• Tidak ada hasil yang ditemukan

Patogenisitas beberapa isolat cendawan entomopatogen terhadap rayap tanah coptotermes curvignathus holmgren dan schedorhinotermes javanicus kemmer (Isoptera Rhinotermitidae)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Patogenisitas beberapa isolat cendawan entomopatogen terhadap rayap tanah coptotermes curvignathus holmgren dan schedorhinotermes javanicus kemmer (Isoptera Rhinotermitidae)"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

PATOGENISITAS BEBERAPA ISOLAT CENDAWAN

ENTOMOPATOGEN TERHADAP RAYAP TANAH

Coptotermes curvignathus Holmgren DAN Schedorhinotermes

javanicus Kemmer (ISOPTERA : RHINOTERMITIDAE)

SEMPURNA GINTING

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul: Patogenisitas Beberapa Isolat Cendawan Entomopatogen terhadap Rayap Tanah Coptotermes curvignathus Holmgren dan Schedorhinotermes javanicus Kemmer (Isoptera: Rhinotermitidae) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di dagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2008

(3)

iii

ABSTRACT

SEMPURNA GINTING. Pathogenicity of several isolates of entomopathogenic fungi toward subterranean termite Coptotermes curvignathus Holmgren and Schedorhinotermes javanicus Kemmer (Isoptera: Rhinotermitidae). Directed by TEGUH SANTOSO and IDHAM SAKTI HARAHAP.

The use of entomopathogenic fungi to control subterranean termite C. curvignathus and S. javanicus offers environmentally save control technique. The objectives of the research were to investigate the pathogenicity of Indonesian isolates of entomopathogenic fungi (Metarhizium anisopliae, M. brunneum, B. bassiana, and Myrothecium roridum) and to test their effectiveness against termite C. curvignathus and S. javanicus.

Pathogenicity test of fungi against both subterranean termites was done by dipping the termites in the conidial suspension at various density (0, 105, 5x105, 106, 5x106 and 107 conidia/ml), with five replicates. The sporulation of fungi on the body surface of termite cadaver was counted. Mortality of termite, sporulation of fungi and the germination of conidia were analyzed by using randomized complete design. Triple mark recapture technique was used to study the population abundance of termite S. javanicus after application by fungi M. anisopliae and M. bruneum; this technique was repeated three times. The trial was set according to randomized block design. All data were analyzed using software MINITAB, followed by Duncan multiple range tests when needed, using software SAS version 6.12. The effect of conidial density on the mortality of test insect was calculated using probit analysis.

Pathogenicity of M. bruneum on termites S. javanicus and C. curvignathus was higher than that of M. anisopliae, B. bassiana and M. roridum. Sporulation of M. brunneum was counted higher than that of M. roridum and B. bassiana. On this last fungus, the least sporulation was observed. Viability of M. roridum was not significantly different with M. brunneum, however, significantly different with B. bassiana. After application by fungi M. anisopliae, termite S. javanicus population trapped in one station was counted 218 171 – 326 457, much higher than termite trapped after application by M. brunneum (100 161 – 153.001). As compared with the population of control colony which reached 550 659 – 607 513 termites, application of fungi M. anisopliae and M. bruneum have lowered termite population. Fungus M. brunneum provoked termite mortality higher than M. anisopliae.

(4)

RINGKASAN

SEMPURNA GINTING. Patogenisitas Beberapa Isolat Cendawan Entomopatogen terhadap Rayap Tanah Coptotermes curvignathus Holmgren dan Schedorhinotermes javanicus Kemmer (Isoptera : Rhinotermitidae). Dibimbing oleh TEGUH SANTOSO dan IDHAM SAKTI HARAHAP.

Pengendalian hayati rayap C. curvignathus dan S. javanicus dengan menggunakan beberapa isolat cendawan entomopatogen merupakan salah satu alternatif untuk pengendalian rayap tanah yang ramah lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari patogenisitas cendawan entomopatogen isolat Indonesia Metarhizium anisopliae, M. brunneum, B. bassiana, dan Myrothecium roridum dan menguji keefektifannya terhadap rayap tanah C. curvignathus dan S. javanicus di lapangan.

Uji patogenisitas beberapa isolat cendawan entomopatogen terhadap C. curvignathus dan S. javanicus dilakukan dengan pencelupan rayap ke dalam suspensi konidia,masing-masing dengan kerapatan(0, 105, 5x105, 106, 5x106, dan 107 konidia/ml), setiap perlakuan diulang lima kali. Sporulasi pada tubuh rayap dihitung dari rayap C. curvignathus yang telah mati pada uji patogenisitas. Kelimpahan populasi anggota koloni rayap yang telah diaplikasi dengan Metarhiziumanisopliae dan M. brunneum diduga melalui teknik penangkapan dan penandaan tiga tahap (triple mark recapture technique) dan setiap perlakuan diulang tiga kali. Data mortalitas C. curvignathus dan S. javanicus pada uji patogenisitas serta sporulasi dan daya kecambah dianalisis berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (RAL), data kelimpahan anggota koloni rayap dianalisis berdasarkan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan menggunakan program MINITAB dan diuji lanjut dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf nyata 5% dengan menggunakan program Statistical Analysis System (SAS) versi 6.12. Hubungan kerapatan konidia dengan mortalitas dan waktu aplikasi dengan mortalitas diolah dengan analisis probit (Finney 1971), menggunakan program SAS versi 6.12. Berdasarkan hasil analisis probit dapat diperoleh nilai LCdan LT.

Patogenisitas M. brunneum terhadap rayap S. javanicus dan C. curvignathus lebih tinggi dibandingkan dengan M. anisopliae, Beauveria bassiana, dan Myrothecium roridum. Sporulasi M. brunneum lebih tinggi dari pada M. roridum maupun B. bassiana dan sporulasi terendah terdapat pada B. bassiana. Viabilitas M. brunneum tidak berbeda nyata dengan M. roridum dan viabilitas B. bassiana berbeda nyata dengan M. roridum. Ukuran populasi rayap yang diberi perlakuan M. anisopliae lebih besar (218.171 hingga 326.457 ekor) dari pada yang diberi perlakuan M. brunneum (100.161 hingga 153.001 ekor). Dibandingkan dengan populasi kontrol (550.659 hingga 607.513 ekor), perlakuan kedua cendawan terbukti dapat menekan populai rayap di lapangan. Mortalitas rayap tanah S. javanicus akibat infeksi M. bruneum lebih tinggi dibandingkan dengan M. anisopliae.

(5)

v

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(6)

PATOGENISITAS BEBERAPA ISOLAT CENDAWAN

ENTOMOPATOGEN TERHADAP RAYAP TANAH

Coptotermes curvignathus Holmgren DAN Schedorhinotermes

javanicus Kemmer (ISOPTERA : RHINOTERMITIDAE)

SEMPURNA GINTING

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Entomologi-Fitopatologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

vii

Judul Tesis : Patogenisitas Beberapa Isolat Cendawan Entomopatogen terhadap Rayap Tanah Coptotermes curvignathus Holmgren dan Schedorhinotermes javanicus Kemmer (Isoptera: Rhinotermitidae).

Nama : Sempurna Ginting

NIM : A451060101

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Teguh Santoso, DEA Dr. Ir. Idham Sakti Harahap, M.Si Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Entomologi-Fitopatologi

Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S

(8)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan atas segala karunia-Nya sehingga Tesis dengan judul” Patogenisitas Beberapa Isolat Cendawan Entomopatogen Terhadap Rayap Tanah Coptotermes curvignathus Holmgren dan Schedorhinotermes javanicus Kemmer (Isoptera: Rhinotermitidae) ini dapat diselesaikan. Penelitian ini penulis laksanakan mulai Agustus 2007 sampai Juni 2008.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Teguh Santoso, DEA dan Bapak Dr. Ir. Idham Sakti Harahap, M.Si selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, kritik dan saran. Dan juga kepada pimpinan Laboratorium Patologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, IPB atas bantuan fasilitas sarana maupun prasarana selama pelaksanaan penelitian dan juga telah melibatkan penulis dalam hibah bersaing. Semoga amal kebaikan Bapak akan senantiasa dilimpahkan rahmat dan karunia Tuhan.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kapada pimpinan asrama TPB, IPB Bapak Dr. Ir. Bony Soekarno, M.Si yang telah memberi izin untuk menggunakan areal asrama TPB sebagai lokasi penelitian ini.

Kepada kedua orang tuaku, abang-abangku dan adik-adikku terima kasih atas kasih sayang, dukungan, materi dan doa yang tiada henti. Kepada teman-temanku angkatan 2006 di program studi Entomologi, teman-teman di Laboratorium Patologi Serangga ibu Yanti, pak Yusmani, kak Yunimar, kak Uci dan pak Rosfiansyah terima kasih atas bantuanya dan kebersamaan selama penulis mengikuti studi di Sekolah Pascasarjana IPB. Akhir kata semoga karya tulisan ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2008

(9)

ix

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sembahe, Kec. Sibolangit, Kab. Deli Serdang, Sumatera Utara pada tanggal 23 Mei 1982 dari Bapak Ngadap Ginting dan Ibu Rela Br Tarigan. Penulis merupakan anak ketiga dari tujuh bersaudara.

(10)

DAFTAR ISI

Perbanyakan Cendawan Entomopatogen M. anisopliae dan M. brunneum Pada Media Beras ... 17

Penyiapan Suspensi Konidia ... 17

Uji Patogenisitas Beberapa Isolat Cendawan Entomopatogen terhadap Rayap Tanah C. curvignathus dan S. javanicus ... 18

Sporulasi Cendawan Entomopatogen pada Tubuh Rayap C. curvignathus ... 18

Uji Keefektifan M. anisopliae dan M. brunneum terhadap Rayap Tanah S. Javanicus di lapangan ... 21

Analisis Data ... 22

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23

Uji Patogenisitas Beberapa Isolat Cendawan Entomopatogen terhadap Rayap Tanah C. curvignathus dan S. Javanicus ... 23

Sporulasi Cendawan Entomopatogen pada Tubuh Rayap C. curvignathus ... 30

Daya Kecambah Konidia Cendawan Entomopatogen ... 32

Kelimpahan Koloni ... 33

Uji Keefektifan Cendawan Entomopatogen M. anisopliae dan M. brunneum terhadap S. javanicus ... 34

(11)

xi

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Nilai LC hasil analisis probit hari ke-3 M. brunneum,B. bassiana,

dan M. roridium terhadap C. curvignathus ... 27

2. Nilai LC hasil analisis probit hari ke-3 M. anisopliae dan

M. brunneum terhadap S. javanicus... 27

3. Nilai LT M. brunneum, B. bassiana, dan M. roridum terhadap

C. curvignathus pada kerapatan 107... 28

4. Nilai LT M. brunneum dan M. anisopliae terhadap

S. javanicus pada kerapatan 107... 28

5. Sporulasi cendawan entomopatogen M. brunneum, M. roridum dan B. bassiana pada tubuh rayap C. curvignathus pada

berbagai kerapatan konidia ... 31

6. Daya kecambah konidia berbagai isolat cendawan

entomopatogen pada media SDAY setelah 15 jam inokulasi ... 32

7. Ukuran populasi koloni rayap tanah S. javanicus di areal

Asrama TPB... 33

(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Mortalitas C. curvignathus akibat perlakuan berbagai kerapatan

konidia M. brunneum, B. bassiana, dan M. roridum... 24

2. Mortalitas S. javanicus akibat perlakuan berbagai kerapatan

konidia M. brunneum dan M. anisopliae ... 25

3. Hubungan antara log kerapatan konidia cendawan entomopatogen

dan probit mortalitas C. curvignathus... 26

4. Hubungan antara log kerapatan konidia cendawan entomopatogen

(14)
(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Rayap merupakan serangga sosial yang hidup dalam suatu koloni. Rayap

berperan di dalam proses daur ulang nutrisi tanaman melalui proses dekomposisi

material organik dari kayu dan serasah tanaman menjadi material anorganik

seperti karbon, nitrogen, sulfur, dan fosfor yang secara langsung berguna bagi

kelangsungan hidup manusia. Namun akibat pembukaan hutan untuk lahan

pertanian dan perkebunan serta pembangunan gedung dan perumahan di areal

bekas hutan dan perkebunan mengakibatkan terjadinya perubahan status rayap

menjadi serangga hama yang merugikan karena merusak tanaman budidaya dan

bangunan gedung (Nandika et al. 2003).

Saat ini terdapat lebih dari 2500 spesies rayap di dunia dan dan sekitar 200

spesies telah ditemukan di Indonesia dan 20 spesies diketahui berperan sebagai

hama perusak kayu serta hama hutan dan pertanian (Tarumingkeng 2001).

Serangan rayap telah menyebabkan kerugian ekonomis yang cukup besar. Hal ini

didukung karena hampir 80% dari luas daratan di Indonesia merupakan habitat

yang sesuai bagi kehidupan rayap (Nandika et al. 2003). Di Indonesia rayap yang paling banyak menimbulkan kerugian adalah rayap tanah (subterranean termites)

famili Rhinotermitidae, terutama genus Coptotermes dan Schedorhinotermes (Tambunan & Nandika 1989; Tarumingkeng 2001). Kerugian ekonomi akibat

serangan rayap pada bangunan di Indonesia diperkirakan mencapai 300 milyar

setiap tahun (Tarumingkeng 1993). Menurut Rakhmawati (1996) kerugian akibat

serangan rayap pada bangunan gedung di Indonesia pada tahun 1995 mencapai

1,67 triliun, oleh karena itu kerugian ekonomi tersebut harus segara diatasi.

Menurut Edwards & Mill (1986) dalam Eaton & Hale (1993), metode pengendalian rayap dapat dilakukan dengan cara: memasukkan pestisida ke dalam

kayu, sistem pengumpanan, metode fisik dan pengendalian hayati. Pemanfaatan

termitisida seperti hidrokarbon berklor sangat efektif untuk mengendalikan rayap

namun menimbulkan efek negatif seperti resistensi hama, resurgensi, serta

keracunan pada manusia dan hewan yang bukan sasaran. Pengendalian hayati

(16)

satu alternatif untuk pengendalian rayap tanah yang ramah lingkungan dan tidak

berbahaya bagi pemakainya (Pearce 1997).

Konidia cendawan entomopatogen yang menempel pada kutikula serangga

akan berpindah ke individu lainnya melalui prilaku grooming dan melalui prilaku tersebut propagul cendawan dapat ditransfer dari satu individu terinfeksi ke

individu lainnya (Kramm et al. 1982; Hanel & Watson 1983 dalam Strack 2003). Desyanti (2007) melaporkan bahwa penggunaan 10% rayap terinfeksi (carrier)

yang diinokulasi dengan Metarhizium anisopliae (3,12 x 106/ml), M. brunneum (1,21 x 106/ml) dan Beauveria bassiana (1,08 x 107/ml) selama 15 hari menyebabkan mortalitas C. gestroi lebih dari 90%.

Hasil penelitian tersebut digunakan sebagai pedoman untuk penularan

inokulum dalam suatu koloni rayap. Namun demikian, belum ada informasi

mengenai patogenisitas beberapa isolat cendawan entomopatogen terhadap rayap

tanah C. curvignathus dan Schedorhinotermes javanicus Kemmer. Berdasarkan pertimbangan tersebut, penelitian tentang patogenisitas beberapa isolat cendawan

entomopatogen sebagai agens pengendalian hayati rayap tanah C. curvignathus dan S. javanicus perlu dilakukan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi tentang teknologi alternatif pengendalian rayap

perusak kayu dan tanaman yang ramah lingkungan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari patogenisitas cendawan

entomopatogen isolat Indonesia Metarhizium anisopliae, M. brunneum, B. bassiana, dan Myrothecium roridum dan menguji keefektifannya terhadap rayap tanah C. curvignathus dan S. javanicus di lapangan.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi teknologi alternatif

(17)

3

TINJAUAN PUSTAKA

Biologi dan Ekologi Rayap

Rayap adalah serangga yang hidup dalam kelompok-kelompok sosial

dengan sistem kasta yang berkembang sempurna. Sayapnya berjumlah empat

buah, berbentuk seperti selaput dengan pertulangan yang sederhana, bentuk dan

ukuran sayap depan sama dengan sayap belakang dan oleh karena itu dinamakan

Isoptera (iso=sama; ptera=sayap) dari bahasa Yunani (Borror & De Long 1954).

Secara filogenetika rayap (ordo Isoptera) dibagi kedalam dua kelompok

yaitu rayap tingkat rendah (lower termites) dan rayap tingkat tinggi (higher termites). Perbedaan keduanya antara lain terletak pada pengaturan organisasi di dalam koloninya dan jenis simbion pada sistem pencernaan yang berperan dalam

proses penguraian selulosa. Pada rayap tingkat rendah mekanisme pembentukan

individu menjadi kasta pekerja, prajurit dan neoten sudah dapat dilihat dari

perkembangan morfologinya mulai instar pertama, hal tersebut terjadi karena

sejak awal individu-individu tersebut sudah mewarisi karakter genetik yang

berbeda (Miller dalam Krishna &Weesner 1969). Sedangkan pada rayap tingkat tinggi pembentukan kasta pekerja, prajurit dan neoten dikendalikan oleh feromon

(Noirot dalam Krishna &Weesner 1969). Pada rayap tingkat rendah umumnya simbion yang hidup di dalam saluran pencernaanya adalah dari golongan protozoa

sedangkan pada rayap tingkat tinggi peranan protozoa digantikan oleh bakteri.

Rayap tingkat rendah terdiri dari enam famili yaitu: Mastotermitidae,

Kalotermitidae, Hodotermitidae, Termopsidae, Rhinotermitidae, dan

Serritermitidae, sedangkan rayap tingkat tinggi adalah dari famili Termitidae

(Krishna 1969 dalam Krishna &Weesner 1969).

1. Polimorfisme

Rayap merupakan serangga sosial yang hidup dalam satu koloni dengan

organisasi individu yang secara morfologi dibedakan menjadi bentuk dan kasta

yang berlainan. Kasta yang terdapat di dalam koloni rayap meliputi: kasta

reproduktif yang terdiri atas serangga-serangga dewasa yang bersayap dan

(18)

belum dewasa (larva dan nimfa), masing-masing kasta melakukan fungsi yang

berbeda satu dengan lainnya (Krishna 1969 dalam Krishna &Weesner 1969). Kasta reproduktif terdiri atas individu-individu seksual yaitu betina (ratu)

yang tugasnya bertelur dan jantan (raja) yang tugasnya membuahi betina. Kasta

ini dibedakan menjadi kasta reproduktif primer dan kasta reproduktif suplementer

atau neoten. Kasta reproduktif primer terdiri dari serangga-serangga dewasa yang

bersayap dan merupakan pendiri koloni. Neoten muncul segera setelah kasta

reproduktif primer mati tetapi ukuran abdomen ratu suplementer tidak membesar

seperti ratu primer. Neoten dapat terbentuk beberapa kali dalam jumlah yang

besar sesuai dengan perkembangan koloni. Selanjutnya neoten menggantikan

fungsi kasta reproduktif primer untuk perkembangan koloni (Krishna 1969 dalam Krishna &Weesner 1969).

Kasta pekerja merupakan anggota yang terbesar dalam koloni rayap, tidak

kurang dari 80% - 95% populasi dalam koloni rayap merupakan individu-individu

kasta pekerja. Kasta pekerja umumnya berwarna pucat dengan kutikula hanya

sedikit mengalami penebalan, mandibelnya relatif kecil bila dibandingkan dengan

kasta prajurit. Fungsi kasta pekerja adalah merawat telur dan larva, mencari dan

memberi makan serta memelihara ratu, merawat sarang dan memakan rayap yang

lemah sehingga indvidu yang kuat saja dipertahankan untuk pengaturan

keseimbangan di dalam koloni rayap (Tarumingkeng 2001). Pada famili

Mastotermitidae, Rhinotermitidae, dan Hodotermitidae kasta pekerja disebut

dengan pekerja palsu (pseudoworker atau pseudogaster) karena fungsi kasta pekerja digantikan oleh individu-individu yang belum dewasa sedangkan pada

Kalotermitidae kasta pekerja disebut dengan nimfa, sementara pada rayap tingkat

tinggi (Termitidae) kasta pekerja dapat dibedakan jelas dengan fase nimfa

(Krishna 1969 dalam Krishna &Weesner 1969).

Kasta prajurit memiliki bentuk kepala yang besar dan integumenya

mengalami penebalan. Fungsi kasta prajurit adalah melindungi koloni terhadap

gangguan dari luar, khususnya semut dan predator lainya. Kasta prajurit mampu

menyerang musuhnya dengan mandibel yang dapat menusuk, mengiris dan

menjepit, gigitan kasta prajurit pada tubuh musuhnya sangat sukar dilepaskan

(19)

5

2. Sifat dan Prilaku Rayap

Rayap memiliki beberapa sifat dan prilaku yang khas (Nandika &

Tambunan 1987; Tarumingkeng 2004) yaitu: 1. trofalaksis adalah transfer

material (makanan dan protozoa) kepada anggota rayap lainya dalam satu koloni.

Tansfer material melalui anus disebut dengan proctodeal sedangkan melalui mulut disebut dengan stomodeal. Sifat trofalaksis tersebut sebagai cara untuk memperoleh protozoa flagellata bagi individu yang baru ganti kulit (ekdisis),

karena pada saat ekdisis integumen protodeum juga tanggal sehingga protozoa

simbion yang diperlukan untuk mencerna selulosa ikut keluar dan diperlukan

reinfeksi dengan jalan trofalaksis. 2. grooming adalah mekanisme saling menjilat, mencium dan mengosokkan tubuhnya antar anggota koloni. 3. kriptobiotik yaitu

menyembunyikan diri dan menjauhi sinar dari luar kecuali pada kasta reproduktif

bersayap yang memerlukan cahaya selama periode swarming. Rayap hidup dalam

tanah dan bila mencari obyek makanan akan menerobos dari bagian dalam tanah,

bila perlu lapisan logam tipis dan tembok (plastik) juga ditembusnya dan jika

terpaksa harus berjalan di permukaan yang terbuka rayap membentuk pipa

pelindung dari bahan tanah atau humus (sheltertubes). 4. kanibalistik, sifat saling memakan individu sejenis yang lemah, sifat ini lebih menonjol apabila rayap

dalam keadaan kekurangan makanan. Bila ada prajurit yang sudah tua dan tak

dapat mempertahankan sarangnya lagi akan dimakan oleh pekerja. Demikian juga

betina dan jantan baik ratu, raja maupun neoten (reproduktif sekunder) yang tidak

mampu menjalankan fungsinya untuk berkembang biak lagi akan mengalami

nasib yang sama. 5. nekrofagi yaitu memakan bangkai sesamanya.

Selulosa merupakan makanan utama rayap, oleh karena itu kayu dan

jaringan tanaman merupakan sasaran serangan rayap. Karena ukuran populasi

yang besar disertai daya jelajah yang luas maka rayap mampu menjangkau dan

merusak bahan-bahan yang menjadi kepetingan manusia seperti kertas, karton,

kain, dan plastik (Nandika 1987). Zat lain seperti gula dan protein juga diperlukan

oleh rayap untuk pertumbuhannya serta sebagian energi untuk bertelur, zat-zat

tersebut diperoleh dari makanan dan pencernaan beberapa organisme simbion di

(20)

Rayap hidup ditempat yang temperaturnya hangat serta karakteristik

tanahnya subur. Kisaran temperatur yang disukai rayap adalah 21,1 - 26,6oC

dengan kelembaban optimal 95 - 98% (Susanta 2007). Koloni rayap dapat hidup

pada kedalaman tanah 5 hingga 6 meter untuk berlindung dari perubahan cuaca

yang kurang menguntungkan (Pearce 1997).

Rayap mengalami perubahan bentuk (metamorfosis) yang disebut dengan

metamorfosis tidak sempurna (hemimetabola). Siklus hidupnya dimulai dari telur,

nimfa, dan imago.

Larva atau individu muda yang berasal dari telur di dalam koloni akan

berkembang menjadi pekerja, prajurit, dan alata. Jantan dan betina reproduktif

bersayap akan pergi meningalkan koloni melakukan swarming atau terbang

memencar dan biasanya terjadi dalam waktu yang singkat, beberapa jenis rayap di

daerah tropis melakukan swarming pada awal musim hujan. Masa swarming ini

merupakan masa perkawinan dimana sepasang imago alata bertemu dan segera

menangalkan sayapnya serta mencari tempat yang sesuai di dalam tanah atau kayu

(Krishna 1969). Pemilihan sarang dapat pula terjadi sebelum kasta reproduksi

berpasangan (Lee & Wood 1971).

3. Pembentukan koloni

Seketurunan rayap yang hidup dalam satu kelompok dengan pola hidup

sosial disebut koloni. Menurut Harris (1971); Lee & Wood (1971); Tarumingkeng

(1985) pembentukan koloni rayap dapat terjadi dengan tiga cara yaitu: (1) melalui

sepasang imago rayap yang bersayap (laron); (2) melalui pemisahan koloni secara

pasif dari koloni utama karena ada ganguan atau adanya bencana yang menimpa

koloni dan membentuk kasta reproduksi suplementer; dan (3) melalui proses

migrasi dari sebagian koloni rayap termasuk kasta reproduktif ketempat yang

baru, selanjutnya koloni yang tertinggal menggembangkan kasta reproduktif

(21)

7

4.Rayap Tanah C.curvignathus

Menurut Nandika et al. (2003), C. curvignathus merupakan rayap tanah yang paling luas serangganya di Indonesia, dan diklasifikasikan sebagai berikut:

Filum : Arthropoda

Kelas : Insecta

Sub-klas : Pterigota

Ordo : Isoptera

Famili : Rhinotermitidae

Sub-famili : Coptotermitinae

Genus : Coptotermes

Spesies : Coptotermes curvignathus

Thapa (1981) menyatakan kasta prajurit C. curvignathus memiliki kepala bewarna kuning, antena, labrum dan pronotum kuning pucat. Bentuk kepala

hampir bulat dengan ukuran panjang sedikit lebih besar dari pada lebarnya,

memiliki fontanel yang lebih lebar. Antena rata-rata terdiri atas 15 ruas; ruas

kedua dan ruas keempat sama panjangnya. Mandibel berbentuk seperti sabit dan

melengkung di ujungnya; batas antara sebelah dalam dari mandibel kanan sama

sekali rata. Rata-rata panjang kepala tanpa mandibel lebih kurang 1,56 – 1,68 mm.

Lebar kepala lebih kurang 1,40 – 1,44 mm. Bagian abdomen bewarna putih

kekuning-kuningan yang ditutupi rambut menyerupai duri. Suratmo (1974)

menyatakan panjang badan kasta reproduktif 7,5 – 8,0 mm, kasta pekerja 4,5 – 5,0

mm, dan prajurit 5,0 – 5,3 mm.

5.Rayap Tanah S. javanicus

Schedorhinotermes javanicus termasuk rayap tanah yang paling luas penyebaranya dan dapat mencapai hingga ketinggian 1000 m dari permukaan laut.

(22)

secara morfologi sangat mirip tetapi telah dipisahkan berdasarkan perbedaan yang

sangat kecil.

Rayap S. javanicus memiliki dua tipe kasta prajurit yaitu kasta prajurit berukuran besar dan kasta prajurit berukuran kecil. Menurut Nandika et al. (2003) karakteristik morfologi kasta prajurit berukuran besar adalah sebagai berikut:

kepala berwarna kuning muda, panjang kepala dengan mandibel 1,47-1,57 mm,

lebar kepala 1,37-1,47 mm dan jumlah ruas antena sebanyak 16 ruas. Panjang

labrum 0,40-0,45 mm dan lebarnya 0,16-1,17 mm. Sedangkan kasta prajurit

berukuran kecil mempunyai kepala yang berwarna kuning muda dengan panjang

kepala beserta mandibelnya 1,09-1,21 mm, lebar kepala 0,9 mm, dan jumlah ruas

antena sebanyak 15 ruas.

Menurut Krisna & Weesner (1970) rayap S. javanicus dijumpai hampir di semua daerah di pulau jawa terutama di daerah dengan ketinggian di bawah 1000

m dari permukaan laut. Harris (1971) menyatakan bahwa rayap tersebut

menyerang tungak-tungak kayu di hutan, log yang sudah busuk dan juga merusak

kayu konstruksi.

Pengendalian Rayap

1. Pengendalian dengan cara fisik

Pengendalian ini dilakukan dengan cara membentuk penghalang (barrier)

di permukaan tanah di bawah bangunan untuk mencegah penetrasi rayap ke dalam

bangunan. Walaupun cara ini tidak mutlak mampu mencegah serangan rayap

karena rayap mampu membuat terowongan kembara di atas tembok, lantai dan

dinding untuk mencapai obyek kayu makanannya tetapi bagi bangunan sederhana

cara ini dapat memperlambat serangan rayap, dan adanya terowongan-terowongan

dapat dideteksi (Tarumingkeng 2001). Bahan yang digunakan sebagai penghalang

antara lain pasir, perlit, granit, mesh stainless steel, dan sebagainya. Pengendalian

secara fisik di Indonesia belum populer, namun sudah dilakukan dibeberapa

(23)

9

2. Pengendalian dengan cara kimia

Pengendalian dengan memberikan perlakuan bahan kimia pada lapisan

tanah disebut juga pengendalian secara kimia. Prinsip dasar pengendalian ini

adalah pembentukan barrier dari bahan kimia pada lapisan tanah untuk mencegah

penetrasi rayap ke dalam bangunan. Beberapa jenis termitisida non repelen (

menyebabkan kematian secara perlahan-lahan) yang dapat digunakan adalah

kloronikotonil, fipronil, imidaklorpid (nitroguanidine), klorfenafir, fenilpirazol,

nikotinoid, pirol, asam borat, IGR, dan termitisida repelen (termitisida yang

bersifar racun syaraf yang mematikan dengan cepat) antara lain piretroid dan

organofosfat (Yusuf & Utomo 2006).

Cara yang paling efektif adalah melindungi bangunan dengan cara

membuat benteng yang kuat terhadap rayap di bagian fondasi dengan cara

mencampur bahan fondasi dengan termitisida atau perlakuan tanah di bawah dan

di sekitar fondasi dengan termitisida yang tahan pencucian (persisten) serta

memiliki afinitas dengan tanah. Jika bangunan telah terserang dapat digunakan

cara pengendalian seperti pengumpanan dan pengendalian koloni dengan

menggunakan insektisida penekan pertumbuhan kutikel seperti heksaflumuron

(Tarumingkeng 2001).

Pearce (1997) menyatakan bahwa teknik pengumpanan dengan cara

menempatkan umpan beracun dekat koloni rayap. Cara tersebut lebih

menguntungkan karena tanah tidak terkontaminasi oleh bahan kimia dan dapat

meringankan pekerjaan dari perlakuan yang intensif. Keefektifan umpan

tergantung pada prilaku rayap, yang penting rayap harus dapat menemukan umpan

dan dengan reaksi racun yang lambat rayap dapat menyebarkan umpan beracun ke

koloninya.

Pengujian pengumpanan di laboratorium dengan menggunakan

hexaflumuron pada rayap tanah C. curvignathus mampu mengeliminasi 100% rayap selama enam minggu waktu pemaparan (Diba & Nandika 1999).

Hexaflumuron dapat mempengaruhi kerja enzim kitinase dengan menghambat

(24)

mengeliminasi 431.000 - 658.496 individu rayap selama pengumpanan 104 - 159

hari (Husni et al. 1999).

3. Pengendalian dengan cara hayati

Pengendalian rayap dengan cara hayati dapat dilakukan dengan

menggunakan musuh-musuh alami misalnya nematoda dan cendawan. Menurut

Bakti (2004) penggunaan nematoda Steinernema carpocapsae untuk mengendalikan rayap tanah C. curvignathus di laboratorium dalam waktu dua hari mengakibatkan mortalitas rayap mencapai 38,16–60,80% dan setelah 6 hari

mortalitas rayap mendekati 100%.

Pengendalian rayap Reticulitermes flavipes dengan menempatkan konidia cendawan M. anisopliae pada rayap pekerja R. flavipes menghasilkan mortalitas 100% dalam waktu 5 hari dan dengan metode pengumpanan 12 hari. Sedangkan

dengan pemindahan kasta pekerja yang terkontaminasi ke rayap yang sehat di

dalam cawan petri mengakibatkan kematian pada rayap yang sehat setelah 8 hari

(Zoberi 1995) dalam Bayon et al. (2000). Suzuki (1991) melaporkan pengujian M. anisopliae terhadap C. formosanus dan R. speratus dengan metoda pengumpanan selembar kertas saring menghasilkan LT50 dalam waktu 11 hari. Kertas saring

yang terkontaminasi M. anisopliae juga berperan penting terhadap laju mortalitas rayap Cryptotermes brevis (Nash & Moein 1997 dalam Bayon et al. 2000).

Metarhizium anisopliae secara komersil telah dikembangkan ke dalam suatu produk yang diaplikasikan di atas tanah yang disebut dengan Bio-BlastTM dan telah di daftar oleh US EPA pada tahun 1994 (Rath & Tidbury 1996; Krueger

et al. 1995 dalam Bayon et al. 2000). Cloyd (2003) menyatakan bahwa pada uji laboratorium kematian rayap terjadi pada hari ke-4 hingga ke-10 dan tergantung

pada temperatur karena viabilitas cendawan menurun pada temperatur tinggi dan

virulensi cendawan menurun pada temperatur rendah.

(25)

11

memperlihatkan efek termitisida terhadap C. formosanus dan R. speratus dan perkecambahan serta pertumbuhannya cukup baik. Maniania et al. (2002) melaporkan bahwa M. anisopliae dapat mengendalikan rayap di ekosistem pertanaman jagung. Desyanti (2007) menyatakan bahwa M. anisopliae, M. brunneum, M. roridum, B. bassiana, F. Oxysporum, dan A. flavus, dengan kerapatan konidia cendawan 107 konidia/ml dapat membunuh rayap C. gestroi 100% setelah 6 hari inokulasi

Karakteristik Cendawan Entomopatogen

1. Metarhizium anisopliae (Metschnikoff) Sorokin

Metarhizium anisopliae adalah salah satu cendawan entomopatogen yang termasuk ke dalam divisi Eumycota, subdivisi Deuteromycota (reproduksi

aseksual (fungi imperfect), klas Hyphomycetes (spora dibentuk secara tunggal

pada konidofor), ordo Moniliales yaitu berdasarkan tipe generatif konidia dan

konidiofornya tidak dibentuk pada piknidium (tempat pembentukan konidia dan

konidiofor) atau acervulus (struktur yang terdiri dari kumpulan konidia pada

setiap konidiofor). Famili Moniliaceae dicirikan oleh konidiofor yang solid,

kadang-kadang dalam bentuk grup tetapi tidak pernah dalam bentuk synnemata

(struktur grup konidiofor yang panjang) atau sporodochia. Moniliaceae juga

dikarakterisasi oleh konidia dan konidiofor yang terang atau tidak bewarna

Ainsworth 1963 dalam Butt et al. (2001).

Metarhizium anisopliae biasa disebut dengan green muscardine fungus tersebar luas di seluruh dunia (Strack 2003). Koloni cendawan M. anisopliae pada awal pertumbuhannya berwarna putih, kemudian berubah menjadi hijau gelap

dengan bertambahnya umur. Strain lain dari Metarhizium akan membentuk warna koloni yang berbeda, strain brunneum menghasilkan warna koloni kuning sampai coklat. Miselium bersekat, konidiofor tersusun tegak, berlapis, dan bercabang

yang dipenuhi dengan konidia. Konidia bersel satu berwarna hialin, berbentuk

bulat silinder dengan ukuran 9,94 x 3,96 mµ.

Temperatur optimum untuk pertumbuhan M. anisopliae berkisar 220 - 270C (Roddam dan Rath 1997). Pada umumnya cendawan tersebut dapat tumbuh

(26)

kecambah pada kelembapan di atas 90%, namun demikian Milner et al. (1997) melaporkan bahwa konidia akan berkecambah dengan baik dan patogenisitasnya

meningkat bila kelembapan udara sangat tinggi hingga 100%. Koloni dapat

tumbuh dengan cepat pada beberapa media seperti potato dextrose agar (PDA), jagung, dan beras.

Metarhizium anisopliae tergolong ke dalam patogen fakultatif, dapat hidup dan berkembang biak pada serangga hidup maupun pada bahan organik.

Cendawan tersebut bersifat parasit pada beberapa jenis serangga dan bersifat

saprofit di dalam tanah dengan bertahan pada sisa-sisa tanaman (Alexopoulus dan

Mims 1996). Cendawan ini pertama kali digunakan untuk mengendalikan hama

kumbang kelapa lebih dari 85 tahun yang lalu, dan sejak itu digunakan di

beberapa negara termasuk Indonesia. M. anisopliae telah lama digunakan sebagai agen hayati dan dapat menginfeksi beberapa jenis serangga, antara lain dari ordo

Coleoptera, Lepidoptera, Hemiptera, dan Isoptera (Starck 2003). M. anisopliae telah terbukti mampu mematikan Plutella xylostella dari ordo Lepidoptera yang menyerang tanaman kubis (Winarto dan Nazir 2004). M. anisopliae juga mampu mematikan Ostriania furnacalid Guenee pada tanaman jagung (Freimosser et al. 2003).

Kemampuan entomopatogenitas M. anisopliae dikarenakan cendawan M. anisopliae menghasilkan destruxin A, B, C, D, E dan desmethyldestruxin B. Efek destruxin berpengaruh pada organel sel (mitokondria, retikulum endoplasma dan

membran nukleus), menyebabkan paralisis sel dan ganguan fungsi tabung

malphigi, hemocyt dan jaringan otot (Tanada dan Kaya 1993).

2. Beauveria bassiana (Bals.) Vuill.

Beauveria bassiana tergolong ke dalam divisi Eumycota, subdivisi Deuteromycotina, kelas Hyphomycetes, dan ordo Moniliales. Karakteristik utama

cendawan tersebut adalah bentuk konidiofornya yang bercabang-cabang dengan

pola zig-zag dan pada bagian ujungnya terbentuk konidia. Konidia keras, bersel

satu, berbentuk agak bulat, hialin, berukuran 2-3 mµ dan muncul dari setiap ujung

(27)

13

dan bercabang. Miselia berwana putih atau kuning pucat, berupa benang-benang

halus, tampak seperti kapas atau kapur (Tanada dan Kaya 1993).

Koloni cendawan B. bassiana berwarna putih pada medium Saboraud dextrose Aagar with yeast extract (SDAY) dan selanjutnya berubah kekuningan dengan bertambahnya umur. Pertumbuhan cendawan relatif lambat, yaitu baru

mencapai diameter sekitar 4 cm dalam waktu 14 hari pada medium SDAY

(Wiryadiputra 1994).

3. Myrothecium roridum Tode ExFR.

Myrothecium roridum termasuk dalam divisi Deuteromycotina. Sporodochianya (struktur grup konidiofor yang panjang) bertangkai seperti

synnemata berdiameter 60-750 µm, muncul dari perkembangan stroma (struktur

hifa yang kompak), konidiofor hialin, tepi seta kadang-kadang juga hialin,

bercabang, cabang terakhir merupakan phialit berukuran 11-16 x1,5-2,0 µm.

Konidia dihasilkan pada bagian terminal, konidia hialin hingga gelap, berbentuk

oval memanjang berukuran 5,5-7,0 x 1,5-2 µm. Bersifat parasit atau sapropit

(Barnet HL & Hunter BB 1998). Temperatur optimal untuk pertumbuhan

25-27ºC, dengan kisaran pH 2,8-9,2. Diameter koloni 4-6 cm selama 14 hari pada

media PDA dan miselium berwarna putih kemerahan. (Tulloch et al. 1970 dalam Domsch et al. 1980).

4. Mekanisme Infeksi

Menurut Ferron (1985) ada empat proses serangan penyakit serangga yang

disebabkan oleh cendawan. Tahap pertama adalah inokulasi, yaitu kontak antara

propagul cendawan dengan tubuh serangga. Propagul cendawan berupa konidia

karena merupakan cendawan yang berkembang biak secara tidak sempurna.

Tahap kedua adalah proses penempelan dan perkecambahan propagul cendawan

pada integumen serangga. Kelembapan udara yang tinggi dan bahkan

kadang-kadang air diperlukan untuk perkecambahan propagul cendawan. Tahap ketiga

yaitu penetrasi dan invasi. Cendawan dalam melakukan penetrasi menembus

(28)

Penetrasi dilakukan dapat secara mekanis dan kimiawi dengan mengeluarkan

enzim seperti lipase, khitinase, amilase, proteinase, pospatase, dan esterase serta

toksin (Freimoser et al. 2003). Tahap keempat yaitu destruksi pada titik penetrasi dan terbentuknya blastospora yang kemudian beredar ke dalam hemolimfa dan

membentuk hifa sekunder untuk menyerang jaringan lainnya (Strack 2003).

Serangga juga mengembangkan sistem pertahanan diri dengan cara

fagositosis atau enkapsulasi dengan membentuk granuloma. Pada waktu serangga

mati, fase perkembangan saprofit cendawan dimulai dengan penyerangan jaringan

dan berakhir dengan pembentukan organ reproduksi. Pada umumnya semua

jaringan dan cairan tubuh seranggga habis digunakan oleh cendawan, sehingga

serangga mati dengan tubuh yang mengeras seperti mumi. Pertumbuhan

cendawan diikuti dengan pengeluaran pigmen atau toxin yang dapat melindungi

serangga dari serangan mikroorganisme lain terutama bakteri. Cendawan tidak

selalu tumbuh ke luar menembus integumen serangga, apabila keadaan kurang

mendukung, perkembangan saprofit hanya berlangsung di dalam jasad serangga

tanpa ke luar menembus integumen. Dalam hal ini cendawan membentuk struktur

khusus untuk dapat bertahan (Ferron 1985).

Kemampuan patogen untuk bisa menimbulkan penyakit ditentukan oleh

berbagai faktor yaitu patogen, inang dan lingkungan. Dari segi patogen, dosis dan

cara aplikasi akan mempengaruhi mortalitas serangga. Dari segi inang, berbagai

faktor fisiologi dan morfologi inang mempengaruhi kerentanan serangga terhadap

cendawan entomopatogen, seperti kerapatan populasi, perilaku, umur, nutrisi,

genetika dan perlakuan. Salah satu faktor yang berperan penting dalam

keberhasilan penggunaan cendawan entomopatogen adalah stadia perkembangan

serangga karena tidak seluruh stadia dalam perkembangan serangga rentan

terhadap infeksi cendawan. Dari segi lingkungan, berbagai faktor lingkungan

seperti radiasi matahari, suhu, kelembaban relatif, curah hujan dan tanah sangat

mempengaruhi efikasi cendawan entomopatogen terhadap serangga hama. Semua

faktor lingkungan saling berinteraksi, interaksi yang komplek dan dinamik ini

(29)

15

5. Persistensi Cendawan Entomopatogen

Kemampuan patogen untuk bisa hidup dan bertahan di lingkungan

merupakan salah satu faktor penting dalam keberhasilan pengendalian hayati.

Propagul cendawan yang memiliki persistensi yang baik akan mempunyai peluang

yang lebih besar untuk bisa kontak dengan serangga dan menimbulkan penyakit

(Inglis et al. 2001).

Tanah merupakan habitat untuk inisiasi infeksi cendawan pada serangga

karena kandungan air dalam tanah tinggi, suhu yang sedang dan terlindung dari

radiasi ultraviolet. Akan tetapi kemampuan konidia cendawan untuk bertahan

dalam tanah sangat tegantung pada kerentanan konidia terhadap mikroflora tanah

(Roberts & Capbell 1977 dalam Daoust & Pereira 1986). Berbagai macam faktor tanah seperti tipe tanah (tekstur tanah, kandungan bahan organik, pH), kadar air

tanah dan adanya mikroflora tanah mempengaruhi persistensi cendawan

(30)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan dari bulan Agustus sampai Januari 2008 di

Laboratorium Patologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Institut

Pertanian Bogor (IPB). Pengujian lapang dilaksanakan dari bulan Agustus 2007

sampai Juni 2008 di Areal Asrama Mahasiswa TPB, IPB.

Spesies Rayap Tanah yang Digunakan

Rayap tanah yang digunakan terdiri dari kasta pekerja dan prajurit C. curvignathus Holmgren yang diperoleh dari Laboratorium Biologi Hasil Hutan Pusat Studi Ilmu Hayati IPB dan S. javanicus Kemmer dari areal Asrama TPB IPB.

Koleksi dan Perbanyakan Isolat Cendawan Entomopatogen

Isolat M. brunneum, M. anisopliae, B. bassiana, dan M. roridum yang digunakan dalam penelitian ini merupakan koleksi Laboratorium Patologi

Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, IPB. Isolat ditumbuhkan pada medium

Saboraud Dextrose Agar with Yeast extract (SDAY) (dekstrose 10 g, pepton 2,5

g, ekstrak khamir 2,5 g, agar 20 g, kloramfenikol 0,5 g, dan aquadest 1 l)

(Samuels et al. 2002).

Isolasi M. brunneum, M. anisopliae, B. bassiana, dan M. roridum dari serangga yang terinfeksi dilakukan dengan cara mengambil miselia atau

konidianya dan ditumbuhkan pada media SDAY, kemudian dilakukan pemurnian

pada media yang sama. Isolat diinkubasi pada suhu 25oC selama 15 hari. Untuk

mempertahankan virulensi isolat yang diuji, isolat tersebut diinokulasi kembali

pada rayap dan dari rayap yang terinfeksi diisolasi kembali dan dimurnikan pada

media SDAY.

Identifikasi Cendawan Entomopatogen

Identifikasi dilakukan secara makroskopis dengan mengamati

(31)

17

sedangkan untuk pengamatan secara mikroskopis isolat tersebut ditumbuhkan

pada kaca objek cekung dengan metode slide culture (Becnel 1997). Identifikasi cendawan mengacu pada prosedur Barnett & Hunter (1972) yaitu dengan melihat

karakter morfologi yang dimiliki oleh setiap isolat.

Perbanyakan M. brunneum dan M. anisopliaepada Media Beras

Isolat M. brunneum dan M. anisopliae diperbanyak pada media beras dan diinkubasi pada suhu 25oC selama 3 minggu. Perbanyakan isolat pada media beras

dilakukan dengan cara memasak beras selama 10 menit kemudian beras yang

sudah agak lunak dimasukkan ke dalam setiap kantong plastik sebanyak 20

gram/kantong dan ditutup kemudian disterilisasi di dalam autoclave pada suhu

121o C selama 30 menit. Setelah dingin ke dalam kantong plastik diinokulasikan

konidia cedawan dari biakan murni yang ditumbuhkan pada media SDAY,

sesudah 1 minggu setiap kantung diperiksa yang terkontaminasi dibuang yang

tidak terkontaminasi dapat digunakan setelah tiga minggu.

Penyiapan Suspensi Konidia Cendawan Entomopatogen

Suspensi konidia M. brunneum, M. anisopliae, B. bassiana, dan M. roridum diperoleh dengan menambahkan 10 ml aquades steril ke dalam cawan petri berisi biakan cendawan yang telah berumur 3 minggu dan diberi surfaktan

Triton X-100 dengan konsentrasi 0,05%. Konidia dilepaskan dari medium dengan

menggunakan kuas halus kemudian jumlah konidianya dihitung dengan

menggunakan haemocytometer.

Uji patogenisitas M. brunneum, M. anisopliae terhadap Rayap S. javanicus

dan B. bassiana, M. brunneum, M. roridum terhadap C. curvignathus.

Kerapatan konidia yang digunakan untuk uji mortalitas terhadap C. curvignathus dan S. javanicus adalah 0, 105, 5x105, 106, 5x106 dan 107 konidia/ml. Setiap unit percobaan terdiri atas 20 ekor rayap pekerja dan 2 ekor rayap prajurit.

Masing-masing C. curvignathus dan S. javanicus dicelupkan ke dalam suspensi konidia sesuai perlakuan, dan kontrol dicelupkan ke dalam air steril (tidak

(32)

berdiameter 9 cm yang telah diberi alas kertas saring sebagai sumber pakan rayap.

Setiap perlakuan diulang lima kali. Mortalitas rayap dihitung setiap hari hingga

hari keenam setelah inokulasi.

Sporulasi Cendawan Entomopatogen pada Tubuh Rayap C. curvignathus

Rayap C. curvignathus yang telah mati pada uji patogenisitas dimasukkan ke dalam cawan petri steril yang telah dilapisi dengan tissu steril sesuai dengan

masing-masing perlakuan, kemudian diinkubasi pada suhu 24 0C dan RH 95%

selama 5 sampai 7 hari. Setiap perlakuan diulang 5 kali. Persentasi sporulasi pada

tubuh rayap yang telah mati dihitung dengan rumus:

Rayap terkolonisasi

Sporulasi = X 100% Jumlah rayap perlakuan

Daya Kecambah Konidia Cendawan Entomopatogen

Daya kecambah konidia ditentukan menurut metode Junianto dan Sukamto

(1995). Media SDAY (Ø 0,5 cm dan tebal 1-2 mm) diletakkan di atas objek gelas

steril, kemudian di atas media diteteskan suspensi konidia yang mengandung 106

/ml dan dimasukkan ke dalam cawan petri steril dan diinkubasi pada suhu 24 0C

selama 12-24 jam. Setiap perlakuan diulang 5 kali. Pengamatan menggunakan

mikroskop cahaya dengan perbesaran 400 kali. Persentase konidia yang

berkecambah dihitung dari 100 konidia. Konidia dinyatakan telah berkecambah

apabila panjang tabung kecambah (germ tubes) telah melebihi diameter konidia.

Deteksi Lokasi Kehadiran Rayap S. javanicus

Pembuatan Kayu Umpan

Kayu umpan yang digunakan terbuat dari kayu pinus berukuran 2,5 x 4,0 x

28 cm3 dalam keadaan kering udara. Kayu pinus termasuk jenis kayu yang

memiliki kelas keawetan dan berat jenis yang rendah yaitu kelas awet 3-4 dengan

berat jenis 0,55 serta kekerasan sisi yang rendah, oleh karena itu kayu tersebut

secara alami sangat rentan terhadap serangan rayap dan aktivitas makan rayap

(33)

19

Pemasangan Kayu Umpan dan Pembuatan Stasiun Pengamatan

Tanah digali sehigga membentuk liang berdiameter 17 cm dengan

kedalaman 13 cm, kemudian pipa polivinychoride (PVC) berdiameter 17 cm,

tinggi 15 cm, tebal 0,8 cm dimasukkan secara vertikal ke dalam masing-masing

liang tersebut untuk membatasi tanah dan ruangan yang terbentuk oleh rongga

pipa PVC. Kayu umpan kemudian dibenamkan secara vertikal ke dalam tanah

sedalam 23 cm, bagian kayu umpan yang muncul ke atas permukaan tanah

setinggi 5 cm dan jarak antar kayu umpan ± 100 meter.

Pengamatan kayu umpan dilakukan setelah satu bulan, selanjutnya stasiun

pengamatan ditetapkan pada kayu umpan yang terserang rayap. Bagian atas PVC

ditutup dengan ember plastik, setelah kayu umpan habis dimakan rayap, ke dalam

rongga PVC segera ditempatkan kayu umpan yang baru.

Karakterisasi Rayap S. javanicus

1. Penentuan Berat Rata-Rata Tubuh Rayap S. javanicus

Rayap dari setiap stasiun pengamatan dikumpulkan secara terpisah di

laboratorium dan ditimbang untuk menentukan berat rata-rata tubuh rayap kasta

pekerja dan prajurit. Dari suatu koloni rayap diambil 10 ekor rayap secara acak

ditimbang dan dihitung rata-rata beratnya dan diulang sebanyak 10 kali sehingga

didapatkan berat satu ekor rayap (Su 1997).

2. Penentuan Jumlah Rayap S. javanicusYang Tertangkap

Semua rayap kasta pekerja dan prajurit yang tertangkap dari setiap stasiun

pengamatan ditimbang sehingga diperoleh berat total masing-masing kasta.

Jumlah total rayap pekerja dan prajurit yang tertangkap adalah berat total kasta

pekerja atau prajurit yang tertangkap dibagi dengan berat rata-rata tubuh rayap.

Pendugaan Kelimpahan Anggota Koloni Rayap S. javanicus

Percobaan dilakukan di Areal Asrama Mahasiswa TPB, IPB. Aplikasi

dilakukan dengan penyiraman suspensi M. brunneum dan M. anisopliae pada kerapatan 4,5x109 konidia/ml sebanyak 1 liter persarang pengujian dan kontrol

(34)

07.00-09.00 untuk menghindari tingginya temperatur pada tanah. Setiap perlakuan

terdiri atas satu sarang dan diulang sebanyak tiga kali. Tiga minggu setelah

perlakuan tersebut dihitung kelimpahan populasinya.

Kelimpahan anggota koloni rayap di lokasi penelitian yang telah diaplikasi

dengan cendawan M. brunneum dan M. anisopliae diduga melalui teknik penangkapan dan penandaan tiga tahap (triple mark recapture technique).

Tahapan kerja adalah sebagai berikut:

Tahap Pertama

1. Penangkapan

Kayu umpan yang terserang rayap dikumpulkan, kemudian dipisahkan dari

rayap dan kotoran, rayap kemudian ditimbang dan dihitung jumlahnya.

2. Penandaan

Seluruh rayap ditandai dengan menggunakan Nile Blue A 0,05% dan

Neutral Red 0,25% (b/b) (Su et al. 1991). Pewarnaan rayap mengunakan kertas saring (Whatman No. 1) yang direndam dalam larutan pewarna dengan pelarut

aquadest steril di dalam wadah pastik. Perendaman kertas saring dilakukan hingga

warnanya menjadi pekat seperti warna pelarut. Kertas saring yang sudah diwarnai

dengan baik diumpankan ke rayap selama lima hari. Setelah lima hari akan

diperoleh rayap yang tubuhnya berwarna biru dan merah.

3. Pelepasan

Rayap yang telah bertanda dan diketahui jumlahnya dilepaskan kembali ke

unit stasiun pengamatan semula. Beberapa rayap akan mati selama penandaan,

untuk itu jumlah rayap yang akan dilepaskan perlu dihitung dengan metode berat

rata-rata (penimbangan).

4. Penangkapan kembali

Satu minggu setelah pelepasan spesimen rayap bertanda, kayu umpan dari

masing-masing pengamatan dikumpulkan kembali. Jumlah rayap yang tertangkap

baik yang bertanda maupun yang tidak bertanda dihitung jumlahnya.

Tahap Kedua

Rayap yang bertanda pada tahap pertama, diberi tanda di dalam unit

pewarnaan (dengan prosedur yang sama seperti pada tahap pertama). Kemudian

(35)

21

tersebut tertangkap. Satu minggu kemudian, rayap yang ada di masing-masing

stasiun pengamatan ditangkap kembali, dan diperlakukan sama seperti pada tahap

pertama.

Tahap Ketiga

Penandaan, pelepasan dan penangkapan rayap untuk tahap ketiga diulangi

seperti yang dilakukan pada tahap pertama dan kedua. Selanjutnya pendugaan

ukuran populasi dalam koloni rayap dihitung dengan menggunakan rumus Begon

(1979) dalam Okabe et al. 2002 sebagai berikut: N = (Σ Mi ni) / [(Σ mi) +1]

SE = N {[1/( Σmi + 1)] + [(2/( Σmi + 1)2]+ [(6/( Σmi +1)3]}1/2

Keterangan;

N = Jumlah anggota populasi rayap

SE = Simpangan baku

ni = Jumlah rayap yang tertangkap pada penagkapan ke-i

mi = Jumlah rayap yang bertanda yang tertangkap pada penangkapan ke-i

Mi = Jumlah total rayap bertanda sampai penangkapan ke-i

Uji Keefektifan M. anisopliae dan M. brunneum terhadap Rayap S. javanicus

Berdasarkan data dari hasil perhitungan kelimpahan koloni dilakukan

perhitungan persentase mortalitas rayap untuk mengetahui keefektifan M. anisopliae dan M. brunneum terhadap S. javanicus. Besarnya persentase mortalitas rayap dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

N1 – N2

Mortalitas (%) = X 100%

N1

Keterangan:

N1= Jumlah rayap awal

(36)

Analisis Data

Data mortalitas C. curvignathus dan S. javanicus pada uji patogenisitas serta sporulasi dan daya kecambah dianalisis berdasarkan Rancangan Acak

Lengkap (RAL), dan kelimpahan anggota koloni rayap dianalisis berdasarkan

Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan menggunakan program MINITAB

dan diuji lanjut dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) atau uji selang

berganda Duncan pada taraf nyata 5% (Steel & Torrie 1993) dengan

menggunakan program Statistical Analysis System (SAS) versi 6.12. Hubungan kerapatan konidia dengan mortalitas dan waktu aplikasi dengan mortalitas diolah

dengan analisis probit (Finney 1971), menggunakan program SAS versi 6.12.

(37)

23

HASIL DAN PEMBAHASAN

Uji patogenisitas M. brunneum, M. anisopliae terhadap Rayap S. javanicus

dan B. bassiana, M. brunneum, M. roridum terhadap C. curvignathus.

Kerapatan konidia semua isolat cendawan entomopatogen yang diuji

berpengaruh nyata terhadap mortalitas C. curvignathus dan S. javanicus. Mortalitas rayap C. curvignathus dan S. javanicus meningkat seiring dengan meningkatnya kerapatan konidia, kecuali pada B. bassiana hanya efektif pada kerapatan konidia yang tinggi (Gambar 1 dan 2). Hal ini berarti bahwa semakin

tinggi jumlah konidia, maka peluang kontak konidia dengan tubuh rayap semakin

besar sehingga memberi peluang yang lebih baik untuk mempenetrasi ke dalam

tubuh rayap. Roberts dan Yendol (1971) menyatakan bahwa salah satu faktor

penyebab terjadinya infeksi cendawan entomopatogen pada serangga adalah

jumlah inokulum.

Yoshimura & Takahashi (1998) menyatakan bahwa B. brongniartii kontak selama satu menit dengan rayap pada kerapatan 3,3 x 108 konidia/ml

menghasilkan 100% mortalitas serangga uji dalam waktu 5 hari, sedangkan

dengan kerapatan konidia yang lebih rendah kontak selama satu hari hanya

menghasilkan 50% mortalitas dalam waktu yang sama.

Semua spesies cendawan entomopatogen yang diuji mempunyai virulensi

yang berbeda terhadap C. curvignathus dan S. javanicus. M. brunneum mempunyai virulensi yang lebih tinggi terhadap C. curvignathus dari pada isolat B. bassiana, dan M. roridum, hal ini terlihat dari rata-rata mortalitas rayap tanah S. javanicus pada pengamatan hari ke-3 setelah aplikasi konidia dengan kerapatan 5.105 konidia/ml telah menghasilkan mortalitas di atas 50% sedangkan pada isolat

M. roridum hal tersebut terjadi pada kerapatan 5.106 konidia/ml dan isolat B. bassiana menghasilkan mortalitas sangat rendah walaupun pada pengamatan hari ke-5 masih di bawah 50% pada kerapatan 107 konidia/ml (Gambar 1).

(38)
(39)

25

Gambar 2 Mortalitas S. javanicus akibat perlakuan berbagai kerapatan konidia M. brunneum dan M. anisopliae.

Perbedaan virulensi dari semua isolat cendawan entomopatogen yang diuji

diduga disebabkan oleh adanya perbedaan karakter interspesies baik secara

fisiologis (viabilitas, laju pertumbuhan, kemampuan bersporulasi dan produksi

toxin) maupun secara genetik serta pengaruh faktor eksternal seperti lingkungan

yang dapat mempengaruhi kemampuan cendawan untuk tumbuh dan berkembang

dalam melumpuhkan mekanisme pertahanan serangga inang. Diameter koloni

(cm), daya kecambah (%) dan sporulasi (konidia/cawan petri) M. anisopliae (5,47, 27,20, 6,18 x 107) M. brunneum (5,25, 97,20, 223,66 x 107), B. bassiana (4,67, 82,50, 1470,33 x 107), dan M. roridum (4,72, 92,50, 285,33 x 107) (Desyanti 2007). Hajek & Leger (1994) melaporkan bahwa keragaman interspesies pada

cendawan entomopatogen terlihat pada perbedaan virulensinya. Keragaman

(40)

interspesies dipengaruhi oleh sumber isolat, inang, dan faktor daerah geografis

asal isolat. Keadaan tersebut akan mengakibatkan keragaman karakter di dalam

spesies baik secara fisiologis maupun genetik (Beretta et al. 1998).

Persamaan regresi antara log kerapatan konidia dengan nilai probit isolat

cendawan entomopatogen terhadap mortalitas rayap tanah C. curvignathus disajikan pada Gambar 3 dan S. javanicus pada Gambar 4. Hubungan positif antara kerapatan konidia dengan mortalitas mengindikasikan bahwa kerapatan

konidia yang tinggi meningkatkan kematian S. javanicus.

y = 1,7817x - 5,42

Gambar 3 Hubungan antara log kerapatan konidia cendawan entomopatogen dan probit mortalitas C. curvignathus pada hari ke-3.

y = 1,098x - 1,9236

Gambar 4 Hubungan antara log kerapatan konidia cendawan entomopatogen dan probit mortalitas S. javanicus hari ke-3.

Keefektifan isolat cendawan entomopatogen untuk mengendalikan C. curvignathus dan S. javanicus diketahui dari nilai Lethal Concentration (LC)95, 50

dan 25 yaitu kerapatan optimal yang dibutuhkan untuk membunuh 25%, 50%, dan

(41)

masing-27

masing isolat cendawan terhadap rayap tanah C. curvignathus (Tabel 1) dan S. javanicus (Tabel 2).

Tabel 1 Nilai LC hasil analisis probit hari ke-3 M. brunneum,B. bassiana, dan M. roridum terhadap C. curvignathus.

LC

Tabel 2 Nilai LC hasil analisis probit hari ke-3 M. anisopliae dan M. brunneum terhadap S. javanicus.

Data di atas menunjukkan bahwa untuk dapat membunuh 25%, 50%, dan

95% C. curvignathus dan S. javanicus dibutuhkan kerapatan konidia M. brunneum yang lebih sedikit dibandingkan dengan menggunakan isolat B. bassiana, M. roridum dan M. anisopliae. Semakin rendah nilai LC yang dihasilkan menunjukkan semakin tinggi tingkat tingkat patogenisitas cendawan tersebut. Jika

dibandingkan antara C. curvignathus dan S. javanicus dengan kerapatan konidia dan dalam jangka waktu yang sama, nilai LC95, 50 dan 25 untuk menyebabkan

mortalitas pada S. javanicus lebih rendah dari pada C. curvignathus. Hal ini disebabkan oleh perbedaan spesies inang sehingga tingkat kerentanannya juga

berbeda.

Desyanti (2007) melaporkan bahwa cendawan entomopatogen M. brunneum merupakan spesies cendawan yang paling efektif sebagai agens pengendalian

rayap tanah C. gestroi karena tingkat patogenisitasnya lebih tinggi dengan nilai LC terrendah (50 1,80 X 105/ml)dibanding spesies M. anisopliae, B. bassiana, F.

oxysporum dan A. flavus.

Setiap spesies cendawan entomopatogen mempunyai tingkat virulensi dan

(42)

metabolit sekunder sebagai toxin untuk melumpuhkan pertahanan inangnya.

Destruxins merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan oleh cendawan

entomopatogen M. anisopliae. (Das & Ferron 1981; Roberts & Renwick 1989; Roberts 1981 dalam Amiri-Besheli et al. 2000). Sedangkan beauvericin, bassianolide, cyclosporin A, oosporein adalah toxin yang dihasilkan oleh B. bassiana (Boucias & Pendland 1998) dan myrotoxin B oleh M. roridum (Murakami dan Yasui 1999).

Kerapatan konidia yang digunakan untuk uji LT95, 50, dan 25 adalah 107

konidia/ml yang ditetapkan berdasarkan uji LC95. Berdasarkan hasil perhitungan

persentase mortalitas selanjutnya dianalisis dengan menggunakan analisis probit,

untuk mengetahui nilai Lethal Time (LT)95, 50, dan 25 dari masing-masing isolat

cendawan entomopatogen terhadap C. curvignathus dan S. javanicus.

Tabel 3 Nilai LT M. brunneum, B. bassiana, dan M. roridum terhadap C. curvignathus pada kerapatan 107 (konidia/ml).

LT (hari) kerapatan 107 (konidia/ml).

LT (hari) Spesies cendawan

95% 50% 25%

M. brunneum 2,78 2,04 1,79

M. anisopliae 3,63 2,21 1,80

Data di atas menunjukkan bahwa M. bruneum untuk dapat membunuh 95%, 50% dan 25% C. curvignathus diperlukan waktu lebih lama dibandingkan dengan S. javanicus. Perbedaan nilai LT ini juga berkaitan dengan virulensi isolat dan tingkat kerentanan inang. Neves dan Alves (2004) mengemukakan bahwa waktu

kematian serangga dipengaruhi oleh dosis aplikasi dan virulensi dari isolat.

(43)

29

menginfeksi dan mematikan serangga, yaitu mulai dari penempelan konidia pada

tubuh serangga, perkecambahan, penetrasi, invasi, dan kolonisasi dalam hemosel,

jaringan dan organ. Waktu masing-masing tahap tersebut bervariasi tergantung

pada jenis cendawan, inang, dan lingkungan.

Menurut MacLeod (1963) dalam Tanada & Kaya (1993), periode proses awal infeksi sampai kematian serangga terjadi dalam kurun waktu yang singkat

yaitu hanya 3 hari dan selambat-lambatnya 12 hari. Namun pada umumnya terjadi

dalam waktu 5 - 8 hari dan periode tersebut dapat berbeda tergantung pada ukuran

inang. Desyanti (2007) menyatakan bahwa cendawan entomopatogen M. brunneum pada metode aplikasi kontak lebih efektif dan dapat menyebabkan mortalitas rayap C. gestroi lebih cepat dengan LT , 95 50, 25 (4,37, 2,01, 1,46) hari.

Tanada & Kaya (1993) menyatakan bahwa isolat yang bersifat virulen

membunuh serangga dalam waktu yang singkat dan isolat yang kurang virulen

membutuhkan waktu yang lama untuk dapat menyebabkan infeksi kronik.

Menurut Scholte et al. (2004), proses serangan cendawan entomopatogen hingga menyebabkan inangnya mati adalah sebagai berikut: konidia kontak pada

integumen serangga kemudian menempel serta berkecambah dan melakukan

penetrasi dengan membentuk tabung kecambah (appresorium), setelah masuk ke

dalam hemosel, cendawan membentuk blastospora yang beredar dalam hemolimfa

dan membentuk hifa sekunder untuk menyerang jaringan lain seperti sistem

syaraf, trakea, dan saluran pencernaan. Terjadinya defisiensi nutrisi, adanya toksin

yang dihasilkan oleh cendawan, dan terjadinya kerusakan jaringan dalam tubuh

serangga akan menyebabkan terjadinya paralisis dan kematian pada serangga.

Ferron (1981) dalam Scholte et al. (2004), menyatakan bahwa di dalam studi histopatologi pada jaringan Elateridae yang diinfeksi oleh M. anisopliae, toxin (destruxin) membunuh serangga inang dengan merangsang atau memacu

terjadinya kerusakan jaringan serangga sehingga kehilangan keutuhan struktural

membran dan kemudian terjadi dehidrasi sel karena kehilangan cairan. Jika terjadi

penyumbatan spirakel dapat menyebabkan kematian sebelum serangan pada

hemosel dimana pembentukan tubuh hifa masih sedikit.

(44)

organ. Setelah itu di dalam tubuh serangga terjadi perpanjangan hifa secara lateral

dan berkembang serta mengkonsumsi kandungan internal serangga. Pertumbuhan

hifa berlanjut sampai serangga terisi dengan miselia, bila kandungan internal

serangga telah dikonsumsi, cendawan akan keluar melewati kutikula dan

bersporulasi sehingga serangga seperti berbulu halus.

Pengujian patogenisitas cendawan pada berbagai tingkat kerapatan konidia

bertujuan untuk efisiensi penggunaan propagul cendawan secara optimum sebagai

agens hayati dalam pengendalian hama sasaran. Dalam pengendalian C. curvignathus dan S. javanicus perlu diketahui kerapatan konidia tertentu yang dapat menyebabkan mortalitas rayap dalam jumlah dan waktu tertentu (LC dan

LT) sesuai dengan target yang diinginkan. Dari semua isolat cendawan yang telah

diuji isolat cendawan M. brunneum memiliki LC dan LT yang lebih rendah dibandingkan dengan cendawan entomopatogen lainnya, hal ini mengindikasikan

bahwa M. brunneum lebih tinggi tingkat patogenisitasnya terhadap C. curvignathus dan S. javanicus dibandingkan isolat cendawan entomopatogen lainnya sehingga isolat tersebut mempunyai peluang yang besar untuk digunakan

dalam pegendalian C. curvignathus dan S. javanicus.

Sporulasi Cendawan Entomopatogen pada Rayap C. curvignathus

Jumlah rayap yang bersporulasi pada permukaan tubuh C. curvignathus setelah 7 hari diinkubasi memperlihatkan hasil yang berbeda nyata. M. brunneum memiliki kemampuan bersporulasi lebih tinggi dibandingkan dengan M. roridum maupun B. bassiana (Tabel 1). Hal ini diduga dipengaruhi oleh perbedaan spesies cendawan, sumber isolat dan faktor lingkungan. Pertumbuhan dan perkembangan

cendawan terutama dibatasi oleh kondisi lingkungan eksternal kususnya

kelembaban yang tinggi dan suhu yang sesuai untuk bersporulasi serta

perkecambahan spora. Cendawan dapat tumbuh pada kondisi kelembaban yang

tinggi namun tidak semua dapat bersporulasi dengan baik dan terlihat dengan

(45)

31

Tabel 5 Sporulasi cendawan entomopatogen pada tubuh rayap C. curvignathus pada berbagai kerapatan konidia.

Sporulasi cendawan entomopatogen pada bangkai rayap (%)

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf nyata 5%.

Isolat yang akan dipilih sebagai agen pengendali hayati harus memiliki

kemampuan menghasilkan konidia yang tinggi, karena konidia sangat penting

untuk infeksi dan pemencaran cendawan. Isolat yang mampu bersporulasi dengan

baik lebih menguntungkan karena isolat tersebut mampu menimbulkan epizootik

alam waktu yang lebih singkat dan untuk perbanyakan dengan tujuan produksi

bioinsektisida membutuhkan jumlah inokulum yang lebih sedikit (Varela &

Morales 1996). Apabila sporulasi isolat cendawan entomopatogen sedikit maka

pemencarannya akan terbatas dan kemampuanya sebagai agen pengendali hayati

akan berkurang. Kemampuan cendawan untuk membentuk konidia mempunyai

arti yang penting karena konidia merupakan propagul cendawan entomopatogen

yang berperan untuk pemencaran dan infeksi (Wraight et al. 2001). Untuk penggunaan cendawan entomopatogen sebagai agens pengendali hayati dan

dijadikan sebagai bioinsektisida, salah satu aspek utama adalah memilih isolat

atau strain dengan kemampuan sporulasi yang tinggi dengan kebutuhan nutrisi

yang sederhana (Taborsky 1992).

Di samping sifat patogenisitas yang tinggi, kemampuan cendawan

mengkolonisasi tubuh inang (in vivo) dan sifat karakterisasi fisiologi cendawan secara in vitro juga perlu, jika agens hayati tersebut akan diformulasi sebagai biotermitisida untuk tujuan komersil. Hal ini bertujuan untuk mengetahui spesies

isolat yang mempunyai kemampuan persistensi yang tinggi di alam sehingga

propagul yang tersebar di alam dapat tertular pada hama sasaran secara luas.

Karakter fisiologi cendawan (kemampuan berkecambah, laju pertumbuhan koloni,

Gambar

Gambar 3  Hubungan antara log kerapatan konidia cendawan entomopatogen dan      probit mortalitas C
Tabel 2   Nilai LC hasil analisis probit hari ke-3 M. anisopliae dan M. brunneum terhadap S
Tabel 3   Nilai LT  M. brunneum, B. bassiana, dan M. roridum terhadap C. curvignathus pada kerapatan 107 (konidia/ml)
Tabel 7 Ukuran populasi koloni rayap tanah S. javanicus di areal Asrama TPB

Referensi

Dokumen terkait

 Mengemukakan kembali dengan kalimat sendiri , menyatakan kalimat matematika, memilih kalimat matematika yang tepat dalam memecahkan masalah yang berkaitan dengan

TERHADAP MINAT BERWIRAUSAHA SISWA JURUSAN PEMASARAN SMK DIPONEGORO SALATIGA (Studi pada Kelas XI Tahun Ajaran 2014/2015 )

orang yang tidak setuju, 1 orang diantaranya adalah remaja laki-laki.. demikian, terlihat bahwa pembentukan sikap remaja terhadap

fasilitas kawasan pendaratan ikan di Tasik Agung Rembang. BAB III

[r]

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa kelas VII A SMP Taman Dewasa Ibu Pawiyatan Yogyakarta dengan menerapkan pembelajaran kooperatif

Perhitungan harga pokok produksi yang akurat bisa diperoleh bila dalam penentuan alokasi biaya menggunakan lebih dari satu pemicu, dan berdasarkan dengan aktivitas dari produk

(2) Seksi Pemberdayaan Kelembagaan Sosial mempunyai tugas membantu Kepala Bidang dalam menyiapkan bahan pembinaan penggalian dan pendayagunaan potensi dan sumber