• Tidak ada hasil yang ditemukan

TUGAS EKSEKUSI PERDATA FAKULTAS HUKUM DA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TUGAS EKSEKUSI PERDATA FAKULTAS HUKUM DA"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS EKSEKUSI PERDATA

TUGAS PAPER TENTANG EKSEKUSI DWANGSOM

Disusun Oleh :

Kelompok :

1. Hermawan L.B 13.20.0013

2. Yoel Adi utomo 14.C1.0032

FAKULTAS HUKUM DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA

(2)

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dwangsom berasal dari Bahasa Belanda yang artinya uang paksa. Dwangsom (uang paksa) yaitu hakim menetapkan suatu hukuman tambahan kepada si terhukum untuk membayar sejumlah uang kepada si penggugat didalam hal ini terhukum tersebut tidak memenuhi hukuman pokok, hukuman tambahan dimana dimaksudkan untuk menekan agar si terhukum tersebut memenuhi hukuman pokok secara sukarela (vrijwiling).

Masalah Dwangsom atau uang paksa di Indonesia tidak diatur dalam HIR maupun Rbg. Sewaktu berlakunya Rv dwangsom diatur dalam Pasal 606a Rv bahwa “ sepanjang suatu keputusan hakim mengandung hukuman untuk sesuatu yang lain dari pada pembayar sejumlah uang, maka dapat ditentukan bahwa sepanjang atau setiap kali terhukum tidak memenuhi hukuman tersebut, olehnya harus diserahkan sejumlah uang yang besarnya ditetapkan dalam keputusan hakim, dan uang tersebut dinamakan uang paksa”. Dan dalam pasal 606b Rv bahwa “Bila putusan tersebut tidak dipenuhi, maka pihak lawan dari terhukum berwenang untuk melaksanakan putusan terhadap sejumlah uang paksa yang telah ditentukan tanpa terlebih dahulu memperoleh alas hak baru menurut hukum”

(3)

tersebut sering ditemukan hal-hal yang tidak tepat. Hal ini mungkin karena ketentuan hukum perundang-undangan kita tidak mengaturnya. Dwangsom tidak sama dengan ganti rugi, yang masing-masing harus diatur tersendiri. Peraturan tentang dwangsom ini diundangkan oleh Menteri Kehakiman Belanda pada saat itu Mr. J.Donner pada tanggal 29 Desember 1932 di dalam Stb. no. 676 yaitu ketentuan-ketentuan BRv ditambah dengan pasal 611 b. Rumusan kedua pasal inilah yang kemudian dimasukkan ke dalam BRv yang berlaku di Indonesia yaitu dengan Stb. 1938 No. 360 yang dahulu dikenal dengan pasal 606 a dan pasal 606 b.

Putusan hakim yang bersifat Condemnatoir saja yang dapat di eksekusi. Hal ini berarti bahwa hanya putusan akhir dari hakim yang berisi suatu perintah yang dapat dilaksanakan.

Putusan itu mengandung suatu perintah atau yang lazim disebut putusan Kondemnatoir. Perintah dalam putusan tersebut bisa berupa: (1)Menyerahkan sesuatu; (2)Mengosongkan; (3)Melakukan sesuatu; (4)Tidak melakukan sesuatu; (5)Menghentikan suatu perbuatan; atau (6)Membayar sejumlah uang.

Tata cara pelaksanaan putusan terhadap Tergugat yang tidak menjalankan putusan dengan sukarela, adalah dengan melakukan pemaksaan terhadap Tergugat setelah Tergugat menerima peringatan (aan maaning) dari hakim dan menanggapi peringatan (aan maaning) tersebut, atau dengan menerpakan tuntutan uang paksa (dwangsom) untuk menekan secara psikologis terhadap Tergugat agar melaksanakan putusan Hakim dengan sukarela dan sewajarnya.

(4)

ada dwangsom jika tidak ada hukuman pokok , artinya dwangsome harus selalu mengikuti hukuman poko dengan kata lain bahwa dwangsome tidak mungkin dijatuhkan tanpa hukuman pokok; (2) merupakan Hukuman Tambahan, Apabila hukuman pokok yang diterapkan oleh hakim tidak dipenuhi oleh tergugat dengan sukarela maka dwangsome diperlukan, apabila dwangsom telah dilaksanakan tidaklah berarti bahwa hukuman pokok telah hapus; (3) merupakan Tekanan psychis bagi terhukum Terhukum ditekan secara psychis agar ia dengan sukarela memenuhi hukuman pokok yang ditetapkan oleh hakim bersama dengan dwangsom (uang paksa) tersebut.

B. Rumusan Masalah

1. Fungsi dwangsom.

2. Penetapan dwangsom.

3. Tata cara eksekusi dwangsom.

4. Efektivitas dwangsom sebagai upaya paksaan tidak langsung.

BAB II

PEMBAHASAN

(5)

Dwangsom (uang paksa) merupakan hukuman yang ditetapkan oleh hakim kepada terhukum untuk membayar sejumlah uang kepada si penggugat karena terhukum tidak memenuhi hukuman pokok.Dwangsom ditunjukan untuk menekan terhukum agar memenuhi hukuman pokok secara sukarela (vrijwling).Dwangsom di indonesia tidak diatur dalam HIR atau RBG,tetapi sewaktu dwangsom ditetapkan diatur dalam pasal 606a bahwa “sepanjang suatu keputusan hakim mengandung hukuman untuk sesuatu yang lain dari pada membayar sejumlah uang,maka dapat ditentukan bahwa sepanjang atau setiap kali terhukum tidak memenuhi hukuman tersebut,olehnya harus diserahkan sejumah uang yang besarnya ditetapkan dalam keputusan hakim dan uang tersebut dinamakan uang paksa”.

Sifat-Sifat Dwangsom: 1.Accesoir

Yaitu tidak ada dwangsom jika tidak ada hukuman pokok,artinya dwangsom harus selalu mengikuti hukuman pokok dengan kata lain bahwa dwangsom tidak mungkin dijatuhkan tanpa hukuman pokok. 2.Hukuman Tambahan

Yaitu apabila hukuman pokok yang diterapkan oleh hakim tidak dipenuhi oleh tergugat dengan sukarela maka dwangsom diperlukan apabaila dengan dwangsom telah dilaksanakan tidaklah berarti bahwa hukuman pokok lepas.

3.Tekanan psychis bagi terhukum

Yaitu terhukum ditekan secara psychis agar ia dengan sukarela memenuhi hukuman pokok yang ditetapkan oleh hakim bersama dengan sukarela memenuhi hukuman pokok yang ditetapkan oleh hakim bersama dengan dwangsom tersebut.

(6)

tergugat untuk menunda atau enggan melaksanakan isi putusan,dan bila tergugat melanggar larangan tersebut maka dikenakan dwangsom.Dan menurut Pasal 611 a ayat (1) kalimat terakhir B.Rv, lembaga uang paksa tidak dapat diterapkan dalam suatu putusan yang mengandung diktum penghukuman membayar sejumlah uang, karena penghukuman untuk membayar sejumlah uang itu selalu dapat diwujudkan.

2. Penetapan Dwangsom

Seperti halnya penerapan dwangsom dalam putusan Hakim Peradilan Umum, maka tidak semua putusan Hakim Peratun dapat diterapkan dwangsom. Hanya putusan yang berisi penghukuman / kewajiban melakukan tindakan tertentu kepada pihak yang kalah (Putusan condemnatoir), yang dapat dikenai/ diterapkan dwangsom. Jadi untuk putusan yang sifatnya declatoir (yang bersifat menerangkan) dan constitutief (putusan yang bersifat meniadakan atau menimbulkan keadaan hukum yang baru, tidak dapat dikenai/ diterapkan dwangsom.

Dalam konteks Undang-undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Putusan yang bersifat condemnatoir adalah berupa :

1. kewajiban mencabut keputusan TUN yang dinyatakan batal/ tidak sah.

2. kewajiban menerbitkan keputusan TUN pengganti/ baru. 3. kewajiban mencabut dan menerbitkan keputusan TUN baru 4. kewajiban membayar ganti rugi, dan

5. kewajiban melaksanakan rehabilitasi, dalam sengketa kepegawaian.

(7)

Jadi dwangsom diterapkan (dipaksakan) kepada pejabat apabila ia melawan putusan hakim.

Ketika hakim menerbitkan suatu putusan, pada hakikatnya ia adalah berperan sebagai pseudo legislator (badan pembuat undang-undang semu), karenanya produk hakim (majelis Hakim) adalah suatu produk hukum yang setingkat dengan perundang-undangan. Oleh karenanya pada saat Pejabat TUN tidak mematuhi putusan hakim, maka ketidak patuhan tadi adalah dikategorikan pelanggaran hukum/ perundang-undangan. Dan pelanggaran yang dilakukan pejabat tadi sifatnya adalah pelanggaran/ kesalahan pribadi (faute personelle), sehingga membawa konsekuensi pertanggungjawabannya juga harus secara pribadi (personalliability) dari orang yang sedang menjabat tersebut dan bukan kelembagaan atau negara. Hal mana adalah sejalan dengan

teori “kesalahan” yang dikembangkan dari

(8)

kerugian bagi masyarakat. Dalam keadaaan seperti ini, maka kerugian yang diderita masyarakat tersebut harus menjadi tanggung jawab Negara untuk mengganti ruginya,

Jadi ditegaskan disini, tindakan pejabat yang tidak mematuhi putusan tadi sifatnya adalah pelanggaran hukum yang bersifat pribadi, dan justru tidak dalam rangka menjalankan peran Negara yang tentunya selalu sesuai dengan hukum. Ini membawa akibat dwangsom juga harus ditanggung/ dibayar secara pribadi (dengan uang pribadi).

3. Tata Cara Eksekusi Dwangsom

Lilik Mulyadi (hal. 117-118) menjelaskan bahwa eksekusi dwangsom dengan cara verthaal executie yang bertitik tolak pada ketentuan Pasal 195-208 Herzien Inlandsch Reglement (HIR) dan kebiasaan praktik peradilan, yakni melalui tahap-tahap berikut:

- Adanya permohonan dari pemohon eksekusi terhadap putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Bentuk permohonan dapat dilakukan secara lisan atau tertulis dan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara itu dalam tingkat pertama. Dalam praktik secara administratif setelah pemohon eksekusi membayar biaya eksekusi pada petugas urusan kepaniteraan perdata, maka akan diregister pada Buku Permohonan Eksekusi, Buku Induk Keuangan Biaya Eksekusi dan apabila Ketua Pengadilan Negeri yakin bahwa permohonan tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang, maka Ketua Pengadilan Negeri lalu mengeluarkan “Penetapan” yang asasnya berisikan tentang:[7]

(9)

untuk diberi peringatan/somasi menjalankan hukuman pokok dan

- Apabila setelah tenggang waktu somasi dilampaui belum juga tereksekusi melakukan pembayaran uang paksa, Ketua Pengadilan Negeri akan meneliti apakah perkara tersebut telah dilakukan sita jaminan atau tidak. Apabila diletakkan sita jaminan, maka dengan sendirinya berkekuatan eksekutorial. Sedangkan apabila tidak diletakkan sita jaminan, maka secara ex officio Ketua Pengadilan Negeri melakukan sita eksekusi terhadap harta kekayaan tereksekusi.

- Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan pendapat dengan perintah kepada panitera ata wakilnya yang sah untuk melakukan pelelangan.

4. Efektivitas dwangsom sebagai upaya paksaan tidak langsung. Dalam penerapan uang paksa (dwangsom) sebagai upaya paksaan tidak langsung. Efektivitas yang terjadi sangatlah baik. Dikarenakan jika adanya paksaan dalam pemberian uang paksa (dwangsom) seseorang yang hendaknya membayar, namun tidak melakukannya akan dikenakan sanksi.

Sanksi yang akan diberikan jika tidak membayar uang paksa tersebut ialah:

(10)

jangan hanya sebatas peraturan tetapi penerapnnya dan pelaksanaannya terhadap pelangggarnya sangat minim.Karena peraturan dibuat untuk dilaksankan sebagai sanksi terhadap pelanggaranya dan untuk dipatuhi oleh semua kalangan yang dicakup oleh peraturan itu.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

1. Dwangsom (uang paksa) berupa hakim menetapkan suatu tambahan hukuman kepada terhukum untuk membayar sejumlah uang kepada si penggunggat di dalam hal si terhukum tersebut tidak mampu memenuhi hukuman pokok, hukuman tambahan mana dimaksudkan untuk menekan agar terhukum tersebut memenuhi hukuman pokok dengan sukarela. Dwangsong tidak dapat berlaku dalam perkara utang piutang. Apabila tergugat tidak bersedia membayar maka dapat dijatuhi putusan membayar biaya dan atau bunga.Dan Terhadap putusan pembayaran sejumlah uang apabila tergugat tidak melaksanakan secara sukarela maka ada lembaga pelaksanaan putusan (eksekusi) dengan upaya paksa. Atau dapat pula dilakukan upaya paksa dengan pelaksanaan lelang atas bantuan Kepala Kantor Lelang.

2. Yurisprudensi Mahkamah Agung tentang Dwangsom

(11)

Maka dapat ditentukan bahwa pihak yang dikalahkan dihukum untuk membayar sejumlah uang paksa selama ia belum memenuhi isi putusan.

Dwangsom sebagai bagian dari hukum perdata formil dam materil, dalam praktiknya lebih banyak diterapkan pada perkara-perkara perdata yang menjadi wewenang absolut Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Tujuan diletakkan dwangsom dalam putusan hakim, agar tergugat bersedia memenuhi prestasinya juga mengetahui ada kewajiban yang harus dibayar apabila ia tidak melakukan hukuman pokokyang dibebankan kepadanya.

Penerapan dwangsom memungkinkan dapat dilakukan dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama dengan ketentuan Penggugat mengajukan permohonan yang isinya melarang pihak Tergugat untuk menunda atau enggan melaksanakan isi putusan, dan bila Tergugat melanggar larangan tersebut maka dikenakan dwangsom.

3. Hanya Putusan yang sifatnya berisi pemberian beban atau kewajiban untuk melakukan tindakan tertentu kepada Tergugat saja yang dapat dikenakan Upaya Paksa.

4. Dalam pemeriksaan Persiapan sebaiknya dinasehatkan kepada Penggugat agar tidak mencantumkan Petitum Upaya paksa karena belum ada peraturan pelaksanaannya, akan tetapi apabila Penggugat tetap mencantumkan Upaya Paksa dalam gugatannya maka Hakim sebaiknya memutuskan hal tersebut sesuai dengan pasal 16 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

(12)

melanggar peraturannya dan penerapan sanksinya pun kurang tegas oleh pemerintah pelaksanaannya.

Demikianlah paper yang kami buat semoga bermanfaat bagi orang yang membacanya dan menambah wawasan bagi orang yang membaca makalah ini. Dan penulis mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan kata dan kalimat yang tidak jelas, mengerti, dan lugas mohon jangan dimasukan ke dalam hati.

Sekian penutup dari kami semoga berkenan di hati dan kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

(13)

http://kiemdhaninspiration.blogspot.co.id/2014/01/efektivitas-uang-paksa-dalam-sanksi.html

http://www.npslawoffice.com/dwangsom-uang-paksa/

kiemdhaninspiration.blogspot.com/2014/01/efektivitas-uang-paksa-dalam-sanksi.html

www.hukumonline.com/.../tata-cara-pelaksanaan-uang-paksa-dan-sanksi-administratif..

www.hukumonline.com/.../cara-yang-dapat-ditempuh-jika-tergugat-tidak-membayar-...

hery-judge.blogspot.com/2009/01/dwangsom.html www.hukum-hukum.com › PERDATA

pa-pasirpengaraian.go.id/new/index.php?option...id...dalam-perkara...

https://advosolo.wordpress.com/2010/06/20/uang-paksa-dwangsom/

Referensi

Dokumen terkait

lakukan pembakaran secara perlahan, yaitu dari suhu ruang bakar sampai sekitar 150 o C, dengan waktu minimal 2 jam. c) Putar tombol kembali pada skala yang lebih

menunjukan bahwa aplikasi layanan- layanan yang umum digunakan dapat berjalan dengan baik pada protocol IPv6 maupun IPv4 sehingga dalam masa transisi nantinya aplikasi

Pelaku usaha yang tidak peduli dan tidak mentaati ketentuan hukum yang berlaku terutama terkait dengan perlindungan konsumen hal ini tentu menjadi penghambat Badan pengawas

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka judul yang diangkat dalam penelitian ini adalah “Pergantian Auditor Sebagai Pemoderasi Pengaruh Ukuran

Karakteristik pendidikan matematika dan Nilai-nilai yang dikandungnya Membangun karakter siswa dapat dilakukan dengan mengenalkan dan kemudian menanamkan nilai-nilai yang

Tinggi jengger (jantan, cm): 5,42 Tinggi jengger (betina, cm): 3,38 Lebar jengger (jantan, cm) : 6,96 Lebar jengger (betina, cm) : 5,74 Panjang paruh (jantan, cm): 1,88

Pada perangkat keras, komponen yang bisa dipergunakan berulang adalah bagian alami dari proses rekayasa sementara pada perangkat lunak ini adalah awal untuk mencapai

Berdasarkan arti kata di atas, maka yang dimaksud dengan analisis faktor- faktor kesulitan belajar siswa dalam upaya meningkatkan hasil belajar peserta didik