• Tidak ada hasil yang ditemukan

Alat Musik Tradisional Perkembangan dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Alat Musik Tradisional Perkembangan dan"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

Alat Musik Tradisional

Perkembangan dan Tantangannya

di Negeri Hutumuri

Kecamatan Leitimur Selatan Kota Ambon

Diterbitkan Oleh

CV. R.A.De.Rozarie

(Anggota Ikatan Penerbit Indonesia)

(2)

Alat Musik Tradisional Perkembangan dan Tantangannya di Negeri Hutumuri Kecamatan Leitimur Selatan Kota Ambon

© Oktober 2014

Eklektikus: Weldemina Pattinama, S.H. Editor: Dra. Florence Sahusilawane, M.H. Master Desain Tata Letak: Eko Puji Sulistyo

Angka Buku Standar Internasional: 9786021176023

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Katalog Dalam Terbitan

Sebagian atau seluruh isi buku ini dilarang digunakan atau

direproduksi dengan tujuan komersial dalam bentuk apapun

tanpa izin tertulis dari CV. R.A.De.Rozarie kecuali dalam hal

penukilan untuk keperluan artikel atau karangan ilmiah dengan

menyebutkan judul dan penerbit buku ini secara lengkap

sebagai sumber referensi.

Terima kasih

(3)

i

PRAKATA

Puji syukur penulis haturkan kepada Tuhan Allah Yang Maha Kuasa yang telah memberkati hamba-Nya sehingga dapat menerbit-kan buku “Alat Musik Tradisional Perkembangan dan Tantangannya di Negeri Hutumuri Kecamatan Leitimur Selatan Kota Ambon”. Bu-ku ini merupakan Bu-kulminasi penelitian budaya yang penulis geluti di Balai Pelestarian Nilai Budaya Ambon (Unit Pelaksana Teknis Pusat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan).

Fokus penelitian yang dimaksud yaitu menelusuri sejarah dan perkembangan alat-alat musik tradisional yang telah lama menjadi lingkaran kehidupan masyarakat Ambon. Alat-alat musik tradisional itu telah mengantarkan masyarakat Ambon menjadi orang-orang yang pandai bernyanyi dan bermain musik. Aset ini sesungguhnya dapat dikembangkan menjadi salah satu potensi pariwisata di Malu-ku; oleh karena itu buku ini diharapkan dapat menjadi sumber jaksanaan Pemerintah Daerah Kota Ambon dalam hal membuat kebi-jakan guna membantu seniman di Kota Ambon.

Penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada seluruh pi-hak yang tidak sempat disebutkan satu per satu namun telah mem-bantu penulis sehingga akhirnya tiba di tangan para pembaca. Secara sumurung, penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Ibu Dra. Florence Sahusilawane, M.H., sebagai mantan Kepala Balai Kajian Se-jarah dan Nilai Tradisional Provinsi Maluku dan Maluku Utara yang meluangkan waktunya untuk berdialektik dengan penulis terkait bi-dang kebudayaan serta memberi semangat untuk menerbitkan buku ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada lembaga yang telah memberi kontribusi kepada penulis. Harapan penulis, buku ini dapat menambah khazanah pengetahuan masyarakat Maluku tentang salah satu kekayaan budaya orang Maluku. Selamat membaca...

Ambon, September 2014

(4)

ii

SENARAI ISI

PRAKATA i

SENARAI ISI ii

BAB I

Apologia 1

BAB II

Gambaran Umum Daerah Penelitian 5

BAB III

Alat Musik Tradisional Di Negeri Hutumuri 39

BAB IV

Perkembangan Musik Tradisional Dan Tantangannya Masa Kini 62

BAB V

Penutup 79

(5)

1

BAB 1

APOLOGIA

A. Latar Belakang

Kesenian sebagai ekspresi manusia akan keindahan yang da-pat dinikmati manusia melalui mata dan telinga. Apabila dilihat dari seni musik, akan ada dua bagian yang dapat dipisahkan yaitu seni musik vokal (menyanyi) dan seni musik instrumental (menggunakan alat bunyi-bunyian) (Koentjaraningrat, 2009:298). Kesenian tradision-al khususnya seni musik dengan pertradision-alatan musiknya diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya namun sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman tradisi turun temurun itu mau tidak mau mengalami perkembangan termasuk bentuk maupun bahannya.

Seni musik berikut peralatan musik yang hidup dan berkem-bang pada suatu masyarakat maka corak dan gaya musik tersebut mencerminkan kehidupan masyarakatnya, ungkapan perasaan mas-yarakat, arti, makna dan fungsi sosial di dalamnya. Dalam perkem-bangannya oleh karena musik tradisional itu didukung sepenuhnya oleh masyarakat dan terus dikembangkan secara turun temurun ma-ka biasanya musik dianggap sebagai milik masyarama-kat pendukung musik tersebut.

Negeri Hutumuri di Kota Ambon dewasa ini terkenal dengan musik tahuri dan suling bambu sebagai ciri khas masyarakat Hu-tumuri. Dalam perkembangannya musik tradisional tersebut telah di-perkaya dengan berbagai jenis alat musik lain yaitu batu dan air se-hingga menjadi khas musik Hutumuri dan dikenal luas oleh masya-rakat di Ambon.

(6)

2

B. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan realita yang diangkat pada latar belakang sehing-ga memunculkan fakta maka terdapat pertanyaan penelitian yaitu:

/Apakah definisi alat musik tradisional?

/Bagaimana peranan dan fungsi musik tradisional dalam kehidupan mas-yarakat Hutumuri?

/Bagaimana perkembangan musik tradisional dewasa ini dengan telah di-terimanya peralatan musik modern?

/Bagaimana upaya pelestarian musik tradisional oleh masyarakat dan Pe-merintah Negeri Hutumuri?

C. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai bahan ma-sukan kepada Pemerintah (Pemerintah Negeri dan Pemerintah Kota Ambon) untuk lebih serius memberi fasilitas grup musik tradisional sebagai salah satu warisan budaya yang patut dipelihara dan dikem-bangkan. Musik tradisional ini adalah salah satu warisan budaya dan aset yang berpotensi dalam mengembangkan pariwisata, sehingga membawa peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat di Hutumuri.

D. Kerangka Pikir

Seni merupakan sarana yang mempunyai kegunaan funda-mental untuk manusia. Peristiwa kesenian bukan semata-mata peris-tiwa estetika bunyi, gerak, tetapi merupakan perisperis-tiwa sosial dan bu-daya. Oleh karena itu seni memiliki fungsi tersendiri bagi masyarakat pendukungnya (Ahmad Syai, 2012:6 dalam Soetomo, 2003:31).

Kebudayaan (dalam arti kesenian) adalah ciptaan dari segala pikiran dan perilaku manusia yang fungsional, estetis dan keindahan sehingga ia dapat dinikmati dengan pancaindera yaitu penglihat, penghirup, pengecap, pengrasa dan pendengar. Berdasarkan indera pendengaran manusia maka kesenian dibagi ke dalam seni musik (termasuk seni musik tradisional) dan seni kesusastraan (Koentjara-ningrat, 2005:19).

(7)

3

orang-orang yang sangat dekat dengan musik. Dalam keadaan apa sekalipun, musik tidak dapat dipisahkan dari mereka. Sesuai dengan perkembangan musik tradisional telah dipengaruhi juga dengan mu-sik modern hal inipun dapat dilihat dalam acara pesta, upacara adat, ibadah hingga acara penguburan. Oleh karena itu musik tradisional dapat dikembangkan menjadi salah satu daya tarik wisata sekaligus menunjang ekonomi keluarga.

E. Fokus Penelitian

Fokus materi penelitian adalah pengungkapan akan berbagai jenis alat musik tradisional, peranan dan fungsinya dalam kehidupan masyarakat Hutumuri, cara membuat serta perkembangan dan tan-tangan yang dihadapi saat ini serta upaya pelestariannya dalam rangka menjadikannya sebagai warisan budaya dan aset pariwisata sedangkan lokasi yang dipilih adalah di Negeri Hutumuri Kecama-tan Leitimur SelaKecama-tan Kota Ambon, sebagai negeri yang dikenal khas dengan musik tradisionalnya.

F. Metode Penelitian

Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dan di mana sampel penelitian dilakukan dengan teknik purposive sampling yaitu sengaja dipilih orang-orang yang berkompeten di bidang yang dite-liti. Untuk mendapatkan informasi dari informan yang tepat diguna-kan teknik bola salju yaitu berdasardiguna-kan informasi dari informan se-belumnya sampai akhirnya mendapatkan data jenuh.

(8)

4

(9)

5

BAB II

GAMBARAN UMUM

DAERAH PENELITIAN

A. Sejarah Negeri Hutumuri

Negeri Hutumuri terletak di Kecamatan Leitimur Selatan Kota Ambon. Masyarakat yang tinggal di Hutumuri umumnya penduduk asli yaitu suku Ambon. Mereka yang disebut suku Ambon adalah ke-lompok masyarakat penduduk asli yang mendiami Pulau Ambon, Pulau-pulau Lease, wilayah Seram bagian tengah dan wilayah Seram bagian barat. Kelompok masyarakat ini menyatakan diri mereka se-bagai pendukung kebudayaan Ambon yang merupakan akulturasi dari beberapa kebudayaan yang berasal dari luar antara lain Melayu, Polynesia dan Melaneysia (Pattipeylohy Y, 2000:4).

Asal usul orang Ambon menurut Jansen datang dari Seram, Kepulauan Banda, Kei, Halmahera, Ternate, Tidore dan Pulau Jawa. Rombongan pendatang ini datang secara berkelompok dan bertahap. Kelompok pertama ialah kelompok Tuni yang bermigrasi ke Pulau Ambon. Kelompok Wakan datang dari Kepulauan Banda dan Kei, kelompok ketiga yaitu kelompok Moni dari Halmahera, Ternate dan Tidore sedangkan kelompok terakhir yaitu Mahu dan Tuban dari Pu-lau Jawa.

Migrasi penduduk yang datang dari berbagai tempat itu tidak serta merta mengubah struktur sosial masing-masing kelompok. Satu diantaranya kebudayaan dari Pulau Seram kenyataannya masih me-ngental dan turut memperkaya kebudayaan Ambon. Dapat dilihat dari kebiasaan masyarakat Hutumuri di Pulau Ambon.

(10)

6

Ujung Pandang. Dari kata ombong, lama-lama menjadi ambong dan akhirnya menjadi ambon.

Hutumuri disebut juga Hatumuri atau Batumuri. Secara eti-mologi, Hatumuri terdiri dari dua suku kata hutu dan muri. Hatu atau

hutu artinya batu sedangkan muri artinya gunung. Dengan demikian

Hutumuri artinya belakang batu atau belakang gunung. Untuk me-ngetahui sejarah asal mula Negeri Hutumuri, peneliti telah melaku-kan wawancara dengan tokoh adat Hutumuri yaitu Bapak Benny Sa-meaputty di Negeri Hutumuri. Secara lengkapnya cerita tentang asal mula Negeri Hutumuri dikemukakan sebagai berikut:

(11)

7

(12)

8

Wujud binatang yang dimaksud dapat dilihat pada lambang berikut ini:

Gambar 1.

Totem Klan 5 Soa Di Hutumuri

Totem klan dari lima buah Soa dikemukakan sebagai berikut. Di bagian tengah tergambar burung merpati putih dimiliki oleh Soa Patihutung, di sebelah kiri bawah gambar burung mainggole dimiliki oleh Soa Mokihutung, di sebelah kiri atas binatang soa-soa (mirip kadal) terbang menjadi milik Soa Tutupasar, di sebelah kanan atas katak dimiliki oleh Soa Puasel dan di sebelah kanan bawah ular patola atau ular berbintik-bintik milik Soa Lapaut

Pada hakikatnya, lambang-lambang binatang di perisai terse-but merupakan representasi dari leluhur yang kemudian berkem-bang menjadi totem klan, yaitu klan-klan pendatang sesuai dengan cerita rakyat setempat yang akhirnya bergabung dan membentuk Negeri Hutumuri.

(13)

9 Gambar 2.

Totem Soa Lapaut Di Dalam Koivrong

Dalam perkembangan kehidupan manusia – perpindahan tempat, penggabungan kelompok-kelompok masyarakat menjadi sa-tu kelompok masyarakat baru dan akhirnya menjadi negeri menye-babkan adanya perubahan-perubahan atau penyesuaian dalam ber-bagai bidang termasuk adat istiadat asli yang erat hubungannya de-ngan kepercayaan. Demikianlah sejarah pembentukan Negeri Hutu-muri.

(14)

10 Gambar 3.

Jalan Utama Di Negeri Hutumuri

Negeri Hutumuri di tahun 1942 pernah menjadi tempat pen-daratan tentara Jepang ketika hendak menduduki Kota Ambon. Pada 30 Januari 1942 Jepang mulai membuka serangan pendaratan di Hitu dan Latuhalat tetapi karena pertahanan Belanda cukup kuat di dua negeri tersebut pendaratan tentara Jepang mengalami kegagalan. Je-pang berusaha untuk mendaratkan pasukannya di negeri Tulehu na-mun juga gagal karena kapal-kapal Jepang mendapat tembakan gen-car dari meriam-meriam Belanda yang telah ditempatkan di daerah perbukitan sekitar Gunung Garser.

(15)

11

B. Pola Pemukiman Dan Keadaan Fisik

Secara astronomi Negeri Hutumuri terletak pada 3°41’47 Lin

-tang selatan sampai dengan 128°17’11 Bujur Timur sedangkan

batas-batas negeri ini dikemukakan sebagai berikut. Di sebelah utara berba-tasan dengan Negeri Batu Merah dan Negeri Halong, sebelah selatan dengan Laut Banda, di sebelah timur berbatasan dengan Negeri Pas-so dan di sebelah barat dengan Negeri Rutong (Sumber Kantor Desa Hutumuri, 2014).

Sejak tahun 2010 Negeri Hutumuri telah menjadi salah satu negeri dalam wilayah Kecamatan Leitimur Selatan, sebelumnya Hu-tumuri berada dalam wilayah administratif Kecamatan Teluk Ambon Baguala.

Gambar 4.

Sketsa Peta Negeri Hutumuri

(16)

12

Topografi Negeri Hutumuri berada di Pulau Ambon dan be-rada di dataran pegunungan. Letak perumahan penduduk serta pu-sat administrasi negeri berada pada dataran rendah. Luas Negeri Hu-tumuri kurang lebih 15.000 km2 sedangkan luas negeri yang telah memiliki perumahan rakyat adalah 15 ha.

Iklim di negeri ini dipengaruhi oleh laut Banda dengan tipe iklim berganti-ganti yaitu antara 5 (lima) hingga 6 (enam) bulan ada-lah bulan basah musim sedangkan 2 (dua) hingga 3 (tiga) bulan me-rupakan bulan kering. Bulan Juni sampai bulan September mengala-mi musim timur yaitu musim penghujan, bulan Oktober hingga bu-lan Februari mengalami musim barat yaitu musim kemarau. Bubu-lan Maret hingga bulan Mei adalah musim pancaroba.

Tata letak bangunan rumah-rumah warga di Negeri Hutu-muri pada dasarnya berbanjar. Bangunan rumah yang berada di tepi jalan seluruhnya menghadap ke jalan raya utama diselingi dengan beberapa buah lorong atau jalan-jalan kecil yang telah diberi aspal atau jalan setapak setelah diberi semen tumbuk. Sepintas tata letak bangunan rumah di negeri ini terlihat cukup teratur dan rapih na-mun demikian tata letak rumah pada gang-gang kecil masih kurang teratur. Gang-gang yang kecil itu sebenarnya merupakan tanah pe-karangan atau halaman warga setempat yang akhirnya menjadi jalan hilir mudik antara warga setempat tetapi juga jalan hilir mudik bi-natang peliharaan mereka yaitu babi.

(17)

13 Gambar 5.

Binatang Piaraan Di Negeri Hutumuri

Kondisi fisik bangunan rumah warga Negeri Hutumuri secara umum dapat digolongkan dalam tipe rumah permanen dan semi per-manen. Bangunan rumah permanen umumnya milik warga yang be-kerja sebagai Aparatur Sipil Negara (ANS), Tentara Nasional Indone-sia – Polisi Republik Indonesia (TNI Polri), mereka yang mendapat bantuan dari keluarga-keluarga yang ada di Negeri Belanda maupun sebagai pegawai swasta.

(18)

14 Gambar 6. Tipe Rumah Permanen

Gambar 7.

Tipe Rumah Semi Permanen

(19)

15

radio maupun alat elektronika lainnya sebagai bagian dari perabot rumah tangga.

Walaupun secara umum terlihat duajenis tipe rumah pendu-duk yaitu permanen maupun semi permanen ternyata di Hutumuri juga masih ada penduduk yang menempati rumah dengan tipe yang sangat sederhana. Rumah gaya lama memiliki dinding dan atap rum-bia atau atap pohon daun sagu yang dikeringkan. Pintu dan jendela rumah masih terbuat dari buah gaba-gaba kering sedangkan lantai rumah adalah berlantai tanah. Luas rumah berukuran kecil biasanya hanya ada satu buah kamar tidur, dilengkapi sebuah dapur tungku sebagai tempat masak. Biasanya rumah seperti ini ditempati oleh se-orang tua yang hidupnya sendiri.

Gambar 8.

Tipe Rumah Lama Dinding Atap Pohon Sagu

(20)

16

Di ujung negeri tepatnya di pinggiran jalan terdapat peku-buran umum. Sehari-hari pekupeku-buran umum dibiarkan begitu saja ti-dak terawat kecuali ada beberapa kuburan yang terlihat bersih dan terawat. Kuburan-kuburan yang terlihat terawat biasanya keluarga-keluarganya tinggal tidak jauh dari daerah pekuburan sehingga mu-dah membersihkannya. Ada beberapa buah pekuburan yang dihiasi dengan bunga-bunga plastik atau membangun kuburan secara per-manen lengkap dengan nisan dan tegel sebagai tanda kasih kepada orang yang telah meninggal itu tetapi ada juga yang menganggap membangun kuburan yang baik akan mendapat berkat dari orang yang telah meninggal, tetapi ada juga sebagai penonjolan prestise ke-luarga saja. Tampak di dalam gambar di bawah ini beberapa pekubu-ran yang telah dibangun secara permanen tetapi lokasi disekitarnya dibiarkan tumbuh dengan rumput-rumput liar sehingga lingkungan tampak kotor dan tidak terpelihara.

Gambar 9.

Pekuburan Negeri Hutumuri

(21)

mengga-17

nggu kenyamanan para tamu yang hadir termasuk roh-roh leluhur, sehingga rumah-rumah merekapun patut dibersihkan.

C.Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Negeri Hutumuri 1. Penduduk

Dinamika perkembangan Negeri Hutumuri secara adminis-tratif dapat dikemukakan sebagai berikut. Penduduk yang saat ini tinggal di Negeri Hutumuri umumnya adalah penduduk asli yang mayoritas beragama Kristen Protestan, terdiri dari 975 (sembilan ra-tus tujuh puluh lima) Kepala Keluarga (KK) yang tersebar dalam 20 (dua puluh) Rukun Tetangga (RT) dan 5 (lima) dusun. Tabel 1 di ba-wah ini menunjukkan jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin dan keluarga keadaan tahun 2013.

Tabel 1.

Jumlah Penduduk Negeri Hutumuri Menurut Jenis Kelamin Dan Kepala Keluarga Tahun 2013

Sumber: Kantor Negeri Hutumuri 2014

Mencermati Tabel 1 di atas diketahui jumlah penduduk pe-rempuan adalah 3.994 (tiga ribu sembilan ratus sembilan puluh em-pat) orang lebih banyak dari jumlah penduduk laki-laki yaitu 1.989 (seribu sembilan ratus delapan puluh sembilan) orang sedangkan bila dilihat menurut usia dapat dikemukakan pada Tabel 2 sebagai beri-kut.

Tabel 2.

Jumlah Penduduk Negeri Hutumuri Menurut Usia Tahun 2013

Sumber: Kantor Negeri Hutumuri 2014

No Kriteria Jumlah

1 Jumlah penduduk 3.994 orang

2 Jumlah laki-laki 1.989 orang

3 Jumlah perempuan 2.005 orang

(22)

18

Mencermati Tabel 2 di atas diketahui bahwa jumlah pendu-duk terbesar pertama berdasarkan usia ada pada kisaran usia 16 (en-am belas) hingga 56 (lima puluh en(en-am) tahun yaitu sebanyak 2.305 (dua ribu tiga ratus lima) orang sedangkan jumlah penduduk pada usia terkecil ada pada kisaran usia 0 (nol) hingga 12 (dua belas) bulan yaitu sebanyak 113 (seratus tiga belas) orang.

Jumlah penduduk terbesar kedua pada kisaran usia 8 (dela-pan) hingga 15 (lima belas) tahun adalah sebanyak 675 (enam ratus tujuh puluh lima) orang, yang diikuti dengan jumlah penduduk ter-besar ketiga dalam kisaran usia 6 (enam) hingga 7 (tujuh) tahun yaitu sebanyak 183 (seratus delapan puluh tiga) orang. Keberadaan pendu-duk umumnya bersumber dari 5 (lima) Soa yang menurunkan marga atau fam seketurunan (geneologis).

Tabel 3.

Nama Soa Dan Marga Atau Fam Keluarga Di Negeri Hutumuri

Sumber: Bapak Benny Sameaputty

(23)

19

Negeri Hutumuri termasuk dalam kelompok masyarakat adat Patasiwa dan juga masyarakat adat Patalima. Disebut Patalima (ke-lompok Lima) oleh karena ketika moyang Simanole tiba di Lana Ia bertemu dengan empat Uli di sana yaitu Souhuat, Patalala, Lilipory, Kayluhu. Mereka disebut juga sebagai masyarakat Patasiwa (kelom-pok Sembilan) hal ini didasarkan karena jumlah empat matarumah itu telah bergabung dengan keempat Uli yang merupakan orang-or-ang pantai yaitu Uli Marna, Uli Tuni, Uli Mau dan Uli Moni. Wujud dari gabungan soa-soa yang ada di dalam negeri dipadukan dalam sebuah monumen yang dibangun di tengah-tengah negeri yang dina-makan pusat negeri.

Gambar 10.

Tugu Sebagai Pusat Negeri

(24)

20

membentuk sebuah negeri besar yaitu Negeri Hutumuri yang dipim-pin oleh latu atau raja keturunan dari Moyang Simanole.

Wujud masyarakat patasiwa dan patalima itu diimplementa-sikan melalui bangunan baileu yang berbentuk gantung dengan bahan-bahan dari papan beratapkan daun-daun pohon sagu. Baileu Hutumuri ini diberi nama Baileu Suluh Waming.

Gambar 11.

Baileu Suluh Waming Negeri Hutumuri

Bangunan baileu dibangun di tengah-tengah negeri berbentuk empat persegi panjang, terbuka tanpa dinding sejajar dengan pantai dan memiliki 9 (sembilan) buah tiang. Masing-masing tiang mewakili soa.

Saat dilaksanakan upacara adat negeri seperti pengangkatan raja baru atau biking panas pela maka pusat upacara dilakukan di se-kitar baileu dan di saat itu baileu menjadi sakral.

(25)

21 Gambar 12.

Ornamen Baileu Negeri Hutumuri

Baileu gantung Suluh Waming memiliki ornamen yang cukup ramai yang tergambar pada dinding-dinding papan. Motif baileu umumnya bermotif bunga-bunga, burung, matahari serta daun. Pada umumnya hiasan motif-motif ini terinspirasi dari motif-motif Patasi-wa dan Patalima.

2. Lembaga Pemerintahan Negeri

Lembaga pemerintahan negeri di Hutumuri merupakan suatu badan pemerintahan adat yang terstruktur dengan cara pengaturan menurut adat dan sekaligus sebagai aparat terbawah pemerintahan umum. Raja dan stafnya adalah pemerintah negeri tetapi setingkat di bawah camat dalam mengatur negerinya. Mereka dapat berfungsi sebagai pejabat eksekutif tetapi juga yudikatif. Para tua adat turut mendampingi pemerintah negeri dalam memberi nasehat terhadap hal-hal yang dianggap perlu. Di dalam masyarakat, raja selain seba-gai pemimpin negeri sekaligus kepala adat. Kedudukannya sebaseba-gai kepala adat menempatkan dirinya sebagai figur sentral dalam setiap ritual negeri.

(26)

22

kepala-kepala soa yang memerintah secara bergilir. Kepala soa yang sedang melaksanakan kegiatan pemerintahan disebut Kepala Soa Ja-ga atau Kepala Soa Meseng. Dalam struktur pemerintahan adat ada juga beberapa lembaga adat yaitu Saniri, Marinyo, Kewang, Kapitan, Mauweng.

Lembaga Mauweng kini telah dihilangkan setelah penduduk memeluk agama Kristen. Saniri Negeri adalah lembaga musyawarah rakyat dan lembaga peradilan yang berkaitan masalah-masalah per-tanahan. Raja sekaligus bertindak sebagai Kepala Saniri.

Gambar 13. Bapak Raja Hutumuri

Kewang berhak memberi sanksi denda atau hukuman kepada seseorang yang dianggap melanggar aturan yang berhubungan de-ngan kelestarian lingkude-ngan. Saat dilaksanakan sasi maka kewang dan anak-anak kewang akan menjaga kewibawaan pelaksanaan sasi. Dalam suatu perselisihan batas-batas tanah kewang dapat berperan sebagai sumber yang dapat menentukan batas-batas tanah. Oleh ka-rena itu Kewang atau Kepala Kewang adalah orang yang dianggap sangat memahami batas-batas tanah. Kepala Kewang biasanya dipi-lih dari masing-masing soa.

(27)

23

matarumah tertentu dan bertanggung jawab terhadap keamanan ne-geri baik gangguan dari dalam maupun luar. Kini jabatan Kapitang tidak difungsikan lagi di Negeri Hutumuri karena soal-soal keter-tiban dan keamanan masyarakat atau negeri menjadi tugas dari pi-hak keamanan yang bekerjasama dengan pemimpin-pemimpin RT di Hutumuri.

Keberadan Kapitang hanya dilihat saat dilaksanakannya upa-cara adat seperti saat pelantikan raja atau upaupa-cara panas pela. Jabatan Marinyo bukan jabatan turun temurun dan dianggap sebagai jabatan yang tidak terlalu tinggi kedudukannya. Marinyo lebih berperan se-bagai pesuruh raja untuk menyampaikan pesan kepada warga.

Manusia pada dasarnya tidak dapat hidup sendiri baik dalam kehidupan bermasyarakat sederhana sampai kepada masyarakat yang kompleks sekalipun. Hidup dalam kelompok untuk saling to-long menoto-long adalah ciri dari manusia. Di Negeri Hutumuri ter-dapat beberapa lembaga sosial masyarakat yang tujuannya adalah sa-ling membantu satu dengan yang lain baik dalam segi keamanan ma-upun untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Di bawah ini akan dije-laskan secara singkat aktivitas dari perkumpulan-perkumpulan sosial atau kegiatan dari lembaga-lembaga sosial yang ada di Hutumuri. Lembaga-lembaga sosial yang dimaksud antara lain Masohi, Muha-beth, Badati, Koperasi, Sasi dan Pela.

(28)

24 Gambar 14.

Aksi Masohi Membangun Rumah

(29)

25 Gambar 15. Gereja Bethlehem

Demi kelancaran pengurusan setiap anggota Muhabeth diwa-jibkan untuk membayar iuran bulanan masing-masing sebesar Rp 10.000 (sepuluh ribu rupiah) per KK. Badan Pengurus Organisasi yang berkecimpung dalam urusan kematian ini terdiri dari ketua, se-kretaris, bendahara seksi tukang dan seksi gali kubur. Di Hutumuri terdapat 5 (lima) buah perkumpulan Muhabeth yaitu Muhabeth Pe-ngasihan, Muhabeth Pucuk Hijau, Muhabeth Pniel, Muhabeth Sinar dan Muhabeth Dorkas di mana rata-rata sebuah perkumpulan Mu-habeth beranggotakan 60 (enam puluh) hingga 120 (Seratus dua pu-luh) KK.

Apabila dahulu di Pulau Seram, masyarakat lokal melaksana-kan aksi badati sagu atau bahan mamelaksana-kanan lainnya maka masyarakat Hutumuri juga melaksanakannya. Badati adalah sistem tolong meno-long dengan cara memberikan bahan makanan atau keperluan lain kepada anggota kelompoknya. Beberapa orang membentuk kelom-pok dan anggota dari masing-masing kelomkelom-pok akan menyumbang-kan keperluan kepada salah seorang anggota yang memerlumenyumbang-kannya baik itu dalam bentuk uang atau bahan makanan. Pada waktunya anggota tersebut akan menyumbangkan bahan yang sama untuk me-nolong anggota yang lain. Jadi semacam sistem arisan.

(30)

di-26

namakan Bak Mandi Badati. Pengadaan bak mandi dilakukan de-ngan cara badati artinya saling menyumbangkan uang sekaligus te-naga untuk pembuatan Bak Mandi Badati dengan air bersih yang bersumber dari mata air gunung dan dibuat secara terpisah untuk pemandian orang laki-laki dan pemandian orang perempuan. Bak Mandi Badati kini menjadi salah satu tempat pertemuan para ibu un-tuk bergosip.

Gambar 16. Bak Mandi Badati

(31)

27 Gambar 17. Koperasi Senyum

Aktivitas koperasi juga berkembang sampai pada melayani pembayaran layanan listrik, Pajak Bumi Dan Bangunan (PBB), seka-ligus berfungsi sebagai bank.

Para pekerja adalah anak-anak negeri sedangkan nasabah ter-besarnya adalah masyarakat Hutumuri. Koperasi Senyum ini telah turut memberdayakan masyarakat setempat sekaligus telah memban-tu pemerintah unmemban-tuk menyiapkan lapangan kerja bagi masyarakat. Bangunan koperasi terlihat meyakinkan.

(32)

28

Saat ibadah minggu dilaksanakan, pendeta mengumumkan pemberlakuan tutup sasi bagi masyarakat dan untuk mengukuhkan tutup sasi itu akan dilakukan doa secara bersama-sama. Praktik se-lanjutnya, kewang dapat melaksanakan tugasnya untuk selalu meng-ontrol jalannya sasi gereja tersebut. Sebagai tanda dilaksanakannya tutup sasi maka pada pohon-pohon yang disasi diberi tanda.

Masyarakat tidak akan berani melanggar sasi karena percaya hukumannya akan menjadi lebih berat karena berhubungan dengan Tuhan Allah yang telah mendengarkan doa dari pendeta yang telah menutup sasi tadi sampai saat waktu buka sasi pendeta kembali akan mengumumkan buka sasi yang diakhiri dengan doa. Bila telah buka sasi warga dapat menikmati kembali buah-buah yang telah disasi itu.

Gambar 18. Simbol Sasi

(33)

29

Jika pela-pela bertemu mereka saling menyapa dengan panggilan ak-rab pela atau gandong, merekapun saling menolong dalam hal mem-bangun fasilitas umum, aktivitas upacara angkat raja dan lain se-bagainya.

3. Sistem Mata Pencaharian

Mata pencaharian penduduk Negeri Hutumuri bervariasi, ada yang menjadi ANS, TNI Polri dan ada juga yang menggeluti bi-dang jasa seperti sopir angkutan kota maupun tukang ojek pekerjaan sebagai ibu rumah tangga kelihatannya cukup mendominasi negeri ini.

Mata pencaharian sebagai petani memang telah digeluti sejak dahulu. Sejak dahulu orang-orang Hutumuri telah menanam ceng-keh dan pala karena mendatangkan hasil keuntungan yang cukup besar. Tanaman yang memproduksi makanan pokok seperti pohon sagu tumbuh di mana-mana. Pohon sagu tidak membutuhkan peme-liharaan khusus tetap dapat menghasilkan isi sagu. Satu buah pohon sagu dapat menghasilkan 10 (sepuluh) hingga 20 (dua puluh) tumang tepung sagu.

Gambar 19.

Tumang Sagu Dengan Tepung Sagu

(34)

30

pauk ikan dan sayur-sayuran. Sayur-sayuran umumnya diperoleh di sekitar kebun rumah misalnya daun kasbi, daun ganemong, terong, daun katuk, daun pepaya dan lain sebagainya.

Gambar 20. Pohon Pepaya

(35)

31 Gambar 21. Sagu Lempeng

Oleh karena Negeri Hutumuri berada di daerah pesisir pan-tai maka lautan luas yang terbentang di muka negeri adalah lahan mencari ikan yang sangat baik. Penduduk negeri ini juga dikenal se-bagai nelayan. Lautan yang luas di hadapan negeri ini menyediakan berbagai jenis ikan yang ditangkap dengan cara-cara tradisional manfaatkan untuk memenuhi kebutuhan sendiri namun jika lebih di-jual antar negeri. Selain ikan lautpun menyediakan kerang, lola, mau-pun teripang.

(36)

32

Mengenai informasi secara jelas tentang jenis-jenis mata pen-caharian penduduk di negeri ini dapat dilihat pada Tabel 4 di bawah ini.

Tabel 4.

Jenis Mata Pencaharian Penduduk Negeri Hutumuri Tahun 2013

No Mata Pencaharian Jumlah (Orang)

1 Petani 702

2 Pelajar atau mahasiswa 770

3 Ibu rumah tangga 917

14 Belum bekerja atau tidak bekerja 891

15 Pengemudi mobil 39

16 Ojek 75

Jumlah 3.994 Sumber: Kantor Negeri Hutumuri 2014

(37)

33

Pengemudi mobil 31 (tiga puluh satu) orang, pedagang sebanyak 35 (tiga puluh lima) orang, TNI Polri sebanyak 20 (dua puluh) orang dan yang menjadi bidan atau tenaga medis lain sebanyak 14 (empat belas) orang.

Di Negeri Hutumuri terdapat juga beberapa orang penduduk yang mengalami cacat fisik sehingga mereka tidak dapat bekerja dan menjadi tanggungan beban keluarga. Secara jelas jumlah penduduk yang cacat dapat dilihat padaTabel 5 di bawah ini.

Tabel 5.

Penduduk Penyandang Cacat Negeri Hutumuri Tahun 2013

Sumber: Kantor Negeri Hutumuri 2014

Mencermati tabel di atas maka diketahui penduduk cacat fisik sebanyak 23 (dua puluh tiga) orang, lumpuh 7 (tujuh) orang dan tuna wicara sebanyak 4 (empat) orang. Para penderita cacat ini berdiam di keluarga-keluarga masing-masing.

Pendidikan merupakan usaha sadar yang dilakukan secara terus menerus dengan maksud untuk mendewasakan ,meningkatkan kecerdasan dan keterampilan peserta didik. Ini berarti bahwa melalui proses pendidikan, masyarakat Hutumuri memperoleh berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat didayakan untuk mening-katkan peradaban sesuai dengan tingkat perkembangan dan kema-juan yang lebih modern. Begitu pentingnya proses pendidikan bagi masyarakat Hutumuri maka telah disiapkan sarana pendidikan mu-lai dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga dengan tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). Gambar 23, 24, 25 dan 26 adalah sarana-sara-na pendidikan yang ada di Hutumuri.

No. Keadaan Cacat Jumlah (Orang)

(38)

34 Gambar 23. TK Hutumuri

Siswa TK Bethlehem umumnya berasal dari anak-anak negeri sendiri. Bangunannya permanen berbentuk empat persegi panjang. Bangunannya terlihat cukup baik namun lingkungan disekitarnya kurang mendukung dalam arti kebersihan kurang mendapat perha-tian utama warga. Jumlah siswa TK adalah sebanyak 57 (lima puluh tujuh) orang terdiri dari siswa laki-laki 28 (dua puluh delapan) orang dan siswa perempuan 29 (dua puluh sembilan) orang, sedangkan gu-ru yang beraktivitas di sana berjumlah 3 (tiga) orang yang semuanya adalah ANS.

(39)

35 Gambar 24.

Sekolah Dasar Kristen I Hutumuri

Untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) terdapat satu buah gedung sekolah yaitu SMP Negeri 8 dengan jumlah siswa sebanyak 248 (dua ratus empat puluh delapan) orang dan jumlah guru 21 (dua puluh satu) orang terdiri dari laki-laki 7 (tujuh) orang dan guru pe-rempuan 14 (empat belas) orang.

(40)

36

Selain gedung TK, SD, SMP, telah tersedia juga gedung Seko-lah Menengah Atas (SMA) yaitu SMA Negeri 8 dengan jumSeko-lah murid 183 (seratus delapan puluh tiga) orang dan orang guru sebanyak 24 (dua puluh empat) orang terdiri dari guru laki-laki 10 (sepuluh) or-ang sedor-angkan guru perempuan 14 (empat belas) oror-ang. Bor-angunan sekolah berada pada ujung negeri, terlihat cukup representatif telah dilengkapi dengan pagar tembok. Gedung sekolah ini letaknya tidak terlalu jauh dari pekuburan negeri.

Gambar 26. SMA Negeri 8 Hutumuri

(41)

37 Gambar 27. Puskesmas Hutumuri

Aktivitas di Puskesmas berlangsung setiap hari dan saat ini Puskesmas juga telah melakukan jasa rawat nginap bagi masyarakat yang langsung ingin dirawat disini. Pemakai jasa bukan saja dari warga setempat tetapi juga dari negeri-negeri disekitarnya.

4. Bahasa

Mengenai bahasa yang digunakan sehari-hari sebagai alat ber-komunikasi antar warga di Hutumuri adalah bahasa Melayu Ambon. Bahasa Melayu ini merupakan bahasa umum yang telah digunakan oleh negeri-negeri pesisiran di pulau Ambon sejak dahulu mengingat di masa VOC bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa perdagangan sekaligus bahasa yang digunakan sebagai alat Pekabaran Injil yang dilakukan oleh pihak Gereja Belanda dengan dukungan VOC setelah Belanda berhasil merebut Benteng Portugis Nostra Senhora de Anun-ciada tahun 1605. (Leirissa R, 1999:85) penyebaran agama Kristen Protestanpun di mulai dan dimasa itu bahasa Melayu Ambon banyak digunakan.

(42)

38

Kemajuan teknologi mengakibatkan komunikasi menjadi sa-ngat lancar sehingga generasi muda di negeri tersebut juga menge-tahui (tidak menggunakan) perkembangan bahasa-bahasa lain seperti “bahasa gaul” yang sering dilihat melalui televisi.

Selain menggunakan bahasa Melayu Ambon selain bahasa In-donesia secara resmi orang-orang Hutumuri juga masih mengenal dan menggunakan bahasa lokal yang sering disebut bahasa tanah. Bahasa lokal ini memang tidak diajarkan secara resmi kepada anak-anak Hutumuri namun setiap kali ada upacara adat misalnya waktu bikin panas pela (menghidupkan kembali hubungan pela agar tetap diingat antar negeri yang berpela) upacara angkat raja, atau upacara perkawinan adat maka bahasa-bahasa lokal ini digunakan orang-orang khusus misalnya raja, kepala adat, kewang dan lain sebagainya sehingga upacara tersebut menjadi sakral. Penggunaan bahasa-ba-hasa lokal tetap digunakan karena diyakini dalam acara-acara seperti itu tete nene moyang (leluhur) hadir sehingga perlu menggunakan bahasa yang demikian agar merekapun turut merestui acara yang se-dang dilaksanakan itu.

(43)

39

BAB III

ALAT MUSIK TRADISIONAL

DI NEGERI HUTUMURI

A. Sejarah Musik Tradisional Di Negeri Hutumuri

Secara umum dapat dikatakan bahwa kesenian melukiskan masalah-masalah yang menyangkut alam semesta, kehidupan sosial dan perasaan serta pikiran manusia dengan cara yang indah atau ar-tistik (Santoso S P, 1980:99). Sastra melukiskannya dengan bahasa, dengan kata-kata yang sudah tentu dapat dimengerti oleh pemilik bahasa itu sendiri,seni tari melukiskannya dengan gerak gerik yang berirama artistik, seni lukis melukiskannya dengan garis-garis (kon-tur), sapuan, warna, dan perpaduan cahaya gelap dan terang, se-dangkan seni musik menyampaikan hal itu dengan menggunakan bunyi atau suara yang disusun sedemikian rupa sehingga langsung masuk ke hati dan umumnya dipelajari secara turun temurun.

Musik tradisional orang Ambon adalah sebuah jenis musik yang lahir dan berkembang dalam tradisi lisan. Ia diwariskan secara turun-temurun (oral tradisional) tanpa dipelajari melalui pendidikan formal. Melalui bunyi-bunyian, orang Ambon mengungkapkan pandangan-pandangannya tentang dunia di sekelilingnya. Jenis mu-sik ini pada mulanya tidak populis karena hanya digunakan pada acara-acara tertentu saja namun dalam memasuki era modern akhir-nya musik ini dapat dikolaborasi menjadi suatu aliran musik yang popular dan familiar karena dapat mengimbangi aliran musik baru.

Adapun sejarah munculnya musik tradisional Orkes Tahuri dikemukakan sebagi berikut. Dalam tahun 1957 Wakil Gubernur La-tumahina berkunjung ke Negeri Hutumuri. Sebagai orang yang

ter-hormat “pembesar” di waktu itu maka masyarakat Hutumuri merasa

senang dan bangga karena itu dibuatlah persiapan untuk menjemput tamu terhormat ini. Dari hasil permufakatan pemerintah negeri dan para tua-tua adat diputuskanlah untuk nantinya mengantar Bapak Latumahina berkunjung ke Negeri Lama yang berada di sekitar Gu-nung Maut, pusat Negeri Hutumuri yaitu Lou Nusa Besi.

(44)

40

tua adat negeri meniupkan kulit bia sebagai tanda pemberitahuan ke-pada seluruh warga negeri sekaligus keke-pada seluruh arwah tete nene moyang (leluhur) bahwa tamu yang dinanti-nantikan telah tiba di Hutumuri. Ketika tahuri atau kulit bia itu ditiup maka serentak di saat itu terdengar pula balasan suara tahuri yang nadanya berbeda-beda berasal dari lima buah gunung yang ada di sekitar negeri lama yaitu Gunung Amaputut tempat tinggal Soa Patihutung, Gunung Eh-ut tempat asal Soa MokihEh-utung, Gunung Totu, berdiam Soa TEh-utu- Tutu-pasar Gunung Nusa Rumang tempat tinggal Soa Puasel dan Gunung Lana tempat tinggal Soa Lapaut. Kelima soa ini merestui kehadiran Bapak Latumahina.

Gunung Amaputut memperdengarkan nada sedang dan ren-dah, Gunung Ehut mengeluarkan nada sedang, Gunung Totu mem-perdengarkan nada-nada sedang sampai rendah (bunyi mi), Gunung Nusu Rumang mengeluarkan nada yang paling rendah (nada do ren-dah) dan dari Gunung Lana mengeluarkan nada yang tinggi atau nyaring. Mendengar ada balasan-balasan bunyi kulit bia dari kelima gunung tersebut Bapak Latumahina sempat terheran-heran sehingga bertanya kepada tua adat Bapak Corneles Sameaputty itu bunyi su-ara apa? Tua adat menjawab bahwa itu susu-ara dari kulit bia yang be-rasal dari kelima gunung tempat tinggal lima leluhur Soa-Soa Negeri Hutumuri.

Gambar 28. Gunung-Gunung Keramat

(45)

41

bahwa ada baikya kulit bia-kulit bia itu dibuat sebagai alat musik. Usai peristiwa itu tua adat Bapak Corneles Sameaputty memanggil Bapak Dominggus Horhoru (almarhum) untuk membuat alat musik dari kulit bia. Demikianlah asal mula masyarakat di Hutumuri me-ngenal dan membuat alat musik tiup kulit bia itu. Sampai saat ini keluarga yang terbiasa untuk memproduksi alat musik tiup itu adalah keluarga Horhoru yang merupakan keturunan dari Bapak Dominggus Horhoru. Produksi alat musik tersebut dilanjutkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Pada saat penelitian ini dilak-sanakan keluarga Bapak Carolis Elias Horhoru generasi kedua dari Bapak Dominggus Horhorulah yang terus melanjutkan musik tradisi-onal tahuri ini.

Pada tahun 1963 orkes musik Hutumuri didirikan dengan na-ma Pela Gandong. Grup Musik Pela Gandong sempat mengikuti aca-ra pembukaan olah aca-raga GANEFO di Jakarta yang langsung dipim-pin oleh Gubernur Maluku Bapak Latumahina. Setelah kembali dari pesta oleh raga GANEFO, Bapak Latumahina menyarankan kepada pelatih agar perangkat musik tersebut diserahkan kepada masya-rakat Amahusu. Menurut beliau, masyamasya-rakat Amahusu juga dapat mengembangkan musik ini. Kenyataannya setelah dua tahun alat-alat musik ini tidak dapat dikembangkan oleh orang-orang Amahusu sehingga ditarik kembali ke Hutumuri dan berkembang hingga se-karang.

Di tahun 1964 ketika Bapak Carolis Elias Horhoru mengikuti suatu upacara adat di Pulau Seram Ia melihat dalam prosesi adat tersebut ada kulit bia yang ditiup oleh tua-tua adat di sana dan ia te-ringat juga kulit-kulit bia di negerinya yang sering digunakan se-bagai alat musik tiup; namun belum mengetahui nama sebenarnya dari kulit bia itu. Setelah bertanya dari salah seorang tua adat disana akhrinya diketahui bahwa nama kulit bia itu adalah Tahuri. Dari si-tulah setelah kembali dari Pulau Seram, ia menggantikan nama Grup Musik Pela Gandong dengan nama Grup Musik Tahuri.

B. Jenis Alat Musik Dan Cara Pembuatannya

(46)

42

berbagai alat musik perkusi dan musik tiup melalaui peemanfaatan bahan-bahan yang diambil dari lautan misalnya pembuatan kulit si-put (triton) sebagi alat musik tiup, kulit perut ikan pari sebagai pe-nutup tifa dan rebana sedangkan suling bambu, badan tifa, jukulele toleng-toleng serta bas air berasal dari bambu, batang pohon kelapa maupun batok kelapa.

Alat-alat musik yang dibeli untuk memperkaya alat musik tradisional antara lain perangkat musik hawaian, totobuang, tambur, klarinet, terompet, simbal, organ dan lain sebagainya. Berbagai alat musik yang dibeli itu sebagian besar telah dianggap sebagi bagian dari musik tradisional orang Ambon. Berikut ini akan diuraikan ten-tang alat-alat musik tersebut serta cara pembuatannya.

Gambar 29. Gong Totobuang

Nama : Gong Totobuang

Ukuran : Tinggi 8 cm, diameter 22,5 cm

Asal : Dibeli

Deskripsi : Terbuat dari tembaga dan cara memainkannya adalah

(47)

43 Gambar 30. Gong Sedang

Gambar 31. Rebana

Gambar 32.

Kolaborasi Musik Rebana Dan Tifa

Nama : Gong Sedang

Ukuran : Tinggi 6 cm, diameter 40 cm

Asal : Pembelian

Deskripsi : Terbuat dari tembaga cara memainkannya dipukul dengan

alat pukul

Nama : Rebana

Ukuran : Tinggi 12 cm

Asal : Dibuat

Deskripsi : Terbuat dari kayu dan genderangnya ditutup dengan kuli

(48)

44

Nama : Suling Bambu

Ukuran : Panjang 55 cm

Asal : Dibuat

Deskripsi : Suling bambu bujur sangat terkenal di daerah Maluku

de-ngan nama floit, yang dapat dimainkan lebih dari 30 (tiga puluh) orang dan dimainkan dalam bentuk akor suara 1, 2, 3, 4. Suling memiliki suara sopran, alto, tenor, dan bass. Je-nis bambu yang sangat baik untuk membuat suling adalah bambu tapir. Bambu berkulit tipis yang sudah tua dan hampir menguning dipotong dan dijemur di tempat yang sejuk sampai kering. Saat akan dibuat lubang bambu yang telah dipotong satu ruas harus diraut dengan api. Kemu-dian dengan besi bulat yang sudah dibakar sampai merah, suling diberi lubang sebanyak 7 (tujuh) buah. Enam buah untuk meletakan jari mencari nada dan satu buah untuk di-tiup. Jarak antara lubang dapat menentukan baik tidaknya bunyi suling. Pada ujung lubang tiup harus disumbat de-ngan sepotong gaba-gaba (dahan sagu). Digunakan untuk musik penyambutan tamu, pengiring orkes, resepsi, dan pengiring lagu gerejawi. Selain itu suling dapat dipadukan dengan alat musik tradisional lain maupun alat musik mo-dern.

Deskripsi : Suling vertikal atau suling lintang adalah jenis suling

(49)

45

Gambar 34. Tifa

Gambar 35. Tahuri

Nama : Tifa

Ukuran : Panjang 31 cm, diameter 20 cm

Asal : Dibuat

Deskripsi : Modelnya bulat pendek dengan anyaman ikatan tali rotan

serta bidang pukul terbuat dari kulit kambing. Sejak da-hulu hingga kini berfungsi sebagai alat komunikasi, pe-ngiring tari-tarian, pertandingan perahu belang atau ar-umbai dan pengiring musik.

Nama : Kulit Siput/Tahuri (Tritonis)

Ukuran : Panjang 47 cm

Asal : Dibuat

Deskripsi : Jenis siput ini sangat baik k dibuatkan sebagai alat

(50)

46 Gambar 36.

Jukulele

Gambar 37. Rumba

Nama : Jukulele

Ukuran : Panjang 58 cm

Asal : Dibuat

Deskripsi : Jukulele atau juk adalah alat musik yang terbuat dari

ba-tok kelapa sebelah. Isinya dilepas kemudian dibuatkan tempat memasang grif serta dipasang 4 (empat) senar at-au tali nilon sebagai alat petik. Awalnya milik bangsa Portugis namun telah menjadi milik orang Ambon. Ber-fungsi sebagai pengiring musik hawaian. Modifikasi ju-kulele kayu ke batok kelapa merupakan kreasi masya-rakat setempat.

Nama : Rumba

Ukuran : Panjang 58 cm

Asal : Dibuat

Deskripsi : Alat musik ritmis terdiri dari dua berbentuk bulat dan

(51)

47 Gambar 38.

Hawaian

Nama : Hawaian

Ukuran : Panjang 92,5 cm, lebar 12,5 cm

Asal : Dibeli

Deskripsi : Hawaian terbuat dari kayu memilkiki 8 (delapan) dawai

(52)

48 Gambar 39.

Kleper

Gambar 40. Toleng-Toleng

Nama : Kleper

Ukuran : Panjang 20 cm, lebar 5 cm

Asal : Dibuat

Deskripsi : Bambu dengan ukuran yang telah ditentukan itu dibelah

menjadi 2 (dua) belah di mana salah satu bagiannya dira-ut berbentuk bulat. Cara memainkannya diletakkan di antara jari-jari manis, tengah dan telunjuk kemudian dihentak-hentak sehingga menimbulkan irama tertentu. Kleper digunakan juga untuk mengiringi Tahuri.

Nama : Toleng-Toleng

Ukuran : Panjang 60 cm, diameter 20 cm

Asal : Dibuat

Deskripsi : Setelah bambu dibersihkan dan dikeringkan, maka

(53)

49 Gambar 41. Bambu Gesek

Nama : Bambu Gesek

Ukuran : Panjang 60 cm, diameter 20 cm

Asal : Dibuat

Deskripsi : Cara membuatnya sama seperti membuat

(54)

50 Gambar 42.

Tifa Kecil

Nama : Tifa Kecil

Ukuran : Panjang 60 cm, diameter 20 cm

Asal : Dibuat

Deskripsi : Tifa kecil dipegang pada tangan kiri kemudian tangan

(55)

51 Gambar 43. Suling Bambu

Nama : Suling Bambu

Ukuran : Panjang 45 cm, diameter 2 cm

Asal : Dibuat

Deskripsi : Bambu yang telah dipotong diberi lubang sebanyak 7

(56)

52 Gambar 44.

Bas Air

Nama : Bas Air

Ukuran : -

Asal : Dibuat

Deskripsi : Bas air terdiri dari dua potong ruas bambu. Ruas bambu

(57)

53 Gambar 45.

Biola

Gambar 46. Tambur Dan Simbal

Nama : Biola

Ukuran : -

Asal : Dibeli

Deskripsi : Diletakkan di atas bahu muka sebelah kiri, yang

disang-gah atau dijepit dengan wajah yang diarahkan ke bawah dagu. Tangan kanan memegang alat gesek sementara jari-jari tangan kiri berada di atas senar-senar biola ter-sebut. Ketika alat gesek diletakan di atas senar dan dige-rakkan ke atas dan ke bawah maka biola akan menge-luarkan nada yang kemudian disesuaikan dengan per-mainan jari-jari tangan sehingga mengeluarkan nada yang diinginkan.

Nama : Tambur dan Simbal

Ukuran : -

Asal : Dibeli

Deskripsi : Alat musik pukul sedangkan untuk memainkan simbal

(58)

54

Gambar 47. Klarinet

Gambar 48. Gitar

Nama : Klarinet

Ukuran : -

Asal : Dibeli

Deskripsi : Alat musik ini merupakan alat musik tiup modern.

Nama : Gitar

Ukuran : -

Asal : Dibeli

(59)

55 Gambar 49.

Organ

Gambar 50. Totobuang Dan Gong

Nama : Organ

Ukuran : -

Asal : Dibeli

Deskripsi : Nada di atas tuts disentuh dengan gerakan-gerakan

ta-ngan yang membentuk kunci tangga nada sehingga me-nghasilkan bunyi yang diinginkan.

Nama : Totobuang dan Gong

Ukuran : -

Asal : Dibeli

Deskripsi : Totobuang dipukul dengan berdiri sesuai nada-nada

(60)

56 Gambar 51.

Terompet

C. Pemanfaatan Musik Tradisional Dalam Masyarakat Hutumuri

Seni musik pada dasarnya adalah suatu pengungkapan atau penyampaian sesuatu hal secara artistik yang mengandung pernya-taan atas pergulatan hidup manusia. Bermain musik bagi orang Am-bon sesungguhnya bukan sekadar keisengan atau pelontaran naluri-naluri rendah tanpa kontrol tetapi merupakan ekspresi ungkapan ji-wa kehidupan orang yang memainkannya.

Ekspresi tersebut menyangkut pemaknaan dirinya terhadap lingkungan disekitarnya, ungkapan hati saat berada dalam keadaan bersukacita atau berduka ataupun di saat sedang berada dalam si-tuasi acara formal. Musik dalam kehidupan masyarakat Ambon bu-kanlah sesuatu yang baru tetapi telah melekat sejak dahulu sehingga orang luar menganggap semua orang ambon itu pandai bernyanyi atau pandai bermain musik. Hal ini memang tidak dapat disalahkan oleh karena umumnya orang-orang Ambon telah dianugerahi suara yang merdu dan bakat bermain musik dari sang pencipta, dalam situasi dan kondisi apa sekalipun musik selalu ada. Itulah sebabnya telah menjadi tradisi di mana-mana orang Ambon didaulat untuk bernyanyi atau bermain musik.

Orang-orang Ambon biasanya memanfaatkan musik (tradisi-onal) dalam berbagai kesempatan antara lain dalam acara-acara pesta keluarga, pesta negeri, upacara adat, ibadah, bahkan dalam suasana dukacita. Alat-alat yang digunakanpun sederhana mulai dari

toleng-Nama : Terompet

Ukuran : -

Asal : Dibeli

(61)

57

toleng, kleper hingga suling bambu. Tidak heran dari jauh di tengah-tengah laut kita dapat mendengar suara pantun berbalas pantun, berdendang dan menabuh tifa tanda para nelayan sedang mencari ikan di laut dengan bersukacita; demikianpun di tengah-tengah hu-tan belantara tiba-tiba terdengar bunyi pukulan toleng-toleng hu-tanda ada seseorang di tengah hutan sedang memukul toleng-toleng deng-an irama tertentu menutupi kesunyideng-an hutdeng-an. Dalam perkembdeng-angdeng-an selanjutnya musik-musik tradisional itu tetap masih dipertahankan. Berikut ini akan dijelaskan pemanfaatan musik-musik tradisional da-lam kehidupan masyarakat Ambon.

1. Pemanfaatan Musik Tradisional Dalam Ibadah

Di waktu dahulu orkes suling bambu adalah satu-satunya gr-up musik dalam ibadah (jemaat) yang dimanfaatkan gereja-gereja sebagai pengiring lagu dalam ibadah. Untuk lebih memantapkan pe-rannya keberadaan orkes suling bambu ini dimasukkan dalam str-uktur organisasi gereja bersama-sama dengan perkumpulan Muha-beth. Walaupun kedudukan orkes suling bambu telah berada dalam organisasi gereja kenyataannya pemerintah negeri tetap memanfa-atkan orkes suling bambu untuk menunjang kegiatan-kegiatan peme-rintahan misalnya menghibur tamu-tamu kehormatan di rumah raja atau menyambut kedatangan tamu-tamu terhormat di negeri. Kea-daan ini menunjukkan bahwa musik tradisional bukan saja diman-faatkan demi kepentingan rohani namun juga kepentingan pemerin-tahan.

Gambar 52.

(62)

58

Begitu pentingnya orkes suling bambu dalam kehidupan masyarakat maka musik tradisional itu dimasukkan dalam stuktur organisasi ge-reja seperti terlihat di bawah ini.

Tabel 6. Struktur Jemaat .

Sumber: Cooley,1999:283

Sejalan dengan pemanfaatan musik tradisional di waktu da-hulu kebutuhan akan musik itu cukup memusingkan dan dapat menimbulkan perselisihan antara kepentingan gereja dan kepen-tingan pemerintah negeri. Pada waktu bersamaan misalnya Gereja dengan Pemerintah Negeri ingin memanfaatkan orkes suling bambu, saat raja meminta orkes suling bambu untuk mengisi suatu acara sipil pada waktu yang sama pula orkes suling bambu juga harus melayani ibadah di gereja. Untuk mengatasi hal ini Gereja Protestan Hindia Belanda dan Residen Maluku Tengah membuat sebuah Surat Keputusan bersama dimana pada Pasal 12 dalam Surat Keputusan itu dijelaskan tentang Hubungan Antara Desa-Desa dan Jemaat Kristen Pribumi di Maluku yang masuk dalam Gereja Protestan yang dinya-takan bahwa perselisihan yang timbul dari peraturan-peraturan ini dan yang menyangkut orkes suling bambu akan diputuskan dalam perundingan antara Kepala Pemerintahan Daerah dan Pengurus Ge-reja di Ambon dan pada akhirnya persoalan kepentingan ini dapat diredakan (Cooley, 1999:283). Demikian keadaannya hingga sekara-ng ini orkes sulisekara-ng bambu umumnya di bawah pembinaan gereja.

Di Negeri Hutumuri, orkes suling bambu mendapat jadwal untuk melyani jemaat dalam pelayanan ibadah minggu. Sebagai

Majelis Jemaat

Kelompok Katekis Kelompok Pemuda Sekolah Minggu

Kelompok Pekabaran Injil

Paduan Suara Orkes Suling

Muhabeth

(63)

59

lagu-lagu pengantar jemaat, orkes suling bambu melatih lagu-lagu yang bersumber dari buku-buku nyanyian PKJ, Kidung Jemaat, Nya-nyian Rohani maupun NyaNya-nyian Gereja Protestan Maluku. Latihan orkes suling untuk mengantar jemaat dalam ibadah biasanya dilaku-kan setiap hari jumat malam. Sejalan dengan tuntutan zaman, di saat ini Gereja Protestan Maluku juga tidak dapat menutup diri dengan adanya perangkat musik modern yang juga dapat digunakan untuk mengiringi lagu-lagu gerejawi.

2. Pemanfaatan Musik Tradisional Dalam Acara Hiburan

Musik tradisional bukan saja dimanfaatkan dalam acara peri-badatan tetapi juga dapat dimanfaatkan sebagai sarana hiburan mi-salnya ketika ada jamuan makam malam tamu-tamu pemerintah daerah di mana tamu-tamu itu disuguhi dengan musik khas orang Ambon. Meskipun penampilan telah menggunakan gaya busana mo-dern namun alat musik dan lagu yang dibawakan adalah lagu-lagu daerah. Baniang hitam yang biasa digunakan ketika mengiringi mu-sik grejawi dapat diganti dengan busana modern yaitu baniang me-rah, celana putih dan sepatu putih.

3. Pemanfaatan Musik Tradisional Dalam Ibadah Kedukaan

Dahulu apabila ada anggota keluarga yang meninggal maka malam hari diadakan ibadah penghiburan. Istilahnya mele-mele, me-nemani keluarga yang sedang berduka. Ibadah singkat dilaksanakan dipimpin oleh seorang pendeta didampingi majelis bertugas. Orkes suling bambu akan ibadah penghiburan itu dengan lagu-lagu peng-hiburan. Biasanya walaupun ibadah telah usia orkes suling bambu jemaat akan terus memainkan lagu-lagu yang bersumber dari buku-buku nyanyian jemaat hingga larut malam. Keesokan harinya pada saat acara ibadah pemakaman tiba orkes suling bambu kembali aktif mengiringi ibadah pemakaman yaitu dari ibadah di rumah sampai mengantar jenazah ke kubur.

(64)

60

teman-teman akan datang untuk bernyanyi, berdoa dan membaca Alkitab diiringi dengan orkes suling bambu. Upacara ini biasa di-sebut malam ke tiga.

Sesuai dengan perkembangan zaman dan tuntutan kesibukan masyarakat maka aktivitas berjaga-jaga itu telah diganti dengan iba-dah syukur usai pemakaman. Para pelayat diminta untuk kembali ke rumah duka untuk melakukan ibadah singkat tetap dengan iringan musik suling bambu atau musik terompet. Nampaknya upacara ma-lam ke tiga yang merupakan tradisi orang Ambon sudah tidak ter-pelihara lagi dan ini menunjukkan sisa-sisa kepercayaan lama se-makin lemah oleh pergantian zaman dan Gereja Protestan Maluku semakin kuat dan dewasa (Cooley, 1987:297). Jika di waktu dahulu musik suling bambu selalu digunakan untuk mengiringi acara pe-nguburan saat ini lebih banyak diganti oleh orkes grup terompet mi-lik jemaat.

4. Pemanfaatan Musik Tradisional Dalam Acara Resmi

(65)

61 Gambar 53.

Orkestra Tahuri Menyambut Tamu

(66)

62

BAB IV

PERKEMBANGAN MUSIK

TRADISIONAL DAN

TANTANGANNYA DI MASA KINI

A. Musik Tradisional Sebagai Objek Wisata Budaya

Tidak dapat disangkal bahwa pariwisata telah menjadi nafas dan urat nadi pembangunan di Indonesia. Pariwisata adalah kegiatan yang secara langsung menyentuh dan melibatkan masyarakat se-hingga membawa berbagai dampak terhadap masyarakat setempat. Tujuan pengembangan pariwisata di Indonesia terlihat dalam Ins-truksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1969 khususnya Pasal 3 yang menyebutkan “Usaha-usaha pariwisata di Indonesia bersifat suatu pengembangan “Industri” dan merupakan bagian dari usaha dan pembangunan serta kesejahteraan masyarakat dan Ne-gara” (Sawitri, 2009:46). Berdasarkan Inpres tersebut dikatakan bah-wa tujuan pengembangan pariwisata di Indonesia adalah sebagai be-rikut:

Meningkatkan pendapatan devisa pada khususnya dan pendapatan Negara dan masyarakat pada umumnya, perluasan kesempatan kerja dan mendorong kegiatan-kegiatan industri penunjang dan industri-industri sampingan.

Memperkenalkan dan mendayagunakan keindahan alam dan kebudayaan

Indonesia.

Meningkatkan persaudaraan atau persahabatan nasional dan internasio-nal

Sejak tahun 2008 hingga tahun 2013, Pemerintah Maluku telah menempatkan sektor pariwisata (sektor unggulan) dalam rangka mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat di Maluku.

(67)

63

Musik tifa dan totobuang saat ini hampir selalu menghiasi acara-acar hiburan baik saat penerimaan tamu-tamu kehormatan namun juga saat acara-acara hiburan rakyat. Bahkan saat ini para seniman di Kota Ambon bukan saja menggabungkan musik tifa dan totobuang tetapi juga telah mengkolaborasinya dengan berbagai mu-sik tiup seperti mumu-sik tiup tahuri maupun mumu-sik suling bambu. Tam-pilan gambar di bawah ini mempertontonkan acara seni musik tra-disional di lokasi Gong Perdamaian Dunia ketika dilaksanakannya even internasional Sail Banda 2010 oleh Pemerintah Daerah Maluku yang menarik perhatian wisatawan dalam dan luar negeri.

Gambar 54.

Kolaborasi Musik Tifa Daya Tarik Wisata Budaya

Pulau Ambon memiliki banyak objek sejarah dan budaya yang dapat dikembangkan menjadi salah satu daya tarik wisata. Satu di antaranya musik tradisional yang saat ini ada di Negeri Hutumuri. Grup musik tahuri di Negeri Hutumuri sesungguhnya memiliki po-tensi yang besar untuk dikembangkan menjadi salah satu daya tarik objek wisata budaya di Pulau Ambon. Hal ini dibuktikan dengan telah seringnya grup ini mengadakan pertunjukan saat dilaksana-kannya even-even khusus di Kota Ambon yang berskala lokal mau-pun berskala internasional.

(68)

64

2012 di Kota Ambon, sedangkan untuk even nasional antara lain se-bagai tim kesenian Maluku dalam meramaikan acara pesta olahraga GANEFO di Jakarta tahun 1963, pentas musik dalam acara Peresmian Kapal Pelni Hutumuri di Lanal Halong, terlibat dalam acara pelan-tikan raja di Negeri Hutumuri, meresmikan Purna Pugar Gereja Hu-tumuri oleh Gubernur Maluku dan sering diundang untuk mengisi acara ibadah di berbagai gereja di Kota Ambon.

Gambar 55.

Pentas Grup Tahuri JICA Jepang Di Baileo Oikumene

Menurut pimpinan sanggar Bapak Carolis Elias Horhoru bila-mana grup musik ini diundang untuk sebuah pertunjukan akan me-minta bayaran sekitar Rp 3.000.000 (tiga juta rupiah) hingga Rp 5.000.000 (lima juta rupiah). Uang yang diperoleh kemudian dibagi-bagikan sekadar untuk membeli buku bagi anggota-anggotanya yang terbesar yaitu siswa SMP dan SMA. Untuk membeli pakaain saat ac-ara pertunjukan biasanya mereka akan menggunakan pakaian-pa-kaian yang pernah disumbangkan secara pribadi, misalnya sumba-ngan dari Ibu Sophie Ralahalu (Istri mantan Gubernur Maluku). Un-tuk membeli pakaian seragam dari hasil pertunjukan belum pernah dilakukan karena tidak cukup.

(69)

65

Istilah berkelanjutan dimaksudkan meliputi keberlanjutan so-sial budaya, keberlanjutan lingkungan, maupun keberlanjutan ekono-mi. Nampak dengan jelas penanganan masih secara sederhana dan sifatnya masih insidentil artinya belum diatur dengan baik agar ada pertunjukan yang rutin dan memiliki bobot pertunjukan. Di pihak lain pertunjukan ini harus dinilai dari sisi ekonomis sehingga mem-bawa keuntungan bagi pemilik dan pemain.

Selain musik tiup tahuri dan suling bambu ada juga jenis mu-sik tradisional lain di lingkungan masyarakat Ambon yaitu mumu-sik tradisional totobuang. Totobuang sebagai salah satu alat musik pukul yang telah dikenal sejak dahulu kala dan dikenal jauh sebelum ma-suknya orang-orang Eropa ke Maluku. Ketika Pulau Ambon menjadi pusat perdagangan cengkeh pedagang-pedagang Islam yang datang dari Jawa dan Sumatera sekaligus membawa dagangan mereka se-perti keramik, dan gong. Dalam perkembangan selanjutnya orang-orang Ambon mengenal musik totobuang hingga sekarang. Sebagai pelengkap dari totobuang adalah tifa dan gong. Semakin banyak tifa yang digunakan untuk mendampingi totobuang maka suara yang di-perdengarkan akan semakin ramai. Oleh karena itu musik totobuang biasanya disebut musik tifa totobuang.

Totobuang saat ini masih digunakan untuk menari lenso, me-nyambut tamu kehormatan, dan mengiringi pengantin. Bunyi khas-nya yaitu keras dan dinamis sehingga bakhas-nyak orang tergerak hatikhas-nya untuk melihat secara langsung bahkan ikut menari bersamanya.

Gambar 56. Musik Tifa Totobuang

(70)

66

musik totobuang juga telah dipromosikan sampai ke luar kebu-dayaan dari masing-masing suku-suku bangsa yang ada di Maluku salah satunya adalah suku bangsa Ambon dengan musik totobuang yang sekaligus dapat digunakan untuk mengiringi tari lenso (sapu tangan) yaitu tarian pergaulan bahkan oleh seniman di Kota Ambon musik tradisional totobuang ini telah dikolaborsi dengan musik ber-nuansa Islami yaitu Hadrat.

Gambar 57. Musik Hadrat

Melalui perpaduan kedua musik tradisional masing-masing totobuang dan hadrat maka kini telah diciptakan sebuah tarian kreasi baru yaitu tari lenso dan tari sawat dengan musik pengiring tifa totobuang dan musik hadrat. Melalui kolaborasi dua jenis musik ini maka kelihatan juga ada perpaduan dua aliran kepercayaan yaitu to-tobuang cenderung bernuansa Eropa atau Kristen sedangkan tari sa-wat bernuansa Melayu Islam.

(71)

67 Gambar 59.

Tari Sawat

Kolaborasi dua jenis musik dan dua tarian pergaulan ini sangat menarik untuk ditonton. Bilamana dua aliran musik ini di-kelola dengan baik maka akan memperkaya aneka ragam seni buda-ya orang Ambon. Dalam tahun 2011 musik totobuang sebagai salah satu musik tradisional orang-orang Ambon diperkenalkan pada ma-syarakat Australia di Darwin Australia dalam sebuah acara Maluku Night.

Gambar 60.

Maluku Night Di Darwin Australia

(72)

68

Gambar 61. Grup Musik Hawaian

Dewasa ini orkes musik hawaian belum terlalu banyak dige-mari oleh generasi muda sehingga setiap tahunnya Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Maluku melaksanakan festival musik ha-waian yang tujuannya selain untuk mengembangkannya, mempopu-larkannya di kalangan generasi muda, dan menjadikannya sebagai salah satu daya tarik objek wisata budaya. Tindakan ini sekaligus ju-ga melestarikan salah satu jenis musik tradisional orang Ambon dari bahaya kepunahan akibat masuknya musik-musik modern yang cen-derung lebih digemari oleh generasi muda di Kota Ambon.

B. Pengaruh Musik Modern Dalam Musik Tradisional

Kesenian dengan salah satu unsurnya yaitu seni musik sejak dahulu telah dikenal oleh orang-orang Ambon. Hal ini dapat dibuk-tikan dari adanya kapata dan lani (e) yang sering dibawakan dalam acara-acara ritual magis. Kapata yaitu nyanyian dengan bahasa lokal atau bahasa tanah. Disebut bahasa tanah oleh karena kapata itu me-rupakan nyanyian asli masyarakat setempat yang isinya mencerita-kan suatu peristiwa sejarah yang perlu diketahui oleh anak cucu yang pernah terjadi atas diri leluhur mereka. Adapun lani atau lane yaitu nyanyian yang mengisahkan peristiwa sedih biasanya tentang pengkhianatan yang merugikan banyak orang.

(73)

di-69

nyanyikan menghasilkan suatu irama lagu dan musik khas. Keahlian dalam seni suara dapat didengar ketika mereka melagukan syair-sya-ir kapata.

Kapata dalam aspek musikologi adalah bentuk lagu dan nada yang terdiri dari lima buah nada yaitu dimulai dari nada (1) do sam-pai dengan (5) yaitu sol. Kapata adalah bentuk lagu dan tangga nada pentatonik. Tangga nada pentatonik adalah salah satu ciri dari nya-nyian rakyat di Maluku (Tamaela dalam Rumahuru, 2012:59). Kapata menggunakan tempo yang lambat dengan irama tifa sedangkan eks-presinya penuh perasaan bahkan sering kali yang membawakannya mengeluarkan air mata. Ritme yang digunakan adalah isoritme yaitu satu pola ritme pendek yang dimainkan berulang-ulang (Rumahuru Z, 2012:59).

Selain kapata dan lani, orang-orang Ambon juga senang de-ngan lagu-lagu bebas yang sifatnya gembira menggambarkan pujian terhadap alam dan kekayaannya sering dilagukan oleh seorang atau sekelompok pemuda ketika sedang beristirahat di kebun atau di tepi pantai. Sebagai pengiring lagu cukup digunakan tifa atau toleng-toleng yang sesungguhnya dimanfaatkan sebagai alat berkomunikasi di hutan atau di kebun sekaligus alat untuk mengusir burung-burung yang datang untuk mematok tanaman jagung. Jika berada di laut syair-syair lagu yang diperdengarkan ditingkahi dengan bunyi ketukan-ketukan panggayo yang diatur dengan ritme tertentu sede-mikian rupa sebagai pengiring lagu. Untuk sebuah acara gembira seperti pesta negeri atu, pesta keluarga maka tifa menjadi alat musik yang sangat digemari karena ketika dipukul akan mengeluarkan ir-ama gembira yang sangat kental di telinga setiap orang sehingga spo-ntan orang akan tergerak hatinya untuk menyaksikan acara itu. Seni musik orang-orang Ambon dengan seperangkat alat musik tradisio-nal seperti tifa, suling bambu dan tahuri (alat tiup dari kulit siput at-au kulit bia) kemudian mendapat pengaruh dari seni budaya pen-datang dari nusantara lainnya termasuk juga seni budaya Islam dan Eropa.

(74)

te-70

tap terpelihara berjalan sebagaimana adanya. Tetapi sesuai dengan perkembangan politik kebudayaan maka unsur-unsur barat lalu mendapat tempat yang utama terutama bagi masyarakat di kota.

Lagu-lagu asli yang mengandung nilai-nilai historis yang ber-sifat tradisional itu mulai dipengaruhi lagu-lagu yang mengandung perasaan gembira. Kapata yang melankolis mulai diimbangi dengan munculnya lagu-lagu bernada gembira maupun lagu-lagu bertema percintaan.

Dengan adanya kontak dengan dunia luar terutama dengan masyarakat Indonesia lainnya maka alat musik tradisional seperti su-ling bambu, tifa, tahuri diperkaya dengan gong dan totobuang, ma-upun dengan alat-alat musik dari Eropa seperti biola, triangle, har-monika, gitar, ukulele, sasando serta alat-alat tiup dari logam. Hal ini tidak mengherankan mengingat Portugis dan Belanda menetap di Maluku hampir dua abad lebih dan telah membawa perubahan sosial kultural baru termasuk dalam bidang seni musik, mulailah diperke-nalkan alat musik biola, gitar, triangle yang biasanya digunakan un-tuk mengiringi tari katereji.

Gambar 62. Tari Katereji

(75)

mun-71

cul maningkoor, yang terlibat dalam acara ibadah setiap minggunya. Pada hari-hari besar keagamaan misalnya hari Natal atau Tahun Baru maka biasanya musik-musik tradisional suling bambu akan dikola-borasi dengan alat musik tambur yang tersimpan di dalam gereja. Tambur dengan ukuran besar ini akan dipukul bersama-sama de-ngan simbal sehingga menghasilkan suara yang khas.

Pengaruh musik modern terhadap musik tradisional terasa sa-ngat kental dalam peribadatan (aliran agama Kristen). Jika di waktu dahulu ibadah gereja hanya diisi dengan paduan suara dan musik suling bambu kini sesuai dengan perkembangan maningkoor ber-kembang menjadi paduan-paduan suara. Di Hutumuri terdapat 5 (li-ma) kelompok paduan suara yang secara berganti-ganti mengisi ac-ara saat ibadah minggu atau saat dilaksanakan acac-ara sipil pemerin-tahan. Paduan-paduan suara yang dahulunya menyanyi tanpa diiri-ngi dengan musik tetapi hanya dipimpin oleh seorang tukang palu ki-ni paduan suara telah diirigi dengan musik-musik modern seperti organ atau grup band yang dipimpin oleh seorang dirijen musik.

Gambar 63. Paduan Suara Di Gereja

Gambar

Gambar 1. Totem Klan 5 Soa Di Hutumuri
Gambar 2. Totem Soa Lapaut Di Dalam Koivrong
Gambar 3. Jalan Utama Di Negeri Hutumuri
Gambar 5. Binatang Piaraan Di Negeri Hutumuri
+7

Referensi

Dokumen terkait

mempelajari bahan-bahan etnografi tentang suku-suku bangsa di luar Eropa, mempelajari. kebudayaan dan kebiasaannya, untuk kepentingan

tradisional pada pclaksanaan upacara a dat istiadat masyarakat suku Karo. Jenis alat musik yang biasa digunakan masyarakat suku Karo pada upacara adat

Berikut daftar bagian batang tumbuhan yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan alat musik tradisional khas suku Dayak.. Daftar Tumbuhan

Gendang termasuk alat musik yang berasal dari daerah Yogyakarta yang memiliki jenis bunyi yaitu Ideofon, adapun penggunaannya yakni dengan cara ditepuk memakai telapak tangan pada

Alat musik Accordion berasal dari daerah Sumatera Selatan yang memiliki jenis bunyi Aerofon, cara penggunaannya yaitu dengan memakai kedua tangan kita, pada

a. Mengidentifikasi alat musik tradisional yang ada di daerah kita. Setiap daerah pasti memiliki alat musik tradisional, sebagai pewaris dan generasi penerus kita

Gambang Camar 9..  0lat musik ini terbuat dari kayu dan logam. +ambang 2amar termasuk jenis alat musik silofon, yang terdiri dari enam bilah kayu hitam yang ditempatkan pada rak

xiii ABSTRAK PENGENALAN ALAT MUSIK TRADISIONAL LAMPUNG MENGGUNAKAN AUGMENTED REALITY BERBASIS ANDROID STUDI KASUS: SDN 1 RANGAI TRI TUNGGAL LAMPUNG SELATAN Oleh : NIKO RIANTO