Extended Essay
Group 1 Indonesian Literature, Category 1
Sastra sebagai Media Aspirasi Politik dalam Naskah Drama
Maaf. Maaf.
Maaf. Politik Cinta Dasamuka
karya Nano Riantiarno
Lidwina Christanya Amanda Sari
IB Candidate Number: 002606-0002
Word Count: 3,995
Extended Essay ii
ABSTRAK
Dalam buku Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, Hirata membandingkan dan mengkritik
kehidupan rakyat Belitong yang berbanding terbalik dengan kehidupan para imigran. Gaya penulisan Hirata yang menarik membuat saya tertarik akan beragam cara penyampaian sebuah isu sosial dapat
dipaparkan oleh seorang penulis. Hal ini menjadi dasar dipilihnya sebuah naskah karya Nano Riantiarno
berjudul Maaf. Maaf. Maaf. Politik Cinta Dasamuka yang mengangkat sebuah cerita humor sindiran mengenai seorang pria biasa yang menganggap dirinya sebagai raja. Ia menamai dirinya Dasamuka dan
memimpin sebuah kerajaan bernama Kerajaan Alang-alang. Secara keselurahan, naskah ini berisi
sindiran-sindiran dan aspirasi-aspirasi politik yang dikemukakan oleh Nano Riantiarno, salah satunya
adalah aspirasi tentang kebebasan dalam berpendapat yang dibatasi oleh pemerintah.
Hal yang membuat penulis memilih menyembunyikan dirinya dengan lapisan-lapisan penokohan
dan juga latar sehingga menambahkan kompleksitas naskah. Kompleksitas ini memberikan ruang
bahasan yang luas bagi saya. Atas dasar tersebut, makalah ini akan membahas: Bagaimana cara aspirasi-aspirasi politik disampaikan dalam naskah Maaf. Maaf. Maaf. Politik Cinta Dasamuka karya Nano
Riantiarno? Pertanyaan ini akan dijawab dengan menjabarkan aspirasi politik yang terkandung dan
penjabaran mengenai penggunaan fitur kesusasteraan yang meliputi pembahasan tokoh, latar, konflik,
dan gaya penulisan dalam naskah yang ditulis secara imajinatif berdasarkan epos Ramayana, guna menyampaikan aspirasi politik penulis. Imajinatif disini artinya menggunakan anasir anakronisme dimana
latar dan tokoh yang digunakan tidak sesuai dengan keadaan sesungguhnya demi menyembunyikan penulis dari pembacanya demi mencegah karyanya dicekal.
Sebagai kesimpulan, saya menyimpulkan bahwa alasan penulis untuk menyembunyikan dirinya
dan menggunakan epos Ramayana adalah karena hal ini dianggap paling efektif. Hal ini menjadi cara
paling efektif dalam menyampaikan aspirasinya karena pertama, penulis harus menghindari adanya peraturan self-censorship oleh pemerintah. Kedua, penggunaan epos Ramayana dapat membantu
pembaca untuk memahami naskah ini dengan lebih baik karena lebih ringan dan tidak membosankan
mengingat pembaca naskah Nano Riantiarno beragam dan tidak semuanya memiliki tingkat edukasi yang tinggi.
Extended Essay iii
DAFTAR ISI
ABSTRAK iiDAFTAR ISI iii
BAB 1: PENDAHULUAN 5
1.1. Latar Belakang 5
1.2. Rumusan dan Pembatasan Masalah 6
1.3. Tujuan Penelitian 7
1.4. Metode Penelitian 7
1.5. Landasan Teori 7
1.6. Sistematika Penyajian 8
BAB 2: PEMBAHASAN UNSUR EKSTRINSIK NASKAH 9
2.1. Latar Belakang Penulis 9
2.2. Keadaan Politik dalam Lingkungan Penulis 10
2.3. Pengaruh Kondisi Lingkungan Penulis dengan Penulisan Naskah 11
BAB 3: PEMBAHASAN UNSUR INTRINSIK NASKAH 12
3.1. Konflik dalam Naskah dan Hubungan dengan Realita 12
3.2. Penggunaan Kisah Pewayangan Ramayana dalam Naskah 14
3.2.1. Kisah Ramayana, Penokohan Tokoh Naskah dan Konteks Realita 14
3.2.2. Penyajian Latar Naskah dan Hubungannya dengan Konteks Realita 18
Extended Essay iv
BAB 4: PENUTUP 21
4.1. Kesimpulan 21
4.2. Saran 22
LAMPIRAN 23
Extended Essay 5
Bab 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Definisi klasik dari drama adalah ‘tiruan kehidupan manusia yang diproyeksikan di atas pentas’ (Waluyo, 2002, p.1). Kata drama berasal dari bahasa Yunani, draomai, yang berarti berbuat. Walaupun drama pada umumnya lebih didominasi oleh unsur seni pertunjukan, namun adanya unsur kesusasteraan sebagai salah satu aspek drama tidak dapat kita pungkiri.
Dalam sebuah naskah, setiap adegan memegang sebuah visi terhadap amanat yang ingin disampaikan oleh sang penulis. Amanat merupakan sebuah opini atau kecenderungan terhadap tema yang berusaha diungkapkan. Drs. Hasanuddin WS., M. Hum. mengemukakan bahwa amanat adalah sebuah kristalistik dari berbagai peristiwa, tokoh, latar, dan ruang cerita (1996, p. 103). Namun, amanat dalam sebuah drama tidak berperan besar dan bukan merupakan fokus bagi para peneliti dan kritikus drama. Hal yang terpenting adalah seberapa besar dampak positif dalam naskah tersebut yang bermanfaat bagi nilai- nilai kemanusiaan(Hasanuddin, 1996, p. 103).
Tidak menutup kemungkinan bahwa sebagai sebuah karya sastra menjadi saling berhubungan dengan politik untuk menciptakan sebuah amanat ataupun aspirasi dari penulis itu sendiri. Drama juga dapat digunakan sebagai vehicle untuk mencapai ideologi maupun menentangnya. Seringkali bentuk karya yang demikian dapat menggunakan simbol yang menentang ideologi pemerintahan maupun rakyat contohnya seperti pada buku karya George Orwell, Animal Farm (Ideologi dan Politik dalam Sastra, 2012).
self-Extended Essay 6
censorship banyak dilakukan (Rahayu, 2012). Maka dari itu, sastra dipilih sebagai sarana alternatif dan tindakan untuk melawan ideologi Orde Baru. Beragam sastra drama seperti Domba-domba Revolusi karya B.Soelarto dan Mengapa Kau Culik Anak Kami? karya Seno Gumira Ajidarma banyak sekali diterbitkan. Naskah Maaf. Maaf. Maaf Politik Cinta Dasamuka karya Riantiarno juga merupakan salah satu dari karya tersebut. Naskah ini adalah sebuah naskah yang mengisahkan tentang perlawanan ideologi Orde Baru lewat tokoh- tokoh pewayangan Ramayana.
Sehubungan dengan itu, penulis akan menjabarkan aspirasi-aspirasi politik yang terkandung dalam naskah ini dan bagaimana aspirasi-aspirasi tersebut dikemukakan melalui penggunaan teknik-teknik kesusasteraan. Naskah ini dipilih karena sejarah pementasannya yang menarik. Pada tahun 1978, naskah ini dilarang pentas diluar kampus-kampus Jakarta karena isinya yang terlalu eksplisit (Riantiarno, 2005, p.x). Hal ini tentu meyakinkan para pembaca bahwa naskah ini bukanlah sebuah naskah biasa namun sebuah naskah dengan makna politik yang mendalam. Maka dari itu, penulis memutuskan untuk membedah naskah ini dan caranya mengungkapkan aspirasi politik.
1.2 Rumusan dan Pembatasan Masalah
Bertolak dari latar belakang yang dikemukakan di atas, maka masalah yang akan dibahas lewat makalah ini dapat dirumuskan demikian: Bagaimana cara aspirasi-aspirasi politik disampaikan dalam naskah Maaf. Maaf. Maaf. Politik Cinta Dasamuka karya Nano Riantiarno?
Extended Essay 7
1.3 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah yang telah ditulis di atas, makalah ini tentulah ditulis dengan tujuan menyelidiki lebih lanjut mengenai perkembangan sastra pada zaman tersebut. Melalui studi ini, penulis dapat memahami lebih jauh mengenai bagaimana sastra berkembang karena pengaruh lingkungan sekitarnya. Penulis juga dapat memahami signifikansi latar belakang seorang sastrawan terhadap cerita yang ingin ia tuangkan.
Selain itu, pembaca juga dapat mengetahui lebih jauh mengenai sejarah Indonesia pada masa Orde Baru. Hal ini dapat dipelajari melalui peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam naskah, dimana peristiwa-peristiwa tersebut bercermin pada kehidupan nyata penulis naskah.
1.4 Metode Penelitian
Penelitian akan dilakukan lewat dua macam sumber; sumber primer dan sekunder. Sumber primer akan digunakan sebagai bagian dari studi pustaka. Studi pustaka ini akan menggunakan naskah drama Maaf. Maaf. Politik Cinta Dasamuka karya Nano Riantiarno sebagai sumber primer. Studi pustaka ini bertujuan untuk mengidentifikasi teknik kesusasteraan yang menonjol dalam naskah tersebut.
Lalu, sumber sekunder berupa jurnal, artikel koran, buku referensi, maupun internet akan digunakan untuk mendukung sumber primer. Sumber ini akan digunakan untuk melakukan riset mengenai keadaan Indonesia saat naskah tersebut ditulis. Juga, riset mengenai latar belakang penulisan naskah sebagai penunjang hasil riset sumber primer.
1.5 Landasan Teori
Teori-teori yang digunakan dalam penulisan makalah ini diambil dari buku Drama Karya Dalam Dua Dimensi karya Drs. Hasanuddin WS., M.Hum. yang dimana teori-teori tersebut adalah:
Extended Essay 8
Fungsi dari teori ini adalah sebagai pedoman dalam membahas teknik kesusasteraan dalam naskah drama yang akan dibahas. Lalu, kisah Ramayana juga akan digunakan sebagai studi perbandingan hubungan naskah dan konteks dalam kehidupan aslinya.
1.6 Sistematika Penyajian
Extended Essay 9
Bab 2
PEMBAHASAN UNSUR EKSTRINSIK NASKAH
2.1 Latar Belakang Penulis
Nano Riantiarno lahir di Cirebon1 pada tanggal 6 Juni, 1949. Sejak kecil, ketertarikan Nano terhadap dunia pertunjukan teatrikal sudah dapat dilihat. Beliau mengikuti banyak kegiatan yang berhubungan dengan seni pertunjukan teatrikal, salah satunya dengan masuk bergabung dalam Akademi Teater Nasional Indonesia sebagai kuliahnya (Riantiarno, 2005, p.135), bergabung dalam Teater Populer, lalu berkarir sebagai penulis, asisten sutradara, bahkan bergabung dalam Ketua Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta (PKJ Taman Ismail Marzuki, n.d.).
Keberhasilan yang dirasakan oleh Riantiarno pada saat ini tidak dapat dipungkuri merupakan hasil dari mimpi besar yang beliau pegang. Beliau memiliki mimpi untuk menjadi teater sebagai jembatan keseimbangan batin dan jalan terciptanya kebahagiaan manusiawi. Beliau berharap untuk menjadikan teater sebagai cerminan dalam menemukan akal budi dan nurani yang sehat, serta alat untuk menghargai perbedaan dan sesama (PKJ Taman Ismail Marzuki, n.d.). Dalam wawancaranya dengan pers di tahun 2005, Nano mengungkapkan bahwa pementasan ulang naskah pada hari ulang tahun Teater Koma merupakan sebuah bahan refleksi kita, "Apakah pemimpin kita sudah tidak otoriter lagi? Apakah negara kita sekarang sudah demokratis? Lakon ini dapat digunakan sebagai cermin untuk melihat hal tersebut. Semoga saja penonton nanti mengatakan kalau apa yang ada di lakon tidak sama" (Rayakan Ultah ke 28,
Teater Koma Pentaskan “MAAF.MAAF.MAAF”, 2005).
1
Extended Essay 10
2.2 Keadaan Politik dalam Lingkungan Penulis
Pada tahun 1976-1977, Indonesia dipimpin oleh seorang mantan jenderal bersar militer bernama H.M. Soeharto. Ia merupakan presiden kedua Republik Indonesia. Regim pemerintahan Soeharto disebut sebagai Orde Baru, dimana pada masa tersebut beliau menjalankan sebuah sistem politik otoriter. Sehubungan dengan hal tersebut, peranan demokrasi sebagai ideologi negara tampak memudar (Indonesia- The New Order Under Suharto, 1992) dan tidak sesuai dengan Pancasila.
Tujuan pemerintahan Orde Baru adalah pembangunan. Dalam sebuah pidato kemerdekaan Soeharto pada tahun 1977, beliau mengungapkan bahwa inti dari regim pemerintahannya adalah pertumbuhan pembangunan dan usaha pemerataan. Pembangunan adalah sebuah keputusan bersama yang harus diraih bersama-sama. Pembangunan dijalani oleh Soeharto dengan meningkatkan standar ekonomi negara dimana hanya terdapat 3 dari 10 rakyat Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan (Trilogi Pembangunan, 1977, p.4) tetapi hal ini bukanlah keinginan rakyat yang tulus. Namun, rakyat membutuhkan sesuatu yang lebih sederhana yaitu keadilan sosial(Wirjanto, 1977, p.4). Keadilan sosial dimana kebutuhan sehari-harinya dapat tercukupi juga penghapusan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Extended Essay 11
2.3 Pengaruh Kondisi Lingkungan Penulis dengan Penulisan Naskah
Riantiarno yang lahir di sebuah kota dengan kebudayaan majemuk membuat dirinya berkembang sebagai pribadi yang lebih diplomatis dan skeptis dalam pola pikirnya. Oleh sebab itu, tidak diherankan bahwa karya Riantiarno ditulis berdasarkan kondisi politik Indonesia yang terlihat sangat memprihatinkan. Sebagai seorang sastrawan, tentulah jiwa kreativitasnya akan menentang keras adanya pembatasan dalam kebebasan berpendapat. Seperti yang ia tunjukkan dalam naskahnya melalui tokoh seorang penyair yang buku puisinya dilarang beredar, “PENYAIR: Saya datang hendak bertanya: mengapa dilarang?” (Riantiarno, 2005, p.56). Juga pada pembukaan naskah dimana ia mengungkapkan bahwa rakyat jelata menderita karena arogansi kekuasaan otoriter(Riantiarno, 2005, p.x).
Extended Essay 12
Bab 3
PEMBAHASAN UNSUR INTRINSIK NASKAH
3.1 Konflik dalam Naskah dan Hubungan dengan Realita
Konflik2 merupakan salah satu bagian penting dalam sebuah naskah drama. Sehubungan dengan itu, kita perlu mengidentifikasi konflik-konflik yang diciptakan oleh Riantiarno pada naskah dalam upayanya menyampaikan aspirasi politik. Konflik yang terjadi dalam naskah dapat dikategorikan sebagai konflik eksternal sosial dimana konflik yang terjadi dalam naskah adalah konflik antara seorang tokoh pemimpin, Dasamuka, dengan tokoh rakyatnya, rakyat Kerajaan Alang-alang. “Berkali-kali rakyat jelata dilukai oleh arogansi kekuasaan yang otoriter,” (Riantiarno, 2005, p.x). Relevansi penggunaan konflik adalah karena konteksnya yang bercermin pada realita sesungguhnya, “Ario hanya sebuah cermin,” (Riantiarno, 2005, p.viii). Realita yang dimaksud adalah kondisi politik Indonesia dalam kepresidenan Soeharto di tahun 1976-1977.
Seperti yang telah disebutkan dalam bab 2, salah satu konflik yang terjadi dalam naskah ini adalah adanya pembatasan berdemokrasi. Hal ini diwujudkan melalui pembentukan Lembaga Marah Dasamuka “…yang bertugas menyensor kemarahan…” (Riantiarno, 2005, p.vii) demi stabilitas pemerintahan Dasamuka. Lembaga ini menjadikan hak marah hanya milik Dasamuka, “KAISAR: Hak marah hanya milik raja seorang,” (Riantiarno, 2005, p.28). Hak marah ini menyimbolkan sebuah kekuasaan yang diberikan pada satu pemimpin, atau dalam konteks realita, Soeharto. Namun, kita dikembalikan terhadap sebuah pertanyaan, bagaimana hal ini dapat menciptakan konflik dalam naskah. Berdasarkan naskah, kita dapat melihat bahwa Dasamuka memutuskan hubungan dialog antara rakyat dengan dirinya sebagai Kaisar, “BANDEM: Dilarang memarahi…orang-orang yang berderajat lebih tinggi,” (Riantiarno, 2005,
2
Extended Essay 13
p.49). Melalui konflik ini, Riantiarno menyampaikan aspirasinya yaitu rakyat Indonesia, menurut prinsip Pancasila3, seharusnya diberikan kebebasan demokrasi sebagai bentuk permusyarawatan.
Riantiarno tidak menghentikan sindirannya pada satu konflik saja. Naskah ini juga mengangkat kedok pemerintahan otoriter Soeharto melalui pemerintahan Dasamuka. Dasamuka adalah pemimpin yang self-centered, “Siapa peduli, kalau bukan Dasamuka?”(Riantiarno, 2005, p.27). Ia selalu merasa keputusannya ditujukan untuk rakyat namun sesungguhnya tidak. Hal ini juga terjadi pada Soeharto, beliau hanya menjalankan pembangunan menurut pandangannya sepihak. Dialog yang tidak berhasil membawa konflik terhadap naskah, “NENEK: JANGAN
CUMA MENJANJIKAN, TAPI LEKAS BUKTIKAN!” (Riantiarno, 2005, p.21). Biar begitu,
Dasamuka masih enggan bercermin dan menepis semua tuduhan, “KAISAR: Fitnah.Tidak benar. Tidak pernah terbukti,” (Riantiarno, 2005, p.21) serupa dengan pernyataan Soeharto terhadap KOMPAS, “Presiden Soeharto membantah eras suara atau pendapat yang menyebutkan pembangunan dewasa ini gagal” (Presiden Bantah Pembangunan Gagal atau Membuat Rakyat Lebih Melarat, 1976, p.1). Atas dasar tersebut, Riantiarno berusaha menyindir Soeharto dan mengungkapkan sebuah aspirasi bahwa seorang pemimpin tanpa rakyatnya bukanlah seorang pemimpin. Kepentingan rakyat harus dipertahankan karena rakyat tidak bodoh dan mereka mampu berpendapat, jadi sejauh apapun kedok Soeharto berusaha disembunyikan, kedok tersebut akan tetap terlihat secara kasat mata.
Aspirasi terakhir yang ingin disampaikan penulis melalui konflik bukanlah aspirasi penulis melainkan penyaluran aspirasi rakyat Indonesia pada masa itu. Hal ini dapat dilihat melalui
dialog para pendemo, “NENEK: BERSIHKAN KOTORAN ISTANA” (Riantiarno, 2005, p.21),
“NENEK: …KEADILAN BAGI RAKYAT JELATA!” dan “NENEK: GANYANG PUNGLI,” (Riantiarno, 2005, p.22). Ini menjadikan hal ini salah satu aspirasi yang disampaikan secara eksplisit dibanding degan aspirasi lainnya. Penulis diduga memilih teknik ini karena ia ingin mewakili rakyat kecil seperti yang tertulis, “Dan inilah titik awal hancurnya kekuasaan otoriter
yang jauh dari dambaan rakyat jelata,”(Riantiarno, 2005, p.x).
3
Extended Essay 14
3.2 Penggunaan Kisah Pewayangan Ramayana dalam Naskah
3.2.1 Kisah Ramayana, Penokohan Tokoh Naskah dan Konteks Realita
Penokohan dalam naskah ini disampaikan oleh penulis melalui teknik dramatik. yang umum digunakan dalan drama. Dengan menggunakan teknik ini, penulis tidak mendeskripsikan tokoh secara eksplisit namun membiarkn para tokoh tersebut menunjukkan penokohannya sendiri. Teknik ini dapat dicapai secara verbal maupun non-verbal, namun sehubungan dengan naskah ini, penulis lebih banyak menyampaikan penokohan tokoh secara verbal. Efek dari penggunaan teknik ini adalah penggambaran realita yang lebih nyata. Hal ini dirasa dipilih penulis karena ia ingin ceritanya menjadi senyata mungkin walaupun ditutupi oleh penokohan tokoh wayang Ramayana. Adapun relasi-relasi antara tokoh pewayangan dan realita adalah sebagai berikut:
Tokoh dalam Kisah Ramayana dan Penjabaran Watak
Tokoh dalam Naskah dan Realita dan Penokohannya
Ramawijaya
Ramawijaya adalah seorang ksatria yang hebat. Biar begitu, sifatnya sangat lemah lembut (Ramawijaya, 2006). Ramawijaya sangat patuh bahkan saat ia diperintahkan untuk meninggalkan kerajaan Ayodya, ia hanya menurut terhadap perintah.
Marto Ir. Soekarno
Berdasarkan fungsi penampilan tokoh, tokoh Ramawijaya merupakan tokoh protagonis dalam cerita. Hal ini disimpulkan karena tokoh ini merupakan pahlawan dari kisah ini, “MARTO: Saya akan menjaga Pakde Ario…Saya janji. Saya bertanggungjawab.”
(Riantiarno, 2005, p.119). Tokoh Marto berfungsi sebagai Ir. Soekarno karena pada masa tersebut, Soeharto berusaha keras menurunkan Ir. Soekarno dari takhta kepresidenan.
Dewi Sinta
Sinta dikatakan sebagai titisan dari istri Bathara Wisnu. Ia memiliki paras yang sangat cantik
Isteri Ario Istri Soekarno
Extended Essay 15
dan sifatnya sangat setia. Tidak hanya itu, ia juga memiliki ucapan dan pikiran yang sopan dan santun (Sinta, 2006)
Sepanjang cerita, ia menunjukkan karakter seorang perempuan yang sangat mendukung dan mencintai suaminya. Ia tidak dapat hidup tanpa cintanua, “KAISAR: Dewi Sinta dan Dasamuka sungguh sejoli ideal sepanjang masa,” (Riantiarno, 2005, p.46). Pada konteks realita, Soeharto sangat mengasihi isterinya yang kerap dikenal sebagai Ibu Tien (Kisah Perjodohan Pak Harto dan Ibu Tien, 2013). Dasamuka/Rahwana
Dasamuka adalah pribadi yang sangat sakti. Ia adalah raja dari kerajaan Alengka. Namun, ia memiliki watak angkara murka, ingin menang sendiri, penganiaya dan pengkhianat (Dasamuka- Yogya, 2006).
Ario Soekarno
Berdasarkan fungsi penampilan tokoh, Dasamuka merupakan tokoh antagonis cerita. Ia merupakan tokoh yang ditentang oleh pembaca. Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa Dasamuka adalah Soeharto. Selain itu, banyak sekali perilaku Dasamuka yang bercermin terhadap keadaan pemerintahaan Indonesia, hanya saja lebih humoris, contohnya proyek air minum disebuat sebagai Mandi,Cuci, Kakus Center. merayu Laksmana, namun ditolak olehnya (Sarpakenaka, 2006).
Adik Ario
Extended Essay 16 Kenapa kamu tolak cinta suciku?” (Riantiarno, 2005, p.11)
Tarto/Adik Marto Dokter Jaga Ir. Soekarno Berdasarkan perwatakannya, tokoh Laksmana merupakan tokoh statis. Selama naskah berlanjut, penokohannya tidak berkembang. Pada konteks realita, Laksmana diduga sebagai dokter jaga Ir. Soekarno. Hal ini disimpulkan karena dalam naskah Laksmana dan Rama jatuh ke dalam penjara (Riantiarno, 2005, p.10) bersama-sama sedangkan Soekarno dijadikan sebagai tahanan rumah oleh Soeharto. Ia tidak diperbolehkan menemui siapapun terkecuali dokter yang merawatnya(Fadillah, 2013). Indrajit
Indrajit adalah putra mahkota kerajaan Alengka. Ia merupakan seorang ksatria besar. Namun dalam perang besar, Indrajit tewas di tangan Laksmana (Indrajit, 2006)
Tokoh Indrajit dalam naskah ini hanyalah sebuah ciptaan imajinasi dari Ario. Namun, penokohan dari Indrajit sama seperti apa yang ada dalam kisah pewayangan Ramayana.
Patih Prahasta
Patih Prahasta adalah putra dari raja raksasa. Ia memiliki watak yang jujur, setia, dan penuh pengabdian. Saat melawan Ramawijaya, Prahasta maju sebagai senapati perang (Prahasta, 2006)
Extended Essay 17
Soeharto. Ia seorang perwira intelijen yang merangkap menjadi penasihat politik Soeharto (Abdullah, 2003, p.151).
Dewi Trijata
Dewi Trijata adalah putri dari Gunawan Wibisana. Ia memiliki watak setia, murah hati, baik budi, dan penuh sopan santun (Trijata, 2006).
Sri
Berdasarkan perwatakannya, Sri merupakan tokoh sederhana. Tidak dapat ditemukan relasi antara penokohan tokoh Sri dengan konteks realita. Namun, Sri adalah salah satu tokoh
yang menentang Dasamuka, “SRI: Ayah.
hentikan gila-gilaan ini,” (Riantiarno, 2005, p.82). Berdasarkan pernyataan ini, terdapat kemungkinan bahwa Sri adalah seseorang dengan posisi tinggi yang menentang Soeharto. Gunawan Wibisana
Wibisana adalah adik Dasamuka yang berbudi luhur dan pembela keadilan. Ia meninggalkan Rahwana dan pergi mencari Rama karena dianggap lebih benar (Wibisana, 2006).
Gembong
Sama seperti tokoh Sri, tidak terdapat relasi antara penokohan tokoh Sri dengan konteks realita. Namun, tokoh Gembong mencerminkan tokoh Wibisana yang berubah menjadi pendukung tokoh Rama (protagonis) setelah menjadi pendukung tokoh Dasamuka
(antagonis), “GEMBONG: Politik Cinta
Dasamuka, adalah politik cinta yang licik dan konyol”(Riantiarno, 2005, p.123).
Extended Essay 18
realita penulis, tokoh-tokoh yang berada di realita sebagai cerminan lingkungan sekitar penulis. Tokoh-tokoh ini bukanlah hasil imajinasi penulis. Dapat dikatakan, inilah tokoh yang ingin disembunyikan oleh penulis agar karyanya tidak dicekal karena terlalu eksplisit. Namun, hal ini tidak membatasi aspirasi yang berusaha disampaikan penulis karena berdasarkan penokohan para tokoh, pembaca dapat mempelajari situasi Indonesia pada zaman itu.
3.2.2 Penyajian Latar Naskah dan Hubungannya dengan Konteks Realita
Dalam naskah ini, penyajian latar juga merupakan salah satu unsur yang menonjol dalam usaha penulis untuk menyampaikan aspirasi politik. Penjabaran penggunaan latar tempat, waktu latar waktu, dan suasana dapat ditemukan dalam Lampiran 3. Selain karena penggunaannya yang kembali bercermin pada realita atau latar sosial naskah, melalui tabel tersebut kita dapat mempelajari bahwa latar waktu yang digunakan oleh penulis mengandung anasir anakronisme4. Berdasarkan konvensi, penggunaan teknik ini dapat menjadi sebuah kekurangan (Nurgiyantoro, 2010, p.231), namun Riantiarno menjadikan hal ini sebagai kelebihan. Penggunaan teknik ini merupakan kelebihan karena membuat karya menjadi sangat simbolis dan dapat dianggap tidak serius. Menurut pandangan pribadi, respon terhadap naskah dapat dikategorikan berdasarkan pembacanya.
Jika pembaca adalah seseorang dari pemerintahan maupun masyarakat dengan tingkat edukasi yang memadai, maka karya ini akan menjadi sangat simbolis. Menurut kisah Ramayana, Kerajaan Alengka (merupakan Kerajaan Alang-alang dalam naskah), pada akhirnya hancur karena perilaku Dasamuka yang menculik Sinta (Kerajaan Alengka, n.d.). Oleh sebab itu, penggunaan latar dalam naskah ini menjadi sindiran bahwa rezim pemerintahan Soeharto akan segera hancur, dan membawa kita pada aspirasi politik yang lainnya bahwa kekuasaan tidak pernah abadi.
Pada sisi lainnya, jika pembacanya adalah rakyat biasa dengan tingkat edukasi yang mungkin belum memadai, maka karya ini menjadi sesuatu hal yang tidak serius atau humor saja.
4
Extended Essay 19
Naskah ini hanya akan menjadi sebuah naskah mengenai seorang pria gila bernama Ario. Namun biar begitu, hal ini dapat menjadi sindiran lainnya terhadap pemerintah pada masa itu. Ini merupakan bagian terakhir dari penyampaian aspirasi penulis, “KAISAR: Politik ibarat sandiwara. Palsu dan pura-pura,” (Riantiarno, 2005, p.29).
3.3 Gaya Penulisan Penulis dan Efek Terhadap Pembaca
Gaya penulisan yang digunakan oleh Riantiarno dalam naskah ini berfungsi sebagai penunjuang penyampaian aspirasi politik. Dalam naskahnya, penulis menggunakan banyak teknik eufemisme5 sebagai media penyindiran regim Soeharto. Contohnya, “KAISAR: Rasa marah. Penyebab terjadinya lakon ini, kekacauan ini.” (Riantiarno, 2005, p. 39) Dalam kutipan ini hal yang dihaluskan adalah pembicaraan mengenai pemerintahan Soeharto sebagai sebuah lakon, seakan-akan permasalah ini tidak nyata. Penggunaan eufemisme dipilih oleh Riantiarno agar karyanya tidak terlalu eksplisit mengingat ia harus berhati-hati mengenai kritik pemerintahaan yang ia kemukakan.
Lalu, Riantiarno juga melakukan sindiran dalam satire lagu yang dinyanyikan oleh beberapa tokoh dalam naskah ini seperti Sarpakanaka, Dasamuka, dan Sinta. Salah satu contoh lagu yang dapat ditemukan dalam salah satu dialog Sinta:
Oo, lenyapkanlah rasa lelah Buang segala nafsu amarah Lepas pelukan setan obsesi
Tenangkan hati malam ini (Riantiarno, 2005, p.43)
Penggunaan satire dalam bentuk lagu ini ini juga digunakan oleh Riantiarno juga sebagai sindiran terhadap pemerintahan Soeharto dalam bentuk yang tidak verbal. Namun, berbeda dengan penggunaan eufemisme, penggunaan satire dalam naskah ini disampaikan sebagai sindiran langsung yang tidak berbelit-belit. Lirik lagu yang digunakan terkesan lebih eksplisit dibandingkan penggunan eufemisme dimana pengungkapan makna aslinya lebih dihaluskan,
5
Eufemisme adalah sebuah ungkapan yang sifatnya dihaluskan karena maknanya dianggap terlalu kasar atau
Extended Essay 20 “PENDEMO: Batu-batu rapuh digilas tanpa ampun, Yang mampu bertahan jadi kampiun…” (Riantiarno, 2005, p.27).
Selain itu, dari segi penggunaan bahasa, Riantiarno memilih menggunakan bahasa sehari-hari yang tidak kompleks, “TAMU-1: Lho, itu kan egois namanya?” (Riantiarno, 2005, p.79), “KAISAR: Apalah namanya, pokoknya panggil ke mari, segera!” (Riantiarno, 2005, p.104) Penggunaan bahasa yang demikian memudahkan pembaca untuk mengerti isi naskah sehingga menjadi penunjang yang baik dalam penyampaian aspirasi politik. Bahkan dalam naskahnya, Riantiarno memasukkan anasir humor agar naskahnya menjadi semakin mudah untuk dicerna oleh pembacanya yang berasal dari tingkat edukasi yang berbeda-beda. Adapun humor yang
digunakan, “BANDEM: Hanya orang biadab yang memakai kata-kata kotor… Begitu”
(Riantiarno, 2005, p.52)
Terakhir, gaya penulisan Riantiarno yang paling eksplisit penggunaannya adalah penggunaan Epos Ramayana dalam penyampaian aspirasi politik penulis. Sebuah riset oleh Marshall Clark dari Universitas Cornell menunjukkan bahwa penggunaan tokoh-tokoh pewayangan merupakan sebuah gaya penulisan yang sangat populer pada era 1970an (Clark, 2001, p.163). Hal ini disebabkan oleh adanya self-censorship sehingga penulis-penulis pada era tersebut tidak memiliki pilihan selain membatasi imajinasi dan aspirasi agar karyanya tidak dicekal. Para penulis ini selalu menyembunyikan maksud dan moral dalam karya mereka dengan menggunakan tokoh-tokoh pewayangan. Teknik penulisan ini disebut oleh J.M. Coetzee sebagai Aeropian ruses, dimana penulis seperti Riantiarno berkarya di dalam ketakutan pencekalan dan penangkapan (Coetzee, 2001, p.11).
Motif lain dari adanya penggunaan tokoh pewayangan Ramayana dalam naskah Riantiarno diduga karena wayang adalah sumber kebudayaan Jawa. Dengan demikian, pembaca naskah maupun penonton drama teatrikal Riantiarno dimana mayoritasnya adalah masyarakat Jakarta6, akan merasakan sebuah hubungan dengan naskah yang ditulis, dan memberikan pengertian yang lebih mendalam terhadap makna yang ia kemukakan (Clark 2001, p.165).
6
Extended Essay 21
Bab 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah disimpulkan dalam bab 1, dapat disimpulkan bahwa aspirasi-aspirasi politik yang disampaikan oleh penulis meliputi keprihatinan penulis terhadap kondisi politik Indonesia pada tahun 1976-1977. Penyampaian aspirasi-aspirasi politik tersebut dapat dikategorikan menjadi dua bagian; aspirasi politik pribadi penulis dan aspirasi politik rakyat. Aspirasi-aspirasi ini tentu saja disampaikan melalui penggunaan teknik-teknik kesusasteraan seperti penggunaan unsur intrinsik dan ekstrinsik.
Extended Essay 22
disampaikan melalui satu teknik kesusasteraan yaitu dengan konflik-konflik dalam naskah. Dalam hal ini, Riantiarno bersikap lebih eksplisit dalam menyampaikan maknanya. Riantiarno menyampaikan aspirasi-aspirasi tersebut melalui demonstrasi yang dilakukan oleh rakyat Kerajaan Alang-alang.
Sedangkan, unsur ekstrinsik membentuk pandangan penulis mengenai sebuah isu dan maka dari itu dapat menghasilkan aspirasi-aspirasi politik. Hal ini mungkin didukung oleh keprihatinan penulis, namun ternyata kebebasan berpendapat dibatasi oleh pemerintah, maka ia kembali terhadap kesukaannya yaitu teater untuk berpendapat, dan menggunakan budaya tempat asalnya, Cirebon, yang sangat populer dengan pertunjukkan wayang.
4.2 Saran
Demikianlah yang dapat penulis kemukakan mengenai permasalahan sastra dan politik Indonesia pada rezim Soeharto dalam makalah ini, tentulah makalah ini masih banyak memiliki hal-hal yang dapat dibahas secara lebih lanjut tetapi hal ini tidak memungkinkan karena adanya pembatasan-pembatasan bahasan dan juga keterbatasan pengetahuan penulis.
Extended Essay 23
LAMPIRAN
Lampiran 1 – Sinopsis Naskah
“Maaf, Maaf, Maaf Politik Cinta Dasamuka” karya Nano Riantiarno adalah sebuah naskah tahun
1977 yang ditulis berdasarkan epos Ramayana. Naskah ini mengungkap kehidupan seorang pria bernama Ario yang menganggap dirinya sebagai Kaisar Dasamuka dari Kerajaan Alang-alang Langka. Anggota keluarganya ia sebut dengan nama-nama wayang. Ia terkenal sebagai pemimpin yang gemar bikin proyek-proyek yang tujuannya untuk ‘kepentingan masyarakat’. Proyek- proyek tersebut termasuk peresmian MCK Center (Mandi Cuci Kakus Center) dan pembangunan Lembaga Marah Dasamuka.
Extended Essay 24
Tokoh dalam Naskah dan Konteks Realita Penjelasan Penokohan
Prajurit-prajurit Dasamuka Pasukan TNI
Selama pemerintahan, Presiden Soeharto menjadikan TNI sebagai mata-mata untuk menjaga stabilitas negara semasa pemerintahannya (TNI Reboots Soeharto Program, 2013)
Nenek, Wek-Wek, Juru Masak Ario, Gadis, Nenek Kucing Rakyat Indonesia
Para demonstran dalam naskah ini sudah jelas menggambarkan rakyat Indonesia yang pada saat itu resah akan makna pembangunan yang sebenarnya (Presiden Bantah Pembangunan Gagal atau Membuat Rakyat Lebih Melarat, 1976, p.1).
Dalang Nano Riantiarno
Dalam petunjuk lakon pada awal buku dituliskan bahwa dalang adalah pengganti dari penulis lakon (Riantiarno, 2005, p.v).
Penyair Seniman/sastrawan/media pers pada era tersebut
Di dalam naskah ini, penyair memiliki banyak karya yang dicekal, “PENYAIR: Ini surat
larangan yang ditandatangani tuan,”
(Riantiarno, 2005, p.56). Hal ini telah secara eksplisit menerangkan tentang para seniman, sastrawan, dan juga pers media pada zaman itu yang hak bicaranya dibatasi oleh pemerintah.
Lampiran 2: Penjabaran tokoh bawahan dalam naskah Naskah Maaf.Maaf.Maaf. Politik Cinta Dasamuka
Extended Essay 25
Adega
n Latar Tempat Latar Suasana Latar Waktu
1 Ruang semedi istana Dasamuka Tegang Malam
Penasaran
2 Penjara bawah tanah Serius Siang
Kacau
3 Menara pengintai Kacau Siang
4 Taman istana Dasamuka Kasmaran Malam
5 Halaman bangsal istana Dasamuka
Lucu
Sore Penuh emosi
Kacau
6 Ruang dalam keluarga Serius Malam
7 Ruang tamu Tegang Siang
8 Ruang depan istana Dasamuka
Kacau
Pagi Marah
Tegang
9 Ruang dalam istana Dasamuka Tegang Sore
10 Taman istana Dasamuka Serius Malam
11 Halaman belakang istana
13 Kamar tidur Dasamuka Serius Malam
Humoris
14 Sebuah kamar di atas Kaisar Serius Malam
Tegang
15 Kamar tahanan Tegang Malam
Penasaran
16 Lorong di dalam istana Dasamuka Tegang Malam
17 Kamar Ibu di istana Dasamuka Sedih Malam
18
Extended Essay 26
DAFTAR PUSTAKA
"euphemism". Oxford Dictionaries. Oxford University Press.
http://www.oxforddictionaries.com/definition/english/euphemism [Accessed: November 21, 2013].
Abdullah, T. 2003. Krisis Masa Kini dan Orde Baru. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Bimbie.com. 2013. Ideologi dan Politik dalam Karya Sastra. [online] Available at: http://www.bimbie.com/ideologi-dan-politik.htm [Accessed: 24 Oct 2013].
Clark, M. 2001. Shadow Boxing: Indonesian Writer and the Ramayana in New Order. Cornell University, p. 163,165. [Accessed: 21 Nov 2013].
Coetzee, J. 1996. Giving Offense: Essays on Censorship. University of Chicago Press, p. 11. [Accessed: 21 Nov 2013].
Disporbudpar.cirebonkota.go.id. 2011. Kultur Budaya. [online] Available at:
http://disporbudpar.cirebonkota.go.id/index.php/Kesenian/kultur-budaya.html [Accessed: 21 Nov 2013].
Fadillah, R. 2013. Soeharto pada Soekarno. Merdeka.com, [online] March 31. Available at: http://www.merdeka.com/peristiwa/5-dosa-soeharto-pada-soekarno/tolak-lokasi-makam-soekarno.html [Accessed: 10 October 2013].
Indonesia-investments.com. 2013. Suharto's New Order: Development of Indonesia under Authoritarian Rule. [online] Available at:
http://www.indonesia-investments.com/culture/politics/suharto-new-order/item180 [Accessed: November 16, 2013].
Kerjaan Alengka. n.d. Ramayana Blog, [blog] Available at:
Extended Essay 27
Ki-demang.com. 2006. Dasamuka - Yogya. [online] Available at:
http://ki-demang.com/galeria256/index.php/wayang-aksara-d/169-dasamuka-yogya [Accessed: 24 Oct 2013].
KOMPASIANA.com. 2013. Kisah perjodohan Pak Harto dan Ibu Tien. [online] Available at: http://sosok.kompasiana.com/2013/08/23/kisah-pak-harto-kikuk-dijodohkan-dengan-ibu-tien-583294.html [Accessed: 24 October 2013].
Maruti, M. 2006. Rama Wijaya. [blog] Available at:
http://wayang.wordpress.com/2006/10/24/rama-wijaya/ [Accessed: 24 Oct 2013].
Maruti, M. 2006. Sinta. [blog] Available at: http://wayang.wordpress.com/2006/10/26/sinta/#more-260 [Accessed: 24 Oct 2013].
Maruti, M. 2006. Leksmana. [blog] Available at:
http://wayang.wordpress.com/2006/10/26/leksmana/ [Accessed: 24 Oct 2013].
Maruti, M. 2006. Sarpakenaka. [blog] Available at:
http://wayang.wordpress.com/2006/10/26/sarpakenaka/ [Accessed: 24 Oct 2013].
Maruti, M. 2006. Indrajit. [blog] Available at:
http://wayang.wordpress.com/2010/03/13/indrajit/#more-2598 [Accessed: 24 Oct 2013].
Maruti, M. 2006. Prahasta. [blog] Available at: http://wayang.wordpress.com/2006/10/26/prahasta/ [Accessed: 24 Oct 2013].
Maruti, M. 2006. Wibisana. [blog] Available at:
http://wayang.wordpress.com/2010/07/18/wibisana/ [Accessed: 24 Oct 2013].
Mongabay.com. 1992. Indonesia-THE NEW ORDER UNDER SUHARTO. [online] Available at: http://www.mongabay.com/history/indonesia/indonesia-the_new_order_under_suharto.html [Accessed: November 16, 2013].
Extended Essay 28
Available at: http://www.museumwayang.com/Wayang%20Kulit%20Cirebon.html [Accessed: 17 October 2013].
Nurgiyantoro, B. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. 8th ed. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Pdwi.org. 2011. Trijata. [online] Available at:
http://pdwi.org/index.php?option=com_content&view=article&id=512:trijata&catid=79:wayan g-purwa&Itemid=192 [Accessed: 24 Nov 2013].
PKJ Taman Ismail Marzuki. n.d. Nano Riantiarno. [online] Available at:
http://www.tamanismailmarzuki.com/tokoh/nanoriantiarno.html [Accessed: March 10, 2013].
Presiden Bantah Pembangunan Gagal atau Membuat Rakyat Lebih Melarat. 1976. KOMPAS, May 28, p. 1,12.
Rahayu, M. 2012. Ketika Sastra Posmodern Bicara Politik.
http://blog.insist.or.id/insistpress/archives/3412, [blog] May 23, Available at: http://blog.insist.or.id/insistpress/archives/3412 [Accessed: 17 October 2013].
Rayakan Ultah ke 28, Teater Koma Pentaskan 'MAAF.MAAF.MAAF.'. 2005. KapanLagi.com, [online] February 22. Available at: http://www.kapanlagi.com/showbiz/selebriti/rayakan-ultah-ke-28-teater-koma-pentaskan-maaf-maaf-maaf-dram3nz.html [Accessed: 10 March 2013].
Riantiarno, N. 2005. Maaf.Maaf.Maaf. Politik Cinta Dasamuka. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
TNI Reboots Soeharto Program. 2013. The Jakarta Post, [online] September 19. Available at: http://www.thejakartapost.com/news/2013/09/19/tni-reboots-soeharto-program.html [Accessed: 24 August 2013].
Trilogi Pembangunan. 1977. KOMPAS, August 18, p. 4.
Extended Essay 29
Widya.
Wirjanto, S. 1977. Keadilan dan Kemakmuranlah yang Dibutuhkan Rakyat. KOMPAS, July 26, p. 4.