Page 1 REVITALISASI HAK ASUH DAN HAK NAFKAH ANAK DALAM
KELUARGA YANG MENGALAMI PERCERAIAN1
Anjar Sri Ciptorukmi Nugraheni
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Jl. Ir Sutami No 36 A Telp. (0271)664989, Fax. (0271)664989
acnugrah@gmail.com
Abstrak
Banyak putusan perceraian yang di dalam amarnya tidak mencantumkan hak asuh dan hak nafkah anak. Dari sisi kepastian hukum, hal ini jelas merugikan hak anak-anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan tersebut. Oleh karenanya penulis melakukan penelitian dengan tujuan revitalisasi hak asuh dan hak nafkah anak dalam penanganan kasus perceraian.
Penelitian yang dilaksanakan termasuk penelitian sosiologis. Data primer diperoleh melalui wawancara dan FGD serta data sekunder diperoleh melalui studi pustaka putusan-putusan hakim di PN dan PA Kota Surakarta. Teknik analisis menggunakan analisis data kualitatif khususnya dengan metode deduktif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar putusan tidak mengandung amar putusan tentang hak asuh dan hak nafkah anak baik putusan perceraian di PN maupun PA. Hal ini karena perkawinan sering dipahami hanya sebagai hubungan perikatan antara laki-laki dan perempuan dalam ranah hukum keluarga, serta posita dan petitum surat gugat/permohonan cerai yang tidak memuat tentang hak asuh dan hak nafkah anak. Solusi yang disarankan penulis adalah mengarusutamakan bahwa semua anggota keluarga merupakan satu unit kesatuan, mewacanakan bahwa pendampingan dari advokat/paralegal sangat diperlukan untuk mengupayakan terjadinya kesepakatan antar para pihak tentang hak asuh dan hak nafkah anak yang kemudian dikuatkan dalam putusan hakim. Jika tidak tercapai kesepakatan maka tuntutan tentang hak asuh dan hak nafkah anak dimasukkan dalam petitum supaya diputuskan hakim dalam amarnya. Dengan adanya putusan hakim yang mempunyai kekuatan eksekutorial maka kepastian hukum guna melindungi hak-hak anak dapat diwujudkan.
Kata kunci: hak asuh, hak nafkah, anak, keluarga, perceraian.
A. Pendahuluan
Pernikahan merupakan fitrah manusia. Dengan pernikahan maka akan tercipta
ketenangan dan kenyamanan. Setiap orang tentu menginginkan hanya mengalami
satu kali pernikahan. Kemudian terbentuk keluarga dengan anak-anak yang manis
1
Page 2 sebagai penerus keturunan dan harta benda perkawinan untuk menjamin
kesejahteraan.
Namun kehidupan manusia sering tidak seperti yang direncanakan. Banyak
godaan dan hambatan sehingga pernikahan bisa putus. Apabila putusnya pernikahan
tersebut kehendak Alloh SWT, maka hak dan kewajiban dalam keluarga menjadi
hak dan kewajiban pasangan yang masih hidup. Tetapi apabila putusnya tersebut
karena perceraian atau keputusan pengadilan (pembatalan) maka akan ada
pembagian hak dan kewajiban menyangkut anak yang dilahirkan dalam atau akibat
perkawinan dan harta benda perkawinan.
Trend yang terjadi di Indonesia menunjukkan angka perceraian yang semakin
meningkat dari tahun ke tahun. Khusus di Kota Surakarta, angka perceraian
mengalami peningkatan sekitar 2-3 persen setiap tahun. Data yang didapat dari PN
Solo menyatakan jumlah gugatan perceraian yang masuk pada tahun 2010 sebanyak
83 kasus, tahun 2011 sebanyak 100 kasus dan tahun 2012 sebanyak 190 kasus
(Laporan tahunan PN Solo). Data Januari hingga September 2013, kasus perceraian
di PN Kota Solo mencapai 110 kasus. Sementara data yang dirilis PA Solo pada
2010 lalu jumlah angka perceraian di Kota Solo sebanyak 590 kasus. Pada tahun
2011 meningkat menjadi 666 kasus. Sementara pada tahun 2012 mencapai 733
kasus (Laporan tahunan PA Solo).
Banyak orang beranggapan bahwa dengan putusnya perkawinan maka keluarga
juga menjadi pecah. Padahal jika kita melihat definisi keluarga di UU Nomor 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 1 angka 3 menyatakan: ”Keluarga
adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami istri
dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya, atau keluarga sedarah
dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga”, maka
keluarga tetap ada walaupun perkawinan kedua orangtua putus. Hanya kemudian
jika sebelumnya semua anggota keluarga mendiami rumah yang sama maka dengan
putusnya perkawinan antara suami dan istri maka anggota-anggota keluarga
mendiami rumah yang berbeda. Hal ini lebih dikuatkan lagi dengan adanya
pemahaman bahwa “mantan istri” ada/dikenal, tapi “mantan anak” tidak ada.
Dengan adanya pemahaman baru ini maka begitu ada perkawinan terbentuklah
Page 3 tersebut menjadi hilang. Unit keluarga tersebut tetap ada jika telah ada anak-anak
yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan tersebut. Kecuali jika belum ada anak
yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut maka dengan putusnya perkawinan
berarti hilang juga unit keluarga tersebut. Apabila kelak bapak atau ibu
melangsungkan perkawinan dengan orang lain maka unit keluarga yang dulu ada
karena perkawinan yang lalu, bisa lebur dengan unit keluarga yang baru.
Dalam kaitannya dengan 8 (delapan) fungsi keluarga maka revitalisasi hak asuh
dan hak nafkah anak sangat berhubungan terutama dengan fungsi perlindungan.
Keluarga menjadi pelindung yang pertama, utama dan kokoh dalam memberikan
kebenaran dan keteladanan kepada anak-anak dan keturunannya. Di sini fungsi
perlindungan untuk mendorong keluarga agar dapat menciptakan suasana aman,
nyaman, damai, dan adil bagi seluruh anggota keluarganya. Selain itu penanaman
fungsi cinta kasih juga sangat bisa dirasakan. Keluarga menjadi wahana pertama dan
utama untuk menumbuhkan cinta kasih antar sesama anggotanya, antar orangtua
dengan pasangannya, antar anak dengan orangtua dan sesama anak sendiri.
(Retnoningsih Suharno, 2012:10).
Mengingat pentingnya hak asuh dan hak nafkah ini untuk menjamin tumbuh
kembang anak supaya optimal dan peran besarnya dalam pelaksanaan 8 fungsi
keluarga menjadi keluarga yang berkualitas, maka penulis sangat berbangga hati
dapat ikut sharing dalam seminar pemberdayaan keluarga di era desentralisasi ini.
B. Metode Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian eksplanatoris sosiologis. Data primer
diperoleh melalui wawancara dengan panitera dan hakim-hakim dari Pengadilan
Negeri dan Pengadilan Agama Kota Surakarta serta FGD yang dilakukan dengan
mengundang Advokat (Yb Irpan, Hastin Dirgantari), ATMA, YAPHI, Lehamas
Aisyiyah, P3G LPPM UNS dan dosen-dosen Fakultas Hukum UNS dari bagian
Perdata, Acara dan Humas. Data sekunder diperoleh melalui studi pustaka peraturan
perundang-undangan terkait perceraian, peraturan perundang-undangan terkait
hak-hak anak, angka statistic perceraian, putusan-putusan perceraian dari tahun 2010
Page 4 Surakarta (75 putusan), Yurisprudensi MA terkait perceraian, kasus-kasus
perceraian yang melibatkan anak di media massa.
Teknik cuplikan menggunakan purposive sampling sementara teknik analisis
menggunakan analisis data kualitatif khususnya dengan metode deduktif. Untuk
lebih menguji kebenaran dari data yang dikumpulkan supaya kesimpulan penelitian
benar-benar sahih, digunakan validitas data model triangulasi data.
C. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Dalam melakukan penelitian, tim melakukan studi pustaka terhadap 30 putusan
di PN, dan 75 putusan di PA Kota Surakarta. Hasil rekap putusan-putusan tersebut
dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:
Tabel 1. Rekap Sampling Putusan-Putusan Perceraian Pengadilan Negeri
Surakarta Tahun 2010-2012
NO Pengadilan dan tahun
Melibatkan anak Petitum Amar Putusan Verstek
Sumber data: data yang diolah dari putusan-putusan PN Surakarta
Tabel 2. Rekap Sampling Putusan-Putusan Perceraian Pengadilan Agama
Surakarta Tahun 2010-2012
NO Pengadilan dan tahun
Melibatkan anak Petitum Amar Putusan Verstek
Sumber data: data yang diolah dari putusan-putusan PA Surakarta
Dari kedua tabel di atas, dapat dilihat bahwa kasus perceraian yang melibatkan
anak ada dalam kisaran 72%-90%, namun petitum dalam surat gugat dan amar
putusan yang menyebutkan tentang hak asuh dan hak nafkah anak hanya sekitar
Page 5 1. Hal ini karena perkawinan sering dipahami hanya sebagai hubungan perikatan
antara laki-laki dan perempuan dalam ranah hukum keluarga.
Dengan adanya perkawinan yaitu akad antara laki-laki dan perempuan maka
terbentuklah keluarga. Dalam suatu perkawinan kemudian biasanya ada
anak-anak yang dilahirkan sehingga anggota keluarga menjadi bertambah. Dengan
demikian hubungan hukum yang terjadi tidak hanya antara laki-laki dan
perempuan tapi juga antara bapak dan anak serta ibu dan anak. Namun saat ada
kegagalan perkawinan, yang dipermasalahkan hanya pemutusan ikatan antara
suami dan isteri tersebut tanpa mempertimbangkan ada kepentingan anak yang
terancam menyangkut hak asuh dan hak nafkahnya. Padahal dengan adanya
pemutusan perkawinan maka keluarga tersebut kemudian menjadi terpisah. Di
sinilah sebenarnya menurut penulis merupakan titik krusial dari perceraian
tersebut. Yang harus dipikirkan sebenarnya adalah bagaimana kelanjutan
hak-hak (nasib) anak, bukan hanya nasib orangtua (hak-hak nafkah istri dan pembagian
harta gonogini).
Oleh karena itu diperlukan kesepakatan antara orangtua mengenai hak asuh
dan hak nafkah pasca perceraian. Supaya kesepakatan tersebut menjadi kuat
maka perlu dimasukkan dalam putusan hakim tentang perceraian. Jika para
pihak tidak menemukan titik temu maka tentang hal hak asuh dan nafkah anak
ini hendaknya didiskusikan dengan hakim untuk mendapat keputusan yang
terbaik, bisa dalam forum mediasi ataupun dengan memasukkan dalam posita
dan petitum surat gugat. Dalam hal ini sangat diperlukan pendampingan dari
pihak-pihak yang lebih paham hukum misalnya advokat dan LSM.
2. Posita dan petitum surat gugat/permohonan cerai dari para pihak yang tidak
memuat tentang hak asuh dan hak nafkah anak.
Putusan-putusan yang diperoleh penulis (105 putusan) dari kedua PN dan
PA, sebagian besar tidak didampingi oleh advokat/paralegal. Akibatnya para
pihak tidak mengetahui apa saja hal yang seharusnya dipermasalahkan saat
mengajukan permohonan/gugat cerai. Hal ini sebenarnya merugikan para pihak
sendiri dan terutama sangat merugikan kepentingan masa depan anak-anak
mereka. Dengan tidak adanya pembicaraan tentang hal ini maka kepastian
Page 6
D. Kesimpulan
1. Sebagian besar putusan (+75%) tidak mengandung amar putusan tentang hak
asuh dan hak nafkah anak baik putusan perceraian di PN maupun PA. Hal ini
karena perkawinan sering dipahami hanya sebagai hubungan perikatan antara
laki-laki dan perempuan dalam ranah hukum keluarga, serta posita dan petitum
surat gugat/permohonan cerai yang tidak memuat tentang hak asuh dan hak
nafkah anak
2. Solusi yang disarankan penulis untuk merevitalisasi hak asuh dan hak nafkah
anak adalah mewacanakan bahwa pendampingan dari advokat/paralegal sangat
diperlukan untuk mengupayakan terjadinya kesepakatan antar para pihak tentang
hak asuh dan hak nafkah anak yang kemudian dikuatkan dalam putusan hakim.
Jika tidak tercapai kesepakatan maka tuntutan tentang hak asuh dan hak nafkah
anak dimasukkan dalam petitum supaya diputuskan hakim dalam amarnya.
Dengan adanya putusan hakim yang mempunyai kekuatan eksekutorial maka
kepastian hukum guna melindungi hak-hak anak dapat diwujudkan.
E. Ucapan Terimakasih
Atas selesainya artikel ini, penulis dan tim mengucapkan terimakasih yang tak
terhingga kepada ketua, para hakim, dan panitera serta staf administrasi di PN dan
PA Kota Surakarta. Terimakasih penulis juga kepada teman-teman di ATMA,
YAPHI, LEHAMAS Aisyiyah, Advokat Hastin Dirgantari dan Yb Irpan,
teman-teman dosen FH, keluarga dan para pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu dalam persantunan ini.
DAFTAR PUSTAKA
A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto. 1988. Hukum dan Perkembangan Sosial.
Buku Teks Sosiologi Hukum Buku I. Jakarta. Pustaka Sinar Harapan.
Djaja S. Meliala. 2007. Perkembangan Hukum Perdata tentang Orang dan Keluarga.
Page 7 Andy Hartanto. 2012. Hukum Harta Kekayaan Perkawinan: Menurut Burgerlijke
Wetboek dan Undang-Undang Perkawinan. Yogyakarta. Penerbit Laksbang
Grafika.
M. Yahya Harahap. 2005. Hukum Acara Perdata. Jakarta. Sinar Grafika.
MG. Endang Sumiarni dan Chandera Halim. 2000. Perlindungan Hukum Terhadap
Anak dalam Hukum Keluarga. Yogyakarta. Penerbit Universitas Atma Jaya.
Mohd. Idris Ramulyo. 2006. Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara
Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam. Jakarta. Sinar Grafika
Munir Fuady. 2005. Perbandingan Hukum Perdata. Bandung. PT. Citra Aditya Bakti.
Pusat Buku. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan
Sariyatun, Trisni Utami dan Al. Sentot Sudarwanto. 2005. Pemahaman Terhadap KDRT
Dan Daya Kontrol Akses Perempuan Bekerja Terhadap Pengaturan Nafkah
Pasca Perceraian (Studi Kasus Pada Keluarga Wanita Bekerja Pasca Perceraian
di Surakarta). Laporan Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Gender
(P3G) LPPM UNS.
Satjipto Raharjo. 1986. Hukum dan Masyarakat. Bandung. PT. Angkasa.
---. 2003. Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Jakarta : Kompas
Setiono. 2004. Rule of Law (Supremasi Hukum). Surakarta: Magister Ilmu Hukum
Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.
Sudarsono.2005. Hukum Perkawinan Nasional. Cetakan ke-3. Jakarta. PT Rineka Cipta
Taufiqurrohman Syahuri. 2013. Legislasi Hukum Perkawinan Di Indonesia: Pro Kontra
Pembentukannya Hingga Putusan Mahkamah Konstitusi. Jakarta. Penerbit
Kencana Prenada Media Group.