i
PENGARUH PEMBERIANREWARDTERHADAP KEMAMPUAN
PENGEMBANGAN DIRI BERPAKAIAN PADA ANAK AUTIS KELAS IV DI SLB AUTISMA DIAN AMANAH
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh Puja SorayaUlfa NIM. 12103249002
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN LUAR BIASA JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
v MOTTO
Keinginan merupakan titik awal dari semua pencapaian, bukan sebuah harapan, bukan sebuah angan-angan, tetapi sebuah keinginan yang bergetar hebat, yang
melebihi segalanya.
(Napoleon Hill)
Didiklah dan persiapkanlah anak-anakmu untuk suatu zaman yang bukan zamanmu
(Ali Bin Abu Tholib)
vi
PERSEMBAHAN
Dengan penuh rasa syukur kehadirat Allah Subhaanahu Wa Ta’ala, karya ini saya persembahkan untuk :
1. Kedua orang tua tercinta, Bapak Burhanuddin (almarhum) dan Ibu Sidon Al-amudi.
vii
PENGARUH PEMBERIANREWARDTERHADAP KEMAMPUAN
PENGEMBANGAN DIRI BERPAKAIAN PADA ANAK AUTIS KELAS IV DI SLB AUTISMA DIAN AMANAH
Oleh Puja SorayaUlfa NIM 12103249002
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian reward
terhadap kemampuan pengembangan diri berpakaian padaanakautis kelas IV di SLB Autisma Dian Amanah.Pengaruhpemberianrewarddapa tdilihat dari berkurangnya frekuensi kesalahan berpakaian yang dilakukan subjek setelah diberikan intervensi atau stimulus/treatmen berupa pemberianreward.
Penelitianini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif dengan jenis penelitian kuasi eksperimen. Desain eksperimen yang digunakan adalah Single Subject Research(SSR) dengan metode A-B-A’.Subjek penelitian merupakan satu siswa autis kelas IV dengan kemampuan berpakaian paling rendah dibandingkan siswa lain yang ada di dalam kelas. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode observasi dan dokumentasi .Data yang diperoleh dianalisis menggunakan teknik analisis deskriptif, ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh pemberian rewardterhadap kemampuan pengembangan diri berpakaian anak autis yang ditunjukkan dengan berkurangnya frekuensi kesalahan berpakaian yang dilakukan subjek setelah diberikan intervensi. Adapun jumlah frekuensi kesalahan berpakaian yang dilakukan subjek pada Baseline-1 (A) kondisi awal sebelum diberikan intervensi/treatmen pemberian reward yaitu: sesi A1=5, sesi A2=5, sesi A3=5, frekuensi kesalahan dapat dikatakan stabil, karena cenderung menetap dan frekuensi kesalahan pada setiap sesi praktek tahapan berpakaian frekuensi kesalahannya sama. Frekuensi kesalahan yang dilakukan subjek selama sesi Intervensi (B) kondisi kemampuan hasil belajar setelah diberikan intervensi/ stimulus berupa pemberian reward yaitu: intervensi ke-1=4, intervensi ke-2=2, intervensi ke-3=2, intervensi ke-4=0, dan intervensi ke-5=0 sedangkan frekuensi kesalahan berpakaian yang dilakukan subjek pada Baseline-2(A’) kondisi setelah intervensi/setelah diberikan stimulus/treatment berupa pemberian reward
yaitu:sesi A’1=2, sesi A’2=2, dan sesi A’3=2
viii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tugas akhir skripsi yang berjudul “ Pengaruh Pemberian Reward Terhadap Kemampuan Pengembangan Diri BerpakaianPada Anak Autis Kelas IV di SLB Autisma Dian Amanah, Sleman, Yogyakarta”.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan dalam penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, sehingga dalam kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih yang setulus-tulusnya kepada :
1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk menyelesaikan studi pada program studi S1 PLB FIP Universitas Negeri Yogyakarta.
2. Dekan Fakultas llmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan kebijakan dalam penelitian.
3. Ketua Jurusan Pendidikan Luar Biasa yang telah memberikan kemudahan dalam kegiatan akademik dan memfasilitasi kegiatan mahasiswa.
ix
5. Ibu Sukinah Sadirin, M. Pd., selaku dosen pembimbing akademik. Terimakasih telah memberikan motivasi hingga terselesaikannya penulisan skripsi ini.
6. Bapak dan Ibu dosen Pendidikan Luar Biasa Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah bersedia membimbing dan berbagi ilmunya kepada penulis.
7. Seluruh keluarga besar SLB Autisma Dian Amanah atas kerja samanya dalam penelitian.
8. Kedua orangtua tercinta, Bapak Drs. Burhanuddin (almarhum) dan IbuHj. Sidon Al-amudi serta kakakku tercinta Fitria Ningsih Terimakasih atas semua yang sudah diberikan, cinta, kasih sayang, pengorbanan, inspirasi, dan motivasi untuk menjadi pemenang.
9. Sahabat dan teman-teman seperjuangan yang senantiasa memberikan dukungan serta semangat untuk menyelesaikan tugas akhir skripsi.
10. Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu yang senantiasa memberikan dukungan serta semangat untuk menyelesaikan tugas akhir skripsi.
Saran dan kritik sangatlah penulis harapkan. Semoga bantuan yang telah diberikan menjadi amal baik dan mendapatkan pahala dari Allah SWT.Amin.
Yogyakarta, 17 Mei 2016 Penulis
x 2. Ciri dan Karakteristik Anak Autis... B.Kajian Pembelajaran Pengembangan Diri Berpakaian...
xi
1. Pengertian Reward………. 2. Tujuan dan Manfaat Reward………... 3. Prinsip dan Syarat Reward………... 4. Bentuk Reward………. C. Tempat dan Waktu Penelitian... D. Subyek Penelitian... E. Variabel Penelitian... F. Setting Penelitian Penelitian ... G.Teknik Pengumpulan Data... H. Instrumen Penelitian... I. Prosedur Penelitian……… J. Teknik Analisis Data……….. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Lokasi Penelitian ... B. Deskripsi Subyek Penelitian ... C. Deskripsi Hasil Data Perilaku Subjek pada Aktivitas Berpakaian ... 1. Deskripsi HasilBaseline-1... 2. Deskripsi Hasil Pelaksanaan Intervensi……….. 3. Deskripsi HasilBaseline-2………... D. Analisis Data ……… E. Pembahasan Penelitian……….. F. Keterbatasan Penelitian………. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
xii
DAFTAR PUSTAKA ... LAMPIRAN ...
xiii
DAFTAR TABEL
hal Tabel 1.Data Kesalahan Subjek Dalam Praktek Berpakaian pada Fase
Baseline-1……….
Tabel 2. Data Kesalahan Subjek Dalam Praktek Berpakaian pada Fase Intervensi ke-1………... Tabel3. Data Kesalahan Subjek Dalam Praktek Berpakaian pada Fase
Intervensi ke-2………... Tabel 4. Data Kesalahan Subjek Dalam Praktek Berpakaian pada Fase
Intervensi ke-3……….. Tabel 5. Data Kesalahan Subjek Dalam Praktek Berpakaian pada Fase
Intervensi ke-4……….. Tabel 6. Data Kesalahan Subjek Dalam Praktek Berpakaian pada Fase
Intervensi ke-5……….. Tabel 7. Data Frekuensi Kesalahan Subjek Dalam Praktek Berpakaian pada
FaseBaseline-1dan Intervensi……….
Tabel 8 Data Hasil Kesalahan Subjek Dalam Praktek Berpakaian pada Fase
Baseline-2……….
Tabel 9.DataHasil Kemampuan Subjek Dalam Praktek Berpakaian pada FaseBaseline-1, Intervensi danBaseline-2………..
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.Alur Kerangka Berpikir... 39
Gambar 2.Display Frekuensi Kesalahan Subjek dalam Praktek Berpakaian pada FaseBaseline-I………. 62 Gambar 3.Display Frekuensi Kesalahan Subjek Dalam Praktek Berpakaian
Sesi Intervensi ... 74 Gambar 4.Display Frekuensi Kesalahan Subjek Dalam Praktek Berpakaian
PadaBaseline-1dan Sesi intervensi. ... 73 Gambar 5. Display Frekuensi Kesalahan Subjek Dalam Praktek Berpakaian
PadaBaseline-2. ... 79 Gambar 6. Display Frekuensi Kesalahan Subjek Dalam Praktek Berpakaian
xv
DAFTAR LAMPIRAN
hal Lampiran 1. Surat IzinPenelitian ...
Lampiran7. Hasil Dokumentasi... Lampiran 8. Foto Dokumentasi...
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Anak autis adalah anak yang mengalami gangguan perkembangan fungsi
otak yang ditandai dengan adanya kesulitan pada kemampuan interaksi sosial,
komunikasi dengan lingkungan, perilaku dan adanya keterlambatan pada
bidang akademis (Pamuji, 2007: 2).Menurut definisi tersebut dapat ditegaskan
bahwa permasalahan yang sering muncul pada anak autis salah satunya
terletak dalam hal berinteraksi dengan lingkungan.Anak autis sering dikatakan
memiliki dunianya sendiri yang mengakibatkan anak mengalami kesulitan
dalam interaksi sosial, sehingga mempengaruhi komunikasi serta perilakunya.
Berbagai permasalahan yang dialami, mengakibatkan anak autis mengalami
kesulitan dalam menyerap informasi dari luar.Kesulitan yang diperlihatkan
anak adalah kurangnya respon dan minat anak terhadap orang-orang di
sekitarnya.
Salah satu pembelajaran yang penting diberikan kepada anak autis adalah
materi pengembangan diri. Sesuai dengan pelaksanaan pendidikan yang
diselenggarakan di Sekolah Luar Biasa khususnya anak autis meliputi
berbagai mata pelajaran antara lain: Pendidikan Agama, Pendidikan
Kewarganegaraan, Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam, Bahasa Indonesia,
Matematika, Seni Budaya dan Keterampilan, Pendidikan Olah Raga, dan
Pendidikan Program Khusus Pengembangan Diri. Program pengembangan diri
2
pengembangan diri dalam kehidupan sehari-hari. Pengembangan diri
tersebut mencakup merawat diri, mengurus diri, menolong diri, berkomunikasi
dan beradaptasi dengan lingkungan sesuai dengan kemampuannya.Melalui
pembelajaran pengembangan diri anak autis diharapkan dapat hidup mandiri
di keluarga, di sekolah dan di masyarakat.Fokus penelitian ini membahas
tentang pembelajaran pengembangan diri.
Menurut Rini Hildayani, dkk (2007: 68) menolong diri sendiri dapat
disebut dengan mengurus diri sendiri (self help) atau memelihara diri sendiri
(self care). Menurut definisi tersebut dapat ditegaskan bahwa menolong diri
sendiri mencakup mengurus diri sendiri dan memelihara diri sendiri.Bagi anak
dengan kategori normal, hal ini sangat mudah untuk dilakukan, namun bagi
anak yang termasuk dalam kategori autis, hal ini perlu diajarkan dan
dipraktekkan. Sebagai contohnya yaitu: pengembangan diri makan, mandi,
dan memakai baju. Dengan demikian anak autis membutuhkan bantuan orang
lain dalam mengurus dirinya.
Menurut Sutadi (2005:167) “Autis adalah gangguan perkembangan berat
yang mempengaruhi cara seseorang untuk berkomunikasi dan
bersosialisai/berhubungan dengan orang lain”. Anak autis pada umumnya
mengalami gangguan perkembangan kompleks yang meliputi gangguan
bahasa/komunikasi, perilaku dan interaksi sosial. Gejala gangguan autis
biasanya ditemukan pada anak hingga usia tiga tahun. Gangguan yang dialami
3
Gangguan yang dialami anak autis meliputi aspek perilaku, interaksi sosial,
komunikasi dan bahasa, serta gangguan emosi dan persepsi sensori.
Hasil observasi yang telah dilakukan peneliti pada salah satu anak autis
kelas IV di SLB Dian Amanah Yogyakarta menunjukkan bahwa, anak
mengalami kesulitan melakukan aktivitas pengembangan diri, khususnya
berpakaian. Selain melakukan observasi, peneliti juga melakukan wawancara
dengan guru kelas siswa pada proses Pelaksanaan Praktek Pengalaman
Lapangan ( PPL) pada bulan agustus 2016. Berdasarkan hasil wawancara
dengan guru kelas anak belum mampu berpakaian dengan benar secara
mandiri. Saat observasi peneliti juga mencoba mengikuti proses pembelajaran
pengembangan diri pada anak, dan menemukan bahwa anak belum mampu
berpakaian dengan benar secara mandiri.
Pada pelaksanaan PPL, peneliti juga memberikan pembelajaran pada
anak.Pembelajaran tersebut berkaitan dengan kemampuan dasar yang harus
dimiliki anak agar mampu berpakaian dengan benar. Hingga proses
pelaksanaan PPL berakhir, kemampuan anak dalam berpakaian masih rendah.
Anak mampu memasukkan tangan ke lubang lengan baju namun anak tidak
mampu merapikan baju mendorong dan merapikan baju dengan benar.
Pada saat observasi kemampuan anak dalam berpakaian secara mandiri
masih rendah dan masih membutuhkan bantuan orang lain. Anak cenderung
mudah putus asa, bosan dan cenderung malas untuk berpakaian secara
mandiri, anak lebih sering dan suka dipakaikan baju daripada memakai baju
4
memakai baju.Permasalahan yang paling utama adalah anak masih bergantung
kepada guru dan orang tua.Berdasarkan berbagai penjelasan mengenai
permasalahan berpakaianyang dihadapi oleh anak autis, maka anak perlu
diberikan motivasi tujuanya adalah agar anak autis mampu berpakaian secara
mandiri dan tidak bergantung pada bantuan orang lain. Anak autis
memerlukan suatu pembelajaran dan motivasi berkaitan pada kegiatan
aktivitas pengembangan diri.
Tujuan pengembangan diritersebut berupa kemampuan mengurus dirinya
sendiri atau melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri agar tidak
mengalami ketergantungan pada orang lain dan dapat hidup sebagaimana
orang pada umumnya. Aktivitas sehari-hari yang dimaksud adalah
kebiasaan-kebiasaan rutin yang biasa dilakukan seseorang seperti berpakaian, makan,
beristirahat, memelihara kesehatan kemampuan untuk buang air kecil dan air
besar di tempat tertentu (kamar mandi/wc).
Berpakaian adalah salah satu bagian dari kegiatan pengembangan diri
yakni kegiatan mengurus diri yang tidak mudah untuk dilakukan pada anak
autis. Tujuan dari pembelajaran pengembangan diri berpakaian pada anak
autis agar dapat mengenakan pakaian sendiri sehingga tidak tergantung
dengan orang lain. Berpakaian merupakan suatu rangkaian kegiatan mulai dari
memasukkan tangan kelubang lengan pakaian sampai memeriksa kembali
apakah setiap kancing sudah masuk pada lawannya (merapikan
pakaian).Merapikan pakaian dalam kegiatan ini berarti semua kancing telah
5
autis kegiatan tersebut sulit untuk dilakukan dikarenakan keterbatasan
kemampuan yang dimiliki anak autis.
Pembelajaran pengembangan diri berpakaian pada anak autis tentunya
tidak semudah mengajarkannya pada anak normal.Umumnya bagi anak
normal dengan fisik yang sempurna dan tidak mengalami gangguan kegiatan
sehari-hari dapat dilatih sejak dini.Namun tidak demikian dengan anak autis,
anak autis mengalami beberapa kesulitan untuk fokus dalam suatu kegiatan
sehingga dalam berpakaian tidak dapat semudah dan secepat orang
normal.Keterbatasan yang dimiliki anak autis membutuhkan kesabaran dan
waktu yang lebih lama.
Berpakaian merupakan rangkaian kegiatan pengembangan diri yang sangat
kompleks dibandingkan dengan kegiatan lainnya.Dalam kegiatan tersebut
anak autis membutuhkan koordinasi otak dan anggota gerak, mata dan
kemampuan anggota badan lainnya.Dibandingkan dengan anak normal pada
umumnya, dalam berpakaian anak autis membutuhkan waktu yang relatif
lama.Selain itu pakaian yang digunakan juga perlu dimodifikasi.Baik dari segi
ukuran kancing yang lebih besar atau jenis kancingnya.Warna pakaian pun
sangat berperan penting untuk menarik perhatian anak autis agar dapat fokus
dalam melakukan kegiatan berpakaian.
Kegiatan berpakaian pada dasarnya dapat diajarkan oleh orangtua dirumah
maupun guru disekolah.Akan tetapi, pada kenyataannya kebanyakan orangtua
masih mengalami kebingungan dan kesulitan dalam mengajarkan memakai
6
orangtua mengalami kesulitan dalam mengajarkan anak berpakaian, sehingga
dalam mengenakan pakaian anak masih angat tergantung dengan orangtua.
Informasi lain yang ditemukan peneliti pada saat observasi, perasaan
bosan muncul pada saat anak autis akan memasukkan kancing kedalam lubang
kancing, sedangkan saat memasukkan kancing pada lubangnya anak
cenderung malas, sehingga mengakibatkan kancing tidak dapat tepat masuk ke
lubang kancing.Pada observasi yang dilakukanpeneliti, anak merasa senang
ketika guru memberikan perhatian, hadiahdan pujianreward.
Guru belum maksimal menerapkan pemberianreward untuk memotivasi
anak dalam pembelajaran pengembangan diri. Padahal, pembelajaran
pengembangan diri yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan anak,
dapat mendukung keberlangsungan proses belajar mengajar.Peningkatan
perilaku dapat dilakukan dengan menerapkan prosedur pengukuhan
(reinforcement). Prosedur pengukuhan dapat berupa hadiah(reward) baik
berupa material (benda) maupun non material (pujian, sanjungan), atau
kegiatan lain yang lebih menyenangkan bagi seseorang.
Menurut Mulyasa ( 2001:77) reward adalah stimulus terhadap suatu
perilaku yang dapat meningkatkan kemungkinan terulang kembali perilaku
tersebut. Reward dapat dilakukan secara verbal ataupun non verbal dengan
prinsip kehangatan, keantusiasan dan kebermaknaan. Mendukung pernyataan
diatas Menurut Mulyadi (2009:36) dalam kegiatan belajar mengajar,reward
penguatan positif mempunyai arti penting. Pemberian reward dalam kelas
7
Pada observasi yang dilakukan oleh peneliti, perasaan bosan, malas
muncul pada saat anak autis akan memasukkan kancing kedalam lubang
kancing, sehingga mengakibatkan kancing tidak dapat tepat masuk ke lubang
kancing. Hal ini disebabkan karena perilaku anak yang mudah bosan dan
malas sehingga kegagalan yang berulang-ulang.Disaat aktivitas
pengembangan diri berpakaian anak terlihat malas, diam dan lama merespon.
Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti tertarik melakukan penelitian
yang berjudul” Pengaruh pemberian reward terhadap motivasi pengembangan
diri berpakaian pada anak autis kelas IV di SLB Dian Amanah Yogyakarta”.
Peneliti menggunakan pemberian reward berupa pujian berbentuk verbal dan
non verbal, sanjungan, hadiah yang di senangi anak untuk memotivasi anak.
Peneliti memberikan reward ketika anak dapat berperilaku sesuai dengan
harapan, misalnya anak dapat berpakaian dengan baik dan benar secara
mandiri maka diberikan hadiahreward.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan Latar Belakang Masalah diatas maka dapat diidentifikasi
beberapa masalah antara lain:
1. Rendahnya kemampuan pengembangan diri berpakaian anak autis
sehingga anak belum mampu berpakaian dengan benar secara mandiri dan
masih bergantung pada orang lain dalam mengrus dirinya sendiri.
2. Kurangnya pengetahuan anak tentang tata cara tahapan berpakaian yang
8
3. Anak autis mudah putus asa, bosan dan cenderung malas berpakaian
dengan benar sehingga anak belum mampu berpakaian dengan benar
secara mandiri.
4. Belum diajarkannya tata cara atau langkah-langkah berpakaian secara
detail.
5. Anak autis kelas IV di SLB dian amanah Yogyakarta membutuhkan
motivasi berupa pemberian reward dalam pembelajaran pengembangan
diri berpakaian
C. Batasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah diatas,maka dalam penelitian ini peneliti
membatasi pada masalah nomer 1 dan 5, yaitu anak autis kelas IV belum
mampu berpakaian dengan baik danbenar secara mandiri. Sehingga anak
membutuhkan motivasi berupa pemberian reward pada proses pembelajaran
pengembangan diri.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah diatas, maka dapat ditentukan rumusan masalah
sebagai berikut: “Apakah PemberianRewardBerpengaruhterhadap
kemampuanpengembangan diri berpakaian pada anak autis kelas IV di SLB
9
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang peneliti kemukakan, maka tujuan yang
ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: MengetahuiPengaruh Pemberian
Reward terhadap kemampuan pengembangan diri berpakaian pada anak autis
kelas IV di SLB Dian Amanah Yogyakarta.
F. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat secara teoritis dan praktis. Adapun
manfaat tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan berupa
pengetahuan dalam pengembangan ilmu Pendidikan Luar Biasa terutama
yang berhubungan dengan pembelajaran pengembangan diri, khususnya
pembelajaran mengenai aktivitas berpakaian pada anak autis.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini memiliki manfaat bagi anak, guru, sekolah dan penulis
meskipun terbatas pada subjek yang terkait dengan penelitian. Adapun
manfaat praktis penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Bagi Anak
Penelitian ini dapat membantu anak memperoleh pembelajaran
berpakaian yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik anak,
sehingga memudahkan anak untuk belajar.Pada akhirnya, anak dapat
berpakaian dengan baik dan benar secara mandiri dalam kehidupan
10 b. Bagi Guru
Penelitian ini memberikan informasi kepada guru, agar dapat
menggunakan metode pembelajaran yang tepat bagi anak autis,
khususnya pada pembelajaran yang berkaitan dengan pengembangan
diri seperti berpakaian.
c. Bagi Sekolah
Hasil penelitian ini sebagai pertimbangan dalam penggunaan metode
pembelajaran pengembangan diri berpakaian bagi anak autis.
d. Bagi Peneliti
Penelitian ini mampu memberikan pengetahuan pada peneliti tentang
caramengidentifikasi kebutuhan dan kemampuan anak, sehingga
dapat menentukan metode pembelajaran yang sesuai untuk
diterapkan dalam pembelajaran dikelas.
G. Definisi Operasional
1. Anak Autis yang dimaksud dalam penelitian ini adalah anak yang
mengalami gangguan pada komunikasi dan perilaku. Anak autis dalam
penelitian ini berada dikelas IV. Anak autis juga mengalami kesulitan
pengembangan diri dalam berpakaian.
2. Kemampuan Pengembangan Diri berpakaian pada anak autis dalam
penelitian ini merupakan kemampuan anak autis melakukan tahapan
berpakaian. Tahapan-tahapan tersebut yaitu; dimulai dengan
mengenalkan pakaian pada anak, (1) memasukkan tangan kanan ke
11
lengan baju bagian kiri, (3) menarik baju ke depan membetulkan
letaknya, (4) melipat krah baju sebagaimana mestinya (5) mendorong
kancing dengan ibu jari melewati lubang, (6) menarik kancing, (7)
merapikan baju.Kemampuan berpakaian pada anak dikatakan mengalami
perubahan jika jumlah kesalahan dalam memperaktekkan aktivitas
berpakaian sebelum diberikan intervensi lebih tinggi dibandingkan
dengan setelah diberikan intervensi dalam waktu yang telah ditentukan
yaitu 3 menit.
3. Pemberian Reward merupakan stimulusterhadap suatu perilaku yang
dapat meningkatkan kemungkinan terulang kembali perilaku tersebut.
Pemberian hadiah (reward) yang diterapkan oleh guru berupa hadiah
yang disenangi anak berupa mainan dan alat tulis, dan pujian seperti
“kamu pintar, acungan jempol, serta senyuman yang dibubuhi kalimat
pujian berupa “iya benar, kamu pintar, acungan jempol saat prosses
praktek tahapan berpakaian berlangsung. Dalam skripsi ini, pelaksanaan
pemberian reward mencakup tiga bagian yaitu kegiatan awal, inti dan
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Tentang Anak Autis
1. Pengertian Anak Autis
Istilah autisme pertama kali diperkenalkan pada tahun 1943 oleh Leo
Kanner, anak yang mengalami autisme memiliki gangguan
perkembangan komunikasi, interaksi sosial, dan perilaku.Anak autis
secara fisik tidak berbeda dengan anak normal pada umumnya.Anak autis
terlihat berbeda dengan anak normal pada saat anak autis berperilaku,
berkomunikasi, dan berinteraksi sosial yang jauh berbeda dengan anak
normal.Gangguan perkembangan komunikasi, interaksi sosial, dan
perilaku ini mengakibatkan anak autis mengalami permasalahan yang
kompleks.
Menurut Reed (dalam Sujarwanto, 2005: 180) anak yang mengalami
gangguan autisme mengalami permasalahan yang sangat kompleks,
meliputi motorik, sensorik, kognitif intrapersonal, interpersonal,
perawatan diri. Pendapat tersebut memberikan gambaran bahwa selain
anak autis mengalami gangguan perkembangan komunikasi, interaksi
sosial, dan perilaku anak autis juga memiliki permasalahan pada motorik,
sensorik, kognitif intrapersonal, interpersonal, perawatan diri, yang
sangat kompleks.
Pendapat mengenai autisme juga dikemukakan oleh Ronald, Lydia,&
13
Autism means a developmental disability significantly affecting verbal and nonverbal communication and social interaction, generally evident before age three, that adversely affects a child’s education performance.
Pendapat tersebut mempunyai arti bahwa anak dengan autis
merupakan seseorang yang mengalami suatu gangguan perkembangan
signifikan yang mempengaruhi komunikasi verbal dan non verbal serta
interaksi sosial, umumnya terlihat sebelum usia tiga tahun yang
berpengaruh negatif terhadap kinerja pendidikan anak. Sedangkan
menurut Safari (2005: 2) autisme merupakan gangguan perkembangan
pervasive yang secara menyeluruh mengganggu fungsi kognitif, emosi,
dan psikomotor anak.
Definisi lain menyatakan bahwa, anak autis adalah individu yang
mengalami suatu gangguan perkembangan pada perilaku emosional,
sosial, dan komunikasi (Wina E. Darwis, 2003: 90). Kedua pendapat
tersebut menjelaskan bahwa anak autis yaitu seorang anak yang
mengalami gangguan perkembangan, sehingga mereka mengalami
kesulitan dalam berkomunikasi dan berinteraksi sosial dengan
lingkungan. Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas, maka dapat
ditegaskan bahwa anak autis adalah ketidakmampuan seorang anak
dalam berinteraksi sosial, berkomunikasi, dan berperilaku dengan orang
lain yang merupakan gangguan pervasif dan muncul sejak usia tiga
tahun, sehingga anak autis mempunyai gangguan yang kompleksmeliputi
motorik, sensorik, kognitif intrapersonal, interpersonal, perawatan
14
diri (Activity Daily Living), sehingga anak memerlukan bimbingan dan
penanganan khusus.
2. Ciri atau Karateristik Anak Autis
Ciri-ciri anak autis dapat diamati sebagai berikut Joko Yuwono
(2009: 28-56):
a. Perilaku
1) Tidak peduli terhadap lingkungan
2) Perilaku tidak terarah: mondar-mandir, lari-lari, manjat-manjat,
berputar-putar, lompat-lompat dan sebagainya.
3) Kelekatan terhadap benda tertentu
4) Tantrum
5) Fixations (minat atau kesenangan dengan objek atau aktivitas
tertentu)
6) Rigid Routine dapat diartikan sebagai perilaku anak autisme
yang cenderung mengikuti pola dan urutan tertentu dan ketika
pola atau urutan itu dirubah anak autistic menunjukkan
ketidaksiapan atas perubahan tersebut.
7) Terpukau terhadap benda yang berputar atau benda yang
bergerak
8) Aggressive.
Perilaku agresif pada anak autisme menunjukkan agresifitas
yang berlebihan dan penyebabnya terkadang terkesan sangat
15
nyata penyebab kejadiannya. Bentuk dari perilaku agresif
anak-anak autisme dimanifestasikan dalam berbagai bentuk
menyerang orang lain seperti memukul, mencambak,
menendang-nendang, memberantakan benda atau menggigit
orang lain. Alasan munculnya perilaku ini pada umumnya
karena kebutuhan atau keinginan anak tidak terpenuhi
meskipun masalahnya sangat sepele (bagi kita) misalnya
mainan kesukaannya diambil, posisi benda yang diatata secara
berderet berubah dan sebagainya.
9) Self injury
Merupakan bentuk perilaku anak-anak autis yang
dimanifestasikan dalam bentuk menyakiti diri sendiri.Perilaku
ini muncul dan meningkat dikarenakan beberapa masalah
seperti rasa jemu, stimulus yang kurang atau kebalikkannya
yakni adanya stimulasi yang berlebihan.
10)Self stimulation
Menurut Joko Yuwono (2009: 50) menuliskan bahwa
perilaku self stimulation merupakan salah satu ciri utama yang
terdapat dalam mendiagnosis anakautis. Perilaku ini adalah
berulang-ulang (stereotipe) yang tidak untuk menyediakan
beberapa fungsi lain diluar sensori grafitasi. Menurut Joko
Yuwono ( 2009 : 51) membagi beberapa kategori perilaku
16
Kategori pertama, adalah gerak tubuh.Hal ini termasuk
berayun-ayun, hand flapping, dan memutar-mutar badan
sendiri.Tatapan merupakan bentuk visual self stimulation
seperti memperhatikan sesuatu garis visual yang melintang
bergerak seperti melihat melalui rusuk-rusuk pagar.
Kategori yang kedua, self stimulation menggunakan objek
bertujuan untuk mencari input sensori contohnya hand flapping
menggunakan kertas, daun, melilitkan tali pada jari, memutar
objek, memutar roda pada mobil, mengayak pasir,
memercikkan air dan menjumput-jumput kain. Seringkali
anak-anak autisme berinteraksi dengan benda-benda melalui
bermain. Mainan tidak digunakan semestinya tetapi hal ini
nampak sebagai tujuan kebiasaan seperti memutar roda mobil
sebagai pengganti “mengemudi” mobil. Penggunaan objek
yang berulang-ulang seperti mengetuk-ngetuk benda ke meja
atau dinding juga termasuk dalam kategori ini.
Kategori ketiga ritual dan obsessions. Perilaku ini termasuk
menyusun objek dalam satu deret, memegang/kelekatan
terhadap benda, memakai pakaian yang sama, menuntut sesuatu
untuk tidak berpindah (furniture), berbicara terus menerus
tentang topik tertentu (verbal preservation), menutup pintu dan
17 b. Interaksi sosial
a) Tidak mau menatap mata
b) Dipanggil tidak menoleh
c) Tak mau bermain dengan teman sebayanya
d) Asyik/bermain dengan dirinya sendiri
e) Tidak ada empati dalam lingkungan sosial
c. Komunikasi dan bahasa
1) Terlambat bicara
2) Tak ada usaha untuk berkomunikasi secara non verbal dengan
bahasa tubuh
3) Merancau dengan bahasa yang tak dapat dipahami
4) Membeo (echolalia)
5) Tak memahami pembicaraan orang lain
Sedangkan menurut Aqila Smart (2010: 58-60) karateristik anak autis
sebagai berikut: sulit bersosialisasi dengan anak-anak lainnya, tertawa
atau tergelak tidak pada tempatnya, tidak pernah atau jarang sekali
kontak mata, tidak peka terhadap rasa sakit, lebih suka menyendiri
(sifatnya agak menjauhkan diri), suka benda-benda yang berputar atau
memutar benda, ketertarikan pada satu benda secara berlebihan,
hiperaktif atau melakukan kegiatan fisik secara berlebihan atau malah
tidak melakukan apapun (terlalu diam), kesulitan dalam mengutarakan
kebutuhannya (suka menggunakan isyarat atau menunjuk dengan tangan
18
hal-hal yang bersifat rutin), tidak peduli bahaya, menekuni permainan
dengan cara aneh dalam waktu lama, echolalia ( mengulangi kata atau
kalimat, tidak berbahasa biasa), tidak suka dipeluk (disayang) atau
menyayangi, tidak tanggap terhadap isyarat kata-kata (bersikap seperti
orang tuli), tidak berminat terhadap metode pengajaran biasa, tantrums
(suka mengamuk/memperlihatkan kesedihan tanpa alasan yang jelas),
kecakapan motorik kasar/motorik halus yang seimbang (seperti tidak
mau menendang bola, namun dapat menumpuk balok-balok).
Berdasarkan dari hasil pembahasan mengenai karateristik atau
ciri-ciri mengenai anak autis tersebut dapat disimpulkan bahwa anak autis
yang dimaksud yaitu anak autis yang mengalami hambatan dan
membutuhkan layanan secara spesifik, termasuk dalam program
pendidikan.Anak autis juga mempunyai kekurangan atau keterbatasan
dari segi mental intelektualnya, dibawah rata-rata normal, sehingga
mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik, komunikasi, maupun
sosial, dan karena itu memerlukan layanan pendidikan khusus.
Penyandang autis dalam mengembangkan pemahaman dan
penggunaan bahasa, prestasi akhir yang dapat mereka capai dalam bidang
ini terbatas.Keterampilan merawat diri, keterampilan mengurus diri dan
keterampilan motorik juga terlambat, dan sebagian dari mereka ini
memerlukan pengawasan seumur hidup.Program pendidikan khusus
19
mereka yang terbatas dan memperoleh keterampilan dasar.Ketika dewasa
anak autis biasanya mampu melakukan pekerjaan praktis.
B. Kajian Tentang Pembelajaran Pengembangan Diri Berpakaian
1. Pengertian Pengembangan Diri
Pengembangan diri merupakan kegiatan untuk mengembangkan
keterampilan pengembangan diri sendiri pada siswa autis.Menurut
Mamad Widya (2003: 1) pengembangan diri merupakan suatu kegiatan
yang mengacu dan bersifat pribadi karena mengandung pengertian bahwa
keterampilan-keterampilan yang diajarkan atau dilatihkan menyangkut
kebutuhan setiap individu yang harus dilakukan sendiri tanpa bantuan
orang lain jika kondisi individu memungkinkan.
Menurut pendapat tersebut dapat ditegaskan bahwa pembelajaran
pengembangan diri perlu diberikan pada anak autis, sehingga anak dapat
mengurus dan memelihara diri sendiri tanpa diajarkan atau dipraktekkan
dan tidak tergantung dengan orang lain.Keterampilan pengembangan diri
pada anak autis yang perlu dikembangkan, seperti mengurus diri sendiri,
membersihkan diri sendiri, makan, minum, berpakaian, menggunakan
toilet sendiri, dan lain sebagainnya.
Menurut Maria J. Wantah (2007: 37) pembelajaran pengembangan diri
pada anak autis adalah suatu proses pembelajaran yang diberikan pada
20
Program pengembangan diriadalah program yang dipersiapkan agar siswi
autis mampu menolong diri sendiri dalam bidang yang berkaitan untuk
kebutuhan diri sendiri (Mumpuniarti, 2003: 69).Contoh kegiatan
menolong diri sendiri, seperti berpakaian, mandi, menggosok gigi, toilet
training, dan lain sebagainnya.
Pendapat tersebut dapat ditegaskan bahwa pembelajaran pengembangan
diri penting diajarkan dan dilatihkan bagi siswi autis dengan latar
belakang yang utama adalah aspek kemandirian yang berhubungan
dengan kesehatan seseorang. Beberapa kegiatan rutin harian
berhubungan dengan aspek kemandirian yang perlu diajarkan meliputi
kegiatan atau keterampilan berpakaian, mandi, makan, menggosok gigi,
dan ke kamar kecil (toilet), merupakan kegiatan yang sangat erat
kaitannya dengan aspek kesehatan seseorang.
Berbagai pendapat dari beberapa ahli di atas dapat ditegaskan bahwa
pembelajaran pengemabnagn diri merupakan kegiatan untuk melatih
keterampilan anak dalam kemandirian yang berhubungan dengan
kegiatan sehari-hari.Dari pembelajaran pengembangan diri terdapat
pembelajaran pengembangan diri berpakaian, yaitu pembelajaran yang
mengajarkan anak autis mengenai kemandirian melakukan keterampilan
aktivitas berpakaian. Oleh karena itu pembelajaran pengembangan diri
berpakaian untuk anak autis kelas VI di SLB Autisma Dian Amanah
21
bergantung dengan orang lain. Oleh karena itu untuk hidup mandiri anak
autis perlu dibekali pembelajaran pengembangan diri.
2. Tujuan Pembelajaran PengembanganDiri Anak Autis
Pembelajaran bina diri pada anak Autis bertujuan agar anak dapat
mengerjakan sesuatu dapat optimal dan dapat mandiri sesuai dengan usia
perkembangan. Serta agar anak berperilaku normaldan beradaptasi
dengan anak normal sedapat mungkin.Kompetensi agar anak mampu
mengurus diri dan mandiri dalam kehidupan sehari-hari sehingga tidak
bergantung pada orang sekelilingnya.
Mamad widya (2003: 4) mengemukakan bahwa tujuan pembelajaran
pengembangan diri adalah agar anak berkebutuhan khusus dapat mandiri
dengan tidak bergantung pada orang lain dan mempunyai rasa tanggung
jawab. Kegiatan pengembangan diri merupakan kegiatan yang
berhubungan dengan diri sendiri, tetapi sulit untuk anak autis melakukan
kegiatan mengurus diri sendiri dengan mandiri, oleh karena itu
pembelajaran pengembangan diri diajarkan kepada anak autis dengan
harapan agar dapat melakukan keterampilan mengurus diri dengan
mandiri.
Program Pengembangan diri (self care skill) adalah program yang
dipersiapkan agar anak autistik mampu menolong diri sendiri dalam
bidang yang berkaitan dengan kebutuhan diri sendiri. the ability to attend
22
independence. The self-care domain involves eating, dressing, toileting,
grooming, safety, and health skilss“ (Mumpuniarti, 2003: 69).
Berdasarkan pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa pembelajaran
pengembangan diri diberikan kepada ABK bertujuan untuk
meningkatkan kemandirian yang berkaitan dengan aspek kesehatan dan
aspek yang berkaitan dengan kematangan sosial.Kegiatan rutin harian
yang perlu diajarkan bagi anak autis adalah kegiatan atau keterampilan
berpakaian, mandi, makan, menggosok gigi, dan ke kamar kecil (toilet)
yang merupakan kegiatan yang sangat penting.
Pembelajaran pengembangan diri pada anak Autis bertujuan agar anak
dapat mengerjakan sesuatu dapat optimal dan dapat mandiri sesuai
dengan usia perkembangan. Serta agar anak berperilaku normaldan
beradaptasi dengan anak normal sedapat mungkin. Kompetensi agar anak
mampu mengurus diri dan mandiri dalam kehidupan sehari-hari sehingga
tidak bergantung pada orang sekelilingnya. Strategi pembelajaran anak
autis dalam bina diri disesuaikan dengan karateristik dan potensi,
memahami keadaan psikologi dan latar belakang, sesuai dengan materi,
serta fokus pada anak yang mengalami autis.
Berdasarkan pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan
pembelajaran pengembangan diri adalah agar anak autis dapat melakukan
keterampilan mengurus dirinya sendiri dengan mandiri sehingga anak
dapat belajar untuk dapat bertanggung jawab pada hal yang berhubungan
23
bidang-bidang tersebut akan mendukung kemandirian mereka didalam
keluarga.
3. Pengertian Pembelajaran Berpakaian
Rostamailis (2005:198) mengemukakan bahwa “berpakaian
(berbusana) bukan hanya menutupi tubuh saja, tetapi memerlukan
keserasian atau kecocokan antara busana atau pakaian yang dipakai
dengan si pemakai”.Walaupun kita telah bersolek lengkap dengan
menggunakan tata rias muka, rambut yang rapi, dan cantik tetapi pakaian
yang kita pakai tidak sesuai, maka akan mengurangi penampilan kita.
Untuk itu, maka kita perlu menggunakan pakaian yang serasi dan sesuai
dengan tempatnya.
Selain berfungsi menutup tubuh, pakaian juga dapat merupakan
pernyataan lambing status seseorang dalam masyarakat.Sebab berpakaian
ternyata merupakan perwujudan dari sifat dasar manusia yang
mempunyai rasa malu sehingga berusaha selalu menutupi
tubuhnya.Pakaian (busana) menurut bahasa adalah segala sesuatu yang
menempel pada tubuh dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Menurut istilah, busana adalah pakaian yang kita kenakan setiap hari
dari ujung rambut sampai ujung kaki beserta segala perlengkapannya,
seperti tas, sepatu dan segala macam perhiasan/aksesoris yang melekat
padanya. Berpakaian merupakan hal yang sangat penting dalam
kehidupan manusia karena kalau tidak berpakaian, maka orang akan
24
membantu anak dalam meningkatkan keterampilan berpakaian, maka
memerlukan waktu dan kesabaran dari orang tua.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
berpakaian adalah suatu serangkaian kegiatan mengenakan baju untuk
menutupi atau sesuatu yang menempel pada tubuh.Pembelajaran
berpakaian harus diterapkan pada anak autis yang mengalami kesulitan
dalam mengurus diri memakai pakaian. Sehingga dengan ini mereka
dapat beraktivitas sehari-hari tanpa bantuan, dengan tujuan
meminimalisir dan atau menghilangkan ketergantungan terhadap bantuan
orang lain dalam melakukan aktivitas khususnya dalam mengenakan
pakaian.
C. Kajian Tentang Reward
1. Pengertian Reward
Reward merupakan kata asing, di mana menurut Willie Wijaya
(2014:328) kata tersebut dapat diartikan sebagai ganjaran, hadiah, upah,
pahala, penghargaan. Menurut Ngalim Purwanto (2009:182) reward atau
ganjaran adalah suatu alat pendidikan. Pendidik bermaksud supaya
dengan ganjaran itu anak menjadi lebih giat lagi usahanya untuk
memperbaiki atau mempertinggi prestasi yang telah ia capai.
Reward dapat diartikan sebagai sebuah penguat (reinforcement) terhadap
perilaku peserta didik. Pengukuhan positif (positive reinforcer) sering di
25
suatu peristiwa yang dihadirkan dengan segera yang mengikuti perilaku
tersebut meningkat frekuensinya. Sekali kejadian yang telah ditentukan
fungsinya sebagai pengukuh positif untuk individu tertentu pada situasi
tertentu, peristiwa dapat digunakan untuk memperkuat perilaku individu
lain pada situasi lain. Secara prinsip, pengukuh positif menyatakan
bahwa jika dalam suatu situasi seseorang melakukan sesuatu kemudian
yang diikuti dengan segera oleh pengukuh positif, maka orang itu akan
cenderung mengulanginya untuk melakukan hal yang sama pada sutuasi
yang cenderung sama. (Edi Purwanta, 2012:33).
Menurut Anita woolfolk (2009:310) mengatakan ada dua macam
reward atau reinforcement (penguat) yaitu positive reinforcement dan
negative reinforcement. Positive reinforcement seperti yang telah
dijelaskan di atas, yaitu memperkuat perilaku dengan menyuguhkan
stimulus yang diinginkan setelah perilaku itu terjadi. Sedangkan
negativereinforcement yaitu memperkuat perilaku dengan
menghilangkan stimulus aversif( mengganggu/ menjengkelkan/tidak
menyenangkan) ketika perilaku itu terjadi.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa reward
atau reinforcement adalah sesuatu yang diberikan kepada seseorang
apabila dia melakukan perubahan perilaku yang baik, berkepribadian
baik. Pengertian reward dalam penelitian ini dibatasi pada bentuk
penguatan positif yang berupa reward yang dapat menimbulkan motivasi
26
2. Tujuan dan ManfaatReward
a. Tujuan reward
Menurut Mulyasa (2011:80) tujuan penggunaan Reward yaitu;
Meningkatkan perhatian siswa terhadap pembelajaran, merangsang dan
meningkatkan motivasi belajar. Meningkatkan kegiatan belajar dan
membina perilaku yang produktif. Selanjutnya, tujuan dari adanya
reward yaitu meningkatkan perhatian siswa, memperlancar atau
memudahkan proses belajar, membangkitkan dan mempertahankan
motivasi, mengontrol dan mengubah sikap suka mengganggu dan
menimbulkan tingkah laku belajar yang produktifmengembangkan dan
mengatur diri sendiri dalam belajar, mengarahkan kepada cara berfikir
yang baik dan inisiatif pribadi. Buchari Alma (2008:30).
Penguatan yang diwujudkan melalui pemberian Reward dalam kegiatan
belajar mengajar dapat memberikan manfaat seperti, meningkatkan
perhatian anak, membangkitkan motivasi anak, mendorong tingkah laku
produktif anak, mengontrol perilaku anak (Simamora Roymond H,
2009:81). Untuk lebih lanjutnya akan dibahas dibawah ini:
1) Membangkitkan motivasi peserta didik
Motivasi belajar dari anak yang tidak tertarik pada pembelajaran
tertentu dapat dibangkitkan dengan memberikan penguatan yangsesuai
dengan karakteristik masalah atau hal yang disukai/disenangi dan
kebutuhan anak\.
27
Pemberian penguatan melalui reward dari anak dapat menciptakan
suasana persaingan yang sehat untuk meningkatkan produktivitas anak
dalam penguasaan pembelajaran. Anak dapat saling bersaing untuk
mendapatkan pengahrgaan dari guru sehingga mereka juga bersaing
meningkatkan produktivitas belajar.
3) Mengontrol perilaku peserta didik.
Penguatan yang tepat dan bijaksana bagi anak yang berperilaku salah
dapat menjadi koreksi bagi peserta didik tersebut.Peserta didik
tersebut akan merasa bahwa perbuatanya juga di control oleh
pendidik, sehingga diharapkan peserta didik akan dapat memperbaiki
perbuatanya.
b. Manfaat Reward
Manfaat penghargaan (Gina Gania, 2011 : 104) manfaat
perngahrgaan:
1) Membantu kita untuk mendorong perilaku yang baik dan kerja
keras.
2) Membantu kita untuk memotivasi peserta didik terutama anak yang
tidak memiliki kecendrungan alami untuk berusaha dengan keras.
3) Dapat memotivasi anak yang memiliki rasa percaya diri rendah.
Berdasarkan pendapat ahli diatas, dapat disimpulkan tujuan dan manfaat
Reward, untuk menimbulkan perilaku positif yang dapat mengarahkan
kepada kegiatan belajar yang baik, contohnya anak menjadi memiliki
28
pemberian Rewardseperti, mempengaruhi anak untuk berperilaku positif
dan mengarah keperubahan dalam hasil belajarnya.
3. Prinsip dan Syarat Reward
a. Prinsip Reward
Menurut Ahmad Ali Budaiwi (dalam Wahyudin dan M. Fauzil
Adhim, 2003:22-23) prinsip imbalan dan hukuman adalah sebagai
berikut:
Imbalan sebagai fungsi pengarah positif dan perilaku yang benar
Adapun hukuman atau sanksi adalah untuk melemahkan atau
menghilangkan respon atau perilaku tertentu anak yang dipandang
menyimpang; Imbalan atau hukuman bukanlah tujuan, ia adalah
sarana untuk mengukuhkan atau menghilangkan perilaku tertentu,
imbalan dan hukuman dilakukan secara imbang dan professional;
imbalan diberikan secara situasional, sewaktu-waktu saja agar tidak
berubah sebagai pelican atau suap. Jadi pemberian penerapanya pada
anak khususnya anak autis adalah apabila anak mampu memakai
baju secara mandiri dengan benar maka anak akan mendapat
pengahrgaan atau pujian reward.Tidak didasarkan pada selera
pribadi, diutamakan memberikan imbalan daripada menerapkan
sanksi dan diutamakan memberikan imbalan non material agar anak
29
Berdasarkan prinsip diatas reward diberikan untuk memberikan
pengaruh positif dan ditujukan kepada perilaku yang benar.
pemilihanreward yang diberikan pun harus selektif.Artinya tidak
semua barang dapat dijadikan untuk reward. Pemberian reward atau
sering juga disebut dengan imbalan diberikan tidak secara terus
menerus agar fungsi tidak berubah menjadi suap.
b. Syarat Reward
Reward tidak dapat diberikan dalam keadaan atau situasi kapanpun.
Menurut Zulaeha Hidayati (2010 :38) syarat-syarat reward yang
diberikan adalah bersifat edukatif tidak memberatkan orang tua,
tidak membuat anak jadi menuntut lebih besar, tidak untuk
selamanya dan jarak waktu cukup(tidak terlalu lama). Senada dengan
pernyataan diatas, ada beberapa syarat yang perlu diperhatikan oleh
pendidik, diantaranya:
1. Untuk memberi ganjaran yang pedagogis perlu sekali guru
mengenal betul-betul muridnya dan tahu menghargai dengan
tepat. Ganjaran dan penghargaan yang salah dan tidak dapat
membawa akibat yang tidak diinginkan.
2. Ganjaran yang diberikan kepada seorang anak janganlah
hendaknya menimbulkan rasa cemburu atau iri hati bagi anak
yang lain yang merasa pekerjaanya juga lebih baik, tetapi tidak
30
3. Memberi ganjaran hendaklah hemat, terlalu kerap atau harus
menerus memberi ganjaran dan penghargaan akan menjadi
hilang arti ganjaran itu sebagai alat pendidikan.
4. Janganlah memberi ganjaran dengan menjanjikan lebih dahulu
sebelum anak-anak menunjukan prestasi kerjanya apalagi bagi
ganjaran yang diberikan kepada seluruh kelas. Ganjaran yang
telah dijanjikan lebih dahulu, hanyalah akan membuat
anak-anak berburu-buru dalam bekerja dan akan membawa
kesukaran-kesukaran bagi beberapa anak yang kurang pandai.
5. Pendidik harus berhati-hati memberikan ganjaran, jangan
sampai ganjaran yang diberikan kepada anak-anak diterimanya
sebagai upah dari jerih payah yang telah dilakukanya. (Ngalim
Purwanto, 2011: 184)
Dari pemaparan beberapa pendapat ahli diatas, dapat disimpulkan
bahwa syarat pemberian reward seperti subyek yang akan diberikan
reward, dampak yang dimunculkan dengan adanya pemberian
reward, biaya yang dikeluarkan untuk memberikan reward, dan
hendaklah pemberian reward tidak menjanjikan terlebih dahulu
kepada anak.
4. Bentuk Reward
Bentuk reward yang diberikan dapat bermacam-macam. Menurut
31
pujian, mainan, barang lain yang amat diinginkan oleh anak, jalan-jalan
satu atau dua minggu sekali, bermain kerumah teman dan kelereng,
bunga atau benda lain sebagai tanda keberhasilan. Reward ini digunakan
untuk melatih tahap-tahap awal ketika anak masih belum paham terhadap
alasan melakukan sesuatu dan kesulitan dalam membiasakan diri.
Namun, motivasi harus pelan-pelan ditanamkan untuk mengurangi
ketergantungan pada reward. Ngalim Purwanto (2011: 183), ganjaran
sebagai alat pendidikan banyak sekali macamnya. Sebagai contoh macam
perbuatan atau sikap pendidik yang dapat merupakan ganjaran bagi anak
didiknya yaitu:
a. Guru mengangguk-angguk tanda senang dan membenarkan suatu
jawaban yang diberikan oleh seorang anak.
b. Guru memberi kata-kata yang menggembirakan (pujian)
seperti,”Rupanya sudah baik pula tulisanmu, Min. Kalau kamu terus
berlatih , tentu akan lebih baik lagi.”
c. Pekerjaan juga dapat menjadi suatu ganjaran. Contoh, “Engkau akan
segera saya beri soal yang lebih sukar sedikit. Ali, karena yang
nomer 3 ini rupa-rupanya agak terlalu baik engkau kerjakan.”
d. Ganjaran yang ditunjukan kepada seluruh kelas sering sangat perlu.
Misalnya, “ karena saya lihat kalian telah bekerja dengan baik
danlekas selesai, sekarang saya (bapak guru) akan mengisahkan
sabuah cerita yang bagus sekali.” Ganjaran untuk seluruh kelas dapat
32
e. Ganjaran dapat juga berupa benda-benda yang menyenangkan dan
berguna bagi anak-anak. Misalnya, pensil buku tulis, gula-gula atau
makanan yang lain. Tetapi dalam hal ini guru harus sangat
berhati-hati dan bijaksana sebab dengan benda-benda itu, mudah benar
ganjaran berubah menjadi “upah” bagi murid-murid.
Martin dan Pear ( dalam Edi Purwanto, 2012: 32 dan 39) kata
“pengukuh positif (positive reinforce) sering disinonimkan dengan
kata “hadiah” (reward). Ada banyak alternative pilihan yang dapat
dijadikan pengukuh yaitu makanan, benda-benda konkret, benda
yang dapat ditukar sebagai pengukuh, aktivitas dan tindakan bersifat
sosial.
5. Langkah Pemberian Reward
Kata “pengukuhan positif” sering disinonimkan dengan kata “hadiah”
(reward) (Martin dan Pear dalam Edi Purwanto, 2012: 36). Penerapan
reward dapat dilakukan dengan banyak pertimbangan mengingat adanya
efek samping yang mungkin ditimbulkan. Faktor-faktor yang perlu
dipertimbangkan menurut Soetarlinah Sukadi (dalam Edi Purwanto,
2012:36), seperti menyajikan pengukuhan seketika,memilih pengukuh
yang tepat, mengukur kondisi situasional, menentukan kuantitas
pengukuh, memilih kualitas atau kebaruan pengukuh, memberikan
sample pengukuh, menangani persaingan asosiasi, mengatur jadwal
pengukuh, mempertimbangkan efek pengukuhan dan menangani efek
33
Peshawaria dan Venkatesan, (1992: 84-86) menyatakan bahwa:
“Give a reward, after selecting the right reward, the following rules are to be followed in giving rewards to children. It requires a great deal of practise to give rewards effectively. 1) Reward only desirable behaviour, 2) Reward clearly, 3) Reward immediately, 4) Reward the desirable target behaviour each and every time after it occurs, 5) Reward in appropriate amounts, 6) Combine the use of social rewards along with other types of rewards, 7) Change the rewards, 8) Fading of rewards”.
Dari pendapat diatas dapat diartikan bahwa setelah memilih hadiah yang
tepat, aturaan berikut harus diikuti dalam memberikan penghargaan
kepada anak-anak.Hal ini membutuhkan banyak latihan untuk
memberikan penghargaan secara efektif.
a. Memberikan Reward (penghargaan) hanya kepada siswa yang
berperilaku sesuai keinginan.
Sebelum mulai mengajar, terlebih dahulu memutuskan perilaku
yang diinginkan dan yang tidak diinginkan. Jika tidak, anda
mungkin tidak akan menyadari bahwa anda memberikan reward
pada perilaku diluaar sasaran, atau perilaku yang tidak diinginkan.
b. Memberi reward secara jelas
Jelas dan spesifik dalam memberikan intruksi saat memberikan
reward( penghargaan) pada perilaku anak-anak. Misalnya, ketika
seorang anak berhasil menyebutkan nama buah dengan benar,
seorang guru merespon dengan mengatakan “ Kamu hebat!”, atau
Kamu super sekali! dan sebagainya. Suara dan ekspresi wajahmu
34
jelas akan membantu anak untuk mempelajari hubungan antara
perilaku tertentu dan penghargaan yang diterima olehnya.
c. Memberikan reward sesegera mungkin
Selalu menghargai anak dengan segera memberikan reward
setelah sasaran perilaku yang diinginkan telah dilakukan. Semakin
besar kesenjangan waktu antara reward dan sasaran perilaku,
semakin berkurang juga efek dari reward tersebut. Sebuah hadiah
(reward) yang tertunda sama dengan hadiah yang tidak diberikan.
Sangatlah mudah untuk segera memberikan penghargaan sosial.
Bila anda berencana untuk menggunakan tanda atau imbalan
materi, buatlah mereka siap sehingga reward diberikan segera
(dalam waktu 2 atau 3 detik) setelah sasaran perilaku dilakukan
oleh anak.
d. Reward diberikan pada sasaran perilaku yang diinginkan dan setiap
kali setelah hal itu terjadi
Pada awal mengajarkan perilaku baru, memberikan penghargaan
pada masing-masing anak dan setiap kali setelah sasaran perilaku
telah terjadi.Namun, ketika perilaku telah cukup dipelajari, guru
kemudian memberi penghargaan bahwa sasaran perilaku tertentu
hanya sekarang dan kemudian hari. Dengan kata lain, setiap kali
guru mengambil tujuan perilaku baru, pemberian penghargaan
35
perilaku tersebut. Tujuan dari sistem reward adalah supaya anak
suka melakukan sasaran perilaku dan merasa senang dengan hal itu.
e. Rewrad dalam jumlah yang tepat
Sementara mengajar anak-anak, pemberian rewardterlalu sedikit
atau terlalu banyak oleh guru mungkin membuktikan
ketidakefektifan dalam mengajar. Identifikasi dan gunakan jumlah
yang tepat dalam memberikan reward secara efektif untuk setiap
anak. Ini mungkin berbeda dengan masing-maing anak atau dalam
anak yang sama dari waktu ke waktu. Jangan memberikan sejumlah
reward yang besar karena akan mengganggu proses pembelajaran.
Misalnya, tidaklah tepat memuji anak selama lima menit ketika
perilaku anak hanya perlu selama setengah menit. Ketika reward
utama digunakan hanya sedikit jumlah yang harus dilakukan
dimana anak dapat menelan atau memakan dalam beberapa detik.
Sebagai contoh, satu tegukan jus buah, satu kacang, satu bagian
coklat.dll.
f. Gabungkan penggunaan penghargaan sosial bersama dengan jenis
penghargaan lain
Selalu mencoba dan menggabungkan penggunaan reward
sosial bersama dengan reward jenis lain. Misalnya, ketika
menggunakan reward utama secara bersamaan dengan
menggunakan reward sosial juga.Secara bertahap, sebagai anak
36
penghargaan utama dapat secara bertahap dikurangi dan bahkan di
hilangkan.Reward sosial juga harus dikombinasikan dengan reward
dari aktivitas, imbalan materi atau hak istimewa.
g. Mengganti penghargaan (reward)
Anak-anak cenderung merasa bosan dengan hadiah yang sama
yang diberikan sepanjang waktu. Dalam situasi seperti itu, reward
dapat kehilangan nilainya. Oleh karena itu penting untuk
mengubahnya dari waktu ke waktu. Sebagai contoh, jika anda
menggunakan reward pada setiap aktivitas seperti kegiatan
mewarnai untuk anak tergantung pada suka atau tidak sukanya
anak, anda bisa memberikan mainan untuk bermain dan kemudian
membawanya untuk mewarnai lagi.
Dari pendapat diatas dapat diartikan bahwa aturan yang diikuti
dalam memberikan penghargaan kepada anak anak adalah reward
hanya diberikan pada perilaku yang diinginkan, bentuk reward harus
jelas, memberikan secara segera, masing-masing reward menjadi target
perilaku yang diinginkan dan setiap kali setelah terjadi, memberikan
reward dalam jumlah yang tepat, menggabungkan penggunaan
penghargaan sosial bersama dengan jenis penghargaan lain, mengganti
reward dan menghapus reward.
Menurut Prayitno (dalam Desyana Widhi Kurniawati,
37
a. Guru memberikan penjelasan tentang materi yang akan dibahas
pada setiap pertemuan dalam kegiatan pembelajaran.
b. Siswa memperhatikan guru ketika guru menerangkan materi yang
akan diajarkan.
c. Guru memotivasi siswa dengan pemberian hadiah (reward) yang
akan diberikan oleh guru ketika pembelajaran berlangsung.
d. Setiap siswa yang menyelesaikan tugsanya dengan baik dan benar
akan mendapatkan hadiah (reward) dari guru atau seluruh siswa.
e. Demikian seterusnya ketika siswa-siswa maju dan berhasil
mengerjakan apa yang di perintahkan oleh guru.
f. Kesimpulan dan penutup.
Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas peneliti mengadaptasi,
bahwa langkah-langkah pemberian reward dapat di kategorikan
menjadi tiga yakni kegiatan awal, kegiatan inti, kegiatan akhir. Pada
kegiatan awal, pemberian reward diberikan dengan cara guru memilih
reward yang tepat, guru memilih perilaku yang diinginkan, guru
mengukur kondisi situasional, guru menentukan kuantitas pengukuh,
guru memilih kualitas kebaruan pengukuh, guru memberikan sample
pengukuh (reward), guru menjadwal pemberian pengukuhan, guru
memberikan penjelasan tentang materi yang akan dibahas yaitu
aktivitas bepkaian, guru memotivasi siswa dengan pemberian hadiah
(reward) yang akan diberikan oleh guru saat pembelajaran berlangsung.
38
mengikuti intruksi guru, guru meberikan rewardkepada siswa yang
mengerjakan tugasnya dengan baik, guru menggabungkan penggunaan
penghargaan sosial bersama dengan jenis penghargaan lain. Kegiatan
akhir, guru memberikan penguatan berupa reward pada kegiatan akhir
pembelajaran.
D. Kerangka Pikir
Berdsarkan permasalahan dan kajian teori yang telah dipaparkan diatas
maka kerangka pikir dalam penelitian ini dapat digambarkan
menggunakan bagan sebagai berikut:
39
Gambar 1. Kerangka Pikir
Berdasarkan bagan diatas Salah satu karateristik anak autis ialah lemah
dalam pengembangan dirinya, padahal bina diri sangat penting dalam
kehidupan sehari-hari untuk melakukan hal yang bersifat mandiri.Salah
satu lingkup pengembangan diri adalah berpakaian. Berpakaian sangat
penting gunanya dalam kehidupan sehari-hari, karena manusia dinilai dari
cara berpakaiannya. Dan berpakaian bagi anak autis adalah proses yang
rumit diawal-awal tahapan belajar. Maka dari itu peneliti memilih
menggunakan penerapan pemberian Reward untuk memotivasi anak autis Berpakaian
Gangguan Komunikasi Bahasa
dan Perilaku
Tidak Dapat Berpakaian dengan baik dan Benar secara Mandiri
Penerapan Pemberian Reward
Stimulusberupa PemberianReward dengan pembelajaran yang di kondisikan
(Teori belajar Skinner)
Memahami tahapan Berpakaian
Berpakaian dengan benar secara mandiri
40
agar dapat melakukan bina diri berpakaian dengan mandiri tanpa bantuan
orang lain.
Anak autismembutuhkan motivasi yang sesuai dengan kondisi,
karakteristik dan kebutuhanya. Berdasarkan teori belajar skinner, tingkah
laku sepenuhnya ditentukan oleh stimulus, tingkah laku atau respon
tertentu akan timbul sebagai reaksi terhadap stimulus. Dalam penelitian
ini, stimulus yang diberikan oleh peneliti berupa pemberian
reward.Pertimbangan peneliti menggunakan penerapan pemberian reward
dalam penelitian ini adalah anak senang jika diberi pujian, motivasi dan
hadiah (reward). Dalam teori skinner proses ini disebut shaping.
Berdasarkan percobaan yang dilakukan oleh skinner menggunakan tikus
(Edi Purwanto, 2012 :23) fase ini bertujuan membentuk tingkah laku
supaya tikus menekan tombol untuk memperoleh makanan.
Rewarddiberikan pada tingkatan-tingkatan tertentu, yaitu semakin
mendekati tombol, akhirnya rewardbaru diberikan setelah mencapai
tombol. secara terjadwal tikus diberikan makanan secara bertahap sesuai
peningkatan perilaku yanag ditunjukan, proses ini disebut shaping.
Menurut Skinner (Edi Purwanto, 2012 :25) manajemen kelas merupakan
usaha untuk memodifikasi perilaku (behavior modification) antara lain
dengan memberi penghargaan pada proses penguatan (reinforcement)
yaitu memberi penghargaan pada perilaku yang diinginkan dan tidak
memberi imbalan pada perilaku yang tidak tepat. Dalam penelitian ini,
41
jempol ketika subjek dapat melakukan aktivitas berpakaian dengan benar
secara mandiri.Harapanya, dengan memberikan imbalan anak menjadi
senang dan dapat mengulangi perilaku aktivitas berpakaian dengan benar
secara mandiri dalam kehidupan sehari-hari.
E. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kajian teori dan kerangka pikir yang telah diuraikan peneliti
diatas, maka dapat diajukan hipotesis penelitian yaitu :Pemberian Reward
dapat Meningkatkan Motivasi Pengembangan Diri Berpakaian pada Anak
42
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif. Jenis penelitian
yang digunakan adalah kuasi eksperimen. Menurut Sugiyono( 2010:72),
metode penelitian eksperimen adalah metode penelitian yang digunakan
mencari pengaruh perlakuan tertentu terhadap yang lain dalam kondisi yang
lain terkendalikan. Peneliti menggunakan eksperimen kuasi karena peneliti
akan meneliti pengaruh pemberian reward terhadap kemampuan
pengembangan diri berpakaian pada anak autis kelas IV di sekolah khusus autis
dian amanah yogyakarta.
Desain eksperimen yang digunakan dalam penelitian ini adalah single subject
research (SSR). SSR yang berarti penelitian dengan subjek tunggal,
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari analisis tingkah laku individu.
Hal tersebut sesuai dengan pendapat Nana Syaodih ( 2005: 59), eksperimen
subjek tunggal, (single subject experimental) merupakan eksperimen yang
dilakukan terhadap subjek tunggal. Pendapat tersebut diperkuat oleh pendapat
Juang Sunanto (2012: 3) yang menyatakan bahwa, desain subyek tunggal
merupakan desain penelitian eksperimen yang dilakukan pada subyek yang
jumlahnya relative kecil atau bahkan satu orang.
Nana Syaodih (2005: 209) mengemukakan bahwa, pendekatan dasar dalam
subyek tunggal adalah meneliti individu dalam kondisi tanpa perlakuan,
43
kedua kondisi tersebut.Pendekatan penelitian dengan subyek tunggal yang akan
dilaksanakan oleh peneliti, dimulai dengan meneliti kemampuan berpakaian
subjek sebelum, selama dan setelah diberi perlakuan (Intervensi). Hal tersebut
bertujuan untuk mencari hubungan fungsional antara intervensi melalui
penerapan pemberian reward terhadap perubahan perilaku berpakaian.
B. Desain Penelitian
Penelitian ini mencari hubungan sebab akibat, yaitu pengaruh
Pemberianreward terhadap kemampuan pengembangan diri berpakaian pada
anak autis. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain A-B-A.
Menurut Juang Sunanto (2006: 44), desain A-B-A menunjukkan adanya
hubungan sebab akibat anatara variabel terikat dan variabel bebas yang lebih
kuat dibandingkan dengan desain AB. Dari pendapat tersebut dapat diketahui
bahwa penelitian dengan subjek tunggal menggunakan desain A-B-A akan
mencari pengaruh suatu perlakuan terhadap perubahan perilaku satu subyek
yang akan diteliti. Pendapat tersebut diperkuat oleh pendapat Borg and Gall
(2007:432) yang menyatakan bahwa : “ A-B-A design are used in single-case
or single group experiments having one treatment. The A stands for the
baseline condition, and the B stands for the treatment“maksudnya adalah
desain A-B-A‟ digunakan untuk meneliti satu subjek atau satu kelompok
dengan memberikan satu intervensi.Baseline A merupakan perilaku berpakaian
tanpa diberikan perlakuan. Sedangkan baseline B dengan terlebih dahulu