• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP MEREK DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG KEPABEANAN Ketentuan dan Perlindungan Terhadap Merek Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek - Perlindungan Hukum Terhadap Merek Terdaftar Dikaitkan Dengan Undang-Unda

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP MEREK DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG KEPABEANAN Ketentuan dan Perlindungan Terhadap Merek Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek - Perlindungan Hukum Terhadap Merek Terdaftar Dikaitkan Dengan Undang-Unda"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP MEREK DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG KEPABEANAN

Ketentuan dan Perlindungan Terhadap Merek Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek

Secara umum telah banyak negara yang menerapkan perlindungan terhadap merek-merek jasa yang digunakan untuk produk-produk jasa, misalnya : perbankan, asuransi, rumah sakit, rumah makan, jasa keuangan dan sebagainya. Hanya segelintir negara yang belum menerapkannya misalnya Malaysia, karena peraturan pelaksanaannya belum ditetapkan.

Perkataan merek adalah suatu tanda (sign) untuk membedakan barang-barang atau jasa yang sejenis yang dihasilkan atau diperdagangkan seorang atau sekelompok orang atau badan hukum dengan barang-barang atau jasa yang sejenis yang dihasilkan oleh orang lain yang memiliki daya pembeda maupun sebagai jaminan atas mutunya dan digunakan dalam kegiatan perdagangan dan jasa.11

Pengertian merek dirumuskan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang

Nomor 15 Tahun 2001, yaitu tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf,

angka-angka, susunan, warna dan kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang

memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau

jasa.

Dari pengertian tersebut mempunyai fungsi sebagai suatu tanda pengenal

dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa yang sejenis dan sekaligus

merupakan jaminan terhadap mutu produk barang atau jasa yang sejenis yang

dibuat pihak lain.

Dari pengertian tersebut, merek mempunyai fungsi sebagai suatu tanda

pengenal dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa yang sejenis dan sekaligus

11 OK. Saidin, Aspek Huk um Kek ayaan Intelek tual (Intellectual Property Rights), (Jakarta:

Raja Grafindo, 2003), hlm. 345.

(2)

merupakan jaminan terhadap mutu produk barang atau jasa yang sejenis yang di

buat pihak lain.

Undang-Undang No. 21 Tahun 1961 tentang Merek tidak mencantumkan definisi dan arti merek secara khusus. Undang-undang itu hanya menyatakan bahwa hak khusus atas suatu merek dapat dimiliki oleh seseorang (beberapa orang)

apabila “ memiliki daya beda ” dan pertama kali memakai merek itu di Indonesia.

Dan hak khusus atas merek itu hanya berlaku terhadap barang-barang sejenis hingga tiga tahun setelah pemakaian terakhir merek itu.

Sedangkan Undang-Undang No. 14 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang No. 19 Tahun 1992 tentang Merek dalam Pasal 1 ayat (1) yang

dimaksud dengan merek adalah “ tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf

-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang

memiliki data pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau

jasa ”.

Selanjutnya dengan disyahkan Undang-Undang No. 15 Tahun 2001

tentang Merek maka UU No. 21 Tahun 1961 dan UU No. 14 Tahun 1997

dinyatakan tidak berlaku lagi. Dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2001

diterangkan bahwa “ merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf

-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang

memiliki data pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau

jasa ”.

Dengan demikian terdapat persamaan arti dan kata antara pengertian

merek dalam UU No. 14 Tahun 1997 dan di dalam UU No. 15 Tahun 2001.

Sedangkan terhadap merek-merek lainnya sebagaimana berurut dikatakan

pada Pasal 1 UU No. 15 Tahun 2001 yaitu :

(3)

diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau

badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya.

(3) Merek jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh

seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk

membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya.

(4) Merek kolektif adalah merek yang digunakan pada barang atau jasa dengan

karekteristik yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan

hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan barang atau jasa

sejenis lainnya.

Oleh JCT Simorangkir dikatakan bahwa merek adalah “cap, atau tanda”.12

Dalam sistem Undang-Undang Merek No. 15 Tahun 2001 tidak dapat didaftarkan kemasan suatu produk atau aroma suatu parfum sebagai merek. Hal ini berbeda dengan sistem perlindungan merek di negara-negara Uni Eropa, misalnya: Inggeris atau Jerman yang membolehkan kemasan diterima pendaftarannya sebagai merek apabila memiliki daya beda dengan merek lainnya.

Oleh Richard Burton Simatupang dikatakan :

Merek merupakan suatu tanda yang membedakan satu barang dengan barang lain yang sejenis. Untuk memahami pengertian akan merek, minimal ada lima pembatasannya yaitu :

1. Merek dapat disebut sebagai tanda pembeda, atau mempunyai daya pembeda

2. Merek dapat diingat dan diulang-ulang apabila kita mau membeli barang yang sama.

3. Sebagai suatu simbol.

4. Menetapkan suatu standar atau kualitas atau mutu barang 5. Melindungi para konsumen.13

Merek pada hakekatnya adalah suatu tanda. Akan tetapi agar tanda tersebut dapat diterima sebagai merek, harus memiliki daya pembeda. Yang dimaksud dengan daya pembeda adalah memiliki kemampuan untuk digunakan sebagai tanda

12 JCT Simorangkir, dkk, Kamus Huk um, (Jakarta: Aksara Baru, 2001), hlm. 110.

13 Richard Burton Simatupang, Aspek Huk um Dalam Bisnis, (Jakarta: Rineka Cipta 1995),

(4)

yang membedakan hasil perusahaan yang satu dengan perusahaan yang lain.14

Hak khusus atas merek diberikan kepada siapapun dan hanya mensyaratkan

“ daya beda “ merupakan lingkup yang sangat luas. Karena dengan demikian, setiap hal yang memiliki daya beda dapat memperoleh “hak khusus atas merek”,

misalnya : kemasan, aroma parfum. Pandangan itu sebenarnya sejalan dengan definisi merek menurut undang-undang Merek Inggeris, Trademark Act 1994 yang menyatakan dalam Pasal 1 :

Trademark means any sign capable of being represented graphically which is

capable of distinguishing goods or services of one undertaking from those of other

undertakings”.15

Hak khusus atas merek tidak diberikan apabila merek itu tidak mempunyai

daya beda, umpamanya karena hanya terdiri atas “ angka-angka dan atau huruf-huruf ”, atau yang hanya terdiri atas kata-kata yang mengandung keterangan tentang Macam, waktu atau tempat pembuatan, jumlah, bentuk, tujuan, ukuran, harga atau berat barang. Selain itu, tidak dapat didaftarkan sebagai merek apabila merek tersebut menyerupai bendera-bendera negara, lambang-lambang negara, lambang-lambang, nama-nama, singkatan-singkatan lembaga internasional atau lambang-lambang dari yang berwenang. Juga tidak dapat didaftarkan sebagai merek apabila merek itu merupakan tanda pengesahan atau tanda jaminan resmi dari suatu badan pemerintah. Kekecualian atas penggunaan merek-merek di atas dapat dilakukan dan didaftarkan, apabila pemakai merek itu mendapat persetujuan dari yang berwenang.

Penolakan pendaftaran merek di atas, sesungguhnya, bersifat relatif karena

dalam beberapa kasus terjadi pula pendaftarannya, misalnya merek rokok 555,

minuman air mineral dengan merek Aqua.

Kemudian, penolakan hak khusus atas merek secara absolut ditujukan

terhadap merek yang terdiri atas lukisan-lukisan atau perkataan-perkataan yang

telah menjadi milik umum, misalnya, rambu - rambu lalu lintas, atau yang

bertentangan dengan kesusilaan, atau ketertiban umum, misalnya

lambang-lambang keagamaan yang dapat menimbulkan konflik terhadap sara, yaitu suku,

agama dan ras di Indonesia misalnya, lukisan-lukisan palu arit. Dalam suatu

14 Erma Wahyuni, et. all. Kebijak an dan Manajemen Huk um Merek, (Yogyakarta: Yayasan

Pembaharuan Administrasi Publik Indonesia, TT) hlm. 133.

15 Insan Budi Maulana, Perlindungan Merek Terk enal di Indonesia Dari Masa Ke Masa,

(5)

masyarakat yang anti komunis dan berupaya menghindari masalah-masalah yang

terjadi karena kesukuan, agama dan ras maka pendaftaran hak merek yang

mengandung unsur-unsur seperti di atas akan ditolak oleh Kantor merek.

Alasan-alasan untuk menolak permintaan pendaftaran merek yang diatur dalam undang - undang merek di antaranya apabila merek yang diajukan itu sama atau serupa dengan merek yang telah didaftar lebih dulu atau dengan merek terkenal pihak lain, merupakan keterangan atas barang atau jasa, atau merek itu bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum dan sebagainya. Alasan-alasan seperti di atas juga lazim ditemukan pada sistem merek di negara-negara lain, selain itu, merek yang telah didaftar dapat dibatalkan apabila ternyata merek itu dianggap sama atau serupa dengan merek lainnya, atau merek itu didaftar dengan itikad tidak baik. Dengan demikian, di negara manapun, tidak ada alasan hukum penolakan atas suatu merek karena merek itu menggunakan kata atau bahasa asing. Karena yang utama, pendaftaran suatu merek harus dilandasi dengan itikad baik dan jujur, tanpa maksud meniru atau memalsukan merek pihak lain, serta mampu memberikan perlindungan terhadap konsumen.

Ketentuan dan Prosedur Perlindungan Atas Merek dalam Undang-Undang Kepabeanan

Ketentuan dan prosedur perlindungan atas merek dalam UU Kepabeanan

adalah hanya menyangkut masalah perlindungan atas pengendalian impor atau

ekspor barang hasil pelanggaran. Artinya UU Kepabenan dapat memberikan

kontribusinya dalam pelaksanaan perlindungan hak merek dalam kapasitas lingkup

dan tugas kepabeanan semata yaitu di bidang ekspor dan impor semata. Konsep

yang diberikan adalah kepabeanan bertanggungjawab atas barang masuk dan

keluar dari wilayah Indonesia. Dengan konsep yang demikian maka melalui

kepabeanan akan didapat manfaat berupa pengendalian terhadap masuk atau

keluarnya produk yang bertentangan dengan hak merek.

Adapun beberapa ketentuan dan prosedur perlindungan atas merek dalam

(6)

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan pada beberapa pasal sebagai berikut:

Pasal 54

Atas permintaan pemilik atau pemegang hak atas merek atau hak cipta, ketua pengadilan niaga dapat mengeluarkan perintah tertulis kepada pejabat Bea dan Cukaiuntuk menangguhkan sementara waktu pengeluaran barang impor atau ekspor dari kawasan pabean yang berdasarkan bukti yang cukup, diduga merupakan hasil pelanggaran merek dan hak cipta yang dilindungi di Indonesia.

Pasal 54 di atas menjelaskan peranan dari Ketua Pengadilan Niaga dapat memberikan perintah kepada pejabat Bea dan Cukai untuk menangguhkan sementara waktu pengeluaran barang impor atau ekspor atas perminataan pemilik atau pemegang hak merek. Permintaan tersebut harus didahului bukti yang cukup dari adanya pelanggaran hak merek atau hak lain yang dilindungi oleh undang-undang.

Perintah tertulis tersebut akan memberikan perintah penangguhan pengeluaran barang impor dan ekspor sebagaimana diatur dalam Pasal 56 berikut ini:

Pasal 56

Berdasarkan perintah tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, pejabat bea dan cukai:

a. Memberitahukan secara tertulis kepada importir, eksportir, atau pemilik barang mengenai adanya perintah penangguhan pengeluaran barang impor dan ekspor;

b. Melaksanakan penangguhan pengeluaran barang impor atau ekspor yang bersangkutan dari kawasan pabean terhitung sejak tanggal diterimanya perintah tertulis ketua pengadilan niaga.

Pasal 56 di atas secara jelas menerangkan bahwa perintah ketua pengadilan tersebut sifatnya memberitahukan dan

melaksanakan penangguhan penahanan terhadap barang yang diduga merupakan hasil pelanggaran

merek dan hak cipta yang dilindungi di Indonesia terhitung sejak tanggal diterimanya

perintah tertulis ketua pengadilan niaga.

Pasal 57:

(1) Penangguhan pengeluaran barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf b dilaksanakan untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja.

(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), berdasarkan alasan dan dengan syarat tertentu, dapat diperpanjang satu kali untuk paling lama 10 (sepuluh) hari kerja dengan perintah tertulis ketua pengadilan niaga.

(7)

Penangguhan penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 di atas

dilakukan paling lama 10 hari kerja dan dapat diperpanjang 10 hari kerja lagi dan

atas perintah ketua pengadilan.

Pasal 58:

(1) Atas permintaan pemilik atau pemegang hak atas merek atau hak cipta yang meminta perintah penangguhan, ketua pengadilan niaga dapat memberi izin kepada pemilik atau pemegang hak tersebut guna memeriksa barang impor atau ekspor yang diminta penangguhan pengeluarannya.

(2) Pemberian izin pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dilakukan oleh ketua pengadilan niaga setelah mendengarkan dan mempertimbangkan penjelasan serta memperhatikan kepentingan pemilik barang impor atau ekspor yang dimintakan penangguhan pengeluarannya.

Pasal 58 di atas menjelaskan pihak pemilik atau pemegang hak merek tersebut dapat memeriksa barang impor atau ekspor tersebut.

Pasal 59:

(1) Apabila dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 Ayat (1), pejabat Bea dan Cukai tidak menerima pemberitahuan dari pihak yang meminta penangguhan pengeluaran bahwa tindakan hukum yang diperlukan untuk mempertahankan haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku telah dilakukan dan ketua pengadilan niaga tidak memperpanjang secara tertulis perintah penangguhan, pejabat Bea dan Cukaiwajib mengakhiri tindakan penangguhan pengeluaran barang impor atau ekspor yang bersangkutan dan menyelesaikannya sesuai dengan ketentuan kepabeanan berdasarkan Undang-Undang ini.

(2) Dalam hal tindakan hukum untuk mempertahankan hak telah mulai dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), pihak yang meminta penangguhan pengeluaran barang impor atau ekspor wajib secepatnya melaporkannya kepada pejabat Bea dan Cukaiyang menerima perintah dan melaksanakan penangguhan barang impor atau ekspor.

(8)

Undang-Undang ini.

Pasal 59 di atas menjelaskan tentang apabila pejabat Bea dan Cukai tidak

menerima pemberitahuan dari pihak yang meminta penangguhan pengeluaran

bahwa tindakan hukum yang diperlukan untuk mempertahankan haknya sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku telah dilakukan dan ketua

pengadilan niaga tidak memperpanjang secara tertulis perintah penangguhan

Pasal 60:

Dalam keadaan tertentu, importir, eksportir, atau pemilik barang impor atau ekspor dapat mengajukan permintaan kepada ketua pengadilan niaga untuk memerintahkan secara tertulis kepada pejabat Bea dan Cukai agar mengakhiri penangguhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 dengan menyerahkan jaminan yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf d.

Pasal 60 tersebut menjelaskan tentang dapat diajukannya pengakhiran penanggungan oleh importir,

eksportir, atau pemilik barang impor atau ekspor kepada ketua pengadilan niaga.

Pasal 61:

(1) Apabila dari hasil pemeriksaan perkara terbukti bahwa barang impor atau ekspor tersebut tidak merupakan atau tidak berasal dari hasil pelanggaran merek atau hak cipta, pemilik barang impor atau ekspor berhak untuk memperoleh ganti rugi dari pemilik atau pemegang hak yang meminta penangguhan pengeluaran barang impor atau ekspor tersebut.

(2) Pengadilan niaga yang memeriksa dan memutus perkara sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dapat memerintahkan agar jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf d digunakan sebagai pembayaran atau bagian pembayaran ganti rugi yang harus dibayarkan.

Sedangkan ketentuan lainnya yang berhubungan dengan prosedur perlindungan atas merek dalam Undang-Undang Kepabenan adalah sebagaimana yang terdapat pada beberapa pasal sebagai berikut:

Pasal 55:

Permintaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 diajukan dengan disertai:

a. Bukti yang cukup mengenai adanya pelanggaran merek atau hak cipta yang bersangkutan ;

(9)

dikenali oleh Pejabat Bea dan Cukai; dan jaminan.

Tindakan penangguhan pengeluaran barang impor atau ekspor dapat pula

dilakukan karena jabatan oleh Pejabat Bea dan Cukai apabila terdapat bukti yang

cukup bahwa barang tersebut merupakan atau berasal dari hasil pelanggaran merek

atau hak cipta.

Pasal 63:

Ketentuan penangguhan pengeluaran barang yang diduga merupakan hasil pelanggaran hak atas kekayaan intelektual tidak diberlakukan terhadap barang bawaan penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, atau barang kiriman melalui pos atau jasa titipan yang tidak dimaksudkan untuk tujuan komersial.

Tidak semua barang yang diduga merupakan hasil pelanggaran hak atas

kekayaan intelektual dapat ditangguhkan masuknya ke Indonesia, terhadap barang

bawaan penumpang atau barang bukan tujuan komersial tidak dapat dikenakan penangguhan masuk ke Indonesia.

Pasal 64:

(1) Pengendalian impor atau ekspor barang yang diduga merupakan hasil pelanggaran hak atas kekayaan intelektual, selain merek dan hak cipta sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

(2) Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi pelaksanaan Pasal 54 sampai dengan Pasal 63 diatur dengan Peraturan Pemerinta h.

Pasal 64 di atas adalah pasal yang menjelaskan perihal pengendalian

Pengendalian impor atau ekspor barang yang diduga merupakan hasil pelanggaran

hak atas kekayaan intelektual, selain merek dan hak cipta sebagaimana diatur

dalam undang-undang ini, ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Sanksi Terhadap Pelanggaran Merek Terdaftar

Keberadaan UU Nomor 15 Tahun 2001 pada dasarnya ditujukan bagi

(10)

tersebut. Begitu juga halnya terhadap pemakaian merek oleh pihak yang

tidak berhak, maka sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa UU Nomor 15

Tahun 2001 selain memuat ketentuan pidana terhadap pelanggaran hak merek ini

juga pemilik merek yang sah dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang

memakai mereknya tanpa sah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 76 UU Nomor

15 Tahun 2001.

Pasal 76 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 berbunyi :

(1) Pemilik merek terdaftar dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lain yang secara tanpa hak menggunakan merek mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhan untuk barang atau jasa yang sejenis serupa :

a. Gugatan ganti rugi, dan/atau

b. Penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunakan merek tersebut.

(2) Gugatan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diajukan kepada Pengadilan Niaga.

Dari bunyi pasal di atas maka dapat dilihat bahwa jika harus diajukan

gugatan terhadap pihak lain yang tanpa hak menggunakan merek yang pada

pokoknya ada persamaan atau dalam keseluruhannya untuk barang atau jasa yang

sejenis, bisa diajukan gugatan ganti rugi ditambah atau hanya dengan perintah

penghentian dari semua perbuatan penggunaan merek bersangkutan itu. Jadi

pemakaian yang tidak sah penyerobotan atau pemboncengan atas merek oleh pihak

yang tidak berhak, tidak dapat diajukan gugatan terhadap itu. Dan diajukan kepada

Pengadilan Niaga. Sesuai dengan apa yang disaksikan dalam sistem pembaharuan

hak atas kekayaan intelektual sekarang ini.

Persoalan pada uraian di atas adalah apakah gugatan ganti rugi yang

(11)

perbuatan melawan hukum.

Tuntutan ganti rugi dilakukan dengan dasar adanya perbuatan melawan

hukum yang mengakibatkan kerugian pada pihak lainnya. Terbitnya ganti rugi

pada dasarnya timbul dari adanya suatu perbuatan yang melanggar hukum.

Dikatakan demikian karena perbuatan melanggar hukum mengakibatkan

kegoncangan dalam neraca keseimbangan dari masyarakat, atau dengan pendek

dapat dinamakan suatu keganjilan.16

Seseorang harus bertanggung jawab atas perbuatannya, dan apabila ia merugikan pihak lain disebabkan perbuatannya tersebut maka ia harus bertanggung jawab untuk memberikan ganti rugi. Jadi konsep tanggung jawab pada dasarnya menanggung akibat dari perbuatannya, dan di dalam hukum keperdataan hal tersebut dikenal dengan istilah perbuatan melawan hukum.

Perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad) diatur dalam

Buku III title 3 Pasal 1365 – 1380 KUH Perdata, termasuk ke dalam perikatan yang timbul dari undang-undang. R. Wirjono Prodjodikoro dalam

Rachmat Setiawan berpendapat bahwa “perkataan perbuatan melawan

hukum adalah istilah teknis yuridis yang arti sebenarnya secara tepat

hanya mungkin didapatkan dari peninjauan Pasal 1365 KUH Perdata.17

Terlepas dari pemakaian istilah perbuatan melawan hukum itu sendiri maka akibat yang pasti dari adanya perbuatan hukum itu sendiri adalah melahirkan kerugian. Suatu perbuatan dikategorikan perbuatan melawan hukum apabila dipenuhi unsur-unsur dari perbuatan melawan hukum itu yaitu :

1. Harus ada perbuatan, yang di maksud perbuatan ini baik yang bersifat positif

maupun yang bersifat negatif, artinya bersifat setiap tingkah laku tidak berbuat;

2. Perbuatan itu harus melawan hukum;

3. Ada kerugian;

4. Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum dengan

16 Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Huk um Dipandang Dari Sudut Huk um Perdata, (Bandung, Mandar Maju, 2000), hlm. 13.

17 Rachmat Setiawan, Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Huk um, (Bandung,

(12)

kerugian. 18

Bahwa kerugian dalam perbuatan melawan hukum adalah sesuatu yang hilang, yang tidak saja berupa kerugian material, akan tetapi juga dapat berupa kerugian immaterial. Dengan penguraian di muka, dapat ditarik pengertian ganti rugi terhadap perbuatan melawan hukum adalah pengembalian sesuatu yang hilang kepada keadaan semula sebelum terjadinya perbuatan melawan hukum atau pemberian penggantian terhadap sesuatu akibat dari suatu kerugian yang dialami sebagai akibat dari perbuatan melawan hukum.

Dalam bagian ini perlu juga diuraikan hubungan sebab-akibat (causal) antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian, karena causal ini sangat penting untuk menentukan tanggung jawab sehubungan dengan kerugian yang timbul. Di dalam memecahkan hubungan sebab akibat (causal) antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian, terdapat 2 (dua) teori, yaitu:

1. Conditio sine quanon (Von Buri)

Menurut teori ini, orang yang melakukan perbuatan melawan hukum selalu bertanggung jawab, jika perbuatannya menimbulkan kerugian. Dalam

kehidupan sehari-hari demikian juga redaksi Pasal 1365 KUH Perdata bahwa yang dimaksud dengan dengan sebab adalah suatu faktor tertentu, akan tetapi kenyataannya bahwa sesuatu tidak pernah disebabkan oleh satu faktor saja, namun oleh fakta yang berurutan, dan fakta-fakta ini pada gilirannya

disebabkan oleh fakta-fakta lainnya, sehingga merupakan satu mata rantai dari fakta-fakta causal yang menimbulkan suatu akibat tertentu.

Atas dasar inilah Von Buri mensyaratkan: sesuatu perbuatan atau masalah adalah syarat daripada suatu akibat, apabila perbuatan masalah itu tidak dapat ditiadakan, hingga akibatnya tidak akan timbul.

2. Adequate veroorzaking (Von Kries)

Menurut teori ini, si pembuat bertanggung jawab untuk kerugian yang selayaknya dapat diharapkan sebagai perbuatan melawan hukum.19

Ada kesalahannya:

Jika sudah jelas ada hubungan sebab-akibat antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian yang ditimbulkam, maka muncullah masalah lain, yaitu apakah akibat itu dapat dipertanggungjawabka n kepada si pembuat?

Malah dapat dikatakan, bahwa faktor kesalahan merupakan faktor dominan (menentukan) adanya perbuatan melawan hukum.

Jika kita tinjau isi dari Pasal 1365 KUH Perdata dengan teliti, memang tidak dibedakan antara perbuatan yang dilakukan dengan sengaja dan kurang

(13)

hati, melainkan yang penting harus terdapat kesalahan, dan kesalahan itu dapat dipertanggungjawabkan kepada si pelaku, sebagaimana dikemukakan oleh Wirjono Prodjodikoro, yakni:

Bahwa Pasal 1365 BW tidak memperbedakan hal kesengajaan dari hal kurang berhati-hati, melainkan hanya mengatakan bahwa haruslah ada kesalahan (schuld) di pihak pembuat perbuatan melanggar hukum, agar si pembuat itu dapat diwajibkan membayar ganti kerugian. Maka dalam hukum perdata, menurut BW tidak perlu sangat dihiraukan, apa ada kesengajaan atau kurang berhati-hati.20

Dari uraian di atas apabila perbuatan melawan hukum tersebut dihubungkan dengan keberadaan Pasal 76 UU Nomor 15 Tahun 2001 khususnya dalam hal pengambilan tindakan terhadap pemakaian merek oleh pihak yang tidak berhak, maka pihak pemakai sah merek dapat mengajukan tuntutan ganti rugi dengan dasar Pasal 76 UU Nomor 15 Tahun 2001 dan Pasal 1365 KUH Perdata.

Hanya saja perihal pembuktian telah terjadinya kerugian menjadi hal yang sangat berat bagi pemilik merek untuk memberikan data tentang jumlah kerugian yang dialaminya apabila dimintakan oleh pengadilan. Sehingga dalam hal ini pengadilan dan pemilik merek sah harus berhati-hati untuk memberikan data-data bukti kerugian yang dialaminya dengan beredarnya di pasaran merek yang tidak asli.

Sedangkan unsur-unsur sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1365 KUH Perdata telah terpenuhi dalam kaitannya dengan Pasal 76 UU Nomor 15 Tahun 2001, yaitu :

1. Harus ada perbuatan, yang di maksud perbuatan ini baik yang bersifat positif

maupun yang bersifat negatif, artinya bersifat setiap tingkah laku tidak berbuat.

Dalam hal ini perbuatan tersebut adalah pemakaian merek pihak lain tanpa hak

atau tanpa persetujuan pemilik merek asli.

2. Perbuatan itu harus melawan hukum;

Dalam hal ini secara jelas bahwa perbuatan memakai merek pihak lain tanpa sah bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001.

3. Ada kerugian;

Dalam hal ini jelas sekali terlihat kerugian yang dialami pemilik merek asli baik itu kualitas, aset maupun keuntungan dan juga opini masyarakat.

4. Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum dengan

(14)

kerugian.

Bagian ini perlu dibuktikan dengan menghadirkan bukti-bukti mengakibatkan kerugian bagi pemilik sah merek.

Ketentuan sanksi pidana yang mengatur khusus tindakan pelanggaran

merek diatur dalam UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang merek yaitu Bab XIV,

Pasal 90 sampai dengan 95. Ketentuan khusus ini sesuai dengan asas hukum lex

specialis dapat mengesampingkan ketentuan yang termuat dalam KUH Pidana

terhadap aturan yang memiliki kesamaan.

Dalam ketentuan Pasal 90 disebutkan:

“Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Merek yang

sama pada keseluruhannya denganMerek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan,dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun

dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”

Dalam ketentuan Pasal 91 ditentuakan bahwa :

“Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada pokoknya dengan Merekterdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidanadengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 800.000.000,00 (delapanratus juta rupiah)”

Sesuai dengan penambahan ketentuan indikasi geografis dan indikasi asal ,

maka terhadap pelanggaran kedua hak tersebut juga telah diatur sanksinya yaitu :

(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang sama pada keseluruhan dengan indikasi-geografis milik pihak lain untuk barang yang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar,dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (2) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang

pada pokoknya dengan indikasi geografis milik pihak lain untuk barang yang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

(15)

hasil pelanggaran ataupun pencantuman kata yang menunjukkan bahwa baranng tersebut merupakan tiruan dari barang yang terdaftar dan dilindungi berdasarkan indikasigeografis, diberlakukan ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan Ayat (2).

Penyidikan terhadap tindak pidana dibidang merek diatur dalam Bab XIII

Pasal 89 UU nomor 15 Tahun 2001 tentang merek yaitu bahwa penyidikan atas

tindak pidana merek selain oleh penyidik pejabat Polisi Negara juga dapat

dilakukan penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang ditunjuk sebagai penyidik,

sesuai dengan peraturan perundang-undangan yan berlaku.

Kewenangan yang dimiliki Penyidik Pegawai Negeri Sipil tersebut adalah

1. Melakukan pemeriksaaan atas kebenaran aduan berkenaan dengan tindak

pidana dibidang merek,

2. Melakukan pemeriksaaan terhdap orang atau badan hukum yang diduga

melakukan tindak pidana bidang merek,

3. Meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum

sehubungan dengan tindak pidanan bidang merek,

4. Melakukan pemeriksaan atas pembukuan , catatan , dokumen lainnya yang

berkaitan dengan tindak pidana merek,

5. Melakukan pemeriksaan ditempat tertentu yang diduga terdapat barang bukti,

pembukaan catatan dan dokumen lain,

6. Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak

pidana bidang merek.21

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian yang dilakukan oleh Lusiani dkk menunjukkan bahwa semakin panjang serat maka semakin besar nilai kekerasan, kekuatan impak, kekuatan lentur, densitas

Berdasarkan hasil laporan Iwan Sumantri (ID-SIRTI) tentang Insiden Serangan Website domain Indonesia Tahun 2013 bahwa serangan terhadap domain website ac.id

Hasil penelitian Andriana (2010), sebelumnya menyebutkan bahwa ada hubungan pemberian makanan pendamping ASI terhadap kejadian diare pada bayi usia <6 bulan di

[r]

Dengan menggunakan layanan informasi diharap siswa dapat mengetahui dampak narkoba dan cara menghindari narkoba.. Kudus, 4 Juni 2014

Pada Tabel 7 diperoleh hasil F Hitung 177,790 sedangkan F Tabel pada α = 0,05 dengan ketentuan df2=k-1 = 2-1 maka derajat pembilang 2 dan derajat penyebut, df2=65-2=63 maka diperoleh

Asuhan yang diberikan antara lain : menginformasikan hasil pemeriksaan kepada klien, menjelaskan masalah mules pada perut, menganjurkan untuk mobilisasi secara

Penelitian ini bertujuan menganalisis penerapan PSAK 109 (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan) tantang Akuntansi Zakat, Infak dan Sedekah yang di terapkan pada