• Tidak ada hasil yang ditemukan

BERAS SEBAGAI SUMBER PANGAN DALAM KONTEK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BERAS SEBAGAI SUMBER PANGAN DALAM KONTEK"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BERAS SEBAGAI SUMBER PANGAN DALAM KONTEKS KEARIFAN LOKAL (UPAYA MEMPERKUAT KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA)

DI PULAU YAMDENA, MALUKU TENGGARA BARAT

Felecia P. Adam

Program Studi Agrobisnis Fakultas Pertanian Universitas Pattimura

ABSTRAK

Penelitian ini berjuan untuk mengeksplorasi budaya lokal masyarakat Yamdena dalam hubungannya dengan ketahanan pangan rumah tangga. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi pencerahan wawasan semua pihak dalam memahami ketahanan pangan secara komprehensif dan menemukan pola-pola lama ataupun pola-pola baru yang dapat dikembangkan sesuai dengan kebudayaan setempat dalam upaya menciptakan kemadirian pangan bagi masyarakat setempat.

Metode yang digunakan adalah metode diskriptif kualitatif dengan menggunakan FGD untuk mendalami masalah sehingga diharapkan akan dapat memberikan gambaran yang lebih nyata di lapangan. Penelitian ini menggunakan data pimer dan data sekunder pada 5 desa sampel di kabupaten MTB yaitu Wowonda, Kandar, Adaut, Watidal dan Wunlah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ; 1) praktek pertanian tradisonal masih melekat kuat dalam kehidupan masyarakat Yamdena, 2) tanaman padi memiliki nilai yang sakral karena berhubungan dengan filosofi hidup bahwa padi adalah ibu dari segala tanaman, 3) dengan pandangan sepeti ini maka padi dapat dibudidayakan dalam skala besar untuk memenuhi kebutuhan pangan sehingga kebutuhan beras tidak lagi dipasok dari luar daerah, 4) dengan varietas padi unggul lokal yang telah ada, maupun varietas unggul lainnya, perluasan areal tanam, ditambah dengan input teknologi budidaya dan pasca panen yang lebih baik, maka diharapkan produksi beras lokal dapat ditingkatkan, 5) kearifan lokal yang telah ada dan bernilai positif untuk mempercepat pembangunan pertanian dapat digunakan untuk mendorong tercapainya target program-program pemerintah.

Kata kunci : beras, pangan, kearifan lokal, ketahanan pangan, rumah tangga

I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang

(2)

Indonesia mempunyai keunggulan komparatif sebagai negara agraris dan maritim. Keunggulan komparatif tersebut merupakan fundamental perekonomian yang perlu didayagunakan melalui pembangunan ekonomi sehingga menjadi keunggulan bersaing. Dengan begitu perekonomian yang dikembangkan di Indonesia memiliki landasan yang kokoh pada sumberdaya domestik, memiliki kemampuan bersaing dan berdayaguna bagi seluruh rakyat Indonesia. Mengingat sektor pangan merupakan sektor yang strategis dalam menopang perekonomian nasional, pemantapan ketahanan pangan hendaknya dikembangkan secara bersamaan/simultan dengan pengembangan sektor ini. Memperhatikan cakupan permasalahan tersebut di atas, pembangunan ketahanan pangan diarahkan guna mewujudkan kemandirian pangan, untuk menjamin ketersediaan dan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang pada tingkat rumah tangga, daerah, dan nasional sepanjang waktu dan merata melalui pemanfaatan sumberdaya dan budaya lokal, teknologi inovatif dan peluang pasar, serta memperkuat ekonomi kerakyatan dan mengentaskan masyarakat dari kemiskinan.

1.2. Perumusan Masalah

Dari waktu ke waktu jumlah penduduk terus meningkat dan konsekuensinya adalah pangan yang harus dikonsumsi harus tersedia dalam jumlah yang cukup, aman dikonsumsi dan bisa diakses kapan saja. Bergesernya pola konsumsi masyarakat lokal mempunyai konsekuensi terhadap ketahanan pangan rumah tangga.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Teoritis

(3)

sebagai kondisi terpenuhinya pangan tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.

Sedemikian pentingnya pangan bagi peningkatan kualitas hidup manusia yang pada gilirannya akan berpengaruh pada ketahanan bangsa menyebabkan pemerintah telah mengupayakan berbagai regulasi yang berhubungan dengan pangan sebagai dasar legitimasi dalam pelaksanaan teknis di lapangan seperti PP No 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan; PP No. 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan; RPJMN 2005-2009; Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (pencanangan oleh Presiden pada 11 Juni 2005) dan Kebjakan Umum Ketahanan Pangan 2006-2009.

Timmer (1996) dalam Amang dan Sawit (1997) mengemukakan bagaimana eratnya keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi dengan ketahanan pangan mengambil kasus Indonesia, Jepang, dan Inggris. Disimpulkan bahwa tidak ada suatu negara dapat mempertahankan proses pertumbuhan ekonomi yang pesat tanpa terlebih dahulu memecahkan masalah ketahanan pangan (food security). Oleh karena itu, untuk negara dengan jumlah penduduk yang besar seperti Indonesia kebijaksanaan pangan khususnya beras masih tetap relevan. Dari banyak kejadian yang dialami Indonesia, Darwanto (2007) mengemukakan bahwa kebijakan perberasan nasional yang menyangkut hajat hidup banyak orang sangat memerlukan integrasi yang berlandaskan kemandirian bangsa. Pemberdayaan petani sebagai produsen beras domestik utama sebaiknya dilakukan dengan memberikan perlindungan kepada petani dari gejolak harga internasional, yang disertai dengan upaya memberikan dukungan perbaikan sarana dan prasarana sehingga petani mampu berkembang menjadi produsen sekaligus pengusaha berberasan yang kuat.

Aritonang (2000), mengutip Pedoman Umum Pelaksanaan Koordinasi Pembangunan Pangan yang dikeluarkan oleh Kantor Menpangan, 1994 mencoba menjelaskan tujuan pembangunan pangan adalah untuk menyediakan pangan yang cukup dari segi jumlah, mutu dan keragamannya. Kecukupan ini juga meliputi kontinyutas ketersediaan pangan yang merata disetiap daerah dan terjangkau oleh daya beli masyarakat.

2.2. Tinjuan Empiris

(4)

meningkatkan produksi beras sebagai sumber pangan utama. Setelah swasembada tercapai pada tahun 1984, kebijakan nasional ekonomi makro langsung melompat dari pertanian tradisional ke industri modern dengan menggunakan teknologi tinggi yang kurang berpihak pada aspek pertanian. Program transmigrasi yang digalakkan oleh pemerintah orde baru secara umum bertujuan untuk pemerataan, namun secara implisit juga ditempuh untuk mempertahankan swasembada beras. Tujuan implisit ini tidak bertahan lama karena kondisi fisik dan kebudayaan pertanian di luar Jawa tidak memungkinkan untuk mengembangkan padi sawah seperti di Jawa. Dalam jangka pendek produksi padi memang mengalami peningkatan yang signifikan dan beras menjadi primadona, akan tetapi akibat dalam jangka panjang adalah lingkungan tidak menjamin kesinambungan produksi, pola konsumsi masyarakat berubah, ketergantungan terhadap beras meningkat.

Dalam upaya peningkatan produksi beras di Indonesia hal-hal yang harus diperhatikan adalah: (1) adanya ketergantungan terhadap pasokan dari Pulau Jawa, (2) kehilangan hasil gabah pada saat panen dan pasca panen serta adanya fenomena penurunan rendemen (faktor konversi dari padi/gabah ke beras), dan (3) penurunan produktivitas per hektar. Seperti diketahui hingga kini Pulau Jawa masih memegang peran penting dalam penyediaan beras nasional dengan pangsa sekitar 56 % disusul Sumatera 22 %, Sulawesi 10 %, Kalimantan 5 %. Sedangkan Puslitbangtan melaporkan kontribusi Pulau Jawa sebesar 60 % dari produksi padi nasional. Dalam jangka panjang, mengandalkan Pulau Jawa tetap sebagai produsen utama bukanlah keputusan yang bijaksana karena tingkat persaingan penggunaan lahan di Pulau Jawa untuk kegiatan non pertanian sulit dibendung akibat dari tekanan jumlah penduduk, kebutuhan industri dan infrastruktur yang semakin meningkat.

Sebagian besar areal padi (51%) berada di Jawa dengan kontribusi produksi sekitar 57 % dari produksi beras nasional (Swastika dan Suhaeti, 2001). Data luas baku lahan sawah selama 10 tahun terakhir di Pulau Jawa menunjukkan penurunan sebesar 0,31 % per tahun, sementara di luar Pulau Jawa meski menunjukkan kecenderungan naik namun hanya 0,65 % per tahun (Mardianto, 2001).

(5)

tahun. Penurunan dan perlambatan pertumbuhan produktivitas padi tersebut merupakan akibat dari stagnasi teknologi produksi padi (Adnyana, dkk., 2000). Padahal sekitar 75 % pertumbuhan produksi beras diperoleh dari peningkatan produktivitas (Manwan, 1994). Sedangkan menurut Fagi, dkk (2002) kenaikan produktivitas memberikan kontribusi 80 % terhadap produksi padi selama 40 tahun. Peningkatan produktivitas padi akan mendorong pertumbuhan produksi padi yang pada akhirnya akan membuka peluang tumbuhnya perekonomian. Pertumbuhan ekonomi yang mantap yang diikuti dengan stabilitas politik telah terbukti memperbaiki ketahanan pangan (Soekirman, 1997). Kecenderungan produksi beras yang semakin menurun merupakan ancaman yang serius bagi ketahanan pangan.

Adjid, 1994 telah mengemukakan tentang konsep ketahanan pangan yang sangat terkait dengan swasembada pangan yang dinamik. Di sana disebutkan bahwa pada dasarnya, ketahanan pangan mencakup dua aspek penting yaitu: (1) ketersediaan pangan seimbang dengan jumlah yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan penduduk, pakan dan bahan baku industri, dan (2) akses penduduk terhadap pangan merata dan tersebar luas pada tingkat harga yang terjangkau oleh masyarakat. Dengan kata lain, ketahanan pangan merupakan akses penduduk terhadap pangan yang dibutuhkan untuk menjamin suatu kehidupan yang layak. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa tersedianya pangan, lapangan pekerjaan, pendapatan dan infra struktur merupakan determinan utama yang menentukan apakah suatu RT memiliki ketahanan pangan, artinya dapat memenuhi kebutuhan gizi bagi setiap keluarganya atau tidak. Cukup tidaknya persediaan pangan di pasar sangat berpengaruh pada harga pangan. Bagi keluarga yang tidak bekerja dan tidak berpenghasilan ataupun berpenghasilan tidak cukup, kenaikan harga pangan terutama beras dapat mengancam kebutuhan gizinya, berarti ketahanan pangan keluarganya juga terancam. Sebaliknya dapat pula terjadi, persediaan cukup, harga stabil tapi banyak penduduk tidak memiliki pekerjaan sehingga tidak mempunyai sumber pendapatan, berarti tidak mempunyai daya beli, juga menyebabkan ketersediaan pangan tidak efektif. Hal lain adalah terbatasnya aksesibilitas terhadap pangan karena infrastruktur yang tidak memadai, seperti jaringan transportasi yang menghambat bergeraknya pangan dari pusat-pusat ekonomi ke daerah-daerah yang jauh, salah satu diantaranya adalah Kabupaten Maluku Tenggara Barat.

(6)

3.1 Tujuan Penelitian

Mengeksplorasi budaya lokal masyarakat Yamdena dalam hubungannya dengan ketahanan pangan rumah tangga

3.2 Manfaat Penelitian

3.2.1 Memberikan pencerahan wawasan bagi semua pihak dalam memahami ketahanan pangan secara komprehensif

3.2.2 Menemukan pola-pola lama ataupun pola-pola baru yang dapat dikembangkan sesuai dengan kebudayaan setempat dalam upaya menciptakan kemadirian pangan bagi masyarakat setempat.

IV. METODE PENELITIAN

4.1 Waktu, Data dan sumber data

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2008 hingga Februari 2009 di kabupaten Maluku Tenggara Barat. Desa sampel adalah Wowonda (Kec. Tanimbar Selatan), Adaut dan Kandar (Kec. Selaru), Watidal (Kec. Tanimbar Utara) dan Wunlah (Kec. Wuarlabobar). Dengan menggunakan data yang bersumber dari data sekunder dan data primer. Data sekunder diperoleh melalui instansi permerintah ataupun lembaga non pemerintah yang terkait. Data primer diperoleh langsung dari lapangan dengan jalan wawancara dan diskusi dengan masyarakat.

4.2. Definisi operasional

 Ketahanan pangan ; adanya keterjaminan bahwa setiap penduduk (siapa saja) di suatu wilayah (dimana saja, kapan saja) tercukupi kebutuhan pangan dan gizinya sebagai syarat utama untuk mencapai derajat kesehatan dan kesejahteraan.

 Rumah Tangga ; kelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik dan biasanya tinggal bersama serta makan dalam satu dapur (BPS, 1997)

 Pangan pokok ; makanan sumber karbohidrat (beras, jagung, ketela, umbian, pisang)

(7)

4.3 Metode analisa

Metode yang digunakan adalah metode diskriptif kualitatif dengan menggunakan FGD untuk mendalami masalah sehingga diharapkan akan dapat memberikan gambaran yang lebih nyata di lapangan.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Untuk mengetahui konsumsi bahan makanan di Maluku, data yang yang tersedia dan kemudian digunbakan sebagai dasar dalam penelitian ini adalah adalah Neraca Bahan Makanan dan Pola Harapan Hidup Provinsi Maluku tahun 2004.

Tabel 1. Penyediaan Beras dan Bahan Pangan Pokok Lokal Bahan Pangan Pokok Produksi Penyediaan

(ton/th)

Harus tersedia (gr/kap/thn)

Beras sendiri 36.148 319,67

impor 143.738

Ubi kayu sendiri 77.648 161,01

Sagu sendiri 42.914 88,99

Sumber : Neraca Bahan Makanan dan Pangan Harapan Provinsi Maluku 2004 Dinas Pertanian Provinsi Maluku

(8)

ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dan individu, karena dalam wilayah yang tahan pangan masih dijumpai rumah tangga yang tidak tahan pangan.

5.1. Karakteristik Desa Sampel

Adaut & Kandar (Kecamatan Selaru)

Adaut terletak di Pulau Selaru, bisa ditempuh dengan motor laut dari kota Saumlaki dalam 2 jam perjalanan dengan biaya sebesar Rp. 15.000/org. Secara reguler, setiap hari transportasi ini tetap melayari rute Adaut-Saumlaki hanya 1x. Sebagai kota kecamatan, masyarakat Adaut memiliki karakteristik yang beragam. Mobilitas masyarakatnya cukup tinggi, hal ini dimungkinkan dengan fasilitas transportasi yang memadai. Fasilitas pendidikan yang cukup juga terletak di dersa ini yang juga dapat dimanfaatkan oleh desa-desa lain dalam wilayah kecamatan Selaru. Desa Kandar bisa ditempuh dengan motor laut dari kota Saumlaki dalam 4 jam perjalanan dengan biaya sebesar Rp. 20.000/org. Sama halnya dengan Adaut, secara reguler setiap hari transportasi ini tetap melayari rute Kandar-Saumlaki hanya 1x. Jika kondisi laut tidak memungkinkan (ombak besar) maka pelayaran akan berhenti dalam jangka waktu tertentu. Kadang-kadang pelayaran hanya bisa dilakukan 1x dalam seminggu. Kandar memiliki pontensi yang cukup besar untuk pengembangan tanaman padi ladang.

Wowonda (Kecamatan Tanimbar Selatan)

Wowonda dapat ditempuh dalam 30 menit perjalanan dari kota Saumlaki dengan jarak 20 km. Transportasi umum yang biasa digunakan masyarakat adalah bus dengan biaya sebesar Rp. 3.500/org. Desa ini merupakan sentra produksi tanaman sayuran yang mendominasi pasar di kota Saumlaki. Perkembangan kelompok tani di desa ini cukup menggembirakan karena membawa pengaruh yang positif bagi perkembangan usahatani masyarakat setempat. Umumnya anggota kelompok tani adalah para petani yang masih mempunyai hubungan kekerabatan yang sangat dekat sehingga kebun mereka juga terletak pada lokasi yang berdekatan satu dengan lainnya. Budidaya tanaman secara teknis agronomis sudah mulai diterapkan di desa ini dengan bantuan dinas pertanian setempat melalui penyuluhan dan sarana produksi.

(9)

Kecamatan Wuarlabobar terletak di pesisir barat, pada bagian tengah hingga ke ujung utara Pulau Yamdena. Wilayah Kecamatan ini juga mencakup beberapa pulau kecil diantaranya Pulau Labobar, Pulau Nus Wotar, Pulau Adodo, Pulau Molo dan beberapa pulau kecil lainnya. Desa-desa yang termasuk dalam wilayah kecamatan ini selain terletak di daratan Pulau Yamdena, juga tersebar di pulau-pulau kecil tersebut. Keadaan ini menjadi kendala bagi pemerintah kecamatan Wuarlabobar dalam melakukan koordinasi dengan pemerintah desa di pulau-pulau tersebut. Kecamatan Wuarlabobar cukup spesifik dibanding dengan kecamatan lain di Pulau Yamdena. Latar belakang penduduknya cukup beragam. Berbeda dengan kecamatan lain yang latar belakang penduduknya hampir seragam. Menurut sejarahnya, masyarakat yang mendiami desa-desa yang terletak di pantai barat daratan Pulau Yamdena yang masuk dalam wilayah kecamatan Wuarlabobar berasal dari pulaupulau kecil di sekitarnya seperti pulau Molo dan Pulau Adodo. Mereka berpindah secara swadaya pada awal tahun 1950-an. Dalam perkembangannya kemudian datang pula sebagian pendatang yang berasal dari wilayah Sulawesi yang kemudian menetap menjadi warga di beberapa desa di kecamatan ini. Fakta ini turut menciptakan keberagaman yang menjadi ciri khas kecamatan ini.

Transportasi utama hanyalah melalui laut dengan menggunakan motor laut atau ketinting milik warga di setiap desa. Saat angin barat bertiup pada bulan Oktober – Pebruari, sering menimbulkan gelombang laut disertai angin kencang di pantai barat. Pada saat itu transportasi yang menghubungkan kecamatan tersebut dengan wilayah sekitarnya menjadi cukup sulit. Sebagai ibu kota kecamatan, Wunlah dapat dijangkau dengan motor laut 4-5 jam perjalanan dari kota Larat (Kec. Yamdena Utara) dengan biaya Rp.30.000/org. Motor laut secara regular melayani rute Larat-Wunlah 2x seminggu. Sebagai kota kecamatan yang baru dimekarkan, Wunlah masih sangat jauh dari wajah kota kecamatan. Fasilitas sosial seperti sekolah masih sangat minim (1 SD, 1 SMP, 1 SMU). Fasilitas kesehatan yang ada hanya Puskesmas Pembantu dan 1 orang petugas kesehatan. Fasilitas ekonomi seperti lembaga keuangan/koperasi tidak dijumpai di Wunlah.

Watidal (Kecamatan Tanimbar Utara)

(10)

yang sangat dekat dengan kota kecamatan maka Watidal merupakan desa yang cukup berkembang dibandingkan desa lainnya karena dapat memanfaatkan fasilitas sosial maupun ekonomi yang ada di Larat. Fasilitas pendidikan yang tersedia di desa hanyalah SD dan SMP. Untuk jenjang SMU masyarakat desa Watidal memanfaatkan SMU yang berada di Larat. Pasar sebagai pusat aktifitas kegiatan ekonomi hanya terdapat di kota Larat, hal ini berakibat terhadap mobilitas masyarakat desa setempat.

5.2. Nilai Pangan

Pangan bukan hanya sesuatu untuk dimakan, tetapi pangan mempunyai nilai dan konsep yang relatif berbeda antar wilayah, daerah, bahkan negara karena itu pangan adalah bagian tak terpisahkan dari budaya masyarakat. Adalah penting menyatakan bahwa perilaku pangan individu berbeda dari perilaku yang diterima umum dalam sebuah populasi yang lebih besar. Pada tataran global, manusia dapat mengonsumsi apa saja asal bukan racun untuk memenuhi kebutuhan pangan. Pada tataran wilayah/daerah, nilai ini mengalami pergeseran. Budaya dan situasi yang berbeda akan menghasilkan respons yang berbeda terhadap suatu produk yang sama. Dalam budaya tertentu sesuatu dapat dimakan tetapi dalam budaya yang lain belum tentu itu dapat dimakan. Misalnya kebudayaan tertentu, babi dilarang untuk dikonsumsi tetapi dalam kebudayaan lain babi dapat dikonsumsi, dan pada kebudayaan yang lain babi dianggap sebagai hewan yang suci. Di Meksiko serangga dikonsumsi dengan bebas bahkan dijual dalam kemasan plastik tetapi di Amerika tidak dijumpai hal yang sama (Van Huis, 2003 dalam Hartog, 2006). Di Yamdena, pangan yang sangat erat dengan kehidupan masyarakat adalah ubi dan babi, baik ditataran wilayah hingga tingkatan RT. Kedua jenis pangan ini selalu dihidangkan pada setiap acara-acara adat bahkan di menu harianpun akan dijumpai ubi dan babi. Beras menjadi unsur yang penting dan selalu ada dalam upacara-upara adat karena beras dianggap memiliki nilai yang sakral. Beras identik dengan kehidupan baru, oleh karena itu dalam setiap musim tanam, padi harus selalu ditanam di dalam areal yang sama dengan tanaman lainnya. Ada anggapan bahwa tanaman lain akan mengalami pertumbuhan dan menghasilkan produk maksimal jika padi juga ditanam dan bertumbuh secara bersama-sama hingga tiba saat panen nanti.

(11)

dalam istilah energi dan asupan gizi. Hartog, 2006 menyimpulkan bahwa apa yang dikonsumsi oleh masyarakat pada dasarnya ditentukan oleh empat faktor dasar utama yang saling terkait:

 Faktor-faktor geografis seperti iklim, jenis tanah, dataran rendah, dataran tinggi, pedesaan-perkotaan, dan bagaimana cara (seberapa banyak) ruang yang tersedia untuk produksi makanan, pemrosesan makanan dan pengangkutan yang terorganisasi.

 Faktor waktu, pembangunan sosial-ekonomi, dan perubahan-perubahan alami jangka panjang dan jangka pendek; apa yang telah kita manfaatkan sebagai makan atau bukan makanan juga dipengaruhi oleh warisan budaya dari generasi-generasi terdahulu.

 Budaya selanjutnya menentukan sikap terhadap makanan terkait dengan apa yang bisa dimakan atau tidak, dengan siapa, dimana, dan kapan waktunya makan.

Dengan mempertimbangkan ketiga faktor dasar pertama, akses masyarakat atau rumah tangga pada makanan selanjutnya akan menentukan makanan aktual yang diterima. Demikian halnya juga dengan masyarakat Yamdena, dengan kultur kebudayaan pertanian yang berkembang secara alamiah tidak bisa melepaskan padi, ubi dan babi dari kehidupan usahataninya.

Alam Yamdena memang telah menyediakan ketiga jenis pangan ini secara luar biasa. Varietas padi lokal berupa beras merah, putih dan hitam, dan beragam kultivar tanaman umbian dijumpai diseluruh kepulauan Yamdena sangat bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan pangan karbohidrat. Untuk memenuhi kebutuhan protein, masyarakat memperolehnya dari hutan disekitarnya dengan berburu babi, ataupun hewan lain yang dapat dimakan seperti berbagai jenis burung, sedangkan dari laut dapat dimanfaatkan berbagai jenis ikan dan hasil laut lainnya.

5.3. Kearifan Lokal

Kesadaran akan pentingnya memelihara keseimbangan lingkungan hidup telah dimiliki oleh nenek moyang kita sejak lama. Dengan cara berfikir dan tradisinya yang sederhana mereka mampu menciptakan cara-cara maupun institusi untuk melestarikan lingkungan alamnya. Dalam perkembangan selanjutnya kondisi ini dikenal dengan istilah kearifan lokal. Kearifan lokal terbentuk karena adanya hubungan antara masyarakat tradisonal dengan ekosistem disekitarnya. Mereka memiliki sistem kepercayaan, hukum dan pranata adat, pengetahuan dan cara mengelola sumberdaya alam secara lokal.

(12)

(harmoni) hubungan manusia dengan alam sekitarnya, masyarakat tradisonal lebih condong memandang dirinya sebagai bagian dari alam itu sendiri ; (2) rasa memiliki yang eksklusif atas suatu kawasan atau sumberdaya lam sebagai kepemilikan bersama (common property) sehingga mengikat semua warga untuk menjaga dan mengamankan sumberdaya alam ini dari pihak luar; (3) sistem pengetahuan masyarakat setempat yang memberi kemampuan kepada masyarakat untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang terbatas; (4) daya adaptasi dalam penggunaan teknologi sederhana yang tepat guna dan hemat sesuai dengan kondisi alam setempat; (5) sistem alokasi dan penegakan aturan adat yang bisa mengamankan sumberdaya milik bersama dari penggunaan berlebihan; dan (6) mekanisme pemerataan hasil panen yang proporsional atas sumberdaya milik bersama agar dapat mencegah munculnya kesenjangan yang berlebihan di dalam masyarakat (Nababan, 1995).

(13)

lahan yang saling berdampingan, sehingga frekuensi penyuluhanpun mungkin akan bisa ditingkatkan, selain itu masalah keterbatasan tenaga penyuluh pun dapat diatasi.

SISTIM ARIN

Sistim ini dikenal diseluruh kepulauan Yamdena. Arin adalah lahan usaha baru yang diusahakan secara bersama-sama oleh masyarakat dengan sistim perladangan berpindah sehingga dalam jangka waktu 3-4 tahun mereka harus berpindah mencari tempat yang baru, selanjutnya tempat ini dibiarkan kosong dan mereka akan kembali lagi untuk mengolahnya pada 5 – 7 tahun kemudian. Sebuah arin dapat mencapai 100 hektar atau lebih dan dikelola oleh 5-10 kelompok yang terdiri dari 15-20 orang. Setiap orang mendapatkan luas lahan olahan dengan ukuran yang sama. Arin yang baru dibuka umumnya difokuskan pada tanaman padi ladang (padi merah) yang berasnya berwarna merah, hitam dan putih. Setelah panen padi, lahan usaha ditanami dengan tanaman pangan dan hortikultura. hama/binatang pengganggu yang dapat merusak tanaman padi yang akan ditanam. Waktu berburu harus disepakati secara bersama, pekerjaan ini hanya dilakukan oleh kaum laki-laki dan syaratnya adalah mereka yang berburu harus bebas konflik. Jika ada yang mempunyai konflik, diyakini akan mengalami kecelakaan pada saat berburu. Sebagai ungkapan syukur atas hasil buruan yang diperoleh, diadakan doa bersama oleh pemimpin agama, setelah itu baru dibagikan kepada semua orang yang berburu, dan kemudian hasil buruan ini akan dibagikan lagi kepada kerabat/tetangga mereka.

Pameri dilakukan pada bulan Oktober selama 3-7 hari dengan menggunakan peralatan yang sederhana seperti parang dan kapak (mancadu). Jika ada pohon-pohon besar seperti torem atau kenari maka harus digunakan chainsaw supaya lebih cepat selesai dan pekerjaan lebih ringan.

Kegiatan pameri pada umumnya dilakukan oleh kaum laki-laki. Saat pameri dilakukan, harus ada satu pohon besar yang letaknya ditengah lokasi harus ditinggalkan.

Setelah seluruh lokasi dibersihkan dari belukar, rumput dan pepohonan lainnya, barulah pohon ini ditebang oleh mangkei. Setelah pameri lokasi tersebut ditinggalkan selama ± 1 minggu hingga semua hasil pameri menjadi kering dan siap untuk dibakar. Biasanya pembakaran lokasi hanya dilakukan dalam 1 hari pada bulan November, setelah itu pada bulan Desember lahan dibersihkan. Dalam tahapan ini (pameri - proses pembakaran), mangkei akan bertindak selaku penjaga lokasi.

(14)

Setelah penanaman selesai, orang terakhir yang menanam yang dikenal dengan mangapelat akan melaporkan kepada mangkei, mangkei akan datang ke lokasi untuk berdoa setelah selesai penanaman. Setela berdoa mereka yang berstatus lolat

terhadap mangkei akan memberikan pemberian wajib berupa 2 buah ketupat dan pemberian sukarela lainnya (misalnya sopi dan ikan) kepada mangkei.

Hasil yang baik dari tanaman padi diyakini masyarakat sebagai akibat dari penghormatan kepada para leluhur. Artinya dengan menghormati leluhur melalui upacara adat akan membuat para leluhur menjaga tanaman padi hingga panen nanti. Karena itu upacara adat menjadi hal yang penting ketika mengawali musim tanam padi ladang. Semua masyarakat diharapkan untuk mengikuti upacara ini sebagai rasa hormat terhadap leluhur, sebelumnya lokasi upacara disiapkan oleh semua masyarakat, laki-laki, perempuan dan anak-anak, semuanya bekerja bersama-sama. Perempuan menyiapkan makanan, utamanya adalah ketupat yang digantung pada sebuah tiang (bisa juga beberapa tiang) yang telah disiapkan dengan hiasan. Upacara dimulai dengan tarian seorang gadis remaja yang didandani pakaian adat. Kemudian ada iringan tarian cakalele oleh para lelaki.

Sebagian dari para wanita akan tetap melakukan Sebagian wanita pekerjaan ini (menggantung ketupat) dan sebagian lagi wanita akan menari diiringi tifa dan gong sebagai ungkapan sukacita, sambil menunggu kepulangan para lelaki yang sementara berburu babi di hutan. Jika kaum lelaki yang berburu telah pulang dengan hasil buruannya, mereka akan langsung bergabung pada lokasi upacara yang telah ditentukan. Kaum perempuan akan menyambut mereka dengan nyanyian diringi tifa dan gong. Syairnya dalam bahasa daerah setempat yang menceritakan tentang kegiatan tanam padi hingga manfaat padi bagi banyak orang. Hasil buruan berupa 1 ekor babi hutan akan di lepaskan ditengah-tengah lokasi perayaan upacara, dan larinya diarahkan ke tiang yang sudah digantung ketupat. Diharapkan ketika binatang buruan ini dilepaskan akan menyeruduk tiang ketupat, lalu ketupat akan jatuh sehingga banyak orang menangkapnya untuk kemudian dimakan. Akan tetapi para ibu yang berjaga-jaga di bawah tiang juga akan tetap menghalanginya dengan cara menggosok tubuh laki-laki dan wajah laki-laki dengan arang. Tindakan para ibu ini mencerminkan usaha keras untuk memperoleh sesuatu (=makanan). Setelah ketupat habis, maka tiang akan dicabut dan selanjutnya mereka saling menyiram dengan air atau saling menggosok menggosok arang satu dengan lainnya. Sesama saudara kandung tidak boleh saling menggosok dengan

arang .

Waktu panen pertama dikenal dengan istilah makan padi baru

(15)

Selain kelembagaan tradisional seperti sistim arin, dikenal juga kelembagaan ekonomi yang berkembang seiring dengan perkembangan ekonomi seperti kelembagaan permodalan, sarana produksi dan pemasaran seperti pada Gambar 5.2 berikut ini.

Gambar 5.2 Lembaga pemasaran di Yamdena

Lembaga permodalan maupun sarana produksi tidak menyentuh hingga ke petani produsen, jangkauannya hanya sebatas pedagang pengumpul di desa dan kecamatan. Oleh karena itu seluruhn jaringan pemasaran dikuasai oleh pedagang, yang jelas-jelas mengejar keuntungan individu. Harga ditentukan

Sarana produksi

Sarana permodalan

Pedagan g

pengump ul desa

Pedagang pengumpul kecamatan dan

di kota Larat

(16)

oleh pedagang sehingga petani tidak memiliki posisi tawar mengakibatkan petani selalu berada pada pihak yang dirugikan. Pada umumnya petani dari desa langsung menjual hasil kebunnya di pasar Saumlaki. .Demikian juga halnya dengan di Larat. Akan tetapi karena ongkos transpor yang mahal, maka hasil kebun yang hendak dijualpun dalam jumlah terbatas.

Di Wowonda karena usahatani sayuran berkembang dengan sangat baik, maka petani sayuran menjadi incaran para pedagang pengumpul di pasar kecamatan/kabupaten. Karena pedagang pengumpul ini sangat memonopoli pasar, maka petani harus menyerahkan hasil kebunnya untuk dijual oleh pedagang. Setelah penjualan selesai barulah uang hasil penjualan diserahkan kepada petani. Pada tahapan ini pedagang telah mengambil keuntungan dari hasil jual.

5.4. Pola Konsumsi

Beras bukan sesuatu yang baru bagi masyarakat di wilayah MTB, karena dari dulu mereka sudah mengonsumsi nasi sebagai bagian dari menu keluarga, hanya saja jumlah yang dikonsumsi tidak dalam jumlah banyak karena beras bukan menjadi bahan makanan pokok masyarakat tradisonal. Seiring dengan perkembangan waktu yang membawa berbagai perubahan termasuk perubahan pola konsumsi, maka masyarakat mulai beralih ke beras sebagai menu pokok dalam menu kesehariannya. Beras identik dengan modernisasi pertanian, sehingga ”nilai” beras menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan bahan pangan pokok yang lain seperti jagung, ketela, ubi dan pisang. Keadaan ini menimbulkan anggapan dan membentuk pola pikir yang baru bahwa apabila bahan pangan lokal non beras, maka kondisi ini ini menjadi gambaran”kemunduran”. Saat ini beras menjadi barang normal untuk konsumen kota maupun desa.

(17)

konsumsi masyarakat setempat dapat dikategorikan menjadi 3 pola seperti pada Gambar 5.1.

Nasi + sayur + ikan

Nasi + Jagung + ketela + pisang + ubi + ikan

(disajikan bersama dalam jumlah sedikit)

Substitusi bahan makanan pokok lain + sayur + ikan

Gambar 5.1 Pola konsumsi RT terpilih

Ketiga pola ini sangat umum dijumpai dalam konsumsi masyarakat setempat. Pola ke-1 adalah nasi sebagai menu utama ditambah sayur dan ikan, pola ini digunakan saat persediaan beras masih banyak biasanya pada awal musim panen padi. Pola ke-2 digunakan ketika masih ada banyak persediaan bahan makanan. Dalam jumlah sedikit tetapi beragam, menu sehari-hari dapat terdiri dari beberapa jenis makanan pokok ditambah dengan sayur dan ikan sebagai nlauknya, sering terjadi saat musim panen. Pola ke-3 terjadi substitusi nasi dengan bahan pangan lain karena persediaan beras tidak lagi mencukupi. Pada kondisi ini menu utamanya adalah ketela dan umbian. Dari semua pola yang ada, beras masih mendominasi konsumsi harian masyarakat,

diikuti umbian, ketela, jagung dan pisang.

Dari studi kualitatif melalui wawancara mendalam dapat diketahui bahwa meskipun masyarakat masih menganggap bahwa makanan pokok mereka adalah ketela dan ubian tetapi beras masih merupakan komoditi yang ”bernilai” di masyarakat.

Pola 1

Pola 2

(18)

Boks 5.1 Pergeseran nilai pangan lokal (kesimpulan FGD)

Kutipan boks 1 sangat jelas memberi

memberikan gambaran bahwa

masyarakat dengan kesadaran

sendiri menentukan pilihan untuk menjadikan nasi

sebagai sumber karbohidrat utama dalam menu hariannya. Pilihan ini sangat

ditentukan oleh ciri - ciri organoleptik dari

makanan yang memiliki pengaruh kuat

untuk diterima ataupun ditolak. Demikian juga

halnya beras, dengan rasa yang lebih enak, bau yang

(19)

target gaji yang akan diperoleh tiap bulan sebagai standar kelayakan ekonomi, status PNS juga menjadikan mereka sebagai orang yang berhasil, akses terhadap berbagai kesempatanpun menjadi terbuka luas dan ada fasilitas PNS yang bisa dinikmati diantaranya adalah ”jatah beras”. Dengan pola pikir seperti ini, maka lahan PNS menjadi target bagi setiap pencari kerja. Fasilitas yang diperoleh sebagai PNS tidak saja dinikmati oleh PNS yang bersangkutan, tetapi juga dapat dinikmati oleh keluarga besarnya. Misalnya saja, jatah beras yang diperoleh, tidak saja dikonsumsi oleh PNS tersebut, tetapi bisa juga dibagikan kepada orang tua di kampung atau keluarga yang lain. Beras untuk kebutuhannya bisa dibeli dengan gajinya setiap bulan.

(20)

5.5. Identifikasi Jenis Padi Lokal di MTB

Dua jenis padi gogo asli dari Maluku Tenggara Barat yang berhasil diidentifikasi oleh BPTP Maluku yaitu padi ‘hitam’ dan padi ‘merah’. Pengusahaan kedua jenis padi ini mulai jarang dilakukan, karena kebutuhan beras masyarakat tercukupi dari beras yang yang diperdagangkan di pasar-pasar, toko-toko maupun bantuan pemerintah daerah. Deskripsi padi hitam dari desa Ilngei (Kecamatan Tanimbar Selatan) memiliki kesesuaian lahan cocok pada tanah yang mempunyai kandungan bahan organik tinggi dan tidak toleran terhadap naungan. Keunggulannya adalah tahan terhadap blast yang selama ini menjadi musuh tanaman padi dan tahan rebah. Deskripsi padi merah dari desa Lorululun (Kecamatan Tanimbar Selatan) memperlihatkan beberapa keuungulan antara lain jumlah anakan per rumpun bisa mencapai 14 batang, tahan rebah, dan kadar amilosa tinggi.

Tabel 2. Deskripsi padi ‘hitam’ dari kecamatan Lorulung, Kabupaten MTB yang ditumbuhkan di BPTP Maluku.

Daerah Asal : Desa Ilngei, Kec.Tanimbar Selatan, Kabupaten MTB

Golongan : Cere

Umur tanaman : 104 hari

Bentuk tanaman/tinggi tanaman : Tegak/137 cm Anakan produktif : 20 batang

Warna telinga daun : Hijau agak kekuningan

Bentuk gabah : Sedang

Kesesuaian Lahan - Tidak sesuai pada tanah berpasir

- Cocok pada tanah yang mempunyai kandungan bahan organik tinggi

(21)

Deskriptor : M.P. Sirappa Sumber : BPTP Maluku-Distan, 2007

Tabel 3. Deskripsi padi ‘merah’ dari kecamatan Lorulung, Kabupaten MTB yang ditumbuhkan di BPTP Maluku.

Daerah asal : Desa Lorulun, Kec. Wer Tamrian, Kab. MTB Posisi daun bendera : Tegak Warna lidah daun : Ungu

Warna telinga daun : Hijau agak kekuningan Bentuk gabah : Agak Bulat

(22)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan

1. Praktek pertanian tradisonal masih melekat kuat dalam kehidupan masyarakat Yamdena. 2. Tanaman padi memiliki nilai yang sakral karena berhubungan dengan filosofi hidup bahwa padi adalah ibu dari segala tanaman.

3. Dengan pandangan sepeti ini maka padi dapat dibudidayakan dalam skala besar untuk memenuhi kebutuhan pangan sehingga kebutuhan beras tidak lagi dipasok dari luar daerah. 4. Dengan varietas padi unggul lokal yang telah ada, perluasan areal tanam, ditambah dengan input teknologi budidaya dan pasca panen yang lebih baik, maka diharapkan produksi beras lokal dapat ditingkatkan.

5. Kearifan lokal yang telah ada dan bernilai positif untuk mempercepat pembangunan

pertanian dapat digunakan untuk mendorong tercapainya target program-program pemerintah.

6.2. Saran

1. Langkah yang terpadu dan sinergis perlu diciptakan oleh pemerintah daerah dalam mengoptimalkan fungsi dan peran semua komponen yang terlibat di dalam pembangunan. 2. Pemerintah daerah harus proaktif dengan kebijakan yang pro-rakyat sehingga manfaat pembangunan benar-benar dapat dinikmati oleh masyarakat Yamdena.

3. Faktor transportasi yang menjadi kendala utama, harus mendapat perhatian yang lebih serius dari pemerintah daerah dengan jalan mengandeng pihak swasta untuk pengelolaan yang lebih profesional namun tetap di bawah kontrol pemerintah.

DAFTAR PUSTAKA

Adjid, Dudung Abdul 1994.“Kebijaksanaan Swasembada Pangan dan Ketahanan Pangan”. Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III. Jakarta/Bogor 23-25 Agustus 1993.

Alfons, J.B., M. Pesireron, A.J. Rieuwpassa, R.E. Senewe, dan F. Watkaat.

(23)

Amang, Beddu dan M. Husein Sawit. 2001. “Kebijakan Beras dan Pangan Nasional”.

Pelajaran dari Orde Baru dan Orde Reformasi, IPB. Press Bogor. Edisi Kedua. Aritonang, Irianton 2000. “Krisis Ekonomi:Akar Masalah Gizi”. Media Pressindo Yogyakarta

Badan Pusat Statistik Kabupaten Maluku Tenggara Barat. 2004. ”Maluku Tenggara Barat Dalam Angka Tahun 2007”. BPS Maluku Tenggara. Saumlaki.

Dinas Pertanian Provinsi Maluku, 2004. “ Neraca Bahan Makanan dan Pangan Harapan

Provinsi Maluku 2004”. Ambon

FAO, 1996. “World Food Summit”. 13-17 November 1996. Rome, Italy : Food and Agriculture Organization of the United Nations.

Fagi, Achmad M., Irsal Las dan M. Syam. 2002. “Penelitian Padi : Menjawab Ketahanan Pangan Nasional”. Balai Penelitian Tanaman Padi. Badan Litbang Pertanian. Hartog Adel P, van Staveren and Inge D Brouwer, 2006. “Food Habits and Consumption in

Developing Countries-Manual for field studies”. Wagenningen publisher. The

Netherlands John van de Ven, 2000 .“Members Only ; Time Sharing Rice Fields and Food Security Scurity in a Sumatran Valley, dalam Coping with in security an underall perspective on social security in the third world, editor Frans von Benda-Beckmann, Keebet von Benda-Beckman dan Hands Marks, Pustaka Pelajar Indonesia, Yogyakarta

Manwan, Ibrahim.1994.“Strategi dan Langkah Operasional Penelitian Tanaman Pangan Berwawasan Lingkungan”. Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III. Jakarta/Bogor 23-25 Agustus 1993.

Mardianto, S. 2001. “Mungkinkan Konsumsi Beras Turun?”. Kompas 3 Juli 2001. Peraturan Pemerintah P No. 28 tahun 2004. “Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan” Peraturan Pemerintah Nomor 68 tahun 2002. “Ketahanan Pangan”

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2005 – 2009, 2005. “Revitalisasi Pertanian, Perikanan ,dan Kehutanan” (pencanangan oleh Presiden pada 11 Juni 2005) Simatupang, Pantjar.2000. “Anatomi Masalah Produksi Beras Nasional dan Upaya Mengatasinya.

Kumpulan Materi Seminar Nasional Perspektif Pembangunan Pertanian dan Kehutanan Tahun 2001 Ke Depan. 9-10 November 2000. Pusat Penelitian Sosial

Ekonomi Pertanian, Badan Litbang Pertanian.

Soekirman. 1997. “Ketahanan Pangan. Konsep, Kebijakan dan Pelaksanaannya”. dalam

(24)

Swastika, Dewa K. Sadra dan Rita Nur Suhaeti, 2001. “Swasembada Pangan,

Mungkinkah?” Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian.Vol.23 No.4. 2001. Badan Litbang Pertanian. Hal.6-8.

Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1996 tentang “Pangan”

World Bank, 2007. ”Era Baru dalam Pengentasan Kemiskinan di Indonesia”. Jakarta. Darwanto,Dwijono Hadi 2007.“Ke Mana Arah Perkembangan Perberasan Nasional

Mendatang?”.. Harian Suara Pembaruan, www.suarapembaruan.com 10 April

Gambar

Gambar 5.2 berikut ini.
Tabel 2. Deskripsi padi ‘hitam’ dari kecamatan Lorulung, Kabupaten MTB yang ditumbuhkan di BPTP Maluku.
Tabel 3.  Deskripsi padi ‘merah’ dari kecamatan Lorulung, Kabupaten MTB

Referensi

Dokumen terkait

Perumusan Penyusunan Pola Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai: IDENTIFIKASI PROGRAM-PROGRAM YANG DAPAT MENJADI ACUAN UNTUK PENYUSUNAN RENCANA IINDUK (MASTER PLAN)

Penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan masukan terhadap penerapan COLREG 1972 dalam upaya meminimalisir kejadian tubrukan kapal di laut yang disebabkan oleh

Berdasarkan hasil penelitian data yang kemudian telah diolah dengan menggunakan software SPSS 16.00 dapat dibuktikan bahwa disiplin kerja berpengaruh langsung

Adanya kerjasama tersebut tentunya akan menguntungkan kedua belah pihak, perajin yang kelebihan order tidak perlu menambah tenaga kerja tapi produksinya selesai,

6. Informed consent yang sudah di tanda tangani oleh pasien atau keluarga pasien disimpan dalam rekam medic.. Bila informed consent yang diberikan oleh pihak lain atau pihak ke

Pada penelitian ini akan berfokus mengenai bagamaimana player dapat menyelesaikan permainan melalui kontrol pergerakan yang di lakukan, maka membutuhkan suatu

Kesimpulan yang dapat disimpulkan berdasarkan hasil penelitian tentang pengaruh pemberian ekstrak buah pare ( Momordica charantia Lynn ) terhadap kolesterol pada tikus wistar

Metode yang digunakan dalam perancangan ini adalah metode kualitatif. Metode kualitatif dipilih karena perancangan menggunakan lingkungan alamiah sebagai sumber