Sinkronisasi Hukum untuk Implementasi Peradilan Desa Adat
1Oleh :
Nurul Firmansyah
Sengketa pertanahan, termasuk terkait tanah adat, menumpuk di Mahkamah Agung. Lembaga peradilan tertinggi di negeri ini menangani 1.429 kasus tanah atau 40,53 persen dari keseluruhan kasus perdata di 2012. Di 2013, MA menangani 6.559 perkara, dimana 1.075 kasus (32,77 persen) lagi-lagi perkara sengketa tanah.
Sistem peradilan nasional hanya mengakui keberadaan pengadilan negeri dan pengadilan agama yang dilandasi UU Darurat 1/1951, UU 19/1964, dan diperkuat UU 14/1970 pasal 3 ayat (1) tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman. Berdasar itu, pengadilan adat dan desa terhapus.
Peradilan adat dan desa adat kemudian sirna dengan sempurna ketika pemerintah menyeragamkan desa lewat UU No.5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Sejak itu masyarakat hukum adat (MHA) kehilangan saluran ekspresi. Mereka kemudian terpaksa belajar tentang peradilan negara dengan sistem dan tata cara yang berbeda dengan hukum adat. Hukum adat kemudian melemah lantas tertinggal dari perkembangan pembangunan hukum nasional.
MHA yang masih mempertahankan hukum adatnya akan merasakan betapa panjang, berlarut, dan tak kunjung usai tiap perkara hukum yang harus diselesaikan di meja peradilan negara. Sengketa tanah (perdata) pun akhirnya menumpuk di MA.
MHA menemukan kembali peluang menyalurkan hukum adat ketika UU No.6/2013 tentang Desa lahir di akhir 2013. Isu sinkronisasi antara hukum formal dan hukum adat kemudian mengemuka karena pengadilan desa adat tidak diatur dalam sistem peradilan nasional, tetapi diakui UU Desa.
Peradilan Desa Adat dalam UU Desa
Desa adat memperoleh kewenangan menyelenggarakan hukum adat dan peradilan desa sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat desa adat. Hal ini termaktub dalam pasal 103 UU Desa terutama di huruf a, d, dan e. Berikut penegasan berdasar pasal 103 ini:
Dasar kewenangan penyelenggaraan peradilan desa adat
Dari pasal 103 huruf d dan e, desa adat memiliki kewenangan menyelenggarakan penyelesaian
sengketa adat dan sidang perdamaian peradilan desa adat. Huruf d menyebutkan “penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di desa adat.” Dengan kata lain, negara mengakui model-model penyelesaian sengketa adat dan hukum adat sebagai sumber hukum
1
dalam penyelesaian sengketa adat. Hal ini berarti pula pengakuan atas segala hal terkait penyelesaian sengketa adat berdasar hukum adat, baik terkait jenis sengketa, tata cara penyelesaian, dan kelembagaan penyelesaian sengketa adat.
Kewenangan ini juga dipertegas dalam huruf e yang menyebutkan, penyelesaian sengketa adat
berdasarkan hukum adat “selaras dengan prinsip hak asasi manusia dan dengan mengutamakan
musyawarah. ” Hanya saja, pasal ini tidak menyebutkan apa saja unsur-unsur dalam penyelesaian sengketa adat yang bertentangan atau tidak dengan hak asasi manusia.
Fungsi pengadilan desa adat
Dalam banyak praktek pengadilan adat, lembaga ini membawa misi mendamaikan pihak bersengketa. Sebagai contoh, di nagari-nagari Minangkabau, Provinsi Sumatera Barat. Di sana penyelesaian sengketa adat dilaksanakan secara bertingkat, dimulai dari tingkat kaum, suku, dan terakhir nagari. Penanganan sengketa di tingkat kaum mengandalkan cara penyelesaian secara damai lewat musyawarah dan mufakat dan dihadiri para pihak bersengketa dan pemangku adat kaum (ninik mamak kaum). Sengketa yang tidak selesai di tingkat kaum akan naik ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu suku dan nagari.
Musyawarah dan mufakat tetap menjadi cara utama di kedua tingkat ini. Bila perdamaian tidak terwujud maka pemangku adat di tingkat nagari dapat memutus perkara dengan menggunakan norma-norma hukum adat.
Kehidupan pengadilan adat nagari Minang selaras pasal 103 huruf d yang menyebutkan:
“penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat”. Pasal ini menegaskan bagaimana kewenangan memutus atau mendamaikan sengketa adat berdasarkan hukum adat. Kewenangan mendamaikan sengketa adat selaras dengan huruf e tentang pengaturan kewenangan desa adat dalam melaksanakan sidang perdamaian peradilan adat.
Kelembagaan pengadilan desa adat
Desa adat adalah perpaduan sistem pemerintahan modern dengan tradisional, sehingga kelembagaan desa adat bisa mengadopsi kelembagaan tradisional. Kelembagaan pengadilan adat merupakan pengadilan yang hidup dalam praktek sehari-hari di masyarakat hukum adat.
Pasal 103 huruf a menyebutkan“pengaturan dan pelaksanaan pemerintahan oleh desa adat
berdasarkan susunan asli”. Dalam penjelasannya, susunan asli sama dengan sistem organisasi
kehidupan desa adat yang dikenal di wilayah-wilayah masing-masing. Kaitan huruf a, d dan e, merupakan penegasan bahwa kelembagaan pengadilan desa adat adalah pengadilan yang dikenal MHA, baik yang berfungsi memutus, maupun mendamaikan sengketa. Artinya, Pengadilan-pengadilan yang dikenal oleh masyarakat hukum adat itulah yang kemudian diakui menjadi pengadilan desa adat dalam rumusan UU ini.
Di masa pemerintahan kolonial Belanda pengadilan desa adat (Dorpjustitie) memperoleh kewenangan mengadili perkara-perkara kecil terkait urusan adat atau urusan desa, seperti perselisihan tanah, pengairan, perkawinan, mas kawin, perceraian, kedudukan adat dan lain-lain perkara yang timbul dalam masyarakat hukum adat bersangkutan, Laudjeng (2003).
Para hakim desa tidak boleh menjatuhkan hukuman sebagaimana diatur KUHP. Mereka baru bisa mengajukan perkara ke peradilan negara bila para pihak yang berselisih tidak puas pada keputusan hakim desa adat. Dari ini tampak keputusan pengadilan desa adat tidak mempunyai kekuatan hukum yang kuat karena masih memungkinkan menggunakan pengadilan negara pada sengketa yang sama. Dari gambaran yurisdiksi pengadilan desa adat ini kemudian dirasa perlu melakukan sinkronisasi dengan kewenangan pengadilan negara, terutama pada fungsi memutus sengketa adat.
Sementara itu, selain fungsi mendamaikan, hal sama juga memungkinkan pada semua sengketa-sengketa perdata, dan pada derajat tertentu pada sengketa-sengketa tindak pidana ringan. Karenanya, untuk kewenangan pengadilan desa adat yang bersifat memutus paling memungkinkan dapat diberlakukan pada sengketa tanah, utamanya sengketa tanah adat. UU Pokok Agraria (UUPA) mendukung hukum adat sebagai hukum agraria nasional, sehingga pengakuan pengadilan desa adat dalam memutus sengketa adat, termasuk sengketa tanah adat, dirasa sinkron dengan UUPA.
Tetapi ini tidak berjalan mulus. UUPA bersifat mendua. UUPA mengakomodir hak-hak atas tanah yang berbasis hak barat (hak perdata), seperti hak milik, hak guna usaha (HGU) dan lain-lain. Hal ini berdampak pada penyelesaian sengketa terhadap hak atas tanah (hak milik, HGU dll) berada pada yurisdiksi pengadilan negeri. Tumpang tindih antara pengadilan negeri dengan pengadilan desa adat dapat terjadi pada; pertama, sengketa tentang hak atas tanah yang berada di wilayah masyarakat hukum adat; dan kedua, sengketa hak atas tanah terkait dengan kepentingan hak adat (hak ulayat). Misalnya; bagaimana menyelesaikan sengketa antara badan hukum yang memiliki HGU dengan masyarakat hukum adat di atas tanah adat.
Sinkronisasi Hukum
Karena itu semua sinkronisasi hukum terkait yurisdiksi pengadilan desa adat dengan sistem peradilan nasional menjadi isu krusial. Pengadilan desa adat tidak diatur dalam hukum sistem peradilan nasional, namun lahir melalui UU desa dalam sebuah pemerintahan. Sinkronisasi hukum pun kemudian menjadi hal penting untuk menjalankan pengadilan desa adat yang tidak tumpang tindih dengan ranah peradilan nasional. Beberapa hal strategis dalam sinkronisasi hukum:
1. Kekuatan hukum dari putusan pengadilan desa adat (Problem Yurisdiksi)
perundang-undangan yang terkait sistem peradilan dan peraturan perundang-perundang-undangan yang terkait dengan sengketa adat dan hak adat. Perumusan ini akan menegaskan batasan yurisdiksi pengadilan desa adat. Hingga kini, yang paling mungkin adalah terkait sengketa tanah adat.
Sebaliknya, peradilan nasional dan lembaga-lembaga pro-justitia lainnya, perlu juga melakukan sinkronisasi peraturannya terkait yurisdiksi pengadilan desa adat. Sebagai contoh, adanya program Polisi Masyarakat (Polmas) yang memberi derajat tertentu terhadap penyelesaian perdamaian tindak pidana ringan kepada pengadilan desa adat yang hidup di MHA.
Contoh lain, Pengadilan Tinggi Sumatera Barat mewajibkan Pengadilan Negeri memberi keleluasaan kepada Kerapatan Adat Nagari (KAN) sebagai pengadilan desa untuk menyelesaikan sengketa adat terlebih dahulu. Keputusan KAN menjadi rujukan pengadilan negeri saat memutuskan banding masyarakat yang tidak puas putusan pengadilan setempat.
Sinkronisasi hukum memberi dampak baik bagi pengadilan desa. Diantaranya, pengadilan desa adat menjadi sejajar dengan pengadilan negeri. Pengadilan desa adat tidak lagi sub-ordinat. Keputusan pengadilan negeri sebagai pertimbangan. Karenanya perlu diperjelas yurisdiksi pengadilan desa adat yang diatur secara detil dalam norma yang ada.
2. Tumpang-tindih Yurisdiksi dalam sengketa Pertanahan
Inkonsistensi UUPA berdampak pada tumpang tindih yurisdiksi penyelesaian sengketa hak atas tanah dalam wilayah desa adat. Untuk menghadapi ini, perlu adanya dialog dan kesepahaman bersama antar pemerintah dengan Mahkamah Agung untuk melakukan sinkronisasi hukum terkait pelaksanaan pengadilan desa adat.