• Tidak ada hasil yang ditemukan

Politik kebangkitan adat : analisa kritis terhadap praktek wacana orang Ambon.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Politik kebangkitan adat : analisa kritis terhadap praktek wacana orang Ambon."

Copied!
210
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Analisis ini dimaksudkan untuk menyingkap hubungan kekuasaan dan konstruksi subyektivitas yang diproduksi dalam rezim wacana kebangkitan adat Ambon. Penyelidikan ini dilakukan berdasarkan tiga pokok persoalan yakni genealogi, hubungan kekuasaan dan subyektivitas. Analisis genalogi bertujuan untuk membongkar kontinuitas sejarah demi pencarian asal-usul kemunculan wacana kebangkitan adat yang sebetulnya mengakar pada hubungan timbal-balik antara kebenaran, kekuasaan-pengetahuan dan subyek. Di Indonesia, kemunculan adat diparalelkan dengan sejumlah praktek ketidakadilan di tingkat lokal seperti pengambilalihan kepemilikan tanah-tanah ulayat yang dikonversikan menjadi konsensi pembangunan nasional; termasuk kebijakan nasional konversi desa-desa adat sepertinegeri(desa adat) di Ambon yang menjadi lokus penelitian ini.

Kemunculan adat dengan niat untuk memperjuangkan nilai-nilai adat dan mendapatkan kembali rasa keadilan yang diklaim terabaikan pada masa Orde Baru malah mengakar dalam wacana kekuasaan. Eforia adat di era reformasi pada kenyataannya tidak menyentuh persoalan konstestasi nilai-nilai adat, malah terjebak dalam persoalan kontestasi kekuasaan politik di tingkat lokal dengan melakukan birokratisasi adat, manajerialisasi adat, dan atau administrasi adat. Konsekuensinya, terjadi penonjolan identitas etnis. Wacana kebangkitan adat berubah menjadi wacana kebangkitan identitas etnis yang mendasari rasionalitasnya pada rezim kebenaran wacana kebangkitan adat. Hegemoni wacana kekuasaan adat semakin sulit dikendalikan ketika muncul intervensi berbagai institusi kekuasaan seperti Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada tingkat pusat di Jakarta dan majelis Latupati Maluku pada tingkat lokal seperti yang terjadi di Ambon. Proses institusionalisasi kekuasaan semacam ini tanpa disadari mendorong wacana kekuasaan bekerja secara efektif dalam praktek wacana sosial.

Efek dari mekanisme kekuasaan semacam ini adalah terjadinya proses subyektivasi kekuasaan. Subjektivasi kekuasaan menjadikan subjek selalu berada dalam pengawasan dan ketergantungan penuh terhadap rezim kebenaran wacana ilmiah dan keterikatan terhadap identitas sendiri dengan menjadi subject-ed. Proses objektivasi subyek ini merepresentasi operasionalisasi kekuasaan melalui teknologi pendisiplinan subyek dengan tujuan untuk menghasilkan kepatuhan. Dalam konteks itu, identitas subyek ke-Ambon-an dalam wacana kebangkitan adat Ambon teraktualisasi dalam kendali wacana ilmiah dan identitas dengan berusaha menjadi orang Ambon ideal.

(2)

ABSTRACT

This analysis is intended to reveal the power relation and subjectivity construction which is produced by the discursive regime of indigenous revivalism in Ambon. This study is based upon three main subjects, namely genealogy, power relation, and subjectivity. The genealogical analysis is intended to dismantle the historical continuity in order to find the origins of the indigenous revivalism discourse, which is actually rooted in the causal relation of truth, power-knowledge, and subjectivity. In Indonesia, the appearance of indigenous revivalism is equivalent to a number of unequal treatments at the local stage such as land seizure of idigenous lands to be coverted into the consession of national development; this includes the conversions of negeri (indigenous villages) in Ambon which is the main locust of this study.

The intention of indigenous revivalism is to struggle for native values and regain equality which were neglected during the New Order Regime and unfortunately has rooted in the discourse of power. The indigenous euphoria in this reformation era as a matter of fact did not meet with the challenges of native values, instead it is somehow stuck in the local political importances by making bureaucratization, managerialization, and/or administration of native values. Its consequence is that of ethnical projections. The indigenous revivalism discourse has changed into the discourse of ethnical identity which is the rational basis of the indigenous revivalism discursive regime. The hegemony of ethnical power discourse become unstoppable by the intervention of numerous intitutions such as the Archipelago’s Indigenous Community Alliance (AMAN) at the national level in Jakarta and theLatupati Maluku Council at the local level—or in this case is in Ambon. The institutionalization of power like this is unintentionally reinforcing the discourse of power to effectively work in the practice of social discourse.

Power mechanism like this is the affect of power subjectivity. Power subjectivity makes the subject always feel under control and is fully dependent to scientific discourses and indetities, which then create asubject-ed. Meanwhile, the objectivication of the subject represents the process of power operations through the discipline mechanism of the subject. Therefore, in this study, the identity of the Ambonese subject in actualized under the control of scientific discourse and the identity of the ideal Ambon.

(3)

POLITIK KEBANGKITAN ADAT:

Analisa Kritis terhadap Praktek Wacana Orang Ambon

TESIS

Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapatkan Gelar Magister Humaniora (M.Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Oleh: Willem Batlayeri NIM: 126322004

Program Magister Ilmu Religi Dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

(4)

PERSETUJUAN PEMBIMBING

TESIS

POLITIK KEBANGKITAN ADAT:

Analisa Kritis terhadap Praktek Wacana Orang Ambon

Oleh: Willem Batlayeri NIM: 126322004

Telah disetujui Oleh:

Dr. Gregorius Budi Subanar, S.J.

Pembimbing I ………...Tanggal: 22 Desember 2014

Dr. Katrin Bandel

(5)

HALAMAN PENGESAHAN

TESIS

POLITIK KEBANGKITAN ADAT:

Analisa Kritis terhadap Praktek Wacana Orang Ambon

Oleh: Willem Batlayeri NIM: 126322004

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Tesis Pada tanggal: 20 Januari 2015

dan dinyatakan telah memenuhi syarat. Tim Penguji

Ketua :Albertus Budi Susanto, S.J. Ph.d ………

Moderator/

Sekretaris :Dr. FX. Baskara Tulus Wardaya, S.J. ………

Anggota :1. Dr. G. Budi Subanar, S.J. ………

2. Dr. Katrin Bandel ………

Yogyakarta, 20 Januari 2014 Direktur Program Pascasarjana

(6)

PERNYATAAN KEASLIAN

Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Willem Batlayeri

NIM : 126322004

Program : Magister Ilmu Religi dan Budaya lnstitusi : Universitas Sanata Dharma

menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis: Judul : POLITIK KEBANGKITANADAT:

Analisa Kritis terhadap Praktek Wacana Orang Ambon Pembimbing I : Dr. Gregorius Budi Subanar, S.J.

Pembimbing II : Dr. Katrin Bandel Tanggal diuji : 20 Januari 2015 adalah benar-benar hasil karya saya.

Tesis ini ditulis berdasarkan hasil penelitian yang saya laksanakan sejak 2013-2014 di Ambon, Provinsi Maluku. Selama proses penulisan tesis ini, saya melengkapi dan mendalami topik ini dengan mempertimbangkan studi-studi terdahulu sebagaimana telah pertanggungjawabkan secara akademis dalam catatan kaki dan daftar pustaka.Apa bila pada kemudian hari terdapat tindakan yang bertentangan dengan kode etik akademik, saya bersediamenerima sanksi sesuaidengan peraturan yang berlaku di Program Magister llmuReligidan Budaya (IRB) Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Yogyakarta, 20 Januari 2015 Yang Menyatakan

(7)

PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGANAKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Dharma Nama : Willem Batlayeri

NIM : 126322004

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada PerpustakaanUniversitas Sanata Dharma karya ilmiah dengan judul:

POLITIK KEBANGKITAN ADAT:

Analisa Kritis terhadap Praktek Wacana Orang Ambon

Dengan tujuan untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalambentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin maupun memberikan royalti selama tetap mencantumkan namasaya sebagai penulis.

Demikian pemyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Yogyakarta, 20 Januari 2015 Yang Menyatakan

(8)

PERSEMBAHAN

Karya tulis ini dipersembahan kepada:

Pemerhati Adat dan Budaya Lokal diAmbon-Maluku,

Sekolah Tinggi Pendidikan Agama Katolik (STPAK) St. Yohanes Penginjil

Ambon,Almamater Program Magister Ilmu Religi dan Budaya (IRB) Universitas Sanata

(9)

MOTTO

Menyangsikan kemapanan status Pengetahuan adalah Jalan Terbaik

Mencintai Kebenaran.

(10)

KATA PENGANTAR

Dengan segala kerendahan hati, saya memanjatkan puji dan syukur atas berkat dan penyertaan Tuhansehingga penulisan tesis ini dapat berjalan dengan lancar. Penulisan tesisdengan judul “Politik Kebangkitan Adat: Analisa Kritis terhadap Praktek Wacana Orang Ambon” bertujuan untuk memenuhi persyaratan guna mendapatkan gelar Magister Humaniora (M. Hum) pada Program Magister Ilmu Religi dan Budaya (IRB) Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Sebagai ucapan syukur atas segala berkat yang telah diberikan selama ini, perkenankanlah saya mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu saya selama proses penulisan tesis ini. Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Staf pengajar di program magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Limpah terima kasih kuucapkan kepadaDr. Gregorius Budi Subanar, S.J., Dr. Stanislaus Sunardi, Prof. Dr. Augustinus Supratiknya, Dr. Albertus Budi Susanto, S.J., Dr. FX. Baskara T.Wardaya, S.J., Dr. Benediktus Hari Juliawan, S.J., Dr. Johanes Haryatmoko, S.J., Dr. Albertus Bagus Laksana, S.J., Dr. Katrin Bandel, danChristina Desy Hapsariyang telahmembantu, mendidik dan membekali diri saya dengan aneka pengetahuan akademis dan ketrampilan kritis.

(11)

selama ini telah bersedia meluangkan waktu dan tenaga mendampingi proses penulisan tesis dari awal hingga akhir.

3. Para nara sumber di Ambon yang telah bersedia membantu saya selama proses penelitian.

4. Teman-teman se-angkatan 2012 yang atas caranya masing-masing telah ikut terlibat selama proses penulisan tesis ini.

5. Akhirnya kuucapkan banyak terima kasih kepada kaum keluarga, khususnya istri (Wivina Era Adiyanti)dan anak(Gema Laras Batlayeri)yang selalu hadir menemaniku selama menjalani masa-masa perkuliahan di program magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Atas semua dukungan dan perhatian yang telah diberikan selama ini, saya mengucapkan banyak terima kasih.Akhirnya,semoga tesis ini dapat membantu saya dan pembaca sekaliandalam studi-studi berikutnya.

(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv

LEMBARAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... v

PERSEMBAHAN... vi

MOTTO ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI... x

ABSTRAK... xiii

ABSTRACT... xiv

DAFTAR GAMBAR DAN TABEL... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 14

1.3. Tujuan Penelitian ... 14

1.4. Manfaat Penelitian ... 15

1.5. Tinjauan Pustaka... 16

1.6. Kerangka Teoritik ... 22

1.6.1. Konsep Genealogi... 22

1.6.2. Konsep Wacana... 25

1.6.3. Konsep Kekuasaan-Pengetahuan ... 28

1.6.4. Konsep Subyektivitas... 34

1.7. Teknik Pengumpulan Data... 38

(13)

BAB II

GENEALOGI WACANA KEBANGKITAN ADAT DALAM

TILIKAN SEJARAH... 42

2.1. Sekilas Sejarah Kebangkitan Adat di Indonesia ... 43

2.1.1. Adat dalam Imajinasi Politik Orde Baru... 44

2.1.2. Eforia Kebangkitan Adat di Era Reformasi ... 49

2.2. Genealogi Kebangkitan Adat Ambon... 57

2.2.1. Adat dalam Tatapan Orang Ambon ... 57

2.2.2. Adat Ambon dalam Wacana Kolonialisme... 60

2.2.3. Polarisasi Agama dan Adat di Ambon... 66

2.2.4. Adat dan Hubungan Darah... 70

2.2.5. Adat dan Persekutuan Teritorial... 74

2.3. Membidik Penetapan“Negeri”Adat di Ambon ... 78

2.4. Catatan Penutup ... 81

BAB III KEBANGKITAN ADAT DALAM PRAKTEK DAN WACANA ORANG AMBON... 83

3.1. Momentum Kebangkitan AdatDi Ambon... 83

3.1.1. Rekonsiliasi Konflik dalam Konstruksi Adat ... 85

3.1.2. Membangun Memori Kolektif Warga melalui Adat... 89

3.1.3. Reorganisasi Diri atas Nama Adat ... 93

3.1.4. Pelembagaan Jaringan Kultural ... 97

3.1.5. Penguatan Kelembagaan Adat ... 105

3.2. Perluasan Wacana Kebangkitan Adat Ambon ... 109

3.2.1. Mengembangkan Budaya Politik Berbasis Adat... 109

3.2.2. Mengintensifkan Kepemimpinan Lokal... 114

3.2.3. Kontroversi Gelar Adat Maluku ... 118

3.3. Internalisasi Wacana Kebangkitan Adat Ambon... 124

3.3.1. Loyalitas Penduduk Lokal terhadap Adat... 125

3.3.2. Sikap Diam Warga Pendatang dalam Adat... 129

(14)

BAB IV

KEKUASAAN DAN SUBYEKTIVITAS DALAM WACANA

KEBANGKITAN ADAT AMBON... 134

4.1. Hubungan Kekuasaan dalam Wacana Kebangkitan Adat Ambon... 134

4.1.1. Rezim Kebenaran Wacana Kebangkitan Adat... 136

4.1.2. Proses Institusionalisasi Kekuasaan Adat ... 143

4.1.3. Hukum sebagaiInstrumen Kekuasaan... 148

4.1.4.Bio-Power:Hubungan Darah dan Hasrat Berkuasa... 152

4.1.5. Kekuasaan Simbolikdalam Polemik Gelar Adat... 158

4.2. Subyektivitas dalam Wacana Kebangkitan Adat Ambon... 162

4.2.1. Ke-Ambon-an dalam Kendali Wacana Ilmiah ... 163

4.2.2. Ke-Ambon-an dalam Keterjebakan Identitas... 167

4.3. Catatan Penutup ... 170

BAB V PENUTUP... 172

5.1. Kebangkitan Adat dan Ilusi Pembebasan... 173

5.2. Darah sebagai Arena Konstestasi Kekuasaan dalam Adat ... 180

5.3. Angan-angan Politisku: Radikalisasi Kerja Adat... 183

(15)

ABSTRAK

Analisis ini dimaksudkan untuk menyingkap hubungan kekuasaan dan konstruksi subyektivitas yang diproduksi dalam rezim wacana kebangkitan adat Ambon. Penyelidikan ini dilakukan berdasarkan tiga pokok persoalan yakni genealogi, hubungan kekuasaan dan subyektivitas. Analisis genalogi bertujuan untuk membongkar kontinuitas sejarah demi pencarian asal-usul kemunculan wacana kebangkitan adat yang sebetulnya mengakar pada hubungan timbal-balik antara kebenaran, kekuasaan-pengetahuan dan subyek. Di Indonesia, kemunculan adat diparalelkan dengan sejumlah praktek ketidakadilan di tingkat lokal seperti pengambilalihan kepemilikan tanah-tanah ulayat yang dikonversikan menjadi konsensi pembangunan nasional; termasuk kebijakan nasional konversi desa-desa adat sepertinegeri(desa adat) di Ambon yang menjadi lokus penelitian ini.

Kemunculan adat dengan niat untuk memperjuangkan nilai-nilai adat dan mendapatkan kembali rasa keadilan yang diklaim terabaikan pada masa Orde Baru malah mengakar dalam wacana kekuasaan. Eforia adat di era reformasi pada kenyataannya tidak menyentuh persoalan konstestasi nilai-nilai adat, malah terjebak dalam persoalan kontestasi kekuasaan politik di tingkat lokal dengan melakukan birokratisasi adat, manajerialisasi adat, dan atau administrasi adat. Konsekuensinya, terjadi penonjolan identitas etnis. Wacana kebangkitan adat berubah menjadi wacana kebangkitan identitas etnis yang mendasari rasionalitasnya pada rezim kebenaran wacana kebangkitan adat. Hegemoni wacana kekuasaan adat semakin sulit dikendalikan ketika muncul intervensi berbagai institusi kekuasaan seperti Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada tingkat pusat di Jakarta dan majelis Latupati Maluku pada tingkat lokal seperti yang terjadi di Ambon. Proses institusionalisasi kekuasaan semacam ini tanpa disadari mendorong wacana kekuasaan bekerja secara efektif dalam praktek wacana sosial.

Efek dari mekanisme kekuasaan semacam ini adalah terjadinya proses subyektivasi kekuasaan. Subjektivasi kekuasaan menjadikan subjek selalu berada dalam pengawasan dan ketergantungan penuh terhadap rezim kebenaran wacana ilmiah dan keterikatan terhadap identitas sendiri dengan menjadi subject-ed. Proses objektivasi subyek ini merepresentasi operasionalisasi kekuasaan melalui teknologi pendisiplinan subyek dengan tujuan untuk menghasilkan kepatuhan. Dalam konteks itu, identitas subyek ke-Ambon-an dalam wacana kebangkitan adat Ambon teraktualisasi dalam kendali wacana ilmiah dan identitas dengan berusaha menjadi orang Ambon ideal.

(16)

ABSTRACT

This analysis is intended to reveal the power relation and subjectivity construction which is produced by the discursive regime of indigenous revivalism in Ambon. This study is based upon three main subjects, namely genealogy, power relation, and subjectivity. The genealogical analysis is intended to dismantle the historical continuity in order to find the origins of the indigenous revivalism discourse, which is actually rooted in the causal relation of truth, power-knowledge, and subjectivity. In Indonesia, the appearance of indigenous revivalism is equivalent to a number of unequal treatments at the local stage such as land seizure of idigenous lands to be coverted into the consession of national development; this includes the conversions of negeri (indigenous villages) in Ambon which is the main locust of this study.

The intention of indigenous revivalism is to struggle for native values and regain equality which were neglected during the New Order Regime and unfortunately has rooted in the discourse of power. The indigenous euphoria in this reformation era as a matter of fact did not meet with the challenges of native values, instead it is somehow stuck in the local political importances by making bureaucratization, managerialization, and/or administration of native values. Its consequence is that of ethnical projections. The indigenous revivalism discourse has changed into the discourse of ethnical identity which is the rational basis of the indigenous revivalism discursive regime. The hegemony of ethnical power discourse become unstoppable by the intervention of numerous intitutions such as the Archipelago’s Indigenous Community Alliance (AMAN) at the national level in Jakarta and theLatupati Maluku Council at the local level—or in this case is in Ambon. The institutionalization of power like this is unintentionally reinforcing the discourse of power to effectively work in the practice of social discourse.

Power mechanism like this is the affect of power subjectivity. Power subjectivity makes the subject always feel under control and is fully dependent to scientific discourses and indetities, which then create asubject-ed. Meanwhile, the objectivication of the subject represents the process of power operations through the discipline mechanism of the subject. Therefore, in this study, the identity of the Ambonese subject in actualized under the control of scientific discourse and the identity of the ideal Ambon.

(17)

DAFTAR GAMBAR DAN TABEL

Gambar 1: Pendeta bersama para kepala soa dalam upacara adat

yang diadakan diBaileo... 67

Gambar 2: Mekanisme prosedural pelaksanaan tugas perangkat dat di bawah kendali dewanLatupati ...99

Gambar 3: Contoh struktur kepemimpinan “sanirinegeri”... 101

Gambar 4: Contoh struktur organisasi pemerintahan“negeri”... 102

Gambar 5: Lambang perisai “siwalima”Provinsi Maluku... 111

Gambar 6: Pengukuhan gelar kehormatan adatkepada Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono, presiden Republik Indonesia... 121

Gambar 7: Pemberian gelar kehormatan adat kepada Ir. Said Assagaff, calon gubernur Maluku pada 2013... 122

(18)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sejak runtuhnya rezim Orde Baru Suharto pada 1998, kehidupan sosial politik di Indonesia dikejutkan dengan munculnya fenomena kebangkitan adat (revival of tradition). Istilah kebangkitan adat merujuk pada kemunculan sejumlah tuntutan kedaerahan yang mengatasnamakan adat. Beberapa daerah di antaranya adalah Bali, Flores, Kalimantan, Sulawesi, Ambon-Maluku, Papua dan beberapa daerah lainnya di Indonesia yang memilih untuk mengurus diri sendiri berdasarkan adat istiadat di wilayahnya masing-masing. Adat yang nampaknya diam secara tiba-tiba ramai dibicarakan. Adat diproblematisasi sebagai sebuah masalah yang seakan-akan perlu dan relevan untuk dibicarakan di tengah-tengah tatanan kehidupan masyarakat Indonesia yang makin modern.

(19)

Paling tidak menjadi langkah awal bagi saya untuk memahami secara tepat dinamika kemunculan adat di Indonesia. Terutama bagaimana adat itu dibicarakan? Mengapa kemunculan adat mendapatkan sambutan hangat dari masyarakat? Atau mengapa kebanyakan orang begitu antusias untuk kembali ke adat?

Sejenak menelusuri jejak sejarah kemunculan isu kebangkitan adat di Indonesia, saya diperhadapkan dengan sejumlah gagasan penting mengenai sebab muasal keinginan dari beberapa daerah di Indonesia yang memilih untuk menghidupkan kembali adat di wilayahnya masing-masing. Pada satu sisi, kemunculan adat dipandang sebagai sebuah langkah strategis untuk mendapatkan kembali rasa keadilan yang diklaim selama ini terabaikan. Klaim semacam ini diparalelkan dengan sejumlah praktek ketidakadilan negara akibat perampasan tanah-tanah ulayat, eksploitasi sumber daya alam, pengrusakan lingkungan hidup, penebangan hutan, dan penyeragaman sistem pemerintahan di tingkat lokal melalui sistem konversi desa-desa adat; bahkan problem keterwakilan putra daerah dalam struktur birokrasi politik di tingkat lokal.

(20)

sungguh-sungguh terwujud ataukah sebaliknya malah menciptakan kejutan-kejutan baru demi kepentingan kekuasaan politik dari kelompok-kelompok tertentu?

Meski kemunculan adat mendapatkan sambutan hangat dari masyarakat, akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa di sisi lain muncul suara-suara lain yang bernada oposisi terhadap kemunculan adat. Beberapa di antaranya yang bersikap lebih oposisi adalah David Bourchier dan Tania Li yang berusaha menyikapi secara kritis kemunculan adat. David Bourchier dalam penyelidikannya terkait fenomena kebangkitan adat di Indonesia menunjukkan bahwa“kecenderungan gerakan kebangkitan adat meski mendukung dan menguatkan komunitas-komunitas lokal serta mempererat ikatan kepentingan komunal; akan tetapi sebetulnya sangat rentan memicu terjadinya konflik, kekerasan, kebencian antar etnis, bahkan ikut mengukuhkan kembali hirarki sosial masa lampau”.1

Senada dengan Bourchier, Tania Li dalam penelitiannya di Sulawesi Tengah pada kurun waktu 2000-2003 menemukan juga persoalan serupa. Secara khusus Tania Li menyoroti keragaman penafsiran dalam penggunaan istilah adat. Di Sulawesi Tengah, adat cenderung digunakan sebagai sarana efektif untuk mengatur kegiatan politik seperti untuk memobilisasi massa melawan kontrol negara, mengklaim kedaulatan teritorial, maupun sebagai bentuk manifestasi kekuatan etnopolitis dari seseorang atau kelompok tertentu. Menurut Tani Li menggunakan konsep adat berarti mengklaim kemurnian nilai demi kepentingan

1 David Bourchier (2010), “Kisah adat dalam imajinasi politik Indonesia dan kebangkitan masa

(21)

seseorang; dan pada waktu yang sama membutuhkan intervensi manusia untuk tetap melindungi adatnya karena dianggap rapuh.2 Persoalannya bagi Bourchier maupun Tania adalah jika menggunakan adat berarti mengklaim kemurnian adat demi kepentingan seseorang; akan tetapi mengapa orang begitu antusias untuk kembali ke adat? Apakah karena sebatas adat itu rapuh? Apakah karena demi kemurnian nilai adat? lantas, kemurnian nilai adat seperti apakah yang mau diperjuangkan?

Terkait dengan kemurnian adat, secara mengejutkan temuan Pater Burns sebagaimana terungkap dalam Adat dalam politik Indonesia (2010) terbilang sangat mencengangkan. Menurut Pater Burns “konsep adat yang dikenal selama ini di Indonesia hampir pasti merupakan ciptaan Belanda. Oleh sebab itu, jangan-jangan asumsi kemurnian adat yang diklaim selama ini sebetulnya hanyalah sejenis romantisme terhadap hukum adat yang merupakan ciptaan pemerintah kolonial Belanda”.3 Sebaliknya jika diasumsikan bukan karena kemurnian adat, maka persoalannya adalah mengapa kebanyakan orang begitu antusias untuk kembali ke adat? Mengapa kemunculan adat sungguh-sungguh mendapat sambutan hangat dari masyarakat?

Jangan-jangan bukan karena in se melainkan justru karena klaim ketidakadilan yang digembar-gemborkan di sekitar wacana adat. Apakah ini caranya adat dikontruksikan? Nampaknya pembicaraan tentang adat dihubungkan

2 Tania M. Li (2010), “Adat di Sulawesi Tengah: penerapan kontemporer” dalam Adat dalam

Politik Indonesia,Hlm. 367

3Pater Burns, “Adat yang mendahului semua hukum” dalam Adat dalam politik Indonesia, Hlm.

(22)

dengan serangkaian praktek ketidakadilan negara seperti perampasan tanah-tanah ulayat, eksploitasi sumber daya alam, kerusakan lingkungan, penebangan hutan, penyeragaman sistem pemerintahan, dan keterwakilan putra daerah dalam struktur birokrasi politik lokal. Namun persoalannya adalah apakah harus dengan menggunakan adat? Sebenarnya ada apa dengan adat? Apakah karena adat selama ini benar-benar terepresi? Lantas, apakah gerakan kebangkitan adat yang digembar-gemborkan selama ini sungguh-sungguh meresistensi mekanisme kekuasaan ataukah sebaliknya mereproduksi dan melipatgandakan mekanisme kekuasaan yang sedang dikritik?

Segelintir pertanyaan yang dikemukakan di atas mewakili kegelisahan saya untuk menyelidikinya secara kritis fenomena kebangkitan adat ini. Tujuannya bukan untuk mendukung atau menafikan perjuangan adat; akan tetapi untuk melacak hubungan kekuasaan dan konstruksi subyektivitas yang diproduksi dalam wacana kebangkitan adat. Hubungan kekuasaan dan konstruksi subyektivitas inilah yang menjadi bidikan utama dalam penelitian ini.

(23)

reformasi. Sistem desentralisasi yang ditopang oleh pemberlakukan otonomisasi daerah di Indonesia sangat memungkinkan kemunculan adat mendapatkan tempatnya. Kemunculan adat dengan misi penyelesaian konflik lambat laun bergeser ke arah otonomisasi adat. Hal ini ditandai oleh adanya upaya dari para raja se-kota Ambon yang mendesak pemerintah provinsi Maluku untuk menetapkan kembali “negeri”4 sebagai pemerintahan hukum adat di seluruh wilayah provinsi Maluku.

Penetapan “negeri” terkukuhkan dengan diterbitkannya peraturan daerah Provinsi Maluku No.14 tahun 2005 tentang penetapan kembali “negeri” sebagai kesatuan mayarakat hukum adat dalam wilayah pemerintahan Provinsi Maluku. Aturan ini ditindaklanjuti dengan penetapan serangkaian Peraturan Daerah kota Ambon mengenai adat. Tuntutan penetapan kembali “negeri” diklaim sebagai langkah strategis untuk menyelamatkan pranata adat akibat intervensi negara yang dinilai terlalu berlebihan melalui Undang-Undang No.5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa. Desakan akan penetapan kembali “negeri” dilatarbelakangi pula oleh cara pandang dikotomik dengan melakukan pembedaan secara substansial antara“negeri”dan desa.

Dalam kosmologi Ambon, istilah “negeri” merujuk pada kesatuan teritorial masyarakat hukum yang terdiri dari sejumlah “soa”. “Soa” dalam pengertian persekutuan teritorial yang terikat dalam relasi hubungan darah.

4Secara umum istilah “negeri”dapat disinonimkan dengan istilah desa adat. Akan tetapi dalam

(24)

Eksistensi “negeri” terbentuk berdasarkan adat istiadat; memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat.5 Mengikuti konsep semacam ini, penetapan“negeri” adat seakan-akan menargetkan terwujudnya ideal demokrasi. Ideal demokrasi dalam pengertian kewenangan untuk mengatur pemerintahan berdasarkan asal-usul dan kebiasaan hidup yang diwariskan secara turun-temurun.

Dalam lokalitas Ambon, ideal demokrasi termanifestasi dalam ide “demokrasi soa parentah” atau “demokrasi rumahtau parentah”.6 Model demokrasi semacam ini menargetkan keistimewaan hak-hak penduduk lokal Ambon dalam struktur birokrasi politik, terutama pada level pemerintahan “negeri” baik berdasarkan “soa” maupun “rumahtau”. Pengelompokan masyarakat Ambon berdasarkan sistem “soa”menegasi eksistensi masing-masing persekutuan adat yang terdiri atas lima atau sembilan “soa”. Persekutuan adat yang terdiri atas lima “soa” disebut “ulilima” dan persekutuan adat yang terdiri atas sembilan “soa” disebut “ulisiwa” atau yang lazim dikenal dengan istilah “siwalima”.7

5Abubakar Riry & Pieter G. Manoppo (2007),Menatang badai menabur damai: napak tilas raja

dan latupati merajut kembali jaringan persaudaraan,Jakarta: Insos Book, Hlm. 218

6Model“demokrasi soa parentah”atau“demokrasi rumahtau parentah”dalam pelaksanaannya

tidak hanya dipakai sebagai sistem pemerintahan demokrasi lokal di Ambon, akan tetapi berfungsi secara efektif untuk membedakan model kesatuan politis antara kehidupan politik pemerintahan “negeri-negeri” Muslim Ambon dan “negeri-negeri Kristen Ambon. Itulah sebabnya, model “demokrasi soa parentah”cenderung berkembang baik di wilayah pemerintahan“negeri-negeri” Kristen; dibandingkan dengan model“demokrasi rumahtau parentah” yang lebih banyak berkembang di wilayah pemerintahan“negeri-negeri”Muslim.

7Secara etimologi istilahsiwalimaberasal dari akar kata siwa yang berarti sembilan dan lima yang

(25)

Istilah “siwalima” mencerminkan persekutuan masyarakat adat yang terdiri atas lima dan sembilan “soa”. Lima dan sembilan mencerminkan jumlah “soa”dalam persekutuan masyarakat adat Ambon yang diyakini berasal dari satu keturunan yang sama. Setiap persekutuan terhimpun dalam satu teritorial yang dipimpin oleh seorang kepala soa atau “upu”. Di sisi lain, istilah “siwalima” dipahami juga dalam pengertian persekutuan politik. “Siwalima” sebagai persekutuan politik menegaskan posisi penduduk lokal Ambon sebagai sebuah entitas yang sifatnya otonom. Otonomisasi adat semacam ini mewajibkan setiap anggotanya untuk selalu menjunjung tinggi dan menghormati mekanisme adat; sekaligus menuntut adanya pengakuan dari warga pendatang atas keseluruhan praktek dan mekanisme adat yang berlaku di Ambon.

Hormat terhadap adat dan seluruh mekanisme adat nyatanya menimbulkan persoalan. Pada satu sisi, antusiasme masyarakat untuk menghidupkan kembali pemerintahan hukum adat di Ambon dipandang sebagai upaya untuk mempertahankan kelestarian nilai-nilai adat. Hal ini ditandai pula oleh munculnya wacana seputar revitalisasi budaya lokal sejak diterbitkannya undang-undang otonomi daerah. Kebijakan otonomisasi daerah sungguh sangat mengkondisikan kemunculan adat di Ambon. Hal ini ditandai oleh desakan para raja se-kota Ambon untuk menghidupkan kembali “negeri” sebagai model pemerintahan berbasis hukum adat. Desakan penetapan “negeri” dikuatkan oleh penerbitan

(26)

serangkaian peraturan daerah mengenai adat di kota Ambon; termasuk dengan mengintensifkan kembali peran para raja dan“saniri negeri”8 di Ambon.

Di sisi lain, kemunculan adat menimbulkan dilema ketika harus berhadapan dengan kondisi faktual masyarakat Ambon yang makin mejemuk. Sayangnya kemajemukan masyarakat cenderung diposisikan sebagai ancaman dari pada sebagai peluang untuk membangun masa depan Ambon. Ancaman semacam ini biasanya berkaitan erat dengan keterlibatan warga pendatang yang lambat laun semakin mendominasi struktur birokrasi politik di Ambon.

Bertolak dari situasi sosial politik, terutama terkait fenomena kebangkitan adat di Ambon muncul sejumlah pertanyaan: apakah pilihan menghidupkan kembali adat, secara khusus sistem pemerintahan “negeri” sungguh-sungguh mencerminkan aspirasi seluruh anggota masyarakat ataukah sebaliknya hanya menjadi kebutuhan segelintir orang? Jangan-jangan pilihan untuk menghidupkan kembali “negeri” hanyalah kedok untuk melanggengkan kekuasaan politik. Apakah harus dengan menggunakan payung adat? Apakah yang akan terjadi ketika adat tidak diperjuangkan? Di tengah-tengah kegelisahan semacam ini wacana kebangkitan adat Ambon yang kini telah dijadikan sebagai modal sosial

8 Istilah “saniri negeri” berasal dari akar kata“saniri” dan“negeri”.Kata saniri berarti rapat,

(27)

dan politik baru di tengah-tengah kondisi masyarakat Ambon saat ini yang makin majemuk patut untuk disikapi secara kritis.

Tujuannya bukan untuk menguatkan atau menafikan perjuangan adat, membenarkan atau menyalahkan berbagai pihak terkait kemunculan adat; akan tetapi berusaha untuk menempatkan fenomena kemunculan adat tersebut pada tataran wacana analitis. Melalui pendekatan wacana analitis, saya dan para pembaca sekalian dimungkinkan untuk memahami secara kritis permainan kekuasaan dalam produksi wacana kebangkitan adat di Ambon. Cara pandang semacam ini perlu untuk dipertimbangkan bersama agar kita tidak selamanya terjebak dalam permainan kekuasaan yang terjadi dalam wacana kebangkitan adat. Dengan demikian, pilihan untuk tidak memperkarakan persoalan mendukung atau menafikan perjuangan adat memungkinkan kita untuk dapat mengambil posisi kritis dalam menyingkap mekanisme hubungan kekuasaan yang diproduksi dalam wacana. Dengan cara pandang semacam ini pula, kita dimungkinkan agar tidak terjebak dalam pemahaman dangkal akan komplesitas hubungan kekuasaan yang diproduksi dalam wacana kebangkitan adat yang menjadi bidikan utama dalam penelitian ini.

(28)

kemerdekaan Indonesia9; bahkan ketika harus menempatkan urgensi kembangkitan adat sebagai resistensi terhadap hegemoni kekuasaan negara akan tetap menjadi bagian penting dalam proses penyelidikan ini.10 Klaim sebagian kalangan atas nama adat dengan tujuan untuk mendapatkan kembali rasa keadilan termasuk representasi putra daerah yang lebih besar dalam struktur birokrasi politik di tingkat lokal tidak dapat dipungkiri justru semakin mengukuhkan sentimen-sentrimen primordial etnis yang berkedok pada kemurnian adat.

Kondisi semakin kompleks ketika kemunculan adat di Ambon berdampak pada penguatan struktur hirarki sosial dengan melakukan banalisasi identitas ke-Ambon-an. Banalisasi identitas ke-Ambon-an dalam pengertian bahwa semua orang Ambon cenderung diasumsikan memiliki kesamaan identitas dan terkadang dipaksakan sama dengan tujuan untuk membangun klaim politik bagi kepentingan segelitir orang.11 Menurut hemat saya, kondisi semacam ini tetap patut dicurigai sebagai kedok untuk melanggengkan kekuasaan di Ambon. Tidak hanya mencurigai cara berpikir yang cenderung mengesensialkan kerja adat, melainkan mencurigai pula rasionalitas institusi-institusi kekuasaan berbasis adat yang memanipulasi adat sebagai mesin pendistribusian kekuasaan.

Respon terhadap fenomena kebangkitan adat yang menjadi topik utama dalam penelitian ini mencerminkan upaya kritis untuk memahami hubungan

9 Lih.Weldemina Yudit Tiwery-Pattikawa (2004), “Apa arti Indonesia Merdeka Bagi Maluku?”

dalam Fahmi Salatalohy & Rio Pelu (Ed.),Nasionalisme Kaum Pinggiran: Dari Maluku, Tentang Maluku, Untuk Maluku,Yogyakarta: LKiS, Hlm. 158-159.

10 Lih. Abidin Wakano (2004), “Perjumpaan Identitas Lokal dengan Higemoni Politik

Uniformalisme oleh Negara, dalamNasionalisme Kaum Pinggiran,Hlm. 16-17

11 Steph Lawler (2014), Identity: Sociological Perspectives, Secon Edition, USA: Polity Press,

(29)

kekuasaan dan konstruksi subyektivitas ke-Ambon-an. Subyektivitas merupakan hasil konstruksi wacana. Demikian pula subyektivitas ke-Ambon-an dalam wacana kebangkitan adat di Ambon. Konstruksi subyektivitas menegasi kuasa pendisiplinan subyek orang Ambon entah karena berada dalam kendali wacana ilmiah maupun keterikatan dengan aspek identitas ke-Ambon-an sebagai satu suku bangsa. Suku bangsa dalam pengertian bahwa akan selalu ada batasan teritorial yang memisahkan orang dengan suku bangsa lain yang dibentuk berdasarkan nilai-nilai persaudaraan dan kesetiakawanan sebagai satu komunitas.12 Pada waktu yang sama, identitas komunitas akan menjadi tempat untuk membentuk dunia budaya sendiri dan dipraktekan secara terus menerus sebagai kesatuan identitas.

Wujud dari komunitas tersebut adalah dalam bentuk komunitas terbayang (imagined communities, menurut Benedict Anderson) yang memungkinkan tiap-tiap suku bangsa membentuk praktik sosial berdasarkan struktur sosial. Struktur tersebut akan membatasi tindakan dan menyebabkan orang tunduk. Tunduk bukan semata-mata karena aturan melainkan karena hubungan kekuasaan yang tersebar dan bergerak secara terus menerus mengikuti dinamika pergerakan wacana seperti yang dimaksudkan oleh Michel Foucault. Foucault mengingatkan bahwa hubungan kekuasaan dalam wacana tidak selamanya bersifat negatif tetapi positif. Kekuasaan tidak hanya menarik, menepis, melarang dan menafikan; akan tetapi kekuasaan juga mendorong, merangsang dan mengintensifkan. Kekuasaan bersifat kompleks dan berasal dari situasi strategis kompleks. Oleh sebab itu, kekuasaan

12 Benedict Anderson (1991), Imagined Communities: Reflection on the origin and spread of

(30)

dan subjektivitas sungguh-sungguh menjadi unsur penting yang tidak dapat diabaikan dalam penelitian ini.

Analisis terhadap wacana kebangkitan adat tidak sebatas menyasar pembicaraan kebanyakan orang tentang adat yang diwarnai dengan berbagai nada protes dengan tujuan untuk mengembalikan rasa keadilan; akan tetapi mencoba untuk mempertimbangkan kembali antusiasme masyarakat yang berjuang untuk menghidupkan kembali adat di wilayahnya masing-masing. Sayangnya, kondisi yang sulit dihindari adalah perjuangan atas nama adat sangat mudah terkooptasi untuk menutupi wacana kekuasaan. Termasuk cara pandang yang selalu mau menafikan adanya perbedaan dalam masyarakat. Cara pandang semacam ini sebetulnya merupakan manifestasi wacana kekuasaan untuk mendominasi atau pun menaklukkan orang lain. Oleh sebab itu, melalui Foucault kita dikuatkan untuk menyingkap mekanisme kekuasaan yang diproduksi dalam wacana dan tersebar secara efektif. Secara khusus memahami mekanisme hubungan kekuasaan yang diproduksi dalam wacana kebangkitan adat di Ambon.

(31)

hubungan kekuasaan yang difungsikan untuk menguasai atau menaklukkan individu.

1.2. Rumusan Masalah

Dengan memperhatikan uraian latar belakang di atas, penelitian ini berpatokan pada beberapa pertanyaan sentral di bawah ini:

1. Mengapa adat tiba-tiba menjadi begitu penting untuk dibicarakan? 2. Bagaimana genealogi wacana kebangkitan adat?

3. Bagaimana dan melalui mekanisme seperti apa kekuasaan beroperasi dalam praktek wacana kebangkitan adat di Ambon?

4. Subyektivitas ke-Ambon-an seperti apakah yang diproduksi dalam wacana kebangkitan adat di Ambon?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pokok-pokok persoalan sentral yang telah disebutkan di atas, penelitian ini bertujuan untuk:

(32)

2. Menyelidiki dan menyingkap hubungan kekuasaan yang diproduksi dalam wacana kebangkitan adat di Ambon. Analisis terhadap hubungan kekuasaan dalam wacana kebangkitan adat di Ambon mengacu pada konsep kekuasaan-pengetahuan dari Michel Foucault; terutama dengan mempertimbangkan secara kritis bagaimana kekuasaan beroperasi dalam praktek wacana kebangkitan adat di Ambon.

3. Menyelidiki konstruksi subyektivitas ke-Ambon-an yang diproduksi dalam wacana kebangkitan adat di Ambon. Analisis terhadap konstruksi subyektivitas ke-Ambon-an mengacu pada konsep subyektivitas dari Michel Foucault. Tujuannya adalah untuk mendalami dan merumuskan secara tepat posisionalitas orang Ambon dalam konstruksi wacana kebangkitan adat di Ambon.

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

(33)

2. Membangun kesadaran kritis terhadap adat istiadat. Kesadaran kritis menjadi unsur paling penting dalam penelitian ini. Penting dalam pengertian bisa memungkinkan masyarakat Ambon mereimajinasi diri sehingga tidak selamanya dikuasai oleh fanatisme sempit terhadap adat istiadat dan etnisitasnya yang sangat berpotensi menimbulkan konflik sosial dalam bermasyarakat. Terutama terkait asumsi-asumsi primordial yang cenderung meromantisir kemurnian adat demi kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.

3. Akhirnya, penelitian ini kiranya dapat ditempatkan sebagai sebuah alternatif baru terkait pengambilan kebijakan-kebijakan politik di Ambon; khususnya yang berkaitan dengan masa depan adat istiadat dan masyarakat yang semakin majemuk.

1.5. Tinjauan Pustaka

(34)

Dalam rangka menyelidiki dan menyikapi persoalan tersebut, saya sadar bahwa pembahasan tentang topik (adat) ini telah dilakukan dan dituangkan dalam berbagai studi terdahulu. Hal ini menunjukkan bahwa isu tentang adat yang menjadi objek kajian dalam penelitian ini telah mendapatkan perhatian serius dari berbagai pihak. Untuk itu, dalam tinjauan berikut ini akan berusaha untuk mendeskripsikan secara singkat beberapa studi terdahulu untuk menunjukkan tingkat kedalaman ilmiah terhadap persoalan adat. Sekaligus menunjukkan disposisi penelitian yang saya lakukan sebagai sesuatu yang berbeda dengan studi-studi terdahulu.

(35)

Di sisi lain, kemunculan gerakan kebangkitan adat menuai kritik dari beberapa kalangan. Kritik tersebut dilatarbelakangi oleh kecurigaan dan kecemasan bahwa kemunculan gerakan kebangkitan adat di Indonesia sebetulnya tidak sebatas mencerminkan usaha penyelamatan nilai-nilai adat dengan tujuan untuk mewujutkan keharmonisan hidup bermasyarakat; akan tetapi kemunculan gerakan kebangkitan adat sangat potensial mendorong munculnya bentuk-bentuk kekuasaan primordial dan semakin menguatkan hirarki sosial dalam masyarakat. Ancaman terbesar dari kemunculan adat di Indonesia adalah kehidupan masyarakat akan semakin rentan terhadap konflik sosial dan kekerasan antar etnis.

Kedua: Joseph Antonius Ufi & Hasbullah Assel (Ed.), Menggali Sejarah dan kearifan Lokal Maluku. Jakarta: Cahaya Pineleng, 2012. Studi ini merupakan napak tilas sejarah Maluku yang menggambarkan kisah heroik orang Maluku baik pada level lokal maupun nasional. Studi ini ini ditempatkan sebagai upaya pencitraan kembali harmoni kehidupan masyarakat Maluku berdasarkan nilai kearifan lokal seperti urgensi penetapan kembali “negeri” di Maluku. Selain itu, terdapat pula upaya untuk mengembangkan satu sistem kebudayaan Maluku berbasis budaya “siwalima” dengan slogan-slogan kulturalnya seperti pela gandong, potong di kuku rasa di daging, ale rasa beta rasa dansagu salempeng dipatah bagi dua.

(36)

Sejarah dan kearifan Lokal Maluku mengacu pada 3 (tiga) pokok persoalan penting yakni: pertama, urgensi revitalisasi budaya lokal Maluku; kedua, pelurusan sejarah Maluku; dan ketiga, solusi pembangunan Maluku berbasis budaya lokal.

Ketiga: Abubakar Riry & Pieter G Manoppo (Ed), Menatang badai, menabur damai: napak tilas raja dan Latupati merajut kembali jaringan persaudaraan, Jakarta: INSOS Books, 2007. Studi ini membidik keterlibatan para raja dan Latupati sebagai tokoh kunci dalam proses penyelesaian konflik sosial dan pasca konflik. Perhatian besar dicurahkan pada upaya penggalian sejarah keterlibatan para raja dan Latupati dalam pembentukan kembali jaringan persaudaraan di Maluku yang hancur akibat konflik 1999. Termasuk pelembagaan jaringan kultural yang difasilitasi oleh “Gerakan Baku Bae Maluku”, sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM). Salah satu unsur penting yang sangat sering ditekankan dalam studi tersebut adalah signifikansi adat. Artinya adat tidak hanya ditempatkan sebagai modal sosial politik dalam upaya rekonsiliasi konflik, akan tetapi yang terpenting adalah urgensi dan signifikansi merevitalisasi adat serta peran para raja dalam proses pembangunan kembali Maluku di era pasca konflik sosial.

(37)

penulis dalam studinya, tidak dibatasi hanya pada aspek historisitas pembentukan budaya “siwalima”, melainkan termasuk problem pergeseran pemaknaan atas budaya “siwalima”. Pergeseran nilai budaya “siwalima” seakan-akan mendesak agar segera melakukan redefenisi budaya “siwalima” seperti yang diharapkan oleh penulis. Tujuannya agar kehadiran budaya “siwalima” tidak sekedar mencerminkan sentimen-sentimen primordial adat, melainkan kemampuan integritas masyarakat Maluku berdasarkan memori kolektif atas lokalitas, etnisitas, masa lalu, kebangsaan dan persamaan bahasa. Singkatnya, redefenisi budaya “siwalima” mau diintensifkan sebagai model dasar pembangunan Maluku berbasis budaya lokal, dan filosofi hidup dalam membangun organisasi dan struktur sosial masyarakat Maluku.

(38)

ini. Pertama, kontra posisi antara ilmu pengetahuan barat dan kearifan lokal (indigenous science); kedua, penyingkiran dan marginalisasi sistem pengetahuan masyarakat adat (indigenous knowledge); dan ketiga, preferensi moralitas lokal dalam perlindungan hukum dan hak asasi internasional. Analisis terhadap ketiga pokok persoalan tersebut dikaji secara kritis dengan menggunakan pendekatan analisis kekuasaan-pengetahuan dari Michel Foucault.

Bertolak dari beberapa studi atau penelitian terdahulu sebagai telah didekripsikan di atas, nampak bahwa terdapat kesamaan antara penelitian-penelitian terdahulu dengan penelitian-penelitian saya. Kesamaan tersebut terletak pada persamaan objek material yakni adat. Meski mengacu pada satu topik yang sama, akan tetapi sangat mengandung perbedaan mendasar antara penelitian terdahulu yang telah disebutkan di atas dengan penelitian yang saya lakukan. Penelitian ini, secara khusus mendekati persoalan adat pada level wacana kritis sebagaimana lazimnya dikenal dalam khazana kajian budaya.

(39)

Hubungan kekuasaan sejak kemunculan wacana kebangkitan adat sangat mendapatkan perhatian serius dalam studi ini. Dengan cara semacam ini, analisis wacana kritis yang mau dikembangkan dalam studi ini dapat berkontribusi secara signifikan untuk: pertama, mengembalikan pembicaraan kebanyakan orang selama ini mengenai adat dalam tatanan wacana kritis. Tujuannya untuk memahami secara kritis genealogi kemunculan wacana kebangkitan adat, secara khusus di Ambon; kedua, membongkar hubungan kekuasaan dalam wacana kebangkitan adat di Ambon; dan ketiga, memahami konstruksi identitas subyek dalam wacana kebangkitan adat di Ambon.

1.6. Kerangka Teoritik

Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yakni menyingkap hubungan kekuasaan dan konstruksi subyektivitas dalam wacana kebangkitan adat di Ambon maka sebagai instrumen analisis dalam penelitian ini saya akan mengacu pada beberapa konsep teoritik dari Michel Foucault. Kerangka teoritik yang dimaksudkan adalah sebagai berikut:

1.6.1. Konsep Genealogi

(40)

berkebangsaan Jerman; akan tetapi dalam perkembangannya dipergunakan secara luas oleh Michel Foucault, seorang filsuf berkebangsaan Perancis. Foucault memaknai kembali metode genealogi Nietzschean dengan tujuan untuk menyingkap hubungan timbal-balik antara kebenaran, pengetahuan, kekuasaan dan subyek.

Menurut Foucault, “analisis genealogi pada dasarnya tidak dimaksudkan untuk mempertentangkan dirinya dengan kebenaran sejarah, sebaliknya analisis genealogi perlu menolak atau mempertanyakan kembali metahistoris pemaknaan ideal dan teleologi-teleologi tak terbatas. Hakekat genealogi adalah mempertanyakan kembali kebenaran historis demi pencarian asal-usul”.13 Asal-usul dalam pengertian bahwa analisis genealogi tidak ingin untuk menegakkan fondasi epistemologi melainkan menunjukkan bahwa asal-usul dari segala sesuatu yang dianggap rasional sebetulnya mengakar dalam wacana kekuasaan.14

Mengikuti cara pandang semacam ini, nampak bahwa misi Foucault dalam penggunaan analisis genealogi adalah memungkinkan individu untuk dapat memahami keberadaannya atau mereimajinasi hidupnya secara baru. Baru dalam pengertian ketiadaan totalitas, kebenaran tunggal, kemurnian dan kontinuitas sejarah seperti yang dipahami dalam tradisi Nietzschean. Dalam analisis genealogi, Foucault memisahkan antara masa lalu dan masa kini. Tujuannya untuk mendeligitimasi masa lalu dan merelativasi masa kini. Melalui analisis genalogis,

13Michel Foucault (1984),The Foucault Reader, Paul Rabinow (Ed), New York: Pantheon, Hlm.

76

14 P. Sunu Hardiyanta (1997), Michel Foucault-Disiplin Tubuh: Bengkel Individu Modern,

(41)

Foucault ingin menghancurkan ilusi tentang identitas subyek historis yang diperlakukan murni (ada dengan sendirinya).15 Untuk itu, yang penting untuk diperhatikan dalam analisis genealogi menemukan secara tepat momen kreatif wacana. Hal ini dilakukan dengan memperhatikan setiap peristiwa, kesempatan, kejutan, atau kemenangan yang tidak tetap dalam proses pembentukan wacana, serta menganalisis pluralitas sejarah sehingga dapat melepaskan diri dari ilusi tentang identitas.16

Foucault sebagai seorang filsuf, pemikir anti-fundamentalis sangat menentang klaim kebenaran tunggal dan kontinuitas sejarah. Seakan-akan segala sesuatu hanya memiliki satu sebab tunggal. Justru cara padang masyarakat yang terlalu mengesensialkan kebenaran tunggal patut untuk dicurigai sebab hanya akan menafikan adanya perbedaan atau pluralitas. Untuk itu, menggunakan genealogi berarti siap untuk membongkar pola pikir yang seakan-akan memperlakukan kebenaran seakan-akan tunggal atau murni. Dalam perspektif Foucault, kemurnian akan sebuah kebenaran sebetulnya adalah ilusi sebab kebenaran pada dasarnya tidak terlepas dari konstruksi sejarah dalam rezim kebenaran wacana. Terutama sejarah dalam artian tradisional yang lazim dimanfaatkan sebagai alat legitimasi politik dalam wacana-wacana tertentu pada masa kini. Atas dasar itu, pembacaan ulang atas sejarah dan segala praktiknya dalam masyarakat modern menjadi tugas mulia bagi kita. Dalam rangka melacak hubungan kekuasaan melalui analisis genealogis, Foucault mengingatkan kita agar

(42)

selalu menyadari keberadaan hubungan kekuasaan yang selalu bercokol dalam praktek wacana tertentu yang selalu diterima begitu saja oleh masyarakat pada masa kini.

Lantas apakah implikasinya dalam penelitian ini? Mengacu pada konsep genealogi seperti yang diperkenalkan oleh Michel Foucault, saya dimungkinkan dalam penelitian ini untuk: pertama, menyelidiki secara tepat kemunculan wacana kebangkitan adat (di Indonesia dan Ambon); kedua, melacak sejarah keterlibatan institusi-insitusi kekuasaan dalam proses produksi wacana kebangkitan adat, secara khusus di Ambon; ketiga, membongkar cara berpikir yang terlalu mengesensialkan kebenaran dengan tujuan untuk menetang rezim kebenaran wacana kebangkitan adat di Ambon;keempat, menghancurkan otoritas pengetahuan akan kebenaran tunggal dalam wacana kebangkitan adat di Ambon agar memungkinkan masyarakat dapat mereimajinasikan diri dan pengetahuannya dalam kehidupan sosial politik masa kini.17

1.6.2. Konsep Wacana

Wacana dalam perspektif Foucault sebenarnya mengakar dalam tradisi linguistik. Akan tetapi wacana dalam tradisi linguistik diboboti secara berbeda dengan menempatkan wacana sebagai “sistem representasi yang mengandung peraturan-peraturan dan praktik-praktik yang menghasilkan

pernyataan-17Paulo Saukko (2003),Doing Research in cultural Studies: An Introduction to classical and New

(43)

pernyataan penuh makna dalam rentang sejarah tertentu”.18 Menurut Foucault wacana adalah “kumpulan pernyataan yang menyediakan bahasa khusus untuk membicarakan tentang sesuatu; atau cara untuk merepresentasikan pengetahuan tentang sesuatu dalam rentang sejarah tertentu; atau wacana sebagai produksi pengetahuan melalui bahasa”.19 Wacana memuat cara-cara tertentu dalam membicarakan, mendefenisikan apa yang diterima, dan menggungkapkan sesuatu tentang topik tertentu.

Wacana merujuk pada dominasi pernyataan, kadang-kadang diperlakukan sebagai semacam kumpulan pernyataan invidualistik atau terkadang sebagai kumpulan pernyataan yang meregulasi praktik.20 Dengan kata lain, wacana merujuk pada keseluruhan ucapan dan pernyataan yang mengandung makna dan efek. Artinya, wacana digunakan sebagai terminologi untuk menegasi kumpulan pernyataan individual yang terucap; sekaligus meregulasi praktik-praktik sosial yang mengandung pernyataan-pernyataan penuh makna, struktur dan aturan tidak tertulis yang menghasilkan ucapan dan pernyataan-pernyataan tertentu.21 Wacana mengatur kumpulan pernyataan yang dikombinasikan dengan kumpulan pernyataan-pernyataan yang lain. Wacana diatur oleh kumpulan peraturan rasional dengan tujuan untuk mendistribusikan atau menyebarluaskan isi ucapan atau pernyataan-pernyataan tertentu.

18Stuart Hall (1997),Representation: Cultural representations and signifying practices, London:

Sage Inc, Hlm. 44

19Ibid.

(44)

Wacana sebagai kumpulan pernyataan dan aturan dalam operasionalisasinya menargetkan kekuasaan. Wacana sangat berhubungan erat kekuasaan. Wacana adalah tempat di mana hubungan kekuasaan dan subyektivitas diproduksi. Kekuasaan yang diproduksi dalam wacana selalu bersifat dinamis dan bergerak secara terus-menerus mengikuti dinamika perkembangan dan perluasan wacana. Dinamika perkembangan wacana pada akhirnya menyebabkan terjadinya ledakan wacana (discursive explosion). Bahkan menurut Foucault di sekitar wacana justru terjadi proliferasi wacana (proliferation of discourses) akibat dorongan atau rangsangan institusional untuk membicarakan sesuatu.22

Wacana dipahami juga sebagai cara membicarakan kebenaran. Kebenaran berfungsi untuk mengatakan tentang sesuatu, menulis tentang sesuatu, dan berpikir tentang sesuatu. Akan tetapi Foucault mengingatkan agar perlu hati-hati sebab klaim kebenaran justru mengakar pada pengetahuan untuk mengatakan tentang kebenaran tertentu. Ironinya, tanpa disadari justru kebenaran yang mengakar pada pengetahuan itulah yang merupakan manifestasi dari wacana kekuasaan. Dengan kata lain, pengetahuan adalah kekuasaan yang berfungsi untuk menaklukan, menguasai, atau mendefenisikan orang lain.

Mengacu pada konsep wacana semacam ini, dalam implementasinya saya dimampukan untuk: pertama, menyelidiki pola pikir masyarakat dalam membicarakan atau mengkonsepkan adat sejak kemunculannya pada 1998;kedua, memberikan batasan yang jelas terhadap polemik terkait kemunculan adat dalam

22Michel Foucault (1976),The History of Sexuality, Terj. Robert Hurley dari judul asliHistoire de

(45)

penelitian ini. Hal ini dilakukan dengan cara melokalisir pembicaraan masyarakat mengenai adat dalam rentang waktu kemunculannya sejak runtuhnya rezim Orde Baru Suharto sejak 1998 dan secara khusus dalam lokalitas Ambon sejak peristiwa konflik pada 1999; ketiga, melakukan pembacaan ulang terhadap kebenaran sejarah kebangkitan adat di Ambon. Terutama terkait kebenaran akan signifikansi kebangkitan adat di Ambon yang diterima begitu saja oleh masyarakat tanpa merasa perlu untuk dipertanyakan kembali.23

1.6.3. Konsep Kekuasaan-Pengetahuan

Foucault memahami kekuasaan tidak seperti biasanya dipahami oleh kebanyakan orang yang rentan jatuh dalam paham kekuasaan yuridis. Kekuasaan tidak selamanya berpusat pada hukum atau larangan. Menurut Foucault cara pandang tersebut dianggap terlalu miskin, monoton, tidak inovatif dan cenderung hanya akan mereproduksi mekanisme kekuasaan yang barangkali sedang dikritik. Menurut Foucault, tidak cukup memahami kekuasaan hanya sebatas hubungan negatif (negative relation), sistem biner (insistence of the rule), siklus larangan (cycle of prohibition), logika sensor (logic of censorship), atau pun keseragaman aparatus(uniformity of the apparatus).24

Kekuasaan perlu dilihat secara berbeda bukan sebatas himpunan lembaga yang menjamin kepatuhan warga, penundukan atau dominasi satu kelompok atas

23Alec McHoul and Wendy Grace (1993), A Foucault primer: discourse, power and the subject,

London and New York: Routledge, Hlm.33

(46)

kelompok lainnya dalam masyarakat. Sebaliknya menurut Foucault kekuasaan merupakan: “pertama, multiplikasi kekuatan hubungan imanen di mana kekuasaan beroperasi.Kedua, kekuasaan adalah proses yang bergerak secara terus menerus dan saling mempertahankan, menguatkan, atau sebaliknya. Ketiga, kekuasaan adalah rangsangan hubungan kekuatan yang membentuk rangkaian atau jaringan. Keempat, kekuasaan sebagai strategi yang saling mempengaruhi terjadinya proses institusionalisasi yang terwujud dalam diri aparatus negara dan dalam formulasi hukum serta berbagai jenis hegemoni sosial”.25 Cara pandang semacam ini menjadi dasar untuk melacak bagaimana dan melalui mekanisme seperti apa kekuasaan itu beroperasi dalam wacana.

Foucault melihat kekuasaan bukan sebagai sesuatu yang dimiliki (possession) sebab kekuasaan itu tersebar dan bergerak secara terus menerus mengikuti mekanisme penyebaran kekuasaan dalam wacana.26 Kekuasaan ada di mana-mana dan datang dari mana-mana. Kekuasaan adalah sebuah nama yang diberikan untuk menamai suatu situasi strategi kompleks dalam masyarakat. Kekuasaan bukan berasal dari penguasa atau negara, bukanlah milik individu atau kelas tertentu, bukan komoditas yang dapat diraih, melainkan kekuasaan itu datang dari mana-mana dan menyebar kemana-mana.27 Kekuasaan merupakan sebuah rangkaian (chain), atau jaringan (net), atau strategi yang menyebar

25Ibid., Hlm. 92-93 26Ibid, Hlm. 94

27 Madan Sarup (2003), Postrukturalisme dan Posmodernisme: sebuah pengantar kritis, Terj.

(47)

kemana-mana dalam periode tertentu.28Oleh sebab itu agar disadari bahwa dalam wacana kekuasaan hubungan kekuasaan selalu bersifat imanen; selalu ada dalam hubungan kekuatan dan merupakan efek langsung dari praktek dikotomik, ketidaksetaraan dan ketidakseimbangan.29 Dan yang tidak dapat dihindari dari model kekuasaan semacam ini adalah afirmasi dan resistensi kekuasaan. Artinya, di mana ada kekuasaan, di situ pasti ada resistensi.

Refleksi filosofis Foucault tentang kekuasaan berhubungan erat dengan status pengetahuan. Pengetahuan dikonsepsikan sebagai kekuasaan yang tidak akan pernah membebaskan orang dari wacana kekuasaan. Pengetahuan itu sendiri adalah kekuasaan yang memproduksi kebenaran. Kebenaran itu ditentukan dalam pengetahuan yang kemudian teraktualisasi dalam praktik wacana sosial. Dalam konteks itu, kebenaran lantas dipakai sebagai alat konseptual untuk melegitimasi setiap tindakan politis dengan tujuan untuk menaklukan atau menguasasi orang lain. Hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan semacam ini paling tidak didasarkan pada kejelian Foucault menangkap sublimasi hubungan pengetahuan dan kekuasaan.

Sublimasi hubungan pengetahuan dan kekuasaan dipahami dengan cara melokalisir “rasa ingin tahu” (will to knowledge) manusia. Untuk memahami gagasan will to knowledge, sejenak kita merujuk pada pembicaraan Foucault mengenai seks dan kekuasaan dalam The History of Sexuality (1976). Dikemukakan bahwa sejak periode klasik di mana banyak orang ribut dengan

28Sara Mills (2003),Michel Foucault, Hlm. 35

(48)

wacana tentang represi seks sebetulnya yang terjadi adalah bukan represi seks melainkan mendorong atau merangsang untuk membicarakan seks. Rangsangan untuk membicarakan seks dari berbagai institusi kekuasaan seperti sekolah, gereja, medis dan lain sebagainya menyebabkan terjadinya ledakan wacana tentang seks. Seakan-akan muncul semacam kebutuhan untuk membicarakan dan mengatur pembicaraan tentang seks dengan berbagai alasan pembenaran.

Rangsangan tersebut bukan dalam bentuk teori semata melainkan dalam bentuk analisis, penghitungan, klasifikasi dan spesifikasi kuantitatif dengan tujuan untuk mencari rasionalitas kebenaran.30 Muncul keinginan kuat untuk membicarakan seks secara terus-menerus dalam tatanan wacana represi. Kadang-kadang keinginan ini dilandasi oleh upaya untuk menentang kuasa, mengungkap kebenaran, menjanjikan kebahagiaan, kebebasan, bahkan kenikmatan dalam satu tatanan dunia baru.31Akan tetapi persoalannya bukan terletak pada menerima atau menolak wacana tentang represi seks, melainkan jika seks dikatakan terepresi maka pertanyaannya adalah dari mana kita bisa mengatakan dengan penuh semangat bahwa seks direpresi?

Nampak dengan jelas bahwa Foucault tidak sedang menunjukkan benar tidaknya wacana tentang represi seks melainkan ingin menunjukkan kenikmatan akan kekuasaan melalui rasa ingin tahu secara terus menerus tentang seks. Termasuk siapa yang membicarakan, posisi-posisi dan cara pandang membicarakan seks, institusi-institusi kekuasaan yang mendorong masyarakat

(49)

untuk terus menerus membicarakan seks.32 Rasa ingin tahu manusia inilah yang merupakan bagian integral dari produksi wacana tentang seks yang menjadikan seks sebagai masalah yang seakan-akan perlu dan relevan untuk dibicarakan secara terus menerus. Tidak sekedar membicarakan seks; akan tetapi mencari rasionalitas tentang kebenaran seks sebagai sebuah persoalan yang relevan dibicarakan.

Mencermati dinamika perkembangan wacana seks sebagaimana yang diungkapkan oleh Foucault dalam The History of Sexuality (1976) sebetulnya yang terjadi adalah tindakan kompromi antara pengetahuan dan kekuasaan dalam wacana tentang represi seks sehingga melahirkan kebenaran wacana tentang represi seks. Menurut Foucault: “tidak ada kekuasaan tanpa pengetahuan dan sebaliknya pengetahuan tanpa kekuasaan. Hubungan kekuasaan dan pengetahuan bukan pertama-tama didasarkan pada bebas tidaknya seseorang melainkan sebaliknya pada pengetahuan yang dimilikinya”.33 Pengetahuan akan sesuatu memampukan seseorang membangun klaim kebenaran tentang sesuatu. Bahanyanya kebenaran tersebut diterima sebagai satu-satunya kebenaran sehingga menjadikan orang patuh terhadap kebenaran tersebut. Pada titik ini pula, sebetulnya eksistensi subyek bisa dipertanyakan kembali. Dalam pengertian bahwa subyek selalu merupakan hasil produk hubungan kekuasaan dan

32Ibid., Hlm. 94

33Michael Foucault (1979),Discipline and Punish: The Birth of the prison, Terj. Alan Sheridan

(50)

pengetahuan. Aktivitas subyek terbentuk dalam hubungan dengan pengetahuan dan kekuasaan, entah dengan tujuan untuk meresistensi atau mendominasi.34

Sebagai cara untuk mengenali hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan, Foucault menawarkan beberapa strategi baru sebagaimana yang dilakukannya dalam analisis wacana tentang represi seks. “Pertama, histeria tubuh perempuan: tubuh perempuan menjadi objek analisis dengan tujuan untuk menjamin kesuburan dan semua bentuk kewajiban yang datang dari keluarga, termasuk kehidupan anak.Kedua, pedagogisasi seks anak. Pedagogisasi seks anak dengan tujuan untuk menghindari aktivitas seksual menyimpang anak dari bahaya baik fisik maupun moral, kolekif dan individual. Ketiga, sosialisasi perilaku prokreatif. Sosialisasi dalam bentuk penanaman nilai-nilai tanggungjawab ke dalam tubuh sosial untuk menjaga kesuburan pasangan, termasuk sosialisasi medik sebagai praktek kontrol kelahiran. Keempat, psikiatrisasi kenikmatan yang menyimpang. Hal ini dilakukan dengan mengisolasi naluri biologis dan psikis melalui intervensi klinis yang selalu merasa memiliki kepentingan untuk mengatur dan menghindari seluruh bentuk anomali seks”.35

Keempat strategi tersebut tidak hanya menjadi kritik terhadap paham model kekuasaan tradisional yang kebanyakan bersifat hukuman dan larangan, akan tetapi menjadi sarana untuk memperlakukan secara kritis peran insitusi-institusi kekuasaan (seperti: gereja, kedokteran, sekolah, psikiatri, lembaga sosial, dan lain sebagainya) baik dalam hal reproduksi kebenaran maupun mendorong,

(51)

merangsang dan menyebar luaskan kebenaran tertentu. Kebenaran itulah yang diterima oleh masyarakat sebagai pengetahuan. Apalagi didukung oleh otoritas institusi kekuasaan menjadikan pengetahuan tersebut semakin terlegitimasi dalam masyarakat.

Implementasi konsep hubungan pengetahuan dan kekuasaan dalam penelitian ini memungkinkan saya untuk: pertama, melacak proses produksi dan operasionalisasi kekuasaan dalam wacana kebangkitan adat di Ambon. Selain itu, saya dimampukan untuk membicarakan secara tepat wacana kekuasaan tanpa harus terikat dengan berbagai penilaian moral terkait kemunculan wacana kebangkitan adat di Ambon;kedua,menyelidiki secara kritis keterlibatan institusi-institusi kekuasan di Ambon, dalam hal ini adalah lembaga-lembaga sosial yang konsen mengawal praktek dan perkembangan adat; ketiga, membahas kembali bagaimana kekuasaan itu bekerja dalam masyarakat Ambon, terutama dalam wilayah-wilayah ketidaksadaran yang selama ini seakan-akan terabaikan.

1.6.4. Konsep Subyektivitas

(52)

adalah Michel Foucault. Subyektivitas dalam perspektif Foucault merujuk eksistensi individu yang produksi dalam relasi kekuasaan dan subordinasi dalam masyarakat.36

Pembicaraan Foucault mengenai subyektivitas selalu dalam kaitannya dengan wacana kebenaran dan pengetahuan-kekuasaan. Wacana tidak hanya menjadi tempat memproduki kekuasaan melainkan subyek. Wacana mengkondisikan diri kita sebagai individu dalam ruang lingkup batasan tertentu yang memungkinkan kita untuk berpikir dan berkata-kata.37 Dengan kata lain subyektivitas sebetulnya mencerminkan kesadaran dan ketidaksadaran pikiran/ide dan perasaan/emosi individu, perasaannya terhadap diri sendiri dan cara memahami relasi antara diri sendiri dengan dengan dunia.38 Itulah sebabnya subyektivitas selalu berada dalam proses pembentukan (subject positions) secara terus menerus dalam wacana setiap kali kita berpikir atau berbicara. Cara mengada individu (way of being an individual) dalam wacana berdasarkan identitas atau kriteria tertentu yang ditentukan secara rasional dan masuk akal.39

Mengikuti cara pandang semacam ini, konstruksi subyek sebetulnya mengandung dua pengertian yakni subyek dalam kendali wacana ilmiah dan

36 Nick Macsfield (2000), Subjectivity: Theories of the self from Freud to Haraway, Australia:

ALLEN & UNWIN, Hlm. 52

37Donald E. Hall (2004),Subjectivity: The New critical Idion,New York and London: Routledge,

Hlm. 91

38 Julia Menard-Warwick (2005), “Both a fiction and an existential fact: theorizing identity in

second language acquisition and literacy studies” dalamLinguistics and Education, Department of linguistics, one shields ave, USA: University of California, Hlm. 257

(53)

subyek yang terikat dengan identitas.40 Pertama-tama subyek dalam kendali wacana ilmiah merujuk pada proses objektivasi subyek melalui model-model wacana ilmiah seperti riset dan penelitian. Individu dikondisikan dalam rezim kebenaran yang diproduksi baik untuk melakukan kleim kebenaran tertentu maupun dengan tujuan untuk menaklukan orang lain. Individu dimungkinkan untuk melakukan pertanggungjawaban terhadap setiap tindakannya berdasarkan kebenaran tertentu. Tidak sebatas memberikan pertanggungjawaban; akan tetapi yang paling penting adalah subyek digambarkan seakan-akan defenitif ketika dijadikan sebagai objek analisis.

Pada titik ini, wacana pengetahuan sebetulnya secara riil difungsikan sebagai instrumen kekuasaan dalam mengorganisir individu.41 Senada dengan itu, baiklah untuk disadari pula bahwa logika penjara yang sering dipakai oleh Foucault untuk menjelaskan ide dari kuasa pendisiplinan subyek sejatinya bukan sebatas dalam pengertian institusi pengendali masyarakat melainkan sebagai pusat kekuasaan. Artinya pada level subyektivitas, penjarah merepresentasi proses pembentukan “way of forms of truth”dan “way of the methodology”.42 Individu dijadikan sebagai objek analisis keilmiahan yang diproduksi dalam wacana berdasarkan standar kebenaran tertentu. Pada titik ini, individu dalam wacana ilmiah tidak bedanya dengan individu dalam wacana yang selalu berada dalam

40 Michel Foucault, “subject and Power” dalamChicago Journals:Critical Inquiry, Vol 8 No.4,

The University of Chicago Press, Hlm. 781

Gambar

Gambar 2: Mekanisme prosedural pelaksanaan tugas perangkat
Gambar 1: Pendeta bersama para kepala soa dalam upacara
Gambar 2: Mekanisme prosedural pelaksanaan tugas perangkat adat dibawah kendali dewan Latupati
Gambar 3: Contoh stuktur kepemimpinan “saniri negeri”122
+5

Referensi

Dokumen terkait