• Tidak ada hasil yang ditemukan

anarkisme massa sebagai budaya politik i

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "anarkisme massa sebagai budaya politik i"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Fenomena Anarkisme Massa sebagai

Budaya Politik Indonesia

Dosen Pengampu:

Maratul Mahmudah

Oleh :Farikha Rachmawati

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA

(2)

Kata Pengantar

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan karunia serta hidayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.

Makalah yang berjudul “Fenomena Anarkisme Massa sebagai Budaya Politik Indonesia” ini disusun untuk tugas mata kuliah pengantar ilmu politik, yang saya sajikan berdasarkan studi literatur dari buku, penalaran, maupun situs di internet.

Saya sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai budaya politik yang merambah di era globalisasi ini, serta memperbaiki budaya politik Indonesia yang jauh dari anarkisme. Semoga makalah ini dapat menjadi sebuah pacuan untuk mengawasi kebudayaan politik di sekitar kita dan berpastisipasi aktif memperbaikinya.

Saya menyadari bahwa makalah ini belum sempurna dan memiliki kekurangan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca agar kekurangan-kekurangan tersebut bisa diperbaiki untuk ke depannya. Semoga makalah ini bisa memberikan manfaat bagi kami maupun pembaca sekalian.

Malang, 30 November 2013 Hormat Saya,

(3)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...i KATA PENGANTAR...ii DAFTAR ISI...iii BAB I : PENDAHULUAN

Pendahuluan...1 BAB II : PEMBAHASAN

... ... ... ...

BAB III : PENUTUP

(4)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Data unjuk rasa yang terjadi di wilayah hukum Polda Metro Jaya. Sepanjang tahun 2012, tercatat ada 2691 unjuk rasa yang terjadi di wilayah hukum Polda Metro Jaya (sumber : Tribunnews.com). Dari 2691 unjuk rasa tersebut, 31 diantaranya tergolong sebagai unjuk rasa anarkis. Angka ini tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di tahun 2011, dimana tercatat ada 2613 unjuk rasa, dengan 32 diantaranya merupakan aksi unjuk rasa anarkis. Kejadian yang sama juga terjadi di beberapa daerah lainnya di Indonesia. Aksi unjuk rasa yang berakhir dengan kerusuhan kerap menghiasi media masa.

Latar belakang terjadinya unjuk rasa bermacam-macam, karena sengketa pilkada, penggusuran, menggugat kebijakan pemerintah, kesejahteraan buruh, dan yang paling populer biasanya adalah kenaikan BBM. Akibat dari unjuk rasa tersebut juga bervariasi, bisa berupa pengrusakan sarana/prasarana umum, penghentian arus lalu lintas, bahkan sampai berakibat hilangnya nyawa seseorang.

Setiap kali akan ada aksi unjuk rasa, pemerintah, dan juga ‘publik’ pada tingkatan tertentu, kerap mengimbau demonstran agar tidak bertindak anarkis. Namun, pertanyaannya, tidakkah pengabaian hak-hak sipil yang disuarakan dalam tuntutan itu merupakan sebuah bentuk anarkisme yang paling barbar?

(5)

Semakin seringnya aksi unjuk rasa yang berakhir dengan kerusuhan ini, membuat masyarakat kita dilabeli sebagai masyarakat yang gemar akan kekerasan, masyarakat yang radikal, yang lebih mengutamakan otot dari pada otak dalam menyelesaikan sebuah persoalan. Radikalisme dalam mengutarakan pendapat seakan-akan sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya demokrasi kita. Di satu sisi demonstrasi sangat diperlukan untuk menjembatani perbedaan persepsi dan ditegakkannya keadilan di tengah masyarakat yang majemuk, namun di sisi lain demonstrasi dengan histerianya dapat berubah menjadi “senjata penghancur”, tergantung tujuan penggeraknya. Pemerintah dalam memberikan kesejahteraan pada rakyat sepertinya nihil hasilnya, namun warga juga seringkali tidak mengacuhkan kenihilan hasil dari kinerja pemerintah.

Anarkisme massa bisa juga dipandang ‘hanyalah’ respons atas kedegilan negara. Sehingga, dari sudut pandang ini, imbauan agar unjuk rasa tidak berlangsung rusuh tak lain sekadar kampanye semu anti-kekerasan. Sebab, akar kekerasannya justru bercokol di tubuh politik negara. Terjebak dengan kampanye itu, perspektif publik seperti tanggal dari realitas dan melayang dalam dunia angan nan beradab versi pemerintah. Dunia yang nyaman, tenteram di luar, tapi busuk di dalam.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah yang penulis kemukakan di atas, muncul permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu:

a) Benarkah unjuk rasa rusuh merupakan budaya politik bangsa Indonesia?

(6)

BAB II

PEMBAHASAN

1. Unjuk Rasa Dalam Lintasan Sejarah

Demokrasi dan demonstrasi adalah dua hal yang tak terpisahkan, sebab demonstrasi- yang merupakan sarana untuk menyampaikan aspirasi-merupakan salah satu indikator ada tidaknya demokrasi di suatu negara. Oleh sebab itu jangan heran, bila di suatu negara yang menganut sistem otoriter, demonstrasi adalah sesuatu hal yang terlarang.

Unjuk rasa, walaupun masuk seiring dengan faham demokrasi barat, kira-kira pada awal abad ke-20, bukanlah hal yang baru bagi budaya politik Indonesia. Jauh sebelum kemerdekaan, sekitar abad 16-19, masyarakat kita telah mengenal dan memparaktekkan unjuk rasa versi mereka yaitu ”tapa pepe”. Aksi unjuk rasa tapa pepe dilakukan di alun-alun kerajaan. Pada masa itu alun-alun selain berfungsi sebagai tempat prajurit berlatih kanuragan atau olah keprajuritan lainnya, juga berfungsi sebagai tempat masyarakat menyampaikan protes mereka terhadap kebijakan kerajaan. Begitu raja melihat ada rakyat yang melakukan pepe, dia akan langsung memanggil dan menanyakan maksudnya.

(7)

2. Fenomena Anarkisme Massa Terkini

Anarki dalam bahasan ini mengikuti ‘makna kedua,’ yang mengacu pada pengertian umum yang diterima masyarakat, yakni keadaan kacau-balau. Dan bukan dalam ‘makna pertama,’ yang menjelaskan perihal tidak adanya pemerintahan, undang-undang, dan peraturan.

Masuknya faham demokrasi barat ke dalam sistem politik Indonesia, secara langsung ataupun tidak langsung juga mempengaruhi bahkan mengubah budaya politik kita. Dengan demokrasi ala barat, masyarakat menjadi lebih variatif dalam cara menyampaikan pendapat atau ketidak setujuan mereka terhadap kebijakan pihak yang berkuasa. Namun satu hal menonjol yang membedakan antara cara demonstrasi dahulu dan sekarang adalah memudarnya unsur kearifan, kesantunan serta pentingnya ditegakkannya asas keadilan. Nilai esensial masyarakat Indonesia inilah yang langka sekarang ini. Akibatnya unjuk rasa telah berubah menjadi sosok atau momok yang menakutkan, sarat dengan tindakan anarkis, kekerasan dan tindakan radikal lainnya.

Secara idealnya unjuk rasa yang merupakan bagian dari mekanisme interaksi antar anggota masyarakat di ruang publik tidak seharusnya selalu berakhir rusuh. Hal ini bisa diwujudkan jika pemerintah bisa merespon secara positif aksi unjuk rasa tersebut. Mekanisme damai ini telah dicontohkan oleh leluhur kita berabad-abad yang lalu, yang dengan santun dan dengan cara musyawarah dapat menghasilkan keputusan yang memuaskan semua pihak.

(8)

3. Penanggulangan Anarkisme Massa

Unjuk rasa yang dilakukan perseorangan maupun berkelompok yang marak belakangan ini, umumnya dijadikan jalan terakhir oleh mereka. Disebut jalan terakhir sebab sebelumnya telah ditempuh cara-cara lain namun tidak direspon oleh penguasa atau lembaga yang dijadikan sasaran unjuk rasa. Jalur untuk menyalurkan aspirasi di negeri ini sebenarnya cukup banyak, namun seringkali tidak efektif dalam menjawab permasalahan yang ada. Setiap perubahan politik yang terjadi di bangsa ini, jarang sekali diikuti perbaikan kondisi masyarakat secara signifikan. Walaupun masyarakat tidak terlibat langsung dengan poitik praktis, tetapi masyarakat sekarang sudah tahu dan sudah bisa menilai setiap sepak terjang yang terjadi di tataran elit politik.

Anarkis yang terjadi dapat dikatakan sebagai muara dari kebebalan kalangan elit (politik, aparat negara dan pengusaha) dalam merespon tuntutan masyarakat. Ketidakpedulian kalangan elit menyebabkan masyarakat antipati terhadap mereka. Selanjutnya yang terjadi adalah timbul ketidakpercayaan yang tinggi terhadap kalangan elit ini. Ketidakpercayaan masyarakat ini akan menimbulkan hubungan yang mencekam antara masyarakat dan elit mereka. Suasana yang seperti inilah yang dapat dengan mudah berubah menjadi radikalisme dalam setiap aksi unjuk rasa.

(9)

BAB III

PENUTUP

A.

KESIMPULAN

Semua lapisan masyarakat mendambakan aksi yang damai, tenang, ssehingga tidak mengganggu jalan dan menimbulkan keributan. Hal ini bermakna positif dalam semangat mendorong budaya nir-kekerasan. Perbedaan pendapat ataupun protes tak harus diselesaikan dengan bentrokan. Kita mafhum, dan sama-sama muak, dengan unjuk rasa yang berujung pada kekerasan. Namun dalam konstelasi konflik vertikal, kekerasan itu bisa disebut sebagai akumulasi titik jenuh atas pengabaian dan pembiaran negara terkait dengan tuntutan yang diajukan. Sekaligus, hal itu menunjukkan kegagalan pemerintah melakukan fungsi mediasi mengakomodasi kepentingan warga negaranya.

Unjuk rasa rusuh yang belakangan terjadi disebabkan hilangnya kesantunan, kearifan dan jaminan akan tegaknya keadilan. Para elit, baik politik, aparatur negara, dan pengusaha secara kompak menderita penyakit bebal, hilang sensitifitas terhadap penderitaan masyarakat. Radikalisme atau anarkis yang terjadi merupakan muara dari penyakit para elit ini. Dahulu adalah aib besar bagi penguasa yang tidak bisa menjamin kemakmuran dan keadilan tegak di tengah rakyatnya, namun sekarang hal yang demikian tidak terlalu menjadi persoalan yang besar.

(10)

B.

KRITIK

Pada dasarnya, massa ingin didengar, dalam pengertian suaranya benar-benar dianggap hadir dan diperhatikan untuk merumuskan kebijakan. Anehnya, alih-alih merumuskan prosedur operasi standar merespons ketidakpuasan massa, pemerintah lebih senang mengeluhkan unjuk rasa yang ricuh. Jelas, keluhan ini adalah bentuk penggeseran fokus untuk mengaburkan persoalan. Perhatian publik menjadi terbelah antara tuntuan yang disuarakan dan cara menyuarakan tuntutan itu. Dengan demikian, imbauan agar unjuk rasa tidak anarkistis pun bermasalah, terutama ketika anasir kekuasaan memandang sambil lalu terhadap tuntutan yang dilayangkan, mendengarkannya tak lebih sebagai ‘suara-suara rutin,’ yang tidak perlu disertai usaha perbaikan nyata. ‘sebelum’ mempersoalkan anarkisme massa, ada barbarisme negara yang perlu dituntaskan. Jika sungguh ingin memutus spiral anarkisme, pemerintah harus terlebih dulu menghilangkan watak primitifnya ‘yang cuma mereproduksi peradaban,’ dan mulai belajar untuk lebih progresif dalam menyikapi unjuk rasa

C.

SARAN

a) Pemerintah seharusnya lebih menghargai suara rakyat karena demokrasi adalah tonggak penting bagi kemajuan Indonesia.

b) Masyarakat seharusnya sadar akan anarkisme merugikan segala pihak, seharusnya budaya sopan santun dijadikan niat sebelum melakukan aksi.

c) Anarkisme hanya muncul setelah kejenuhan tingkat tertinggi masyarakat kepada pemerintahan yang bobrok luar biasa, jika kebobrokan ini dikurangi maka anarkisme pasti bisa ditanggulangi.

(11)

kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum masih diperlukan sebuah proses pendewasan baik Polri maupun masyarakat sebagai subjek kegiatan.

DAFTAR PUSTAKA

http://anorraga.blogspot.com/

http://indoprogress.com/anarkisme-massa-danatau-barbarisme-negara/

kompas.com

Referensi

Dokumen terkait

Diantara metode hibridisasi lainnya, produksi tetraploid dari kultivar triploid merupakan pendekatan tercepat untuk mendapatkan kultivar baru yang resisten terhadap

Pemeriksaan penunjang penyakit ginjal kronik penting untuk memastikan diagnosis penyakit ginjal dan derajat penurunan fungsi ginjal, dalam hal ini nilai laju filtrasi

Jika murid tiada akses atau menghadapi kesukaran akses kepada PdP secara dalam talian, pihak sekolah perlu berbincang dengan ibu bapa/penjaga untuk menentukan kaedah

Hasil penerimaan pajak air permukaan merupakan dana bagi hasil yang dibagikan kepada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota untuk periode Bulan April sampai

KGK 524 Ketika Gereja merayakan liturgi Adven setiap tahunnya, ia menghadirkan kembali pengharapan di jaman dahulu akan kedatangan Mesias, sebab dengan mengambil

Stasiun Angsana house reef yang memiliki tutupan terumbu karang paling baik saat pengambilan data, kematian karang karena tidak mampu untuk pulih juga cukup

Masalah yang biasa terjadi jika masih menggunakan sistem konvensional (manual) adalah pengecekan stok barang serta data yang rangkap karena kurangnya ketelitian karyawan

Perencanaan yang dilakukan Humas Pusat Survei Geologi Melalui Kegiatan Geoseminar Dalam Mempertahankan Citra Perusahaan Dikalangan Peserta Seminar adalah melakukan diskusi