• Tidak ada hasil yang ditemukan

3.2. Perluasan Wacana Kebangkitan Adat Ambon

3.2.2. Mengintensifkan Kepemimpinan Lokal

“Di tiap-tiap daerah katakalan yang bukan anak adat itu dia su pimpin. Apakah suatu ketika torang harus lihat yang bukan orang adat ini harus pimpin di daerah adat?”134

Penggalan kutipan di atas mencerminkan kecemasan dan kekuatiran mendalam dari para tokoh adat di Ambon. Kecemasan tersebut berkaitan erat dengan posisi anak adat/putra daerah dalam dinamika politik Ambon. Nomen klatur anak adat pada akhirnya menjadi bola panas bagi pemerintah kota Ambon dan pemerintah provinsi Maluku. Tidak sebatas melegitimasi penyelenggaraan pemerintahan hukum adat pada level “negeri” sebagai kesatuan masyarakat hukum adat, akan tetapi mempertimbangkan kembali posisi anak adat/putra daerah yang dinilai sekan-akan mengalami kehilangan peran. Dalam konteks itu, isu “Jawanisasi Indonesia” melalui sistem penyeragaman budaya kiranya tepat untuk menyebutkan keresahan dan kegelisahan tokoh adat terkait wacana kebangkitan adat Ambon. Peran negara terkait implementasi Undang-Undang No 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa sejak rezim Orde Baru Suharto dinilai memiliki peranan besar dalam penghancuran tatanan adat dan sistem kepemimpinan lokal.

134 “Pada kenyataannya, banyak daerah telah dipimpin oleh mereka yang bukan berasal dari

kelompok masyarakat adat. lantas, apakah suatu ketika kita harus menyaksikan di mana mereka yang bukan berasal dari kelompok masyarakat adat harus memimpin di daerah adat?”. Aleks sitanala, Ketua Saniri Negeri Suli,Wawancara,5 Januari 2014, Suli Bawah-Ambon

Solidaritas kultural lantas ditransformasikan menjadi solidaritas politik yang sarat dengan kepentingan-kepentingan politik. Belum lagi kewenangan adat yang tidak lagi berada pada kendali aparat negeri seperti “saniri negeri” melainkan pada negara. Negara melalui UU No 5 Tahun 1979 dianggap telah menghancurkan nilai-nilai kearifan lokal, secara khusus peran-peran penduduk lokal. Kondisi semacam ini pada kenyataannya menimbulkan kecemasan di antara para pemangku adat Maluku sebagaimana tercermin dalam salah satu kutipan berikut ini yang dikemukakan oleh Abdullah Malawat, raja dan tokoh adat Maluku. Menurut Abdullah Malawat:

“Katong harus hati-hati terhadap undang-undang tentang desa. Kalo seng hati-hati, orang Maluku akan dipimpin oleh orang bukan Maluku, bisa menjadi kepala desa. Walaupun pemekaran dusun jadi desa, tapi harus ada pernyataan dengan mereka, bahwa menyangkut adat istiadat adalah tetap negeri. Raja-raja harus ambil sikap”.135

Apa yang telah ditegaskan di atas sejatinya merepresentasikan keinginan kuat para raja untuk mendapatkan pengakuan terhadap peran-peran penduduk lokal Ambon. Peraturan daerah Provinsi Maluku No.14 tahun 2005 tentang penetapan kembali negeri akhirnya menjadi payung hukum atas pengakuan eksistensial atas negeri-negeri adat yang dijabarkan dalam Peraturan daerah kota Ambon No 3 tahun 2008 tentang negeri di kota dan rangkaian peraturan daerah lainnya yang mengatur mengenai negeri adat.

135 “Kita harus hati-hati terhadap kebijakan pemerintah melalui UU No.5 Tahun 1979 tentang

pemerintahan desa. Jika hal ini tidak diperhatikan, masyarakat Maluku akan dipimpin oleh mereka yang bukan berasal dari kelompok masyarakat adat, mereka bisa menjadi kepala desa. Meski pemekaran dusun menjadi desa, akan tetapi harus dibuat semacam perjanjian dengan mereka bahwa menyangkut adat istiadat tetap berada di bawah kewenangan negeri. Untuk itu, para raja harus mengambil sikap tegas”. Abdullah Malawat, Raja Negeri Mamala dan Mantan Ketua Latupati Maluku,Wawancara, 19 Januari 2014, Mamala-Ambon.

Formasi hukum yang mengatur mengenai karakteristik penyelenggaraan pemerintahan hukum adat menanamkan kewajiban bagi seluruh anggota masyarakat untuk senantiasa menjunjung tinggi dan menghormati adat istiadat. Demikian pula titik kompromis politik yang mendasari pengakuan eksistensial terhadap keistimewaan hak-hak penduduk lokal atau anak adat. Tuntutan menjadi sebuah masyarakat yang otonom dalam mengatur rumahtangga sendiri berdasarkan adat istiadat menegasi pentingnya pengakuan atas kepemimpinan anak adat. Anak adat dalam pengertian genealogis teritorial yang berasal dari kelompok masyarakat Ambon.

Berhadapan dengan kondisi semacam ini, persoalan apakah mereka yang bukan anak adat dapat terlibat secara aktif dalam dinamika politik lokal seakan- akan menjadi utopis dalam wacana adat. Proses identifikasi diri antara lokal dan pendatang pada akhirnya tunduk pada mesin adat. Adat sebagai budaya politik lokal mendasari kehidupan berdemokrasi di Ambon. Pengakuan akan peran anak adat tetap menjadi nilai utama yang tidak dapat ditawar meski pada waktu yang sama pengakuan tersebut menjamin dominasi dalam wacana kekuasaan di tingkat lokal. Ide ini sejalan dengan mekanisme adat yang mengusung model“demokrasi soa parentah”sebagai logika politik dalam membangun masyarakat.

Pentingnya saling pengakuan antara penduduk lokal dan pendatang mengandung semacam kewajiban untuk bersedia menghormati mekanisme adat. Hal ini disampaikan sebagai bagian dari cara untuk mendorong adanya penghormatan dari warga pendatang terhadap mekanisme adat yang berlaku di Ambon. Ada batasan-batasan tertentu yang perlu dihormati oleh warga pendatang

seperti yang diungkapkan oleh Aleks Sitanala dalam sesi wawancara di Ambon. Menurut Aleks Sitanala:

“Katong seng bisa menghindar dari situ karena sudah membaur. Anak adat dengan masyarakat bukan adat sudah hamper lima puluh-lima puluh...Aturan tidak bisa membatasi. …katong semua anak negeri, namun beta harus minta tolong, pada saat tertentu katong seng bisa menyatu dalam adat”.136

Di sisi lain, pentingnya pengakuan terhadap kepemimpinan anak adat berdasar pada bayang-bayang akan kemunculan kembali konflik sosial. Untuk itu, penerapan model demokrasi yang mengutamakan persamaan hak dalam berpolitik diharapkan agar senantiasa mempertimbangkan mekanisme adat yang selama ini diyakini, dihidupi, dan dijalankan oleh masyarakat di Ambon. Perubahan- perubahan ke arah kehidupan masyarakat demokratis sebagaimana yang diharapkan oleh pemerintah meski cukup beralasan, akan tetapi bagi masyarakat Maluku sendiri perubahan-perubahan tersebut seakan-akan menjadi bumerang. Bumerang dalam pengertian bahwa dapat menjadi pemicu munculnya berbagai benturan kepentingan yang membahayakan masyarakat Maluku sendiri seperti yang ditegaskan oleh Abdullah Malawat. Menurut Abdullah Malawat:

“Maluku belum bisa seperti itu….Kondisi sekarang belum memungkinkan….mekanisme adat harus orang adat. Apakah secara adat dapat diterima ka seng? Itu masalah……untuk Maluku belum bisa, masyarakat Maluku belum bisa terima itu.

136“Pada kenyataannya kita memang tidak bisa menghindar dari kenyataan bahwa masyarakat

telah hidup membaur. Presentase jumlah penduduk antara masyarakat adat (penduduk lokal) dan mereka yang bukan berasal dari kelompok masyarakat adat (masyarakat pendatang) menghampiri titik keseimbangan. Aturan memang tidak bisa membatasi hak masing-masing individu sebab kita semua merupakan warga masyarakat yang mendiami satu wilayah yang sama. Akan tetapi saya berharap agar bisa dipahami bahwa pada saat-saat tertentu kita tidak bisa menyatu berdasarkan mekanisme hukum adat yang berlaku”. Aleks sitanala, Ketua Saniri Negeri Suli, Wawancara, 5 Januari 2014, Suli Bawah-Ambon.

Untuk Maluku harus dilihat jauh ke depan, bisa jadi ke depan akan ada kerusuhan lain, sehingga politik pembangunan itu harus dilihat baik-baik. Jangan sampai torang terpinggirkan seperti itu. Bagaimana bisa dengan katorang, dan dorang akui katong pung adat seperti itu”.137