ELASTISITAS ENERGI DAN EFISIENSI TEKNIS PADA INDUSTRI INTENSIF ENERGI :
STUDI KASUS INDUSTRI HULU BAJA
Dewi Fitria M.S
(NIM : 040911112, Program Studi Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga. Email :dewi.fitria313@gmail.com)
Dosen Pembimbing : Bambang Eko Afiatno
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai elastisitas energi, efisiensi teknis dan faktor-faktor yang mempengaruhinya serta perubahan efisiensi teknis yang terjadi ketika dilakukan penghematan energi pada industri hulu baja. Industri hulu baja terbagi atas industri pengolahan baja dasar, industri penggilingan baja serta industri pipa dan sambungan pipa dari baja. Melalui
stochastic frontier analysis, diperoleh beberapa hasil. Pertama, nilai elastisitas energi listrik dan non listrik industri hulu baja lebih dari satu sehingga pertumbuhan energi yang dibutuhkan lebih besar daripada pertumbuhan output yang dihasilkan. Kedua, nilai efisiensi teknis rata-rata industri pengolahan baja dasar adalah 0,6 dan industri penggilingan baja adalah 0,8 sedangkan industri pipa dan sambungan pipa dari baja adalah 0,5. Variabel ukuran perusahaan dan
share output secara signifikan berpengaruh negatif pada inefisiensi sedangkan intensitas energi secara signifikan berpengaruh positif. Variabel rasio kapital tenaga kerja berpengaruh negatif pada inefisiensi namun tidak signifikan. Ketiga, penghematan listrik 10% meningkatkan efisiensi teknis industri pengolahan baja dasar serta industri pipa dan sambungan pipa dari baja, penghematan energi non listrik 10% meningkatkan efisiensi teknis pada industri penggilingan baja serta industri pipa dan sambungan pipa dari baja. Selanjutnya penghematan dua jenis energi masing-masing 5% hanya meningkatkan efisiensi teknis pada industri pengolahan baja dasar.
Kata kunci: industri hulu baja, elastisitas energi, efisiensi teknis
1. Pendahuluan
Sektor industri di Indonesia merupakan sektor yang memberikan kontribusi
paling besar pada pembetukan Produk Domestik Bruto (PDB). Berdasarkan proses
pembangunan ekonomi yang dicetuskan oleh Rostow, industri menjadi leading sector yang memacu dan mengangkat pembangunan sektor-sektor lainnya seperti sektor pertanian dan sektor jasa. Hal ini akan mendukung laju
Peranan energi sangat penting bagi akselerasi sektor industri karena energi
berfungsi sebagai bahan bakar untuk proses produksi. Selama ini sektor industri
merupakan sektor yang mengkonsumsi energi akhir paling besar setiap tahunnya
bila dibandingkan dengan sektor lain. Tabel 1 menunjukkan bahwa kebutuhan
energi pada sektor industri mendominasi permintaan energi akhir, yakni berkisar
antara 39-43 persen.
Tabel 1ShareKonsumsi Energi Final Menurut Sektor Pengguna (persen)
Sumber : Kementerian ESDM, 2012
Dalam sektor industri sendiri terdapat beberapa industri yang dinilai paling
padat menggunakan energi, baik sebagai bahan bakar ataupun sebagai
bahan baku. Industri yang tergolong padat energi adalah industri baja, industri
semen, industri pupuk, industri keramik, industri pulp dan kertas, industri tekstil dan
industri pengolahan kelapa sawit. Jika dibandingkan dengan faktor input yang
lain, biaya energi pada tujuh industri tersebut lebih besar dari biaya tenaga kerja
(Kementerian Perindustrian, 2012). Industri baja, tekstil, semen, pupuk, dan
keramik merupakan prioritas dalam pengembangan industri nasional
sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden No. 28 Tahun 2008 tentang
Kebijakan Industri Nasional, dan merupakan fokus Dokumen Akselerasi
Industrialisasi Tahun 2012-2014 yang diterbitkan oleh Kementerian Perindustrian.
Dari beberapa industri padat energi tersebut, industri baja khususnya
industri hulu baja merupakan salah satu pilar penting dari upaya pemerintah
untuk mempercepat pembangunan infrastruktur. Perkembangan industri hulu
industri banyak yang memanfaatkan prasarana berbahan baku baja sebagai
material dasarnya, seperti mesin-mesin pabrik, alat angkut, dan konstruksi pabrik.
Tumbuh kembang industri hulu baja seringkali dijadikan tolok ukur tingkat
keberhasilan industrialisasi. Suatu negara dengan tingkat pengembangan industri
baja yang sangat maju dapat dikatakan sebagai negara yang maju
industrialisasinya (Kementerian Perindustrian, 2012).
Peningkatan penggunaan energi di sektor industri bukan hanya terjadi
karena proses transformasi struktural yang cepat dari sektor pertanian ke sektor
industri, namun bisa terjadi karena pemborosan penggunaan energi di sektor
industri. Ketidakefisienan pemakaian energi akan merugikan sektor industri karena
terkait dengan jumlah output yang dihasilkan serta keuntungan agregat industri
tersebut. Dampak yang lebih besar lagi adalah inefisiensi energi dalam skala
masif dan berkepanjangan dapat menyebabkan inefisiensi ekonomi melalui
alokasi sumber daya yang tidak optimal (Kementerian Perindustrian, 2012).
Selain menyebabkan cost production yang tinggi, penggunaan energi yang tidak efisien memperbesar kemungkinan peningkatan pencemaran
lingkungan. Pada tahun 2005, data dari Kementrian Energi dan Sumberdaya
Mineral (Kemen ESDM) dalam Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) menunjukkan
bahwa selama periode 1990-2004 emisi karbondioksida yang dihasilkan oleh
sektor industri rata-rata sebanyak 64,76 juta ton. Jumlah ini jauh melebihi sektor
pembangkit listrik dan transportasi yang masing-masing sebesar 47,45 dan 45,97
juta ton. Pemantauan penurunan emisi pada sektor energi dapat dilihat dari
efisiensi energi yang digunakan oleh industri. Jika energi yang diperlukan untuk
menghasilkan output semakin kecil, maka rasio emisi terhadap output juga
semakin kecil.
Sebagai industri yang tergolong padat energi dan memiliki peran yang
penting dalam proses pembangunan, efisiensi energi dan alokasi input pada
industri hulu baja menjadi penting untuk dipantau. Indikator yang paling umum
digunakan untuk melihat efisiensi energi adalah nilai elastisitas energi. Semakin
kecil nilai elastisitas energi, maka semakin efisien sektor tersebut menggunakan
energi. Begitu juga sebaliknya, semakin besar nilai elastisitas maka semakin tidak
Efisiensi energi dalam industri sangat diperlukan untuk meningkatkan daya
saing industri tersebut. Semakin tinggi tingkat daya saing industri, maka posisi
industri tersebut semakin kompetitif di pasar global (Bappenas, 2011). Konsumsi
energi pada industri hulu baja juga berpengaruh pada tingkat efisiensi teknis
perusahaan untuk mencapai output maksimum dengan kombinasi input tertentu.
Perubahan atau pengurangan konsumsi energi pada industri hulu baja harus
mempertimbangkan faktor efisiensi teknis agar tujuan dari penghematan energi
menjadi tepat sasaran. Pengurangan konsumsi energi yang tidak tepat sasaran
justru akan menjauhkan perusahaan pada industri baja dari tingkat efisiensi teknis
yang maksimum.
Berdasarkan penjelasan tersebut penelitian ini memiliki beberapa tujuan.
Pertama, mengetahui perkembangan output industri hulu baja beserta
faktor-faktor yang mempengaruhinya. Kedua, mengetahui nilai elastisitas energi yang
digunakan sebagai indikator efisiensi energi pada industri hulu baja baik energi
listrik maupun non listrik. Ketiga, mengetahui tingkat efisiensi teknis pada
masing-masing jenis industri pada kelompok industri hulu baja. Keempat, menentukan
hal-hal yang yang mempengaruhi efisiensi teknis pada industri hulu baja. Kelima,
mensimulasikan pengaruh pengurangan konsumsi energi terhadap tingkat
efisiensi teknis pada industri hulu baja.
2. Tinjauan Pustaka
Kementerian Perindustrian (2012) telah menetapkan beberapa jenis
industri baja yang termasuk industri padat energi berdasarkan kode Klasifikasi
Baku Lapangan usaha Indonesia (KBLI) 2005. Klasifikasi industri hulu baja yang
tergolong padat energi dijelaskan dalam tabel 2 berikut.
Tabel 2 Klasifikasi Industri Baja Padat Energi Menurut Kode KBLI 2005
Kode
KBLI 05 Keterangan
27101 Industri Besi dan Baja Dasar (Iron and Steel Making)
Mencakup pembuatan besi dan baja dalam bentuk dasar,
seperti pellet bijih besi, besi spons, besi kasar (pig iron), dan dalam bentuk baja kasar (ingot baja, billet baja, baja bloom,
Kode
KBLI 05 Keterangan
27102 Industri Penggilingan Baja (Steel Rolling)
Mencakup usaha penggilingan baja, baik penggilingan panas
maupun dingin, yang membuat produk-produk gilingan
batang kawat baja, baja tulangan, baja profil, baja strip, baja
rel, pelat baja, baja lembaran hasil gilingan panas (hot rolled sheet) dan baja lembaran hasil gilingan dingin (cold rolled sheet) dilapisi atau tidak dilapisi dengan logam atau non logam lainnya termasuk penggilingan
bajascrap.
27103 Industri Pipa dan Sambungan Pipa dari Baja dan Besi.
Mencakup usaha pembuatan tabung, pipa dan sambungan
pipa dari besi dan baja.
Sumber : BPS, 2005
Suatu industri disebut padat energi karena energi yang dibutuhkan dalam
proses produksi sangat besar. Pertumbuhan energi yang dibutuhkan bisa lebih
besar daripada pertumbuhan output yang dihasilkan. Hal ini menyiratkan bahwa
nilai elastisitas energi untuk industri padat energi tergolong besar. Elastisitas energi
adalah perbandingan antara laju pertumbuhan konsumsi energi dengan laju
pertumbuhan output. Semakin kecil angka elastisitas, maka semakin efisien
penggunaan energi di suatu negara (Yusgiantoro, 2000). Elastisitas energi
tersebut diformulasikan sebagai berikut:
EE = (DEC/EC)/(DO/O)
EE : Elastisitas energi
EC : Pemakaian energi pada waktu tertentu
O : Output pada waktu tertentu
DEC :Incrementalpemakaian energi selang waktu tertentu (EC2-EC1)
DO :IncrementalPDB selang waktu tertentu (PDB2-PDB1)
Elastisitas energi yang semakin kecil menggambarkan struktur produksi
semakin efisien dan energi memiliki nilai tambah yang besar terhadap produksi
nasional. Namun elastisitas yang kecil ini kadang-kadang juga dapat
biasanya ditemui di negara-negara yang masih berbasis pertanian (Yusgiantoro,
2000). Sebaliknya elastisitas yang besar juga belum tentu mengindikasikan hal
yang buruk karena biasanya dijumpai di negara industri maju. Pihak pengambil
keputusan harus sangat berhati-hati dalam menafsirkan informasi elastisitas
energi yang ada. Indikator-indikator lainnya harus turut diperhatikan (Yusgiantoro,
2000).
Salah satu faktor yang harus dipertimbangkan dalam upaya
penghematan energi selain elastisitas energi adalah efisiensi. Untuk
mengidentifikasi besaran efisiensi dalam industri hulu baja beserta faktor-faktor
yang mempengaruhinya, maka digunakan fungsi produksi frontier stokastik
dalam penelitian ini. Fungsi produksi ini membagi residual model menjadi dua
komponen yaitu komponen efek random dan komponen yang
merepresentasikan efek inefisiensi teknis. Model tersebut dapat diekspresikan
sebagai berikut:
Yi = βxi + (vi - ui) ... (1)
i : perusahaan ke-1,...,n
Yi : output/produksi dari perusahaan ke-i
: vektor parameter yang akan diduga
Xi : vektor (k´1) yang menyatakan kuantitas dari input perusahaan ke-i
vi : variabel random yang diasumsikan iidN(0,ߪ௩ଶ), yakni tidak terpengaruh
dengan variabel ui, memiliki distribusi normal dengan rata-rata dan
varian yang bernilai 0
ui : variabel random non negatif yang merepresentasikan efek inefisiensi
teknis dan diasumsikan iidN+(0, ߪ
௩ଶ), yakni bersifat independen dan
terdistribusi setengah normal.
Dalam fungsi produksi frontier, efek inefisiensi teknis dinyatakan dalam
persamaan berikut :
ui = δ0 + δ1z1i+... + δnzni+ wi ... (2)
Variabel z menunjukkan faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi suatu
perusahaan. Coelli et al (2005) menyatakan bahwa variabel vi dan ui memiliki
efek yang berbeda bagi setiap perusahaan dalam menghasilkan output.
ketika tidak ada faktor gangguan atau faktor inefisiensi yang mempengaruhi
produksi.
Efisiensi teknis (Technical Efficiency-TE) yakni kemampuan suatu perusahaan untuk mendapatkan output maksimum dari penggunaan suatu set
input tertentu. Secara matematis, efisiensi teknis dituliskan dalam persamaan
berikut.
TEi =
ୣ୶୮ሺ௫′ఉା௩ሻ=
ୣ୶୮ሺ௫′ఉା௩ି௨)
ୣ୶୮ሺ௫′ఉା௩) = exp (-ui) ... (3)
Efisiensi teknis ini mencakup hubungan antara input dan output. Suatu
perusahaan efisien secara teknis jika mampu memproduksi dengan output
maksimum menggunakan kombinasi input tertentu.
Sumber inefisiensi atau faktor inefisiensi merupakan faktor mempengaruhi
tingkat efisiensi perusahaan, dalam penelitian ini adalah efisiensi teknis. Faktor
inefisiensi dapat mempengaruhi efisiensi teknis baik secara positif atau negatif.
Jika faktor tersebut mempengaruhi inefisiensi secara positif, maka faktor tersebut
memicu ketidakefisienan perusahaan. Sebaliknya jika faktor tersebut
mempengaruhi inefisiensi secara negatif, maka faktor itu mendukung efisiensi
perusahaan.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian tentang efisiensi teknis perusahaan,
ada beberapa faktor yang menjadi sumber inefisiensi perusahaan. Pertama,
ukuran perusahaan yang diklasifikasikan berdasarkan jumlah tenaga kerjanya
(Wu, 1995). Kedua, rasio kapital labor yang menggambarkan industri tersebut
tergolong padat modal atau padat karya (Piesse dan Thirtle, 2000). Ketiga,share
output perusahaan tertentu terhadap output total pada industri yang sama (Kim
et al, 2007). Keempat, konsumsi energi yang ditunjukkan dengan menghitung
rasio antara konsumsi energi dengan output yang dihasilkan (Kounetas dan
Tsekouras, 2009). Rasio ini juga disebut dengan istilah intensitas energi.
3. Metode
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang menitikberatkan
pada pengujian hipotesis secara statistik sehingga diperoleh nilai parameter yang
signifikan dan menjabarkan fenomena dalam bentuk data, tabel maupun grafik.
dengan bantuan software Frontier 4.1 dan Microsoft Excel untuk melakukan perhitungan secara matematis.
Teknik analisis dalam penelitian ini terbagi menjadi beberapa tahap.
Tahap pertama yaitu melakukan estimasi parameter dari persamaan fungsi
produksi frontier stokastik dan fungsi inefisiensi sekaligus menentukan tingkat
efisiensi teknis setiap perusahaan dengan software Frontier 4.1. Tahap kedua, setelah nilai parameter dari variabel fungsi produksi diketahui maka dapat
dihitung nilai elastisitas energi listrik dan non listrik pada tiap-tiap cross section
dengan bantuanMicrosoft Excel. Tahap ketiga yaitu melihat pengaruh variabel-variabel inefisiensi terhadap efisiensi teknis perusahaan. Tahap terakhir,
mengidentifikasi perubahan efisiensi teknis ketika konsumsi energi dikurangi.
Model analisis yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi
empat bagian. Pertama, model translog capital, labor, energy, material (KLEM) untuk mengestimasi parameter input produksi dengan mengadopsi fungsi
produksi frontier stokastik. Dalam hal ini, variabel energi dipisah menjadi variabel
energi listrik (EL) dan non listrik (EN). Bentuk matematis yang menggambarkan
hubungkan output dengan input ditunjukkan oleh persamaan 4 berikut ini.
ln Q = α0 + α1 (lnK) + α2 (lnL) + α3 (lnEL) + α4 (lnEN) + α5 (lnM) + α6 (lnK) (lnL) + α7
Q : nilai output berdasarkan harga konstan tahun 2005
K : nilai kapital berdasarkan harga konstan tahun 2005
EL : nilai energi listrik berdasarkan harga konstan tahun 2005
EN : gabungan dari nilai energi non listrik berdasarkan harga konstan tahun
2005, meliputi bensin, solar, batubara, danliquified petroleum gas(LPG) M : nilai material untuk produksi berdasarkan harga konstan tahun 2005
vit : error term, i adalahcross sectionke-i dan t adalah periode ke-t
uit : faktor inefisiensi, i adalahcross sectionke-i dan t adalah periode ke-t
Model kedua yaitu model tentang elastisitas energi terhadap output baik
merupakan diferensial dari persamaan 4. Bentuk model elastisitas energi
dijelaskan dalam persamaan 5 dan 6.
βELi= డொ
డா = α3 + α7 (lnK) + α10 (lnL) + α13 (lnEN) + α14 (lnM) + α18(lnEL) ... (5)
βENi= డொ
డாே = α4 + α8 (lnK) + α11 (lnL) + α13 (lnEL) + α15 (lnM) + α19(lnEN) ... (6)
Model ketiga adalah model efisiensi teknis perusahaan yang
menggambarkan rasio antara output aktual dan output frontiernya. Bentuk
model efisiensi teknis perusahaan yaitu :
TEi =
ୣ୶୮ሺ௫′ఉା௩ሻ=
ୣ୶୮ሺ௫′ఉା௩ି௨)
ୣ୶୮ሺ௫′ఉା௩) ... (7)
Ketika output aktual perusahaan makin mendekati output frontiernya, maka
semakin efisien perusahaan tersebut secara teknis. Oleh karena itu, nilai
maksimum dari efisiensi teknis yaitu 1.
Model keempat yaitu model inefisiensi teknis perusahaan (uit). Model ini
menggambarkan pengaruh ukuran perusahaan (X1), rasio kapital labor (X2),
share output perusahaan terhadap total output pada industri yang sama (X3)
dan intensitas energi (X4) terhadap inefisiensi secara teknis bagi perusahaan
tertentu. Model inefisiensi yaitu:
uit = δ0 + δ1X1 + δ2X2 +δ3X3 + δ4X4+ wit... (8)
Variabel w mencerminkan faktor gangguan dari model inefisiensi teknis
perusahaan.
4. Pembahasan
4.1 Gambaran Umum Industri Hulu Baja Nasional
Kapasitas produksi baja mentah di Indonesia masih rendah. Padahal baja
mentah merupakan bahan baku bagi industri pengolahan baja berikutnya.
Gambar 1 menunjukkan perbandingan produksi baja mentah dan impor baja
mentah dalam memenuhi kebutuhan nasional. Indonesia hanya mampu
mencukupi 24,8% bahan baku baja mentah sehingga jumlah impor bahan baku
baja mentah sebesar 75,2%. Impor bahan baku tersebut terdiri dari impor bijih
Sumber : Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM), 2012
Gambar 1 Perbandingan Konsumsi, Produksi dan Impor Baja Mentah (juta
metrik ton)
Porsi impor bahan baku baja dan baja mentah yang cukup besar
membuat harga baja di Indonesia berfluktuatif mengikuti harga baja di pasar
internasional. Ketergantungan terhadap bahan baku impor merupakan salah
satu penyebab menurunnya output industri ini. Untuk mendapatkan bahan baku
impor, Indonesia harus bersaing dengan negara lain yang mengkonsumsi baja
lebih banyak seperti China dan Rusia (BKPM, 2012).
Penurunan output industri hulu baja juga disebabkan oleh persaingan
industri yang semakin ketat. Industri lokal harus bersaing dengan produsen asing
yang mengimpor baja mereka ke Indonesia. China adalah salah satu negara
penghasil baja terbesar di dunia yang sangat berperan dalam memenuhi
kebutuhan impor baja Indonesia. Berdasarkan harga konstan tahun 2005, output
industri hulu baja berjumlah 22,45 miliar pada tahun 2005 menjadi 17,89 miliar
pada tahun 2009. Sebaliknya, impor baja dalam bentuk logam dasar memiliki
tren yang meningkat. Gambar 2 menunjukkan perkembangan output industri
hulu baja.
Sumber : BPS (2005-2009) dan Kementerian Perindustrian (2012), diolah
Gambar 2 Perbandingan Produksi dan Impor untuk Produk Industri Hulu Baja
(miliar rupiah berdasarkan harga konstan 2005)
5.47 5.7 6.19 7.09 5.5
3.673.73 3.763.81 4.164.16 3.923.92 3.53.5
2005 2006 2007 2008 2009
Konsumsi Baja Mentah Produksi Baja Mentah Import Baja Mentah
24.25 29.34 21.30 27.28
33.19
22.45 19.58 20.01 15.61 17.89
2005 2006 2007 2008 2009
Pada industri padat energi seperti industri hulu baja, biaya untuk
memenuhi energi yang dibutuhkan pada proses produksi sangat besar. Biaya
energi lebih besar daripada biaya tenaga kerja yang harus dikeluarkan. Rasio
antara biaya energi dan tenaga kerja mulai tahun 2005 sampai tahun 2009
ditunjukkan oleh gambar 3 berikut ini.
Sumber : BPS (2005-2010), diolah
Gambar 3 Grafik Rasio Biaya Energi dan Tenaga Kerja
Energi yang dibutuhkan oleh industri hulu baja didominasi oleh listrik dan
energi fosil seperti gas, batubara, solar dan bensin. Komposisi kebutuhan energi
pada industri hulu baja terdiri dari 65% energi listrik dan 35% energi non
listrikberupabensin, solar, batubara dan gas (Kementerian Perindustrian, 2012).
Gambar 4 menunjukkan kebutuhan energi pada industri hulu baja yang semakin
menurun mengikuti penurunan outputnya. Penurunan konsumsi energi tidak
hanya disebabkan semata-mata oleh penurunan output. Harga energi yang
cenderung naik akan mendorong perusahaan untuk menggunakan energi
dengan efisien.
Sumber : BPS (2005-2010), diolah
Gambar 4 Konsumsi Energi Industri Hulu Baja (setara barel minyak dalam
ribuan)
2005 2006 2007 2008 2009 2010
512.44 504.49
2005 2006 2007 2008 2009 2010
LISTRIK
Meskipun energi yang dibutuhkan industri ini cukup besar, namun terjadi
indikasi penghematan energi selama tahun 2005-2010. Hal ini terlihat intensitas
energi yang mengecil. Perubahan nilai intensitas energi pada industri hulu baja
selama tahun 2005-2009 ditunjukkan dalam gambar 5 di bawah ini.Intensitas
energi pada tahun 2008 sempat mengalami kenaikan karena kenaikan harga
energi di pasar internasional (Kementerian ESDM, 2012).
Sumber : BPS (2005-2009), diolah
Gambar 5 Grafik Perubahan Intensitas Energi Industri Hulu Baja
4.2 Elastisitas Energi Industri Baja
Elastisitas energi terhadap output memberikan informasi yang tepat untuk
mengetahui jumlah pertumbuhan energi yang dibutuhkan agar tercapai
pertumbuhan output dalam jumlah tertentu. Dalam penelitian ini, elastisitas
energi dibagi menjadi elastisitas energi listrik dan elastisitas energi non listrik.
Elastisitas energi listrik pada industri hulu baja ditunjukkan oleh tabel 3 di bawah
ini.
Tabel 3 Elastisitas Listrik Industri Hulu Baja
Tahun Elastisitas Listrik Terhadap Output
Industri 27101 Industri 27102 Industri 27103
2005 1.088 6.047 1.939
2006 1.161 5.954 1.897
2007 0.913 5.968 1.932
2008 0.962 5.460 1.880
2009 0.999 5.728 1.895
2010 1.078 4.299 1.602
Rata-rata 1.033 5.576 1.858
Sumber : Hasil pengolahan
0.53
0.44 0.41
0.64
0.40
0.33
0.00 0.20 0.40 0.60 0.80
Berdasarkan nilai elastisitasnya, industri pengolahan baja dasar (27101)
adalah industri yang paling efisien dalam menggunakan listrik karena nilai
elastisitasnya paling kecil. Adapun nilai elastisitas listrik industri penggilingan baja
(27102), cukup besar yaitu 5,57 sehingga untuk mencapai pertumbuhan output
1% diperlukan pertumbuhan tenaga listrik 5,57%. Industri pipa dan sambungan
pipa baja (27103) juga belum efisien dalam menggunakan tenga listrik.
Elastisitas listrik ketiga jenis industri tersebut berlawanan dengan nilai
elastisitas energi non listriknya. Tabel 4 menjelaskan nilai elastisitas energi non listrik
industri hulu baja. Penggunaan energi non listrik paling efisien terjadi pada industri
penggilingan baja (27102) karena nilai elastisitasnya paling rendah.
Tabel 4 Elastisitas Energi Non Listrik Industri Hulu Baja
Tahun Elastisitas Energi Non Listrik Terhadap Output Industri 27101 Industri 27102 Industri 27103
2005 2.220 1.254 2.109
2006 2.510 1.330 2.194
2007 1.296 1.239 2.158
2008 1.754 1.311 2.205
2009 1.723 1.264 2.183
2010 3.155 1.561 2.454
Rata-rata 2.110 1.327 2.217
Sumber : Hasil pengolahan
Setelah membandingkan nilai elastisitas energi listrik dan non listrik, dapat
diketahui jenis energi yang dominan digunakan dalam proses produksi pada
masing-masing industri hulu baja. Pada industri baja dasar, energi yang dominan
adalah energi non listrik. Hal ini sesuai dengan proses produksi yang terjadi pada
industri tersebut. Untuk membuat baja dalam bentuk dasar dibutuhkan bijih besi
yang dicampur dengan kokas sehingga membutuhkan banyak energi berupa
batubara. Jenis batubara yang banyak digunakan adalahcoking cole.
Selanjutnya, jenis energi yang dominan pada industri penggilingan baja
adalah listrik. Pada industri ini diterapkan kinerja dapur listrik untuk mengolah baja
dasar menjadi logam cair yang mudah dibentuk. Pada industri pipa dan
sambungan pipa dari baja, energi yang dominan digunakan adalah energi non
4.3 Efisiensi Teknis dan Sumber Inefisiensi
Efisiensi teknis menerapkan pendekatan output dan merupakan indikator
yang tepat untuk melihat seberapa efisien penggunaan input dalam
menghasilkan output. Pada kenyataannya, setiap perusahaan memiliki
faktor-faktor inefisiensi yang menyebabkan perusahaan tersebut tidak bisa mencapai
efisiensi teknis yang optimal. Indikasi terjadinya inefisiensi teknis dapat diketahui
dengan membandingkan nilaiLR test of the one-sided error dengan nilai χ2pada
tabel Kodde dan Palm (1986). Jika nilaiLR testlebih besar daripada nilai χ2, maka
hipotesis H0 ditolak sehingga terdapat indikasi inefisiensi pada perusahaan. Nilai
LR test hasil estimasi Frontier 4.1 dan implikasinya ditunjukkan oleh tabel 5 berikut ini.
Tabel 5 Nilai LR test dan dan Implikasinya Pada Industri Hulu Baja
Kode
Sumber : Hasil olahan Frontier 4.1
Dengan tingkat signifikasi 95%, diketahui bahwa produksi pada industri hulu
baja dipengaruhi oleh faktor inefisiensi. Adapun nilai dari efisiensi teknis
masing-masing jenis industri pada industri hulu baja tidak sama. Nilai rata-rata efisiensi
teknis pada industri hulu baja ditampilkan dalam tabel 6.
Tabel 6 Efisiensi Teknis Pada Industri Hulu Baja Periode 2005-2010
Kode
27101 0.66040 0.99022 0.13448 0.246
27102 0.80356 0.98728 0.56974 0.137
27103 0.54371 0.99983 0.10172 0.217
Sumber : Hasil olahan Frontier 4.1
Industri penggilingan baja (27102) tergolong industri yang paling efisien
secara teknis karena nilai efisiensi teknis rata-ratanya mendekati satu.
rata-rata efisiensi teknis dapat menggambarkan efisiensi pada masing-masing
perusahaan di industri tersebut. Industri pengolahan baja dasar (27101)
merupakan industri paling efisien secara teknis dengan nomor urut dua.
Selanjutnya industri pipa dan sambungan pipa dari baja (27103) tergolong
industri paling tidak efisien secara teknis pada kelompok industri hulu baja.
Ketimpangan efisiensi pada industri 27101 dan 27103 sangat besar sehingga nilai
rata-rata dari efisiensi teknis tidak bisa menggambarkan efisiensi teknis
masing-masing perusahaan.
Nilai efisiensi teknis maksimum dimiliki oleh perusahaan dengan share
output yang tinggi, sedangkan nilai output minimum dimiliki oleh perusahaan
dengan share output yang rendah. Perusahaan yang memiliki pasar lebih luas dan kapasitas produksi lebih besar terbukti mampu mencapai efisiensi teknis yang
lebih tinggi daripada perusahaan sedang dengan kapasitas produksi yang kecil.
Dengan kata lain, skala produksi ikut menentukan efisiensi teknis perusahaan.
Porsi efisiensi teknis yang mendekati nilai optimum (lebih dari 0,90) pada
industri pengolahan baja dasar selama periode observasi mencapai 18,5%. Porsi
efisiensi teknis yang mendekati optimum pada industri penggilingan baja
mencapai 34,44% sedangkan industri pipa dan sambungan pipa dari baja hanya
mencapai 8,33%. Porsi efisiensi teknis yang rendah (kurang dari 0,6) selama
periode observasi pada industri pengolahan baja dasar yaitu 33,33%, industri
penggilingan baja sebesar 5,55% serta industri pipa dan sambungan pipa dari
baja sebesar 64,8%. Nilai dari standar deviasi dari ketiga jenis industri hulu baja
lebih kecil daripada nilai rata-ratanya sehingga data tergolongsmoothdan tidak banyak terdapat dataoutlier.
Pada fungsi inefisiensi teknis, ukuran perusahaan (X1), share output
perusahaan terhadap total output pada industri yang sama (X3) dan intensitas
energi (X4) berpengaruh secara signifikan, sedangkan rasio kapital labor(X2) tidak
berpengaruh secara signifikan. Variabel ukuran perusahaan bernilai negatif
menunjukkan bahwa perusahan dengan dummy 1 (perusahaan besar) memiliki
tingkat efisiensi teknis lebih besar daripada perusahaan dengan dummy 0
laboryang besar akan memicu peningkatan efisiensi perusahaan. Dengan kata lain, kapital yang besar memicu peningkatan efisiensi teknis.
Variabelshare output bernilai negatif pada fungsi inefisiensi sehingga nilai
share output perusahaan yang besar akan mengakibatkan efisiensi teknis yang lebih tinggi. Pada umumnya, perusahaan dengan share output yang besar mampu menguasai pasar yang lebih luas. Variabel intensitas energi bernilai positif
pada fungsi inefisiensi sehingga intensitas energi yang besar memicu terjadinya
inefisiensi. Nilai intensitas energi yang besar mengindikasikan konsumsi energi
yang banyak untuk menghasilkan satu satuan output.
4.4 Perubahan Efisiensi Teknis Akibat Penghematan Energi
Sasaran penghematan energi adalah meningkatkan efisiensi sehingga
daya saing perusahaan meningkat. Tepat atau tidaknya sasaran ini bisa dilihat
dari perubahan efisiensi teknis perusahaan setelah dilakukan pengurangan
konsumsi energi. Ketika efisiensi teknis meningkat setelah penghematan energi
dilaksanakan, maka penghematan energi menjadi tepat sasaran karena mampu
mendorong efisiensi faktor-faktor produksi secara keseluruhan. Simulasi efek
penghematan energi pada efisiensi teknis dilakukan dalam tiga sekenario
Skenario pertama yaitu penghematan energi listrik 10%. Tabel 7
menunjukkan perubahan efisiensi teknis pada masing-masing jenis industri hulu
baja ketika dilakukan penghematan energi listrik. Pengurangan konsumsi listrik
membuat efisiensi teknis industri penggilingan baja (27102) justru menurun. Hal ini
disebabkan kebutuhan energi listrik pada industri tersebut lebih dominan. Selain
itu, ketergantungan industri penggilingan baja terhadap listrik tergolong tinggi
karena nilai elastisitas listriknya besar.
Tabel 7 Efisiensi Teknis dan Perubahannya Pada Kasus Penghematan Listrik 10%
Industri Efisiensi Teknis (ET) Rata-Rata
Nilai
Maksimum
Nilai
Minimum
Perubahan
ETRata-Rata
27101 0.66340 0.99453 0.05988 0.00299
27102 0.80319 0.98731 0.56979 -0.00037
27103 0.54641 0.99955 0.09919 0.00271
Dengan mengurangi konsumsi listrik, efisiensi teknis industri 27101 dan 27103
meningkat dengan nilai yang berbeda. Hal ini disebabkan ketergantungan
mereka terhadap listrik lebih rendah daripada energi non listrik. Alasan ini juga
dapat dideteksi dari nilai elastisitas listrik mereka yang lebih rendah daripada
elastisitas energi non listrik. Berdasarkan perubahan efisiensi teknis tersebut
diketahui bahwa penggunaan energi listrik pada industri pengolahan baja dasar
serta industri pipa dan sambungan pipa dari baja masih boros. Terbukti ketika
konsumsi listrik dikurangi dan variabel lain konstan, efisiensi teknis meningkat.
Skenario kedua yaitu penghematan energi non listrik 10%. Tabel 8
menunjukkan perubahan efisiensi teknis pada masing-masing jenis industri hulu
baja ketika dilakukan penghematan energi nonlistrik sebesar 10% dari
penggunaan energi awal. Penghematan ini direspon negatif oleh industri
pengolahan baja dasar (27101). Hal ini disebabkan elastisitas energi non listrik
pada industri pengolahan baja dasar tergolong tinggi sehingga ketergantungan
industri ini terhadap energi non listrik lebih dominan.
Tabel 8 Efisiensi Teknis dan Perubahannya Pada Kasus Penghematan Energi Non
Listrik 10%
Industri Efisiensi Teknis (ET) Rata-Rata
Nilai
Maksimum
Nilai
Minimum
Perubahan
ET Rata-Rata
27101 0.65662 0.99277 0.14263 -0.00378
27102 0.80362 0.98731 0.57022 0.00006
27103 0.63312 0.99970 0.07007 0.08942
Sumber : Hasil olahan Frontier 4.1
Industri penggilingan baja (27102) merespon penghematan energi non
listrik dengan positif. Jenis energi yang dikonsumsi secara dominan pada industri
penggilingan baja adalah listrik sehingga penghematan energi non listrik tidak
menurunkan efisiensi teknisnya. Industri pipa dan sambungan pipa dari baja
(27103) merespon penghematan energi non listrik secara positif meskipun
elastisitas energi non listriknya lebih besar daripada elastisitas listriknya. Hal ini
menunjukkan konsumsi industri ini terhadap energi non listrik yang besar
disebabkan karena pemborosan, bukan karena kebutuhan seperti industri
Skenario ketiga yaitu penghematan energi listrik dan energi non listrik.
Tabel 9 menunjukkan perubahan efisiensi teknis pada industri hulu baja ketika
dilakukan penghematan listrik dan energi non listrik masing-masing sebesar 5%.
Industri pengolahan baja dasar merespon penghematan ini dengan positif.
Efisiensi teknis industri pengolahan baja dasar meningkat setelah dilakukan
penghematan listrik dan energi non listrik.
Tabel 9 Efisiensi Teknis dan Perubahannya Pada Kasus Penghematan Listrik
dan Energi Non Listrik 10%
Industri Efisiensi Teknis (ET) Rata-Rata
Nilai
Maksimum
Nilai
Minimum
Perubahan
ET Rata-Rata
27101 0.66759 0.98240 0.15097 0.00719
27102 0.80340 0.98731 0.56997 -0.00017
27103 0.53029 0.99982 0.09701 -0.01342
Sumber : Hasil olahan Frontier 4.1
Hal berbeda dialami oleh industri penggilingan baja (27102) serta industri
pipa dan sambungan pipa dari baja (27103). Dua industri tersebut merespon
penghematan listrik dan energi non listrik secara negatif. Pada industri
penggilingan baja, penurunan efisiensi teknis lebih diakibatkan oleh
pengurangan konsumsi listrik. Kemudian untuk industri pipa dan sambungan pipa
dari baja, penurunan efisiensi teknis disebabkan oleh pengurangan konsumsi listrik
dan non listrik secara bersamaan.
5. Simpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan informasi yang telah diuraikan, dapat
disimpulkan beberapa hal yaitu:
1. Industri hulu baja merupakan industri strategis yang menentukan proses
pembangunan ekonomi dan pertumbuhan industri lainnya. Karena kesulitan
bahan baku dan persaingan industri yang semakin ketat, pertumbuhan output
industri ini mengalami tren yang menurun selama tahun 2005-2010.
2. Elastisitas energi listrik maupun non listrik pada industri hulu baja lebih besar dari
satu sehingga pertumbuhan energi yang dibutuhkan lebih besar daripada
pertumbuhan output. Energi yang dominan digunakan pada industri
non listrik (2,11) lebih besar daripada elastisitas listriknya (1.033). Pada industri
penggilingan baja (27102), energi yang dominan adalah energi listrik karena
nilai elastisitas listriknya 5,576 melebihi elastisitas energi non listriknya (1,327).
Konsumsi industri pipa dan sambungan pipa dari baja terhadap energi non
listrik lebih besar daripada energi listrik. Elastisitas listriknya (1,858) lebih rendah
daripada elastisitas energi non listriknya (2,217).
3. Berdasarkan ujiLR test of the one sided error, ada indikasi inefisiensi teknis pada industri hulu baja. Industri penggilingan baja (27102) memiliki nilai rata-rata
efisiensi teknis (0,8) dengan kesenjangan yang rendah antara nilai maksimum
dan minimumnya sehingga nilai ini dapat menggambarkan kondisi seluruh
perusahaan pada industri tersebut. Nilai rata-rata efisiensi teknis industri
pengolahan baja dasar serta industri pipa dan sambungan pipa dari baja
berturut-turut adalah 0,6 dan 0,5. Kesenjangan nilai maksimum dan minimum
pada dua industri tersebut besar sehingga nilai rata-rata efisiensi teknis tidak
bisa menggambarkan kondisi seluruh perusahaan dalam industri tersebut.
Skala produksi sangat menentukan tingkat efisiensi teknis perusahaan.
4. Faktor-faktor yang signifikan menjadi sumber inefisiensi secara teknis yaitu
ukuran perusahaan, share output, dan intensitas energi. Perusahaan besar memiliki nilai efisiensi teknis yang lebih baik daripada perusahaan sedang.
Rasio output perusahaan berpengaruh negatif pada inefisiensi. Sebaliknya,
intensitas energi berpengaruh positif pada inefisiensi.
5. Penghematan energi listrik 10% meningkatkan efisiensi teknis industri
pengolahan baja dasar serta industri pipa dan sambungan pipa dari baja,
namun menurunkan efisiensi teknis industri penggilingan baja karena
ketergantungan industri ini pada listrik sangat tinggi. Sebaliknya, penghematan
energi non listrik 10% menurunkan efisiensi teknis industri pengolahan baja
dasar karena ketergantungan industri tersbut pada energi non listrik sangat
tinggi. Industri penggilingan baja serta industri pipa dan sambungan pipa dari
baja mengalami peningkatan efisiensi teknis dalam kasus ini. Ketika energi listrik
dan non listrik dihemat masing-masing 5%, hanya industri penggilingan baja
dasar yang mengalami peningkatan efisiensi teknis. Efisiensi dari dua industri
lain justru menurun. Perubahan efisiensi ini terjadi dengan asumsi faktor
DAFTAR PUSTAKA
Afiatno, Bambang Eko. 2004. Kajian terhadap Kelistrikan di Indonesia : Tarif Dasar Listrik (TDL), Struktur Pasar, dan Industri Kelistrikan Mendatang. Majalah Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga Edisi Juni 2004.
---. 2010. Kajian Peranan Infrastruktur Listrik terhadap Perkonomian Jawa Timur di Masa yang Akan Datang. Surabaya : Departemen Ilmu Ekonomi Universitas Airlangga.
Aigner, D.J. , C.A.K Lovell dan P. Schmidt. 1977. Formulation and Estimation of Stochastic Frontier Production Function Models. Journal of Econometrics, 6, 21-37.
Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM). 2012. Pengembangan Investasi Industri Logam Dasar. Diunduh dari www.bkpm.go.id tanggal 20 Mei 2013.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). 2000. Bab XII : Industri. Diunduh dariwww.bappenas.go.idtanggal 10 April 2013.
---. 2011. Peringkat Daya Saing Indonesia 2011. Diunduh dari
http://www.bappenas.go.id/blog tanggal 4 April 2013.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2012. Produk Domestik Regional Bruto 2004-2011 Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Provinsi. Diunduh dari www.bps.go.id
tanggal 4 April 2013.
---. 2012. PDRB Provinsi di Indonesia Menurut Lapangan Usaha Tahun 2007-2011. Diunduh dari http://www.bps.go.id/publications/publikasi
tanggal 4 April 2013.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). 2012. Perencanaan Efisiensi dan Elastisitas Energi 2012. Jakarta : Penerbit BPPT,ISBN 978 – 979 – 3733 – 57 – 9.
Christensen, L.R., D.W. Jorgenson dan L.J. Lau. 1973. Transcedental Logarithmic Production Frontiers.Review of Economic and Statistics, 5(1) : 82-86.
Coelli, Timothy J, D.S PrasadaRao, Christopher J. O’Donnell, George E. Battese. 2005. An Introduction to Efficiency and Productivity Analysis 2nd Edition. New
Costanza, Robert. 1980. Embodied Energi and Economic Valuation.Science, New Series, Vol. 210 No. 4475 Desember 1980 (1219-1224), diunduh dari http://links.jstor.orgtanggal 10 April 2013.
Deliarnov. 2010. Perkembangan Pemikiran Ekonomi Edisi Ketiga. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Departemen Keuangan. 2013. Nota Keuangan dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Diunduh dari www.anggaran.depkeu.go.id tanggal 4 April 2013.
Griffin, James M. dan Paul R. Gregory. 1976. An Intercountry Translog Model of Energy Substitution Responses.The American Economic Review Vol. 66 No. 5 halm 845-857.
Hasibuan. Malayu S.P. 2000. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta : Bumi Aksara.
Hoppe, Hans Herman. 1992. The Misesian Case Against Keynes. London : Institut Ludwig von Mises.
International Energy Agency (IEA). 2005. Energy Statistics Manual. Diunduh dari
www.iea.orgtanggal 11 Mei 2013.
Ikhsan, A. 2005. Kebutuhan Bahan Baku Baja Masih Terus Meningkat. BEI NEWS Edisi 28 Thn V
Jhingan, 2000. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Jakarta : Rajawali Press.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). 2006. Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2006-2025. Diunduh dari www.esdm.go.id
tanggal 3 Mei 2013.
---. 2011. Pengembangan Prototype Plant Kokas dengan Bahan Bakar Batubara. Diunduh darihttp://www.litbang.esdm.go.idtanggal 24 Juli 2013.
---. 2012. Handbook of Energy and Economic Statistics of Indonesia. Diunduh dari http://www.esdm.go.id/publikasi/handbook tanggal 4 April 2013.
---. 2013. Indikator Energi. Hak cipta pada Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, diunduh tanggal 10 April 2013 dari
http://www.konservasienergi indonesia.info/energy/indicator.
---. 2011. National Summit Perubahan Iklim 2011. Diunduh dari
www.menlh.go.id16 Juni 2012.
Kementerian Perindustrian. 2012. Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi. Jakarta : Biro Perencanaan Sekretariat Jenderal Kementerian Perindustrian.
---.2013. Siaran Pers Pembangunan Industri Berdaya Saing Tinggi. Diunduh dariwww.kemenperin.go.id/artikel/5835 tanggal 10 April 2013
Kim, Jung Woo, Jeong Yeon Lee, Jae Yong Kim, Hoe Kyung Lee. 2007. Source of Productive Efficiency : Inernational Comparison of Iron and Steel Firms.
Journal of Resources Policy31 (239-246).
Klacek, Jan et al. 2008. Total Factor Productivity in Czech Manufacturing Industry – KLEM Framework. Statistika (414-428).
Kodde, David A dan Franz C. Palm. 1986. Wald Criteria for Jointly Testing Equality and Inequality Restriction. Econometrica Journal Vol. 54 Issue 5 halm.1243-1248.
Kounetas, Kostas dan Kostas Tsekouras. 2009. Are the Energy Efficiency Technologies Efficient?Journal of Economic Modelling 27(274-283).
Koutsoyiannis, Anna. 2008. Modern Microeconomics 2nd Edition. London :
Macmillan Press.
Djojohadikusumo, Sumitro. 1991. Perkembangan Pemikiran Ekonomi Edisi I. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Mallick, Oliver Basu. 2005. Rostow’s Five Stage Model of Development and Its Relevance in Globalization. Essay in School of Social Science, University of Newcastle.
McEachern, William. 2001. Pengantar Ekonomi Mikro. Jakarta : PT Salemba Empat.
Miller, Rogeer LR, Meiners. 2000. Teori Ekonomi Intermediate Edisi 3. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Nicholson, Walter. 2002. Mikroekonomi Intermediet dan Aplikasinya, Edisi Kedelapan. Jakarta : Penerbit Erlangga.
Piesse, Jenifer dan Thirtle Colin. 2000.A Stochastic Frontier Approach to Firm Level Efficiency, Technological Change, and Productivity during the Early Transition in Hungary.Journal of Comparative Economics28 (473-501).
Rochman, N.T. 2003. Baja dan Baja Super, Pilar Masyarakat Berbasis Industri. Diunduh dariwww.nano.lipi.go.id/utama.artikel bulan April 2013.
Stern, David I. 1999. Is Energy Cost an Accurate Indicator of Natural Resource Quality?Ecological Economics, 31: 381-394.
Stern, David I. dan Cutler J. Cleveland, 2004. Energy and Economic Growth. Rensselaer Working Papers in Economics 0410, Rensselaer Polytechnic Institute, Department of Economics. Diunduh darihttp://www.economics.rpi. edu/workingpapers/rpi0410.pdftanggal 1 April 2013.
Sudjito, dkk. 2000. Diktat Termodinamika Dasar. Malang : Fakultas Teknik Jurusan Mesin Universitas Brawijaya.
Todaro, Michael P dan Stephen C Smith.2004. Pembangunan Ekonomi di DuniaKetiga. Erlangga : Jakarta.
Wang, H-J., and P. Schmidt. 2002. One-Step and Two-Step Estimation of the Effects of Exogenous Variables on Technical Efficiency Levels. Journal of Productivity Analysis Vol. 18(129-44).
Wolde-Rufael, Yemane. 2008. Energy Consumption and Economic Growth. Kumpulan Jurnal Elsevier, diunduh dari www.sciencedirect.com tanggal 10 April 2013.
Wu, Yanrui. 1995. The Productive Efficiency of Chinese Iron and Steel Firms.
Resources Policy Journal Vol. 21 No.3(215-222).