• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sikap Diam Warga Pendatang dalam Adat

3.3. Internalisasi Wacana Kebangkitan Adat Ambon

3.3.2. Sikap Diam Warga Pendatang dalam Adat

Wacana kebangkitan adat di Indonesia muncul karena kekecewaan masyarakat adat terhadap sistem demokrasi yang dinilai tidak mampu mengakomodir keragaman budaya masyarakat, penghancuran terhadap pranata- pranata adat. Dalam konteks itu, masyarakat adat Ambon merupakan salah satu kontestan adat yang berjuang menyelamatkan adat istiadat. Atas nama adat, masyarakat Ambon menolak intervensi negara melalui UU desa dan memilih untuk kembali ke adat dengan menghidupkan kembali “negeri” sebagai pemerintahan hukum adat di wilayah kepulauan Ambon.

Kemunculan adat di Ambon terbilang sukses ketika adat dipakai sebagai modal sosial kultural dalam proses penyelesaian konflik di Ambon pada khususnya dalam Maluku pada umumnya. Dengan misi perdamaian identitas adat dikedepankan untuk membangun kembali perdamaian. Pergerakan adat kemudian memasuki fase koordinasi dan reorganisasi diri melalui pembentukan dewan adat (Latupati) dan penerbitan serangkaian produk hukum tentang adat guna melegitimasi penetapan kembali “negeri”sebagai pemerintahan hukum adat. Atas nama adat banyak perubahan terjadi di Ambon, akan tetapi persoalannya sekarang adalah apakah kebangkitan adat di Ambon sungguh-sungguh mencerminkan aspirasi seluruh anggota masyarakat? Sejauhmana masyarakat terakomodir dalam wacana kebangkitan adat di Ambon?

Pada kenyataannya praktek dan wacana kebangkitan adat di Ambon melahirkan wacana biner antara penduduk lokal dan pendatang. Saling pengakuan antar kelompok, terutama pengakuan terhadap mekanisme adat seringkali

menyebabkan masyarakat pendatang lebih memilih diam dan patuh terhadap mekanisme adat. “Yang penting bagi beta aman-aman saja (Bagi saya, yang terpenting adalah kondisi tetap aman)”147 ungkap Doni Silawanebessy ketika diwawancari terkait keberadaannya sebagai pendatang berhadapan dengan mekanisme adat pada level “negeri”. Rasa aman menjadi nilai terpenting bagi masyarakat pendatang ketika harus berhadapan dengan mekanisme dan praktek adat. Akan tetapi dibalik ungkapan tersebut terbesik harapan agar seluruh warga kiranya dilibatkan dalam praktek adat.

Mungkinkah warga pendatang dapat terlibat dalam praktek dan wacana adat di Ambon? prosesi penerimaan adat nampaknya tidak menyentuh sampai pada keseharian hidup masyarakat pendatang. Persoalan keterwakilan warga dalam praktek adat melahirkan kembali wacana ketidakadilan yang sejak semula dikritik dalam perjuangan kebangkitan adat di Ambon. Dari akses jalan yang rusak, ketidak jelasan lahan hunian, pembagian raskin (jatah bantuan beras dari dinas sosial) sampai pada persoalan keterwakilan warga pendatang dalam praktek pemerintahan “negeri”menimbulkan perasaan dianaktirikan.148

Meski dalam seruan-seruan yang disampaikan oleh tokoh adat akan kesetaraan hak dan saling pengakuan, akan tetapi pada kenyataannya ketika muncul persoalan akan sangat sering terdengar ungkapan-ungkapan bernada dikotomik antara lokal dan pendatang: “kamong ada tinggal di orang pung tanah

147Doni Silawanebessy, warga Tial,Wawancara, 20 Januari 2014, Relokasi pengungsian Tial di

Ambon.

148Dedi Rikumahu, warga Banda,Wawancara, 25 Januari 2014, Relokasi pengungsian Banda di

(tanah ini bukan milik kalian) atau kamong pendatang saja (Kalian masyarakat pendatang).149 Kondisi semacam ini menegasikan proliferasi wacana adat yang ditandai dengan cara masyarakat masyarakat membicarakan adat.

Adat tidak lagi sebatas tradisi, warisan para leluhur melainkan adat dalam kaitannya dengan bagaimana adat mampu mengakomodir dan mensejahterahkan masyarakat tanpa memandang latar belakang suku, agama dan ras. Untuk itu, tidak mengherankan jika wacana kebangkitan adat yang diperjuangkan dengan tujuan untuk menyelamatkan kehancuran pranata adat justru menjadikan adat sebagai arena konstestasi kekuasaan. Adat tidak sebatas identitas masyarakat adat untuk memobilisasi masa dalam memperjuangkan hak-hak lokal, akan tetapi membentuk rezim kekuasaan baru dalam masyarakat modern.

Adat dijadikan sebagai sarana paling efektif mengumbar janji-janji politik bahkan dengan membangun wacana memanipulasi atas nama adat untuk mendapatkan dukungan politik dari masyarakat, terutama pendatang yang berdomisili dalam wilayah-wilayah petuanan adat, “Beta so kasih kamong jaga katong pe dusun, maka orang juga otomatis ada upah” (saya telah mempersilahkan kalian menempati tanah kami, untuk itu harus ada juga timbal baliknya).150 Keterlibatan masyarakat dalam praksis adat dalam lingkup pemerintahan “negeri” pada kenyataannya tidak lebih dari penonton dan pendengar serta dilibatkan sejauh diperlukan. Warga pendatang hanya akan

149 Dedi Rikumahu, warga Banda, Wawancara, 25 Januari 2014, wilayah relokasi pengungsian

Banda di Ambon.

150 Izak Aipassa, Warga Banda, Wawancara, 20 Januari 2014, Relokasi pengungsian Banda di

dilibatkan untuk menyampaikan laporan pertanggungjawaban pemerintahan negeri di akhir tahun.151

Bertolak dari pengalaman-pengalaman tersebut muncul keinginan di kalangan masyarakat pendatang untuk terlibat secara aktif dalam praksis pemerintahan hukum adat. Ada keinginan untuk mengintensifkan peran-peran warga pendatang dengan membentuk “desa administratif tanpa harus terlepas dari “negeri”. Dalam kesatuan dengan negeri adat, keinginan pembentukan sebuah desa administratif menjadi kerinduan warga pendatang. Hal ini juga dilakukan sebagai upaya untuk mendapatkan pengakuan terhadap hak-hak kewargaannya dalam kehidupan pemerintahan adat. Ada keinginan agar hak-hak warga pendatang diperhatikan, terutama keterwakilan dalam pemerintahan negeri dan perlakuan yang adil terkait pelbagai bantuan yang diperuntukan bagi masyarakat.

3.4. Catatan Penutup

Adat pada dasarnya bukanlah sesuatu yang buruk, hanya saja berbahaya ketika telah dirasuki oleh hasrat akan kekuasaan. Akibatnya adat tidak lebih dari sebuah kendaraan politik para elit lokal dalam dinamika politik. Ikon-ikon adat dihadirkan hanya untuk memenuhi hasrat berkuasa dan popularitas diri. Bahkan tidak segan-segannya mengobral (gelar) adat demi mendapatkan pengakuan publik atas otonomisasi adat dan kekuasaan yang dijalankan atas nama adat.

151Tos Walunaman, Warga Larike,Wawancara, 20 Januari 2014, Relokasi Pengungsian Larike di

Fenomena semacam ini mewarnai uraian bab ini. Tujuannya adalah untuk menyelami praktek diskursif adat di Ambon.

Dalam lokalitas Ambon, teknik menyingkap rezim wacana kekuasaan adat yang menjadi objek kajian dalam penelitian ini dilaksanakan dengan cara memperhatikan dan mengikuti gerakan perkembangan dan perluasan wacana adat. Mula-mula dengan memperhatikan kemampuan mengorganisasi diri, pelembagaan adat, pembentukan norma adat, sosialisasi nilai-nilai adat sampai pada proses saling pengakuan antar warga, baik itu penduduk lokal maupun pendatang. Seluruh uraian tersebut pada dasarnya bertujuan untuk menyingkap pola-pola kekuasaan yang terbentuk dalam pratek dan wacana adat di Ambon.

BAB IV

KEKUASAAN DAN SUBYEKTIVITAS

DALAM WACANA KEBANGKITAN ADAT AMBON

Bab IV membahas mengenai kekuasaan dan subyektivitas. Pembahasan mengenai kedua pokok persoalan tersebut dimaksudkan untuk menganalisa hubungan kekuasaan dan konstruksi subyek dalam wacana kebangkitan adat. Mengacu pada tujuan tersebut, uraian ini diawali dengan menganalisa hubungan kekuasaan dalam wacana kebangkitan adat Ambon. Tujuannya adalah untuk membongkar hubungan kekuasaan yang diproduksi dalam wacana kebangkitan adat Ambon. Uraian dilanjutkan dengan menganalisa proses pembentukkan subyek dalam wacana kebangkitan adat. Proses pembentukan subyek dalam wacana menegasi proses objektivasi subyek dalam wacana melalui teknologi pendisiplinan subyek. Pembahasan mengenai hubungan kekuasaan dan konstruksi subyek dalam wacana kebangkitan adat Ambon akan dijabarkan secara rinci di bawah ini.