BAB II
PERJANJIAN KERJA SEBAGAI LANDASAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA
A. Pengertian dan Unsur-unsur dalam Perjanjian Kerja 1. Pengertian perjanjian kerja
Perjanjian kerja yang dalam bahasa Belanda biasa disebut
Arbeidsovereenkoms, dapat diartikan dalam beberapa pengertian. Pengertian yang pertama disebutkan dalam ketentuan Pasal 1601a KUHPerdata, mengenai
perjanjian kerja disebutkan bahwa Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian di
mana pihak yang satu si buruh, mengikatkan dirinya untuk di bawah perintahnya
pihak yang lain, si majikan untuk suatu waktu tertentu, melakukan pekerjaan
dengan menenima upah.
Iman Soepomo, “mengemukakan bahwa perihal pengertian tentang
perjanjian kerja adalah suatu perjanjian di mana pihak kesatu, bunuh,
mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah pada pihak lainnya,
majikan, yang mengikatkan diri untuk mengerjakan buruh itu dengan membayar
upah.”12
Perjanjian Kerja adalah perjanjian antara seorang “buruh” dengan seorang “majikan”, perjanjian mana ditandai oleh ciri-ciri; adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu hubungan di peratas
Perihal pengertian perjanjian kerja, ada lagi pendapat dari Subekti yang
menyatakan:
12
(bahasa Belanda; dierstverhanding) yaitu suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang satu (majikan) berhak memberikan perintah-perintah yang harus ditaati oleh pihak yang lain.13
Setelah diketengahkan tentang beberapa pengertian mengenai perjanjian
kerja, khususnya pengertian yang ditentukan pada Pasal 1601a KUHPerdata
tersebut, ada dikemukakan perkataan “di bawah perintah”, maka perkataan inilah
yang merupakan norma dalam perjanjian kerja dan yang membedakan antara
perjanjian kerja dengan perjanjian-perjanjian lainnya. Perihal ketentuan “di
bawah” ini mengandung arti bahwa salah satu yang mengadakan perjanjian kerja
harus tunduk pada pihak lainnya, atau di bawah perintah atau pimpinan orang lain,
berarti ada unsur wenang perintah dan dengan adanya unsur wenang perintah
berarti antara kedua pihak ada kedudukan yang tidak sama yang disebut
subordinasi. Jadi di sini ada pihak yang kedudukannya di atas, yaitu yang
memerintah dan ada pihak yang kedudukannya di bawah, yaitu yang diperintah,
maka dengan adanya ketentuan tersebut, pihak buruh mau tidak mau harus tunduk
pada dan di bawah perintah dari pihak majikan.”14
Ketentuan tersebut di atas, menunjukkan bahwa kedudukan buruh atau
pekerja, adalah tidak sama dan seimbang yaitu di bawah. Jika dibandingkan
dengan kedudukan dari pihak majikan, dengan demikian dalam melaksanakan
hubungan hukum atau kerja, maka kedudukan hukum antara kedua belah pihak
jelas tidak dalam kedudukan sama dan seimbang. Ketentuan tersebut jika
dibandingkan dengan pengertian perjanjian pada umumnya seperti yang telah
13
Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1977), hal. 63.
14
diuraikan sebelumnya, yaitu seperti yang ditentukan pada Pasal 1313 KUHPerdata,
jelas bahwa kedudukan antara para pihak yang membuat perjanjian adalah sama
dan seimbang, karena di dalam pasal tersebut ditentukan bahwa satu orang lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Jelaslah pengertian tentang
perjanjian tersebut berlainan jika dibandingkan dengan pengertian perjanjian kerja
pada Pasal 1601a KUHPerdata, karena di dalam ketentuan pasal tersebut
dinyatakan dengan tegas tentang adanya dua ketentuan, yaitu tentang satu pihak
yang mengikatkan diri dan hanya satu pihak pula yang di bawah perintah orang
lain, pihak ini adalah pihak buruh atau pekerja. Sebaliknya pihak yang menurut
ketentuan tersebut tidak mengikatkan dirinya dan berhak pula untuk memerintah
kepada orang lain, adalah pihak majikan atau pengusaha. Oleh karena itu
“perumusan tersebut bisa dikatakan kurang lengkap, maka ketentuannya kurang
adil. Ketidakadilannya adalah tentang ketentuan yang diuraikan
didalamnya.”15
Pengertian tentang perumusan dalam KUH Perdata di atas akan lain, jika
perumusan tentang perjanjian kerja tersebut seperti yang dikemukakan Iman
Soepomo, yang mana beliau mengemukakan bahwa yang terikat dalam perjanjian
kerja adalah kedua belah pihak. Pihak pertama si buruh mengikatkan dirinya ”Ketidakadilan dalam KUH Perdata ini, kemungkinan besar
adanya pengaruh oleh suatu pandangan dari zaman ke zaman di masyarakat
manapun juga, yang memandang bahwa orang-orang yang melakukan pekerjaan,
terutama melakukan pekerjaan untuk kepentingan orang lain, sebagai orang-orang
yang derajatnya sangat rendah.”
15
untuk bekerja dan mempunyai hak untuk menerima upah, sebaliknya pihak si
majikan mengikatkan dirinya untuk mempekerjakan buruh serta berkewajiban
untuk membayar upah. 16
Pengertian mengenai perjanjian kerja yang selaras dengan apa yang
dikemukakan oleh Iman Soepomo, adalah seperti yang diketengahkan oleh A.
Ridwan Halim, di bawah ini: “Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian yang
diadakan antara majikan tertentu dan karyawan atau karyawan-karyawan tertentu,
yang umumnya berkenaan dengan segala persyaratan yang secara timbal-balik
harus dipenuhi oleh kedua belah pihak, selaras dengan hak dan kewajiban mereka
masingmasing terhadap satu sama lainnya”. 17
Selanjutnya menurut Wiwoho Soedjono, pengertian “perjanjian kerja
adalah hubungan antara seseorang yang bertindak sebagai pekerja atau buruh
dengan seseorang yang bertindak sebagai majikan”.
18
16
Iman Soepomo, Op. cit, hal. 57.
17
A. Ridwan Halim, dkk., Seri Hukum Perburuhan Aktual, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1987), hal. 29.
18
Wiwoho Soedjono, Hukum Perjanjian Kerja, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hal. 9.
Dengan adanya pengertian
tentang perumusan perjanjian kerja tersebut, di dalam perkembangannya
masalah-masalah yang berkenaan dengan penyelenggaraan atau penerapan penjanjian kerja,
perlu dicarikan jalan keluarnya. Untuk mengatasi dan menjembatani kesenjangan
tersebut, perlu adanya suatu perlindungan dari pihak lain atau pihak ketiga, guna
pemberian perlindungan pada salah satu pihak. Adanya perbedaan yang prinsip
antara perjanjian pada umumnya dengan perjanjian kerja, merupakan suatu
perjanjian antara para pihak yang membuatnya mempunyai derajat dan kondisi
yang sama serta mempunyai hak dan kewajiban yang sama dan seimbang. Namun
tidak demikian halnya dalam ketentuan tentang perjanjian kerja, karena antara
para pihak yang mengadakan perjanjian kerja, walaupun pada prinsipnya
mempunyai kedudukan dan derajat yang sama dan seimbang, akan tetapi
dikarenakan berbagai aspek yang melingkari di sekelilingnya, seperti telah
diuraikan sebelumnya, maka kenyataan menunjukkan bahwa kedudukan dan
derajat bagi para pihak yang mengadakan perjanjian kerja tersebut, menjadi tidak
sama dan seimbang.
Perjanjian kerja jika dilihat dari segi obyeknya, maka perjanjian kerja itu
mirip dengan perjanjian pemborongan, yaitu sama-sama menyebutkan bahwa
pihak yang satu menyetujui untuk melaksanakan pekerjaan bagi pihak yang lain
dengan pembayaran tertentu. Namun perbedaannya antara satu dengan yang
lainnya, bahwa pada perjanjian kerja ada terdapat gabungan kedinasan atau
kekuasaan antara buruh dan majikan. Sedangkan pada perjanjian pemborongan
tidak ada hubungan semacam itu, melainkan melaksanakan pekerjaan yang
tugasnya mandiri.19
2. Unsur-unsur perjanjian kerja
Unsur-unsur yang harus dipenuhi agar perjanjian bisa dinyatakan sah dan
mengikat sebagai undang-undang bagi yang membuatnya, haruslah memenuhi
ketentuan-ketentuan yang ada pada Pasal 1320 KUH Perdata. Demikian juga
dalamperjanjian kerja, pada prinsipnya unsur-unsur seperti yang ditentukan Pasal
19
1320 KUH Perdata tersebut masih juga menjadi pegangan dan harus diterapkan,
agar suatu perjanjian kerja tersebut keberadaannya bisa dianggap sah dan
konsekuensinya dianggap sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.
Walaupun demikian di dalam pembuatan perjanjian kerja, selain tetap
berpedoman pada ketentuan Pasal1320 KUH Perdata, ternyata masih ada
unsur-unsur lain yang harus dipenuhi.
Menurut seorang pakar Hukum Perburuhan dari negeri Belanda, yaituMr.
MG. Rood, ”bahwa suatu perjanjian kerja baru ada, manakala di dalam perjanjian
kerja tersebut telah memenuhi 4 (empat) syarat, yaitu work, service,time and pay".20
a. Adanya Unsur Pekerjaan (Work) Berikut ini adalah penjabarannya:
Di dalam suatu perjanjian kerja tersebut haruslah ada suatu pekerjaan yang
diperjanjikan dan dikerjakan sendiri oleh pekerja yang membuat perjanjian
kerja tersebut. Pekerjaan mana yaitu yang dikerjakan oleh pekerja,
haruslah berdasarkan dan berpedoman pada perjanjian kerja. Pekerja yang
melaksanakan pekerjaan atas dasar perjanjian kerja, pada pokoknya wajib
untuk melaksanakannya sendiri. Sebab apabila para pihak bebas untuk
melaksanakan pekerjaannya, untuk dilakukan sendiri atau menyuruh pada
orang lain untuk melakukannya, akibatnya hal tersebut akan sulit untuk
dikatakan sebagai pelaksanaan dari perjanjian kerja. Bahkan pada Pasal 4
Peratuan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah,
dinyatakan bahwa: ”Upah tidak dibayar bila buruh tidak melakukan
20
pekerjaan”. Ketentuan tersebut di atas, bisa disebut when do not work, do not get pay, maksudnya dari kalimat tersebut adalah jika seseorang tidak mau bekerja, maka berarti seseorang tersebut tidak berkehendak untuk
mendapatkan upah. Walaupun demikian di dalam pelaksanaannya, jika
seseorang atau pihak pekerja, sewaktu akan melaksanakan pekerjaannya
sebagai implementasi dari isi yang tercantum dalam perjanjian kerja, akan
tetapi berhalangan. Ternyata ketentuan tersebut bisa dikesampingkan,
yaitu dalam pelaksanaannya ternyata pekerjaan tersebut bisa diwakilkan
atau digantikan oleh orang lain, sepanjang sebelumnya telah diberitahukan
dan mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari pihak lain, yaitu
majikan selaku pemberi kerja. Ketentuan ini bisa didapat dalam Pasal
1383 KUH Perdata jo 1603a KUHPerdata. Adapun bunyi dari
ketentuan-ketentuan tersebut adalah sebagai berikut: Pasal 1383 KUH Perdata
berbunyi: ”Suatu perjanjian untuk berbuat sesuatu tak dapat dipenuhi oleh
seseorang dan pihak ketiga berlawanan dengan kemauan si berpiutang,
jika si berpiutang ini mempunyai kepentingan supaya perbuatannya
dilakukan sendiri oleh si berpiutang”. Dalam Pasal 1603a KUHPerdata
adalah “Buruh wajib melakukan sendiri pekerjaannya; hanyalah dengan
izin majikan ia dapat menyuruh seseorang ketiga menggantikannya (Pasal
1383 KUHPerdata)”.
b. Adanya Unsur Pelayanan (Service)
Bahwa dalam melakukan pekerjaan yang dilakukan sebagai manifestasi
orang lain, yaitu pihak pemberi kerja dan harus tunduk dan di bawah
perintah orang lain, majikan. Dengan adanya ketentuan tersebut,
menunjukkan bahwa pekerja dalam melaksanakan pekerjaannya berada di
bawah wibawa orang lain, yaitu majikan. Dengan adanya ketentuan
tersebut maka seorang Dokter misalnya dalam melaksanakan tugasnya,
yaitu memeriksa dan atau mendiagnose pada pasiennya atau seorang
Notaris yang melayani kliennya, dalam melakukan pekerjaannya tidak bisa
disamakan dengan pengertian melaksanakan perjanjian kerja. Alasannya,
karena unsur service dalam melakukan pekerjaan tersebut tidak terdapat di dalamnya. Sebab dalam melakukan pekerjaannya, tidak tunduk dan di
bawah perintah orang lain, karena mempunyai keahlian tertentu yang tidak
dipunyai dan dikuasai si pemberi kerja, yaitu si pasien atau klien. Di
samping itu, di dalam melaksanakan pekerjaannya, pekerjaan itu harus
bermanfaat bagi si pemberi kerja, misalnya jika dalam suatu perjanjian
kerja dinyatakan bahwa bidang pekerjaan yang dijanjikan adalah suatu
pekerjaan pengaspalan jalan. Maka pekerja dalam melaksanakan
pekerjaannya haruslah bermanfaat bagi si pemberi kerjanya, misalnya
sejak si pekerja bekerja memecah batu dan menghamparkannya di
sepanjang jalan yang sedang diperkeras atau di aspal. Dengan demikian
bisa diambil suatu kesimpulan bahwa prinsip dalam unsure pelayanan
adalah suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh pekerja dan harus
bermanfaat bagi pemberi kerja, dan sesuai dengan apa yang dimuat di
tujuannya bukan untuk memberikan manfaat bagi pemberi kerja, tetapi
mempunyai tujuan untuk kemanfaatan pekerja itu sendiri. Maka tujuan
pekerja melakukan pekerjaan misalnya untuk kepentingan praktek seorang
siswa atau mahasiswa, maka perjanjian tersebut jelas bukan merupakan
perjanjian kerja.”21
c. Adanya Unsur Waktu Tertentu (Time)
Melakukan hubungan kerja haruslah dilakukan sesuai dengan waktu yang
telah ditentukan dalam perjanjian kerja atau peraturan
perundang-undangan. Oleh karena itu dalam melakukan pekerjaannya, pekerja tidak
boleh melakukan sekehendak dari majikan dan juga boleh dilakukan
dalam kurun waktu seumur hidup, jika pekerjaan tersebut dilakukan
selama hidup dari pekerja tersebut, di sini pribadi manusia akan hilang,
sehingga timbullah apa yang dinamakan perbudakan dan bukan perjanjian
kerja. Pelaksanaan pekerjaan tersebut di samping harus sesuai dengan isi
dalam perjanjian kerja, juga majikan. Dengan kata lain dalam rangka
pelaksanaan pekerjaannya, “buruh tidak boleh bekerja dalam waktu yang
seenaknya saja, akan tetapi harus dilakukan sesuai dengan waktu yang
telah ditentukan pada perjanjian kerja atau peraturan perusahaan, dan juga
pelaksanaan pekerjaannya tidak boleh bertentangan ketentuan
perundangundangan, kebiasaan setempat dan ketertiban umum.”22 d. Adanya Unsur Upah (Pay)
21
Ibid., hal. 38-39.
22
Menurut Djumaldi, jika seseorang yang bekerja, dalam melaksanakan
pekerjaannya bukan bertujuan untuk mendapatkan upah, akan tetapi yang
menjadi tujuannya adalah selain upah, maka pelaksanaan pekerjaan
tersebut sulit untuk dikatakan sebagai pelaksanaan dari perjanjian kerja.
Selanjutnya jika “seseorang bekerja bertujuan untuk mendapatkan manfaat
bagi diri pekerja dan bukan untuk bertujuan mencari upah. Maka unsur
keempat dalam suatu perjanjian kerja ini, yaitu unsur pay tidak terpenuhi.”23
Contoh dari ketentuan tersebut, misalnya dalam hal perjanjian kerja praktek dari seorang pelajar atau mahasiswa. Mereka dalam melaksanakan masa prakteknya, misalnya mahasiswa dari Akademi Perhotelan dan Pariwisata, maka sewaktu mahasiswa tersebut berpraktek di suatu hotel, walaupun mereka telah bekerja dan di bawah perintah orang lain serta dalam waktu-waktu tertentu pula. Akan tetapi karena tujuan untuk melakukan pekerjaan bukan untuk mencari upah, namun untuk menimba ilmu dan meningkatkan pengetahuan serta mencani pengalaman dan juga untuk mendapatkan tanda kelulusan praktek di suatu hotel dan sekali lagi bukan mencari pemenuhan tentang upah. Dengan demikian bisa diambil suatu kesimpulan, walaupun ketiga unsur telah terpenuhi, akan tetapi karena unsur yang keempat tidak terpenuhi, yaitu unsur pay atau upah, maka hubungan tersebut bukan merupakan implementasi dari pelaksanaan suatu perjanjian kerja. Upah maksudnya adalah imbalan prestasi yang wajib dibayar oleh majikan untuk pekerjaan itu.24
Jika pekerja diharuskan memenuhi prestasi yaitu melakukan pekerjaan di
bawah perintah orang lain yaitu majikan, maka majikan sebagai pihak
pemberi kerja wajib pula memenuhi prestasinya, berupa pembayaran atas
upah. Dalam hal menguraikan tentang upah, adalah kewajiban essensial
dan hubungan kontraktual antara penerima kerja, yaitu buruh dengan
majikan. Pemberian majikan, yang sifatnya tidak wajib, sesuai dengan
23
Ibid., hal. 41
24
yang ditentukan di dalam perjanjian kerja atau berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yang sifatnya tidak mengikat untuk
dilaksanakan, maka pemberian tersebut tidak bisa dikategorikan atau
diklasifikasikan sebagai upah, misalnya berupa bonus, persenan dan
tunjangan hari raya dan lain sebagainya. Hal ini menurut Djumialdi “yang
disebut dengan upah adalah imbalan yang diberikan oleh pengusaha
kepada buruh secara teratur dan terus-menerus.”25
B. Jenis-jenis Perjanjian Kerja
Pasal 56 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
(UU Ketenagakerjaan), menyebutkan, berdasarkan jangka waktu (sementara atau
terus-menerus) dan jenis suatu pekerjaan (berulang-ulang atau selesainya suatu
pekerjaan tertentu), hubungan kerja dapat dibuat dalam suatu perjanjian kerja
untukwaktu tertentu dan perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu.
1. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
Pasal 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. Nomor
Kep.100/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian
KerjaWaktu Tertentu (Kep.100/Men/VI/2004), yang dimaksud dengan penjanjian
kerja waktu tertentu adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha
untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan
tertentu.
a. Isi perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT)
25
Syarat kerja dan ketentuan yang memuat hak dan kewajiban antara
pengusaha dan pekerja/buruh yang diperjanjikan dalam PKWT, dipersyaratkan
tidak boleh lebih rendah dari ketentuan dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku.26
b. Persyaratan pembuatan PKWT
Penjelasan Pasal 54 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, bahwa yang
dimaksud dengan tidak boleh lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan
perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku adalah apabila di perusahaan telah ada peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama, isi perjanjian kerja baik kualitas maupun kuantitas tidak
boleh lebih rendah dari peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama di
perusahaan yang bersangkutan.
”Merujuk ketentuan Pasal 56 - Pasal 59 UU Ketenagakerjaan, pembuatan
PKWT harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
1) Didasarkan atas jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu.
2) Harus dibuat secara tertulis dan menggunakan Bahasa Indonesia.
3) Tidak boleh ada masa percobaan.
4) Hanya dapat dibuat untuk pekerjaan yang menurut jenis dan sifat atau
kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertertu.
5) Tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.”27
Penjelasan Pasal 59 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, bahwa yang dimaksud
dengan pekerjaan yang bersifat tetap dalam ayat ini adalah pekerjaan yang
26
Pasal 2 Kep.100/Men/VI/2004 jo. Pasal 54. ayat (2) UU Ketenagakerjaan
27
sifatnya terus-menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu dan merupakan
bagian dari suatu proses produksi dalam satu perusahaan atau pekerjaan yang
bukan musiman. Pekerjaan yang bukan musiman adalah pekerjaan yang tidak
bergantung pada cuaca atau suatu kondisi tertentu. Apabila pekerjaan itu
merupakan pekerjaan yang terus-menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi
waktu, dan merupakan bagian dari suatu proses produksi, tetapi bergantung pada
cuaca atau pekerjaan itu dibutuhkan karena adanya suatu kondisi tertentu,
pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan musiman yang tidak termasuk pekerjaan
tetap sehingga dapat menjadi objek perjanjian kerja waktu tertentu.
c. Perpanjangan dan Pembaruan PKWT
Berdasarkan Pasal 59 UU Ketenagakerjaan, PKWT yang didasarkan atas
jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 tahun (PKWT I) dan
hanya boleh diperpanjang 1 kali untuk jangka waktu paling lama 1 tahun
(perpanjangan PKWT pertama atau PKWT kedua). Dalam hal pengusaha ingin
melakukan perpanjangan PKWT, maka paling lama tujuh hari sebelum PKWT
berakhir perusahaan telah memberikan pemberitahuan secara tertulis maksud
mengenai perpanjangan PKWT tersebut kepada pekerja yang bersangkutan.
Pembaruan PKWT (PKWT ketiga) hanya boleh dilakukan 1 kali paling lama 2
tahun dan pembaruan PKWT ini baru dapat diadakan setelah melebihi masa
tenggang waktu 30 hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama.
Dalam masa tenggang waktu tiga puluh hari ini tidak boleh ada hubungan kerja
apa pun antara pengusaha dan pemberi kerja.
Menurut Keputusan Menteri perjanjian kerja waktu tertentu untuk
pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya maksudnya adalah
perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu
dan dibuatuntuk waktu paling lama tiga tahun. Dalam hal pekerjaan tertentu yang
diperjanjikan dalam perjanjian kerja waktu tertentu dapat diselesaikan lebih cepat
dari yang diperjanjikan, perjanjian kerja waktu tertentu tersebut putus demi
hukum pada saat selesainya pekerjaan. Perjanjian kerja waktu tertentu yang
didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu harus dicantumkan batasan suatu
pekerjaan dinyatakan selesai.28
Perjanjian kerja waktu tertentu, dalam hal dibuat berdasarkan selesainya
pekerjaan tertentu namun karena kondisi tertentu pekerjaan tersebut belum dapat
diselesaikan, dapat dilakukan pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu.
Pembaruan dilakukan setelah melebihi masa tenggang waktu tiga puluh hari
setelah berakhirnya perjanjian kerja. Selama tenggang waktu tiga puluh hari tidak
boleh ada hubungan kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha.29 e. PKWT untuk pekerjaan yang bersifat musiman.
28
Pasal 3 ayat (1), (2), dan ayat (4) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. Nomor Kep.100/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.
29
“Pekerjaan yang bersifat musiman adalah pekerjaan yang pelaksanaannya
bergantung kepada musim atau cuaca dan hanya dapat dilakukan untuk satu jenis
pekerjaan pada musim tertentu.”30
“Pekerjaan-pekerjaan yang harus dilakukan untuk memenuhi pesanan atau
target tertentu dapat dilakukan dengan perjanjian kerja waktu tertentu sebagai
pekerjaan musiman dan hanya diberlakukan untuk pekerja/buruh yang melakukan
pekerjaan tambahan.”31
“Perjanjian kerja waktu tertentu untuk pekerjaan yang bersifat musiman
initidak dapat dilakukan pembaruan.”32
f. PKWT untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru
“Perjanjian kerja waktu tertentu dapat dilakukan untuk pekerjaan yang
berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang
masih dalam percobaan atau penjajakan.”33
“Perjanjian kerja waktu tertentu untuk pekerjaan yang berhubungan
dengan produk baru hanya dapat dilakukan untuk jangka waktu paling lama 2
tahun dan dapat diperpanjang satu kali paling lama 1 tahun tetapi tidak dapat
30
Pasal 4 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. Nomor Kep.100/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.
31
Pasal 5 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. Nomor Kep.100/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
32
Pasal 7 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. Nomor Kep.100/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
33
dilakukan pembaruan.”34 Kemudian juga, “perjanjian kerja waktu tertentu untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru hanya dapat diberlakukan bagi
pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan di luar kegiatan atau di luar pekerjaan
yang biasa dilakukan perusahaan.”35
g. Perjanjian kerja harian lepas
“Pekerjaan-pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu dan
volume pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran, dapat dibuat perjanjian
kerja harian lepas.”36
“Perjanjian kerja harian lepas harus memenuhi ketentuan bahwa
pekerja/buruh bekerja kurang dari 21 hari dalam 1 bulan. Mengenai pekerja/buruh
yang bekerja selama 21 hari atau lebih selama 3 bulan berturut-turut atau lebih,
maka perjanjian kerja harian lepas berubah menjadi perjanjian kerja waktu tidak
tertentu.”37
“Perjanjian kerja harian lepas yang memenuhi ketentuan-ketentuan
sebagaimana dimaksud di atas dikecualikan dari ketentuan batasan jangka waktu
34
Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. Nomor Kep.100/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
35
Pasal 9 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. Nomor Kep.100/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
36
Pasal 10 ayat (1) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. Nomor Kep.100/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
37
PKWT pada umumnya.”38
2. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)
Maksud dikecualikan dari ketentuan batasan jangka
waktu PKWT pada umumnya adalah jangka waktu perjanjian kerja harian lepas
tidak dibatasi oleh hanya satu kali perpanjangan dan atau satu kali pembaruan
sebagaimana perjanjian kerja waktu tertentu pada umumnya.
“Perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) adalah perjanjian kerja
antara pekerja/buruh dan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang
bersifat tetap.”77 Menurut Pasal 1603 I KUH Perdata, jika diperjanjikan
mengenai masa percobaan dalam perjanjian kerja waktu tidak tertentu, selama
waktu itu (tiga bulan) masing-masing pihak berhak mengakhiri seketika hubungan
kerjanya dengan pemberitahuan penghentian. Menurut Pasal 60 UU
Ketenagakerjaan, perjanjian kerja waktu tidak tertentu dapat mempersyaratkan
masa percobaan selama tiga bulan. Selama masa percobaan tersebut pengusaha
dilarang membayarkan upah minimum yang berlaku. Penjelasan Pasal 60 ayat (1)
UU Ketenagakerjaan, bahwa syarat masa percobaan kerja dalam penjanjian kerja
waktu tidak tertentu harus dicantumkandalam perjanjian kerja. Apabila perjanjian
kerja dilakukan secara lisan, syarat masa percobaan kerja harus diberitahukan
kepada pekerja yang bersangkutan dan dicantumkan dalam surat pengangkatan.
Apabila tidak dicantumkan dalam perjanjiankerja atau dalam surat pengangkatan,
ketentuan masa percobaan kerja dianggap tidak ada. Selanjutnya dalam Pasal 63
ayat (1) ditentukan, penjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara lisan,
apabila pekerja telah selesai melalui masa percobaan, pengusaha wajib membuat
38
surat pengangkatan bagi pekerja yang bersangkutan. Surat pengangkatan tersebut
sekurang-kurangnya memuat:
a. nama dan alamat pekerja;
b. tanggal mulai bekerja;
c. jenis pekerjaan; dan
d. besarnya upah
C. Pihak-pihak dalam Perjanjian Kerja
Pihak-pihak yang ada dalam perjanjian kerja adalah:
1. Pekerja/ buruh/ karyawan
Dalam kehidupan sehari-hari masih terdapat beberapa peristilahan
mengenai pekerja. Misalnya ada penyebutan : buruh, karyawan atau pegawai.
Terhadap peristilahan yang demikian, Darwan Prints menyatakan bahwa maksud
dari semua peristilahan tersebut mengandung makna yang sama; yaitu orang yang
bekerja pada orang lain dan mendapat upah sebagai imbalannya.39
39 Darwan Prints, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2000), hal. 20.
Melihat pernyataan di atas, maka termasuk sebagai pekerja/ karyawan/
buruh atau pegawai itu mencakup pegawai swasta maupun pegawai negeri (sipil
dan militer). Akan tetapi dalam praktik dibedakan pekerja/buruh dengan pegawai
negeri. Terdapatnya berbagai sebutan atau istilah ini kelihatan mengikuti sebutan
atau nama dari Departemen yang membidanginya, yang semula bernama
Istilah buruh sangat populer dalam dunia perburuhan/ ketenagakerjaan,
selain istilah ini sudah dipergunakan sejak lama bahkan mulai dari zaman
penjajahan Belanda juga karena peraturan perundang-undangan yang lama
(Undang-undang No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Mengenai Tenaga Kerja) menggunakan istilah buruh. Namun setelah
Undang-undang No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan menggunakan istilah
“pekerja/buruh” begitu pula dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan menggunakan istilah pekerja/buruh.
Pada zaman penjajahan Belanda yang dimaksudkan dengan buruh adalah
pekerja kasar seperti kuli, tukang, mandor yang melakukan pekerjaan kasar,
orang-orang ini disebutnya sebagai “Blue Collar”. Sedangkan yang melakukan
pekerjaan di kantor pemerintah maupun swasta disebut sebagai
“Karyawan/Pegawai” (White Collar”). Pembedaan yang membawa konsekuensi
pada perbedaan perlakuan dan hak-hak tersebut oleh pemerintah Belanda tidak
terlepas dari upaya untuk memecah belah orang- orang pribumi.
Setelah merdeka tidak lagi mengenal perbedaan antara buruh halus dan
buruh kasar tersebut, semua orang yang bekerja di sektor swasta baik pada orang
maupun badan hukum disebut buruh. Hal ini disebutkan dalam Undang-undang
No. 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan yakni Buruh
adalah “barangsiapa yang bekerja pada majikan dan menerima upah” (Pasal 1 ayat
1 a).
Dalam perkembangan hukum perburuhan di Indonesia, istilah buruh
oleh pemerintah (Departemen Tenaga Kerja) pada waktu kongres FBSI II tahun
1985. Alasan pemerintah karena istilah buruh kurang sesuai dengan kepribadian
bangsa, buruh lebih cenderung menunjuk pada golongan yang selalu ditekan dan
berada di bawah pihak lain yakni majikan.40
Dari pengertian ini jelaslah bahwa pengertian tenaga kerja sangat luas
yakni mencakup semua penduduk dalam usia kerja baik yang sudah bekerja
maupun yang mencari pekerjaan (menganggur). Usia kerja dalam Undang- Berangkat dari sejarah penyebutan istilah buruh seperti tersebut di atas,
menurut penulis istilah buruh kurang sesuai dengan perkembangan sekarang,
buruh sekarang ini tidak lagi sama dengan buruh masa lalu yang hanya bekerja
pada sektor formal seperti Bank, Hotel dan lain-lain. Karena itu lebih tepat jika
disebut dengan istilah pekerja.
Istilah pekerja juga sesuai dengan penjelasan Pasal 2 UUD 1945 yang
menyebutkan golongan-golongan adalah badan-badan seperti Koperasi, Serikat
Pekerja dan lain-lain badan kolektif. Istilah pekerja secara yuridis baru ditemukan
dalam Undang-undang No. 25 tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan yang dicabut
dan diganti dengan Undang-undang No. 13 Tahun 2003 yang membedakan antara
pekerja dengan tenaga kerja. Dalam undang-undang No. 13 Tahun 2003 Pasal 1
angka 2 disebutkan bahwa:
“Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan,
guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri
maupun untuk masyarakat”.
40
undang No. 13 Tahun 2003 minimal berumur 15 tahun (Pasal 69). Sedangkan
pengertian pekerja/buruh adalah “setiap orang yang bekerja dengan menerima
upah atau imbalan dalam bentuk lain” (Pasal 1 angka 3 Undang-undang No. 13
Tahun 2003, (lihat pula Pasal 1 butir 9 Undang- undang No. 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial). Jadi pekerja adalah sebagian
dari tenaga kerja, dalam hal ini yang sudah mendapat pekerjaan.
Untuk kepentingan santunan jaminan kecelakaan kerja dalam
perlindungan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) berdasarkan
Undang-undang No. 3 tahun 1992, pengertian “pekerja” diperluas yakni termasuk:
a. magang dan murid yang bekerja pada perusahaan baik yang menerima
upah maupun tidak;
b. mereka yang menborong pekerjaan kecuali jika yang memborong adalah
perusahaan;
c. narapidana yang dipekerjakan di perusahaan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik pengertian bahwa istilah buruh
telah digantikan istilah pekerja yaitu orang yang bekerja dengan menerima upah
atau imbalan dalam bentuk lain. Pekerja adalah sebagian dari tenaga kerja, dalam
hal ini pekerja adalah orang yang sudah mendapat pekerjaan tetap, hal ini karena
tenaga kerja meliputi pula orang pengangguran yang mencari pekerjaan (angkatan
kejra), ibu rumah tangga dan orang lain yang belum atau tidak mempunyai
pekerjaan tetap.
Sebagaimana halnya dengan istilah buruh, istilah majikan ini juga sangat
populer karena perundang-undangan sebelum Undang-undang No. 13 Tahun2003
menggunakan istilah majikan. Dalam Undang-undang No. 22 tahun 1957 tentang
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan disebutkan bahwa Majikan adalah “orang
atau badan hukum yang mempekerjakan buruh”.
Sama halnya dengan istilah Buruh, istilah Majikan juga kurang sesuai
dengan konsep Hubungan Industrial Pancasila karena istilah majikan berkonotasi
sebagai pihak yang selalu berada di atas, padahal antara buruh dan majikan secara
yuridis adalah mitra kerja yang mempunyai kedudukan sama, karena itu lebih
tepat jika disebut dengan istilah Pengusaha. Perundang-undangan yang lahir
kemudian seperti undang No. 3 tahun 1992 tentang Jamsostek,
undang No. 14 Tahun 1969 tentang Pokok-Pokok Ketenagakerjaan,
Undang-undang No. 25 tahun 1997 yang dicabut dan diganti dengan Undang-Undang-undang No.
13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menggunakan istilah Pengusaha. Pasal 1
angka 5 undang No. 13 Tahun 2003 (lihat pula Pasal 1 butir 6
Undang-undang No. 2 Tahun 2004) menjelaskan pengertian Pengusaha yakni:
a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan
suatu perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b
Sedangkan pengertian Perusahaan (Pasal 1 angka 6 Undang-undang No.
13 Tahun 2003, lihat pula Pasal 1 butir 7 Undang-undang No. 2 Tahun 2004)
adalah:
a. Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, persekutuan, atau badan hukum, baik milik swasta maupun
milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah
atau imbalan dalam bentuk lain.
b. Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain.
Dari pengertian di atas jelaslah bahwa pengertian pengusaha menunjuk
pada orangnya sedangkan perusahaan menunjuk pada bentuk usaha atau organnya.
D. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Kerja 1. Hak dan kewajiban pekerja
a. Hak pekerja
Menurut Darwan Prints, yang dimaksud dengan hak di sini adalah sesuatu
yang harus diberikan kepada seseorang sebagai akibat dari kedudukan atau status
dari seseorang, sedangkan kewajiban adalah suatu prestasi baik berupa benda atau
jasa yang harus dilakukan oleh seseorang karena kedudukanatau statusnya.41
41
Darwan Prints, Op. cit, hal. 22-23.
1) Hak mendapat upah/gaji (Pasal 1602 KUH Perdata, Pasal 88 s/d 97
Undang-undang No. 13 Tahun 2003; Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun
1981 tentang Perlindungan Upah);
2) Hak atas pekerjaan dan penghasilan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 4
Undang-undang No. 13 Tahun 2003);
3) Hak bebas memilih dan pindah pekerjaan sesuai bakat dan kemampuannya
(Pasal 5 Undang-undang No. 13 Tahun 2003);
4) Hak atas pembinaan keahlian kejuruan untuk memperoleh serta menambah
keahlian dan keterampilan lagi ( Pasal 9-30 Undang-undang-undang No.
13 Tahun 2003);
5) Hak mendapatkan perlindungan atas keselamatan, kesehatan serta
perlakuan yang sesuai dengan martabat manusia dan moral agama (Pasal 3
Undang-undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek);
6) Hak mendirikan dan menjadi anggota Perserikatan Tenaga Kerja (Pasal
104 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 jo. Undang-undang No. 21 Tahun
2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh);
7) Hak atas istirahat tahunan, tiap-tiap kali setelah ia mempunyai masa kerja
12 (dua belas) bulan berturut-turut pada satu majikan atau beberapa
majikan dari satu organisasi majikan (Pasal 79 Undang-undang No. 13
Tahun 2003);
8) Hak atas upah penuh selama istirahat tahunan ( Pasal 88-98 Undang-
9) Hak atas suatu pembayaran penggantian istirahat tahunan, bila pada saat
diputuskan hubungan kerja ia sudah mempunyai masa kerja sedikit-
dikitnya enam bulan terhitung dari saat ia berhak atas istirahat tahunan
yang terakhir; yaitu dalam hal bila hubungan kerja diputuskan oleh
majikan tanpa alasan-alasan mendesak yang diberikan oleh buruh, atau
oleh buruh karena alasan-alasan mendesak yang diberikan oleh Majikan
(Pasal 150-172 Undang-undang No. 13 Tahun 2003);
10)Hak untuk melakukan perundingan atau penyelesaian perselisihan
hubungan industrial melalui bipartit, mediasi, konsiliasi, arbitrase dan
penyelesaian melalui pengadilan (Pasal 6-115 Undang-undang No. 2
Tahun 2004);
Menurut Konvensi ILO 1948 ada empat macam hak tenaga kerja yaitu hak
berserikat; hak berunding kolektif; hak mogok, dan hak mendapat upah.
b. Kewajiban pekerja
Di samping mempunyai hak-hak sebagaimana diuraikan di atas, tenaga
kerja juga mempunyai kewajiban sebagai berikut:
1) Wajib melakukan prestasi/pekerjaan bagi majikan;
2) Wajib mematuhi peraturan perusahaan;
3) Wajib mematuhi perjanjian kerja;
4) Wajib mematuhi perjanjian perburuhan;
5) Wajib menjaga rahasia perusahaan;
7) Wajib memenuhi segala kewajiban selama izin belum diberikan dalam hal
ada banding yang belum ada putusannya.42
2. Hak dan kewajiban pengusaha a. Hak pengusaha
Hak pengusaha adalah sesuatu yang harus diberikan kepada pengusaha
sebagai konsekuensi adanya pekerja yang bekerja padanya atau karena
kedudukannya sebagai pengusaha. Adapun hak-hak dari pengusaha itu sebagai
berikut:43
1) Boleh menunda pembayaran tunjangan sementara tidak mampu bekerja
sampai paling lama lima hari terhitung mulai dari kecelakaan itu terjadi,
jikalau buruh yang ditimpa kecelakaan tidak dengan perantaraan
perusahaan atau kalau belum memperoleh surat keterangan dokter yang
menerangkan, bahwa buruh tidak dapat beketja karena ditimpa kecelakaan;
2) Dengan persetujuan sebanyak-banyaknya 50% apabila kecelakaan terjadi
sedang di bawah pengaruh minuman keras atau barang-barang lain yang
memabukkan;
3) Boleh mengajukan permintaan kepada pegawai pengawas, untuk
menetapkan lagi jumlah uang tunjangan yang telah ditetapkan, jikalau
dalam keadaan selama-lamanya tidak mampu bekerja itu terdapat
perubahan yang nyata;
4) Dapat mengajukan keberatan dengan surat kepada Menteri Tenaga Kerja,
apabila permintaan izin atau permintaan untuk memperpanjang waktu
42
Ibid, hal. 23.
43
berlakunya izin ditolak dalam waktu 60 (enam puluh) hari terhitung mulai
tanggal penolakan;
5) Pengusaha berhak untuk:
a) Mendapat pelayanan untuk memperoleh calon tenaga kerja Indonesia
yang akan dikirim ke luar negeri dari Kandepnaker.
b) Mendapat informasi pasar kerja.
6) Mewakili dan bertindak untuk dan atas nama perusahaan asing di Luar
Negeri yang menunjuknya (Pasal 7 Peraturan Menteri Tenaga kerja dan
Transmigrasi No. Per.01/Men/1983).
7) Dapat mengajukan keberatan kepada Menteri Tenaga Kerja atas
pencabutan izin usahanya selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) dari setelah
keputusan izin usaha dikeluarkan (Pasal 10 ayat (2) Peraturan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.01/Men/1983).
8) Menetapkan saat dimulainya istirahat tahunan dengan memperhatikan
kepentingan buruh;
9) Mengundurkan saat istirahat tahunan untuk selama-lamaya 6 (enam) bulan
terhitung mulai saat buruh berhak atas istirahat tahunan berhubung dengan
kepentingan perusahaan yang nyata-nyata;
10)Dapat memperhitungkan upah buruh selama sakit dengan suatu
pembayaran yang diterima oleh buruh tersebut yang timbul dari suatu
peraturan perundangan/peraturan perusahaan/suatu dana yang
menyelenggarakan jaminan sosial ataupun suatu pertanggungan (Pasal 7
11)Menjatuhkan denda atas pelanggaran sesuatu hal apabila hal itu diatur
secara tegas dalam suatu perjanjian tertulis atau peraturan perusahaan
(Pasal 20 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981).
12)Minta ganti rugi dari buruh, bila terjadi kerusakan barang atau kerugian
lainnya baik milik perusahaan maupun milik pihak ketiga oleh buruh
karena kesengajaan atau kelalaiannya (Pasal 23 ayat (1) Peraturan
Pemerintah No.8 Tahun 1981).
13)Memperhitungkan upah dengan :
a) Denda, potongan dan ganti rugi.
b) Sewa rumah yang disewakan oleh pengusaha kepada buruh dengan
perjanjian tertulis.
c) Uang muka atas upah, kelebihan upah yang telah dibayarkan dan
cicilan hutang buruh terhadap pengusaha, dengan ketentuan harus ada
tanda bukti tertulis (Pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 8
Tahun 1981).
b. Kewajiban pengusaha
Kewajiban pengusaha adalah suatu prestasi yang harus dilakukan oleh
pengusaha, bagi kepentingan tenaga kerjanya. Adapun pengusaha itu adalah
sebagai berikut:44
1) Wajib menjaga agar di perusahaannya tidak dilakukan pekerjaan yang
bertentangan dengan ditetapkan dalam Pasal 4 Stb. 647 Tahun1925.
2) Wajib memberikan keterangan yang diminta oleh pejabat yang berwenang;
44
3) Wajib memberikan upah buruh:
a) Jika buruh sakit, sehingga tidak dapat melakukan pekerjaannya,
dengan ketentuan:
(1)Untuk tiga bulan pertama dibayar 100%
(2)Untuk tiga bulan kedua dibayar 75%
(3)Untuk tiga bulan ketiga dibayar 50%
(4)Untuk tiga bulan keempat dibayar 25%
b) Jika buruh tidak masuk bekerja karena hal-hal:
(1)Buruh sendiri kawin dibayar untuk selama dua hari.
(2)Menyunatkan anaknya dibayar untuk selama satu hari.
(3)Membabtiskan anaknya dibayar untuk selama satu hari.
(4)Mengawinkan anaknya dibayar untuk selama dua hari.
(5)Anggota keluarga meninggal dunia, yaitu suami/istri, orang
tua/mertua atau anak dibayar untuk selama dua hari.
(6)Istri melahirkan anak dibayar untuk selama satu hari (Pasal 5 ayat
(1) Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981).
4) Wajib membayar upah yang biasa dibayarkan kepada buruh yang tidak
dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban
negara, jika dalam menjalankan kewajiban Negara tersebut buruh tidak
mendapat upah atau tunjangan lainnya dari pemerintah, tetapi tidak
melebihi satu tahun (Pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun
5) Wajib membayarkan kekurangan atas upah yang biasa dibayarkan kepada
buruh yang menjalankan kewajiban negara, bilamana jumlah upah yang
diterimanya kurang dari upah yang biasa diterima tetapi tidak melebihi
satu tahun (Pasal 6 ayat (20 Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981).
6) Wajib membayarkan upah kepada buruh yang tidak dapat bekerja karena
memenuhi kewajiban ibadah menurut agamanya, akan tetapi tidak
melebihi tiga bulan (Pasal 6 ayat (4) Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun
1981).
7) Wajib membayar upah kepada buruh yang bersedia melakukan pekerjaan
yang telah dijanjikan, akan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya
baik karena kesalahan sendiri maupun karena halangan yang dialami oleh
pengusaha yang seharusnya dapat dihindari (Pasal 8 Peraturan Pemerintah
No. 8 Tahun 1981).
8) Membayar upah buruh pada waktu yang telah ditentukan sesuai dengan
perjanjian (Pasal 10 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981).
9) Harus membayar seluruh jaminan upah pada tiap pembayaran (Pasal 11
Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981).
10)Wajib melaporkan secara tertulis kepada Menteri atau pejabat yang
ditunjuk (Kakandep Tenaga Kerja setempat) selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari setelah :
a) Mendirikan perusahaan;
c) Memindahkan perusahaan (Pasal 6 ayat (1) Undang-undang No. 7
Tahun 1981).
11)Wajib melaporkan setiap tahun secara tertulis mengenai ketenagakerjaan
kepada Menteri Tenaga Kerja atau pejabat yang ditunjuk (Kakandep
Tenaga Kerja setempat) (Pasal 7 ayat (1) Undang-undang No. 7 Tahun
1981).
12)Wajib melaporkan secara tertulis kepada Menteri atau pejabat yang
ditunjuk (Kakandep Tenaga Kerja setempat) selambat-lambatnya dalam
jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebelum:
a) Memindahkan perusahaan;
b) Menghentikan perusahaan;
c) Membubarkan perusahaan ( Pasal 8 ayat (1) Undang-undang No. 7
Tahun 1981).
13)Wajib mengadakan dan memelihara daftar-daftar yang berhubungan
dengan istirahat tahunan menurut contoh yang ditetapkan (daftar Anggota
dan daftar B);
14)Pengusaha wajib :
a) Menjaga jangan terjadi pemutusan hubungan kerja;
b) Merundingkan maksud pemutusan hubungan kerja dengan organisasi
buruh/buruh yang bersangkutan;
c) Pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan buruh
setelah memperoleh izin P4D/P4P;
e) Memenuhi kewajiban selama izin belum diberikan dan dalam hal ada
permintaan banding belum ada keputusan;
15)Setiap permohonan izin akan menggunakan tenaga kerja warga negara
asing pendatang, wajib memiliki Rencana Penggunaan Tenaga Kerja
(RPTK) yang disahkan oleh Menteri Tenaga Kerja (Pasal 2 ayat (1)
Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.Per.04/Men/1984).
16)Pengajuan permohonan RPTK wajib memperhatikan Keputusan Menteri
Tenaga Kerja di sektor/subsektor yang bersangkutan sesuai dengan bidang
usahanya (Pasal 2 ayat (3) Peraturan Menteri Tenaga Kerja
No.Per.04/Men/1984).
17)Memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam izin pengerahan Pasal 2
ayat (2), Pasal 3 jo. Pasal 4 sub b dan d Peraturan Menteri Tenaga Kerja
No.04/1970.
18)Memenuhi instruksi-intruksi yang dikeluarkan oleh pejabat yang memberi
izin Pengerahan Pasal 2 ayat (3) jo. Pasal 4 sub c Peraturan Menteri
Tenaga Kerja No.04/1970.
19)Wajib memiliki izin usaha dari Dirjen Binaguna (sekarang Dirjen
Binapenta), apabila menjalankan usaha pengerahan Tenaga Kerja
Indonesia ke Luar Negeri (Pasal 2 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi No.Per .01/Men/1983).
20)Mengajukan permohonan secara tertulis kepada Dirjen Binapenta apabila
akan memperoleh izin usaha (Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Tenaga
21)Wajib menyelenggarakan Program Astek dengan mempertanggungkan
tenaga kerjanya dalam program AKK (Asuransi Kecelakaan Kerja), AK
(Asuransi Kesehatan), dan THT (Tabungan Hari Tua) Pasal 3 ayat (1) dan