• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PEMBERIAN REWARD TERHADAP KEMAMPUAN PENGEMBANGAN DIRI BERPAKAIAN PADA ANAK AUTIS KELAS IV DI SLB AUTISMA DIAN AMANAH.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGARUH PEMBERIAN REWARD TERHADAP KEMAMPUAN PENGEMBANGAN DIRI BERPAKAIAN PADA ANAK AUTIS KELAS IV DI SLB AUTISMA DIAN AMANAH."

Copied!
140
0
0

Teks penuh

(1)

i

PENGARUH PEMBERIANREWARDTERHADAP KEMAMPUAN

PENGEMBANGAN DIRI BERPAKAIAN PADA ANAK AUTIS KELAS IV DI SLB AUTISMA DIAN AMANAH

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh Puja SorayaUlfa NIM. 12103249002

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN LUAR BIASA JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

v MOTTO

Keinginan merupakan titik awal dari semua pencapaian, bukan sebuah harapan, bukan sebuah angan-angan, tetapi sebuah keinginan yang bergetar hebat, yang

melebihi segalanya.

(Napoleon Hill)

Didiklah dan persiapkanlah anak-anakmu untuk suatu zaman yang bukan zamanmu

(Ali Bin Abu Tholib)

(6)

vi

PERSEMBAHAN

Dengan penuh rasa syukur kehadirat Allah Subhaanahu Wa Ta’ala, karya ini saya persembahkan untuk :

1. Kedua orang tua tercinta, Bapak Burhanuddin (almarhum) dan Ibu Sidon Al-amudi.

(7)

vii

PENGARUH PEMBERIANREWARDTERHADAP KEMAMPUAN

PENGEMBANGAN DIRI BERPAKAIAN PADA ANAK AUTIS KELAS IV DI SLB AUTISMA DIAN AMANAH

Oleh Puja SorayaUlfa NIM 12103249002

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian reward

terhadap kemampuan pengembangan diri berpakaian padaanakautis kelas IV di SLB Autisma Dian Amanah.Pengaruhpemberianrewarddapa tdilihat dari berkurangnya frekuensi kesalahan berpakaian yang dilakukan subjek setelah diberikan intervensi atau stimulus/treatmen berupa pemberianreward.

Penelitianini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif dengan jenis penelitian kuasi eksperimen. Desain eksperimen yang digunakan adalah Single Subject Research(SSR) dengan metode A-B-A’.Subjek penelitian merupakan satu siswa autis kelas IV dengan kemampuan berpakaian paling rendah dibandingkan siswa lain yang ada di dalam kelas. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode observasi dan dokumentasi .Data yang diperoleh dianalisis menggunakan teknik analisis deskriptif, ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh pemberian rewardterhadap kemampuan pengembangan diri berpakaian anak autis yang ditunjukkan dengan berkurangnya frekuensi kesalahan berpakaian yang dilakukan subjek setelah diberikan intervensi. Adapun jumlah frekuensi kesalahan berpakaian yang dilakukan subjek pada Baseline-1 (A) kondisi awal sebelum diberikan intervensi/treatmen pemberian reward yaitu: sesi A1=5, sesi A2=5, sesi A3=5, frekuensi kesalahan dapat dikatakan stabil, karena cenderung menetap dan frekuensi kesalahan pada setiap sesi praktek tahapan berpakaian frekuensi kesalahannya sama. Frekuensi kesalahan yang dilakukan subjek selama sesi Intervensi (B) kondisi kemampuan hasil belajar setelah diberikan intervensi/ stimulus berupa pemberian reward yaitu: intervensi ke-1=4, intervensi ke-2=2, intervensi ke-3=2, intervensi ke-4=0, dan intervensi ke-5=0 sedangkan frekuensi kesalahan berpakaian yang dilakukan subjek pada Baseline-2(A’) kondisi setelah intervensi/setelah diberikan stimulus/treatment berupa pemberian reward

yaitu:sesi A’1=2, sesi A’2=2, dan sesi A’3=2

(8)

viii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tugas akhir skripsi yang berjudul “ Pengaruh Pemberian Reward Terhadap Kemampuan Pengembangan Diri BerpakaianPada Anak Autis Kelas IV di SLB Autisma Dian Amanah, Sleman, Yogyakarta”.

Penulis menyadari bahwa keberhasilan dalam penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, sehingga dalam kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih yang setulus-tulusnya kepada :

1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk menyelesaikan studi pada program studi S1 PLB FIP Universitas Negeri Yogyakarta.

2. Dekan Fakultas llmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan kebijakan dalam penelitian.

3. Ketua Jurusan Pendidikan Luar Biasa yang telah memberikan kemudahan dalam kegiatan akademik dan memfasilitasi kegiatan mahasiswa.

(9)

ix

5. Ibu Sukinah Sadirin, M. Pd., selaku dosen pembimbing akademik. Terimakasih telah memberikan motivasi hingga terselesaikannya penulisan skripsi ini.

6. Bapak dan Ibu dosen Pendidikan Luar Biasa Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah bersedia membimbing dan berbagi ilmunya kepada penulis.

7. Seluruh keluarga besar SLB Autisma Dian Amanah atas kerja samanya dalam penelitian.

8. Kedua orangtua tercinta, Bapak Drs. Burhanuddin (almarhum) dan IbuHj. Sidon Al-amudi serta kakakku tercinta Fitria Ningsih Terimakasih atas semua yang sudah diberikan, cinta, kasih sayang, pengorbanan, inspirasi, dan motivasi untuk menjadi pemenang.

9. Sahabat dan teman-teman seperjuangan yang senantiasa memberikan dukungan serta semangat untuk menyelesaikan tugas akhir skripsi.

10. Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu yang senantiasa memberikan dukungan serta semangat untuk menyelesaikan tugas akhir skripsi.

Saran dan kritik sangatlah penulis harapkan. Semoga bantuan yang telah diberikan menjadi amal baik dan mendapatkan pahala dari Allah SWT.Amin.

Yogyakarta, 17 Mei 2016 Penulis

(10)

x 2. Ciri dan Karakteristik Anak Autis... B.Kajian Pembelajaran Pengembangan Diri Berpakaian...

(11)

xi

1. Pengertian Reward………. 2. Tujuan dan Manfaat Reward………... 3. Prinsip dan Syarat Reward………... 4. Bentuk Reward………. C. Tempat dan Waktu Penelitian... D. Subyek Penelitian... E. Variabel Penelitian... F. Setting Penelitian Penelitian ... G.Teknik Pengumpulan Data... H. Instrumen Penelitian... I. Prosedur Penelitian……… J. Teknik Analisis Data……….. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Lokasi Penelitian ... B. Deskripsi Subyek Penelitian ... C. Deskripsi Hasil Data Perilaku Subjek pada Aktivitas Berpakaian ... 1. Deskripsi HasilBaseline-1... 2. Deskripsi Hasil Pelaksanaan Intervensi……….. 3. Deskripsi HasilBaseline-2………... D. Analisis Data ……… E. Pembahasan Penelitian……….. F. Keterbatasan Penelitian………. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

(12)

xii

DAFTAR PUSTAKA ... LAMPIRAN ...

(13)

xiii

DAFTAR TABEL

hal Tabel 1.Data Kesalahan Subjek Dalam Praktek Berpakaian pada Fase

Baseline-1……….

Tabel 2. Data Kesalahan Subjek Dalam Praktek Berpakaian pada Fase Intervensi ke-1………... Tabel3. Data Kesalahan Subjek Dalam Praktek Berpakaian pada Fase

Intervensi ke-2………... Tabel 4. Data Kesalahan Subjek Dalam Praktek Berpakaian pada Fase

Intervensi ke-3……….. Tabel 5. Data Kesalahan Subjek Dalam Praktek Berpakaian pada Fase

Intervensi ke-4……….. Tabel 6. Data Kesalahan Subjek Dalam Praktek Berpakaian pada Fase

Intervensi ke-5……….. Tabel 7. Data Frekuensi Kesalahan Subjek Dalam Praktek Berpakaian pada

FaseBaseline-1dan Intervensi……….

Tabel 8 Data Hasil Kesalahan Subjek Dalam Praktek Berpakaian pada Fase

Baseline-2……….

Tabel 9.DataHasil Kemampuan Subjek Dalam Praktek Berpakaian pada FaseBaseline-1, Intervensi danBaseline-2………..

(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.Alur Kerangka Berpikir... 39

Gambar 2.Display Frekuensi Kesalahan Subjek dalam Praktek Berpakaian pada FaseBaseline-I………. 62 Gambar 3.Display Frekuensi Kesalahan Subjek Dalam Praktek Berpakaian

Sesi Intervensi ... 74 Gambar 4.Display Frekuensi Kesalahan Subjek Dalam Praktek Berpakaian

PadaBaseline-1dan Sesi intervensi. ... 73 Gambar 5. Display Frekuensi Kesalahan Subjek Dalam Praktek Berpakaian

PadaBaseline-2. ... 79 Gambar 6. Display Frekuensi Kesalahan Subjek Dalam Praktek Berpakaian

(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

hal Lampiran 1. Surat IzinPenelitian ...

Lampiran7. Hasil Dokumentasi... Lampiran 8. Foto Dokumentasi...

(16)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Anak autis adalah anak yang mengalami gangguan perkembangan fungsi

otak yang ditandai dengan adanya kesulitan pada kemampuan interaksi sosial,

komunikasi dengan lingkungan, perilaku dan adanya keterlambatan pada

bidang akademis (Pamuji, 2007: 2).Menurut definisi tersebut dapat ditegaskan

bahwa permasalahan yang sering muncul pada anak autis salah satunya

terletak dalam hal berinteraksi dengan lingkungan.Anak autis sering dikatakan

memiliki dunianya sendiri yang mengakibatkan anak mengalami kesulitan

dalam interaksi sosial, sehingga mempengaruhi komunikasi serta perilakunya.

Berbagai permasalahan yang dialami, mengakibatkan anak autis mengalami

kesulitan dalam menyerap informasi dari luar.Kesulitan yang diperlihatkan

anak adalah kurangnya respon dan minat anak terhadap orang-orang di

sekitarnya.

Salah satu pembelajaran yang penting diberikan kepada anak autis adalah

materi pengembangan diri. Sesuai dengan pelaksanaan pendidikan yang

diselenggarakan di Sekolah Luar Biasa khususnya anak autis meliputi

berbagai mata pelajaran antara lain: Pendidikan Agama, Pendidikan

Kewarganegaraan, Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam, Bahasa Indonesia,

Matematika, Seni Budaya dan Keterampilan, Pendidikan Olah Raga, dan

Pendidikan Program Khusus Pengembangan Diri. Program pengembangan diri

(17)

2

pengembangan diri dalam kehidupan sehari-hari. Pengembangan diri

tersebut mencakup merawat diri, mengurus diri, menolong diri, berkomunikasi

dan beradaptasi dengan lingkungan sesuai dengan kemampuannya.Melalui

pembelajaran pengembangan diri anak autis diharapkan dapat hidup mandiri

di keluarga, di sekolah dan di masyarakat.Fokus penelitian ini membahas

tentang pembelajaran pengembangan diri.

Menurut Rini Hildayani, dkk (2007: 68) menolong diri sendiri dapat

disebut dengan mengurus diri sendiri (self help) atau memelihara diri sendiri

(self care). Menurut definisi tersebut dapat ditegaskan bahwa menolong diri

sendiri mencakup mengurus diri sendiri dan memelihara diri sendiri.Bagi anak

dengan kategori normal, hal ini sangat mudah untuk dilakukan, namun bagi

anak yang termasuk dalam kategori autis, hal ini perlu diajarkan dan

dipraktekkan. Sebagai contohnya yaitu: pengembangan diri makan, mandi,

dan memakai baju. Dengan demikian anak autis membutuhkan bantuan orang

lain dalam mengurus dirinya.

Menurut Sutadi (2005:167) “Autis adalah gangguan perkembangan berat

yang mempengaruhi cara seseorang untuk berkomunikasi dan

bersosialisai/berhubungan dengan orang lain”. Anak autis pada umumnya

mengalami gangguan perkembangan kompleks yang meliputi gangguan

bahasa/komunikasi, perilaku dan interaksi sosial. Gejala gangguan autis

biasanya ditemukan pada anak hingga usia tiga tahun. Gangguan yang dialami

(18)

3

Gangguan yang dialami anak autis meliputi aspek perilaku, interaksi sosial,

komunikasi dan bahasa, serta gangguan emosi dan persepsi sensori.

Hasil observasi yang telah dilakukan peneliti pada salah satu anak autis

kelas IV di SLB Dian Amanah Yogyakarta menunjukkan bahwa, anak

mengalami kesulitan melakukan aktivitas pengembangan diri, khususnya

berpakaian. Selain melakukan observasi, peneliti juga melakukan wawancara

dengan guru kelas siswa pada proses Pelaksanaan Praktek Pengalaman

Lapangan ( PPL) pada bulan agustus 2016. Berdasarkan hasil wawancara

dengan guru kelas anak belum mampu berpakaian dengan benar secara

mandiri. Saat observasi peneliti juga mencoba mengikuti proses pembelajaran

pengembangan diri pada anak, dan menemukan bahwa anak belum mampu

berpakaian dengan benar secara mandiri.

Pada pelaksanaan PPL, peneliti juga memberikan pembelajaran pada

anak.Pembelajaran tersebut berkaitan dengan kemampuan dasar yang harus

dimiliki anak agar mampu berpakaian dengan benar. Hingga proses

pelaksanaan PPL berakhir, kemampuan anak dalam berpakaian masih rendah.

Anak mampu memasukkan tangan ke lubang lengan baju namun anak tidak

mampu merapikan baju mendorong dan merapikan baju dengan benar.

Pada saat observasi kemampuan anak dalam berpakaian secara mandiri

masih rendah dan masih membutuhkan bantuan orang lain. Anak cenderung

mudah putus asa, bosan dan cenderung malas untuk berpakaian secara

mandiri, anak lebih sering dan suka dipakaikan baju daripada memakai baju

(19)

4

memakai baju.Permasalahan yang paling utama adalah anak masih bergantung

kepada guru dan orang tua.Berdasarkan berbagai penjelasan mengenai

permasalahan berpakaianyang dihadapi oleh anak autis, maka anak perlu

diberikan motivasi tujuanya adalah agar anak autis mampu berpakaian secara

mandiri dan tidak bergantung pada bantuan orang lain. Anak autis

memerlukan suatu pembelajaran dan motivasi berkaitan pada kegiatan

aktivitas pengembangan diri.

Tujuan pengembangan diritersebut berupa kemampuan mengurus dirinya

sendiri atau melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri agar tidak

mengalami ketergantungan pada orang lain dan dapat hidup sebagaimana

orang pada umumnya. Aktivitas sehari-hari yang dimaksud adalah

kebiasaan-kebiasaan rutin yang biasa dilakukan seseorang seperti berpakaian, makan,

beristirahat, memelihara kesehatan kemampuan untuk buang air kecil dan air

besar di tempat tertentu (kamar mandi/wc).

Berpakaian adalah salah satu bagian dari kegiatan pengembangan diri

yakni kegiatan mengurus diri yang tidak mudah untuk dilakukan pada anak

autis. Tujuan dari pembelajaran pengembangan diri berpakaian pada anak

autis agar dapat mengenakan pakaian sendiri sehingga tidak tergantung

dengan orang lain. Berpakaian merupakan suatu rangkaian kegiatan mulai dari

memasukkan tangan kelubang lengan pakaian sampai memeriksa kembali

apakah setiap kancing sudah masuk pada lawannya (merapikan

pakaian).Merapikan pakaian dalam kegiatan ini berarti semua kancing telah

(20)

5

autis kegiatan tersebut sulit untuk dilakukan dikarenakan keterbatasan

kemampuan yang dimiliki anak autis.

Pembelajaran pengembangan diri berpakaian pada anak autis tentunya

tidak semudah mengajarkannya pada anak normal.Umumnya bagi anak

normal dengan fisik yang sempurna dan tidak mengalami gangguan kegiatan

sehari-hari dapat dilatih sejak dini.Namun tidak demikian dengan anak autis,

anak autis mengalami beberapa kesulitan untuk fokus dalam suatu kegiatan

sehingga dalam berpakaian tidak dapat semudah dan secepat orang

normal.Keterbatasan yang dimiliki anak autis membutuhkan kesabaran dan

waktu yang lebih lama.

Berpakaian merupakan rangkaian kegiatan pengembangan diri yang sangat

kompleks dibandingkan dengan kegiatan lainnya.Dalam kegiatan tersebut

anak autis membutuhkan koordinasi otak dan anggota gerak, mata dan

kemampuan anggota badan lainnya.Dibandingkan dengan anak normal pada

umumnya, dalam berpakaian anak autis membutuhkan waktu yang relatif

lama.Selain itu pakaian yang digunakan juga perlu dimodifikasi.Baik dari segi

ukuran kancing yang lebih besar atau jenis kancingnya.Warna pakaian pun

sangat berperan penting untuk menarik perhatian anak autis agar dapat fokus

dalam melakukan kegiatan berpakaian.

Kegiatan berpakaian pada dasarnya dapat diajarkan oleh orangtua dirumah

maupun guru disekolah.Akan tetapi, pada kenyataannya kebanyakan orangtua

masih mengalami kebingungan dan kesulitan dalam mengajarkan memakai

(21)

6

orangtua mengalami kesulitan dalam mengajarkan anak berpakaian, sehingga

dalam mengenakan pakaian anak masih angat tergantung dengan orangtua.

Informasi lain yang ditemukan peneliti pada saat observasi, perasaan

bosan muncul pada saat anak autis akan memasukkan kancing kedalam lubang

kancing, sedangkan saat memasukkan kancing pada lubangnya anak

cenderung malas, sehingga mengakibatkan kancing tidak dapat tepat masuk ke

lubang kancing.Pada observasi yang dilakukanpeneliti, anak merasa senang

ketika guru memberikan perhatian, hadiahdan pujianreward.

Guru belum maksimal menerapkan pemberianreward untuk memotivasi

anak dalam pembelajaran pengembangan diri. Padahal, pembelajaran

pengembangan diri yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan anak,

dapat mendukung keberlangsungan proses belajar mengajar.Peningkatan

perilaku dapat dilakukan dengan menerapkan prosedur pengukuhan

(reinforcement). Prosedur pengukuhan dapat berupa hadiah(reward) baik

berupa material (benda) maupun non material (pujian, sanjungan), atau

kegiatan lain yang lebih menyenangkan bagi seseorang.

Menurut Mulyasa ( 2001:77) reward adalah stimulus terhadap suatu

perilaku yang dapat meningkatkan kemungkinan terulang kembali perilaku

tersebut. Reward dapat dilakukan secara verbal ataupun non verbal dengan

prinsip kehangatan, keantusiasan dan kebermaknaan. Mendukung pernyataan

diatas Menurut Mulyadi (2009:36) dalam kegiatan belajar mengajar,reward

penguatan positif mempunyai arti penting. Pemberian reward dalam kelas

(22)

7

Pada observasi yang dilakukan oleh peneliti, perasaan bosan, malas

muncul pada saat anak autis akan memasukkan kancing kedalam lubang

kancing, sehingga mengakibatkan kancing tidak dapat tepat masuk ke lubang

kancing. Hal ini disebabkan karena perilaku anak yang mudah bosan dan

malas sehingga kegagalan yang berulang-ulang.Disaat aktivitas

pengembangan diri berpakaian anak terlihat malas, diam dan lama merespon.

Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti tertarik melakukan penelitian

yang berjudul” Pengaruh pemberian reward terhadap motivasi pengembangan

diri berpakaian pada anak autis kelas IV di SLB Dian Amanah Yogyakarta”.

Peneliti menggunakan pemberian reward berupa pujian berbentuk verbal dan

non verbal, sanjungan, hadiah yang di senangi anak untuk memotivasi anak.

Peneliti memberikan reward ketika anak dapat berperilaku sesuai dengan

harapan, misalnya anak dapat berpakaian dengan baik dan benar secara

mandiri maka diberikan hadiahreward.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan Latar Belakang Masalah diatas maka dapat diidentifikasi

beberapa masalah antara lain:

1. Rendahnya kemampuan pengembangan diri berpakaian anak autis

sehingga anak belum mampu berpakaian dengan benar secara mandiri dan

masih bergantung pada orang lain dalam mengrus dirinya sendiri.

2. Kurangnya pengetahuan anak tentang tata cara tahapan berpakaian yang

(23)

8

3. Anak autis mudah putus asa, bosan dan cenderung malas berpakaian

dengan benar sehingga anak belum mampu berpakaian dengan benar

secara mandiri.

4. Belum diajarkannya tata cara atau langkah-langkah berpakaian secara

detail.

5. Anak autis kelas IV di SLB dian amanah Yogyakarta membutuhkan

motivasi berupa pemberian reward dalam pembelajaran pengembangan

diri berpakaian

C. Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah diatas,maka dalam penelitian ini peneliti

membatasi pada masalah nomer 1 dan 5, yaitu anak autis kelas IV belum

mampu berpakaian dengan baik danbenar secara mandiri. Sehingga anak

membutuhkan motivasi berupa pemberian reward pada proses pembelajaran

pengembangan diri.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah diatas, maka dapat ditentukan rumusan masalah

sebagai berikut: “Apakah PemberianRewardBerpengaruhterhadap

kemampuanpengembangan diri berpakaian pada anak autis kelas IV di SLB

(24)

9

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang peneliti kemukakan, maka tujuan yang

ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: MengetahuiPengaruh Pemberian

Reward terhadap kemampuan pengembangan diri berpakaian pada anak autis

kelas IV di SLB Dian Amanah Yogyakarta.

F. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat secara teoritis dan praktis. Adapun

manfaat tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan berupa

pengetahuan dalam pengembangan ilmu Pendidikan Luar Biasa terutama

yang berhubungan dengan pembelajaran pengembangan diri, khususnya

pembelajaran mengenai aktivitas berpakaian pada anak autis.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini memiliki manfaat bagi anak, guru, sekolah dan penulis

meskipun terbatas pada subjek yang terkait dengan penelitian. Adapun

manfaat praktis penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Bagi Anak

Penelitian ini dapat membantu anak memperoleh pembelajaran

berpakaian yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik anak,

sehingga memudahkan anak untuk belajar.Pada akhirnya, anak dapat

berpakaian dengan baik dan benar secara mandiri dalam kehidupan

(25)

10 b. Bagi Guru

Penelitian ini memberikan informasi kepada guru, agar dapat

menggunakan metode pembelajaran yang tepat bagi anak autis,

khususnya pada pembelajaran yang berkaitan dengan pengembangan

diri seperti berpakaian.

c. Bagi Sekolah

Hasil penelitian ini sebagai pertimbangan dalam penggunaan metode

pembelajaran pengembangan diri berpakaian bagi anak autis.

d. Bagi Peneliti

Penelitian ini mampu memberikan pengetahuan pada peneliti tentang

caramengidentifikasi kebutuhan dan kemampuan anak, sehingga

dapat menentukan metode pembelajaran yang sesuai untuk

diterapkan dalam pembelajaran dikelas.

G. Definisi Operasional

1. Anak Autis yang dimaksud dalam penelitian ini adalah anak yang

mengalami gangguan pada komunikasi dan perilaku. Anak autis dalam

penelitian ini berada dikelas IV. Anak autis juga mengalami kesulitan

pengembangan diri dalam berpakaian.

2. Kemampuan Pengembangan Diri berpakaian pada anak autis dalam

penelitian ini merupakan kemampuan anak autis melakukan tahapan

berpakaian. Tahapan-tahapan tersebut yaitu; dimulai dengan

mengenalkan pakaian pada anak, (1) memasukkan tangan kanan ke

(26)

11

lengan baju bagian kiri, (3) menarik baju ke depan membetulkan

letaknya, (4) melipat krah baju sebagaimana mestinya (5) mendorong

kancing dengan ibu jari melewati lubang, (6) menarik kancing, (7)

merapikan baju.Kemampuan berpakaian pada anak dikatakan mengalami

perubahan jika jumlah kesalahan dalam memperaktekkan aktivitas

berpakaian sebelum diberikan intervensi lebih tinggi dibandingkan

dengan setelah diberikan intervensi dalam waktu yang telah ditentukan

yaitu 3 menit.

3. Pemberian Reward merupakan stimulusterhadap suatu perilaku yang

dapat meningkatkan kemungkinan terulang kembali perilaku tersebut.

Pemberian hadiah (reward) yang diterapkan oleh guru berupa hadiah

yang disenangi anak berupa mainan dan alat tulis, dan pujian seperti

“kamu pintar, acungan jempol, serta senyuman yang dibubuhi kalimat

pujian berupa “iya benar, kamu pintar, acungan jempol saat prosses

praktek tahapan berpakaian berlangsung. Dalam skripsi ini, pelaksanaan

pemberian reward mencakup tiga bagian yaitu kegiatan awal, inti dan

(27)

12

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Tentang Anak Autis

1. Pengertian Anak Autis

Istilah autisme pertama kali diperkenalkan pada tahun 1943 oleh Leo

Kanner, anak yang mengalami autisme memiliki gangguan

perkembangan komunikasi, interaksi sosial, dan perilaku.Anak autis

secara fisik tidak berbeda dengan anak normal pada umumnya.Anak autis

terlihat berbeda dengan anak normal pada saat anak autis berperilaku,

berkomunikasi, dan berinteraksi sosial yang jauh berbeda dengan anak

normal.Gangguan perkembangan komunikasi, interaksi sosial, dan

perilaku ini mengakibatkan anak autis mengalami permasalahan yang

kompleks.

Menurut Reed (dalam Sujarwanto, 2005: 180) anak yang mengalami

gangguan autisme mengalami permasalahan yang sangat kompleks,

meliputi motorik, sensorik, kognitif intrapersonal, interpersonal,

perawatan diri. Pendapat tersebut memberikan gambaran bahwa selain

anak autis mengalami gangguan perkembangan komunikasi, interaksi

sosial, dan perilaku anak autis juga memiliki permasalahan pada motorik,

sensorik, kognitif intrapersonal, interpersonal, perawatan diri, yang

sangat kompleks.

Pendapat mengenai autisme juga dikemukakan oleh Ronald, Lydia,&

(28)

13

Autism means a developmental disability significantly affecting verbal and nonverbal communication and social interaction, generally evident before age three, that adversely affects a child’s education performance.

Pendapat tersebut mempunyai arti bahwa anak dengan autis

merupakan seseorang yang mengalami suatu gangguan perkembangan

signifikan yang mempengaruhi komunikasi verbal dan non verbal serta

interaksi sosial, umumnya terlihat sebelum usia tiga tahun yang

berpengaruh negatif terhadap kinerja pendidikan anak. Sedangkan

menurut Safari (2005: 2) autisme merupakan gangguan perkembangan

pervasive yang secara menyeluruh mengganggu fungsi kognitif, emosi,

dan psikomotor anak.

Definisi lain menyatakan bahwa, anak autis adalah individu yang

mengalami suatu gangguan perkembangan pada perilaku emosional,

sosial, dan komunikasi (Wina E. Darwis, 2003: 90). Kedua pendapat

tersebut menjelaskan bahwa anak autis yaitu seorang anak yang

mengalami gangguan perkembangan, sehingga mereka mengalami

kesulitan dalam berkomunikasi dan berinteraksi sosial dengan

lingkungan. Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas, maka dapat

ditegaskan bahwa anak autis adalah ketidakmampuan seorang anak

dalam berinteraksi sosial, berkomunikasi, dan berperilaku dengan orang

lain yang merupakan gangguan pervasif dan muncul sejak usia tiga

tahun, sehingga anak autis mempunyai gangguan yang kompleksmeliputi

motorik, sensorik, kognitif intrapersonal, interpersonal, perawatan

(29)

14

diri (Activity Daily Living), sehingga anak memerlukan bimbingan dan

penanganan khusus.

2. Ciri atau Karateristik Anak Autis

Ciri-ciri anak autis dapat diamati sebagai berikut Joko Yuwono

(2009: 28-56):

a. Perilaku

1) Tidak peduli terhadap lingkungan

2) Perilaku tidak terarah: mondar-mandir, lari-lari, manjat-manjat,

berputar-putar, lompat-lompat dan sebagainya.

3) Kelekatan terhadap benda tertentu

4) Tantrum

5) Fixations (minat atau kesenangan dengan objek atau aktivitas

tertentu)

6) Rigid Routine dapat diartikan sebagai perilaku anak autisme

yang cenderung mengikuti pola dan urutan tertentu dan ketika

pola atau urutan itu dirubah anak autistic menunjukkan

ketidaksiapan atas perubahan tersebut.

7) Terpukau terhadap benda yang berputar atau benda yang

bergerak

8) Aggressive.

Perilaku agresif pada anak autisme menunjukkan agresifitas

yang berlebihan dan penyebabnya terkadang terkesan sangat

(30)

15

nyata penyebab kejadiannya. Bentuk dari perilaku agresif

anak-anak autisme dimanifestasikan dalam berbagai bentuk

menyerang orang lain seperti memukul, mencambak,

menendang-nendang, memberantakan benda atau menggigit

orang lain. Alasan munculnya perilaku ini pada umumnya

karena kebutuhan atau keinginan anak tidak terpenuhi

meskipun masalahnya sangat sepele (bagi kita) misalnya

mainan kesukaannya diambil, posisi benda yang diatata secara

berderet berubah dan sebagainya.

9) Self injury

Merupakan bentuk perilaku anak-anak autis yang

dimanifestasikan dalam bentuk menyakiti diri sendiri.Perilaku

ini muncul dan meningkat dikarenakan beberapa masalah

seperti rasa jemu, stimulus yang kurang atau kebalikkannya

yakni adanya stimulasi yang berlebihan.

10)Self stimulation

Menurut Joko Yuwono (2009: 50) menuliskan bahwa

perilaku self stimulation merupakan salah satu ciri utama yang

terdapat dalam mendiagnosis anakautis. Perilaku ini adalah

berulang-ulang (stereotipe) yang tidak untuk menyediakan

beberapa fungsi lain diluar sensori grafitasi. Menurut Joko

Yuwono ( 2009 : 51) membagi beberapa kategori perilaku

(31)

16

Kategori pertama, adalah gerak tubuh.Hal ini termasuk

berayun-ayun, hand flapping, dan memutar-mutar badan

sendiri.Tatapan merupakan bentuk visual self stimulation

seperti memperhatikan sesuatu garis visual yang melintang

bergerak seperti melihat melalui rusuk-rusuk pagar.

Kategori yang kedua, self stimulation menggunakan objek

bertujuan untuk mencari input sensori contohnya hand flapping

menggunakan kertas, daun, melilitkan tali pada jari, memutar

objek, memutar roda pada mobil, mengayak pasir,

memercikkan air dan menjumput-jumput kain. Seringkali

anak-anak autisme berinteraksi dengan benda-benda melalui

bermain. Mainan tidak digunakan semestinya tetapi hal ini

nampak sebagai tujuan kebiasaan seperti memutar roda mobil

sebagai pengganti “mengemudi” mobil. Penggunaan objek

yang berulang-ulang seperti mengetuk-ngetuk benda ke meja

atau dinding juga termasuk dalam kategori ini.

Kategori ketiga ritual dan obsessions. Perilaku ini termasuk

menyusun objek dalam satu deret, memegang/kelekatan

terhadap benda, memakai pakaian yang sama, menuntut sesuatu

untuk tidak berpindah (furniture), berbicara terus menerus

tentang topik tertentu (verbal preservation), menutup pintu dan

(32)

17 b. Interaksi sosial

a) Tidak mau menatap mata

b) Dipanggil tidak menoleh

c) Tak mau bermain dengan teman sebayanya

d) Asyik/bermain dengan dirinya sendiri

e) Tidak ada empati dalam lingkungan sosial

c. Komunikasi dan bahasa

1) Terlambat bicara

2) Tak ada usaha untuk berkomunikasi secara non verbal dengan

bahasa tubuh

3) Merancau dengan bahasa yang tak dapat dipahami

4) Membeo (echolalia)

5) Tak memahami pembicaraan orang lain

Sedangkan menurut Aqila Smart (2010: 58-60) karateristik anak autis

sebagai berikut: sulit bersosialisasi dengan anak-anak lainnya, tertawa

atau tergelak tidak pada tempatnya, tidak pernah atau jarang sekali

kontak mata, tidak peka terhadap rasa sakit, lebih suka menyendiri

(sifatnya agak menjauhkan diri), suka benda-benda yang berputar atau

memutar benda, ketertarikan pada satu benda secara berlebihan,

hiperaktif atau melakukan kegiatan fisik secara berlebihan atau malah

tidak melakukan apapun (terlalu diam), kesulitan dalam mengutarakan

kebutuhannya (suka menggunakan isyarat atau menunjuk dengan tangan

(33)

18

hal-hal yang bersifat rutin), tidak peduli bahaya, menekuni permainan

dengan cara aneh dalam waktu lama, echolalia ( mengulangi kata atau

kalimat, tidak berbahasa biasa), tidak suka dipeluk (disayang) atau

menyayangi, tidak tanggap terhadap isyarat kata-kata (bersikap seperti

orang tuli), tidak berminat terhadap metode pengajaran biasa, tantrums

(suka mengamuk/memperlihatkan kesedihan tanpa alasan yang jelas),

kecakapan motorik kasar/motorik halus yang seimbang (seperti tidak

mau menendang bola, namun dapat menumpuk balok-balok).

Berdasarkan dari hasil pembahasan mengenai karateristik atau

ciri-ciri mengenai anak autis tersebut dapat disimpulkan bahwa anak autis

yang dimaksud yaitu anak autis yang mengalami hambatan dan

membutuhkan layanan secara spesifik, termasuk dalam program

pendidikan.Anak autis juga mempunyai kekurangan atau keterbatasan

dari segi mental intelektualnya, dibawah rata-rata normal, sehingga

mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik, komunikasi, maupun

sosial, dan karena itu memerlukan layanan pendidikan khusus.

Penyandang autis dalam mengembangkan pemahaman dan

penggunaan bahasa, prestasi akhir yang dapat mereka capai dalam bidang

ini terbatas.Keterampilan merawat diri, keterampilan mengurus diri dan

keterampilan motorik juga terlambat, dan sebagian dari mereka ini

memerlukan pengawasan seumur hidup.Program pendidikan khusus

(34)

19

mereka yang terbatas dan memperoleh keterampilan dasar.Ketika dewasa

anak autis biasanya mampu melakukan pekerjaan praktis.

B. Kajian Tentang Pembelajaran Pengembangan Diri Berpakaian

1. Pengertian Pengembangan Diri

Pengembangan diri merupakan kegiatan untuk mengembangkan

keterampilan pengembangan diri sendiri pada siswa autis.Menurut

Mamad Widya (2003: 1) pengembangan diri merupakan suatu kegiatan

yang mengacu dan bersifat pribadi karena mengandung pengertian bahwa

keterampilan-keterampilan yang diajarkan atau dilatihkan menyangkut

kebutuhan setiap individu yang harus dilakukan sendiri tanpa bantuan

orang lain jika kondisi individu memungkinkan.

Menurut pendapat tersebut dapat ditegaskan bahwa pembelajaran

pengembangan diri perlu diberikan pada anak autis, sehingga anak dapat

mengurus dan memelihara diri sendiri tanpa diajarkan atau dipraktekkan

dan tidak tergantung dengan orang lain.Keterampilan pengembangan diri

pada anak autis yang perlu dikembangkan, seperti mengurus diri sendiri,

membersihkan diri sendiri, makan, minum, berpakaian, menggunakan

toilet sendiri, dan lain sebagainnya.

Menurut Maria J. Wantah (2007: 37) pembelajaran pengembangan diri

pada anak autis adalah suatu proses pembelajaran yang diberikan pada

(35)

20

Program pengembangan diriadalah program yang dipersiapkan agar siswi

autis mampu menolong diri sendiri dalam bidang yang berkaitan untuk

kebutuhan diri sendiri (Mumpuniarti, 2003: 69).Contoh kegiatan

menolong diri sendiri, seperti berpakaian, mandi, menggosok gigi, toilet

training, dan lain sebagainnya.

Pendapat tersebut dapat ditegaskan bahwa pembelajaran pengembangan

diri penting diajarkan dan dilatihkan bagi siswi autis dengan latar

belakang yang utama adalah aspek kemandirian yang berhubungan

dengan kesehatan seseorang. Beberapa kegiatan rutin harian

berhubungan dengan aspek kemandirian yang perlu diajarkan meliputi

kegiatan atau keterampilan berpakaian, mandi, makan, menggosok gigi,

dan ke kamar kecil (toilet), merupakan kegiatan yang sangat erat

kaitannya dengan aspek kesehatan seseorang.

Berbagai pendapat dari beberapa ahli di atas dapat ditegaskan bahwa

pembelajaran pengemabnagn diri merupakan kegiatan untuk melatih

keterampilan anak dalam kemandirian yang berhubungan dengan

kegiatan sehari-hari.Dari pembelajaran pengembangan diri terdapat

pembelajaran pengembangan diri berpakaian, yaitu pembelajaran yang

mengajarkan anak autis mengenai kemandirian melakukan keterampilan

aktivitas berpakaian. Oleh karena itu pembelajaran pengembangan diri

berpakaian untuk anak autis kelas VI di SLB Autisma Dian Amanah

(36)

21

bergantung dengan orang lain. Oleh karena itu untuk hidup mandiri anak

autis perlu dibekali pembelajaran pengembangan diri.

2. Tujuan Pembelajaran PengembanganDiri Anak Autis

Pembelajaran bina diri pada anak Autis bertujuan agar anak dapat

mengerjakan sesuatu dapat optimal dan dapat mandiri sesuai dengan usia

perkembangan. Serta agar anak berperilaku normaldan beradaptasi

dengan anak normal sedapat mungkin.Kompetensi agar anak mampu

mengurus diri dan mandiri dalam kehidupan sehari-hari sehingga tidak

bergantung pada orang sekelilingnya.

Mamad widya (2003: 4) mengemukakan bahwa tujuan pembelajaran

pengembangan diri adalah agar anak berkebutuhan khusus dapat mandiri

dengan tidak bergantung pada orang lain dan mempunyai rasa tanggung

jawab. Kegiatan pengembangan diri merupakan kegiatan yang

berhubungan dengan diri sendiri, tetapi sulit untuk anak autis melakukan

kegiatan mengurus diri sendiri dengan mandiri, oleh karena itu

pembelajaran pengembangan diri diajarkan kepada anak autis dengan

harapan agar dapat melakukan keterampilan mengurus diri dengan

mandiri.

Program Pengembangan diri (self care skill) adalah program yang

dipersiapkan agar anak autistik mampu menolong diri sendiri dalam

bidang yang berkaitan dengan kebutuhan diri sendiri. the ability to attend

(37)

22

independence. The self-care domain involves eating, dressing, toileting,

grooming, safety, and health skilss(Mumpuniarti, 2003: 69).

Berdasarkan pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa pembelajaran

pengembangan diri diberikan kepada ABK bertujuan untuk

meningkatkan kemandirian yang berkaitan dengan aspek kesehatan dan

aspek yang berkaitan dengan kematangan sosial.Kegiatan rutin harian

yang perlu diajarkan bagi anak autis adalah kegiatan atau keterampilan

berpakaian, mandi, makan, menggosok gigi, dan ke kamar kecil (toilet)

yang merupakan kegiatan yang sangat penting.

Pembelajaran pengembangan diri pada anak Autis bertujuan agar anak

dapat mengerjakan sesuatu dapat optimal dan dapat mandiri sesuai

dengan usia perkembangan. Serta agar anak berperilaku normaldan

beradaptasi dengan anak normal sedapat mungkin. Kompetensi agar anak

mampu mengurus diri dan mandiri dalam kehidupan sehari-hari sehingga

tidak bergantung pada orang sekelilingnya. Strategi pembelajaran anak

autis dalam bina diri disesuaikan dengan karateristik dan potensi,

memahami keadaan psikologi dan latar belakang, sesuai dengan materi,

serta fokus pada anak yang mengalami autis.

Berdasarkan pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan

pembelajaran pengembangan diri adalah agar anak autis dapat melakukan

keterampilan mengurus dirinya sendiri dengan mandiri sehingga anak

dapat belajar untuk dapat bertanggung jawab pada hal yang berhubungan

(38)

23

bidang-bidang tersebut akan mendukung kemandirian mereka didalam

keluarga.

3. Pengertian Pembelajaran Berpakaian

Rostamailis (2005:198) mengemukakan bahwa “berpakaian

(berbusana) bukan hanya menutupi tubuh saja, tetapi memerlukan

keserasian atau kecocokan antara busana atau pakaian yang dipakai

dengan si pemakai”.Walaupun kita telah bersolek lengkap dengan

menggunakan tata rias muka, rambut yang rapi, dan cantik tetapi pakaian

yang kita pakai tidak sesuai, maka akan mengurangi penampilan kita.

Untuk itu, maka kita perlu menggunakan pakaian yang serasi dan sesuai

dengan tempatnya.

Selain berfungsi menutup tubuh, pakaian juga dapat merupakan

pernyataan lambing status seseorang dalam masyarakat.Sebab berpakaian

ternyata merupakan perwujudan dari sifat dasar manusia yang

mempunyai rasa malu sehingga berusaha selalu menutupi

tubuhnya.Pakaian (busana) menurut bahasa adalah segala sesuatu yang

menempel pada tubuh dari ujung rambut sampai ujung kaki.

Menurut istilah, busana adalah pakaian yang kita kenakan setiap hari

dari ujung rambut sampai ujung kaki beserta segala perlengkapannya,

seperti tas, sepatu dan segala macam perhiasan/aksesoris yang melekat

padanya. Berpakaian merupakan hal yang sangat penting dalam

kehidupan manusia karena kalau tidak berpakaian, maka orang akan

(39)

24

membantu anak dalam meningkatkan keterampilan berpakaian, maka

memerlukan waktu dan kesabaran dari orang tua.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran

berpakaian adalah suatu serangkaian kegiatan mengenakan baju untuk

menutupi atau sesuatu yang menempel pada tubuh.Pembelajaran

berpakaian harus diterapkan pada anak autis yang mengalami kesulitan

dalam mengurus diri memakai pakaian. Sehingga dengan ini mereka

dapat beraktivitas sehari-hari tanpa bantuan, dengan tujuan

meminimalisir dan atau menghilangkan ketergantungan terhadap bantuan

orang lain dalam melakukan aktivitas khususnya dalam mengenakan

pakaian.

C. Kajian Tentang Reward

1. Pengertian Reward

Reward merupakan kata asing, di mana menurut Willie Wijaya

(2014:328) kata tersebut dapat diartikan sebagai ganjaran, hadiah, upah,

pahala, penghargaan. Menurut Ngalim Purwanto (2009:182) reward atau

ganjaran adalah suatu alat pendidikan. Pendidik bermaksud supaya

dengan ganjaran itu anak menjadi lebih giat lagi usahanya untuk

memperbaiki atau mempertinggi prestasi yang telah ia capai.

Reward dapat diartikan sebagai sebuah penguat (reinforcement) terhadap

perilaku peserta didik. Pengukuhan positif (positive reinforcer) sering di

(40)

25

suatu peristiwa yang dihadirkan dengan segera yang mengikuti perilaku

tersebut meningkat frekuensinya. Sekali kejadian yang telah ditentukan

fungsinya sebagai pengukuh positif untuk individu tertentu pada situasi

tertentu, peristiwa dapat digunakan untuk memperkuat perilaku individu

lain pada situasi lain. Secara prinsip, pengukuh positif menyatakan

bahwa jika dalam suatu situasi seseorang melakukan sesuatu kemudian

yang diikuti dengan segera oleh pengukuh positif, maka orang itu akan

cenderung mengulanginya untuk melakukan hal yang sama pada sutuasi

yang cenderung sama. (Edi Purwanta, 2012:33).

Menurut Anita woolfolk (2009:310) mengatakan ada dua macam

reward atau reinforcement (penguat) yaitu positive reinforcement dan

negative reinforcement. Positive reinforcement seperti yang telah

dijelaskan di atas, yaitu memperkuat perilaku dengan menyuguhkan

stimulus yang diinginkan setelah perilaku itu terjadi. Sedangkan

negativereinforcement yaitu memperkuat perilaku dengan

menghilangkan stimulus aversif( mengganggu/ menjengkelkan/tidak

menyenangkan) ketika perilaku itu terjadi.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa reward

atau reinforcement adalah sesuatu yang diberikan kepada seseorang

apabila dia melakukan perubahan perilaku yang baik, berkepribadian

baik. Pengertian reward dalam penelitian ini dibatasi pada bentuk

penguatan positif yang berupa reward yang dapat menimbulkan motivasi

(41)

26

2. Tujuan dan ManfaatReward

a. Tujuan reward

Menurut Mulyasa (2011:80) tujuan penggunaan Reward yaitu;

Meningkatkan perhatian siswa terhadap pembelajaran, merangsang dan

meningkatkan motivasi belajar. Meningkatkan kegiatan belajar dan

membina perilaku yang produktif. Selanjutnya, tujuan dari adanya

reward yaitu meningkatkan perhatian siswa, memperlancar atau

memudahkan proses belajar, membangkitkan dan mempertahankan

motivasi, mengontrol dan mengubah sikap suka mengganggu dan

menimbulkan tingkah laku belajar yang produktifmengembangkan dan

mengatur diri sendiri dalam belajar, mengarahkan kepada cara berfikir

yang baik dan inisiatif pribadi. Buchari Alma (2008:30).

Penguatan yang diwujudkan melalui pemberian Reward dalam kegiatan

belajar mengajar dapat memberikan manfaat seperti, meningkatkan

perhatian anak, membangkitkan motivasi anak, mendorong tingkah laku

produktif anak, mengontrol perilaku anak (Simamora Roymond H,

2009:81). Untuk lebih lanjutnya akan dibahas dibawah ini:

1) Membangkitkan motivasi peserta didik

Motivasi belajar dari anak yang tidak tertarik pada pembelajaran

tertentu dapat dibangkitkan dengan memberikan penguatan yangsesuai

dengan karakteristik masalah atau hal yang disukai/disenangi dan

kebutuhan anak\.

(42)

27

Pemberian penguatan melalui reward dari anak dapat menciptakan

suasana persaingan yang sehat untuk meningkatkan produktivitas anak

dalam penguasaan pembelajaran. Anak dapat saling bersaing untuk

mendapatkan pengahrgaan dari guru sehingga mereka juga bersaing

meningkatkan produktivitas belajar.

3) Mengontrol perilaku peserta didik.

Penguatan yang tepat dan bijaksana bagi anak yang berperilaku salah

dapat menjadi koreksi bagi peserta didik tersebut.Peserta didik

tersebut akan merasa bahwa perbuatanya juga di control oleh

pendidik, sehingga diharapkan peserta didik akan dapat memperbaiki

perbuatanya.

b. Manfaat Reward

Manfaat penghargaan (Gina Gania, 2011 : 104) manfaat

perngahrgaan:

1) Membantu kita untuk mendorong perilaku yang baik dan kerja

keras.

2) Membantu kita untuk memotivasi peserta didik terutama anak yang

tidak memiliki kecendrungan alami untuk berusaha dengan keras.

3) Dapat memotivasi anak yang memiliki rasa percaya diri rendah.

Berdasarkan pendapat ahli diatas, dapat disimpulkan tujuan dan manfaat

Reward, untuk menimbulkan perilaku positif yang dapat mengarahkan

kepada kegiatan belajar yang baik, contohnya anak menjadi memiliki

(43)

28

pemberian Rewardseperti, mempengaruhi anak untuk berperilaku positif

dan mengarah keperubahan dalam hasil belajarnya.

3. Prinsip dan Syarat Reward

a. Prinsip Reward

Menurut Ahmad Ali Budaiwi (dalam Wahyudin dan M. Fauzil

Adhim, 2003:22-23) prinsip imbalan dan hukuman adalah sebagai

berikut:

Imbalan sebagai fungsi pengarah positif dan perilaku yang benar

Adapun hukuman atau sanksi adalah untuk melemahkan atau

menghilangkan respon atau perilaku tertentu anak yang dipandang

menyimpang; Imbalan atau hukuman bukanlah tujuan, ia adalah

sarana untuk mengukuhkan atau menghilangkan perilaku tertentu,

imbalan dan hukuman dilakukan secara imbang dan professional;

imbalan diberikan secara situasional, sewaktu-waktu saja agar tidak

berubah sebagai pelican atau suap. Jadi pemberian penerapanya pada

anak khususnya anak autis adalah apabila anak mampu memakai

baju secara mandiri dengan benar maka anak akan mendapat

pengahrgaan atau pujian reward.Tidak didasarkan pada selera

pribadi, diutamakan memberikan imbalan daripada menerapkan

sanksi dan diutamakan memberikan imbalan non material agar anak

(44)

29

Berdasarkan prinsip diatas reward diberikan untuk memberikan

pengaruh positif dan ditujukan kepada perilaku yang benar.

pemilihanreward yang diberikan pun harus selektif.Artinya tidak

semua barang dapat dijadikan untuk reward. Pemberian reward atau

sering juga disebut dengan imbalan diberikan tidak secara terus

menerus agar fungsi tidak berubah menjadi suap.

b. Syarat Reward

Reward tidak dapat diberikan dalam keadaan atau situasi kapanpun.

Menurut Zulaeha Hidayati (2010 :38) syarat-syarat reward yang

diberikan adalah bersifat edukatif tidak memberatkan orang tua,

tidak membuat anak jadi menuntut lebih besar, tidak untuk

selamanya dan jarak waktu cukup(tidak terlalu lama). Senada dengan

pernyataan diatas, ada beberapa syarat yang perlu diperhatikan oleh

pendidik, diantaranya:

1. Untuk memberi ganjaran yang pedagogis perlu sekali guru

mengenal betul-betul muridnya dan tahu menghargai dengan

tepat. Ganjaran dan penghargaan yang salah dan tidak dapat

membawa akibat yang tidak diinginkan.

2. Ganjaran yang diberikan kepada seorang anak janganlah

hendaknya menimbulkan rasa cemburu atau iri hati bagi anak

yang lain yang merasa pekerjaanya juga lebih baik, tetapi tidak

(45)

30

3. Memberi ganjaran hendaklah hemat, terlalu kerap atau harus

menerus memberi ganjaran dan penghargaan akan menjadi

hilang arti ganjaran itu sebagai alat pendidikan.

4. Janganlah memberi ganjaran dengan menjanjikan lebih dahulu

sebelum anak-anak menunjukan prestasi kerjanya apalagi bagi

ganjaran yang diberikan kepada seluruh kelas. Ganjaran yang

telah dijanjikan lebih dahulu, hanyalah akan membuat

anak-anak berburu-buru dalam bekerja dan akan membawa

kesukaran-kesukaran bagi beberapa anak yang kurang pandai.

5. Pendidik harus berhati-hati memberikan ganjaran, jangan

sampai ganjaran yang diberikan kepada anak-anak diterimanya

sebagai upah dari jerih payah yang telah dilakukanya. (Ngalim

Purwanto, 2011: 184)

Dari pemaparan beberapa pendapat ahli diatas, dapat disimpulkan

bahwa syarat pemberian reward seperti subyek yang akan diberikan

reward, dampak yang dimunculkan dengan adanya pemberian

reward, biaya yang dikeluarkan untuk memberikan reward, dan

hendaklah pemberian reward tidak menjanjikan terlebih dahulu

kepada anak.

4. Bentuk Reward

Bentuk reward yang diberikan dapat bermacam-macam. Menurut

(46)

31

pujian, mainan, barang lain yang amat diinginkan oleh anak, jalan-jalan

satu atau dua minggu sekali, bermain kerumah teman dan kelereng,

bunga atau benda lain sebagai tanda keberhasilan. Reward ini digunakan

untuk melatih tahap-tahap awal ketika anak masih belum paham terhadap

alasan melakukan sesuatu dan kesulitan dalam membiasakan diri.

Namun, motivasi harus pelan-pelan ditanamkan untuk mengurangi

ketergantungan pada reward. Ngalim Purwanto (2011: 183), ganjaran

sebagai alat pendidikan banyak sekali macamnya. Sebagai contoh macam

perbuatan atau sikap pendidik yang dapat merupakan ganjaran bagi anak

didiknya yaitu:

a. Guru mengangguk-angguk tanda senang dan membenarkan suatu

jawaban yang diberikan oleh seorang anak.

b. Guru memberi kata-kata yang menggembirakan (pujian)

seperti,”Rupanya sudah baik pula tulisanmu, Min. Kalau kamu terus

berlatih , tentu akan lebih baik lagi.”

c. Pekerjaan juga dapat menjadi suatu ganjaran. Contoh, “Engkau akan

segera saya beri soal yang lebih sukar sedikit. Ali, karena yang

nomer 3 ini rupa-rupanya agak terlalu baik engkau kerjakan.”

d. Ganjaran yang ditunjukan kepada seluruh kelas sering sangat perlu.

Misalnya, “ karena saya lihat kalian telah bekerja dengan baik

danlekas selesai, sekarang saya (bapak guru) akan mengisahkan

sabuah cerita yang bagus sekali.” Ganjaran untuk seluruh kelas dapat

(47)

32

e. Ganjaran dapat juga berupa benda-benda yang menyenangkan dan

berguna bagi anak-anak. Misalnya, pensil buku tulis, gula-gula atau

makanan yang lain. Tetapi dalam hal ini guru harus sangat

berhati-hati dan bijaksana sebab dengan benda-benda itu, mudah benar

ganjaran berubah menjadi “upah” bagi murid-murid.

Martin dan Pear ( dalam Edi Purwanto, 2012: 32 dan 39) kata

“pengukuh positif (positive reinforce) sering disinonimkan dengan

kata “hadiah” (reward). Ada banyak alternative pilihan yang dapat

dijadikan pengukuh yaitu makanan, benda-benda konkret, benda

yang dapat ditukar sebagai pengukuh, aktivitas dan tindakan bersifat

sosial.

5. Langkah Pemberian Reward

Kata “pengukuhan positif” sering disinonimkan dengan kata “hadiah”

(reward) (Martin dan Pear dalam Edi Purwanto, 2012: 36). Penerapan

reward dapat dilakukan dengan banyak pertimbangan mengingat adanya

efek samping yang mungkin ditimbulkan. Faktor-faktor yang perlu

dipertimbangkan menurut Soetarlinah Sukadi (dalam Edi Purwanto,

2012:36), seperti menyajikan pengukuhan seketika,memilih pengukuh

yang tepat, mengukur kondisi situasional, menentukan kuantitas

pengukuh, memilih kualitas atau kebaruan pengukuh, memberikan

sample pengukuh, menangani persaingan asosiasi, mengatur jadwal

pengukuh, mempertimbangkan efek pengukuhan dan menangani efek

(48)

33

Peshawaria dan Venkatesan, (1992: 84-86) menyatakan bahwa:

“Give a reward, after selecting the right reward, the following rules are to be followed in giving rewards to children. It requires a great deal of practise to give rewards effectively. 1) Reward only desirable behaviour, 2) Reward clearly, 3) Reward immediately, 4) Reward the desirable target behaviour each and every time after it occurs, 5) Reward in appropriate amounts, 6) Combine the use of social rewards along with other types of rewards, 7) Change the rewards, 8) Fading of rewards”.

Dari pendapat diatas dapat diartikan bahwa setelah memilih hadiah yang

tepat, aturaan berikut harus diikuti dalam memberikan penghargaan

kepada anak-anak.Hal ini membutuhkan banyak latihan untuk

memberikan penghargaan secara efektif.

a. Memberikan Reward (penghargaan) hanya kepada siswa yang

berperilaku sesuai keinginan.

Sebelum mulai mengajar, terlebih dahulu memutuskan perilaku

yang diinginkan dan yang tidak diinginkan. Jika tidak, anda

mungkin tidak akan menyadari bahwa anda memberikan reward

pada perilaku diluaar sasaran, atau perilaku yang tidak diinginkan.

b. Memberi reward secara jelas

Jelas dan spesifik dalam memberikan intruksi saat memberikan

reward( penghargaan) pada perilaku anak-anak. Misalnya, ketika

seorang anak berhasil menyebutkan nama buah dengan benar,

seorang guru merespon dengan mengatakan “ Kamu hebat!”, atau

Kamu super sekali! dan sebagainya. Suara dan ekspresi wajahmu

(49)

34

jelas akan membantu anak untuk mempelajari hubungan antara

perilaku tertentu dan penghargaan yang diterima olehnya.

c. Memberikan reward sesegera mungkin

Selalu menghargai anak dengan segera memberikan reward

setelah sasaran perilaku yang diinginkan telah dilakukan. Semakin

besar kesenjangan waktu antara reward dan sasaran perilaku,

semakin berkurang juga efek dari reward tersebut. Sebuah hadiah

(reward) yang tertunda sama dengan hadiah yang tidak diberikan.

Sangatlah mudah untuk segera memberikan penghargaan sosial.

Bila anda berencana untuk menggunakan tanda atau imbalan

materi, buatlah mereka siap sehingga reward diberikan segera

(dalam waktu 2 atau 3 detik) setelah sasaran perilaku dilakukan

oleh anak.

d. Reward diberikan pada sasaran perilaku yang diinginkan dan setiap

kali setelah hal itu terjadi

Pada awal mengajarkan perilaku baru, memberikan penghargaan

pada masing-masing anak dan setiap kali setelah sasaran perilaku

telah terjadi.Namun, ketika perilaku telah cukup dipelajari, guru

kemudian memberi penghargaan bahwa sasaran perilaku tertentu

hanya sekarang dan kemudian hari. Dengan kata lain, setiap kali

guru mengambil tujuan perilaku baru, pemberian penghargaan

(50)

35

perilaku tersebut. Tujuan dari sistem reward adalah supaya anak

suka melakukan sasaran perilaku dan merasa senang dengan hal itu.

e. Rewrad dalam jumlah yang tepat

Sementara mengajar anak-anak, pemberian rewardterlalu sedikit

atau terlalu banyak oleh guru mungkin membuktikan

ketidakefektifan dalam mengajar. Identifikasi dan gunakan jumlah

yang tepat dalam memberikan reward secara efektif untuk setiap

anak. Ini mungkin berbeda dengan masing-maing anak atau dalam

anak yang sama dari waktu ke waktu. Jangan memberikan sejumlah

reward yang besar karena akan mengganggu proses pembelajaran.

Misalnya, tidaklah tepat memuji anak selama lima menit ketika

perilaku anak hanya perlu selama setengah menit. Ketika reward

utama digunakan hanya sedikit jumlah yang harus dilakukan

dimana anak dapat menelan atau memakan dalam beberapa detik.

Sebagai contoh, satu tegukan jus buah, satu kacang, satu bagian

coklat.dll.

f. Gabungkan penggunaan penghargaan sosial bersama dengan jenis

penghargaan lain

Selalu mencoba dan menggabungkan penggunaan reward

sosial bersama dengan reward jenis lain. Misalnya, ketika

menggunakan reward utama secara bersamaan dengan

menggunakan reward sosial juga.Secara bertahap, sebagai anak

(51)

36

penghargaan utama dapat secara bertahap dikurangi dan bahkan di

hilangkan.Reward sosial juga harus dikombinasikan dengan reward

dari aktivitas, imbalan materi atau hak istimewa.

g. Mengganti penghargaan (reward)

Anak-anak cenderung merasa bosan dengan hadiah yang sama

yang diberikan sepanjang waktu. Dalam situasi seperti itu, reward

dapat kehilangan nilainya. Oleh karena itu penting untuk

mengubahnya dari waktu ke waktu. Sebagai contoh, jika anda

menggunakan reward pada setiap aktivitas seperti kegiatan

mewarnai untuk anak tergantung pada suka atau tidak sukanya

anak, anda bisa memberikan mainan untuk bermain dan kemudian

membawanya untuk mewarnai lagi.

Dari pendapat diatas dapat diartikan bahwa aturan yang diikuti

dalam memberikan penghargaan kepada anak anak adalah reward

hanya diberikan pada perilaku yang diinginkan, bentuk reward harus

jelas, memberikan secara segera, masing-masing reward menjadi target

perilaku yang diinginkan dan setiap kali setelah terjadi, memberikan

reward dalam jumlah yang tepat, menggabungkan penggunaan

penghargaan sosial bersama dengan jenis penghargaan lain, mengganti

reward dan menghapus reward.

Menurut Prayitno (dalam Desyana Widhi Kurniawati,

(52)

37

a. Guru memberikan penjelasan tentang materi yang akan dibahas

pada setiap pertemuan dalam kegiatan pembelajaran.

b. Siswa memperhatikan guru ketika guru menerangkan materi yang

akan diajarkan.

c. Guru memotivasi siswa dengan pemberian hadiah (reward) yang

akan diberikan oleh guru ketika pembelajaran berlangsung.

d. Setiap siswa yang menyelesaikan tugsanya dengan baik dan benar

akan mendapatkan hadiah (reward) dari guru atau seluruh siswa.

e. Demikian seterusnya ketika siswa-siswa maju dan berhasil

mengerjakan apa yang di perintahkan oleh guru.

f. Kesimpulan dan penutup.

Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas peneliti mengadaptasi,

bahwa langkah-langkah pemberian reward dapat di kategorikan

menjadi tiga yakni kegiatan awal, kegiatan inti, kegiatan akhir. Pada

kegiatan awal, pemberian reward diberikan dengan cara guru memilih

reward yang tepat, guru memilih perilaku yang diinginkan, guru

mengukur kondisi situasional, guru menentukan kuantitas pengukuh,

guru memilih kualitas kebaruan pengukuh, guru memberikan sample

pengukuh (reward), guru menjadwal pemberian pengukuhan, guru

memberikan penjelasan tentang materi yang akan dibahas yaitu

aktivitas bepkaian, guru memotivasi siswa dengan pemberian hadiah

(reward) yang akan diberikan oleh guru saat pembelajaran berlangsung.

(53)

38

mengikuti intruksi guru, guru meberikan rewardkepada siswa yang

mengerjakan tugasnya dengan baik, guru menggabungkan penggunaan

penghargaan sosial bersama dengan jenis penghargaan lain. Kegiatan

akhir, guru memberikan penguatan berupa reward pada kegiatan akhir

pembelajaran.

D. Kerangka Pikir

Berdsarkan permasalahan dan kajian teori yang telah dipaparkan diatas

maka kerangka pikir dalam penelitian ini dapat digambarkan

menggunakan bagan sebagai berikut:

(54)

39

Gambar 1. Kerangka Pikir

Berdasarkan bagan diatas Salah satu karateristik anak autis ialah lemah

dalam pengembangan dirinya, padahal bina diri sangat penting dalam

kehidupan sehari-hari untuk melakukan hal yang bersifat mandiri.Salah

satu lingkup pengembangan diri adalah berpakaian. Berpakaian sangat

penting gunanya dalam kehidupan sehari-hari, karena manusia dinilai dari

cara berpakaiannya. Dan berpakaian bagi anak autis adalah proses yang

rumit diawal-awal tahapan belajar. Maka dari itu peneliti memilih

menggunakan penerapan pemberian Reward untuk memotivasi anak autis Berpakaian

Gangguan Komunikasi Bahasa

dan Perilaku

Tidak Dapat Berpakaian dengan baik dan Benar secara Mandiri

Penerapan Pemberian Reward

Stimulusberupa PemberianReward dengan pembelajaran yang di kondisikan

(Teori belajar Skinner)

Memahami tahapan Berpakaian

Berpakaian dengan benar secara mandiri

(55)

40

agar dapat melakukan bina diri berpakaian dengan mandiri tanpa bantuan

orang lain.

Anak autismembutuhkan motivasi yang sesuai dengan kondisi,

karakteristik dan kebutuhanya. Berdasarkan teori belajar skinner, tingkah

laku sepenuhnya ditentukan oleh stimulus, tingkah laku atau respon

tertentu akan timbul sebagai reaksi terhadap stimulus. Dalam penelitian

ini, stimulus yang diberikan oleh peneliti berupa pemberian

reward.Pertimbangan peneliti menggunakan penerapan pemberian reward

dalam penelitian ini adalah anak senang jika diberi pujian, motivasi dan

hadiah (reward). Dalam teori skinner proses ini disebut shaping.

Berdasarkan percobaan yang dilakukan oleh skinner menggunakan tikus

(Edi Purwanto, 2012 :23) fase ini bertujuan membentuk tingkah laku

supaya tikus menekan tombol untuk memperoleh makanan.

Rewarddiberikan pada tingkatan-tingkatan tertentu, yaitu semakin

mendekati tombol, akhirnya rewardbaru diberikan setelah mencapai

tombol. secara terjadwal tikus diberikan makanan secara bertahap sesuai

peningkatan perilaku yanag ditunjukan, proses ini disebut shaping.

Menurut Skinner (Edi Purwanto, 2012 :25) manajemen kelas merupakan

usaha untuk memodifikasi perilaku (behavior modification) antara lain

dengan memberi penghargaan pada proses penguatan (reinforcement)

yaitu memberi penghargaan pada perilaku yang diinginkan dan tidak

memberi imbalan pada perilaku yang tidak tepat. Dalam penelitian ini,

(56)

41

jempol ketika subjek dapat melakukan aktivitas berpakaian dengan benar

secara mandiri.Harapanya, dengan memberikan imbalan anak menjadi

senang dan dapat mengulangi perilaku aktivitas berpakaian dengan benar

secara mandiri dalam kehidupan sehari-hari.

E. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kajian teori dan kerangka pikir yang telah diuraikan peneliti

diatas, maka dapat diajukan hipotesis penelitian yaitu :Pemberian Reward

dapat Meningkatkan Motivasi Pengembangan Diri Berpakaian pada Anak

(57)

42

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif. Jenis penelitian

yang digunakan adalah kuasi eksperimen. Menurut Sugiyono( 2010:72),

metode penelitian eksperimen adalah metode penelitian yang digunakan

mencari pengaruh perlakuan tertentu terhadap yang lain dalam kondisi yang

lain terkendalikan. Peneliti menggunakan eksperimen kuasi karena peneliti

akan meneliti pengaruh pemberian reward terhadap kemampuan

pengembangan diri berpakaian pada anak autis kelas IV di sekolah khusus autis

dian amanah yogyakarta.

Desain eksperimen yang digunakan dalam penelitian ini adalah single subject

research (SSR). SSR yang berarti penelitian dengan subjek tunggal,

merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari analisis tingkah laku individu.

Hal tersebut sesuai dengan pendapat Nana Syaodih ( 2005: 59), eksperimen

subjek tunggal, (single subject experimental) merupakan eksperimen yang

dilakukan terhadap subjek tunggal. Pendapat tersebut diperkuat oleh pendapat

Juang Sunanto (2012: 3) yang menyatakan bahwa, desain subyek tunggal

merupakan desain penelitian eksperimen yang dilakukan pada subyek yang

jumlahnya relative kecil atau bahkan satu orang.

Nana Syaodih (2005: 209) mengemukakan bahwa, pendekatan dasar dalam

subyek tunggal adalah meneliti individu dalam kondisi tanpa perlakuan,

(58)

43

kedua kondisi tersebut.Pendekatan penelitian dengan subyek tunggal yang akan

dilaksanakan oleh peneliti, dimulai dengan meneliti kemampuan berpakaian

subjek sebelum, selama dan setelah diberi perlakuan (Intervensi). Hal tersebut

bertujuan untuk mencari hubungan fungsional antara intervensi melalui

penerapan pemberian reward terhadap perubahan perilaku berpakaian.

B. Desain Penelitian

Penelitian ini mencari hubungan sebab akibat, yaitu pengaruh

Pemberianreward terhadap kemampuan pengembangan diri berpakaian pada

anak autis. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain A-B-A.

Menurut Juang Sunanto (2006: 44), desain A-B-A menunjukkan adanya

hubungan sebab akibat anatara variabel terikat dan variabel bebas yang lebih

kuat dibandingkan dengan desain AB. Dari pendapat tersebut dapat diketahui

bahwa penelitian dengan subjek tunggal menggunakan desain A-B-A akan

mencari pengaruh suatu perlakuan terhadap perubahan perilaku satu subyek

yang akan diteliti. Pendapat tersebut diperkuat oleh pendapat Borg and Gall

(2007:432) yang menyatakan bahwa : “ A-B-A design are used in single-case

or single group experiments having one treatment. The A stands for the

baseline condition, and the B stands for the treatmentmaksudnya adalah

desain A-B-A‟ digunakan untuk meneliti satu subjek atau satu kelompok

dengan memberikan satu intervensi.Baseline A merupakan perilaku berpakaian

tanpa diberikan perlakuan. Sedangkan baseline B dengan terlebih dahulu

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pikir
Tabel 1.Kisi-kisi Pedoman Observasi Perilaku Pengembangan Diri Berpakaian menggunakan  PemberianNo Reward
Tabel 2. Kisi-kisi Instrumen Panduan Observasi Pencatatan Frekuensi
Tabel 3. Data Kesalahan Subjek Dalam Praktek Berpakaian pada Fase Basline-1
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian ekperimen Single Subject Research (SSR) dengan pendekatan kuantitatif. Desain yang digunakan adalah A- B-A’. Subjek penelitian

Berdasarkan pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan pembelajaran bina diri adalah agar anak autis dapat melakukan keterampilan mengurus dirinya sendiri dengan mandiri

Penelitian ini diharapkan meningkatkan kemampuan bina diri anak autis dalam kegiatan buang air kecil melalui metode (drill) di Pusat Layanan Autis Yogyakarta, dan dapat

Adapun peningkatan proses dalam pembelajaran mengenal lambang bilangan melalui permainan pancing angka yaitu subyek menjadi lebih aktif mengikuti proses pembelajaran,

Apabila kemampuan berpakaian anak meningkat, dengan mampu melakukan kegiatan berpakaian sesuai urutan yang ada dalam metode latihan ( drill ) secara mandiri dan

Oleh karena itu, mean level dari baseline-1 ke baseline-2 mengalami peningkatan, yaitu 73,33 menjadi 96,67, sehingga terjadi peningkatan sebesar 23,34, serta

Berikut ini adalah hasil observasi akhir (pos test) anak autis di SLB Harmoni Sidoarjo yang mengalami hambatan dalam kemampuan bina diri memakai dan mengancing

Hal ini dapat diketahui berdasarkan hasil penelitian sebelum diberikan pembelajaran dengan task analysis kemampuan bina diri anak autis dalam aspek menunjuk dan