas atra kana susunan masarakat. Bet rea kateuadilan! Naha bet masarakat kudu njieun golongan djelema diumpak-umpak, dikelas-kelas? Naha bet make aja golongan menak, aja golongan somah? Naha bet ari nu disarebut menak kudu dienak-enak, diagung-agung, dipundjung-pundjung. (GN, 1966: 69)
9 Menyangkut nama tempat secara eksplisit tersebut, upaya mengatasi celah-celah
teks, yang muncul karenanya, adalah lebih bersinggungan dengan masalah bagaimana
pembaca merekonstruksi imajinasinya sehubungan dengan sejumlah deskripsi yang
membatasi reaksi pembacanya. Persinggungan tersebut berpusat pada narasi GN yang
menghubungkan masa penceritaan (1870-1880-an) dengan masa diciptakannya karya
(1950-an). Salmun selalu menempatkan fakta cerita yang menyangkut tempat-tempat
yang dimunculkannya ke dalam perspektif kekiniannya. Dengan demikian, sebenarnya
pembaca pun, akhirnya, menerima efek dengan kondisi penceritaan tersebut karena ia pun
mengomposisikan fakta-fakta tersebut berdasarkan perspektif yang dimilikinya, baik
berada dalam maupun di luar wilayah-wilayah penceritaan GN. Pembaca yang
mengetahui tempat-tempat yang dimaksud secara faktual akan memiliki reaksi, dalam hal
mengimajinasikan peristiwa-peritiwa di dalamnya, yang berbeda dengan pembaca
lainnya, yang di satu kondisi kehilangan momen untuk mencari rujukan di
peristiwa-peristiwa yang dianggap khusus dan sukar dicari rujukannya. Misalnya untuk jenis
pembaca yang kehilangan moment rujukan, tempat pelacuran yang dideskripsikan di
dalam GN dengan segala karakteristiknya, celah-celah teks di dalamnya hanya bisa
diatasi dengan mengoptimalkan imajinasi pembaca.
Pelacuran
Peristiwa-peristiwa yang terhubung ke dalam praktik pelacuran, di dalam GN,
sebenarnya merupakan area pusat yang sengaja dipilih Salmun. Dalam hal ini, secara
leluasa, Salmun menghubungkan semua area yang ditempati masing-masing kelompok
kelas sosial: menak-santana-cacah. Area pelacuran merupakan area yang dapat dijangkau
oleh semua golongan kelas sosial. Dengan demikian, bagi Salmun, area ini cukup efektif
untuk menempatkan tokoh-tokoh dari semua golongan tersebut ke dalam sejumlah
penilaiannya menyertai sejumlah perilaku yang ada di dunia pelacuran tersebut.
Meskipun judul GN merujuk kepada pengertian eksplisit bahwa yang menjadi
godaan bagi muda-mudi adalah mim pitu, tetapi pusatnya adalah kesenjangan kelas sosial
antara menak dan cacah. wilayah pelacuran dipilih Salmun sebagai mediasi sekaligus
area pelarian dan kebangkitan sebagian tokoh-tokohnya. Melalui area ini pula, Salmun
mengefektifkan pengungkapan sejumlah norma ideal yang terhubung ke setiap kelas
sosialnya.
Pergerakan Nyi Dampi, dari kalangan cacah, telah berhasil memasuki semua
10 Tidak saja kaum pribumi yang memanfaatkan tempat tersebut, tetapi juga para
indo-Belanda. Dalam hal ini, Salmun menempatkan Nyi Rapiah sebagai tokoh yang mampu
menerima dan memasuki kehidupan mereka sekaligus ia mampu menerima sejumlah
pengalaman baru, termasuk tentang spirit menuntut keadilan.
Bagi pembaca, sejumlah deskripsi rinci, menyangkut segala kehidupan yang
dikisahkan narator tentang pelacuran tersebut, menyisakan banyak celah. Norma-norma
yang sulit ditemukan rujukan faktualnya menyangkut strategi persembunyian lokasi
pelacuran menyebabkan dijalankannya imajinasi pembaca untuk menjangkau itu. Dua
kondisi lokasi pelacuran yang berbeda, ditandai dengan lentera merah dan yang tidak
ditandai, menggiring pembaca kepada dua perspektif yang berbeda, yaitu menyangkut
penyembunyian dan penunjukkan. Penunjukkan lokasi pelacuran dengan lentera merah,
setidaknya, membuat pembaca mampu menghubungkan kepentingan di dalamnya, tidak
saja bagi aparat keamanan yang ingin membebaskan masyarakatnya dari kehidupan
tersebut, tetapi juga penegasan lokasi tersebut yang malah bisa diakses secara langsung
oleh orang-orang yang berkepentingan dengan lokasi tersebut. Hal ini lebih didasarkan
pada pembatasan teks yang menunjukkan bahwa tanda tersebut untuk menghindarkan
orang baik-baik memasuki area tersebut. Menyangkut area pelacuran yang tersembunyi,
pembaca dihadapkan kepada pemahaman substansi terhadap lokasi tersembunyi dan
orang-orang yang terlibat di dalamnya. Berikut ini kutipan teks GN yang menunjukkan
dua kondisi tersebut.
Geusan ngadjaga supaja nu balageur teu kaganggu ku nu balangor, eta nu balangor teh dilarang matuh di kampung-kampung djalma balageur, malah dihadja diajakeun panonobanana make ditjirian ku lantera beureum digantungan di tepas; dilarang keras kalawan diantjam hukum berok lamun aja nu ngulajaban, ngalantrah neangan jalan.
11 Untuk menjaga agar yang baik-baik tidak terganggu oleh para pelacur, para
pelacur dilarang bermukim di kampung-kampung tempat orang-orang baik. Malahan
sengaja tempat-tempat kediamannya diberi tanda dengan lentera merah yang
digantungkan di terasnya. Dilarang keras serta diancam hukum penjara jika ada yang
berkeliaran mencari jalan.
Tapi karena manusia banyak akalnya, polisi susila selalu saja kecolongan sebab
para pelacur ketika keluar suka menyamar. Sebagian ada yang menyamar seperi
agan-agan, berdandang serba seperti menak dengan mengapit tempat menginang segala rupa.
Jika tidak demikian, meniru bak nyi haji, memakai kerudung segala. Ada pula yang
berpakaian sederhana saja, menuntun anak, agar disangka sedang mengantar. Tetapi bagi
santri piawai, meski menyamar jadi agan, berganti menjadi nyi haji atau menyamar jadi
babu, tetap saja tampak. Katanya akan tampak dari gerak-geriknya matanya, tampak dari
lenggangnya. Katanya lenggangnya seperti mempersilahkan, anggun menunduk tapi
sebenarnya mengajak, ketika memalingkan muka seperti benci, bukan berpaling benci
tapi isyarat agar segera diikuti.
Salmun memilih menggunakan topeng religi untuk menyembunyikan lokasi
pelacuran yang dimiliki Nyi Dampi. Sebuah paradok yang dilekatkan Salmun dalam
upaya memberi atmosfir kuat bagi penyembunyian yang dimaksud. Dalam hal ini,
pembaca harus menarik kesimpulan atas paradoks tersebut. Setidaknya yang dapat
dipahami pembaca adalah bahwa paradoks tersebut menolong memberikan penekanan
akan arti penting sebuah penyembunyian. Berikut ini adalah kutipan teks BN yang
menunjukkan paradoks yang dimaksud.
Di tepas, aya sawatara rekal, di djuru njotjok gulungan samak, di luhurna erak tempat kitab-kitab. Ditendjo ti luarna mah, tjek saha lain imah paranti diadjar ngadji, komo dumeh bilikna dipapaes ku lapad, gambar burak djeung gambar kabah. Da djeung enjana, ari ti peuting mah, lamun sore keneh, di tepas Nji Dampi teh reang ku barudak dialajar ngadji, diguruan ku Haji Gombel – kawasna mah lain hadji enjaan, da bedjana leuwih apal kana balak batan kana manasik; leuwih njaho kana ledot batan tawaf -. Mun ti beurang, meudjeuhna lalaki-lalaki djarongdjon di pagaweanana atawa pausahaanana, sok rea awewe ngarora djeung urang asing nu baleunghar, boh anom-anom ti kontrakan, boh babah-babah ti kalangan sudagar daratang ka imah Nji Dampi. Kalan-kalan sok aja oge bangsa urang, tapi rada tjarang, kawasna dompetna bangsa urang mah kurang padet. (GN, 1966: 58-59)
12 bukan saja tempat mengaji, apalagi biliknya dihiasi lafadz, gambar buraq dan gambar ka’bah. Benar adanya kalau malam. Jika masih sore, di teras Nyi Dampi terdengar banyak anak-anak yang sedang belajar mengaji, gurunya adalah Haji Gobel. Sepertinya bukan haji sebenarnya. Kabarnya, ia lebih hafal kepada balak daripada tentang manasik. Lebih tahu mengenai ledot daripada tawaf. Jika siang, saat para lelaki biasanya tenang di tempat pekerjaan atau perusahaannya, biasa banyak pemudi dan orang asing yang kaya, baik anom-anom dari kontrakan maupun babah-babah dari kalangan saudagar berdatangan ke Rumah Nyi Dampi. Kadang-kadang ada juga bangsa kita, tetapi jarang; sepertinya dompet bangsa kita yang kurang tebal.
Hal-hal yang ditunjukkan secara langsung di dalam BN, menyangkut sikap Nyi
Rapiah terhadap kalangan menak, menjadi paradoks pula bagi penyembunyian
keterlibatan orang-orang di dalam dunia pelacuran. Ini akan berimplikasi kepada struktur
pemikiran pembaca secara lebih luas. Di satu sisi, pembaca memahami bahwa dunia
pelacuran dalam GN memberi alasan, secara tidak langsung, bagi terjangkaunya kalangan
menak ke dalam dunia seperti itu sehingga kalangan menak ditarik ke area “hina”. Di sisi
lain, secara substansi kesenjangan kelas sosial yang menjadi jiwa cerita GN, harus
pembaca cari di setiap permukaan yang menampilkan kehidupan pelacuran. Teks berikut
ini menunjukkan latar pelacuran yang melibatkan Nyi Dampi dan banyak orang di
dalamnya, dari berbagai kelas sosial.
Upama pareng aja nu naja, rek naon Nji Anu atawa Neng Anu ka imahna. Nji Dampi aja bae djawabna. Magar teh nu menta dipangdjualkeun geulang, nu menta dipajukeun samping, nu menta asihan, nu diaku baraja bae djeung djaba ti eta. Ari anom-anom djeung babah-babah, magarkeun teh ngilikan berlian, urusan dagangan, neangan pibabueun jeung djaba ti eta. Kabeh nu nanja biasana pertjaja bae. Ari tatangga, puguh ku Nji Dampi dikanjahokeun kabutuhna, aja nu dibandjel urusan dapurna, aja nu diruruba ku lungsuran, aja nu dipangdjeudjeuhkeun kaperluanana djeun djaba ti eta, atuh kabeh ge balem. Djaba ti di unggal djalan parapatan ka imahna neundeun tjalo purah mere isarah mun aja nu rek ngagaradah teh, di kalangan pulisi oge Nji Dampi teh masang usung-esangna. Teu pertjumah djurutulis sakaut disamping weuteuh unggal bulan atawa ganti badju lena opat bulan sakali teh, mun lain panjogok ti Nji Dampi. Djaba ari agen-agen mah, sasat kabeh geus ngasaan bako tampang “Ibu Empi”. Tjindekna pikeun djaman harita mah, “pausahaan” Nji Dampi teh pohara rikip tur limitna. (GN, 1966: 58-59)
13 yang dipenuhi urusan dapurnya, ada yang disogok dengan bekas pakaiannya, ada yang diuruskan keperluanya dan lainnya. Tentu semuanya pun tutup mulut. Selain itu, di tiap jalan perempatan menuju rumahnya, ia menyimpan calo untuk memberi isyarat jika akan ada yang memeriksa. Di kalangan polisi pun, Nyi Dampi memasang bala bantuannya. Tidak akan percuma jurutulis sakaut mengenakan kain samping baru tiap bulan atau ganti baju lena empat bulan sekali. Itu semua sogokan dari Nyi Dampi. Apalagi kalau agen-agen, semua sudah merasakan tembakau tampang “Ibu Empi”. Kesimpulannya untuk zaman itu, “usaha” Nyi Dampi begitu rapi, licin, dan halus.
Kutipan di atas menjadikan rumah pelacuran milik Nyi Dampi yang tersembunyi
dapat dihubungkan ke lapisan substansial sesungguhnya, yaitu upaya GN memasukkan
semua kelas sosial ke dalam koridor pertemuan yang sama. Keterhubungan mereka di
koridor tersebut akan menghasilkan bentuk-bentuk persinggungan antara afirmasi yang
terhimpun dalam BN dan interogasi dan intimidasi GN terhadap BN. Dalam hal ini,
pembaca akan memperhitungkan kontinuitas secara tematis di setiap peristiwa yang
mengandung potensi persinggungan yang dimaksud sehingga celah-celah lain kembali
muncul dan kembali terhubung ke dalam upaya pembaca mengatasi celah atau bahkan
kekosongan baru, misalnya menyangkut hubungan Indo-Belanda dengan kaum pribumi.
Indo-Belanda dan Pribumi
Ruang-ruang narasi yang direntangkan Salmun dari awal sampai akhir kisah
masih menempatkan secara stereotip tokoh-tokoh di dalamnya. Hal ini terbukti dari tidak
dimunculkannya tokoh-tokoh orang Belanda - bukan Indo-Belanda - dan menak luhung
‘tinggi’ ke dalam area tersebut. Hal ini bukan berarti bahwa alasan Salmun yang
bermaksud melakukan pengungkapan dan evaluasi terhadap tokoh menak dan cacah
dapat disepakati pembaca. Bagi pembaca, ketidakhadiran ini sebagai kekosongan teks.
Pembaca akhirnya dapat kembali menemukan celah-celah teks menyangkut tokoh-tokoh
yang dinyatakan narator sebagai Indo-Belanda. Hal ini tidak saja terikat kepada
peristiwa-peristiwa di tempat pelacuran atau yang terhubung ke dalamnya, tetapi juga
sampai ke kungkungan stereotipe menyangkut penguasa atau bahkan harkat sebuah
bangsa.
GN telah menunjukkan dengan cukup problematis kehadiran tokoh-tokoh
Indo-Belanda di dalam lingkungan kaum pribumi. Menyangkut hal ini, Salmun telah
Indo-14 Belanda sebagai tokoh-tokoh yang ditonjolkan dalam hubungannya dengan kaum
pribumi. Ia menempatkan sebagian tokoh Belanda, yang selanjutnya diperjelas pada
bagian lain, sebagai orang Indo-Belanda. Tentunya, pada sepanjang momen pembacaan,
pada akhirnya, hal tersebut mampu membuka celah-celah teks untuk diatasi pembacanya.
Setidaknya, hal ini bisa tampak pada peristiwa-peristiwa yang memunculkan
pandangan-pandangan narator menyangkut kesenangan kaum pribumi memasuki kehidupan kaum
Belanda. Kutipan berikut menunjukkan potensi celah teks BN yang dapat digunakan
pembaca untuk mengatasi sejumlah celah menyangkut hubungan kaum pribumi dengan
Belanda.
Heuleut tilu poe ti harita di imah Hadji Samsudin aja hadjat rongkah, nu diondang djaba ti baraja-baraja, babakuna sobat-sobat Udjang Kusen; sumawonna anu kanjahoan loma, anu ngan ukur kabedjakeun wawuh munding oge, boh bangsa urang, boh Walanda, Tionghoa atawa Arab dihadja diondang. (GN, 1966: 32)
Selang tiga hari semenjak itu, Haji Samsudin mengadakan syukuran besar-besaran. Selain saudara-saudaranya terutama sahabat-sahabat Ujang Kusen, yang diundang pun tak ketinggalan orang-orang yang hanya sebatas kenal biasa saja, baik bangsa kita maupun bangsa Belanda, Tionghoa, atau pun Arab.
Kutipan tersebut memberi peluang kepada pembaca untuk menghimpun secara
skematik hubungan-hubungan secara lebih lengkap menyangkut tokoh-tokoh di
dalamnya. Hubungan yang dimaksud, tentunya, mampu mendorong imajinasi pembaca
untuk sampai kepada penghimpunan satu peristiwa yang dapat melampaui pemberian teks
itu sendiri. Hal ini dapat ditinjau melalui cara teks di atas menunjukkan satu hubungan
yang sekaligus mengindikasikan adanya pembatasan hubungan. Orang-orang asing yang
diundang Haji Samsudin dalam acara syukuran, tidak dinyatakan sebagai bagian yang
dekat dengan kehidupan keluarga Haji Samsudin secara emosional. Teks tersebut hanya
menunjukkan bahwa orang asing, termasuk orang Belanda yang diundang, adalah
orang-orang yang dikenal Ujang Kusen secara sepintas saja. Namun, potensi tersebut masih
akan menggiring pembaca ke dalam penemuan celah-celah baru yang bersinggungan
dengan kehadiran orang-orang Indo-Belanda di dalam lingkungan kaum pribumi.
Salmun menunjukkan pembatasan hubungan yang dimaksud dengan
menempatkan tokoh-tokoh pribumi semakin dekat dengan kaum Indo-Belanda; begitu
juga sebaliknya. Hal tersebut dipertimbangkannya untuk membawa kaum pribumi kepada
15 Perubahan Nyi Rapiah menjadi percaya diri dengan sikap-sikapnya ditunjukkan narator
sebagai akibat dari orang Indo-Belanda yang dekat dengannya. Celah yang ditunjukkan
teks berikut ini berpangkal pada status Indo-Belanda dalam sejumlah persepsi
menyangkut hubungan dan tempatnya di antara kelompok-kelompok sosial lainnya.
...Tjindekna mah Nji Rapiah teh dibobotohan weh. Meudjeuhna gede hate ge, da boga panjalindungan Walanda, paranakan-paranakan ge, mangkaning Walanda teh djaman harita mah, weu, lain lumajan diarambeuanana. (GN, 1966: 75).
Nyi Rapiah itu memanglah disemangati oleh Luih. Wajar saja jika dia berbesar hati karena punya perlindungan orang Belanda meski hanya peranakan saja; apalagi zaman itu Belanda bukan lumayan lagi, begitu mendapat tempat.
Melalui narator, pembaca diarahkan untuk mengisi celah teks menyangkut status
peranakan. Teks tersebut menunjukkan kualitas hubungan secara berbeda. Narator
mengatakan bahwa cukuplah bagi Nyi Rapiah untuk berbesar hati karena ada orang
Belanda yang bisa diandalkan. Namun, narator kemudian menyebutkan bahwa kondisi
yang dimiliki Nyi Rapiah dapat terwujud meski hanya melalui sosok peranakan saja.
Narator masih menempatkan keberuntungan Nyi Rapiah karena mendapatkan sejumlah
pengalaman hidupnya dari seorang peranakan Belanda. Pandangan tersebut juga dapat
dilihat pada uraian narator mengenai citra orang Belanda dan interaksinya dengan kaum
pribumi. Teks berikut menunjukkan hal yang dimaksud.
Luih anak djago kopi, budak nora meudjeuhna belekesenteng, puguh bae sagala rosa mah, eta deuih djaman harita, boga angkeuh ieu aing Walanda, miseubeuhan napsuna teh teu anggeus ka Nji Rapiah bae. Bubuhan anak Walanda beunghar djaman harita, blas-blus ka bumi menak-menak teh pohara “lalogorna”. Djeung duka kumaha eta mah djaman harita, bangsa urang teh asal ka Walanda, tangtu ngarasa asa ka saluhureun. Dipisobat ku Walanda teh, masing ukur pangkat werekbas atawa kepala tukang wesel kareta api ge, harita mah, leuh, asa unggah harkat. (GN, 1966: 87)
16 Sebagai realitas yang bisa dirujuk pembaca ke dalam kepentingan mengisi
celah-celah tersebut, pendapat Bezemer (dalam Gouda, 2007: 303) menjadi relevan untuk
menempatkan kalangan peranakan dalam perspektif tertentu. Menurutnya, pada tahun
akhir kekuasaan kolonial Belanda, masyarakat berdarah campuran multi warna di Hindia
mendapatkan makna baru. Kepercayaan yang buta pada “kekulitputihan” masyarakat
Eropa yang universal, meskipun sejumlah anggotanya berdarah campuran, kehilangan
sebagian kekuatan imajinatifnya. Lebih jelas daripada masa lalu, kaum indo digambarkan
sebagai menguasai ruang bayang-bayang di antara putih dan cokelat, di antara majikan
dan bawahan. Mereka mengembara hilir mudik di antara kaum pribumi dan masyarakat
Eropa, serta mereka merupakan bagian populasi yang tidak bahagia, tidak puas, dan
berbahaya.
Penilaian tersebut, jika digunakan sebagai informasi yang terhubung ke dalam
repertoar, akan direkonstruksi pembaca ke dalam kepentingan menghimpun perspektif
pembacaan secara lebih luas. Hal yang paling relevan dengan pengkonstruksian yang
dimaksud, untuk menggunakan fakta realitas ke dalam pembacaan GN menyangkut orang
Indo-Belanda, dapat dilihat melalui potensi menghimpun dan mengatasi celah peristiwa
berikut ini.
“Djurutulis!” tjek Hatebessy basa Malaju, “aja jalma anjar ti Bandung, pendjahat gerot, wani-wani maehan bangsa kuring, orang kulit... kulit... kulit.” (Maksudna mah rek njebut orang kulit-putih, ari ret Hatebessy kana kulitna pribadi bet geheng, atuh rada kaeraan, boro sok reueus djadi “Walanda” teh). (GN, 1966: 182)
“Jurutulis!”, kata Hatebesy berbahasa Melayu, “ada orang baru dari Bandung, penjahat kelas kakap, berani membunuh bangsa saya, orang kulit.... kulit.... kulit,” (maksudnya akan menyebut orang kulit putih, begitu melihat Kulit Hatebessy sendiri hitam, ia tampak agak malu; mulanya suka bangga menjadi “Belanda” tersebut).
Kondisi yang dihadapi Hatebessy tersebut akan mengaktivasi pembaca ke dalam
pemahaman citra tubuh dan warna kulit. Hal tersebut akan pula merentangkan jangkauan
pembacaan ke sejumlah peristiwa yang kembali menempatkan kaum Indo-Belanda dalam
hubungan hierarkis: Belanda, Indo-Belanda, Pribumi. Demikian pula dengan santana,
17 Perasaan malu yang ditunjukkan Hatebessy bersinggungan dengan kondisi
gamang yang menimpa kalangan santana atas menak. Skema berikut mengilustrasikan
hubungan dua kondisi yang sama-sama berada dalam wilayah transisi.
menak Belanda
santana Indo-Belanda
cacah Pribumi
Lajur kiri dan kanan sama-sama memiliki area tengah, yaitu santana dan
Indo-Belanda. Penguasaan kaum Indo-Belanda terhadap pribumi atau kegelisahan kaum
santana untuk merebut wilayah menak dan hubungan kedua golongan transisi tersebut
menghasilkan banyak celah lainnya. Celah-celah tersebut bisa ditemukan sekaligus
diatasi pembaca selama pembaca menyadari adanya benturan-benturan teks dengan
sejumlah gagasannya menyangkut pangagung ‘penguasa tertinggi’, baik dalam tataran
penguasa lokal atau penguasa Hindia Belanda. Pangangung, yang tidak terjangkau atau
sengaja disembunyikan oleh teks untuk kepentingan tertentu, merupakan saluran lain
yang harus dicari dan dihubungkan pembaca ke dalam tataran yang lebih luas. Jangkauan
ke hal yang lebih luas dapat dilakukan pembaca dengan menghubungkan persinggungan
perspektif feodal dengan demokrasi yang tentunya menyisakan banyak celah untuk
18 4. Penutup
Aktivitas interpretasi dalam memahami ruang-ruang kosong pada sebuah karya
tentu bersentuhan dengan perangkat pembacaan yang menyertainya. Dalam kondisi ini,
teks tentu tidak dapat menyesuaikan dengan kondisi saat teks tersebut dibaca pembacanya
tetapi pembacalah yang aktif menemukan ruang-ruang kosong selama proses
pembacaannya. Dalam beberapa kondisi, ruang-ruang kosong yang terkandung dalam BN
dan GN dibaca dan diisi oleh pembaca kontemporer setidaknya bersentuhan dengan
ruang-ruang spasial dan temporal dalam jarak yang jauh berbeda. Horizon harapan
pengarang, harapan teks, harapan pembaca, dan harapan semangat zamannya tentu
menjadi begitu dialektis.
Pada GN, pembaca pembaca dirangsang untuk mengambil sifat negatif terhadap
apa yang dituangkan dalam BN menyangkut kelas sosial. Melalui GN, Salmun pun
menawarkan “semangat demokratis” secara gencar. Kondisi demikian tentu melahirkan
overdeterminasi yang sesungguhnya akan membuka jalan bagi terciptanya ruang-ruang
kosong kembali.
Sejumlah kekosongan menyangkut problematis identitas (suku, hubungan
indo-pribumi, kota-desa, dll.) yang terkandung dalam GN sebagai karya sambutan terhadap BN
tentu perlu diisi melalui peta mental pembaca yang memberdayakan pengetahuannya,
baik menyangkut pengetahuan tentang BN, GN, dan hubungan GN terhadap BN.
Kebebasan mengisi ruang-ruang kosong teks dalam upaya pemaknaan hanya lahir dari
konstruksi yang dikembangkan dari pola yang ditawarkan teks. Dengan demikian, dapat
diketahui bahwa sejumlah ruang kosong dalam BN dan GN secara dialektis ditunjukkan
oleh kedua karya tersebut menyangkut: (1) identitas Palembang dalam pelekatan tradisi
Sunda, (2) representasi kota-desa yang menggiring kepada perekonstruksian imajinasi
karena potensi teks yang berjarak secara ruang dan waktu bagi pembaca kontemporer, (3)
dunia pelacuran dalam GN merupakan ruang yang menjembatani praktik interogasi dan
intimidasi terhadap BN (cacah dan santana terhadap menak), dan (4) hubungan
indo-pribumi sebagai aksentuasi gejolak demokratis dalam penguasaan pihak santana terhadap
menak.
Tentu saja ruang-ruang kosong dan konstruksi pembacaan dalam mengisi
kekosoangan-kekosongan yang dimaksud tidak menjadi bagian yang tetap dan mutlak.
Dengan demikian, setiap kegiatan pembacaan di momen-momen yang berbeda oleh
19 pula. Pada kondisi seperti itulah, ruang-ruang kosong berpeluang untuk ditemukan
kembali.
Daftar Pustaka
Ardiwinat a, D.K., 1950. Baruang ka nu Ngarora. Cet akan ket iga. Jakart a: Balai Pust aka.
Bracher, M ark. 2005. Jacques lacan: Diskursus dan Perubahan Sosial. Terjem ahan Gunaw an Adm irant o. Yogyakart a-Bandung: Jalasut ra.
Eaglet on, Terry. 2006. Teori Sast ra: Sebuah Pengant ar Komprehensif. Terjem ahan Harfiyah Widyaw at i dan Evi Set yarini. Yogyakart a-Bandung: Jalasut ra. Fairclugh, Norman. 1995. Critical Discourse Analysis. Lodon-New York: Longman.
Herlina, Nina. 1998. Kehidupan Kaum M enak Priangan 1800-1942. Bandung: Pusat Inform asi Kebudayaan Sunda.
Iser, Wolgang. 1987. The Act of Reading: A Theory of Aest het ic Respone. 4t h print ing. Balt im ore & London: The John Hopkins Universit y Press.
Jorgensen, Marianne & Philips, Louise J.. 2007. Analisis Wacana: Teori dan Metode. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
---. 2006. How t o Do Theory. USA-UK-Aust ralia: Black Well.
M oriyam a, M ikihiro. 2005. Semangat Baru, Kolonialisme, Budaya Cet ak, dan
Kesusast raan Sunda Abad ke-19. Terjem ahan Suryadi. Jakart a: Kepust akaan Populer Gram edia.
Plekhanov, G. 2006. Seni dan Kehidupan Sosial. Terjem ahan Sam anjaya. Bandung: Ult im us.