TESIS
POLITIK SENGKETA HUKUM
DALAM PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH
DAN WAKIL KEPALA DAERAH KABUPATEN
JEMBRANA 2010
I DEWA KADE WIARSA RAKA SANDI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
i
TESIS
POLITIK SENGKETA HUKUM
DALAM PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH
DAN WAKIL KEPALA DAERAH KABUPATEN
JEMBRANA 2010
I DEWA KADE WIARSA RAKA SANDI NIM 0990261037
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
ii
TESIS
POLITIK SENGKETA HUKUM
DALAM PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH
DAN WAKIL KEPALA DAERAH KABUPATEN
JEMBRANA 2010
Tesis ini untuk memperoleh Gelar Magister
pada Program Magister, Program Studi Kajian Budaya
Program Pascasarjana Universitas Udayana
I DEWA KADE WIARSA RAKA SANDI NIM 0990261037
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
iv
Tesis ini telah diuji oleh Panitia Penguji pada Program Pascasarjana Kajian Budaya,
Universitas Udayana Pada tanggal 30 September 2016
Panitia Penguji Tesis, berdasarkan Surat Keputusan Ketua Program Studi Pascasarjana Universitas Udayana:
Nomor : 4653/UN.14.4/HK/2016
Tanggal : 20 September 2016
Ketua : Dr. Ni Luh Nyoman Kebayantini, M.Si.
Anggota :
1. Prof. Dr. I Nyoman Sirtha, S.H., M.S.
2. Prof. Dr. Emiliana Mariyah, M.S.
3. Dr. I Gusti Ketut Gde Arsana, M.Si.
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis haturkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widi
Wasa/Tuhan Yang Maha Esa atassegala tuntunan dan asung kerta wara nugraha
-Nya sehingga tesis ini dapat penulis selesaikan. Tesis ini dengan judul Politik
Sengketa Hukum dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah Kabupaten Jembrana 2010. Penelitian tesis ini merupakan salah satu
persyaratan dan sekaligus sebagai pertanggungjawaban penulis dalam bidang
akademik pada Program Studi Magister (S2) Kajian Budaya.
Selama proses penelitian dan penulisan tesis ini, penulis mendapatkan
bimbingan dan dukungan moril yang luar biasa dari berbagai pihak yang
berkompeten, yang tidak henti-hentinya memberikan masukan, kritik, dan saran
sehingga pada akhirnya tesis ini dapat diselesaikan. Untuk itu, pada kesempatan
ini penulis menyampaikan penghormatan, penghargaan, dan ucapan terima kasih
yang setinggi-tingginya kepada pihak-pihak sebagai berikut.
Dr. Ni Luh Nyoman Kebayantini, M.Si., selaku Pembimbing Pertama.
Penulis mengucapkan terima kasih atas segala bimbingan dan arahannya serta
kesabarannya selama membimbing penulis mulai dari awal sampai akhir. Penulis
menyadari tanpa bimbingan dan arahan yang Ibu berikan kiranya penulisan tesis
ini akan banyak mengalami kendala. Namun demikian, berkat ketekunan dan
spirit yang Ibu berikan, penulisan tesis ini pada akhirnya dapat penulis selesaikan.
Prof. Dr. I Nyoman Sirta, S.H., M.S., selaku Pembimbing Kedua. Terima
kasih penulis haturkan kepada Bapak atas segala bimbingan, arahan, dan
vii
Bapak untuk berkenan sebagai Pembimbing Kedua, merupakan inspirasi dan
semangat baru bagi penulis untuk lebih banyak belajar dan sekaligus sesegera
mungkin menyelesaikan kewajiban penulis dalam menyelesaikan studi di Program
Studi Magister (S2) Kajian Budaya.
Dr. I Gusti Ketut Gde Arsana, M.Si., selaku Ketua Program Studi Magister
(S2) Kajian Budaya Universitas Udayana terima kasih atas motivasi dan
dukungan moral Bapak kepada penulis. Motivasi dan dukugan moral yang Bapak
berikan selaku Ketua Program Studi dan sebagai pengajar di Program Studi
Kajian Budaya merupakan kekuatan bagi penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
Dr. I Gede Mudana, M.Si., selaku pengajar dan sekaligus partner diskusi
penulis tentang teori-teori dan tema-tema aktual kajian budaya. Terima kasih
penulis ucapkan atas segala masukan, kritik, dan sarannya sehingga penulis
mendapat wawasan baru tentang berbagai perspektif dan pendekatan dalam
penulisan tesis ini. Terima kasih atas waktu dan juga perkenaannya mendampingi
penulis selama mengikuti perkuliahan di Program Studi Magister (S2) Kajian
Budaya.
Dr. I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H., terima kasih atas motivasi,
gagasan, dan saran-saranya dalam pemilihan jenjang dan bidang studi bagi
penulis. Juga terima kasih atas diskusinya dalam bidang Hukum Kepemiluan
dalam kaitannya dengan pendidikan yang penulis ikuti di Fakultas Hukum
Universitas Udayana sebelumnya, maupun dalam penulisan tesis ini.
Terima kasih kepada para dosen yang telah mendidik penulis selama
viii
Budaya. Semoga ilmu pengetahuan yang diberikan akan dapat penulis
implementasikan dan kembangkan dalam menjalankan tugas sehari-hari.
Almarhum Ayahanda penulis I Dewa Ketut Gandra yang telah berpulang
pada tanggal 27 Oktober 2015. Terima kasih Ajik atas segala perjuangan dan
pengorbanan yang diberikan dalam membesarkan dan mendidik penulis. Terima
kasih atas motivasi, semangat, dan suri tauladan yang diberikan sehingga penulis
dapat melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Pesan dan cita-cita Ajik agar
anak-anaknya melanjutkan studi dan memajukan pendidikan akan selalu dikenang
dan sedapat mungkin dilaksanakan.
Ibunda penulis I Dewa Ayu Putu Tranggana, saudara kandung penulis I
Dewa Putu Gandita Rai Anom, STP., I Dewa Gede Adi Putra, S.H., dan I Dewa
Ayu Komang Budiasih, serta istri dan anak penulis Desak Agung Oka Suardewi,
S.E., dan I Dewa Gede Mayuresa Iswara. Terima kasih atas segala doa, dukungan,
serta kesabarannya selama penulis mengikuti pendidikan di tengah-tengah
kesibukan dalam menjalankan tugas di KPU Provinsi Bali. Semoga penulisan
tesis ini, dalam rangka pemenuhan persyaratan pendidikan yang penulis ikuti di
Program Studi Magister (S2) Kajian Budaya Universitas Udayana akan
bermanfaat bagi keluarga dan masyarakat.
Para informan penelitian I Gusti Putu Artha, S.P., M.Si, I Putu Wahyu
Dhiantara, S.E., Ida Bagus Ketut Dharma Santika Putra, Wahyu Eko Widianto, Ni
Made Sri Sutharmi, I Putu Dwita, S.Pt., I Wayan Wasa, Ida Bagus Mantra, I Made
Adi Utawa, I Gede Artana, I Dewa Komang Mastra, I Nengah Nurlaba, S.H., I
ix
kasih atas kesediaannya sebagai informan dan membantu penulis dalam
mengerjakan penelitian tesis ini.
Sahabat diskusi penulis dan sekaligus teman seangkatan dalam
perkuliahan di Program Studi Magister (S2) Kajian Budaya, Mas Slamat Trisila.
Terima kasih atas dukungan moral dan masukan-masukannya, termasuk koreksi
dan kritiknya terkait penulisan tesis ini. Terima kasih juga kepada semua
rekan-rekan seangkatan semuanya.
Keluarga besar KPU Republik Indonesia, KPU Provinsi Bali dan KPU
Kabupaten/Kota se-Bali, termasuk KPU Kabupaten Jembrana yang merupakan
kabupaten tempat di mana penelitian ini dilakukan. Terima kasih atas motivasi
dan dukungan moralnya selama penulis mengikuti pendidikan di Program Studi
Magister (S2) Kajian Budaya.
Dewan Pengurus Pusat Persatuan Alumni GMNI (DPP PA GMNI) dan
Dewan Pengurus Daerah Persatuan Alumni GMNI Provinsi Bali (DPD PA GMNI
Provinsi Bali), dan Dewan Pimpinan Cabang GMNI Denpasar (DPC GMNI
Denpasar) terima kasih atas dorongan moral dan saran-saran masukannya.
Para staf administrasi dan perpustakaan pada Program Studi Magister (S2)
Kajian Budaya Universitas Udayana. Bapak Putu, Ibu Iluh, Ibu Tjok, Ibu Dayu,
Ibu Arie, dan Ibu Agung. Terima kasih atas perhatian dan kerja kerasnya dalam
menjalankan tugas masing-masing di kampus selama penulis mengikuti
perkuliahan.
Akhir kata penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna.
xi
ABSTRAK
Pemilukada di Bali baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota secara umum berlangsung tertib dan tepat waktu sesuai tahapan yang telah ditentukan. Namun Pemilukada Kabupaten Jembrana 2010 merupakan perkecualian karena sempat terkatung-katung dan bahkan dicabut tahapannya. Penundaan tersebut berakibat pada terjadinya sengketa hukum di sejumlah lembaga peradilan. Politik sengketa hukum dalam Pemilukada Kabupaten Jembrana 2010 merupakan persoalan yang kompleks dan dinamis sehingga perlu diungkap untuk mengetahui dan memahami berbagai persoalan yang melatarbelakanginya. Penelitian mengenai politik sengketa hukum tersebut sangat penting dilakukan agar ke depan dapat dilakukan langkah-langkah perbaikan menuju terwujudnya Pemilukada yang lebih demokratis, transparan, dan akuntabel. Dalam penelitian ini, permasalahan yang diteliti adalah proses politik sengketa hukum, faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya politik sengketa hukum, serta pergulatan makna politik sengketa hukum dalam Pemilukada Kabupaten Jembrana 2010. Penelitian ini dirancang sebagai penelitian kualitatif. Pemilihan metode penelitian dilakukan dengan alasan kesesuaian antara metode yang dipilih dengan konteks dan rumusan masalah yang diteliti. Penelitian ini menggunakan teori relasi kuasa/ pengetahuan, teori transpolitika, dan teori semiotika hukum.
Dalam Pemilukada Kabupaten Jembrana 2010 terdapat empat jenis politik sengketa hukum, yaitu sengketa e-voting di MK, sengketa tahapan di PN Negara, sengketa tahapan di PTUN Denpasar, serta sengketa hasil di MK. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya sengketa adalah: pertama, arena pasar bebas dan kecenderungan demokratisasi, kedua, reformasi dan amandemen UUD 1945,
ketiga, peraturan perundang-undangan, keempat, kepemiluan dalam kasus e-voting, kelima, anggaran Pemilukada, keenam, penyelenggara Pemilukada,
ketujuh, birokrasi, adat, dan agama, kedelapan, kondisi masyarakat, kesembilan, praktik politik uang dalam Pemilukada, dan kesepuluh, penegakan hukum dalam Pemilukada. Pergulatan makna yang ditemukan dalam penelitian ini meliputi sejumlah pergulatan makna,, yaitu: pertama, pergulatan makna hukum positif,
kedua, pergulatan makna hukum progresif, ketiga, pergulatan makna demokrasi, keempat, pergulatan makna ekonomi, dan kelima, pergulatan makna sosial budaya: refleksi postmodernisme makepung politik.
Sengketa hukum dalam Pemilukada Kabupaten Jembrana 2010 merupakan pengalaman penting yang dapat dijadikan pelajaran oleh segenap pemangku kepentingan (stake holder) dalam Pemilukada, sehingga dapat dilakukan upaya-upaya pencegahan dan penyempurnaan melalui perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi secara lebih komprehensif dan mendalam. Berbagai upaya tersebut diharapkan mampu meningkatkan kualitas Pemilukada dan memperkokoh perkembangan demokrasi lokal di Indonesia pada masa yang akan datang.
xii
ABSTRACT
General election in Bali both at the provincial and regency/city levels in general run well and on time according to predetermined stages. However Jembrana election 2010 was an exception because it was in limbo and the stages were even revoked. The delay resulted in the occurrence of a number of legal disputes in the courts. Political legal disputes of election in Jembrana Regency 2010 is a dynamic and complex issues that need to be revealed to know and understand the problems that lie behind them. Research on the politics of legal disputes is very important to do that in the future the corrective measures towards the realization of a more democratic, transparent and accountable general election could be done. In this study, the problems addressed the political process of legal dispute, the factors that caused the legal dispute politically, as well as the struggle of the political significance of legal disputes in Jembrana Regency Election 2010. The study was designed as a qualitative research. The choice of method of research was conducted on the grounds of conformity between the methods chosen by the context and the formulation of the problem being investigated. This study uses the power relation theory / knowledge, transpolitical theory, and the theory of legal semiotics
Legal disputes in the implementation of the General Election of Jembrana Regency 2010 consists of four types of disputes, i.e. disputes of e-voting in the Constitutional Court, the dispute in District Court phases, the dispute in Administrative Court of Denpasar (PTUN) stages, as well as the dispute in the Constitutional Court. Factors that cause disputes are first, the arena of the free market and the trend of democratization, second, reformation and the amendment of 1945 constitution, third, legislation, fourth, electoral case of e-voting, fifth, the budget of the general election, sixth, the organizers of election, seventh, bureaucracy, customs, and religion, eighth, the condition of Jembrana society, ninth, money politics in the general election, and tenth, the law enforcement in the general election. The struggle of meaning found in the study includes a number of struggle of meaning first, the struggle of positive legal meaning, secondly, the struggle of progressive legal significance, third, the struggle of democratic significance, fourth, struggles of economic significance, and fifth, the struggles of socio cultural significance of: postmodernism reflecting political makepung.
Legal disputes in the general election of Jembrana Regency 2010 is a valuable experience that needs to be learned and can be used as a lesson by all stakeholders in the general election, in order to take preventive measures and improvement through planning, implementation, and evaluation more comprehensively and in-depth. Various efforts are expected to improve the quality of election and strengthen the development of local democracy in Indonesia in the future.
xiii
RINGKASAN
Sistem ketatanegaraan Indonesia didasarkan pada paham kedaulatan rakyat
dan negara hukum. Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 “Kedaulatan berada di tangan
rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Pasal 1 ayat (3)
“Negara Indonesia adalah negara hukum”. Menurut Atmadja (2012: 87), inti teori kedaulatan rakyat adalah domain kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat.
Kehendak rakyat merupakan satu-satunya sumber kekuasaan bagi setiap
pemerintah. Adagiumnya “solus populi supremalex” suara rakyat adalah hukum yang tertinggi atau “volk vovuli vo dei”, “suara rakyat adalah suara Tuhan”.
Salah satu wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat adalah Pemilukada.
Sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat, penyelenggaraan Pemilukada
seharusnya mampu melindungi hak-hak konstitusional rakyat dalam memilih
pemimpin yang dikehendaki rakyat. Namun demikian, dalam praktiknya, sejak
pertama kali diselenggarakan tahun 2005, Pemilukada di Indonesia belum
sepenuhnya sesuai dengan cita-cita dan konsep awalnya. Hampir pada setiap
Pemilukada terjadi pelanggaran, konflik politik dan sengketa hukum yang
mengancam kedaulatan rakyat itu sendiri. Hal itu tidak terlepas dari berbagai
kepentingan dan perubahan-perubahan yang terjadi dalam berbagai bidang
kehidupan masyarakat.
Di Kabupaten Jembrana penyelenggaraan Pemilukada 2010 sempat
terhambat dan bahkan tahapannya dicabut oleh KPU Kabupaten Jembrana. Hal
tersebut berakibat pada terjadinya sengketa hukum di sejumlah lembaga peradilan.
Fenomena politik sengketa hukum dalam Pemilukada Kabupaten Jembrana 2010
merupakan persoalan kompleks dan multidimensi. Fenomena tersebut terjadi pada
hampir setiap Pemilukada di Indonesia, sehingga hal itu penting diteliti agar ke
depan dapat dilakukan perbaikan-perbaikan menuju terwujudnya Pemilukada
yang lebih demokratis, transparan, dan akuntabel. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui dan menginterpretasi proses politik sengketa hukum,
faktor-faktor penyebab terjadinya politik sengketa hukum, serta pergulatan makna politik
xiv
penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengembangan bidang kajian budaya
(cultural studies), khususnya kajian terhadap budaya hukum dalam Pemilukada.
Secara praktis, diharapkan bermanfaat bagi segenap stake holder dan masyarakat
dalam mencegah dan menghadapi sengketa hukum dalam penyelenggaraan
Pemilukada ke depan.
Penelitian ini dirancang sebagai penelitian kualitatif. Menurut Moleong
dalam Mantra (2008: 29), pendekatan kualitatif digunakan di lapangan dengan
alasan, yaitu: pertama, lebih mudah menyesuaikan di lapangan apabila
berhadapan dengan kenyataan ganda, kedua, pendekatan ini menyajikan secara
langsung hakikat peneliti dengan responden, dan ketiga, lebih peka dan lebih
dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh dan terhadap
pola-pola nilai yang dihadapi.
Dalam penelitian ini teori digunakan secara eklektik untuk membedah dan
menganalisis masalah penelitian, yaitu teori relasi kuasa/ pengetahuan, teori
transpolitika, dan teori semiotika hukum. Barker (2009: 83) mengemukakan
bahwa Foucault adalah anti esensialis terpenting dan pemikir pascastrukturalis
dalam cultural studies. Foucault (2009: 85) mengemukakan kekuasaan
terdistribusi di semua relasi sosial dan tidak dapat direduksi menjadi
bentuk-bentuk dan determinasi-determinasi ekonomis terpusat atau menjadi karakter legal
atau yuridis, namun kekuasaan membentuk kapiler terisolasi yang terjalin dalam
jaringan seluruh tatanan sosial. Foucault menetapkan adanya hubungan timbal
balik yang saling membentuk antara kekuasaan dan pengetahuan sehingga
pengetahuan menjadi tidak dapat dipisahkan dari rezim kekuasaan. Menurut
Marwan (2010: 55), Foucault memandang kekuasaan tidak bisa dilepaskan dari
kehidupan politik dan hukum. Kekuasaan juga menjadi landasan bagi
terbentuknya hukum umat manusia, karena hukum memang berangkat dari
kekuasaan dan bagian dari produk politik.
Piliang (2005: 4) mengemukakan bahwa istilah transpolitika digunakan
untuk menjelaskan entitas politik yang telah terkontaminasi oleh berbagai entitas
lainnya yang bukan merupakan jagat, alam, prinsip, hakikat, atau dunia politik
xv
hukum, politik yang bersekutu dengan ekonomi, politik yang berselingkuh dengan
seksual, politik yang bersimbiosis dengan komoditi. Haryatmoko (Piliang, 2005:
xxviii) menyatakan dengan analisis transpolitika, ditengarai dewasa ini telah
terjadi perubahan mendasar dalam dunia politik, di mana momen-momen
kebenaran telah digantikan oleh citraan-citraan, sehingga politik akhirnya
terperangkap di dalam permainan bebas citra dan teks. Menurut Eco (2009: 7),
semiotika berurusan dengan segala sesuatu yang bisa dipandang sebagai tanda.
Semiotika secara prinsipil adalah disiplin yang mengkaji segala sesuatu yang
dapat digunakan untuk berbohong. Jika sesuatu tidak bisa dipakai untuk
mengekspresikan kebohongan, maka dia juga tidak bisa dipakai untuk
mengekspresikan kebenaran. Menurut Susanto (2005: 73), aplikasi pendekatan
semiotik terhadap hukum terkait erat dengan produksi linguistik. Produksi
linguistik adalah proses untuk menciptakan istilah linguistik baru (signifier) dan
arti yang diberikan ekspresi atau arti (signified).
Politik sengketa hukum dalam Pemilukada Kabupaten Jembrana 2010
termanifestasi ke dalam empat jenis sengketa hukum, yaitu sengketa e-voting di
MK, sengketa tahapan di PN Negara, sengketa tahapan di PTUN Denpasar, dan
sengketa hasil di MK. Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya politik
sengketa hukum adalah terjadinya arena pasar bebas dan kecenderungan
demokratisasi lokal, yang telah dirasuki dan dijiwai ideologi liberalisme dan
kapitalisme. Hal tersebut mendorong perubahan politik dan semakin kompleksnya
relasi-relasi kekuasaan yang berkembang dalam Pemilukada yang pada akhirnya
mendorong terjadinya sengketa hukum. Di samping itu, reformasi dan
amandemen UUD 1945 yang melahirkan sistem Pemilukada langsung juga
membuka ruang dan saluran bagi pihak-pihak yang merasa dirugikan untuk
mengajukan perkara ke lembaga-lembaga peradilan. Hal tersebut dimanfaatkan
secara luas sehingga jenis dan jumlah sengketa hukum dalam Pemilukada pun
meningkat tajam jika dibandingkan dengan era sebelumnya.
Adanya kelemahan dan celah hukum dalam peraturan
perundang-undangan menjadi sumber terjadinya sengketa hukum. Di samping itu,
xvi
sengketa hukum. Keberhasilan e-voting dalam pemilihan Kepala Dusun (Kadus)
menginspirasi Bupati Jembrana, I Gede Winasa, untuk menerapkan sistem
tersebut dalam Pemilukada Kabupaten Jembrana 2010. Untuk itu dilakukan
judicial review Undang-undang No. 32 Tahun 2004 terhadap UUD 1945 di MK
untuk mendapatkan landasan hukum. Penyebab lainnya adalah masalah anggaran.
Terjadi keterlambatan pencairan anggaran oleh Bupati Jembrana yang berdampak
pada penundaan tahapan dan sengketa hukum di PN Negara dan PTUN Denpasar.
Penyelenggara Pilkada merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya
sengketa hukum. Penyelenggara merupakan ujung tombak dan sekaligus sebagai
penanggung jawab keseluruhan tahapan Pemilukada mulai dari perencanaan,
pelaksanaan, dan penyelesaian. Kewenangan yang diberikan oleh peraturan
perundang-undangan kepada penyelenggara dalam pelaksanaannya, tidak jarang
mengalami kendala baik karena faktor internal penyelenggara itu sendiri maupun
karena faktor eksternal yang berdampak pada penyelenggara.
Dalam persidangan PHPU di MK muncul kecurigaan praktik pelibatan
unsur birokasi, lembaga adat dan agama. Praktik itu tidak terlepas dari kondisi
masyarakat Kabupaten Jembrana. Kondisi ekonomi, sosial budaya, serta perilaku
politik masyarakat dalam Pemilukada sangat penting dan berpengaruh terhadap
terjadinya sengketa hukum. Sikap elit dan masyarakat beragam, ada yang
menerima dan ada juga yang menolak praktik-praktik pelanggaran hukum yang
terjadi, namun dinamika tersebut tidak mengakibatkan gejolak dan konflik
horizontal dalam masyarakat.
Praktik money politics merupakan faktor yang paling signifikan memicu
konflik dan politik sengketa hukum. Meskipun praktik tersebut dilarang, akan
tetapi di lapangan masih marak terjadi. Dalam Pemilukada Kabupaten Jembrana
2010, praktik money politics dilakukan semua pasangan calon, sebagaimana
termuat dalam Putusan MK No. 3/PHPU.D-IX/2011. Segala aktivitas
penyelenggaraan negara termasuk Pemilukada harus berdasarkan hukum. Upaya
penegakan hukum berlangsung sangat dinamis. Terjadinya sengketa hukum baik
pihak-xvii
pihak yang berkepentingan menggunakan wacana kekuasaan dan jalur hukum
untuk mencapai maksud, tujuan, dan kepentingan masing-masing.
Secara hukum positif, sengketa hukum yang terjadi telah diperiksa, diadili,
dan diputus sesuai dengan hukum positif atau ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan dinyatakan telah selesai. Namun dalam perspektif
hukum progresif, sengketa hukum yang terjadi tidak semata-mata mengandung
makna tunggal tetapi kompleks dan dinamis. Pergulatan makna yang terjadi
diantaranya makna relasi kuasa/pengetahuan, transpolitika Pemilukada, serta
semiotika hukum sebagai “kebohongan” para pihak karena tujuan bersengketa
bukan mencari keadilan hukum, melainkan kemenangan dan kekuasaan dalam
Pemilukada. Pada titik ini, sengketa hukum bermakna sebagai kontestasi politik
dan persaingan elit dalam perebutan jabatan Bupati dan Wakil Bupati Jembrana.
Makna lainnya adalah makna ekonomi. Dalam penelitian ini makna ekonomi yang
ditemukan terdiri dari makna kapitalisme, makna komodifikasi, dan makna pasar
demokrasi dan demokrasi pasar. Tingginya biaya Pemilukada, menyebabkan
peranan modal dalam Pemilukada sangat penting dan menentukan. Fenomena
tersebut telah menjadikan Pemilukada sebagai arena industri politik dan arena
pasar demokrasi yang sangat transaksional.
Pergulatan makna sosial budaya refleksi postmodernisme makepung
politik ditemukan dalam penelitian ini. Di balik proses sengketa hukum,
relasi-relasi kuasa pengetahuan bekerja dalam hubungan-hubungan kompleks dan
dipengaruhi oleh kondisi sosial budaya masyarakat. Sengketa hukum dimaknai
sebagai budaya postmodern yang ditandai hadirnya teknologi informasi dalam
konteks budaya lokal setempat. Terjadi permainan makna kebenaran di mana
masing-masing pihak melakukan observasi, menganalisis, dan menginterpretasi
objek perkara dalam perspektif masing-masing sehingga tidak ada kebenaran
tunggal di dalamnya. Hal ini mengakibatkan sengketa hukum menjadi sangat
berliku dan unik jika dibandingkan dengan sengketa hukum dalam Pemilukada di
lima kabupaten/kota lainnya di Bali pada tahun 2010.
Politik sengketa hukum dalam Pemilukada Kabupaten Jembrana 2010
xviii
sengketa hukum yang terjadi, yaitu sengketa e-voting di MK, sengketa tahapan di
PN Negara, sengketa tahapan di PTUN Denpasar, dan sengketa hasil di MK.
Faktor-faktor penyebab terjadinya politik sengketa hukum yaitu arena pasar bebas
dan kecenderungan demokratisasi, reformasi dan amandemen UUD 1945,
peraturan perundang-undangan, kepemiluan dalam kasus Kabupaten Jembrana,
anggaran Pemilukada, penyelenggara Pemilukada, birokrasi, adat, dan agama,
kondisi masyarakat, praktik politik uang dalam Pemilukada, dan penegakan
hukum dalam Pemilukada.
Pergulatan makna politik sengketa hukum terdiri dari pergulatan makna
hukum positif, hukum progresif, makna demokrasi, makna ekonomi, dan makna
sosial budaya: refleksi postmodernisme makepung politik. Pergulatan makna yang
terkandung dalam politik sengketa hukum tersebut sangat beragam, tidak tunggal
melainkan dapat diihat dari berbagai perspektif dan kepentingan, bersifat
multidimensional karena berbagai entitas saling beririsan, dan bertautan di
dalamnya.
Saran
Politik sengketa hukum dalam Pemilukada Kabupaten Jembrana 2010
merupakan pengalaman berharga yang dapat diambil hikmahnya serta dijadikan
pelajaran penting dalam mengahadapi penyelenggaraan Pemilukada ke depan.
Politik sengketa hukum yang terjadi bersifat kompleks, dinamis, dan berdampak
luas terhadap penyelenggaraan Pemilukada. Jika hal tersebut tidak dicegah atau
dikelola dengan baik, akan menghambat tahapan Pemilukada.
Hukum Pemilukada dewasa ini, belum mampu mengatasi berbagai
pelanggaran dan kecurangan yang terjadi. Karena itu perlu dilakukan pendidikan
politik, penegakan budaya hukum, dan penguatan kearifan lokal masyarakat
setempat, secara lebih progresif dan berkelanjutan. Perlu dilakukan penelitian
lebih lanjut dan evaluasi secara lebih komprehensif terhadap pola penanganan
sengketa hukum Pemilukada, untuk memastikan kualitas Pemilukada dan
perkembangan demokrasi lokal di Indonesia akan semakin maju dari waktu ke
xix
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL DALAM……… i
HALAMAN PERSYARATAN GELAR MAGISTER………. ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING……… iii
HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI……… iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN………... v
UCAPAN TERIMA KASIH………... vi
ABSTRAK……… xi
ABSTRACT………. xii
RINGKASAN……….. xiii
DAFTAR ISI……… xix
GLOSARIUM……….. xxiv
DAFTAR SINGKATAN………. xxix
BAB I PENDAHULUAN………... 1
1.1 Latar Belakang Masalah………. 1
1.2 Rumusan Masalah………... 9
1.3 Tujuan Penelitian………. 9
1.3.1 Tujuan Umum……….. 9
1.3.2 Tujuan Khusus……….. 9
1.4 Manfaat Penelitian………... 10
1.4.1 Manfaat Teoritis………... 10
1.4.2 Manfaat Praktis……… 10
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN………. 12 2.1 Kajian Pustaka………. 12
2.2 Konsep………. 22
xx
2.2.2 Sengketa Hukum………..………... 24
2.2.3 Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah……….. 27
2.2.4 Kabupaten Jembrana……… 29
2.3 Landasan Teori……… 31
2.3.1 Teori Relasi Kuasa/Pengetahuan………. 31
2.3.2 Teori Transpolitika………... 36
2.3.3 Teori Semiotika Hukum………... 40
2.4 Model Penelitian………. 44
BAB III METODE PENELITIAN……… 47
3.1 Rancanan Penelitian……… 47
3.2 Lokasi Penelitian………. 48
3.3 Jenis dan Sumber Data……… 49
3.3.1 Jenis Data………. 49
3.3.2 Sumber Data………. 50
3.4 Penetuan Informan……….. 51
3.5 Instrumen Penelitian……… 52
3.6 Teknik Pengumpulan Data……….. 53
3.6.1 Observasi……….. 53
3.6.2 Wawancara………... 54
3.6.3 Studi Dokumen………. 56
3.6.4 Studi Kepustakaan……… 56
3.7 Teknik Analisis Data………..… 57
3.8 Penyajian Hasil Analisis Data………..……….. 58
BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN…………... 59
4.1 Kabupaten Jembrana………... 59
4.1.1 Lokasi Geografis……….. 59
4.1.2 Sejarah……….. 62
4.1.3 Kondisi Demografi………... 63
xxi
4.1.5 Perekonomian………... 67
4.1.6 Politik dan Pemerintahan………. 77
4.1.6.1 Kondisi Sosial Politik………..………..…... 77
4.1.6.2 Kondisi Pemerintahan Umum.……….. 80
4.1.6.3 Administrasi Pemerintahan..………. 81
4.1.6.4 Organisasi Daerah………. 82
4.2 Sejarah Sistem Pengisian Jabatan Kepala Daerah………... 83
4.2.1 Periode UUD 1945 (18 Agustus 1945 - 27 Desember 1949)………... 85
4.2.2 Periode UUD RIS 1949 (27 Desember 1949 - 17 Agustus 1950)... 88
4.2.3 Periode UUDS 1950 (17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959)... 89
4.2.4 Periode Kembali ke UUD 1945 (5 Juli 1959 - 18 Agustus 2000)... 90
4.2.5 Periode UUD NRI 1945 Pasca Amandemen (18 Agustus 2000 - sekarang)... 92 4.2.5.1 Undang-undang No. 32 Tahun 2004………. 93
4.2.5.2 Undang-undang No. 22 Tahun 2014………. 96
4.2.5.3 Perppu No. 1 Tahun 2014………. 98
4.3Pemilukada Kabupaten Jembrana 2010... 99
4.3.1 Anggaran...………. 99
4.3.2 Regulasi Pencalonan…..……….. 100
4.3.3 Persyaratan Dukungan Bakal Pasangan Calon... 101
4.3.4 Perolehan Suara Partai Politik dalam Pemilu 2009……….. 102
4.3.5 Pendaftaran Bakal Pasangan Calon……….………. 105
4.3.6 Penetapan Pasangan Calon dan Pengundian Nomor Urut………… 111
4.3.7 Jumlah DPT………..…... 113
4.3.8 Perolehan Suara Masing-Masing Pasangan Calon……….. 116
4.3.9 Penetapan Pasangan Calon Terpilih……… 117
BAB V PROSES POLITIK SENGKETA HUKUM DALAM PEMILUKADA KABUPATEN JEMBRANA 2010………….. 119
5.1 Sengketa E-Voting di Mahkamah Konstitusi……….. 119
xxii
5.3 Sengketa di PTUN Denpasar………..………… 167
5.4 Sengketa Hasil di MK……….……… 182
BAB VI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB POLITIK SENGKETA HUKUM DALAM PEMILUKADA KABUPATEN JEMBRANA 2010………. 211
6.1 Arena Pasar Bebas dan Kecenderungan Demokrasi………... 212
6.2 Reformasi dan Amandemen UUD 1945………. 222
6.3 Peraturan Perundang-undangan………... 233
6.4 Kepemiluan dalam Kasus E-Voting………..…………. 250
6.5 Anggaran Pemilukada dan Ketergantungan KPU………..……. 260
6.6 Penyelenggara Pemilukada………. 274
6.7 Birokrasi, Adat, dan Agama……… 283
6.8 Kondisi Elit dan Masyarakat……….……….. 303
6.9 Praktik Politik Uang dalam Pemilukada………. 312
6.10 Penegakan Hukum Pemilukada………. 323
BAB VII PERGULATAN MAKNA POLITIK SENGKETA HUKUM DALAM PEMILUKADA KABUPATEN JEMBRANA 2010………. 332
7.1 Pergulatan Makna Hukum Positif……….. 332
7.2 Pergulatan Makna Hukum Progresif………. 355
7.3 Pergulatan Makna Demokrasi………….……….. 377
7.4Pergulatan Makna Ekonomi………... 405
7.5 Pergulatan Makna Sosial Budaya: Refleksi Postmodernisme Makepung Politik... 413
BAB VIII PENUTUP………... 424
8.1 Simpulan………. 424
xxiii
DAFTAR PUSTAKA……….. 427
Lampiran I Panduan Wawancara Lampiran II Daftar Informan
xxiv
GLOSARIUM
amar putusan : suatu pernyataan yang diucapkan hakim di persidangan dan bertujuan mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak. Merupakan pernyataan hukum, penetapan suatu hak, lenyap atau timbulnya keadaan hukum dan isi putusan yang berupa pembebanan suatu prestasi tertentu.
tergugat : pihak yang digugat di pengadilan karena telah menimbulkan kerugian pada penggugat.
penggugat : pihak yang mengajukan perkara ke badan peradilan karena karena merasa dirugikan atau hak-haknya dilanggar, akan tetapi pihak yang melanggar haknya tidak mau secara sukarela melakukan sesuatu yang diminta penggugat.
eksepsi : tangkisan atau bantahan yang ditujukan kepada hal-hal yang menyangkut syarat-syarat atau formalitas gugatan yang mengakibatkan gugatan tidak dapat diterima.
e-voting : penggunaan hak pilih dalam Pemilu menggunakan
bantuan teknologi (secara elektronik). Pemilihan elektronik memfokuskan sistem pencatatan, pemberian suara atau pemilihan suara dalam Pemilu melibatkan teknologi informasi dan komunikasi (TIK).
globalisasi : koneksi global ekonomi, sosial, budaya, dan politik yang semakin mengarah ke berbagai arah di seluruh penjuru dunia. Globalisasi merupakan kekuatan tak terbendung, mengubah segala aspek kontemporer dari masyarakat, politik, dan ekonomi, serta mempengaruhi hampir semua aspek kehidupan masyarakat, termasuk aspek budaya dan aspek kehidupan berdemokrasi.
gugatan : pengajuan permintaan pemeriksaan suatu perkara yang mengandung sengketa atau konflik ke pengadilan.
xxv
hukum positif : paradigma hukum positif (positivisme hukum) memandang undang-undang sebagai sesuatu yang memuat hukum secara lengkap. Hukum adalah undang dan tugas hakim menerapkan ketentuan undang-undang secara mekanis dan linier sehingga penyelesaian permasalahan masyarakat sesuai bunyi undang-undang.
hukum progresif
: suatu istilah yang dicetuskan oleh Satjipto Rahardjo melalui tradisi berpikirnya yang kritis melahirkan suatu
gagasan “hukum untuk manusia, dan bukan sebaliknya”.
Hukum progresif mengambil sikap melampaui paham positivisme hukum, karena positivisme hukum adalah aliran pemikiran yang membahas konsep hukum secara eksklusif dan hanya melulu berpegang pada peraturan perundang-undangan.
kampanye : kegiatan dalam rangka meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program pasangan calon.
putusan sela : putusan yang diadakan sebelum hakim memutuskan perkara yaitu memungkinkan atau mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara, diucapkan di depan sidang terbuka untuk umum serta ditanda tangani oleh majelis hakim dan panitera yang turut bersidang.
kapitalisme : suatu ideologi dan sekaligus sistem dimanis dengan mekanisme yang selalu didorong oleh laba. Merupakan suatu paham di mana modal sebagai tiang penyangga utama dalam mencapai suatu tujuan.
komodifikasi : proses yang diasosiasikan dengan kapitalisme, di mana objek, kualitas, dan tanda berubah menjadi komiditas. Komoditas adalah sesuatu yang tersedia untuk dijual di dapat direduksi menjadi bentuk-bentuk dan determinasi-determinasi ekonomis terpusat atau menajadi karakter legal atau yuridis, namun membentuk kapiler terisolasi yang terjalin dalam jaringan seluruh tatanan sosial. Terdapat hubungan timbal balik yang saling membentuk antara kekuasaan dan pengetahuan sehingga pengetahuan menjadi tidak dapat dipisahkan dari rezim kekuasaan.
xxvi
kebebasan adalah nilai politik yang utama. Liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu. Paham liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama. Dalam Pemilukada, liberalisme itu semacam tarung bebas melalui mekanisme pasar atau survei.
mahkamah konstitusi
: mahkamah konstitusi (MK) merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam UUD NRI 1945
rapat
permusyawara tan hakim
: rapat permusyawaratan hakim (RPH) merupakan rapat tertutup untuk membahas atau memusyawarahkan atau memutus suatu perkara.
makepung : tradisi balap kerbau atau bullrace suatu balapan yang
terdiri dari dua sampai tiga pasang kerbau jantan yang masing-masing menarik satu pedati kecil. Tradisi ini merupakan ciri khas masyarakat di Kabupaten Jembrana, Bali.
panwaslu : lembaga penyelenggara pemilihan umum di tingkat kabupaten/kota yang diberi tugas dan wewenang dalam mengawasi penyelenggaraan pemilihan umum.
mediasi : cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan pada pihak dibantu oleh mediator.
money politics : perbuatan menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi pemilih yang dilakukan pasangan calon dan/atau tim kampanye dalam Pemilu.
para pihak : pihak-pihak yang terlibat dalam suatu perkara. Dalam perkara perselisihan hasil pemilihan yaitu pemohon, termohon, dan pihak terkait, sedangkan dalam perkara perdata penggugat dan tergugat.
komisi pemilihan umum
: lembaga penyelenggara pemilihan umum sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai penyelenggara pemilihan umum, yang diberi tugas dan wewenang dalam menyelenggarakan pemilihan.
xxvii
mengenai pengujian undang-undang terhadap UU NRI 1945 atau perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
globalisasi : penyempitan dunia secara intensif dan peningkatan kesadaran atas dunia yaitu semakin meningkatnya koneksi-koneksi global. Dunia menjadi tanpa batas ruang dan waktu.
pemilukada : pemilihan umum untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
pemohon : pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati yang menjadi peserta dalam Pemilukada yang merasa dirugikan.
pengadilan negeri
: suatu pengadilan yang memeriksa dan memutuskan perkara pidana dan perdata. Berkedudukan di ibu kota daerah kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota.
pengadilan tata usaha negara
: lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara.
pertimbangan hukum
: suatu tahapan dimana majelis hakim mempertimbangkan fakta yang terungkap selama persidangan berlangsung, mulai dari gugatan, jawaban, eksepsi dari tergugat yang dihungkan dengan alat bukti yang memenuhi syarat formil dan syarat materil, yang mencapai batas minimal pembuktian.
pihak terkait : pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati yang memperoleh suara terbanyak berdasarkan hasil rekapitulasi perhitungan suara yang ditetapkan Termohon dan mempunyai kepentingan langsung terhadap Permohonan yang diajukan Pemohon.
posita : dalil-dalil atau alasan gugatan yang menguraikan kejadian atau peristiwa dan tentang dasar hukumnya. Merupakan esensi gugatan kenapa penggugat mengajukan gugatan ke pengadilan.
xxviii
objektif, dan sebagainya. Mendefinisikan postmodern sangat sulit. Menurut Lyotard, didefinisikan sebagai ketidakpercayaan terhadap meta narasi, yaitu gagasan reduksionalistik dan teleologis sejarah kemanusiaan sebagaimana dalam narasi pencerahan dan marksisme.
saksi : orang yang mengetahui terjadinya suatu peristiwa, baik dengan melihat, mendengar, atau mengalaminya sendiri secara langsung, dan bukan opini dari orang tersebut.
semiotika : istilah yang berasal dari kata Yunani, “semion”/”tanda”, karena itu semiotika sering disebut sebagai “studi of signs” (suatu pengkajian tanda-tanda). Sebuah tanda adalah segala sesuatu yang dapat dipakai pengganti sesuatu yang lain secara signifikan, sesuatu yang lain tidak perlu benar-benar eksis atau berada di suatu tempat agar tanda dapat menggantikannya.
sengketa : suatu perbedaan pendapat, perbantahan, perselisihan, atau perkara di pengadilan. Sebuah konflik, yakni situasi di mana dua pihak atau lebih dihadapkan pada perbedaan-perbedaan kepentingan, menjadi sengketa bilamana pihak yang merasa dirugikan menyatakan rasa tidak puas atau keprihatinannya, baik secara langsung kepada pihak yang dianggap sebagai penyebab kerugian maupun kepada pihak lain.
termohon : pihak KPU/KIP provinsi atau KPU/KIP kabupaten/kota yang diajukan ke lembaga peradilan karena dianggap merugikan pemohon.
xxix
DAFTAR SINGKATAN
APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Bawaslu : Badan Pengawas Pemilu
BPS : Badan Pusat Statistik
DKPP : Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu
DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
IPTEK : Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
KPU : Komisi Pemilihan Umum
LKPJ : Laporan Keterangan Pertanggung Jawaban
LPE : Laju Pertumbuhan Ekonomi
MK : Mahkamah Konstitusi
PAD : Pendapatan Asli Daerah
Panwaslu : Panitia Pengawas Pemilu
PDRB : Pendapatan Domestik Regional Bruto
Pemilu : Pemilihan Umum
Pemilukada : Pemililihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Perppu : Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
PHPU : Perselisihan Hasil Pemilihan Umum
PN : Pengadilan Negeri
PP : Peraturan Pemerintah
PPK : Panitia Pemilihan Kecamatan
PTUN : Pengadilan Tata Usaha Negara
RPH : Rapat Permusyawaratan Hakim
xxx
TIK : Teknologi Informasi dan Komuniksi
TPS : Tempat Pemungutan Suara
UMKM : Usaha Mikro Kecil dan Menengah
UUD NRI : Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Sistem ketatanegaraan Indonesia didasarkan pada paham kedaulatan rakyat
dan negara hukum. Hal tersebut tercermin dalam pembukaan Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, yang selanjutnya disebut UUD NRI
1945, serta Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa “Kedaulatan
berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”, dan
Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara
hukum”. Hal tersebut menunjukkan bahwa negara Indonesia adalah penganut
paham kedaulatan rakyat dan sekaligus merupakan negara hukum.
Menurut Atmadja (2012: 87), inti dari teori kedaulatan rakyat adalah
domain kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Hal ini berarti bahwa
kehendak rakyat merupakan satu-satunya sumber kekuasaan bagi setiap
pemerintah. Dalam kaitan ini muncul adagium “solus populi supremalex” suara
rakyat adalah hukum yang tertinggi atau “volk vovuli vo dei”, “suara rakyat adalah
suara Tuhan”. Oleh karena itu, kedaulatan rakyat tetap harus dijamin karena
rakyatlah yang sesungguhnya pemilik negara dengan segala kewenangannya
untuk menjalankan kekuasaan negara, baik untuk legislatif, eksekutif, maupun
yudikatif.
Sementara itu, Bagijo (2014: 1) menyatakan bahwa konstelasi
2
setelah bergulirnya reformasi politik 1998. Tumbangnya kekuasaan Soeharto
setelah berkuasa lebih dari 30 tahun menandai dimulainya babak baru dalam
sistem negara Republik Indonesia. Dinamika ketatanegaraan Indonesia semakin
berkembang seiring adanya reformasi yang dibarengi dengan dilakukannya
amandemen terhadap Undang-undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945) yang
merupakan konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Amandemen
terhadap UUD 1945 dilakukan sebagai akibat dari adanya sejumlah kelemahan
pada UUD 1945, tuntutan reformasi, serta keinginan untuk memperkuat
keberadaan Indonesia sebagai negara hukum. Menurut Sumadi (2013: 1), dalam
konteks penguatan sistem hukum amandemen diharapkan mampu membawa
rakyat Indonesia mencapai tujuan bernegara yang dicita-citakan sehingga
perubahan UUD 1945 merupakan langkah strategis yang harus dilakukan dengan
saksama oleh bangsa Indonesia.
Perubahan dalam konstitusi tersebut melahirkan demokrasi yang
berkembang dan semakin dinamis. Kedaulatan rakyat diutamakan dengan
melakukan Pemilihan Umum ( Pemilu) secara langsung baik pada tingkat nasional
maupun daerah. Sistem Pemilu secara langsung berarti bahwa setiap warga negara
yang telah berhak, dapat secara langsung menggunakan hak pilihnya dalam
Pemilu. Hal ini membuka ruang bagi masyarakat untuk menentukan arah
pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah. Pemimpin yang dilahirkan melalui
proses Pemilu secara langsung, diharapkan menciptakan kebijakan-kebijakan
yang pro rakyat, dalam arti mampu menyerap aspirasi serta meningkatkan
3
Berdasarkan Pasal 18 Ayat (5) UUD NRI 1945, daerah memiliki
kekuasaan mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan untuk
menjalankan otonomi yang seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang
oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat. Otonomi daerah
melahirkan sistem Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung. Hal
tersebut diatur dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. Terkait dengan kedaulatan rakyat, pada dasarnya Pilkada merupakan
wujud nyata dari mekanisme pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam
penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Sejak pertama kali diselenggarakan pada tahun 2005, Pilkada di Indonesia
berlangsung sangat dinamis, penuh kontroversi, dan tidak terlepas dari berbagai
faktor yuridis maupun nonyuridis yang memengaruhinya. Salah satu faktor yang
sangat memengaruhi penyelenggaraan Pilkada adalah faktor yuridis seperti
peraturan perundang-undangan yang dijadikan dasar dalam penyelenggaraannya.
Di samping faktor yuridis, juga terdapat faktor non yuridis yang tidak kalah
pentingnya.
Fakta menujukan dalam peraturan perundang-undangan Pemilukada,
masih banyak ditemukan norma hukum yang bertentangan antara ketentuan yang
satu dengan yang lainnya (konflik norma), norma kabur, serta norma kosong
karena sejumlah urusan penting dan strategis belum diatur secara memadai sesuai
kebutuhan dan perkembangan zaman. Dalam praktiknya, pengaturan materi
muatan dalam peraturan perundang-undangan tentang sistem dan tahapan Pilkada,
4
lembaga penyelenggara, serta ketentuan-ketentuan menyangkut hak dan
kewajiban peserta dan masyarakat seringkali belum diatur secara komprehensif.
Peraturan perundang-undangan Pilkada seringkali mengalami perubahan secara
mendadak seiring dengan keputusan yang diambil oleh pejabat pembentuk
peraturan perundang-undangan yang berwenang, baik di tingkat pusat maupun
daerah.
Perubahan-perubahan tersebut meskipun bertujuan untuk mewujudkan
peningkatan kualitas Pilkada dan untuk menegakan cita-cita negara hukum yang
demokratis, tetapi dalam implementasinya tidak jarang menimbulkan
ketidakpastian hukum, keresahan di tengah-tengah masyarakat, konflik horizontal,
terancamnya hak-hak konstitusional warga negara, dan bahkan sengketa hukum di
berbagai lembaga peradilan.
Ketentuan tentang sistem dan tahapan Pilkada diatur dalam
Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan perubahannya, serta
dalam Undang-undang No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Dalam
Undang-undang No. 22 Tahun 2007, pengaturan Pemilu Legislatif, Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden, dan Pilkada disatukan dalam satu undang-undang.
Pemilu dan Pilkada diselenggarakan di samping oleh KPU, juga oleh Bawaslu.
Hal ini berarti bahwa Pilkada dimasukkan ke dalam rezim Pemilu seperti halnya
Pemilu Legislatif serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
pengisian jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diselenggarakan
5
Pada saat itu Pilkada masuk dalam rezim pemerintahan daerah. Selanjutnya
Pilkada dimasukkan ke dalam kelompok rezim Pemilu berdasarkan pada
Undang-undang No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu dan disebut dengan
istikah Pemilukada. Berdasarkan Undang-undang No. 22 Tahun 2007,
penyelenggaraan Pemilukada dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Provinsi untuk pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tingkat
provinsi, serta oleh KPU Kabupaten/Kota untuk pemilihan pemilihan Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah tingkat kabupaten/kota.
Sejalan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan penyelenggaraan
Pemilu, Undang-undang No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu
diganti dengan Undang-undang No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara
Pemilu. Dalam Undang-undang No. 15 Tahun 2011, diatur penyelenggara Pemilu
selain Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu),
juga Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Keberadaan DKPP
dimaksudkan untuk menegakkan kode etik penyelenggara Pemilu.
Penyelengaraan Pemilu di Bali baik pada tingkat provinsi maupun tingkat
kabupaten/kota secara umum berlangsung secara tertib, damai, dan tepat waktu.
Namun demikian, tidak jarang pada daerah tertentu berjalan sangat dinamis dan
bahkan penuh dengan kontroversi. Salah satu Pemilukada yang paling dinamis
dan kontroversial jika dibandingkan dengan Pemilukada di lima kabupaten/kota
lainnya di Provinsi Bali, yang diselenggarakan hampir bersmaan pada saat itu,
adalah Pemilukada Kabupaten Jembrana 2010. Pemilukada Kabupaten Jembrana
6
dipublikasikan secara luas di media massa. Di samping itu penyelenggaraan
Pemilukada Kabupaten Jembrana 2010 juga diwarnai sengketa hukum di
Pengadilan Negeri Negara (PN Negara), di Pengadilan Tata Usaha Negara
Denpasar (PTUN Denpasar), serta di Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta.
Politik sengketa hukum dalam Pemilukada Kabupaten Jembrana 2010
merupakan persoalan yang kompleks, bermula dari adanya konflik tentang sistem
pencoblosan dan tahapan Pemilukada. Tahapan Pemilukada tidak dapat
terlaksana tepat waktu dikarenakan adanya keinginan Pemerintah Kabupaten
Jembrana untuk menerapkan sistem pemungutan suara secara elektronik (
e-voting), sehingga anggaran Pemilukada tidak dicairkan sesuai jadwal yang telah
ditentukan. Hal ini berbeda dengan penyelenggaraan Pemilukada di lima
kabupaten/kota lainnya di Provinsi Bali.
Penyelenggaraan Pemilukada di lima kabupaten/kota di Provinsi Bali,
yaitu Kabupaten Tabanan, Kabupaten Badung, Kota Denpasar, Kabupaten Bangli,
dan Kabupaten Karangasem pada tanggal 4 Mei 2010, berjalan sesuai dengan
jadwal yang telah ditetapkan oleh KPU kabupaten/kota masing-masing. Akan
tetapi, tahapan Pemilukada Kabupaten Jembrana 2010 sempat terkatung-katung
dan dicabut oleh KPU Kabupaten Jembrana dikarenakan adanya kendala
pencairan anggaran yang bermuara pada terjadinya sengketa hukum.
Berdasarkan tahapan Pemilukada Kabupaten Jembrana yang telah
ditetapkan oleh KPU Kabupaten Jembrana melalui Keputusan KPU Kabupaten
Jembrana No. 01/I/BA/KPU.JBR/2010 tanggal 18 Januari 2010 tentang
7
Wakil Kepala Daerah Tahun 2010 di Kabupaten Jembrana, hari “h” pencoblosan
putaran pertama jatuh pada tanggal 26 Agustus 2010. Sementara itu, putaran
kedua direncanakan pada tanggal 12 Oktober 2010. Untuk memudahkan
penyebutan, tahapan Pemilukada tersebut diistilahkan sebagai “tahapan jilid satu”.
Berbagai kendala dihadapi oleh KPU Kabupaten Jembrana dalam melaksanakan
“tahapan jilid satu” tersebut. Kendala utama adalah tidak dicairkannya anggaran
oleh Bupati Jembrana, meskipun anggaran yang dibutuhkan untuk satu putaran
dan anggaran untuk pemungutan suara ulang sebesar Rp. 6,3 miliar sudah tersedia
dan masuk dalam Peraturan Daerah (Perda) No. 4 Tahun 2010 tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Jembrana.
Menyikapi ketidakpastian pencairan anggaran Pemilukada, dalam dengar
pendapat (hearing) antara KPU Kabupaten Jembrana dengan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Jembrana pada tanggal 11 Februari 2010,
yang dihadiri oleh KPU Provinsi Bali, Pemerintah Kabupaten Jembrana diberi
batas waktu (dead line) untuk mempersiapkan naskah hibah dan pencairan dana
paling lambat hingga tanggal 18 Februari 2010. Jika hal tersebut tidak dilakukan,
KPU Kabupaten Jembrana dapat menunda pelaksanaan Pemilukada. Pada batas
waktu yang telah ditentukan ternyata dana tetap tidak dicairkan oleh Pemerintah
Daerah Kabupaten Jembrana, sehingga pada tanggal 19 Februari 2010 KPU
Kabupaten Jembrana menggelar rapat pleno yang memutuskan penundaan
pelaksanaan Pemilukada Kabupaten Jembrana 2010 karena ketidakjelasan dan
ketidakpastian anggaran. Berita acara rapat pleno KPU Kabupaten Jembrana
8
Setelah ditandatanganinya naskah hibah anggaran Pemilukada antara KPU
Kabupaten Jembrana dan Bupati Jembrana pada saat itu (I Gede Winasa), KPU
Kabupaten Jembrana kembali menetapkan tahapan Pemilukada yang kedua
melalui Keputusan KPU Kabupaten Jembrana No. 04 Tahun 2010 tanggal 14
Juni 2010 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan
Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Jembrana Tahun
2010. Pelaksanaan tahapan Pemilukada yang kedua pun tidak berjalan dengan
lancar dan bahkan penuh dengan pro dan kontra.
Berdasarkan uraian di atas, politik sengketa hukum dalam Pemilukada
Jembrana 2010 merupakan persoalan yang kompleks dan muncul sebagai akibat
dari berbagai persoalan yang melatarbelakanginya. Penelitian mengenai politik
sengketa hukum yang terjadi secara kritis, mendalam, dan komprehensif sangat
diperlukan agar ke depan dapat dilakukan perbaikan-perbaikan menuju
terwujudnya pemilukada yang lebih demokratis, transparan, dan akuntabel sesuai
dengan standar-standar penyelenggaraan Pemilu, baik di tingkat nasional maupun
internasional.
Atas dasar latar belakang pemikiran dan kondisi di atas, politik sengketa
hukum dalam Pemilukada Kabupaten Jembrana 2010 perlu diteliti lebih kritis dan
mendalam dalam sebuah kajian budaya (cultural studies), sehingga dapat
diungkap, dipahami serta dimaknai proses, faktor-faktor penyebab, serta
pergulatan makna yang terkandung didalamnya, guna mencari solusi dalam
9
itu, penelitian tentang “Politik Sengketa Hukum dalam Pemilukada Kabupaten
Jembrana 2010” merupakan hal penting dan menarik untuk dilakukan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang telah diuraikan di atas, dalam penelitian ini
dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana proses politik sengketa hukum dalam Pemilukada Kabupaten
Jembrana 2010?
2. Faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya politik sengketa hukum dalam
Pemilukada Kabupaten Jembrana 2010?
3. Bagaimana pergulatan makna politik sengketa hukum dalam Pemilukada
Kabupaten Jembrana 2010?
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui, memahami, dan
mengungkap perihal politik sengketa hukum dalam Pemilukada Kabupaten
Jembrana 2010. Di samping itu, penelitian ini juga ditujukan sebagai bentuk
partisipasi penulis dalam pengembangan kajian budaya (cultural studies),
khususnya di ranah kekuasaan dalam Pemilukada.
1.3.2 Tujuan Khusus
10
1. Untuk mengetahui proses politik sengketa hukum dalam Pemilukada
Kabupaten Jembrana 2010.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya politik sengketa hukum
dalam Pemilukada Kabupaten Jembrana 2010.
3. Untuk menginterpretasi pergulatan makna politik sengketa hukum dalam
Pemilukada Kabupaten Jembrana 2010.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoretis
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat teoretis dalam
pengembangan ilmu pengetahuan dan memperkaya hasil penelitian dalam
bidang kajian budaya, khususnya budaya hukum dalam penyelenggaraan
Pemilukada.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi keilmuan bagi
studi tentang pengembangan sistem dan budaya Pemilu yang lebih demokratis,
serta bagi upaya pemecahan masalah sengketa hukum yang semakin
mendominasi penyelenggaraan Pemilukada.
3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi ilmiah yang
berkaitan dengan politik sengketa hukum dalam Pemilukada.
1.4.2 Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi kepada
11
penyelenggaraan Pemilukada, termasuk informasi tentang sisi lain dari sistem,
prosedur dan tahapan penyelenggaraan Pemilukada yang selama ini belum banyak
terungkap ke permukaan.
Sehubungan dengan hal tersebut, manfaat praktis dari penelitian ini adalah
sebagai berikut.
1. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangsih
atau kontribusi bagi pendidikan politik masyarakat dalam menghadapi
Pemilukada, sehingga mereka memiliki pemahaman yang komprehensif dan
dapat menggunakan hak dan kewajiban politiknya secara proporsional.
2. Bagi pemerintah dan DPR, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai
salah satu referensi dalam penyempurnaan peraturan perundang-undangan
Pemilu, terutama penyelenggaraan Pemilukada pada masa yang akan datang.
3. Bagi partai politik, tokoh masyarakat atau perseorangan yang berkeinginan
menjadi peserta Pemilukada , hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan
sebagai salah satu referensi untuk memahami seluk-beluk Pemilukada,
terutama tentang proses, faktor-faktor penyebab, serta pergulatan makna
politik sengketa hukum dalam Pemilukada.
4. Bagi penyelenggara Pemilu yaitu KPU, Bawaslu, dan Panwaslu hasil
penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai salah satu referensi