• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efikasi Nematoda Entomopatogen Heterorhabditis sp. dan Steinernema sp. Isolat Bogor Sebagai Bioinsektisida Terhadap Rayap Tanah Coptothermes curvignathus Holmgren

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efikasi Nematoda Entomopatogen Heterorhabditis sp. dan Steinernema sp. Isolat Bogor Sebagai Bioinsektisida Terhadap Rayap Tanah Coptothermes curvignathus Holmgren"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

Efikasi Nematoda Entomopatogen Heterorhabditis sp. dan

Steinernema sp. Isolat Bogor Sebagai Bioinsektisida Terhadap

Rayap Tanah Coptothermes curvignathus Holmgren

(Isoptera : Rhinotermitidae)

TANTY ERNINGTYAS

INS TIT

UT PERTA N

IA

N

B O G O R

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan tesis berjudul Efikasi Nematoda Entomopatogen

Heterorhabditis sp. dan Steinernema sp. Isolat Bogor Sebagai Bioinsektisida

Terhadap Rayap Tanah Coptothermes curvignathus Holmgren (Isoptera :

Rhinotermitidae) adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam

bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal

atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain

telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir

tesis ini

Bogor, Juli 2006

(3)

ABSTRACT

Tanty Erningtyas. Efficacy of Entomopathogenic Nematodes Heterorhabditis

sp and Steinernema sp. Isolate Bogor as a Biological Control Agents against

Subterranean Termite Coptotermes curvignathus Holmgren (Isoptera:

Rhinotermitidae), under supervision of Rudy C. Tarumingkeng and Teguh Santoso.

The subterranean termite, Coptotermes curvignathus Holmgren

(Isoptera: Rhinotermitidae) is the most important wood destroying termites in many regions in Indonesia. Their infestation on buildings, agricultural crops, and forest trees has caused significant economic loses. Meanwhile termite control technology still depend on termiticide application, which cause negative effect to environment. On the other hand, entomopathogenic nematodes is one of agents potential bio-control in controlling subterranean termites without negative effect to environment.

A research was conducted to evaluate the effectiveness of the

entomopathogenic nematodes Heterorhabditis sp and Steinernema sp as a

biological control agents against subterranean termites Coptotermes

curvignathus Holmgren in field test. Procedures of the research included the

rearing of the entomopathogenic nematodes, both in-vivo and in-vitro, the evaluation of the nematodes toxicity against subterranean termites (LC50 and LT50) and field evaluation of entomopahogenic nematodes against subterranean termite at field. The mortality of termites was analysis with Completed Randomized Design and Tukey's Test.

The effective deusity 600 IJ/ml of entomopathogenic nematodes

Heterorhabditis sp and Steinernema sp caused 100% mortality of subterranean

termites C. curvignathus. The LC50 value for the population of subterranean termites C. curvignathus for Steinernema sp was 322 IJ/ml and Heterorhabditis sp was 355 IJ/ml. The LT50 value for the population of subterranean termites

C. curvignathus was 33,94 hours for Steinernema sp and was 34,90 hours

Heterorhabditis sp. For the efficacy test, the mortality value of subterranean

termites C. curvignathus caused by Steinernema sp and Heterorhabditis sp

were 90,23 % and 85,65 % respectively. In field testing the mortality value of

subterranean termites C. curvignathus caused by Steinernema sp and

Heterorhabditis sp were 79,51 % and 94,40 % respectively. It is conclued that

Steinernema sp and Heterorhabditis sp can be used as biological control

against C. curvignathus.

Keywords --- entomopathogenic nematode, subterranean termite,

(4)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006

Hak cipta dilindungi

(5)

Efikasi Nematoda Entomopatogen Heterorhabditis sp. dan

Steinernema sp. Isolat Bogor Sebagai Bioinsektisida Terhadap

Rayap Tanah Coptothermes curvignathus Holmgren

(Isoptera : Rhinotermitidae)

TANTY ERNINGTYAS

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

Judul Penelitian : Efikasi Nematoda Entomopatogen Heterorhabditis sp.

dan Steinernema sp. Isolat Bogor Sebagai

Bioinsektisida Terhadap Rayap Tanah Coptothermes

curvignathus Holmgren (Isoptera : Rhinotermitidae)

Nama Mahasiswa : Tanty Erningtyas

NRP. : E 051040181

Program Studi : Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr.Ir. Rudy C. Tarumingkeng, MF Ketua

Dr. Ir. Teguh Santoso, DEA Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pontianak pada tanggal 27 Mei 1977 dari pasangan

yang berbahagia Bapak H. Karino dan Ibu Sutiyem. Penulis merupakan anak

kedua dari tiga bersaudara. Penulis menamatkan Sekolah Dasar Swasta Mekar II

Pontianak pada tahun 1989, kemudian menempuh pendidikan lanjutan pertama di

SMP Negeri 1 Pontianak. Selanjutnya menempuh pendidikan lanjutan atas di

SMA Negeri 2 Pontianak sampai tahun 1995.

Pada tahun 1995 melanjutkan kuliah di Fakultas Pertanian Jurusan

Kehutanan Universitas Tanjungpura Pontianak yang kemudian pada tahun 2000

menjadi Fakultas Kehutanan. Pada tahun 2001 penulis lulus dengan mendapat

gelar Sarjana Kehutanan. Sejak tahun 1999 hingga sekarang Penulis aktif dalam

berbagai kegiatan lingkungan hidup dan pemberdayaan masyarakat.

Pada September 2004 penulis melanjutkan pendidikan Program

Pascasarjana Magister Sains di IPB dengan bidang studi Ilmu Pengetahuan

(8)

PRAKATA

Syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmman

dan rahhim kepada penulis, serta salam dan salawat kepada Rasulullah

Muhammad SAW, sehingga penyusunan tesis ini dapat diselesaikan. Tesis dengan

judul : “Efikasi Nematoda Entomopatogen Heterorhabditis sp dan

Steinernema sp Isolat Bogor Sebagai Bioinsektisida Terhadap Rayap Tanah

Coptothermes curvignathus Holmgren (Isoptera : Rhinotermitidae)” ini

disusun sebagai salah satu syarat penyelesaian studi Sekolah Pascasarjana

Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Penyusunan tesis ini tidak terlepas dari bantuan dan arahan berbagai pihak.

Ucapan terimakasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr.

Ir. Rudy C. Tarumingkeng, MF dan Bapak Dr. Ir. Teguh Santoso, DEA sebagai

komisi pembimbing dengan segala kebaikan dan keikhlasannya memberikan ilmu

pengetahuan kepada penulis, semoga ilmu ini dapat berkembang, bermanfaat dan

memberikan berkah kepada semua orang. Terimakasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir.

Surjono Surjokusumo, MF selaku Penguji Luar Komisi dan Bapak Dr. Ir. Rinekso

Soekmadi, M.Sc selaku Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan.

Penulis menyampaikan terima kasih atas bantuan finansial yang diberikan

dalam pelaksanaan penelitian oleh Hibah Pasca. Penelitian ini merupakan bagian

dalam penelitian Hibah Penelitian Tim Pascasarjana (Hibah Pasca) yang berjudul:

Pengendalian Terpadu Koloni Rayap Tanah Genus Coptotermes Pada Lingkungan

Permukiman di Pulau Jawa Berdasarkan Informasi Genetik dan Kelas Bahaya

Rayap dengan ketua peneliti Prof. Dr. Rudy C Tarumingkeng, MF.

Terimakasih untuk Ibu dan Bapak tersayang yang senantiasa merestui dan

percaya apapun jalan yang penulis pilih. Saudara-saudaraku Tuty Rahayu, Ambar

Pratiwi, SE., Dyah Muharini, S.Stp dan Ir. Iwan F., MP yang senantiasa

memberiku semangat. Terimakasih kepada Ir. Fahrizal, MP yang mendorongku

untuk sekolah lagi dan Dr. Farah Diba, S.Hut, Msi yang menginspirasi dan

senantiasa membantu penulis dari pertama kali ke Bogor hingga saat ini.

(9)

Aryati, ST, M.Si, Ir. Desyanti, M.Si, Niken Subekti, S.Si, M.Si, Arinana, S.Hut,

M.Si, Ir. Yudi Rismayadi, M.Si, Lia Herawati, SP, Pak Anhari dan teman-teman

di CV. Protek. Terimakasih buat teman-teman Mapala Lawalata-IPB yang setia

membantu penulis selama penelitian di lapangan. Serta terimakasih yang

mendalam buat rekan-rekan di Borneo Center dan Mapala UNTAN yang

membuat semua tantangan menjadi mudah dan menyenangkan.

Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penyusun menyadari bahwa tesis

ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik perbaikan sangat

diharapkan. Semoga tesis ini dapat bermanfaat.

Bogor, Juli 2006

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL……….. x

DAFTAR GAMBAR………. xi

DAFTAR LAMPIRAN………. xii

PENDAHULUAN…….………... 1

TINJAUAN PUSTAKA………..……… 5

Rayap………. Morfologi, Persebaran dan Taksonomi Rayap…………...……… Biologi Rayap………. Biologi dan Siklus Hidup Nematoda Entomopatogen... Potensi Nematoda Sebagai Agens Pengendali Hayati ……... 16 16 18 BAHAN DAN METODE ………..……….……… 20

Waktu dan Tempat Penelitian.……….. 20

Bahan Penelitian ………... 20

Metode Penelitian……….. 24

HASIL DAN PEMBAHASAN……….……….. 29

Keefektifan Nematoda Terhadap Rayap Tanah C. Curvignathus……….

Uji Efikasi Nematoda Terhadap Rayap Tanah C. curvignathus Dalam

Termitarium………...…………

Efikasi NEP terhadap Rayap Tanah C. curvignathus Di

Lapangan……

29

(11)

KESIMPULAN DAN SARAN ………. 40 Kesimpulan………...… Saran……….….…………...

40 40

DAFTAR PUSTAKA……….. 41

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Mortalitas Rayap tanah C. curvignathus 48 Jam setelah

Perlakuan Berbagai Kerapatan Nematoda Steinernema sp. dan

Heterorhabditis sp. ... 29

2 Nilai LC50 Steinernema sp. dan Heterorhabditis sp. Terhadap

C. curvignathus... 31

3 Mortalitas Rayap Tanah C. curvignathus Akibat Perlakuan

Berbagai Waktu Kontak dengan Nematoda Steinernema sp.

dan Heterorhabditis sp... 32

4 Nilai LT50 Steinernema sp. dan Heterorhabditis sp. terhadap

C. curvignathus... 33

5 Mortalitas Rayap Tanah pada 48 Jam akibat perlakuan

Nematoda Steinernema sp. dan Heterorhabditis sp. terhadapC.

curvignathus ... 34

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Siklus Hidup Nematoda Entomopatogen (Sumber : H. Kaya ,1993)... 17

2. Heterorhabditis sp. (a. Infektif juvenil; b. Dewasa)... 21

3. Steinernema sp. (a. Betina; b. Jantan)... 21

4. Inokulasi nematoda pada ulat Tenebrio Molitor... 22

5. Metode White trap... 22

6. Perbanyakan nematoda secara in vitro... 23

7. Termitarium yang digunakan pada Uji Potensi Nematoda…………... 26

8. Mortalitas Rayap tanah C. curvignathus Akibat Perlakuan Berbagai Kerapatan Nematoda Steinernema sp. dan Heterorhabditis sp... 30

9. Mortalitas Rayap Tanah C. curvignathus Akibat Perlakuan Berbagai Taraf Waktu Kontak dengan Nematoda Steinernema sp. dan Heterorhabditis sp………. 32 10. Tubuh rayap yang mengering akibat serangan nematoda... 35

11. Mortalitas Rayap Tanah C. curvignathus pada Uji Termitarium dan Uji Lapang……….. 37

12. (a) Heterorhabditis sp. yang bersifat cruising. (b) Steinernema sp.

yang bersifat ambushing...

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Mortalitas Rayap Tanah C. curvignathus pada Berbagai Kerapatan

Nematoda Steinernema sp (LC50)... 46

2 Mortalitas Rayap Tanah C. curvignathus pada Berbagai Kerapatan

Nematoda Heterorhabditis sp

(LC50)……...……….

46

3 Mortalitas Rayap Tanah C. curvignathus pada Berbagai Waktu

Kontak dengan Nematoda Steinernema sp (LT50)... 46

4 Mortalitas Rayap Tanah C. curvignathus pada Berbagai Waktu

Kontak dengan Nematoda Heterorhabditis sp

(LT50)...

47

5 Analisis Ragam Mortalitas Rayap Tanah C. curvignathus pada

Berbagai Kerapatan Nematoda Steinernema sp (LC50)... 47

6 Analisis Ragam Mortalitas Rayap Tanah C. curvignathus pada

Berbagai Kerapatan Nematoda Heterorhabditis sp (LC50)………….… 47

7 Analisis Ragam Mortalitas Rayap Tanah C. curvignathus pada

Berbagai Waktu Kontak dengan Nematoda Steinernema sp (LT50)…...

48

8 Analisis Ragam Mortalitas Rayap Tanah C. curvignathus pada

Berbagai Waktu Kontak dengan Nematoda Heterorhabditis sp

(LT50)..

48

9 Mortalitas Rayap Tanah C. curvignathus terhadap Nematoda

Steinernema sp. pada Uji Efikasi di Termitarium ……….. 49

10 Mortalitas Rayap Tanah C. curvignathus terhadap Nematoda

Heterorhabditis sp. pada Uji Efikasi di

Termitarium……….

49

11 Mortalitas Rayap Tanah C. curvignathus pada Uji Lapang Nematoda

Heterorhabditis sp……… 50

12 Mortalitas Rayap Tanah C. curvignathus terhadap Nematoda

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Rayap merupakan serangga sosial pemakan selulosa yang termasuk ke

dalam ordo Isoptera. Hampir di seluruh daerah tropika dan subtropika rayap

dikenal sebagai hama yang banyak mengakibatkan kerusakan pada tanaman dan

hasil hutan. Indonesia sebagai negara tropik dengan iklim dan cuaca yang

hangat sepanjang tahun merupakan tempat hidup yang sangat sesuai bagi

organisme perusak kayu ini. Diperkirakan bahwa hampir 80 - 85 % dari luas

daratan di Indonesia merupakan habitat yang sesuai bagi kehidupan rayap

(Nandika, 1999).

Di seluruh dunia kira-kira terdapat 2500 jenis rayap dan sekitar 120 jenis

merupakan serangga hama (Harris, 1971). Di Indonesia sendiri telah ditemukan

tidak kurang dari 200 jenis rayap dan baru sekitar 20 jeniss yang diketahui

berperan sebagai hama perusak kayu serta hama tanaman hutan dan pertanian

(Tarumingkeng, 1971).

Dari sekian banyak rayap, ternyata yang paling banyak menimbulkan

kerusakan adalah golongan rayap tanah (subteranean termites), yaitu dari

famili Rhinotermitidae serta sebagian anggota famili Termitidae (Tambunan

dan Nandika, 1989). Berdasarkan hasil penelitian di Thailand, kerusakan

pada bangunan yang diakibatkan oleh serangan rayap tanah dari anggota

genus Coptotermes (Famili Rhinotermitidae) menimbulkan kerugian

ekonomis cukup besar mencapai $ 2,2 juta setiap tahun. Sementara di

Amerika Serikat hampir 80 % dari biaya pengendalian rayap ditujukan

untuk mengendalikan rayap tanah (Su, 1994).

Di Indonesia, rayap tanah Coptotermes curvignathus Holmgren (Isoptera :

Rhinotermitidae), merupakan jenis rayap perusak kayu bangunan yang paling

banyak menyebabkan kerugian. Keadaan itu diperburuk dengan penggunaan

jenis-jenis kayu yang keawetannya rendah. Kian tahun intensitas serangan rayap

pada bangunan perumahan dan gedung-gedung semakin meningkat. Menurut

(16)

bangunan gedung akibat serangan rayap di kota-kota besar seperti Jakarta,

Surabaya, Bandung dan Batam mencapai lebih 70% dan menimbulkan kerugian

ekonomis mencapai 1,67 trilyun rupiah. Bahan-bahan yang dapat dirusak oleh

rayap sangatlah beraneka ragam, bukan hanya terjadi pada kayu tetapi juga kertas

termasuk dokumen-dokumen dan hasil-hasil kesenian yang sangat berharga,

karton, pakaian, jaringan-jaringan tanaman dan berbagai jenis bahan berselulosa

lainnya.

Teknologi pengendalian rayap yang telah dilakukan sampai saat ini yaitu

penggunaan termitisida kimiawi yang diaplikasikan melalui tanah atau dengan

cara impregnasi ke dalam kayu (chemical barrier), penggunaan penghalang

fisik (physical barrier) guna mencegah penetrasi rayap pada bangunan dan

teknologi pengumpanan (baiting) untuk mengeliminasi koloni rayap.

Penggunaan termitisida memang relatif lebih cepat terlihat hasilnya, akan

tetapi kekhawatiran yang timbul akibat efek negatif penggunaan bahan kimia yang

menyertai tak dapat diabaikan. Baik itu efek yang dirasakan saat ini maupun

dimasa yang akan datang seperti pencemaran air dan tanah, resistensi serangga

dan bahaya terhadap tubuh manusia sendiri. Untuk itu perlu dikembangkan suatu

teknologi pengendalian rayap yang lebih ramah lingkungan.

Pengendalian rayap secara biologis menggunakan agens hayati nematoda

entomopatogen merupakan alternatif lain pengendalian rayap tanah. Beberapa

spesies nematoda yang telah digunakan untuk mengendalikan rayap adalah

Heterorhabditis bacteriophora, Steinernema capocapsae dan Steinernema

riobrave (Pearce, 1997). Nematoda entomopatogen tersebut mampu

mengendalikan rayap yang sarangnya terdapat di permukaan tanah maupun di atas

pohon (Logan et al., 1990). Pada tahun 1988, Epsky dan Capinera (1994) meneliti

nematoda Steinernema sp. sebagai pengendali hayati pada rayap Reticulitermes

sp. Steinernema ini juga dicobakan di Cina pada spesies rayap R. speratus dan C.

formosus. Penelitian tersebut menunjukan bahwa nematoda entomopatogen

mampu berperan baik sebagai agens pengendali rayap.

Berdasarkan pertimbangan tersebut penelitian tentang keefektifan

(17)

sp. dan Heterorhabditis sp. sebagai agens pengendali hayati rayap tanah C.

curvignathus pada pengujian lapang perlu dilakukan. Hasil penelitian ini

diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi tentang teknologi alternatif

pengendalian rayap perusak kayu yang ramah lingkungan.

Perumusan Masalah

Saat ini umumnya teknologi pengendalian rayap masih bertumpu pada

penggunaan pestisida kimia anti rayap (termitisida). Penggunaan bahan kimia

tersebut dapat menimbulkan masalah lingkungan dan berpotensi meracuni

manusia, karena senyawa kimia yang digunakan sulit terurai. Untuk itu, perlu

upaya pengendalian serangan rayap tanah secara terpadu. Pengendalian rayap

secara terpadu memiliki dasar ekologis, biologi dan tingkah laku serangga dan hal

ini berhubungan dengan faktor-faktor mortalitas alami, seperti dengan

pengendalian hayati yang memiliki dampak negatif yang sangat minimal.

Pengendalian hayati untuk menekan populasi rayap tanah C. curvignathus

saat ini lebih diarahkan untuk dikembangkan guna menghindari efek negatif

penggunaan bahan-bahan kimiawi. Salah satu cara adalah dengan memanipulasi

musuh alami sehingga dapat mengurangi populasi rayap sampai batas normal,

yaitu batas yang dapat diterima secara ekonomi dan mengembalikan peran rayap

sebagai dekomposer bukan sebagai hama perusak. Nematoda sebagai salah satu

musuh alami rayap merupakan agens pengendali biologi yang cukup efektif

dikarenakan habitat antara keduanya selalu berhubungan dengan tanah.

Pengembangan pengendalian menggunakan nematoda saat ini hanya terbatas di

laboratorium. Keberhasilan penggunaan nematoda tak lepas dari proses infeksi

(penularan) nematoda terhadap rayap dalam koloninya. Kelebihan nematoda

sebagai agens biokontrol adalah kemampuannya untuk bergerak mencari hama.

Disamping itu karena nematoda cukup mampu bertahan di lingkungan, penularan

dari saru individu rayap ke individu lain diharapkan memberikan dampak

pengendalian yang lebih efisien.

Untuk meningkatkan mutu bangunan yang aman terhadap serangan rayap

(18)

pengendalian secara hayati dengan menggunakan nematoda entomopatogen

Steinernema sp. dan Heterorhabditis sp. isolat lokal. Isolat lokal dipilih karena

sudah dianggap beradaptasi dengan ekosistem setempat sehingga tidak akan

mengakibatkan gangguan keseimbangan ekologi.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan bioinsektisida

nematoda entomopatogen Steinernema sp. dan Heterorhabditis sp. dalam

mengendalikan rayap tanah C. curvignathus pada pengujian laboratorium dan

lapang.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi teknologi alternatif pengendalian

rayap perusak kayu dan yang ramah lingkungan guna mendukung peningkatan

mutu bangunan gedung di Indonesia.

Hipotesis

Aplikasi nematoda entomopatogen ke dalam sarang rayap menghasilkan

penularan nematoda patogen terhadap rayap dalam koloninya.

Penggunaan nematoda entomopatogen sebagai bioinsektisida hayati mampu

(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Rayap

Morfologi, Persebaran dan Taksonomi Rayap

Rayap adalah serangga yang ukurannya kecil sampai sedang, hidup dalam

kelompok-kelompok sosial dengan sistem kasta yang berkembang sempurna.

Dalam koloni terdapat rayap bersayap dan tidak bersayap, juga ada yang bersayap

pendek. Sayapnya berjumlah empat buah, berbentuk seperti selaput dengan

pertulangan yang sederhana dan reticulate. Bentuk, ukuran dan tekstur sayap

depan sama dengan sayap belakang dan oleh karena itu dimasukan dalam ordo

Isoptera (iso = sama, ptera = sayap) (Borror dan De Long, 1954). Perbedaan

utama antara rayap dengan serangga sosial seperti semut dan lebah adalah pada

semut dan lebah memiliki tahap larva dan pupa yang tidak aktif di dalam

koloninya sedangkan pada rayap, nimfa yang sering disebut rayap muda

mempunyai aktifitas yang tinggi (Pearce, 1997). Perbedaan lainnya adalah pada

rayap, raja atau rayap jantan dan ratu rayap atau rayap betina tetap hidup selama

waktu hidupnya dan tidak mati setelah kawin.

Beberapa negara sub-tropik mengenal rayap sebagai semut putih (white ant)

karena secara sepintas antar keduanya mempunyai penampilan yang hampir sama

(Pearce, 1997). Namun sesungguhnya antara rayap dan semut tidak memiliki

hubungan filogenetika yang dekat bahkan secara morfologi antara keduanya

mudah dibedakan. Rayap memiliki antena yang lurus dan berbentuk manik,

sedangkan semut memiliki antena yang menyiku. Toraks dan abdomen rayap

bergabung dalam ukuran yang hampir sama, sedangkan toraks dan dan abdomen

semut bergabung dengan pinggang yang ramping. Sayap-sayap rayap memiliki

bentuk, ukuran dan pola yang serupa disertai pertulangan sayap yang banyak dan

berukuran kecil, sedangkan sayap semut memiliki bentuk, ukuran dan pola yang

berlainan dengan pertulangan yang sedikit (Tambunan dan Nandika, 1989).

Menurut Tarumingkeng (1971) dari segi filogenetika semut mendekati golongan

lebah, sehingga keduanya dicakup dalam ordo yang sama Hymenoptera,

(20)

Secara filogenetika rayap (Ordo Isoptera) dibagi ke dalam dua kelompok,

yaitu rayap tingkat rendah (lower termites) dan rayap tingkat tinggi (higher

termites). Perbedaan antara keduanya antara lain terletak pada tingkat pengaturan

organisasi di dalam koloninya dan simbion pada sistem pencernaan yang berperan

dalam proses penguraian selulosa. Pada rayap tingkat rendah umumnya simbion

yang hidup di dalam saluran pencernaannya adalah dari golongan protozoa

sedangkan pada rayap tingkat tinggi peranan protozoa digantikan oleh bakteri.

Rayap tingkat rendah terdiri dari enam famili, yaitu: Mastotermitidae,

Kalotermitidae, Hodotermitidae, Termopsidae, Rhinotermitidae, dan

Serretermitidae (Krishna 1970).

Rayap tersebar tidak hanya di daerah tropik tapi juga mencakup sebagian

besar daerah sub tropik. Sebarannya bahkan cenderung meluas ke daerah-daerah

beriklim sedang dengan batas-batas 50° LU dan LS (Pearce, 1997). Di daerah

tropik rayap dapat dijumpai mulai dari daerah pantai sampai daerah dengan

ketinggian 3000 meter di atas permukaan laut. Hingga saat ini di dunia terdapat

lebih dari 2500 jenis rayap yang terbagi ke dalam tujuh famili, 15 sub-famili, dan

200 genus. Di Indonesia sampai dengan tahun 1970 sudah ditemukan tidak kurang

dari 200 jenis rayap dari berbagai genus (Tarumingkeng, 1971).

Rayap termasuk kelompok serangga sosial yang hidup dalam koloni-koloni

dengan pembagian kasta yang jelas. Menurut Kofoid (1946) dan Roonwal (1978)

di dalam koloni setiap jenis rayap terdapat tiga kasta yang memiliki bentuk yang

berbeda sesuai dengan fungsinya masing-masing, yaitu: kasta reproduktif, kasta

prajurit, dan kasta pekerja.

Kasta reproduktif terdiri atas individu-individu seksual yaitu betina (ratu)

yang tugasnya bertelur dan jantan (raja) yang tugasnya membuahi betina. Kasta

ini dibedakan menjadi kasta reproduktif primer dan kasta reproduktif suplementer

atau neoten. Kasta reproduktif primer terdiri atas serangga-serangga dewasa yang

bersayap dan merupakan pendiri koloni. Menurut Richard dan Davies (1996)

kasta reproduktif suplementer muncul segera setelah kasta reproduktif primer mati

(21)

dalam jumlah yang besar sesuai dengan perkembangan koloni. Selanjutnya, kasta

ini menggantikan fungsi kasta reproduktif primer untuk perkembangan koloni.

Kasta prajurit berfungsi melindungi koloni terhadap gangguan dari luar,

khususnya semut dan vertebrata pemangsa (Tambunan dan Nandika, 1989).

Kasta pekerja merupakan anggota koloni yang sangat penting dalam koloni

rayap. Tidak kurang dari 80% populasi dalam koloni rayap merupakan

individu-individu kasta pekerja. Kasta pekerja umumnya berwarna pucat dengan kutikula

hanya sedikit mengalami penebalan sehingga tampak menyerupai nimfa (Richards

dan Davies, 1996). Fungsi kasta pekerja adalah sebagai pencari makan, merawat

telur, membuat dan memelihara sarang, serta membunuh dan memakan

rayap-rayap yang tidak produktif). Sifat kanibalisme berfungsi untuk mempertahankan

prinsip efisiensi dan konservasi energi, dan berperan dalam mengatur

keseimbangan koloni (Tarumingkeng 1971).

Menurut Harris (1971) dari tujuh famili rayap, famili Rhinotermitidae,

Kalotermitidae dan Termitidae paling banyak menimbulkan masalah

kerusakan. Jenis-jenis terpenting dari keluarga Rhinotermitidae adalah C.

curvignathus dan C. travians. Tho (1992) menyatakan bahwa jenis rayap dalam

famili Coptotermitidae masih sulit dibedakan secara teliti, terdapat beberapa jenis

yang secara morfologi sangat mirip tetapi dapat dipisahkan berdasarkan perbedaan

yang sangat kecil. Menurut Tambunan dan Nandika (1989), C. curvignathus

merupakan salah satu rayap tanah paling luas serangannya di Indonesia. Adapun

(22)

Phylum

C. curvignathus Holmgren

Rengas atau anai-anai putih

Menurut Tarumingkeng (1971), ciri-ciri famili Rhinotermitidae adalah

memiliki fontanel (ubun-ubun) yang merupakan sebuah tempat yang pucat,

kecil dan cekung di bagian depan kepala antara dua mata, pronotum agak datar

dan lebih lebih sempit dari kepalanya.

Kepala berwarna kuning, antena, labrum, dan pronotum kuning pucat.

Bentuk kepala bulat dengan ukuran panjang sedikit lebih besar daripada

lebarnya, memiliki fontanel yang lebar. Antena terdiri dari 15 segmen; segmen

kedua dan segmen keempat sama panjangnya (Thapa, 1981).

Mandibel berbentuk seperti arit dan melengkung di ujungnya; batas

antara sebelah dalam dari mandibel kanan sama sekali rata. Panjang kepala

dengan mandibel 2,46 - 2,66 mm, panjang kepala tanpa mandibel 1,56 - 1,68

mm. Lebar kepala 1,40 - 1,44 mm dengan lebar pronotum 1,00 - 1,03 mm dan

panjangnya 0,56 mm (Thapa, 1981). Panjang badan 5,5 - 6 mm. Bagian

abdomen ditutupi dengan rambut yang menyerupai duri. Abdomen berwarna

putih kekuning-kuningan.

Kasta reproduktif mempunyai panjang badan 7,5 - 8,0 mm, sedang yang

bersayap, panjang sayap direntangkan adalah 15 - 16 mm. Kasta pekerja

panjangnya 4,5 - 5 mm, prajurit 5 - 5,3 mm dengan panjang mandibel ± 0,9

(23)

berukuran lebih besar dari C. travians, dan dapat dikatakan C. curvignathus

merupakan jenis yang berukuran paling besar dari pada rayap Coptotermes

lainnya di Indonesia. Menurut Tarumingkeng (1971) ukuran prajurit C.

curvignathus 3,2 – 3,8 mm, sedangkan ukuran prajurit C.travians lebih

pendek.

Biologi Rayap

Harris (1971) menyatakan terdapat tiga cara yang berbeda di dalam

pembentukan koloni rayap, yaitu; (1) melalui sepasang imago rayap yang

bersayap atau rayap penerbang (laron); (2) melalui pemisahan koloni dari koloni

utama dan membentuk kasta reproduksi suplementer; dan (3) melalui proses

migrasi dari sebagian koloni rayap termasuk kasta reproduktif ke sebuah tempat

baru, selanjutnya koloni yang tertinggal mengembangkan kasta reproduktif

suplementer. Menurut Lee dan Wood (1971) koloni rayap dibentuk oleh

sepasang kasta reproduktif bersayap dan melalui fragmentasi koloni. Demikian

juga menurut Tarumingkeng (1971), satu koloni rayap terbentuk dari sepasang

rayap bersayap (laron) betina dan jantan yang melakukan kopulasi dan

menemukan habitat yang cocok. Koloni rayap terbentuk pula melalui fragmen

koloni yang terpisah dari koloni utama karena suatu bencana yang menimpa

koloni utama.

Kasta reproduktif bersayap akan muncul dari koloni pada musim-musim

tertentu, dan berkumpul di dalam koloni sebelum bersialang (swarming) keluar

sarang. Beberapa jenis rayap di daerah tropik bersialang pada awal musim

hujan. Masa bersialang ini merupakan masa perkawinan sepasang imago yang

bertemu dan segera meninggalkan sayapnya serta mencari tempat yang sesuai

di dalam tanah atau kayu. Pemilihan sarang mungkin pula terjadi sebelum

kasta reproduksi berpasangan (Lee dan Wood, 1971).

Famili Rinotermitidae dikenal sebagai rayap tanah. Jenis rayap ini bisa

hidup meski tanpa berhubungan dengan tanah jika kayu yang diserang

(24)

yang memperoleh air hujan karena kebocoran atap dan bagian-bagian dekat

kamar mandi.

Oganisasi dari anggota famili ini sudah sedikit lebih maju dari pada

Kalotermitidae. Pembagian kerja sudah ada, jumlah anggota koloni lebih besar.

Makanannya diperoleh dari kayu (baik yang masih hidup atau mati), bambu

dan bahan-bahan berselulosa lainnya. Menurut Jonnes dan Trosset (1991)

dalam satu koloni besar terdapat pembiak, pekerja dan prajurit dengan tubuh

dan fungsi yang berbeda. Kasta reproduktif primer terdiri dari ratu dan raja

sedangkan kasta reproduktif sekunder terdiri dari individu yang dapat

menggantikan kedudukan ratu dan raja apabila diperlukan. Tugas kasta pekerja

ialah mencari, memberi makan dan memelihara anggota koloni. Sedangkan

kasta prajurit menjaga keamanan koloni terhadap gangguan dari luar sehingga

bentuk kepala dan mandibelnya besar. Apabila diganggu, kasta prajurit akan

mengeluarkan cairan (eksudat) seperti susu dari lubang fontanel yang terdapat

di kepalanya (Soemarni, 1983). Ratu semasa hidupnya hanya menghasilkan

telur sedangkan makannya dilayani pekerja. Seekor ratu dapat hidup selama 6 -

20 tahun, bahkan sampai berpuluh-puluh tahun (Roonwall, 1978). Jika kasta

reproduktif mati atau koloni membutuhkan pertambahan kasta reproduktif bagi

perluasan koloni, akan dibentuk kasta reproduktif sekunder (neoten). Neoten

terbentuk beberapa kali dalam jumlah besar sesuai dengan perkembangan

koloni. Beberapa jenis rayap dapat membentuk kasta reproduktif dari pekerja,

yaitu apabila kasta pekerja tersebut akan berfungsi sebagai ratu baru, sehingga

terbentuk koloni baru yang lengkap (Su et al., 1997).

Koloni rayap dapat hidup pada kedalaman tanah hingga 5 - 6 meter untuk

berlindung dari perubahan cuaca yang kurang menguntungkan. Koloni dapat

mencapai jumlah maksimal 200.000 individu dan pada beberapa spesies

tertentu dapat berjumlah lebih banyak lagi dalam waktu 4 - 5 tahun. Koloni

akan muncul saat imago rayap reproduktif jantan dan betina bertemu. Ratu

rayap dapat hidup lebih dari 25 tahun dan mampu meninggalkan telur hingga

60.000 butir selama hidupnya. Telur-telur tersebut berwarna putih kekuningan

(25)

Rayap pekerja dan rayap prajurit tidak dapat menghasilkan keturunan,

berbeda dengan ratu rayap yang berfungsi sebagai penghasil keturunan.

Keduanya mampu mencapai dewasa dalam waktu setahun dan mampu hidup

hanya selama ± 5 tahun. Secara khusus apabila dibandingkan dengan rayap

prajurit, rayap pekerja lebih membutuhkan kelembaban tertentu untuk dapat

terus bertahan selama hidupnya (Tarumingkeng, 1992 dan Pearce, 1997).

Secara ekonomis rayap sangat merusak karena aktifitas makannya dan

seringkali rayap merusak berbagai struktur atau bahan yang digunakan

manusia. Sebaliknya bila rayap memerankan fungsinya sebagai perombak

pohon-pohon yang mati dan produk tumbuhan lainnya hingga dapat

dimanfaatkan menjadi zat yang dapat dipakai kembali oleh tanaman maka

rayap menjadi sangat bermanfaat bagi manusia (Gao et al., 1990; Pearce, 1997;

Nandika et al., 1999).

Pada prinsipnya makanan utama rayap adalah selulosa (Noirot, 1970),

sehingga kayu dan jaringan tanaman lain serta bahan-bahan yang terbuat dari

selulosa seperti kayu, kertas, kain, plastik dan lainnya merupakan sumber

makanan utama. Sasaran dan daya jangkau rayap terhadap bahan-bahan

tersebut diatas dapat mencapai jarak puluhan meter dari sarangnya. Secara

ekonomis rayap sangat berperan dalam kehidupan manusia, salah satunya

adalah peranannya dalam memperpendek umur pakai bangunan (Surjokusumo,

1992; Tarumingkeng, 1992).

Dari seluruh kerugian yang diderita akibat aktifitas makan rayap hampir

sebagian besar diakibatkan oleh rayap tanah (Pearce 1997). Salah satu rayap

tanah yang paling merusak di Indonesia adalah C. curvignathus. Secara umum

rayap dari spesies ini selalu membutuhkan kelembaban tinggi dalam

kehidupannya dan tempat hidupnya akan dipenuhi dengan liang-liang

kembara yang sekaligus berfungsi sebagai air conditioner. Liang kembara ini

mampu dibuat rayap diatas permukaan beton, kayu, pipa dan sebagainya

(Nandika et al., 1999).

Jenis rayap C. curvignathus, selain menyerang tanaman kelapa dan

(26)

Sumatera. Nilai kerugian akibat serangan rayap pada tanaman karet belum

diketahui, tetapi cukup banyak menyebabkan kematian pada tanaman karet

terutama pada tanaman muda berumur satu sampai dua tahun. Menurut

Roonwal (1978) C. curvignathus merupakan satu-satunya spesies rayap yang

menyerang tanaman karet yang masih hidup di Indonesia dan Malaysia.

Rayap tanah adalah golongan rayap yang bersarang di dalam tanah dan

membangun liang kembara (tunnels) yang menghubungkan sarangnya dengan

benda yang diserangnya, dan rayap jenis ini dapat hidup walau tanpa

berhubungan dengan tanah jika kayu yang terserang mendapat air secara

teratur, misalnya pada bagian-bagian rumah yang memperoleh air hujan

karena kebocoran atap dan bagian-bagian dekat kamar mandi.

Lebih dari dua juta ekor rayap tanah dapat hidup dalam satu koloni.

Ratu dari beberapa jenis rayap mampu meletakkan 86.000 telur setiap hari

dan bertahan hidup hingga enam sampai dua puluh tahun (Nandika et al.,

1999). Sebanyak kurang lebih 300 spesies rayap dari seluruh spesies rayap

yang tersebar di dunia dikenal sebagai hama yang menyebabkan kerusakan

pada berbagai spesies tanaman perkebunan, kehutanan, dan pertanian. Di

Indonesia sendiri diduga terdapat 20 spesies rayap yang dikenal sebagai hama

penting pada tanaman perkebunan dan kehutanan. Rayap tanah C. curvignathus

Holmgren merupakan spesies rayap yang penting sebagai hama pada tanaman

pertanian, perkebunan dan kehutanan di Indonesia.

Menurut Nandika (1999) terjadinya serangan rayap pada bangunan gedung

sangat dipengaruhi oleh kondisi bio-fisik tapak dan bangunan itu sendiri. Dalam

hal-ini jelas terkait dengan keragaman jenis dan kerentanan bangunan, baik dari

segi desain, tekhnik sipil maupun pemeliharaannya.

Terdapat tiga jalan utama, sehingga rayap dapat masuk ke dalam rumah

(Dizon, 1983) yaitu; (1) menyerang langsung kayu yang berhubungan dengan

tanah; (2) melalui retakan-retakan dan celah-celah plesteran, pondasi dinding

tembok; dan (3) membangun pipa-pipa perlindungan di atas bahan-bahan yang

(27)

Menurut Pearce (1997) pada berbagai jenis tanaman, rayap tanah

menyerang dengan cara; (1) masuk melalui akar dan pangkal batang tanaman : (2)

masuk melalui polong di dalam tanah pada tanaman kacang-kacangan; dan (3)

masuk melalui akar-akar pada tanaman ubi jalar.

Pengendalian Rayap Tanah

1. Pengendalian Fisik dan Mekanik

Teknologi pengendalian rayap dengan menggunakan bahan anti rayap

non kimiawi sebagai penghalang fisik (physical barrier) telah banyak

dikembangkan di beberapa negara khususnya di Australia, Amerika Serikat,

dan Jepang, sebagian dari produknya telah mulai dipasarkan dan beberapa

diantaranya masih dalam taraf penelitian. Di Australia standar pengendalian

dengan teknologi ini sudah ada sejak tahun 1974 (AS-1974). Walau demikian

penggunaannya secara luas baru populer beberapa tahun terakhir ini setelah

penggunaan termitisida dikhawatirkan pengaruhnya terhadap lingkungan dan

kesehatan manusia. Di Indonesia, sampai saat ini, standar pengendalian rayap

dengan menggunakan bahan anti rayap non kimiawi sebagai penghalang fisik

belum populer.

2. Pengendalian Kimia

Menurut Nandika et al. (1999), sampai saat ini, pengendalian serangan

rayap pada bangunan masih bertumpu pada penggunaan pestisida anti rayap

(termitisida) yang diaplikasikan baik melalui perlakuan tanah (soil treatment )

maupun dengan cara impregnasi termitisida ke dalam kayu melalui

pengawetan kayu. Dengan cara tersebut akan terbentuk suatu rintangan

kimiawi (chemical barrier) di sekeliling bangunan yang mampu menghalangi

penetrasi rayap ke dalam bangunan atau melindungi kayu dari serangan rayap.

Pengawetan kayu merupakan pemberian perlakuan kimia dan atau

perlakuan fisik terhadap kayu untuk memperpanjang masa pakai kayu. Dalam

kenyataan sehari-hari, yang dimaksud dengan pengawetan kayu adalah proses

(28)

Bahan kimia yang digunakan dalam perlakuan tersebut disebut bahan

pengawet kayu. Pengawetan kayu dapat dilakukan dengan beberapa metode,

yaitu: metode pelaburan, pencelupan, rendaman, rendaman dingin, rendaman

panas dingin, vakum tekan dan injeksi.

Perlakuan tanah (soiltreatment) adalah upaya memasukkan pestisida anti

rayap (termitisida) kepada tanah di bawah dan di sekeliling bangunan agar

terbentuk penghalang kimia yang memisahkan antara koloni rayap di dalam

tanah dengan kayu di dalam bangunan. Menurut sifat aplikasinya, ada dua

teknik perlakuan tanah, yaitu; (1) perlakuan pra konstruksi (pre construction

treatment) bila perlakuan dilaksanakan menjelang/sewaktu bangunan didirikan;

dan (2) perlakuan pasca konstruksi (Post construction treatment) bila perlakuan

dilaksanakan pada bangunan yang sudah berdiri.

Teknologi lain yang dapat digunakan dalam pengendalian rayap adalah

dengan menggunakan metode pengumpanan (baiting). French (1991) menyatakan

bahwa teknik ini memiliki beberapa keuntungan di antaranya lebih ramah

lingkungan karena bahan kimia yang digunakan tidak mencemari tanah, memiliki

sasaran yang spesifik (rayap), mudah dalam penggunaannya, dan mempunyai

kemampuan mengeliminasi koloni secara total. Dalam metode pengumpanan

digunakan insektisida yang dikemas dalam bentuk yang disenangi rayap sehingga

menarik untuk dimakan. Prinsip teknologi ini adalah memanfaatkan sifat

trofalaksis rayap, yaitu racun yang dimakan disebarkan ke dalam koloni oleh

rayap pekerja. Untuk itu racun yang digunakan harus bekerja secara lambat (slow

action) sehingga rayap pemakan umpan masih sempat kembali ke sarangnya dan

menyebarkan racun kepada anggota koloni lainnya.

3. Pengendalian Hayati

Pengendalian hayati meliputi penggunaan musuh alami, yang biasanya

berhubungan dengan rayap tetapi tidak memberikan pengaruh yang berbahaya

kecuali apabila berada pada jumlah yang besar. Pengendalian ini diarahkan untuk

memanipulasi musuh-musuh alami tersebut sehingga dapat mengurangi populasi

(29)

Musuh-musuh alami rayap yang dikenal termasuk nematoda, jamur, dan

virus, di samping organisme lain seperti semut dan predator pemakan laron.

Nematoda merupakan agens pengendalian biologis yang efektif untuk rayap

yang hidup di dalam sarang bukit. Beberapa ratus nematoda mampu

ditularkan dari satu individu rayap ke individu yang lain setelah penularan oleh

satu individu nematoda dewasa. Namun demikian, masalah utama penggunaan

nematoda untuk pengendalian adalah dalam mentransfer rayap sehingga

berhubungan secara langsung dengan nematoda dan daya tahan nematoda

tersebut yang memerlukan air bebas. Rayap yang terinfeksi oleh nematoda

cenderung diisolasi dari koloninya oleh rayap pekerja lainnya, oleh karena itu

menghambat infeksi nematoda lebih lanjut. Pengaruh nematoda Steinernema

pada Reticulitermes telah diuji coba oleh Empsky dan Capinera (1988).

Penggunaan nematoda dari genus yang sama di Cina cukup efektif untuk

pengendalian C. formosus dan R. speratus pada dosis 4000-8000 nematoda / 3

ml.

Penggunaan jamur pathogen Metarrhizium anisopliae dan Beauveria

bassiana tampak lebih berhasil untuk pengendalian rayap. Beberapa jenis

jamur lain yang potensial untuk digunakan dalam pengendalian rayap adalah

Aspergillus flavus, Serratia marcescens, Entomophtera virulenta dan Absidia

coerulea.

Pada masa yang akan datang penggunaan virus untuk pengendalian rayap

lebih memberikan harapan terutama karena cara penularannya kepada rayap

lebih mudah dibandingkan penggunaan organisme lain seperti nematoda.

Namun demikian beberapa hasil penelitian para ahli sampai saat ini

menunjukkan bahwa keefektifan penggunaan musuh alami untuk pengendalian

rayap di lapangan masih sangat rendah.

Nematoda Entomopatogen

Biologi dan Siklus Hidup Nematoda Entomopatogen

Nematoda entomopatogen (NEP) adalah nematoda yang hidup dalam tubuh

(30)

siklus hidup sederhana dan pada dasarnya mempunyai stadia utama dari

perkembangan telur, juvenil dan dewasa. Secara morfologis larva infektif (juvenil

3) teradaptasi untuk tetap hidup dalam jangka waktu lama di lingkungan sambil

menunggu serangga inang. Pada umumnya mengalami empat kali pergantian kulit

sebelum mencapai dewasa dan pergantian kulit dapat saja terjadi di dalam telur, di

lingkungan dan di dalam tubuh serangga inangnya (Kaya dan Gaugler, 1993).

Menurut Kaya dan Gaugler (1993) pada saat nematoda entomopatogen

mendapatkan inang yang cocok, akan melakukan penetrasi melalui lubang alami

(mulut, anus, dan spirakel) atau penetrasi langsung melalui kutikula. Juvenil

infektif Heterorhabditis sp memiliki tonjolan gigi pada ujung kepala sehingga

dapat melakukan penetrasi pada integumen inang, meskipun penetrasi langsung

melalui kutikula ini jarang terjadi. Setelah berhasil memenetrasi inang, nematoda

entomopatogen akan melepaskan bakteri simbionnya ke dalam hemolimf,

selanjutnya bakteri berkembang dan akan membunuh inang setelah 24 - 48 jam

(Ehlers dan Peters, 1995).

Umumnya setiap nematoda entomopatogen mempunyai interaksi

mutualistik dengan satu jenis bakteri, tetapi bakteri Xenorhabdus spp dapat

berasosiasi dengan lebih dari satu jenis nematoda entomopatogen (Kaya dan

Gaugler, 1993). Menurut Ehlers dan Peters (1995), tanpa adanya bakteri simbion

nematoda entomopatogen tidak dapat berkembang biak dengan baik, di sisi lain

bakteri simbion tidak dapat hidup tanpa nematoda entomopatogen. Siklus Hidup

(31)

Gambar 1. Siklus Hidup Nematoda Entomopatogen (Sumber : Kaya ,1993)

Hubungan mutualistik ini bagi nematoda patogen serangga menurut Kaya

dan Gaugler (1993) adalah memberikan beberapa keuntungan yaitu dapat

membunuh inang dengan cepat secara septicemia, menyediakan nutrisi yang

cocok, membuat lingkungan yang cocok bagi perkembangan dan reproduksi

nematoda. Bakteri simbion juga mampu memproduksi senyawa antibiotik

(bakteriosin) yang dapat menghambat perkembangan mikroorganisme sekunder

yang ada dalam tubuh serangga inang. Sedangkan fungsi nematoda

entomopatogen bagi bakteri adalah melindungi bakteri dari kondisi ekstrim dalam

tanah dan melindungi bakteri dari kemungkinan adanya protein anti bakteri yang

dikeluarkan oleh serangga inang.

Steinernematidae memiliki kutikula yang halus dibagian lateralnya,

esophagus memiliki tiga bagian termasuk metacorpus dan menyebabkan warna

karamel hingga coklat tua pada uji kutikula serangga inang. Panjang tubuhnya

(32)

ring larva infektif di bagian anterior. Setelah dewasa jantan memiliki testis

tunggal, sepasang spikula dan terdapat gubernaculum

Heterorabditidae memiliki panjang tubuh 260-715 µm dengan lebar tubuh

16-27 µm. Nematoda dewasa Heterorhabtidae memiliki sistem reproduksi

hermaprodit. Serangga yang serserang oleh Heterorhabditis, warna kutikulanya

akan menjadi merah, merah bata atau oranye. Lubang ekskretori dan nerve ring

larva infektif berada dibagian posterior (Bahari 2000)

Potensi Nematoda Sebagai Agens Pengendali Hayati

Glazer (1992) melaporkan bahwa S. carpocapsae memiliki patogenitas

yang cukup tinggi terhadap Helicoverpa armigera, Earias insulata dan Galleria

mellonella di laboratorium. Gejala serangan S. carpocapsae pada Spodoptera

litura ditandai dengan perubahan warna larva menjadi coklat kekuningan dan

tubuh larva menjadi lembek. Menurut Simoes dan Rosa (1996) hal ini

dikarenakan adanya simbiose mutualisme antara S. carpocapsae dengan X.

nematiphilus yang menghasilkan eksotoksin.

Terdapat hubungan antara mortalitas inang dengan nematoda yang masuk

dalam tubuh inang, hal ini juga digunakan sebagai ukuran infektifitas nematoda

(Caroli et.al,. 1996) dan efisiensi invasi (persentase nematode yang menyerang

inang).

Epsky dan Capinera (1994) menguji infektifitas S. carpocapsae strain

DD-136 terhadap S. litura pada media tanah pasir dalam cawan petri dengan

kosentrasi 1000 IJ/serangga dapat menyebabkan mortalitas 100% dan efisiensi

invasi 22 %. Menurut Caroli et.al.(1996) persentase nematoda yang masuk pada S.

exigua telah diinokulasi dengan S.carpocapsae dengan kosentrasi 200 IJ/ml

mencapai 20 %.

Patogenisitas nematoda secara umum melalui beberapa tahap antara lain

invasi, evasi dan toksikogenesis. Tahapan tersebut di atas akan dilalui secara

berurutan, mulai saat nematoda berhasil mempenetrasi serangga inang hingga

bakteri simbion nematoda keluar menuju bagian dalam tubuh serangga dan

(33)

tahapan tersebut sangat dipengaruhi oleh enzim, pH, suhu dalam tubuh serangga

(Downes dan Griffin, 1996; Simoes dan Rosa, 1996; Sulistyanto, 1998), dan suhu

lingkungan (Gauge et al, 1994; Grewal et al, 1994; Glazer et al. 1996; Griffin et

al. 1996).

Suhu lingkungan yang kurang menguntungkan akan menggagalkan proses

penetrasi nematoda ke dalam tubuh serangga, dan akan menyebabkan nematoda

mengalami kematian (Griffin, 1996). Demikian pula dengan pH dalam tubuh

serangga yang tidak mendukung perkembangbiakan bakteri simbion nematoda

akan menghambat perkembangbiakan bakteri simbion nematoda dalam tubuh

serangga inang (Schiroki dan Hague, 1997). Perkembangbiakan bakteri simbion

yang lambat juga akan memperlambat kematian serangga inang (Strauch dan

Ehlers, 1998).

Meskipun toksin yang dikeluarkan bakteri simbion memiliki peranan

penting dalam meracuni serangga inang namun simbiose antara bakteri dan

nematoda merupakan syarat mutlak yang hampir tidak dapat dipisahkan antara

keduanya. Dalam hal ini bakteri tidak pernah dapat masuk ke dalam tubuh

serangga inang tanpa nematoda. Sehingga antara bakteri simbion dan nematoda

(34)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan mulai bulan Agustus tahun 2005 sampai dengan

Februari 2006 di Laboratorium Biologi Hasil Hutan - Pusat Penelitian Sumber

Daya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB-IPB) Institut Pertanian Bogor,

Laboratorium Pengendalian Hayati - Departemen Proteksi Tanaman (DPT)

Institut Pertanian Bogor. Untuk pengujian lapang dilaksanakan di Hutan

Percobaan Yanlappa, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bogor di

Jasinga Kabupaten Bogor.

Bahan Penelitian

Rayap tanah Coptotermes curvignathus

Rayap tanah C. curvignathus diperoleh dari Hutan Percobaan Yanlappa

Jasinga Bogor dan dipelihara di Laboratorium Biologi Hasil Hutan – PPSHB

selama satu tahun. Pemeliharaan rayap tanah C. curvignathus dilakukan di dalam

bak-bak plastik berukuran 60 x 50 x 40 cm3 yang disimpan pada ruang gelap

dengan kelembaban udara berkisar antara 85-90%. Sebagai sumber makanan

diberikan potongan kayu pinus (Pinus merkusii).

Nematoda Steinernema sp. (Rhabditida : Steinernematidae) dan Heterorhabditis sp. (Rhabditida : Heterorhabditidae).

Isolat nematoda entomopatogen yang dipergunakan dalam penelitian ini

adalah isolat lokal Bogor yang sudah tersedia di Laboratorium Biologi Hasil

Hutan PPSHB-IPB dan sudah diidentifikasikan sebagai Steinernema sp. (Gambar

(35)

Gambar 2. Heterorhabditis sp. (a. Infektif juvenil; b. Dewasa) b

a 400 x

Gambar 3 . Steinernema sp. (a. Betina; b. Jantan) a

400 x

b 400 x

Perbanyakan nematoda secara in vivo dilakukan dengan cara menginokulasi

terhadap larva serangga Tenebrio molitor (Coleoptera : Tenebrionidae). Suspensi

nematoda diteteskan pada ulat tersebut di atas kertas filter dalam cawan petri

(36)

Gambar 4. Inokulasi nematoda pada ulat Tenebrio molitor

Setelah 24 - 48 jam ulat mati akibat infeksi nematoda dipanen dengan

metode White trap, yaitu dengan meletakan ulat tersebut pada kertas serap di atas

cawan petri yang diletakkan terbalik. Cawan tersebut di letakkan didalam cawan

lain yang lebih besar. Dalam cawan besar di isikan air sehingga kertas hisap selalu

terendam air. Cawan besar ditutup dan di letakkan dalam suhu kamar (Gambar

5).

(37)

Hasil perbanyakan dapat diperoleh setelah 1 - 2 minggu berikutnya dan

disaring dengan menggunakan saringan berukuran ± 23 µm untuk mendapatkan

nematoda IJ3 (Infective Juvenile 3). Hasil tersebut kemudian disimpan dalam spon

berbentuk kubus berukuran 2 x 2 x 2 cm3. Spon yang mengandung nematoda

selanjutnya dimasukkan ke dalam tabung erlenmeyer dan disimpan dalam lemari

pendingin.

Untuk perbanyakan nematoda secara massal diperbanyak lagi dengan

teknik in vitro. Media yang digunakan dalam teknik in vitro ini menggunakan

media agar yang dicampur dengan ampela ayam. Ampela ayam yang digunakan

dimaksudkan sebagai suplai nutrisi bagi nematoda.

Media dibuat dengan cara mencampurkan agar sebanyak 5 gram dan

ampela ayam sebanyak 100 gram. Sebelum dicampur, ampela ayam direbus

terlebih dahulu selama ± 10 menit kemudian di haluskan dengan belender. Agar,

ampela ayam dan air sebanyak 500 ml dicampurkan dan di autoklaf selama 20

menit dengan tekanan 1 atm 121oC.

Media agar yang telah di autoklaf kemudian dituang ke dalam

cawan-cawan petri dan didinginkan minimal selama 2 hari sebelum digunakan. Sepasang

nematoda dewasa dari perbanyakan in vivo kemudian di letakan pada media agar

(Gambar 6).

(38)

Setelah 2 minggu berikutnya cawan petri berisi media in vitro kemudian di

letakkan didalam cawan lain yang lebih besar. Antara cawan berisi media dengan

cawan yang lebih besar di letakkan kertas hisap. Kedalam cawan besar di isikan

air sehingga kertas hisap selalu terendam air. Cawan besar ditutup dan di letakkan

dalam suhu kamar.

Setelah 2 hari nematoda infektif juvenil yang terkumpul pada air di cawan

besar dapat dipanen. Pemanenan dapat dilakukan setiap dua hari sekali dengan

tetap menambahkan air dalam cawan besar.

Metode Penelitian

Keefektifan Nematoda terhadap rayap

1. Lethal Concentration50 (LC50)

Media pengujian yang digunakan adalah 30 gram pasir steril dalam botol

gelas berdiameter 45 mm dan tinggi 115 mm (Gay et al., 1955 dan Lund, 1958).

Selanjutnya suspensi nematoda sebanyak 6 ml dituangkan kedalam botol uji

dengan perlakuan kerapatan 100 IJ/ml, 200 IJ/ml, 300 IJ/ml, 400 IJ/ml, 500 IJ/ml,

dan 600 IJ/ml.

Rayap tanah C. curvignathus yang digunakan pada setiap pengujian

berjumlah 22 ekor yang terdiri dari 20 ekor pekerja dan 2 ekor prajurit. Sebagai

sumber makanan rayap, kedalam botol pengujian dimasukkan sepotong kayu

pinus dengan ukuran 1 x 1 x 2 cm3.

Setiap perlakuan diulang sebanyak tiga kali dan pengamatan terhadap

jumlah rayap yang mati dilakukan 48 jam setelah inokulasi. Selama pengujian

botol uji diletakkan dalam ruang gelap dan dijaga dari gangguan binatang

pengganggu (semut). Perlakuan kontrol (tanpa suspensi nematoda) juga disiapkan

dengan jumlah ulangan yang sama.

Persentase mortalitas rayap dianalisis dengan menggunakan Rancangan

Acak Lengkap dan diuji lanjut dengan perbandingan nilai tengah menggunakan

Uji Tukey. Analisis LC50 nematoda terhadap rayap dilakukan dengan

(39)

2. Lethal Time50(LT50)

Media pengujian yang digunakan adalah 30 gram pasir steril yang telah

dibasahi dengan 6 ml suspensi nematoda yang mengandung 600 IJ/ml nematoda.

Botol gelas yang digunakan berdiameter 45 mm dan tinggi 115 mm (Gay et al.

1955 dan Lund 1958).

Rayap tanah C. curvignathus yang digunakan pada setiap pengujian

sejumlah 22 ekor yang terdiri dari 20 ekor pekerja dan 2 ekor prajurit. Sebagai

sumber makanan rayap, kedalam botol pengujian dimasukkan sepotong kayu

pinus dengan ukuran 1 x 1 x 2 cm3. Kemudian botol uji disimpan dalam ruang

gelap.

Pengamatan dilakukan terhadap jumlah rayap yang mati akibat nematoda

pada waktu 12 jam, 24 jam, 36 jam, dan 48 jam. Masing-masing perlakuan

dilakukan pengulangan sebanyak tiga kali.

Persentase mortalitas rayap dianalisis dengan menggunakan Rancangan

Acak Lengkap dan diuji lanjut dengan perbandingan nilai tengah menggunakan

Uji Tukey. Analisis LT50 nematoda terhadap rayap dilakukan dengan

menggunakan Analisis Probit.

Uji Efikasi Nematoda Terhadap Rayap Tanah C. curvignathus Dalam Termitarium

Pengujian dilakukan di dalam termitarium yang terbuat dari gelas kaca

berukuran diameter 25 cm dan tinggi 30 cm berisi media pasir dan diletakkan

pada ruang kultur rayap (28 ± 1° C).

Termitarium diletakkan di atas nampan yang di atasnya telah diberi ganjal

berupa kayu melintang kemudian di dalam nampan tersebut diberi air. Bagian

bawah termitarium diberi lubang dengan diameter ±1 cm dan dimasukkan sumbu

kompor sebagai penghubung antara air yang ada didalam nampan dengan media

pasir diatasnya, sehingga kelembaban media selalu terjaga.

Media berupa campuran pasir steril sebanyak 1000 gram, aquadest steril 200

ml dan potongan kayu Pinus sp. sebanyak 100 gram. Pasir dan potongan kayu

(40)

dituangkan suspensi nematoda dengan kerapatan 600 IJ/ml sebanyak 100 ml yang

merupakan kosentrasi terbaik dari Uji LC50. Untuk kontrol termitarium hanya

dituangkan air tanpa mengandung nematoda.

Dalam satu unit termitarium, dimasukkan sebanyak 2000 ekor rayap tanah

(90% kasta pekerja dan 10% kasta prajurit) (Gambar 7).

Gambar 7. Termitarium yang digunakan pada Uji Potensi Nematoda

Lama waktu kontak rayap dengan nematoda adalah 48 jam (dua hari).

Pada hari kedua dilakukan pembongkaran dan dilakukan perhitungan persentase

mortalitas rayap. Besarnya persentase mortalitas rayap dihitung dengan

menggunakan persamaan sebagai berikut:

% 100 N

N -N (%) Mortalitas

1 2 1

× =

dimana:

N1 = Jumlah rayap awal

(41)

Uji lapang terhadap sarang rayap

Pengujian lapang dilakukan di Hutan Percobaan Yanlappa Jasinga Bogor.

Pemilihan sarang dilakukan secara acak. Sebelum aplikasi dilakukan, terlebih

dahulu permukaan sarang rayap dibasahi dengan air agar lebih lembab. Pada

sarang rayap yang berada di dalam tanah dilakukan penggalian dengan

kedalaman ± 1 m sampai mencapai pusat sarang.

Selanjutnya dilakukan penuangan suspensi nematoda dengan kerapatan 600

IJ/ml sebanyak 500 ml. Setelah perlakuan, lubang tersebut segera ditutup dengan

tanah. Aplikasi ini dilakukan pada pagi hari pukul 07.00-09.00 untuk menghindari

tingginya temperatur pada tanah. Untuk kontrol sarang disemprot dengan air yang

tidak mengandung nematoda. Percobaan diulang sebanyak tiga kali.

Dua puluh satu hari setelah perlakuan tersebut sarang perlakuan dan

dibongkar dan dihitung kelimpahan populasinya, kemudian nilai rata-rata setiap

perlakuan dibandingkan dengan kontrol.

Besarnya persentase mortalitas rayap dihitung dengan menggunakan

persamaan sebagai berikut:

N2 = Jumlah rayap yang hidup pada saat pembongkaran sarang

Pendugaan Populasi Koloni

Pendugaan populasi koloni dengan cara menghitung terlebih dahulu berat

satu ekor rayap. Dari suatu koloni rayap diambil 10 ekor rayap secara acak. 10

ekor rayap tersebut di timbang dan di hitung rata-ratanya. Perlakuan ini di ulang

sebanyak 10 kali sehingga di dapatkan berat 1 ekor rayap (Su, 1997)

Untuk menghitung polulasi dari suatu sarang ditimbang berat seluruh rayap

yang berada di dalam sarang. Berat koloni rayap dari satu sarang dikalikan dengan

berat satu ekor rayap. Perlakuan ini di ulang sebanyak tiga kali sehingga

(42)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keefektifan Nematoda Terhadap Rayap Tanah C. curvignathus

1. Lethal Concentration (LC50)

Pemberian nematoda Steinernema sp. dan Heterorhabditis sp. dengan

kerapatan terendah (100 IJ/ml) belum dapat menimbulkan kematian pada rayap

tanah C. curvignathus akan tetapi mulai kerapatan 500 IJ/ml mengakibatkan

mortalitas 100% pada rayap tanah uji. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa

mortalitas rayap terus meningkat seiring dengan bertambahnya kerapatan

nematoda (Tabel 1).

Tabel l. Mortalitas Rayap tanah C. curvignathus 48 Jam setelah Perlakuan

Berbagai Kerapatan Nematoda Steinernema sp. dan Heterorhabditis sp.

Mortalitas Rayap C. curvignathus (%) Kerapatan Nematoda

(IJ/ml) Steinernema s p. Heterorhabditis sp.

0

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Tukey pada tingkat kepercayaan 95%

Mortalitas rayap tanah C. curvignathus akibat infeksi Steinernema sp. dan

Heterorhabditis sp. pada berbagai taraf kerapatan nematoda disajikan dalam

(43)

0

Gambar 8. Mortalitas Rayap tanah C. curvignathus Akibat Perlakuan Berbagai Kerapatan Nematoda Steinernema sp. dan Heterorhabditis sp.

Analisis keragaman menunjukkan bahwa kerapatan nematode memberikan

pengaruh yang sangat nyata terhadap mortalitas rayap tanah C. curvignathus, baik

karena Steinernema sp. maupun Heterorhabditis sp. (Lampiran 5 dan 6). Dari

hasil uji Tukey didapatkan bahwa kerapatan nematoda Steinemema sp. dan

Heterorhabditis sp. sebesar 500 IJ/ml dan 600 IJ/ml mampu memberikan

pengaruh nyata terhadap mortalitas rayap. Hal ini berarti kerapatan nematoda

sebesar 600 IJ/ml masih belum melebihi batas kompetisi nematoda pada suatu

aplikasi. Menurut Kaya dan Koppenhofer (1996), pada jenis nematoda tertentu,

kerapatan nematoda yang melebihi batas optimalnya akan menciptakan suatu

kompetisi dalam hal ruang dan makanan antar nematoda itu sendiri. Apabila

dibandingkan dengan kontrol maka hanya perlakuan dengan kerapatan 100 IJ/ml

dan 200 IJ/ml yang belum memberikan pengaruh nyata sedangkan untuk

kerapatan 300 IJ/ml hingga kerapatan 600 IJ/ml memberikan pengaruh yang

nyata.

Keefektifan NEP untuk mengendalikan rayap tanah C. curvignathus

diketahui dari nilai LC50, yaitu kerapatan optimal yang diperlukan untuk

(44)

mortalitas, dilakukan analisis dengan menggunakan analisis probit (software

SPSS versi 10,01 tahun 1999) untuk mengetahui nilai LC50 dari masing-masing

jenis nematoda terhadap rayap tanah C. curvignathus (Tabel 2). Persamaan

regresi antara log kerapatan dengan nilai probit nematoda Steinernema sp. dan

Heterorhabditis sp. terhadap mortalitas C. curvignathus masing-masing adalah :

Y = -4,57 + 0,14 x dan Y = -5,43 + 0,01 x

Tabe1 2. Nilai LC50 Steinernema sp. dan Heterorhabditis sp. Terhadap

C. curvignathus.

Jenis Nematoda Nilai LC50 IJ/ ml

Steinernema sp.

Heterorhabditis sp.

322

355

Berdasarkan data diatas dapat dilihat bahwa untuk dapat membunuh 50%

populasi rayap tanah C. curvignathus diperlukan nematoda Steinernema sp.

dengan kerapatan 322 IJ/ml dan nematoda Heterorhabditis sp. dengan kerapatan

355 IJ/ml. Hal ini berarti bahwa untuk dapat membunuh 50% populasi C.

curvignathus dibutuhkan kerapatan Steinernema sp. yang lebih sedikit dibanding

menggunakan Heterorhabditis sp.

2. Lethal Time (LT50)

Kerapatan nematoda yang digunakan untuk uji LT50 adalah 600 IJ/ml, yang

ditetapkan berdasarkan hasil uji LC5O . Rata-rata persentase mortalitas rayap tanah

C. curvignathus pada perlakuan nematoda Steinernema sp. berkisar antara 0 %

sampai dengan 96,97 %. Untuk perlakuan nematoda Heterorhabditis sp.

rata-rata persentase mortalitas rayap tanah C. curvignathus 0 % sampai dengan 95,45

%. Mortalitas rayap tanah C. curvignathus terus meningkat seiring dengan

bertambahnya waktu kontak antara nematoda dengan rayap tanah C. curvignathus

(45)

Tabel 3. Mortalitas Rayap Tanah C. curvignathus Akibat Perlakuan

Berbagai Waktu Kontak dengan Nematoda Steinernema sp. dan

Heterorhabditis sp.

Mortalitas Rayap C. curvignathus (%) Waktu Kontak

(Jam) Steinernema sp. Heterorhabditis sp.

0

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Tukey pada tingkat kepercayaan 95%

Mortalitas rayap tanah C. curvignathus akibat infeksi Steinernema sp. dan

Heterorhabditis sp. pada berbagai taraf waktu kontak dengan nematoda disajikan

dalam bentuk histogram pada Gambar 9.

0

Gambar 9. Mortalitas Rayap Tanah C. curvignathus Akibat Perlakuan Berbagai

Taraf Waktu Kontak dengan Nematoda Steinernema sp. dan

(46)

Analisis keragaman menunjukkan bahwa pengaruh waktu kontak antara

kedua jenis nematoda dengan rayap tanah C. curvignathus memberikan

pengaruh yang sangat nyata terhadap mortalitas (Lampiran 7 dan 8).

Untuk mengetahui lebih lanjut pengaruh masing-masing waktu kontak

terhadap mortalitas rayap C. curvignathus dilakukan uji Tukey. Dari hasil uji

Tukey dapat dilihat bahwa waktu kontak selama 36 jam dan 48 jam pada

perlakuan Steinernema sp. dan Heterorhabditis sp. memberikan pengaruh yang

nyata terhadap mortalitas rayap tanah C. curvignathus. Tinggi rendahnya

kematian rayap berdasarkan waktu kontak nematoda dengan rayap dipengaruhi

oleh beberapa hal seperti mobilitas nematoda yang digunakan, ketahanan

rayap, mobilitas rayap dan media yang digunakan untuk pengujian.

Berdasarkan hasil perhitungan persentase mortalitas di atas selanjutnya

dianalisis dengan menggunakan analisis probit, untuk mengetahui nilai Lethal

Time 50 dari masing-masing jenis nematoda terhadap rayap tanah C. curvignathus

(Tabel 4). Persamaan regresi antara log waktu kontak dengan nilai probit

nematoda Steinernema sp. dan Heterorhabditis sp. terhadap mortalitas C.

curvignathus masing-masing adalah :

Y = -4,99 + 0,14 x dan Y = -4,44 + 0,12 x

Tabe1 4. Nilai LT50 Steinernema sp. dan Heterorhabditis sp. terhadap

C. curvignathus

Jenis Nematoda Nilai LT50 (jam)

Steinernema sp.

Heterorhabditis sp.

33,94

34,90

Nilai LT50 tersebut berarti untuk dapat menyebabkan kematian 50% dari

seluruh populasi rayap dibutuhkan waktu kontak antara nematoda dengan rayap

tanah C. curvignathus sebesar nilai LT50 itu sendiri. Berdasarkan data di atas

(47)

curvignathus diperlukan waktu kontak dengan nematoda Steinernema sp. selama

33,94 jam sementara dengan nematoda Heterorhabditis sp. selama 34,90 jam.

Uji Efikasi Nematoda Terhadap Rayap Tanah C. curvignathus Dalam Termitarium

Kerapatan yang digunakan adalah 600 IJ/ml, sesuai dengan kerapatan yang

digunakan dalam uji LC5O . Lama pemaparan adalah 48 jam (dua hari). Hasil uji

efikasi terhadap rayap seperti terlihat pada Tabel 5 menunjukkan bahwa

rata-rata persentase mortalitas rayap tanah C. curvignathus akibat serangan

nematoda Steinernema sp. dan Heterorhabditis sp. masing-masing 90,23 % dan

85,65 %.

Tabel 5. Mortalitas Rayap Tanah pada 48 Jam akibat perlakuan Nematoda

Steinernema sp. dan Heterorhabditis sp. terhadapC. curvignathus .

Mortalitas rayap tanah C. curvignathus (%) Kerapatan Nematoda

(IJ/ml) Steinernema sp. Heterorhabditis sp.

0

Jika dibandingkan dengan hasil uji LC50 pada kerapatan yang sama,

mortalitas C. curvignathus hasil uji efikasi nematoda dengan menggunakan

termitarium mengalami penurunan sebesar 9,77 % dan 14,13 %. Hal ini di

duga nematoda lebih mengalami kesulitan untuk kontak dengan rayap dan

mempenetrasinya. Ukuran termitarium yang lebih besar dari botol uji LC50

menyulitkan nematoda menemukan rayap. Menurut Pearce (1997) masalah

utama penggunaan nematoda dalam mengendalikan rayap adalah membawa

nematoda bisa kontak dengan rayap dan dalam hal ini nematoda memerlukan

air bebas untuk kelangsungan hidupnya.

Tingginya mortalitas rayap C. curvignathus akibat infeksi Steinernema sp.

dibandingkan dengan akibat infeksi Heterorhabditis sp. diduga dipengaruhi oleh

virulensi Steinernema sp. yang lebih tinggi. Berdasarkan penelitian Kaya dan

(48)

karena bakteri simbionnya memiliki senyawa racun yang sangat efektif. Senyawa

ini berperan penting dalam proses infeksi dan evasi nematoda dalam tubuh inang.

Meskipun dalam hal mencari dan mempenetrasi serangga Steinernema sp. kurang

aktif dibandingkan Heterorhabditis sp., namun fenomena ini tampaknya tidak

berlaku dalam lingkungan tertutup seperti dalam termitarium.

Dalam tubuh nematoda terdapat bakteri yang hidup bersimbiosis dan

memiliki senyawa racun yang efektif sehingga mampu membunuh serangga inang

(Kaya dan Koppenhfer,1996). Masing-masing spesies NEP memiliki hubungan

yang khas dengan satu jenis bakteri (Steinernema spp berasosiasi dengan

Xenorhabdus spp sedangkan Heterorhabditis sp. berasosiasi dengan

Photorhabdus spp), walaupun Xenorhabdus spp dan Photorhabdus spp bisa

berasosiasi dengan lebih dari satu jenis nematoda (Akhurst dan Boemare, 1990;

Putz et al, 1990). Menurut Sulistyanto (1995), nematoda entomopatogen

menyimpan sekitar 0 sampai 250 sel bakteri simbion dalam ususnya.

Gejala kematian rayap C. curvignathus yang terinfeksi nematoda adalah

tubuhnya bergetar seperti hilang keseimbangan dan kemampuan mobilitasnya

menurun. Setelah kematian, rayap yang semula tubuhnya berwarn putih

berubah menjadi coklat muda dan mengempis selanjutnya akan mengering

(Gambar 10).

Gambar

Gambar 1. Siklus Hidup Nematoda Entomopatogen (Sumber : Kaya ,1993)
Gambar 3 . Steinernema sp. (a. Betina; b. Jantan)
Gambar 4. Inokulasi nematoda pada ulat Tenebrio molitor
Gambar 6.  Perbanyakan nematoda secara in vitro
+7

Referensi

Dokumen terkait

Melalui kajian keterikatan tempat, mata pencaharian perkotaan, dan teritori dapat disimpulkan bahwa ruang saling berbagi (co- habitation space) Bale Banjar Titih

Pemahaman dan ketertarikan mitra dengan program ini dievaluasi dengan memberikan pertanyaan dalam bentuk quisioner (tabel 3). Quisiner terdiri dari 9 pertanyaan yang

Tingkat penerapan teknologi PHT yang meliputi komponen teknologi budidaya tanaman sehat dan pelestarian atau pembudidayaan fungsi musuh alami pada usahatani padi sawah

Jurnal "~nafisa' Volume XV, No.. Mulyani Mudis Taruna dalam proses pembelajaran di sekolah. ' Dan dalam proses pembelajaran, kurikulum dapat berubah atau mengalami

Penelitian ini terdiri dari enam varia- bel yang diadopsi dari penelitian terdahulu yaitu; Kesadaran Lingkungan, Identitas Diri Etis, Kesadaran Kesehatan, Persepsi

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kekerabatan antara bahasa Indonesia dengan bahasa Minang dialek Bukittinggi dan waktu pisah antara bahasa Indonesia dengan

Madrasah Tsanawiyah Negeri ( MTsN ) Majenang Kecamatan Majenang Kabupaten Cilacap mengundang calon penyedia barang/jasa yang berminat untuk mendaftarkan diri sebagai calon

Hasil dari penelitian dengan menggunakan metode tersebut tersusun dalam sebuah Perencanaan Strategi Sistem Informasi yang dapat meningkatkan kinerja bisnis pada CV Graha