• Tidak ada hasil yang ditemukan

FILSAFAT TUBUH DALAM OLAHRAGA kajian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "FILSAFAT TUBUH DALAM OLAHRAGA kajian "

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

TUBUH DALAM OLAHRAGA: ANTARA SUBJEK DAN OBJEK

Abstract

The Subjectivity of the body is the main theme of this paper, which would be compared and analyzed with the concept of the body as the object. It was implemented as a reconstruction philosophical base of sports science. The “tree” of sports science will re-root based on these result.

Keywords: Body, Sport, Subjectivity of the Body, Body as The Object

A. Tubuh dalam Lintasan Pemikiran

Literatur (Barat) tentang filsafat olahraga, dalam pengamatan Klause V. Meier (dalam Pramono, 2014) sebagian berkutat pada penyelidikan antropologis tentang hakikat dan struktur manusia, terutama persoalan tubuh dan jiwa yang diterapkan atau dimanifestasikan ke dalam bidang olahraga. Sayangnya, usaha-usaha penelitian filsafat tentang permasalahan kebertubuhan dan olahraga acapkali menghasilkan eksposisi yang penuh dengan ungkapan-ungkapan yang ngawur, penegasan-penegasan yang lemah, dan penyimpulan yang tidak mendukung dan keliru.

Penulis juga sempat menulis makalah tentang bagaimana peresapan nilai-nilai kebertubuhan ke dalam reinterpretasi nilai-nilai Pancasila. Salah satu kesimpulan dari makalah tersebut mengerucut pada nilai-nilai kemanusiaan khas Indonesia dan juga refleksinya yang terakomodir nilai-nilai kemanusiaan, untuk melihat hubungan subjek dan objek dengan lebih empatik. Pada dasarnya, objek adalah subjek pada dirinya sendiri (Pramono, 2011).

(2)

mozaik pemikiran serius bagaimana manusia patut menghargai tubuh, sebagaimana menghargai jiwa.

Pasi Falk (1993: 1) menegaskan, bahwa tubuh manusia menempati peran ambigu dan paradoksal dalam kategorisasi kultural. Peran “dobel” tubuh dapat dirumuskan dalam sejumlah oposisi biner: tubuh sekaligus adalah yang sama dan yang lain, subjek dan objek, interior dan eksterior. Atau, dari sudut pandang eksperimen, tubuh bergerak antara kehadiran dan ketidakhadiran.

Penegasan Falk tersebut mengandaikan persoalan yang sama untuk jiwa dalam hal kategorisasi kultural: jiwa tidak seruwet tubuh. Bisa dikatakan, semua manusia secara pribadi mengalami situasi setiap saat, bahwa jiwa adalah aku. Tidak ada oposisi biner di situ. Meskipun jiwa acapkali juga diposisikan sebagai objek pemikiran/penelitian, namun bisa dipastikan tak satupun pemikir/peneliti yang menulis dengan jujur bahwa saat memposisikan jiwanya sebagai objek pemikiran/penelitiannya, dia sedang membuat garis demarkasi antara dia dengan jiwanya. Hal yang berbeda ketika dia memposisikan tubuhnya sebagai objek pemikiran/penelitian, ada garis demarkasi antara dia dengan tubuhnya yang secara tegas bisa dilihat dari perlakuan-perlakuan yang merefleksikan objektivitas tubuh (memperlakukan tubuh sebagai objek). Jawaban yang paling mudah disuguhkan adalah bahwa proses kerja berpikir termasuk wilayah jiwa, tubuh hanya medianya. Dengan contoh kalimat, “aku menyadari jiwaku” bisa dibalik menjadi “jiwaku menyadari aku”, namun tidak untuk “aku menyadari tubuhku”. Letak kesadaran, bukan di tubuh, sehingga tubuh seolah-olah sudah pasti hanya bisa menjadi objek kesadaran. Itulah yang paling mudah memahamkan seseorang bahwa tubuh adalah objek, sedangkan jiwa bisa sebagai subjek dan objek tergantung konteksnya.

(3)

(am) tubuh. Persoalan having dan being ini dipergunakan secara bersamaan sesuai konteks dan diterima begitu saja sebagai ekspresi eksistensi manusia yang bertubuh. Jaman sekarang, menyebut “aku memiliki tubuh” lebih mengemuka dalam kehidupan sosial – khususnya di peradaban Barat kapitalis (O’loughlin, 2006). Hal ini tak bisa dielakkan manakala gelombang produksi-konsumsi telah meletakkan tubuh dalam posisi sentral yang berkaitan dengan persoalan menjual, membeli, manajemen persepsi, dan sebagainya yang menguatkan masalah kepemilikan manusia atas kebertubuhannya.

Zaner (1964) mengawali ulasannya tentang kebertubuhan dalam diskusi kefilsafatan, dengan mempersoalkan kesadaran, suatu refleksi tentang bagaimana kesadaran yang berhubungan dengan dunia secara absolut, dapat menempati karakter transendensi, dan bagaimana menjadi membumi. Kesadaran dapat “membumi” hanya karena menubuh (mengambil bentuk sebagai tubuh) sebagai bagian dunia. Sejauh dunia dipahami sebagai alam material, kesadaran harus mengambil bagian dari transendensi alam material. Kesadaran dengan demikian mengambil karakteristik keberadaan “di sini dan sekarang” dengan cara relasi eksperiensial terhadap keberadaan ragawi yang menubuhkannya. Kebertubuhan dari kesadaran dalam dunia ini, oleh Zaner ditekankan sebagai animate organism (organisme hidup). Signifikansi dari organisme hidup ini dalam mengkonstitusikan realitas objektif, pada tahapan pertamanya oleh Merleau-Ponty disebut dengan “le corps propre” (tubuhnya sendiri, tubuh hidup).

Istilah kebertubuhan (embodiment) dalam tulisan ini diadopsi dari Kate Cregan (2006) yang dipergunakan untuk mewakili pengalaman mental dan fisis dari eksistensi tubuh, yang menjadi kondisi posibilitas keterjalinan seseorang dengan orang lain dan dengan dunia. Kebertubuhan ini dialami secara beragam melintasi sejarah, formasi sosial kemasyarakatan, dan budaya-budaya.

(4)

pernyataan Saint Paul bahwa “nothing good dwells in me, that is, in my flesh”. Kesadaran bertubuh, daripada sebagai pernyataan kenikmatan, lebih cocok difokuskan pada pengalaman rasa sakit:

We can easily appreciate, however, why artists would focus on beautifying the body’s external form and why philosophers would find body consciousness a disconcerting matter and prefer to think of mind. As bodies are the clearest expression of human mortality, imperfection, and weakness (including moral frailties), so body consciousness, for most of us, primarily means feelings of inadequacy, our falling far short of the reigning ideals of beauty, health, and performance – a point that also indicates that body consciousness is always more than consciousness of one’s own body alone. Moreover, despite its share of intense pleasures, body consciousness is perhaps most acutely and firmly focused in experiences of pain (Shusterman, 2008: xi).

Pengalaman rasa nikmat atau rasa sakit merupakan kerja mental yang menjadi cakupan psikologi. Sebagai catatan saja, berbeda dengan aspek fisik, tubuh dalam kerangka teoritis dan empiris psikologis, hingga saat ini cenderung diabaikan. Hal ini tak lepas dari pengaruh dualisme Cartesian bahwa hal-hal seperti emosi, sosialitas, dan kognisi terpisah dari tubuh, sebagaimana program dalam software komputer yang harus dipelajari terpisah dari hardwarenya (Overton, Mueller, dan Newman, 2008: xv). Tentang psikologi tubuh, tulisan Ron Kurtz and Hector Prestera berjudul The Body Reveals: An Illustrated Guide To The Psychology Of The Body memadai untuk dijadikan referensi wajib. Di situ diperkenalkan apa yang bisa disingkap melalui struktur, postur, dan fisiognomi tubuh seseorang. Dengan pemahaman yang tepat, tubuh berbicara jelas, menyingkap karakter dan cara berada seseorang dalam dunia. Menyingkap kepribadian trauma masa lalu dan masa kini, ekspresi dan ketidakekspresian perasaan (Kurtz and Prestera, 1976).

(5)

sebagai editornya, bahkan Victoria Pitts Taylor menjadi editor untuk Cultural Encyclopedia of The Body (2008)], atau pendidikan [misalnya tulisan Marjorie O’loughlin, Embodiment and Education: Exploring Creatural Existence (2006)]. Tulisan O’Loughlin (2006) mengkaji tubuh dengan mengkarakterisasikan berbagai pemikiran di bidang pendidikan yang menyuguhkan tubuh dalam relasi wacananya dengan kekuasaan yang memungkinkan perbedaan hasil jika pendapat subjektif kuasa pendidikan terkait ras, etnis, kelas, dan jender juga membedakannya dalam proses pendidikan. Demikian juga dengan analisis pos-strukturalis dalam hal analisis kurikulum yang menggarisbawahi adanya produksi pendidikan yang subjektif melalui karakter rejim kekuasaan institusional (bisa dibandingkan dengan preferensi ideologis kementerian pendidikan dan kebudayaan di Indonesia dengan kurikulum 2013).

Dalam hal pedagogi tubuh, bidang ini sudah dirambah oleh penulis yang sekaligus pedansa, Sherry Shapiro. Dalam tulisannya yang merupakan kelanjutan dari disertasi doktoralnya, Shapiro (2005: xvii) mengangkat tema tubuh dalam kaitannya dengan persoalan-persoalan pedagogi, seni, dan perubahan sosial-politik. Gugatan keterasingan (alienation) Shapiro terhadap cara pandangnya sendiri sebagai pedansa yang saat ditanya salah satu profesor penguji disertasinya: “apa yang kamu pikirkan tentang tubuhmu?”, Shapiro menjawab lugas: “kami pedansa tidak memikirkan tubuh kami sendiri”. Keterasingan terhadap tubuh inilah yang kemudian memicunya untuk mengeksplorasi pedagogi dan politik tubuh dalam arti praksis-kritis.

(6)

Pertanyaan paling awal, dasar, dan universal untuk mengkonstruksi pemahaman tubuh adalah: “apakah tubuh itu?”, struktur pertanyaan yang mengingatkan pada pertanyaan ontologis. Persoalan ontologi bukan persoalan tentang bagaimana mengetahui objek, tetapi kodrat dari sesuatu objek, suatu persoalan yang sedemikian universal dan mendasar yang tidak bisa disederhanakan dalam berbagai cara, dengan sekedar objek-objek “fisik”. Persoalan ontologi, dengan demikian melampaui pembahasan fakta fisis. Tubuh yang dikaji dalam ontologi, berarti tubuh bukan dalam kerangka karakter fisik individualnya, namun dalam makna kodrat universalitas dan kodrat mendasarnya. Kodrat universal yang dimaksud, adalah bahwa instansi tubuh individual digeneralisir sedemikian rupa sehingga mencakup konsep tubuh secara umum. Kodrat mendasar, dengan demikian berarti konsep tubuh yang dilihat dalam prinsip-prinsip fundamentalnya.

Oxford English Dictionary mendefinisikan tubuh sebagai “kerangka atau struktur fisik atau material manusia atau hewan; seluruh organisme material ini dilihat sebagai sebuah entitas organik”. Tubuh, dengan demikian, disepakati sebagai suatu entitas material dengan ciri khas ke-material-annya (misalnya berada dalam ruang dan waktu, atau berkeluasan). Tubuh adalah unsur lahiriah manusia, unsur daging yang bisa diindera. Opini yang muncul terhadap pendefinisian tubuh seperti rumusan di atas beraneka ragam. Namun setidaknya, satu hal yang tentu semua orang sepakat, satu-satunya entitas yang mampu berpikir tentang tubuh, pasti juga memiliki jiwa (Synnott, 2003: 23).

(7)

Tubuh manusia sebagaimana tubuh makhluk hidup lain, di satu sisi, merupakan bagian dari dunia eksternal. Untuk menjadi tuan atas tubuhnya sendiri, setiap makhluk hidup harus bertindak tidak hanya sesuai dengan apa yang “cenderung” dilakukan tubuhnya, tetapi apa yang “harus” dilakukannya. Hal ini merupakan kecakapan yang hanya mungkin dimiliki oleh manusia. Hanya manusialah yang mampu mempertimbangkan apa yang sungguh-sungguh baik untuk membentuk dan menjadikan tubuhnya. Hanya manusia yang bisa memaksakan pikiran terhadap tubuh. Pikiran-pikiran manusia memiliki banyak tingkatan dan fungsi, merentang dari atensi ke komitmen. Manusia menggunakan pikirannya untuk mendikte apa yang dilakukan tubuhnya (Weiss, 1969: 40-41).

Oleh karena peneliti (dan orang lain) bisa menceritakan proses tubuh dan pikiran sebagaimana disebutkan di atas, maka dalam arti sederhana baik tubuh maupun jiwa, sebenarnya sama-sama bisa diposisikan sebagai objek di suatu konteks tertentu. Kadar frekuensi, signifikansi, dan/atau intensitas pemosisiannyalah yang menarik minat berbagai bangunan filsafat maupun ilmu-ilmu khusus untuk mengeksplorasinya. Pemosisian tersebut secara filosofis, bergerak antara objektivitas tubuh dan subjektivitas tubuh.

B. Problem Tubuh dan Jiwa

(8)

utama yang (diklaim) ilmu-ilmu kontemporer tidak memiliki catatan yang memadai tentangnya, dan setidaknya dalam hal kesadaran, permasalahan dalam memberikan penjelasan tentangnya kadang kala berputar-putar tanpa jalan keluar.

Konsepsi-konsepsi berbeda ini cenderung diikuti alasan kemunculan permasalahan tersebut: sebagian menyebut bahwa permasalahan itu muncul didasari asumsi bahwa tubuh dan jiwa terpisah (dualisme). Asumsi ini mensyaratkan bahwa penjelasan bagaimana penyebab mental itu dimungkinkan, jika tubuh dan jiwa terpisah.

Berbagai pendirian “keras kepala” tentang problem tubuh dan jiwa, telah memunculkan berbagai pandangan filsafat. Persoalan pokok yang seringkali terumuskan tatkala perdebatan filosofis sekitar problem pikiran-tubuh adalah rumusan yang bermaksud untuk mengurai relasi metafisik antara yang mental dan yang fisikal sehingga pada level yang paling mendasar, terdapat dua jenis jawaban, bahwa yang mental “adalah” fisikal (Monisme) atau bahwa yang mental “adalah bukan” yang fisikal (Dualisme). Pada tulisan Syamsuddin tentang hal itu (2006: 296), fisikalisme diajukan sebagai salah satu varian posisi ontologis terkait permasalahan tubuh dan jiwa. Meskipun demikian bisa dikatakan bahwa fisikalisme sebagai aliran yang berpendirian bahwa secara fundamental dunia sepenuhnya fisik bukanlah solusi persoalan tubuh dan jiwa ini, namun justru merupakan salah satu bagian permasalahannya, walaupun fisikalisme (atau materialisme ilmiah) ini juga disebut sebagai salah satu paradigma debat kontemporer tentang permasalahan tubuh dan jiwa, selain paradigma Aristotelian dan paradigma Cartesian (Crane dan Sarah, 2000: 1-2).

(9)

jaman itu. Tubuh dan jiwa tidak dipikirkan berbeda secara radikal, perbedaannya hanya dialamatkan pada kadar properti seperti kehalusan dan gerakan (http://plato.stanford.edu/entries/ancient-soul).

Sementara itu, aliran idealisme mengemukakan bahwa status fisik sesungguhnya adalah mental, pernyataan yang berkebalikan dengan materialisme/fisikalisme. Hal ini didasarkan pada alasan bahwa dunia fisik adalah dunia empiris, dan dengan demikian hal ini merupakan hasil pengalaman kolektif intersubjektif. Idealisme berasal dari kata idea, dari bahasa Yunani Kuno idein (ἰδεῖν) yang berarti “melihat”. Idealisme dipahami untuk merepresentasi dunia seharusnya, tidak seperti pragmatisme yang fokus pada dunia yang ada saat ini dan di sini (http://dictionary.reference.com/browse/idealism).

Idealisme metafisis merupakan doktrin ontologis yang berpandangan bahwa realitas itu sendiri tidak memiliki eksistensi material (incorporeal), atau dialami pada tingkat hakikinya Lebih dari itu, di antara kalangan idealis sendiri tak ada kesepakatan dalam hal aspek-aspek mental apa yang lebih mendasar. Idealisme platonik menyebut abstraksi sebagai yang lebih mendasar dalam realitas daripada yang lain, sementara idealisme subjektif dan fenomenalis cenderung menganggap pengalaman inderawi yang lebih mendasar daripada penalaran abstrak. Idealisme epistemologis merupakan pandangan yang lebih lemah yang menganggap bahwa realitas hanya dapat dipahami melalui ide-ide, bahwa hanya pengalaman psikologislah yang dapat dipahami oleh pikiran (Klein, 2011: http://www.philosophos.com/knowledge_base/archives_12/philosophy_questions_12. html).

(10)

kuat. Sebaliknya, realitas objek pemikiran internal kita...jelas dengan sendirinya melalui kesadaran”. Namun demikian tidak semua kaum idealis membatasi yang-nyata atau yang-diketahui dari pengalaman subjektif langsung. Kaum idealis objektif membuat pernyataan tentang dunia trans-empiris, namun secara tegas menolak jika dunia ini diceraikan dari atau didahulukan secara ontologis dari yang-mental. Dengan demikian Plato dan Gottfried Leibniz mengiyakan bahwa realitas objektif dan dapat diketahui itu mentransendensi kesadaran objektif – penolakan terhadap idealisme epistemologis – namun mengemukakan bahwa realitas ini berdasarkan pada entitas ideal, suatu bentuk idealisme metafisis. Tak satupun dari kedua idealis metafisis itu sepakat terhadap hakikat yang-ideal; bagi Plato, entitas-entitas fundamental itu adalah bentuk-bentuk abstrak non-mental, sementara bagi Leibniz entitas itu adalah mental primitif (proto-mental) dan monade konkrit (Klein, 2011: http://www.philosophos.com/knowledge_base/archives_12/philosophy_questions_12. html).

Idealisme klasik seperti idealisme monistik beranggapan bahwa kesadaran, bukan materi, sebagai yang mendasar dari semua keberadaan. Disebut monis/mono, karena hanya satu jenis keberadaan di semesta dan idealis karena beranggapan bahwa satu hal yang menjadi kesadarannya. Plato dengan “idea”-nya menggambarkan bentuk-bentuk ideal sebagai keberadaan universal yang bebas dari hal-hal partikular. Plato beranggapan bahwa materi itu riil meskipun fana dan tidak sempurna, dan dipersepsi secara langsung oleh jiwa rasional. Dengan demikian Plato adalah dualis metafisis dan epistemologis (posisi yang berusaha dihindari idealisme modern), meskipun Simone Klein menyebut “Idea”-nya sebagai "the earliest representative of metaphysical objective idealism" (Klein, 2011: http://www.philosophos.com/knowledge_base/archives_12/philosophy_questions_12. html).

(11)

atau materialisme, pada gilirannya memunculkan aliran-aliran dalam ontologi filosofis yang beragam sesuai konteks pembicaraan. Hal ini belum termasuk jika memperbincangkan realitas dari sudut pandang epistemologi, yang juga “berakar, berbatang, berdahan, bercabang, dan beranting” paham yang mengikuti berbagai argumentasinya. Tidak bisa dipungkiri, persoalan tubuh dan jiwa ini menempati posisi abadi yang dipersoalkan sepanjang keberadaan filsafat dengan berbagai argumen dan alirannya hingga saat ini. Problem tubuh dan jiwa menyeruak kokoh sebagai problem filsafat abadi, karena tidak ada kesepakatan bagaimana membangun secara memuaskan, suatu gambaran besar yang utuh dari perpaduan tubuh dan jiwa.

Tesis penulis (2003) salah satu hasilnya adalah mengetengahkan tentang konsep filosofis tubuh, berangkat dari negeri asal mula lahirnya filsafat, yakni Yunani Kuno. Yunani Kuno memuja tubuh. Patung, lukisan, dan keramik mereka yang terbuat dari batu, cat, dan tanah liat merayakan indahnya postur tubuh manusia yang telanjang. Perlombaan Olimpiade di lereng suci Gunung Olimpus, merayakan kekuatan dan kekuasaan tubuh. Mereka tampaknya memiliki sikap yang sangat fleksibel terhadap seks, terutama di Athena yang dilegalkan oleh lysistrata. Orang Yunanilah yang pertama-tama mengembangkan teori mengenai kecantikan (Pramono, 2003: 24). Ketelanjangan bagi orang Yunani waktu itu adalah metafor untuk “keberanian yang telanjang”. Jadi, proses pengetahuan sejati adalah proses penyingkapan objek, penelanjangan, tersingkapnya seluruh bagian. Puncak pengetahuan adalah theoria, yaitu memandang dengan teliti dan tepat. Makna antropologis tubuh masa Yunani Kuno oleh karenanya, ketelanjangan berada dalam satu kerangka metafisika dengan pengutamaan jiwa (Bambang, dalam Kalam, 2000: 28).

Synnott (2003: 24) mencatat satu hal penting, bahwa meskipun kebudayaan Yunani berpusat pada tubuh dan memuja tubuh “ideal”, namun tidak ada konsensus filsafati mengenai tubuh. Teori tentang hubungan tubuh dan jiwa bermacam-macam, mulai dari yang sangat mengutamakan jiwa sampai dengan yang mementingkan tubuh. Beberapa aliran tersebut adalah sebagai berikut.

(12)

2. Epikureanisme, lawan dari hedonisme. Epikuros (341-270 SM) pendiri madzab Epikureanisme menyatakan dengan tegas: “kita menyebut kesenangan sebagai alfa dan omega bagi kehidupan yang diberkati. Kesenangan adalah kebaikan kita yang pertama-tama, dan tertinggi”. Bagi kaum Epikurean, (kesenangan) jiwa lebih baik dari (kesenangan) tubuh.

3. Orfisme yang didirikan salah satu pahlawan Yunani, meyakini dari kisah pembunuhan Dionysus oleh Titan, bahwa tubuh harus dianggap sebagai makam jiwa. Kehidupan Orfik ditujukan untuk mengembangkan “kodrat Ilahi” melalui asketisme: pantang daging, anggur, dan hubungan seksual (Synnott, 2003: 24-25).

Filsafat soma-sema ini (tubuh = makam) meskipun tidak populer, namun mempengaruhi beberapa filsuf utama pada masa-masa berikutnya seperti Pythagoras, Sokrates, dan Plato, dan kemudian Neoplatonisme dan Kristianitas.

1. Sokrates (466-399 SM) menggambarkan jiwa sebagai “tawanan yang tidak berdaya, dengan tangan dan kaki dirantai, dipaksa untuk melihat realitas tidak secara langsung, melainkan hanya melalui jeruji-jeruji penjara”. Tubuh merupakan ‘perangkap’ jiwa, sebuah ‘rintangan’ dan sebuah ‘kelemahan, yang terus menerus memotong, mengganggu, memecah belah dan mencegah kita untuk memperoleh secuil kebenaran… Ia memperbudak dan membelenggu kita… Sesungguhnya tubuh adalah ‘makam’ (kuburan) jiwa (Plato, 1963: 66, 47-50, 437). Tubuh dan jiwa tidak hanya terpisah, namun juga bertentangan.

(13)

3. Aristoteles (384-322 SM), bekas murid Plato, sangat tertarik kepada tubuh, dan menolak dualisme Plato dan negativisme tubuh. Ia mendefinisikan jiwa sebagai ‘prinsip kehidupan’, dan menggambarkannya sebagai ‘bentuk istimewa dari tubuh yang hidup’. Tidak ada yang satu tanpa yang lain. Tetapi ia menyetujui Plato bahwa jiwa lebih unggul daripada – dan memerintah – tubuh. Bisa dikatakan, dalam filsafat Aristoteles masih terdapat dualisme (meski tanpa negativisme) ketika menegaskan bahwa manusia harus merawat tubuh ‘demi kebaikan jiwa’, dan bahwa ‘akal lebih dari apapun dalam membentuk manusia’ (Synnott, 2003: 27).

Menurut A.N. Whitehead, sejarah filsafat Eropa adalah catatan kaki Plato. Tampaknya ini benar sejauh berkaitan dengan filsafat tubuh; karena dua pandangan mengenai tubuh yang bersaing ini – dualis melawan monis, idealis melawan materialis, negatif melawan positif – tetap ada dalam filsafat barat. Pada kubu idealisme, kaum Stoik mengembangkan dualisme dan idealisme Plato, begitu pula dengan asketisisme Kristen. Selain itu dualisme turut mempengaruhi banyak pemikir yang berbeda seperti Agustinus dan Descartes. Sedangkan kubu materialisme diusung dari Hedonisme dan Epikurianisme, melalui Marxisme, menuju eksistensialisme kontemporer (Synnott, 2003: 27-28).

(14)

jaman, Yunani Kuno, Romawi, Kristen, tampaknya memiliki relasi “cinta-benci” dengan tubuh.

Di Kristianitas, tubuh terkadang dilihat sebagai bait Allah, namun juga sebagai musuh. Hal ini nampak misalnya pada aspek-aspek pengajaran Paulus bahwa tubuh memang rusak namun mulia, dikuasai namun disucikan, disalibkan namun dimuliakan, menjadi musuh namun menjadi juga bait dan anggota tubuh kristus (Synnott, 2003: 34). Ajaran Islam1 tidak jauh berbeda dengan Kristen ini sejauh

menyangkut konsep tubuh. Dilihat dari aspek ibadah, puasa merupakan contoh langsung pengekangan terhadap tubuh sekaligus penyucian terhadapnya. Demikian juga dengan wudhu (syarat sah sholat dengan melakukan serangkaian ritual pembasuhan tubuh), yang mencerminkan penghargaan atas tubuh fisik untuk diangkat ke kesucian spiritual.

Tubuh sekuler dan privat menyeruak sebagai tema besar masa Renaisans. Sedangkan tubuh sebagai mesin adalah konsep kunci sejak Descartes hingga masa modern yang sekaligus melandasi sebagian besar proyek pemikiran dan rekayasa saintifik-teknologis masa modern. Ini dilanjutkan di abad 20 dengan melihat tubuh sebagai mekanika, diselingi dengan konsep unggul ras dalam kebertubuhan Nazi Jerman dan berbagai mosaik kebertubuhan di berbagai kultur yang berbeda. Akhirnya muncul konsep tubuh sebagai diri, yang diusung filsafat eksistensialisme, misalnya Sartre: “Aku adalah tubuhku yang menunjukkan isi siapakah aku” (Synnott, 2003: 41, 47, 55, 61, 64).

Filsafat tubuh setelah masa-masa Yunani Kuno bergantian antara pandangan yang monistik dengan dualistik, antara yang idealistik dengan yang materialistik, antara yang mengutamakan jiwa dengan yang mengutamakan tubuh. Di sini bisa ditemukan aliran idealisme dan materialisme di masa-masa Romawi, arus pemikiran Yahudi, di masa dominasi gereja atau di masa renaissance, dan juga di jaman modern. Belum lagi kekayaan tersembunyi pemikiran di daerah Asia tentang tubuh yang pada

1 Penulis masih belum (sempat) menemukan ulasan filosofis Islam terhadap konsep tubuh ini. Tentu

(15)

awal-awal abad ke-21 ini menjadi fenomena tersendiri (lihat misalnya: Capra, 1997; Chopra, 1996).

Konstruksi-konstruksi politis dan filsafati mengenai tubuh tumbuh bersamaan dengan konstruksi-konstruksi ilmiah. Perkembangan mutakhir dalam ilmu kedokteran telah mendorong konstruksi atas tubuh menjadi lebih mekanistik dan materialistik, lebih dari yang dibayangkan Descartes. Dari ilmu kedokteran, bergelombanglah paradigma-paradigma terbaru: tubuh plastis (dapat dibentuk dan dipilih berdasar kebutuhan), bionik (organ-organ buatan seperti mata elektronik), dan holistik (penekanan konteks total pikiran-tubuh). Synnott (2003: 69) menyimpulkan beberapa ciri tubuh kontemporer berdasar paradigma terbaru tersebut:

1. tubuh merupakan sesuatu yang komunal (dengan bagian-bagian yang dapat diganti-ganti, bahkan dengan organ binatang);

2. tubuh direkayasa (terutama rekayasa genetika, seperti kloning); 3. tubuh dipilih (dari katalog bank sperma dan ovum).

Pemahaman kontemporer tentang tubuh salah satunya datang dari fisika kuantum, yang pada dasarnya memberi tekanan besar pada aspek subjektivitas. Dalam pandangan ini, realitas adalah medan kuantum, medan transformasi yang terus menerus mengalir, di mana setiap partikel padat sesungguhnya adalah gerakan energi, di mana tubuh seperti halnya segala sesuatu di alam ini terus menerus dibuat baru setiap detik. Tubuh padat yang dialami hanyalah realitas yang paling dangkal. Tubuh adalah sesuatu yang mengalir dan ditenagai oleh kecerdasan kosmik yang telah bekerja jutaan tahun. Setiap sel dalam tubuh itu hanyaklah sebuah terminal kecil yang sesungguhnya terkait pada komputer intelejensi kosmik itu. Jadi tubuh, kendati pada dirinya sendiri merupakan totalitas khas, ia dibentuk, dihidupi, dan diperbarui terus menerus oleh jalinan energi kosmik yang cerdas dan kreatif. Dalam konteks ini tubuh berbentuk sekaligus tak berbentuk, “ada” sekaligus “menjadi”, beridentitas sekaligus senantiasa berubah, hasrat sekaligus nalar, dan sebagainya. Pemikiran macam ini agaknya layak dijelajahi lebih lanjut (Bambang, dalam Kalam, 2000: 31 dan 42).

(16)

dan filosofis berbarengan dengan konstruksi-konstruksi ilmiah, khususnya dunia kedokteran (Synnott, 2003: 66). Tidak diragukan lagi, redefinisi kebertubuhan ini akan terus berlanjut seiring perkembangan kesadaran bertubuh dalam konsep filosofis maupun ekstensifikasi dan intensifikasi ilmu-ilmu khusus. Relasi “cinta-benci” atau “positif-negatif” dengan tubuh, masih diprediksi fluktuatif seiring dengan perkembangan pemikiran, kultur, dan sains kontemporer.

Kebudayaan kontemporer, dikatakan oleh Shusterman (2008: xi), sedang dan semakin menderita dalam tiga hal: problem perhatian (attention), perangsangan berlebih (overstimulation), dan ketegangan mental (stress). Tiga hal ini menjebak dunia ke dalam serangan wabah ketidakpuasan personal dan sosial yang berasal dari citra-citra tubuh yang menipu. Shusterman kemudian mengajukan kesadaran tubuh (body consciousness) sebagai obat kondisi sedemikian tadi, dan melaluinya wawasan, performa, dan kesenangan bisa meningkat. Penelitian ini adalah salah satu upaya ke arah kesadaran tubuh tersebut.

C. Filsafat Tubuh dalam Olahraga

Literatur (Barat) tentang filsafat olahraga, dalam pengamatan Klause V. Meier (dalam Morgan dan Meier (eds.), 1995: 89) sebagian berkutat pada penyelidikan antropologis tentang hakikat dan struktur manusia, terutama persoalan tubuh dan jiwa yang diterapkan atau dimanifestasikan ke dalam bidang olahraga. Sayangnya, masih menurut Meier, usaha-usaha penelitian filsafat tentang permasalahan kebertubuhan dan olahraga acapkali menghasilkan eksposisi yang penuh dengan ungkapan-ungkapan yang ngawur, penegasan-penegasan yang lemah, dan penyimpulan yang tidak mendukung dan keliru.

(17)

Bukan tempatnya di sini untuk mengeksplorasi secara sistematis pemikiran Nietzsche, namun keterkaitannya dengan penghargaan intelektual atas “tradisi kebertubuhan” relevan untuk disinggung sebagai contoh dan referensi menuju kehidupan kultural Yunani Kuno dalam relevansinya dengan tubuh dan olahraga. Di samping itu, kelahiran olimpiade modern sebagai representasi keolahragaan internasional yang berakar dari jaman Yunani Kuno dan juga mewakili nilai-nilai penghargaan atas tubuh, dalam bagian berikut ini juga akan dideskripsikan dan dianalisis secara kritis.

Barangkali dianggap ganjil apa yang dinyatakan Pindar (dalam Pramono, 2003: 58), bahwa olahraga itu “keramat”, dan bahwa situs agama mencakup juga stadion tempat pertandingan atletik berlangsung selama perayaan keagamaan. Mitos dan agama Yunani awal menampilkan suatu pandangan dunia yang membantu perkembangan kesalinghubungan intrinsik antara makna olahraga dan budaya dasar. Keduanya juga merefleksikan kondisi terbatas dari eksistensi keduniaan, dan bukan sebagai kerajaan transenden dari pembebasan. Nuansa keduniawian tampak pula pada ekspresi naratif tentang kehidupan, rentang luas pengalaman manusiawi, situasionalnya dan suka dukanya. Manifestasi kesakralan terwujud dalam prestasi dan kekuasaan duniawi, kecantikan visual dan campuran dari daya-daya persaingan yang berpengaruh pada situasi kemanusiaan.

Budaya Yunani Kuno juga sepenuhnya bersifat agon, persaingan. Puisi-puisi Homer dan Hesiod menampilkan konflik dan kekuatan-kekuatan yang bersaing. Wajah realitas Yunani Kuno juga mewujud dalam kekuatan-kekuatan yang bersaing ini: atletik, keindahan fisik, kerajinan tangan, seni-seni visual, nyanyian, tarian, drama dan retorika (Crowell, 1998: 7).

(18)

adalah bahwa makna keutamaan terhubung dengan batas-batas dan resiko. Dapat digeneralisir – dalam Iliad itu – bahwa tanpa kemungkinan untuk kalah atau gagal, kemenangan atau keberhasilan tak akan berarti apa-apa (Hatab, dalam Pramono, 2003: 59).

Atletik (olahraga, dalam tulisan ini kadang-kadang disebut dengan atletik untuk kepentingan penyesuaian konteks) berperan penting dalam dunia Yunani Kuno. Kata atletik berasal dari kata athlos yang berarti konflik atau perjuangan, dan dapat secara langsung diasosiasikan dengan persaingan, di mana kompetisi di tengah-tengah kondisi keterbatasan niscaya membangkitkan makna dan keutamaan. Apa yang membedakan kontes atletik dari hal-hal lain dalam budaya Yunani adalah bahwa atletik menampilkan dan mengkonsentrasikan elemen-elemen duniawi dalam penampilan fisik dan keahlian, keindahan tubuh, dan hal-hal khusus dari tontonan dramatis (Pramono, 2003: 60).

Kontes atletik, seperti yang tampak dalam Iliad, menunjukkan penghargaan yang tinggi masyarakat Yunani terhadap olahraga yang terrepresentasikan sebagai semacam ritual agama dan terorganisir dalam mana kompetisi-kompetisi fisik ditampilkan sebagai analog mimetic (secara menghibur) dari penjelasan agama – baik tentang nasib dan kepahlawanan – dan sebagai penjelmaan rinci signifikansi kultural agon (Pramono, 2003: 60).

Sekarang, signifikansi olahraga menurun di dunia Yunani, justru dengan datangnya statemen-statemen filsafat sebagai kompetitor kultural. Nilai penting dari tubuh dan aksi secara bertahap dikalahkan oleh tekanan pada pikiran dan refleksi intelektual. Ketertarikan terhadap transendensi spiritual dan tertib alam menggeser pengaruh mitos-mitos dan religi seperti dijelaskan di atas. Meskipun Plato dan Aristoteles mengusung nilai penting latihan fisik dalam pendidikan, namun mereka memulai sebuah revolusi intelektual yang meremehkan nilai penting kultural keolahragaan. “Remeh” justru karena keterkaitan erat olahraga dengan tubuh, aksi, perjuangan, kompetisi, dan prestasi kemenangan (Pramono, 2003: 60).

(19)

atletik sebagai ekspresi filsafatnya sendiri dan sebagai satu bagian penting kebudayaan (Pramono, 2003: 61). Hatab mendasarkan pernyataannya ini pada dua hal.

a. Tema-tema penting yang diajukan Nietzsche seperti will to power, sublimation, embodiment, spectacle dan play terarah pada aktivitas atletik dan aktivitas olahraga.

b. Di dunia Yunani Kuno yang sering dirujuk Nietzsche, olahraga tidak hanya populer, tetapi juga menempati nilai penting dalam kebudayaan yang tak pernah ditemui dalam kebudayaan lain.

Namun demikian, bisa dipahami mengapa Nietzsche melewatkan olahraga sebagai hal vital dalam pemikirannya. Selain karena fokus pemikiran dan kegiatan Nietzsche tidak mengarah pada olahraga, di abad 19 itu Jerman tidak begitu menekankan pengorganisasian olahraga (Pramono, 2003: 61).

Konsep-konsep sentral dan fundamental Nietzsche yang memberi tengara kuat bahwa olahraga menempati posisi kultural yang penting, dan juga mendasari alasan orang begitu menikmati pertandingan olahraga, di antaranya adalah kehendak untuk berkuasa, sublimasi, perwujudan, pertunjukan dan permainan. Hatab (dalam Pramono, 2003: 62) mengulas pandangan Nietzsche tersebut dalam sebuah kerangka yang radikal, dan dia menegaskan bahwa perspektif Nietzsche tentang tema-tema tersebut merupakan perspektif filsafati mendalam dan sekaligus ekspresif.

(20)

kebajikan-kebajikan tertentu dalam keikutsertaan disiplin, kerja tim, keberanian, dan intelegensi praktis (Pramono, 2003: 62).

Konsekuensi dari semua itu, permainan olahraga cukup “serius” untuk diangkat ke tingkat penghargaan budaya yang lebih tinggi, sehingga filsafat mau tak mau harus berani mengkaji ulang “tradisinya” sendiri yang menekankan jiwa atas tubuh, harmoni atas konflik, dan mengakui bahwa olahraga memiliki kandungan nilai-nilai fundamental bagi keberadaan manusia. Begitulah, di dunia Yunani Kuno, lokus asal muasal pemikiran filsafat Barat, olahraga tak hanya populer, tetapi menempati penghargaan kultural terhormat (Pramono, 2003: 63).

Meskipun demikian, bukan berarti filsafat selalu mengabaikan tubuh sebagaimana didengungkan sebagian besar pembela somatik (tubuh). Tubuh justru mendesak dengan kehadirannya yang amat kuat (meskipun dalam arti negatif) dalam persistensi filsafat pikiran. Citra negatif ini – sebagai penghuni penjara, gangguan, sumber kesalahan, dan korupsi – direfleksikan dan diperkuat oleh prasangka idealistik dan pengabaian pengembangan somatik yang ditampilkan umumnya filsuf Barat (dan juga para filsuf non-Barat).

Shusterman (2008: ix) memperhatikan bahwa filsafat (kuno) dipraktekkan sebagai jalan hidup kebertubuhan dengannya bidang-bidang kajian somatik dibentuk sebagai bagian pentingnya, bahkan ketika kajian-kajian itu kadang-kadang mengasumsikan ciri penghukuman tubuh dalam filsafat di mana jiwa dan pikiran diupayakan meraih kebebasan dan kekuatan melalui penyangatan asketisme somatik. Plotinos misalnya, sedemikian merasa “termalukan dengan ‘ada’-nya tubuh” dan berjuang keras mentransendensikan hal tersebut dengan tidak hanya dengan pembatasan super drastisnya, namun bahkan “abstain menggunakan kamar mandi”.

Pernyataan Socrates dalam Memoirs of Socrates-nya Xenophon, bisa diketengahkan sebagai semangat penting penghargaan kultural terhadap “olah tubuh”, yang diwakili secara strategis melalui olahraga:

(21)

lalai dan abai, karena hal-hal seperti ini umumnya tidak terjadi dengan sendirinya (dalam Shusterman, 2008: vi).

Frase “tidak terjadi dengan sendirinya” dalam uraian Socrates tersebut berimplikasi pada penafsiran dominan tentang pentingnya olahraga sebagai aktivitas dominan dari “olah tubuh”. Namun demikian, Crowell (1998: 113) dengan mengeksplorasi secara mendalam fenomena olahraga sebagai tontonan dan permainan, mengungkap sisi-sisi buramnya: brutalitas, agresifitas, dan “merusak kesehatan”. Dalam hal yang terakhir, olahraga disebutnya sebagai alat alamiah untuk “war on drugs”, olahraga ditampilkan sebagai alternatif pengobatan ketika para praktisi terkemuka menemukan obat-obatan sebagai bagian alami dari gaya hidup atlit olahraga.

Apabila di jaman Yunani Kuno atlitnya mendemonstrasikan atletik dengan keahlian yang langsung berimplikasi pada keseharian si atlit, di mana nilai-nilai keksatriaan dimunculkan, pada atlit sekarang keberanian sedemikian otonomnya, sehingga yang menampak adalah demonstrasi ketidakbermaknaan kecakapan. Tontonan menawarkan individu-individu yang mengkonsentrasikan seluruh keberadaannya, ke dalam satu permasalahan. Individu-individu tersebut meniru apa yang oleh Nietzsche disebut “inverse cripples” (ketimpangan terbalik), di mana keberadaan manusia “kurang segala sesuatunya kecuali untuk satu hal yang mereka terlalu banyak memilikinya – keberadaan manusia yang adalah tak lain daripada mata besar, mulut besar, perut besar, segalanya serba besar” (Crowell, 1998: 115). Ini bisa secara pintas lalu diamati pergeseran nilai antara olimpiade kuno dengan olimpiade modern.

(22)

manusia harmonis, seimbang badani dan rohani. Maka pendidikan Athena di masa lalu juga ditujukan ke arah pembentukan manusia harmoni, yang tersedia dalam Gymnastik dan Musik. Gymnastik pada saat itu meliputi pendidikan dan pengembangan badani yang sempurna, teristemewa terdiri atas gerak-gerak badani yang kini ada dalam olahraga atletik. Sedangkan musik tak terbatas pada seni suara saja, melainkan juga merangkum segenap santapan rohani yang meliputi dasar-dasar pelajaran sekolah, aneka rupa kesenian, filsafat dan ilmu pengetahuan. Berkat pendidikan seperti ini, tak heran bila peradaban besar di Yunani Kuno dikenang orang, bukan hanya sebagai asal muasal kelahiran filsafat, namun juga karena kebudayaannya secara umum (Pramono, 2003: 64-5).

Hidup orang Yunani Kuno dipengaruhi oleh tradisi kultural Agon (persaingan), idee (paham) yang bercirikan kompetisi, keinginan untuk melebihi orang lain baik jasmaniah maupun rohaniah. Olimpiade merupakan tempat persaingan yang sungguh-sungguh dilegalkan (konsisten dengan moto olimpiade: citius, altius, fortius – lebih cepat, lebih tinggi, lebih kuat). Olahraga elit modern paralel dengan olahraga Yunani Kuno. Tetapi juga terdapat perbedaan penting antara keduanya: satu karakteristik penting yang membedakan adalah kepercayaan terhadap kemajuan yang kontinu, dan hasrat untuk rekor baru (Young, 1984: 102).

(23)

Sedemikian pentingnya pendidikan ke arah tubuh yang ideal, sehingga pergelaran Olimpiade itu sendiri dipersembahkan sebagai bukti bakti kepada Mahadewa Zeus, hadiahnyapun sekadar karangan mahkota dafnah (cabang daun zaitun) yang meskipun sederhana, namun merupakan cita-cita tertinggi bagi orang Yunani untuk memperebutkannya di bawah kaki dewata. Di hadapan altar Zeus, Penghukum Sumpah menerima sumpah para pemain untuk tidak curang. Api suci yang berasal dari nyala tangkai dafnah menandai permulaan lomba. Orang yang cacat secara hukum dilarang ikut, dan perempuan sama sekali dilarang melihat dan diancam mati bila melanggar (Pramono, 2003: 66-7).

Selama lebih dari sepuluh abad, permainan ini hidup terus dan mencapai puncaknya dengan diikuti kemenangan di medan perang orang Yunani Kuno yang bersatu menghadapi Parsi di Marathon dan Salamis. Di masa itulah Pheidias membuat patung cemerlang Zeus yang hingga kini tak tertandingi kesempurnaannya. Saat itu pula Pindaros dan Homeros mendendangkan lirik syair-syairnya. Tetapi setelah itu, tibalah masa dekadensi dengan masuknya olahraga nafkah (olahraga yang tak lagi memperebutkan piala seperti mahkota dafnah, tetapi sudah bergeser dengan tujuan mencari sensasi-sensasi dan nominal uang). Agama Kristen menimpakan pukulan penghabisan atas Olimpiade dengan pelarangan permainan itu oleh Kaisar Theodosios Besar tahun 394 M, atas nama perlawanan dan pembasmian kebiasaan-kebiasaan “menyembah berhala” (Pramono, 2003: 67).

(24)

corpore sano menjadi bermacam kepentingan. Bagi orang Eropa Barat, olahraga adalah industri, bisnis, dan dongkrak sosial yang angkuh. Bagi orang Eropa Timur dan komunis, olahraga menjadi sarana politik. Bagi orang Afrika dan Asia, selain bermuatan nasionalisme, olahraga bisa seperti segala-galanya. Di dunia Timur umumnya olahraga berpadu dengan mistik dan religi (tampak misalnya dalam bela diri tertentu). Olahraga telah memasuki dan dimasuki segala-galanya. Di dalamnya ada uang, harapan, kekecewaan, harga diri, konflik politis, dan bahkan ada perbedaan kelas seperti pemain golf dan tukang payungnya (Pramono, 2003: 67-8). Segi negatif budaya kompetitif Yunani Kuno berimbas pada corak olahraga elit modern setelah ini:

…focused on the importance of winning and felt a corresponding shame over defeat. It was very individualistic, often brutal, with use of doping, with high money prices and rewards, with professional athletes, with worship of the heroes, with show for the masses, and so on. Already Homer had stated that the point in life was «to win and to surpass all the others» (Young, 1984: 116).

Interpretasi kritis yang bisa diambil dari deskripsi umum sejarah permainan Olimpiade Kuno dan transisinya menuju Olimpiade Modern adalah bahwa penghargaan tubuh yang dahulu lebih didominasi citra natural dan berhubungan secara implisit dengan sesuatu yang kudus, kini lebih diabdikan pada sensasi-sensasi profan, seperti keutamaan harta dan kepentingan politik. Hal ini menandai perlunya eksplorasi yang ekstensif dan intensif tentang tubuh, sejauh mana eksploitasi atas tubuh mempengaruhi dan dipengaruhi filsafat tersembunyi tertentu. Bagaimanapun, olahraga dengan segala ekses dan latar belakangnya tetap memiliki kekayaan dimensi yang mempengaruhi kehidupan manusia. Hal ini merupakan tugas utama bagi para peneliti di bidang olahraga.

(25)

dibayarkan, olahraga sebagai tontonan, dan ini secara esensial berarti bicara tentang hidup yang tak dialami sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Capra, Fritjof, 1997, Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan, alih bahasa: M. Thoyibi, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta.

Crowell, S.G., 1998, Sport as Spectacle and as Play: Nietzscheian Reflections, dalam International Studies in Philosophy, vol. 30, hal. 109-122.

Noerbai, 2000, Filsafat Pendidikan Jasmani & Olahraga, Unesa University Press, Surabaya.

Pramono, Made, 2003, Peran Fenomenologi Tubuh dalam Pengembangan Ilmu Keolahragaan, Tesis, Pasca Sarjana Ilmu Filsafat UGM Yogyakarta, Tidak diterbitkan.

---, 2003b, Dasar-Dasar Filosofis Ilmu Keolahragaan, dalam Jurnal Filsafat, Edisi Juli-Desember Tahun 2003, Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM.

---, 2004, Filsafat Olahraga, Unesa University Press, Surabaya.

---, 2007, Landasan Filsafati Pengembangan Ilmu Keolahragaan (Penafsiran Hermeneutika Atas Konsepsi Komisi Disiplin Ilmu Keolahragaan), disampaikan pada Seminar Nasional Keolahragaan Indonesia 2007 dalam rangka LPTK CUP III Perguruan Tinggi Negeri Se-Indonesia tanggal 23 s.d 27 Mei 2007 di Undiksha Singaraja Bali

(26)

---, 2010, Kultur Objektivitas Tubuh Filsafat Dualisme Cartesian, dalam Jurnal Kajian Keislaman Al-Afkar, Volume 3, Nomor 2, Desember 2010, Surabaya: Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel.

---, 2011, Wacana Non-Cartesian “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”: Tubuh dalam Tindakan, disampaikan dalam Kongres Pancasila III di Kampus Unair, Surabaya, 31 Mei – 1 Juni 2011 yang diselenggarakan oleh MPR-RI bersama UNAIR dan UGM.

---, 2014, Konsep Tubuh-Subjek Maurice Merleau-Ponty dalam Perspektif Ontologi dan Sumbangannya Bagi Rekonstruksi Filsafat Ilmu Keolahragaan, Disertasi, Pasca Sarjana Ilmu Filsafat UGM Yogyakarta, Tidak diterbitkan.

Shapiro, Sherry B., 2005, Pedagogy And The Politics Of The Body, Taylor & Francis, New York.

Shusterman, Richard, 2008, Body Consciousness: A Philosophy of Mindfulness and Somaesthetics, Cambridge University Press, New York.

Synnott, Anthony, 2003, Tubuh Sosial: Simbolisme, Diri, dan Masyarakat, alih bahasa Yudi Santoso, Jalasutra, Yogyakarta.

Weiss, P., 1969, Sport: A Philosophic Inquiry, Southern Illinois University Press, California.

Referensi

Dokumen terkait

Sampel adalah sebagian dari populasi yang memiliki karakteristik yang relatif sama dan dianggap bisa mewakili populasi (Singarimbun, 1995:171). Karena keterbatasan

 Pancasila sebagai suatu sistem nilai adalah serangkaian nilai yang ada dalam pemaknaan Pancasila.—Nilai-nilai tersebut kemudian menjadi pedoman bagi

Bila dibandingkan dengan kandungan karbon organik dan nitrogen total pada serbuk gergaji tusam awal (kontrol), maka pada kedua perlakuan TK dan TT terjadi penurunan C, N dan

percaya, ketika melakukan ritual-ritual tertentu, arwah nenek moyang masuk ke dalam wayang sehingga mereka bisa berkomunikasi dengan arwah-arwah nenek moyang mereka.

12 Lead Consultancy Services for Developing Center of Technology in Polytechnic " The Deployment-2 FHE Institution Development".

bahwa agar pelaksanaan penerbitan Surat Keterangan Miskin untuk pelayanan bidang kesehatan dapat lebih efektif dan efisien, maka Peraturan Walikota Surabaya Nomor 46 Tahun 2011

Sintask dari cache peer ini digunakan untuk berhubungan dengan peer lain, dan peer lain yang dikoneksikan ini tipenya bergantung dari tipe peer yang telah dideklarasikan ini, bias

Data hasil belajar siswa diperoleh dari dua kelas yang digunakan dalam penelitian di SMA Negeri Kebakkramat tahun pelajaran 2011/2012. Kelas X.1 menggunakan