• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PERJANJIAN KERJA SEBAGAI LANDASAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA A. Pengertian dan Unsur-unsur dalam Perjanjian Kerja 1. Pengertian perjanjian kerja - Perlindungan Hukum terhadap Keselamatan dan Kesehatan Kerja dalam Kegiatan Produksi di PT. Sumo Intern

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II PERJANJIAN KERJA SEBAGAI LANDASAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA A. Pengertian dan Unsur-unsur dalam Perjanjian Kerja 1. Pengertian perjanjian kerja - Perlindungan Hukum terhadap Keselamatan dan Kesehatan Kerja dalam Kegiatan Produksi di PT. Sumo Intern"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PERJANJIAN KERJA SEBAGAI LANDASAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA

A. Pengertian dan Unsur-unsur dalam Perjanjian Kerja 1. Pengertian perjanjian kerja

Perjanjian kerja yang dalam bahasa Belanda biasa disebut

Arbeidsovereenkoms, dapat diartikan dalam beberapa pengertian. Pengertian yang pertama disebutkan dalam ketentuan Pasal 1601a KUHPerdata, mengenai

perjanjian kerja disebutkan bahwa Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian di

mana pihak yang satu si buruh, mengikatkan dirinya untuk di bawah perintahnya

pihak yang lain, si majikan untuk suatu waktu tertentu, melakukan pekerjaan

dengan menenima upah.

Iman Soepomo, “mengemukakan bahwa perihal pengertian tentang

perjanjian kerja adalah suatu perjanjian di mana pihak kesatu, bunuh,

mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah pada pihak lainnya,

majikan, yang mengikatkan diri untuk mengerjakan buruh itu dengan membayar

upah.”12

Perjanjian Kerja adalah perjanjian antara seorang “buruh” dengan seorang “majikan”, perjanjian mana ditandai oleh ciri-ciri; adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu hubungan di peratas

Perihal pengertian perjanjian kerja, ada lagi pendapat dari Subekti yang

menyatakan:

12

(2)

(bahasa Belanda; dierstverhanding) yaitu suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang satu (majikan) berhak memberikan perintah-perintah yang harus ditaati oleh pihak yang lain.13

Setelah diketengahkan tentang beberapa pengertian mengenai perjanjian

kerja, khususnya pengertian yang ditentukan pada Pasal 1601a KUHPerdata

tersebut, ada dikemukakan perkataan “di bawah perintah”, maka perkataan inilah

yang merupakan norma dalam perjanjian kerja dan yang membedakan antara

perjanjian kerja dengan perjanjian-perjanjian lainnya. Perihal ketentuan “di

bawah” ini mengandung arti bahwa salah satu yang mengadakan perjanjian kerja

harus tunduk pada pihak lainnya, atau di bawah perintah atau pimpinan orang lain,

berarti ada unsur wenang perintah dan dengan adanya unsur wenang perintah

berarti antara kedua pihak ada kedudukan yang tidak sama yang disebut

subordinasi. Jadi di sini ada pihak yang kedudukannya di atas, yaitu yang

memerintah dan ada pihak yang kedudukannya di bawah, yaitu yang diperintah,

maka dengan adanya ketentuan tersebut, pihak buruh mau tidak mau harus tunduk

pada dan di bawah perintah dari pihak majikan.”14

Ketentuan tersebut di atas, menunjukkan bahwa kedudukan buruh atau

pekerja, adalah tidak sama dan seimbang yaitu di bawah. Jika dibandingkan

dengan kedudukan dari pihak majikan, dengan demikian dalam melaksanakan

hubungan hukum atau kerja, maka kedudukan hukum antara kedua belah pihak

jelas tidak dalam kedudukan sama dan seimbang. Ketentuan tersebut jika

dibandingkan dengan pengertian perjanjian pada umumnya seperti yang telah

13

Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1977), hal. 63.

14

(3)

diuraikan sebelumnya, yaitu seperti yang ditentukan pada Pasal 1313 KUHPerdata,

jelas bahwa kedudukan antara para pihak yang membuat perjanjian adalah sama

dan seimbang, karena di dalam pasal tersebut ditentukan bahwa satu orang lebih

mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Jelaslah pengertian tentang

perjanjian tersebut berlainan jika dibandingkan dengan pengertian perjanjian kerja

pada Pasal 1601a KUHPerdata, karena di dalam ketentuan pasal tersebut

dinyatakan dengan tegas tentang adanya dua ketentuan, yaitu tentang satu pihak

yang mengikatkan diri dan hanya satu pihak pula yang di bawah perintah orang

lain, pihak ini adalah pihak buruh atau pekerja. Sebaliknya pihak yang menurut

ketentuan tersebut tidak mengikatkan dirinya dan berhak pula untuk memerintah

kepada orang lain, adalah pihak majikan atau pengusaha. Oleh karena itu

“perumusan tersebut bisa dikatakan kurang lengkap, maka ketentuannya kurang

adil. Ketidakadilannya adalah tentang ketentuan yang diuraikan

didalamnya.”15

Pengertian tentang perumusan dalam KUH Perdata di atas akan lain, jika

perumusan tentang perjanjian kerja tersebut seperti yang dikemukakan Iman

Soepomo, yang mana beliau mengemukakan bahwa yang terikat dalam perjanjian

kerja adalah kedua belah pihak. Pihak pertama si buruh mengikatkan dirinya ”Ketidakadilan dalam KUH Perdata ini, kemungkinan besar

adanya pengaruh oleh suatu pandangan dari zaman ke zaman di masyarakat

manapun juga, yang memandang bahwa orang-orang yang melakukan pekerjaan,

terutama melakukan pekerjaan untuk kepentingan orang lain, sebagai orang-orang

yang derajatnya sangat rendah.”

15

(4)

untuk bekerja dan mempunyai hak untuk menerima upah, sebaliknya pihak si

majikan mengikatkan dirinya untuk mempekerjakan buruh serta berkewajiban

untuk membayar upah. 16

Pengertian mengenai perjanjian kerja yang selaras dengan apa yang

dikemukakan oleh Iman Soepomo, adalah seperti yang diketengahkan oleh A.

Ridwan Halim, di bawah ini: “Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian yang

diadakan antara majikan tertentu dan karyawan atau karyawan-karyawan tertentu,

yang umumnya berkenaan dengan segala persyaratan yang secara timbal-balik

harus dipenuhi oleh kedua belah pihak, selaras dengan hak dan kewajiban mereka

masingmasing terhadap satu sama lainnya”. 17

Selanjutnya menurut Wiwoho Soedjono, pengertian “perjanjian kerja

adalah hubungan antara seseorang yang bertindak sebagai pekerja atau buruh

dengan seseorang yang bertindak sebagai majikan”.

18

16

Iman Soepomo, Op. cit, hal. 57.

17

A. Ridwan Halim, dkk., Seri Hukum Perburuhan Aktual, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1987), hal. 29.

18

Wiwoho Soedjono, Hukum Perjanjian Kerja, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hal. 9.

Dengan adanya pengertian

tentang perumusan perjanjian kerja tersebut, di dalam perkembangannya

masalah-masalah yang berkenaan dengan penyelenggaraan atau penerapan penjanjian kerja,

perlu dicarikan jalan keluarnya. Untuk mengatasi dan menjembatani kesenjangan

tersebut, perlu adanya suatu perlindungan dari pihak lain atau pihak ketiga, guna

pemberian perlindungan pada salah satu pihak. Adanya perbedaan yang prinsip

antara perjanjian pada umumnya dengan perjanjian kerja, merupakan suatu

(5)

perjanjian antara para pihak yang membuatnya mempunyai derajat dan kondisi

yang sama serta mempunyai hak dan kewajiban yang sama dan seimbang. Namun

tidak demikian halnya dalam ketentuan tentang perjanjian kerja, karena antara

para pihak yang mengadakan perjanjian kerja, walaupun pada prinsipnya

mempunyai kedudukan dan derajat yang sama dan seimbang, akan tetapi

dikarenakan berbagai aspek yang melingkari di sekelilingnya, seperti telah

diuraikan sebelumnya, maka kenyataan menunjukkan bahwa kedudukan dan

derajat bagi para pihak yang mengadakan perjanjian kerja tersebut, menjadi tidak

sama dan seimbang.

Perjanjian kerja jika dilihat dari segi obyeknya, maka perjanjian kerja itu

mirip dengan perjanjian pemborongan, yaitu sama-sama menyebutkan bahwa

pihak yang satu menyetujui untuk melaksanakan pekerjaan bagi pihak yang lain

dengan pembayaran tertentu. Namun perbedaannya antara satu dengan yang

lainnya, bahwa pada perjanjian kerja ada terdapat gabungan kedinasan atau

kekuasaan antara buruh dan majikan. Sedangkan pada perjanjian pemborongan

tidak ada hubungan semacam itu, melainkan melaksanakan pekerjaan yang

tugasnya mandiri.19

2. Unsur-unsur perjanjian kerja

Unsur-unsur yang harus dipenuhi agar perjanjian bisa dinyatakan sah dan

mengikat sebagai undang-undang bagi yang membuatnya, haruslah memenuhi

ketentuan-ketentuan yang ada pada Pasal 1320 KUH Perdata. Demikian juga

dalamperjanjian kerja, pada prinsipnya unsur-unsur seperti yang ditentukan Pasal

19

(6)

1320 KUH Perdata tersebut masih juga menjadi pegangan dan harus diterapkan,

agar suatu perjanjian kerja tersebut keberadaannya bisa dianggap sah dan

konsekuensinya dianggap sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.

Walaupun demikian di dalam pembuatan perjanjian kerja, selain tetap

berpedoman pada ketentuan Pasal1320 KUH Perdata, ternyata masih ada

unsur-unsur lain yang harus dipenuhi.

Menurut seorang pakar Hukum Perburuhan dari negeri Belanda, yaituMr.

MG. Rood, ”bahwa suatu perjanjian kerja baru ada, manakala di dalam perjanjian

kerja tersebut telah memenuhi 4 (empat) syarat, yaitu work, service,time and pay".20

a. Adanya Unsur Pekerjaan (Work) Berikut ini adalah penjabarannya:

Di dalam suatu perjanjian kerja tersebut haruslah ada suatu pekerjaan yang

diperjanjikan dan dikerjakan sendiri oleh pekerja yang membuat perjanjian

kerja tersebut. Pekerjaan mana yaitu yang dikerjakan oleh pekerja,

haruslah berdasarkan dan berpedoman pada perjanjian kerja. Pekerja yang

melaksanakan pekerjaan atas dasar perjanjian kerja, pada pokoknya wajib

untuk melaksanakannya sendiri. Sebab apabila para pihak bebas untuk

melaksanakan pekerjaannya, untuk dilakukan sendiri atau menyuruh pada

orang lain untuk melakukannya, akibatnya hal tersebut akan sulit untuk

dikatakan sebagai pelaksanaan dari perjanjian kerja. Bahkan pada Pasal 4

Peratuan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah,

dinyatakan bahwa: ”Upah tidak dibayar bila buruh tidak melakukan

20

(7)

pekerjaan”. Ketentuan tersebut di atas, bisa disebut when do not work, do not get pay, maksudnya dari kalimat tersebut adalah jika seseorang tidak mau bekerja, maka berarti seseorang tersebut tidak berkehendak untuk

mendapatkan upah. Walaupun demikian di dalam pelaksanaannya, jika

seseorang atau pihak pekerja, sewaktu akan melaksanakan pekerjaannya

sebagai implementasi dari isi yang tercantum dalam perjanjian kerja, akan

tetapi berhalangan. Ternyata ketentuan tersebut bisa dikesampingkan,

yaitu dalam pelaksanaannya ternyata pekerjaan tersebut bisa diwakilkan

atau digantikan oleh orang lain, sepanjang sebelumnya telah diberitahukan

dan mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari pihak lain, yaitu

majikan selaku pemberi kerja. Ketentuan ini bisa didapat dalam Pasal

1383 KUH Perdata jo 1603a KUHPerdata. Adapun bunyi dari

ketentuan-ketentuan tersebut adalah sebagai berikut: Pasal 1383 KUH Perdata

berbunyi: ”Suatu perjanjian untuk berbuat sesuatu tak dapat dipenuhi oleh

seseorang dan pihak ketiga berlawanan dengan kemauan si berpiutang,

jika si berpiutang ini mempunyai kepentingan supaya perbuatannya

dilakukan sendiri oleh si berpiutang”. Dalam Pasal 1603a KUHPerdata

adalah “Buruh wajib melakukan sendiri pekerjaannya; hanyalah dengan

izin majikan ia dapat menyuruh seseorang ketiga menggantikannya (Pasal

1383 KUHPerdata)”.

b. Adanya Unsur Pelayanan (Service)

Bahwa dalam melakukan pekerjaan yang dilakukan sebagai manifestasi

(8)

orang lain, yaitu pihak pemberi kerja dan harus tunduk dan di bawah

perintah orang lain, majikan. Dengan adanya ketentuan tersebut,

menunjukkan bahwa pekerja dalam melaksanakan pekerjaannya berada di

bawah wibawa orang lain, yaitu majikan. Dengan adanya ketentuan

tersebut maka seorang Dokter misalnya dalam melaksanakan tugasnya,

yaitu memeriksa dan atau mendiagnose pada pasiennya atau seorang

Notaris yang melayani kliennya, dalam melakukan pekerjaannya tidak bisa

disamakan dengan pengertian melaksanakan perjanjian kerja. Alasannya,

karena unsur service dalam melakukan pekerjaan tersebut tidak terdapat di dalamnya. Sebab dalam melakukan pekerjaannya, tidak tunduk dan di

bawah perintah orang lain, karena mempunyai keahlian tertentu yang tidak

dipunyai dan dikuasai si pemberi kerja, yaitu si pasien atau klien. Di

samping itu, di dalam melaksanakan pekerjaannya, pekerjaan itu harus

bermanfaat bagi si pemberi kerja, misalnya jika dalam suatu perjanjian

kerja dinyatakan bahwa bidang pekerjaan yang dijanjikan adalah suatu

pekerjaan pengaspalan jalan. Maka pekerja dalam melaksanakan

pekerjaannya haruslah bermanfaat bagi si pemberi kerjanya, misalnya

sejak si pekerja bekerja memecah batu dan menghamparkannya di

sepanjang jalan yang sedang diperkeras atau di aspal. Dengan demikian

bisa diambil suatu kesimpulan bahwa prinsip dalam unsure pelayanan

adalah suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh pekerja dan harus

bermanfaat bagi pemberi kerja, dan sesuai dengan apa yang dimuat di

(9)

tujuannya bukan untuk memberikan manfaat bagi pemberi kerja, tetapi

mempunyai tujuan untuk kemanfaatan pekerja itu sendiri. Maka tujuan

pekerja melakukan pekerjaan misalnya untuk kepentingan praktek seorang

siswa atau mahasiswa, maka perjanjian tersebut jelas bukan merupakan

perjanjian kerja.”21

c. Adanya Unsur Waktu Tertentu (Time)

Melakukan hubungan kerja haruslah dilakukan sesuai dengan waktu yang

telah ditentukan dalam perjanjian kerja atau peraturan

perundang-undangan. Oleh karena itu dalam melakukan pekerjaannya, pekerja tidak

boleh melakukan sekehendak dari majikan dan juga boleh dilakukan

dalam kurun waktu seumur hidup, jika pekerjaan tersebut dilakukan

selama hidup dari pekerja tersebut, di sini pribadi manusia akan hilang,

sehingga timbullah apa yang dinamakan perbudakan dan bukan perjanjian

kerja. Pelaksanaan pekerjaan tersebut di samping harus sesuai dengan isi

dalam perjanjian kerja, juga majikan. Dengan kata lain dalam rangka

pelaksanaan pekerjaannya, “buruh tidak boleh bekerja dalam waktu yang

seenaknya saja, akan tetapi harus dilakukan sesuai dengan waktu yang

telah ditentukan pada perjanjian kerja atau peraturan perusahaan, dan juga

pelaksanaan pekerjaannya tidak boleh bertentangan ketentuan

perundangundangan, kebiasaan setempat dan ketertiban umum.”22 d. Adanya Unsur Upah (Pay)

21

Ibid., hal. 38-39.

22

(10)

Menurut Djumaldi, jika seseorang yang bekerja, dalam melaksanakan

pekerjaannya bukan bertujuan untuk mendapatkan upah, akan tetapi yang

menjadi tujuannya adalah selain upah, maka pelaksanaan pekerjaan

tersebut sulit untuk dikatakan sebagai pelaksanaan dari perjanjian kerja.

Selanjutnya jika “seseorang bekerja bertujuan untuk mendapatkan manfaat

bagi diri pekerja dan bukan untuk bertujuan mencari upah. Maka unsur

keempat dalam suatu perjanjian kerja ini, yaitu unsur pay tidak terpenuhi.”23

Contoh dari ketentuan tersebut, misalnya dalam hal perjanjian kerja praktek dari seorang pelajar atau mahasiswa. Mereka dalam melaksanakan masa prakteknya, misalnya mahasiswa dari Akademi Perhotelan dan Pariwisata, maka sewaktu mahasiswa tersebut berpraktek di suatu hotel, walaupun mereka telah bekerja dan di bawah perintah orang lain serta dalam waktu-waktu tertentu pula. Akan tetapi karena tujuan untuk melakukan pekerjaan bukan untuk mencari upah, namun untuk menimba ilmu dan meningkatkan pengetahuan serta mencani pengalaman dan juga untuk mendapatkan tanda kelulusan praktek di suatu hotel dan sekali lagi bukan mencari pemenuhan tentang upah. Dengan demikian bisa diambil suatu kesimpulan, walaupun ketiga unsur telah terpenuhi, akan tetapi karena unsur yang keempat tidak terpenuhi, yaitu unsur pay atau upah, maka hubungan tersebut bukan merupakan implementasi dari pelaksanaan suatu perjanjian kerja. Upah maksudnya adalah imbalan prestasi yang wajib dibayar oleh majikan untuk pekerjaan itu.24

Jika pekerja diharuskan memenuhi prestasi yaitu melakukan pekerjaan di

bawah perintah orang lain yaitu majikan, maka majikan sebagai pihak

pemberi kerja wajib pula memenuhi prestasinya, berupa pembayaran atas

upah. Dalam hal menguraikan tentang upah, adalah kewajiban essensial

dan hubungan kontraktual antara penerima kerja, yaitu buruh dengan

majikan. Pemberian majikan, yang sifatnya tidak wajib, sesuai dengan

23

Ibid., hal. 41

24

(11)

yang ditentukan di dalam perjanjian kerja atau berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku, yang sifatnya tidak mengikat untuk

dilaksanakan, maka pemberian tersebut tidak bisa dikategorikan atau

diklasifikasikan sebagai upah, misalnya berupa bonus, persenan dan

tunjangan hari raya dan lain sebagainya. Hal ini menurut Djumialdi “yang

disebut dengan upah adalah imbalan yang diberikan oleh pengusaha

kepada buruh secara teratur dan terus-menerus.”25

B. Jenis-jenis Perjanjian Kerja

Pasal 56 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

(UU Ketenagakerjaan), menyebutkan, berdasarkan jangka waktu (sementara atau

terus-menerus) dan jenis suatu pekerjaan (berulang-ulang atau selesainya suatu

pekerjaan tertentu), hubungan kerja dapat dibuat dalam suatu perjanjian kerja

untukwaktu tertentu dan perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu.

1. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)

Pasal 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. Nomor

Kep.100/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian

KerjaWaktu Tertentu (Kep.100/Men/VI/2004), yang dimaksud dengan penjanjian

kerja waktu tertentu adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha

untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan

tertentu.

a. Isi perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT)

25

(12)

Syarat kerja dan ketentuan yang memuat hak dan kewajiban antara

pengusaha dan pekerja/buruh yang diperjanjikan dalam PKWT, dipersyaratkan

tidak boleh lebih rendah dari ketentuan dalam peraturan perundang-undangan

yang berlaku.26

b. Persyaratan pembuatan PKWT

Penjelasan Pasal 54 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, bahwa yang

dimaksud dengan tidak boleh lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan

perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang-undangan yang

berlaku adalah apabila di perusahaan telah ada peraturan perusahaan atau

perjanjian kerja bersama, isi perjanjian kerja baik kualitas maupun kuantitas tidak

boleh lebih rendah dari peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama di

perusahaan yang bersangkutan.

”Merujuk ketentuan Pasal 56 - Pasal 59 UU Ketenagakerjaan, pembuatan

PKWT harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

1) Didasarkan atas jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu.

2) Harus dibuat secara tertulis dan menggunakan Bahasa Indonesia.

3) Tidak boleh ada masa percobaan.

4) Hanya dapat dibuat untuk pekerjaan yang menurut jenis dan sifat atau

kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertertu.

5) Tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.”27

Penjelasan Pasal 59 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, bahwa yang dimaksud

dengan pekerjaan yang bersifat tetap dalam ayat ini adalah pekerjaan yang

26

Pasal 2 Kep.100/Men/VI/2004 jo. Pasal 54. ayat (2) UU Ketenagakerjaan

27

(13)

sifatnya terus-menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu dan merupakan

bagian dari suatu proses produksi dalam satu perusahaan atau pekerjaan yang

bukan musiman. Pekerjaan yang bukan musiman adalah pekerjaan yang tidak

bergantung pada cuaca atau suatu kondisi tertentu. Apabila pekerjaan itu

merupakan pekerjaan yang terus-menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi

waktu, dan merupakan bagian dari suatu proses produksi, tetapi bergantung pada

cuaca atau pekerjaan itu dibutuhkan karena adanya suatu kondisi tertentu,

pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan musiman yang tidak termasuk pekerjaan

tetap sehingga dapat menjadi objek perjanjian kerja waktu tertentu.

c. Perpanjangan dan Pembaruan PKWT

Berdasarkan Pasal 59 UU Ketenagakerjaan, PKWT yang didasarkan atas

jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 tahun (PKWT I) dan

hanya boleh diperpanjang 1 kali untuk jangka waktu paling lama 1 tahun

(perpanjangan PKWT pertama atau PKWT kedua). Dalam hal pengusaha ingin

melakukan perpanjangan PKWT, maka paling lama tujuh hari sebelum PKWT

berakhir perusahaan telah memberikan pemberitahuan secara tertulis maksud

mengenai perpanjangan PKWT tersebut kepada pekerja yang bersangkutan.

Pembaruan PKWT (PKWT ketiga) hanya boleh dilakukan 1 kali paling lama 2

tahun dan pembaruan PKWT ini baru dapat diadakan setelah melebihi masa

tenggang waktu 30 hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama.

Dalam masa tenggang waktu tiga puluh hari ini tidak boleh ada hubungan kerja

apa pun antara pengusaha dan pemberi kerja.

(14)

Menurut Keputusan Menteri perjanjian kerja waktu tertentu untuk

pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya maksudnya adalah

perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu

dan dibuatuntuk waktu paling lama tiga tahun. Dalam hal pekerjaan tertentu yang

diperjanjikan dalam perjanjian kerja waktu tertentu dapat diselesaikan lebih cepat

dari yang diperjanjikan, perjanjian kerja waktu tertentu tersebut putus demi

hukum pada saat selesainya pekerjaan. Perjanjian kerja waktu tertentu yang

didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu harus dicantumkan batasan suatu

pekerjaan dinyatakan selesai.28

Perjanjian kerja waktu tertentu, dalam hal dibuat berdasarkan selesainya

pekerjaan tertentu namun karena kondisi tertentu pekerjaan tersebut belum dapat

diselesaikan, dapat dilakukan pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu.

Pembaruan dilakukan setelah melebihi masa tenggang waktu tiga puluh hari

setelah berakhirnya perjanjian kerja. Selama tenggang waktu tiga puluh hari tidak

boleh ada hubungan kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha.29 e. PKWT untuk pekerjaan yang bersifat musiman.

28

Pasal 3 ayat (1), (2), dan ayat (4) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. Nomor Kep.100/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.

29

(15)

“Pekerjaan yang bersifat musiman adalah pekerjaan yang pelaksanaannya

bergantung kepada musim atau cuaca dan hanya dapat dilakukan untuk satu jenis

pekerjaan pada musim tertentu.”30

“Pekerjaan-pekerjaan yang harus dilakukan untuk memenuhi pesanan atau

target tertentu dapat dilakukan dengan perjanjian kerja waktu tertentu sebagai

pekerjaan musiman dan hanya diberlakukan untuk pekerja/buruh yang melakukan

pekerjaan tambahan.”31

“Perjanjian kerja waktu tertentu untuk pekerjaan yang bersifat musiman

initidak dapat dilakukan pembaruan.”32

f. PKWT untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru

“Perjanjian kerja waktu tertentu dapat dilakukan untuk pekerjaan yang

berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang

masih dalam percobaan atau penjajakan.”33

“Perjanjian kerja waktu tertentu untuk pekerjaan yang berhubungan

dengan produk baru hanya dapat dilakukan untuk jangka waktu paling lama 2

tahun dan dapat diperpanjang satu kali paling lama 1 tahun tetapi tidak dapat

30

Pasal 4 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. Nomor Kep.100/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.

31

Pasal 5 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. Nomor Kep.100/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu

32

Pasal 7 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. Nomor Kep.100/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu

33

(16)

dilakukan pembaruan.”34 Kemudian juga, “perjanjian kerja waktu tertentu untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru hanya dapat diberlakukan bagi

pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan di luar kegiatan atau di luar pekerjaan

yang biasa dilakukan perusahaan.”35

g. Perjanjian kerja harian lepas

“Pekerjaan-pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu dan

volume pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran, dapat dibuat perjanjian

kerja harian lepas.”36

“Perjanjian kerja harian lepas harus memenuhi ketentuan bahwa

pekerja/buruh bekerja kurang dari 21 hari dalam 1 bulan. Mengenai pekerja/buruh

yang bekerja selama 21 hari atau lebih selama 3 bulan berturut-turut atau lebih,

maka perjanjian kerja harian lepas berubah menjadi perjanjian kerja waktu tidak

tertentu.”37

“Perjanjian kerja harian lepas yang memenuhi ketentuan-ketentuan

sebagaimana dimaksud di atas dikecualikan dari ketentuan batasan jangka waktu

34

Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. Nomor Kep.100/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu

35

Pasal 9 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. Nomor Kep.100/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu

36

Pasal 10 ayat (1) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. Nomor Kep.100/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu

37

(17)

PKWT pada umumnya.”38

2. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)

Maksud dikecualikan dari ketentuan batasan jangka

waktu PKWT pada umumnya adalah jangka waktu perjanjian kerja harian lepas

tidak dibatasi oleh hanya satu kali perpanjangan dan atau satu kali pembaruan

sebagaimana perjanjian kerja waktu tertentu pada umumnya.

“Perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) adalah perjanjian kerja

antara pekerja/buruh dan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang

bersifat tetap.”77 Menurut Pasal 1603 I KUH Perdata, jika diperjanjikan

mengenai masa percobaan dalam perjanjian kerja waktu tidak tertentu, selama

waktu itu (tiga bulan) masing-masing pihak berhak mengakhiri seketika hubungan

kerjanya dengan pemberitahuan penghentian. Menurut Pasal 60 UU

Ketenagakerjaan, perjanjian kerja waktu tidak tertentu dapat mempersyaratkan

masa percobaan selama tiga bulan. Selama masa percobaan tersebut pengusaha

dilarang membayarkan upah minimum yang berlaku. Penjelasan Pasal 60 ayat (1)

UU Ketenagakerjaan, bahwa syarat masa percobaan kerja dalam penjanjian kerja

waktu tidak tertentu harus dicantumkandalam perjanjian kerja. Apabila perjanjian

kerja dilakukan secara lisan, syarat masa percobaan kerja harus diberitahukan

kepada pekerja yang bersangkutan dan dicantumkan dalam surat pengangkatan.

Apabila tidak dicantumkan dalam perjanjiankerja atau dalam surat pengangkatan,

ketentuan masa percobaan kerja dianggap tidak ada. Selanjutnya dalam Pasal 63

ayat (1) ditentukan, penjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara lisan,

apabila pekerja telah selesai melalui masa percobaan, pengusaha wajib membuat

38

(18)

surat pengangkatan bagi pekerja yang bersangkutan. Surat pengangkatan tersebut

sekurang-kurangnya memuat:

a. nama dan alamat pekerja;

b. tanggal mulai bekerja;

c. jenis pekerjaan; dan

d. besarnya upah

C. Pihak-pihak dalam Perjanjian Kerja

Pihak-pihak yang ada dalam perjanjian kerja adalah:

1. Pekerja/ buruh/ karyawan

Dalam kehidupan sehari-hari masih terdapat beberapa peristilahan

mengenai pekerja. Misalnya ada penyebutan : buruh, karyawan atau pegawai.

Terhadap peristilahan yang demikian, Darwan Prints menyatakan bahwa maksud

dari semua peristilahan tersebut mengandung makna yang sama; yaitu orang yang

bekerja pada orang lain dan mendapat upah sebagai imbalannya.39

39 Darwan Prints, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Bandung: PT. Citra

Aditya Bakti, 2000), hal. 20.

Melihat pernyataan di atas, maka termasuk sebagai pekerja/ karyawan/

buruh atau pegawai itu mencakup pegawai swasta maupun pegawai negeri (sipil

dan militer). Akan tetapi dalam praktik dibedakan pekerja/buruh dengan pegawai

negeri. Terdapatnya berbagai sebutan atau istilah ini kelihatan mengikuti sebutan

atau nama dari Departemen yang membidanginya, yang semula bernama

(19)

Istilah buruh sangat populer dalam dunia perburuhan/ ketenagakerjaan,

selain istilah ini sudah dipergunakan sejak lama bahkan mulai dari zaman

penjajahan Belanda juga karena peraturan perundang-undangan yang lama

(Undang-undang No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

Mengenai Tenaga Kerja) menggunakan istilah buruh. Namun setelah

Undang-undang No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan menggunakan istilah

“pekerja/buruh” begitu pula dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan menggunakan istilah pekerja/buruh.

Pada zaman penjajahan Belanda yang dimaksudkan dengan buruh adalah

pekerja kasar seperti kuli, tukang, mandor yang melakukan pekerjaan kasar,

orang-orang ini disebutnya sebagai “Blue Collar”. Sedangkan yang melakukan

pekerjaan di kantor pemerintah maupun swasta disebut sebagai

“Karyawan/Pegawai” (White Collar”). Pembedaan yang membawa konsekuensi

pada perbedaan perlakuan dan hak-hak tersebut oleh pemerintah Belanda tidak

terlepas dari upaya untuk memecah belah orang- orang pribumi.

Setelah merdeka tidak lagi mengenal perbedaan antara buruh halus dan

buruh kasar tersebut, semua orang yang bekerja di sektor swasta baik pada orang

maupun badan hukum disebut buruh. Hal ini disebutkan dalam Undang-undang

No. 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan yakni Buruh

adalah “barangsiapa yang bekerja pada majikan dan menerima upah” (Pasal 1 ayat

1 a).

Dalam perkembangan hukum perburuhan di Indonesia, istilah buruh

(20)

oleh pemerintah (Departemen Tenaga Kerja) pada waktu kongres FBSI II tahun

1985. Alasan pemerintah karena istilah buruh kurang sesuai dengan kepribadian

bangsa, buruh lebih cenderung menunjuk pada golongan yang selalu ditekan dan

berada di bawah pihak lain yakni majikan.40

Dari pengertian ini jelaslah bahwa pengertian tenaga kerja sangat luas

yakni mencakup semua penduduk dalam usia kerja baik yang sudah bekerja

maupun yang mencari pekerjaan (menganggur). Usia kerja dalam Undang- Berangkat dari sejarah penyebutan istilah buruh seperti tersebut di atas,

menurut penulis istilah buruh kurang sesuai dengan perkembangan sekarang,

buruh sekarang ini tidak lagi sama dengan buruh masa lalu yang hanya bekerja

pada sektor formal seperti Bank, Hotel dan lain-lain. Karena itu lebih tepat jika

disebut dengan istilah pekerja.

Istilah pekerja juga sesuai dengan penjelasan Pasal 2 UUD 1945 yang

menyebutkan golongan-golongan adalah badan-badan seperti Koperasi, Serikat

Pekerja dan lain-lain badan kolektif. Istilah pekerja secara yuridis baru ditemukan

dalam Undang-undang No. 25 tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan yang dicabut

dan diganti dengan Undang-undang No. 13 Tahun 2003 yang membedakan antara

pekerja dengan tenaga kerja. Dalam undang-undang No. 13 Tahun 2003 Pasal 1

angka 2 disebutkan bahwa:

“Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan,

guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri

maupun untuk masyarakat”.

40

(21)

undang No. 13 Tahun 2003 minimal berumur 15 tahun (Pasal 69). Sedangkan

pengertian pekerja/buruh adalah “setiap orang yang bekerja dengan menerima

upah atau imbalan dalam bentuk lain” (Pasal 1 angka 3 Undang-undang No. 13

Tahun 2003, (lihat pula Pasal 1 butir 9 Undang- undang No. 2 Tahun 2004 tentang

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial). Jadi pekerja adalah sebagian

dari tenaga kerja, dalam hal ini yang sudah mendapat pekerjaan.

Untuk kepentingan santunan jaminan kecelakaan kerja dalam

perlindungan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) berdasarkan

Undang-undang No. 3 tahun 1992, pengertian “pekerja” diperluas yakni termasuk:

a. magang dan murid yang bekerja pada perusahaan baik yang menerima

upah maupun tidak;

b. mereka yang menborong pekerjaan kecuali jika yang memborong adalah

perusahaan;

c. narapidana yang dipekerjakan di perusahaan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik pengertian bahwa istilah buruh

telah digantikan istilah pekerja yaitu orang yang bekerja dengan menerima upah

atau imbalan dalam bentuk lain. Pekerja adalah sebagian dari tenaga kerja, dalam

hal ini pekerja adalah orang yang sudah mendapat pekerjaan tetap, hal ini karena

tenaga kerja meliputi pula orang pengangguran yang mencari pekerjaan (angkatan

kejra), ibu rumah tangga dan orang lain yang belum atau tidak mempunyai

pekerjaan tetap.

(22)

Sebagaimana halnya dengan istilah buruh, istilah majikan ini juga sangat

populer karena perundang-undangan sebelum Undang-undang No. 13 Tahun2003

menggunakan istilah majikan. Dalam Undang-undang No. 22 tahun 1957 tentang

Penyelesaian Perselisihan Perburuhan disebutkan bahwa Majikan adalah “orang

atau badan hukum yang mempekerjakan buruh”.

Sama halnya dengan istilah Buruh, istilah Majikan juga kurang sesuai

dengan konsep Hubungan Industrial Pancasila karena istilah majikan berkonotasi

sebagai pihak yang selalu berada di atas, padahal antara buruh dan majikan secara

yuridis adalah mitra kerja yang mempunyai kedudukan sama, karena itu lebih

tepat jika disebut dengan istilah Pengusaha. Perundang-undangan yang lahir

kemudian seperti undang No. 3 tahun 1992 tentang Jamsostek,

undang No. 14 Tahun 1969 tentang Pokok-Pokok Ketenagakerjaan,

Undang-undang No. 25 tahun 1997 yang dicabut dan diganti dengan Undang-Undang-undang No.

13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menggunakan istilah Pengusaha. Pasal 1

angka 5 undang No. 13 Tahun 2003 (lihat pula Pasal 1 butir 6

Undang-undang No. 2 Tahun 2004) menjelaskan pengertian Pengusaha yakni:

a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan

suatu perusahaan milik sendiri;

b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri

sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;

c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di

Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b

(23)

Sedangkan pengertian Perusahaan (Pasal 1 angka 6 Undang-undang No.

13 Tahun 2003, lihat pula Pasal 1 butir 7 Undang-undang No. 2 Tahun 2004)

adalah:

a. Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang

perseorangan, persekutuan, atau badan hukum, baik milik swasta maupun

milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah

atau imbalan dalam bentuk lain.

b. Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan

mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam

bentuk lain.

Dari pengertian di atas jelaslah bahwa pengertian pengusaha menunjuk

pada orangnya sedangkan perusahaan menunjuk pada bentuk usaha atau organnya.

D. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Kerja 1. Hak dan kewajiban pekerja

a. Hak pekerja

Menurut Darwan Prints, yang dimaksud dengan hak di sini adalah sesuatu

yang harus diberikan kepada seseorang sebagai akibat dari kedudukan atau status

dari seseorang, sedangkan kewajiban adalah suatu prestasi baik berupa benda atau

jasa yang harus dilakukan oleh seseorang karena kedudukanatau statusnya.41

41

Darwan Prints, Op. cit, hal. 22-23.

(24)

1) Hak mendapat upah/gaji (Pasal 1602 KUH Perdata, Pasal 88 s/d 97

Undang-undang No. 13 Tahun 2003; Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun

1981 tentang Perlindungan Upah);

2) Hak atas pekerjaan dan penghasilan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 4

Undang-undang No. 13 Tahun 2003);

3) Hak bebas memilih dan pindah pekerjaan sesuai bakat dan kemampuannya

(Pasal 5 Undang-undang No. 13 Tahun 2003);

4) Hak atas pembinaan keahlian kejuruan untuk memperoleh serta menambah

keahlian dan keterampilan lagi ( Pasal 9-30 Undang-undang-undang No.

13 Tahun 2003);

5) Hak mendapatkan perlindungan atas keselamatan, kesehatan serta

perlakuan yang sesuai dengan martabat manusia dan moral agama (Pasal 3

Undang-undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek);

6) Hak mendirikan dan menjadi anggota Perserikatan Tenaga Kerja (Pasal

104 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 jo. Undang-undang No. 21 Tahun

2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh);

7) Hak atas istirahat tahunan, tiap-tiap kali setelah ia mempunyai masa kerja

12 (dua belas) bulan berturut-turut pada satu majikan atau beberapa

majikan dari satu organisasi majikan (Pasal 79 Undang-undang No. 13

Tahun 2003);

8) Hak atas upah penuh selama istirahat tahunan ( Pasal 88-98 Undang-

(25)

9) Hak atas suatu pembayaran penggantian istirahat tahunan, bila pada saat

diputuskan hubungan kerja ia sudah mempunyai masa kerja sedikit-

dikitnya enam bulan terhitung dari saat ia berhak atas istirahat tahunan

yang terakhir; yaitu dalam hal bila hubungan kerja diputuskan oleh

majikan tanpa alasan-alasan mendesak yang diberikan oleh buruh, atau

oleh buruh karena alasan-alasan mendesak yang diberikan oleh Majikan

(Pasal 150-172 Undang-undang No. 13 Tahun 2003);

10)Hak untuk melakukan perundingan atau penyelesaian perselisihan

hubungan industrial melalui bipartit, mediasi, konsiliasi, arbitrase dan

penyelesaian melalui pengadilan (Pasal 6-115 Undang-undang No. 2

Tahun 2004);

Menurut Konvensi ILO 1948 ada empat macam hak tenaga kerja yaitu hak

berserikat; hak berunding kolektif; hak mogok, dan hak mendapat upah.

b. Kewajiban pekerja

Di samping mempunyai hak-hak sebagaimana diuraikan di atas, tenaga

kerja juga mempunyai kewajiban sebagai berikut:

1) Wajib melakukan prestasi/pekerjaan bagi majikan;

2) Wajib mematuhi peraturan perusahaan;

3) Wajib mematuhi perjanjian kerja;

4) Wajib mematuhi perjanjian perburuhan;

5) Wajib menjaga rahasia perusahaan;

(26)

7) Wajib memenuhi segala kewajiban selama izin belum diberikan dalam hal

ada banding yang belum ada putusannya.42

2. Hak dan kewajiban pengusaha a. Hak pengusaha

Hak pengusaha adalah sesuatu yang harus diberikan kepada pengusaha

sebagai konsekuensi adanya pekerja yang bekerja padanya atau karena

kedudukannya sebagai pengusaha. Adapun hak-hak dari pengusaha itu sebagai

berikut:43

1) Boleh menunda pembayaran tunjangan sementara tidak mampu bekerja

sampai paling lama lima hari terhitung mulai dari kecelakaan itu terjadi,

jikalau buruh yang ditimpa kecelakaan tidak dengan perantaraan

perusahaan atau kalau belum memperoleh surat keterangan dokter yang

menerangkan, bahwa buruh tidak dapat beketja karena ditimpa kecelakaan;

2) Dengan persetujuan sebanyak-banyaknya 50% apabila kecelakaan terjadi

sedang di bawah pengaruh minuman keras atau barang-barang lain yang

memabukkan;

3) Boleh mengajukan permintaan kepada pegawai pengawas, untuk

menetapkan lagi jumlah uang tunjangan yang telah ditetapkan, jikalau

dalam keadaan selama-lamanya tidak mampu bekerja itu terdapat

perubahan yang nyata;

4) Dapat mengajukan keberatan dengan surat kepada Menteri Tenaga Kerja,

apabila permintaan izin atau permintaan untuk memperpanjang waktu

42

Ibid, hal. 23.

43

(27)

berlakunya izin ditolak dalam waktu 60 (enam puluh) hari terhitung mulai

tanggal penolakan;

5) Pengusaha berhak untuk:

a) Mendapat pelayanan untuk memperoleh calon tenaga kerja Indonesia

yang akan dikirim ke luar negeri dari Kandepnaker.

b) Mendapat informasi pasar kerja.

6) Mewakili dan bertindak untuk dan atas nama perusahaan asing di Luar

Negeri yang menunjuknya (Pasal 7 Peraturan Menteri Tenaga kerja dan

Transmigrasi No. Per.01/Men/1983).

7) Dapat mengajukan keberatan kepada Menteri Tenaga Kerja atas

pencabutan izin usahanya selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) dari setelah

keputusan izin usaha dikeluarkan (Pasal 10 ayat (2) Peraturan Menteri

Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.01/Men/1983).

8) Menetapkan saat dimulainya istirahat tahunan dengan memperhatikan

kepentingan buruh;

9) Mengundurkan saat istirahat tahunan untuk selama-lamaya 6 (enam) bulan

terhitung mulai saat buruh berhak atas istirahat tahunan berhubung dengan

kepentingan perusahaan yang nyata-nyata;

10)Dapat memperhitungkan upah buruh selama sakit dengan suatu

pembayaran yang diterima oleh buruh tersebut yang timbul dari suatu

peraturan perundangan/peraturan perusahaan/suatu dana yang

menyelenggarakan jaminan sosial ataupun suatu pertanggungan (Pasal 7

(28)

11)Menjatuhkan denda atas pelanggaran sesuatu hal apabila hal itu diatur

secara tegas dalam suatu perjanjian tertulis atau peraturan perusahaan

(Pasal 20 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981).

12)Minta ganti rugi dari buruh, bila terjadi kerusakan barang atau kerugian

lainnya baik milik perusahaan maupun milik pihak ketiga oleh buruh

karena kesengajaan atau kelalaiannya (Pasal 23 ayat (1) Peraturan

Pemerintah No.8 Tahun 1981).

13)Memperhitungkan upah dengan :

a) Denda, potongan dan ganti rugi.

b) Sewa rumah yang disewakan oleh pengusaha kepada buruh dengan

perjanjian tertulis.

c) Uang muka atas upah, kelebihan upah yang telah dibayarkan dan

cicilan hutang buruh terhadap pengusaha, dengan ketentuan harus ada

tanda bukti tertulis (Pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 8

Tahun 1981).

b. Kewajiban pengusaha

Kewajiban pengusaha adalah suatu prestasi yang harus dilakukan oleh

pengusaha, bagi kepentingan tenaga kerjanya. Adapun pengusaha itu adalah

sebagai berikut:44

1) Wajib menjaga agar di perusahaannya tidak dilakukan pekerjaan yang

bertentangan dengan ditetapkan dalam Pasal 4 Stb. 647 Tahun1925.

2) Wajib memberikan keterangan yang diminta oleh pejabat yang berwenang;

44

(29)

3) Wajib memberikan upah buruh:

a) Jika buruh sakit, sehingga tidak dapat melakukan pekerjaannya,

dengan ketentuan:

(1)Untuk tiga bulan pertama dibayar 100%

(2)Untuk tiga bulan kedua dibayar 75%

(3)Untuk tiga bulan ketiga dibayar 50%

(4)Untuk tiga bulan keempat dibayar 25%

b) Jika buruh tidak masuk bekerja karena hal-hal:

(1)Buruh sendiri kawin dibayar untuk selama dua hari.

(2)Menyunatkan anaknya dibayar untuk selama satu hari.

(3)Membabtiskan anaknya dibayar untuk selama satu hari.

(4)Mengawinkan anaknya dibayar untuk selama dua hari.

(5)Anggota keluarga meninggal dunia, yaitu suami/istri, orang

tua/mertua atau anak dibayar untuk selama dua hari.

(6)Istri melahirkan anak dibayar untuk selama satu hari (Pasal 5 ayat

(1) Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981).

4) Wajib membayar upah yang biasa dibayarkan kepada buruh yang tidak

dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban

negara, jika dalam menjalankan kewajiban Negara tersebut buruh tidak

mendapat upah atau tunjangan lainnya dari pemerintah, tetapi tidak

melebihi satu tahun (Pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun

(30)

5) Wajib membayarkan kekurangan atas upah yang biasa dibayarkan kepada

buruh yang menjalankan kewajiban negara, bilamana jumlah upah yang

diterimanya kurang dari upah yang biasa diterima tetapi tidak melebihi

satu tahun (Pasal 6 ayat (20 Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981).

6) Wajib membayarkan upah kepada buruh yang tidak dapat bekerja karena

memenuhi kewajiban ibadah menurut agamanya, akan tetapi tidak

melebihi tiga bulan (Pasal 6 ayat (4) Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun

1981).

7) Wajib membayar upah kepada buruh yang bersedia melakukan pekerjaan

yang telah dijanjikan, akan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya

baik karena kesalahan sendiri maupun karena halangan yang dialami oleh

pengusaha yang seharusnya dapat dihindari (Pasal 8 Peraturan Pemerintah

No. 8 Tahun 1981).

8) Membayar upah buruh pada waktu yang telah ditentukan sesuai dengan

perjanjian (Pasal 10 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981).

9) Harus membayar seluruh jaminan upah pada tiap pembayaran (Pasal 11

Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981).

10)Wajib melaporkan secara tertulis kepada Menteri atau pejabat yang

ditunjuk (Kakandep Tenaga Kerja setempat) selambat-lambatnya 30 (tiga

puluh) hari setelah :

a) Mendirikan perusahaan;

(31)

c) Memindahkan perusahaan (Pasal 6 ayat (1) Undang-undang No. 7

Tahun 1981).

11)Wajib melaporkan setiap tahun secara tertulis mengenai ketenagakerjaan

kepada Menteri Tenaga Kerja atau pejabat yang ditunjuk (Kakandep

Tenaga Kerja setempat) (Pasal 7 ayat (1) Undang-undang No. 7 Tahun

1981).

12)Wajib melaporkan secara tertulis kepada Menteri atau pejabat yang

ditunjuk (Kakandep Tenaga Kerja setempat) selambat-lambatnya dalam

jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebelum:

a) Memindahkan perusahaan;

b) Menghentikan perusahaan;

c) Membubarkan perusahaan ( Pasal 8 ayat (1) Undang-undang No. 7

Tahun 1981).

13)Wajib mengadakan dan memelihara daftar-daftar yang berhubungan

dengan istirahat tahunan menurut contoh yang ditetapkan (daftar Anggota

dan daftar B);

14)Pengusaha wajib :

a) Menjaga jangan terjadi pemutusan hubungan kerja;

b) Merundingkan maksud pemutusan hubungan kerja dengan organisasi

buruh/buruh yang bersangkutan;

c) Pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan buruh

setelah memperoleh izin P4D/P4P;

(32)

e) Memenuhi kewajiban selama izin belum diberikan dan dalam hal ada

permintaan banding belum ada keputusan;

15)Setiap permohonan izin akan menggunakan tenaga kerja warga negara

asing pendatang, wajib memiliki Rencana Penggunaan Tenaga Kerja

(RPTK) yang disahkan oleh Menteri Tenaga Kerja (Pasal 2 ayat (1)

Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.Per.04/Men/1984).

16)Pengajuan permohonan RPTK wajib memperhatikan Keputusan Menteri

Tenaga Kerja di sektor/subsektor yang bersangkutan sesuai dengan bidang

usahanya (Pasal 2 ayat (3) Peraturan Menteri Tenaga Kerja

No.Per.04/Men/1984).

17)Memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam izin pengerahan Pasal 2

ayat (2), Pasal 3 jo. Pasal 4 sub b dan d Peraturan Menteri Tenaga Kerja

No.04/1970.

18)Memenuhi instruksi-intruksi yang dikeluarkan oleh pejabat yang memberi

izin Pengerahan Pasal 2 ayat (3) jo. Pasal 4 sub c Peraturan Menteri

Tenaga Kerja No.04/1970.

19)Wajib memiliki izin usaha dari Dirjen Binaguna (sekarang Dirjen

Binapenta), apabila menjalankan usaha pengerahan Tenaga Kerja

Indonesia ke Luar Negeri (Pasal 2 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan

Transmigrasi No.Per .01/Men/1983).

20)Mengajukan permohonan secara tertulis kepada Dirjen Binapenta apabila

akan memperoleh izin usaha (Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Tenaga

(33)

21)Wajib menyelenggarakan Program Astek dengan mempertanggungkan

tenaga kerjanya dalam program AKK (Asuransi Kecelakaan Kerja), AK

(Asuransi Kesehatan), dan THT (Tabungan Hari Tua) Pasal 3 ayat (1) dan

Referensi

Dokumen terkait