• Tidak ada hasil yang ditemukan

3.1. Momentum Kebangkitan AdatDi Ambon

3.1.3. Reorganisasi Diri atas Nama Adat

Dorongan untuk mereorganisasi diri atas nama adat tercermin dalam salah satu pernyataan yang diungkapkan oleh Ichsan Malik, seorang fasilitator gerakan

perdamaian Maluku. Ichsan Malik dalam artikelnya Promoting dialogue untuk resolusi konflik kekerasan masyarakat di Maluku (2009) menekankan pentingnya mengintensifkan peran penduduk lokal Ambon dalam proses resolusi konflik. Menurut Ichsan Malik:

Semuanya harus dimulai dari pelaku sekaligus korban konflik. Korban konflik yang sekaligus adalah pelaku konflik(combatant) harus menjadi subyek dari proses resolusi konflik. Mereka yang paling terkena dampak konflik, dan oleh kerena itu mereka pula yang harus survive untuk menolong dirinya dan masyarakat. Pemberdayaan korban harus menjadi titik tolak untuk resolusi konflik. Mereka harus mampu menemukan kekuatan yang ada dalam dirinya atau masyarakatnya. Serta menggali secara kreatif mekanisme-mekanisme yang ada di dalam dirinya atau masyarakatnya sendiri untuk memproses resolusi konflik.116

Tendensi pernyataan tersebut tidak sekedar mendorong lahirnya berbagai upaya penyelesaian konflik dari bawah, akan tetapi secara singnifikan ikut mendorong kemunculan adat di Ambon. Secara implisit pernyataan Ichsan Malik mencerminkan dorongan kuat untuk terus-menerus memikirkan dan membicarakan adat. Secara khusus menyangkut persoalan bagaimana mengintensifkan peran penduduk lokal melalui adat. Ada semacam dorongan untuk memikirkan dan merumuskan realitas hidup berbasis adat. Konsekuensinya, kemunculan adat di era tahun 2000-an berkembang dengan begitu cepat di Ambon.

Percepatan perkembangan adat diindikasikan oleh kemampuan masyarakat mereorganisasi diri atas nama adat dengan dibentuknya forum “Gerakan Baku

116 Ichsan Malik (2009), Promoting dialogue untuk resolusi konflik kekerasan masyarakat di

Bae Maluku” pada 2002.117 Pembentukan forum “Gerakan Baku Bae Maluku” diasumsikan sebagai gerakan bersama seluruh masyarakat dalam memperjuangkan perdamaian dan hak-hak penduduk lokal. Sebagai forum gerakan bersama untuk misi perdamaian Maluku, seluruh aktivitas “Gerakan Baku Bae Maluku” selalu melibatkan para raja. Hal ini tercermin dalam setiap pertemuan yang diselenggarakan baik di Bogor, Bali, Yogyakarta dan kota Ambon sendiri.118 Kehadiran dan keterlibatan para raja dalam setiap agenda pertemuan dinilai sebagai representasi aspirasi seluruh masyarakat. Untuk itu apa yang dikehendaki dan diputuskan oleh para raja dipandang sebagai keputusan bersama seluruh masyarakat.

117Perlu diketahui bersama bahwa pada 14 Mei 2003“Gerakan Baku Bae Maluku” telah diubah

namanya menjadi Institut Titian Perdamaian (ITP) dan bertempat di Jakarta. Dengan semangat kemanusiaan, keadilan, solidaritas, keragaman dan ikatan moral antar orang untuk bergerak bersama menjadikan “Gerakan Baku Bae Maluku” sebagai sebuah gerakan kemanusiaan yang mampu mengupayakan perdamaian di bumi Maluku. Beberapa aktivis “Gerakan Baku Bae Maluku” yang lazim dikenal adalah Ichsan Malik, Max Pattinaja, Prof.DR. Frans Limahelu, Boedhi Wijardjo, Dadang Trisasongko, Abubakar Riry, Mulyadi, Johari Efendi, Rolly Leatemia, dan Pieter G. Manoppo. Diakses dari: “Institut Titian Perdamaian” dalamhttps://www.facebook.com/pages/InstitutTitianPerdamaian/111939478888542?sk=info, diakses pada hari Senin, 29 Juli 2014, pukul 01.05 wib.

118Berikut ini dapat dilihat rangkaian pertemuan para raja yang difasilitasi oleh gerakan baku bae

Maluku. Pertemuan pertama para raja pada tahun 2002 di Hotel Salak-Bogor, para raja dan Latupati sepakat untuk menjadikan pendekatan kultural sebagai pilihan mendasar dan strategis dalam meresolusi konflik, terutama menghadirkan para raja dan latupati sebagai representasi komunitas kultural. Pertemuan kedua di Universitas Pattimura Ambon pada Januari 2003, agenda pembentukan forum majelis adat (Latupati Maluku) semakin kuat terutama ketika mendapatkan dukungan dari pihak luar seperti Sri Sultan Hamengku Buwono X yang dihadirkan sebagaikeynote speaker. Pertemuan ketiga dilaksanakan di Yogyakarta pada akhir 2003. Berkat dukungan dari pemerintah Daerah Maluku, maka disusunlah alat kelengkapan lembaga majelis adat berupa AD/ART, desain kerangka kerja, pembentukan tim 14. Pertemuan keempat dilaksanakan di Hotel Amans Ambon, dengan agenda pemantapan ADRT oleh tim 14 sekaligus persiapan Musyawarah Latupati se-Maluku. Pertemuan kelima dilaksanakan di Ambon pada November 2006 dengan agenda pembetukan komposisi dan personalia majelis Latupati beserta penetapan AD/ART. Dan akhirnya dalam Musyawarah besar Latupati yang dilaksanakan di Baileo Siwalima Ambon pada 13 April 2007 majelis latupati Maluku berhasil mendeklarasikan pembentukannya. Dari sinilah kemudian dibentuknya majelis Latupati tingkat kabupaten, terutama di wilayah kota Ambon. Dengan difasilitai oleh Institut Tifa Damai Maluku, pada tanggal 7 September 2008 majelis Latupati kota Ambon secara resmi terbentuk. Diakses dari: Profil Majelis Latupati Kota Ambon” dalamhttp://latupati.blogspot.nl/, diakses pada 3 Agustus 2014, pukul 22.10 WIB .

Di sisi lain, terkait istilah “Baku Bae” yang direkatkan pada “Gerakan Baku Bae Maluku” mengandung ajakan untuk berbaikan atau berdamai. Istilah “Baku Bae”diambil dari khasana bahasa lokal berdasarkan kesepakatan bersama para raja dan Latupati dalam pertemuan perdana yang diselenggarakan di hotel Salak-Bogor pada 2002. Penggunaan istilah “Baku Bae” diharapkan dapat membangun komitmen bersama menjadikan adat sebagai pilihan mendasar dalam upaya penyelesaian konflik. Terutama dukungan simbolik seluruh masyarakat kepada para raja dalam mewujudkan perdamaian di Maluku.

Persoalannya, sejauhmana keterlibatan para raja mencerminkan aspirasi seluruh anggota masyarakat? Atau sebaliknya malah memanipulasi keinginan masyarakat demi kepentingan-kepentingan politik? Memang tidak dapat dipungkiri bahwa pembentukan “gerakan Baku Bae Maluku” merupakan representasi komunitas kultural seluruh masyarakat. Misalnya keterlibatan para raja (seperi raja Theresia Maitimu dan M. Nukuhehe) dalam pertemuan“Gerakan Baku Bae Maluku” di Bali menjadi wujud kongkrit keterlibatan seluruh masyarakat.119Akan tetapi patut dipertimbangkan adalah sejauh mana aspirasi dan kebutuhan warga terakomodir.

Selanjutnya perkembangan wacana adat melalui forum “Gerakan Baku Bae Maluku”mengalami perluasan. Ekspansi“Gerakan Baku Bae Maluku”tidak hanya bersifat lokal akan tetapi meluas ke tingkat nasional. Ekspansi adat di tingkat nasional tercermin melalui keterlibatan tokoh-tokoh sentral. Salah satunya

119Abubakar Riry & Oieter G. Manoppo (2007),Menatang Badai, Menabur Damai: Napak Tilas

adalah Sri Sultan Hamengku Buwono X yang dinilai memiliki kepedulian terhadap kondisi masyarakat Maluku. Keterlibatan Sri Sultan nampak dalam keikutsertaannya pada workshop“Gerakan Baku Bae Maluku”yang dilaksanakan pada 4-11 Desember 2000 di Yogyakarta.

Keterlibatan Sultan sebagai tokoh kultural dan imaji kota Jogyakarta sebagai kota budaya mendorong dilakukannya pengembangan jaringan kerja kultural dan pelembagaan adat di Maluku. Terutama pengembangan jaringan kultural pada level “negeri-negeri” adat beserta peran para raja sebagai kepala pemerintahan negeri. Sebagai tindak lanjut dari upaya pelembagaan jaringan kultural di Ambon diaktualisasikan melalui pembentukanLatupati,sebuah dewan adat di mana keanggotaannya terdiri dari para raja. Selain itu, muncul pula desakan penerbitan peraturan daerah di Kota Ambon mengenai adat. Upaya pelembagaan jaringan kultural semacam ini dinilai oleh para tokoh adat sebagai tindakan kongkrit untuk mempertahankan eksistensi Maluku sebagai salah satu provinsi adat, atau negeri kepulauan raja-raja.120 Uraian lebih rinci mengenai proses pelembagaan jaringan kultural di Ambon, akan dijelaskan dalam sub bab berikut ini.