THE MENTION IMPLICATIONS OF CHANGES TO THE HEAD OF VILLAGE
RIO IN LOCAL GOVERNANCE IN THE DISTRICT BUNGO
JAMBI PROVINCE
Zulfianto Parliansyah¹, Sjofjan Thalib¹, Sanidjar Pebrihariati R¹
Law of Study Program, Postgraduate of Bung Hatta University¹
Email : otoyghoib@yahoo.com
The mention of the village in Indonesia vary in each region . Some call it " Nagari " as in West Sumatra , " the Village " in Aceh, " Lembang " in South Sulawesi , " village " in South Kalimantan and Papua , and the " State " in Maluku, But, characteristic of a village is not lost . In the village head Bungo mention changing into Rio . It refers to the Regional Regulation No. 9 of 2007 on the " Change Reference to the Village Head into Rio , the village becomes Hamlet , Hamlet into Kampung " . Rio is a customary title given traditional institutions as adat Hamlet in Hamlet by referring to " wear ico " ( customary provisions already in force in the local village ) . But the problem is the head of the village selected through Pilkades , while Rio is a title given by the traditional institutions to someone who is considered able to lead the hamlet with the criteria contained in ico wear , and the selection of Rio was not through the mechanism of village elections , but only through traditional leaders / stakeholders in the indigenous
village . The purpose of this study is to analyze what is behind the change mention of the village head into Rio , the implications of what happens after the change becomes village
chief mention of Rio and what constraints after the mention of the village head changes into Rio . From the results of this penelitaian expected to provide input to the government Bungo District to better understand the mention of the village head that changes into Rio is a policy that needs to be reexamined , because there is contradiction between local knowledge and regional regulation .
IMPLIKASI PERUBAHAN PENYEBUTAN KEPALA DESA MENJADI RIO DALAM PEMERINTAHAN DAERAH DI
KABUPATEN BUNGO PROVINSI JAMBI
Zulfianto Parliansyah¹, Sjofjan Thalib¹, Sanidjar Pebrihariati R¹
Program Studi Ilmu Hukum, Program Pasca Sarjana Universitas Bung Hatta¹
E-mail : otoyghoib@yahoo.com
Penyebutan desa di Indonesia berbeda-beda pada setiap daerah. Ada yang menyebutnya "Nagari" seperti di Sumatra Barat, "Gampong" di Nanggroe Aceh Darussalam, "Lembang" di Sulawesi Selatan, "Kampung" di Kalimantan Selatan dan Papua, dan "Negeri" di Maluku akan tetapi ciri khas suatu desa tidak hilang. Di Kabupaten Bungo kepala desa mengalami perubahan penyebutan menjadi Rio. Ini mengacu pada Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2007 tentang “ Perubahan Penyebutan Kepala Desa menjadi Rio, Desa menjadi Dusun, Dusun menjadi Kampung”. Rio merupakan gelar adat yang diberikan lembaga adat Dusun sebagai pemangku adat di Dusun dengan berpedoman kepada “ico pakai” (ketentuan adat yang sudah berlaku di dusun setempat). Yang menjadi permasalahan adalah kepala desa dipilih melalui Pilkades, sedangkan Rio merupakan gelar adat yang diberikan oleh lembaga adat kepada sesorang yang dianggap mampu untuk memimpin dusun dengan kriteria yang terdapat di dalam ico pakai, dan pemilihan Rio pun tidak melalui mekanisme pemilihan kepala desa, tetapi hanya melalui
tokoh-tokoh adat/pemangku adat yang ada di dusun. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis apa yang melatarbelakangi perubahan penyebutan kepala desa menjadi Rio, implikasi apa yang terjadi setelah perubahan penyebutan kepala Desa menjadi Rio dan apa kendala setelah perubahan penyebutan kepala desa menjadi Rio. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis dengan pendekatan Sosiolegal Research. Tehnik pengumpulan data dengan cara indepth interview dan dokumentasi. Dari hasil penelitaian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada pemerintah Daerah Kabupaten Bungo untuk lebih memahami bahwa perubahan penyebutan kepala desa menjadi Rio merupakan kebijakan yang perlu dikaji ulang, karena ada kotradiksi antara kearifan lokal dan Peraturan Daerah.
A. PENDAHULUAN
Penyebutan desa di Indonesia berbeda-beda pada setiap daerahnya. Ada yang menyebutnya "Nagari", seperti di Sumatra Barat, "Gampong" di Nanggroe Aceh Darussalam, "Lembang" di Sulawesi Selatan, "Kampung" di Kalimantan Selatan dan
Papua, dan "Negeri" di Maluku1, namun ciri khas suatu desa tidak hilang. Desa merupakan bagian dari sebuah kecamatan. Setiap desa dipimpin oleh seorang kepala desa. Kepala desa dipilih langsung oleh masyarakat di desa tersebut. Syarat dan tata cara pemilihannya diatur oleh peraturan daerah yang berpedoman pada peraturan pemerintah.
Berdasarkan Undang-undang Nomor. 32 Tahun 2004, Desa atau yang disebut dengan nama lain, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yurisdiksi, berwenang untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat
1
Dasril Radjab, Hukum Tata Negara
Indonesia. PT. Rhieneka Cipta. Jakarta. 2005. Hlm.
42.
setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan/atau dibentuk dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Kabupaten/Kota, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Pemerintahan Desa adalah
penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintahan Desa dan Badan Pemusyawaratan Desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat.
Di Kabupaten Bungo sendiri mengenai Pemerintahan Desa diatur Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2006 tentang tata cara pencalonan, pemilihan, pengangkatan, pelantikan, dan pemberhentian kepala desa. Namun dalam pelaksanaannya
mengalami perubahan
penyebutan/istilah kepala desa menjadi Rio. Ini mengacu pada Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2007 tentang “ Perubahan Penyebutan Kepala Desa
tidak ada lagi istilah kepala desa, namun diganti dengan Rio, dan wilayah kekuasaan Rio berubah menjadi Dusun. Perubahan penyebutan ini berlandaskan kearifan lokal yang ada di Kabupaten Bungo. Rio merupakan gelar adat yang diberikan lembaga adat Dusun sebagai
pemangku adat di Dusun dengan berpedoman kepada “ico pakai” (ketentuan adat yang sudah berlaku di dusun setempat).
Tata cara pemilihan kepala desa menurut Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2006 Tentang “Tata Cara Pencalonan, Pemilihan, Pengangkatan, Pelantikan, dan Pemberhentian Kepala Desa” adalah melalui pilkades (pemilihan kepala desa), dipilih langsung oleh mesyarakat desa. Sedangkan Rio merupakan gelar yang diberikan oleh lembaga adat kepada sesorang yang dianggap mampu untuk memimpin dusun dengan kriteria bahwa
seseorang tersebut terjamin kepribadiannya (kepribadian yang baik),
paham tentang adat, agama, tidak pernah terjerat hukum, dan pemilihan Rio pun tidak melalui mekanisme pemilihan kepala desa, tetapi hanya melalui tokoh-tokoh adat/pemangku adat yang ada di
dusun atau berdasarkan Perda Nomor 9 Tahun 2007 Bab III Pasal 3 “ Gelar Rio diberikan oleh Lembaga Adat Dusun dengan berpedoman kepada “ico pakai” atau ketentuan adat yang sudah berlaku di dusun setempat yang ditetapkan Peraturan Daerah ini”.
Akan tetapi yang menjadi
permasalahan adalah berdasarkan ico pakai yang ada di kabupaten Bungo, gelar Rio diberikan oleh Lembaga Adat Muara Bungo (LAM) bukan melalui mekanisme pemilihan Kepala Desa sebagai pemangku jabatan terendah dalam pemerintahan daerah kabupaten. Jika setiap kepala desa disamakan dengan rio maka rio yang semula menjadi pemangku adat dusun maka sudah berubah menjadi jabatan politis, bukan lagi sebagai pemangku adat berdasarkan ketentuan/”ico pakai” yang ada di dusun.
Fenomena tersebut mendapat berbagai reaksi dari berbagai elemen
masyarakat, salah satunya adalah pemuka adat dan tokoh masyarakat yang
daerah. Yang menjadi persoalan dikemukakan pemuka adat dan tokoh adat adalah beralih fungsinya aset adat (lahan adat, lubuk larangan, tanah ulayat, beberapa potensi adat lainnya) sudah diambil alih oleh pemerintah daerah setempat. Contohnya adalah dibuatnya sebuah Peraturan daerah mengenai
Lubuk larangan sehingga yang semula kewenangan pengelolaan lubuk larangan sepenuhnya menjadi aset adat dan sekarang berubah menjadi aset pemerintah daerah.
Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Alasan apa yang mendorong perubahan penyebutan Kepala Desa menjadi Rio dalam Pemerintahan daerah di Kabupaten Bungo Provinsi Jambi ?
2. Apa implikasi perubahan penyebutan Kepala Desa menjadi Rio dalam sistem otonomi daerah di Kabupaten Bungo Provinsi Jambi ?
3. Kendala apa saja yang timbul setelah Perubahan Penyebutan
Kepala Desa Menjadi Rio dalam Pemerintahan Daerah di Kabupaten Bungo Provinsi Jambi ?
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan
menganalisis alasan, implikasi kendala-kendala yang timbul setelah perubahan penyebutan Kepala Desa menjadi Rio dalam Pemerintahan Daerah di Kabupaten Bungo.
Metode Penelitian 1. Sifat penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian yang bersifat deskriptif analitis, yaitu berupa penggambaran hal-hal yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini.2 Dengan penelitian ini diharapkan dapat menguraikan atau memberikan gambaran mengenai Implikasi perubahan pengaturan Desa menjadi Rio terhadap sistem otonomi daerah di Kabupaten Bungo.
2. Pendekatan Masalah
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis sosiologis/sosio
legal research yaitu pendekatan
secara langsung terhadap impilkasi
perubahan penyebutan kepala desa menjadi Rio dan dilihat sendiri
kenyataannya dari sudut-sudut hukum yang berpedoman pada Peraturan perundangan-undangan, buku-buku,
2
teori-teori hukum dan literatur hukum serta bahan-bahan lain yang berhubungan dengan masalah penelitian.
3. Tehnik Sampling
a. Dalam penlitian ini, yang menjadi sampel sampel adalah dua dusun yang ada dalam populasi diambil
berdasarkan kriteria yaitu satu dusun yang dekat dengan kota yaitu dusun Sungai Arang , dan satu dusun lagi adalah yang jauh dari kota yaitu Tanjung Agung. Alasan menjadikan dusun yang dekat dengan kota menjadi sampel adalah karena dusun tersebut sangat besar dipengaruhi oleh sistem pemerintahan yang ada di kelurahan/kota sehingga terkesan lebih maju dibandingkan dengan dusun yang jauh dari kota. Maka berdasarkan kriteria sampel dipilihlah dusun Tanjung Agung sebagai dusun yang jauh dari kota,
dan Sungai Arang sebagai dusun yang dekat dari kota.
4. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini bersifat kualitatif, maka untuk mengumpulkan data dilakukan dengan dua cara yaitu melakukan
wawancara mendalam (indepth
intervieuw) dengan pihak-pihak
terkait yaitu :
a. Datuk Mahmud selaku Ketua Lembaga Adat Kabupaten Bungo (LAM).
b. Usman Hasibuan selaku Kabag Pemerintahan Setda Kabupaten
Bungo.
c. Bagian Hukum Setda Kabupaten Bungo melalui Kabid Perundang-undangan Hambali.
d. Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemerintahan Dusun, Pemberdayaan Perempuan, dan Keluarga Berencana (BPMPD PP-KB) Kabupaten Bungo melalui Kabid Pemerintahan Dusun yaitu Sudjadi.
e. Datuk Rio Dusun Tanjung Agung yaitu Ibrahim.
f. Ketua Lembaga Adat Kecamatan Muko-muko Bathin VII yaitu
Datuk Ahmad Nasuki.
g. Tokoh adat dusun Tanjung
Agung yaitu Fahri.
h. Tokoh adat dusun Sungai Arang yaitu Furqon.
Kemudian teknik selanjutnya adalah metode dokumentasi yaitu mengumpulkan dokumen atau bahan-bahan tulisan, jurnal, peraturan perundang-undangan, buku, dan bahan-bahan penunjang berupa tulisan lainnya.
5. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bungo, karena hanya di Kabupaten Bungo yang ada perubahan penyebutan kepala desa menjadi Rio. Populasi penelitian adalah semua dusun yang ada di Kabupaten Bungo, namun untuk mempersempit penelitian maka diambillah beberapa sampel dengan kriteria sebagai berikut :
a. 1 Dusun yang dekat dengan kota/ibu kota kabupaten.
b. 1 Dusun yang jauh/tepencil dari ibu kota kabupaten.
6. Pengolahan dan Analisis Data
Analisis data yang digunakan
adalah deskriptif kualitatif yaitu dengan cara:
a. Editing, yaitu meneliti kembali kelengkapan data yang diperoleh , apabila masih belum lengkap maka diusahakan melengkapinya kembali dengan melakukan
koreksi ulang ke sumber data penelitan sehingga ditemukan permasalahan pokok yaitu implikasi perubahan penyebutan Kepala Desa menjadi Rio di Kabupaten Bungo.
b. Mengelompokkan/mengklasifikasi data yang diperoleh untuk
mempermudah dalam melakukan analisis kasus yang ada dalam penelitian.
c. Sistematisasi yaitu melakukan penyusunan dan penempatan data yang diperoleh untuk mempermudah dalam pembahasan, sehingga dalam pembahasan nanti dapat ditemukan permasalahan utama yaitu Implikasi perubahan penyebutan Kepala Desa menjadi Rio dalam sistem otonomi daerah di Kabupaten Bungo.
Setelah data didapat dan diolah dengan tiga cara diatas, kemudian dianalisis berdasarkan
teori Roscou Pound (Sosial
Engineering) untuk mendapatkan
muncul dalam sistem pemerintahan daerah di Kabupaten Bungo setelah perubahan penyebutan kepala desa menjadi Rio.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
A.Alasan yang mendorong perubahan penyebutan Kepala Desa menjadi Rio dalam Pemerintahan Daerah di Kabupaten Bungo.
Secara umum masyarakat Kabupaten Bungo tidak mengetahui apa alasan perubahan penyebutan kepala desa menjadi Rio. Untuk mengetahui alasan Perubahan penyebutan kepala desa menjadi Rio, digunakan wawancara mendalam (indepth interview) dengan tujuan mengetahui alasan sebenarnya dari perubahan penyebutan kepala desa menjadi Rio.
Adapun dasar dari hukum hakam tersebut harus mengacu kepada3 :
a. Alqur’an dan hadits
Jika menerapkan sanksi yang ada dalam ico pakai haruslah mengacu
kepada aturan agama yaitu Alqur’an dan hadits. Tidak boleh ada satupun
ico pakai yang bertentangan dengan Alqur’an dan hadits, dan juga semua
3
Ibid.
essensi dari ico pakai harus ada pengaturannya dalam Alqur’an dan hadits. Dasar ini dipakai karena menyelaraskan dengan falsafah masyarakat Kabupaten Bungo yaitu “ adat bersandikan syara’, syara’ bersandi kitabullah”.
b. Cermin yang tak kabur
Makna dari cermin yang tak kabur untuk menegakkan ico pakai dan
hukum hakam adalah pemangku adat
haruslah objektif dalam melihat permasalahan yang ada ditengah-tengah masyarakat. Tidak melihat siapa pelakunya namun melihat kepada apa yang telah diperbuatnya.
c. Langkah yang tak goyah
Ketika menerapkan hukum hakam datuk Rio tidak boleh ragu-ragu dalam mengambil sebuah keputusan. Sehingga diharapkan keputusan yang diambil sudah sesuai dengan prinsip keadilan, dan kebijaksaan Rio selaku pemangku adat dan kepala dusunpun
tetap terjaga dengan baik dimata masyarakat.
d. Dak lekang dek paneh, dak lapuk dek
hujan.
yang ada dimasyarakat. Bagaimanapun kondisi dan gejala-gejala sosial yang ada pada masyarakat Rio tetap konsisten menjalankan tugas dan kewajibannya baik sebagai pemangku adat maupun kepala dusun.
e. Kato seiyo
Makna dari kato seiyo merupakan kunci dari semua dasar yang ada diatas, Rio dalam menjalankan tugasnya harus selaras, seiring dengan keinginan masyarakat dusun, karena Rio merupakan corong penerangan kepada masyarakat untuk membangun dusun sesuai dengan keinginan masyarakat dusun. Dalam mengambil keputusanpun Rio haruslah mendengarkan masukan dari masyarakat dan berbagai pihak sebagi bentuk dari penyaluran aspirasi, sehingga keputusan yang lahir adalah keputusan bersama. Tidak hanya dengan masyarakat
dusun saja, Rio pun haru bias menjalin kerjasama dengan berbagai
pihak, baik dari pemerintah daerah maupun unsur-unsur lainnya, agar terjalin sebuah sinergi yang baik.
Alasan selanjutnya menurut menurut Datuk Mahmud adalah untuk
memudahkan pemerintah daerah dalam melaksanakan urusan pemerintahan di wilayah dusun, dan Rio pun dapat melaksanakan perannya dengan baik, yaitu selaku pemimpin dusun juga sebagai pemangku adat di dusun tersebut4.
Berdasarkan data yang didapat
dari hasil wawancara dengan narasumber secara umum alasan perubahan penyebutan kepala desa menjadi Rio adalah sebagai berikut :
1. Mengembalikan sistem adat (kearifan lokal) yang pernah ada di Kabupaten Bungo dan telah lama ditinggalkan.
2. Memudahkan dan menyesuaikan keteraturan yang ada dalam masyarakat desa.
3. Untuk memudahkan pemerintah daerah dalam melaksanakan urusan pemerintahan di wilayah dusun, dan Rio pun dapat melaksanakan perannya dengan
baik, yaitu selaku pemimpin dusun juga sebagai pemangku
adat di dusun tersebut.
4. Mengacu kepada Pasal 1 ketentuan umum angka 12
4
Undang-undang No 32 tahun 2004, dan Pasal 2 angka 1 PP No.72 tahun 2005, Peraturan Daerah nomor 9 tahun 2007 tentang Perubahan Penyebutan Kepala Desa menjadi Rio, dan kepada ico pakai yang ada di Kabupaten Bungo
5. Banyaknya kepribadian kepala desa yang tidak sesuai filosofi adat
B. Implikasi perubahan penyebutan Kepala Desa menjadi Rio dalam sistem pemerintahan daerah di Kabupaten Bungo.
Secara tidak langsung ada pengaruh yang timbul setelah perubahan Penyebutan Kepala Desa menjadi Rio, baik terhadap sistem hukum atau perundang-undangan (Pemerintahan Daerah) dan sistem adat Kabupaten Bungo.
Implikasi mengandung makna pengaruh ataupun dampak yang
ditimbulkan dari sesuatu. Jika dihubungkan dengan judul penelitian
maka maksud implikasi disini adalah pengaruh perubahan penyebutan kepala desa menjadi Rio di Kabupaten Bungo.
Secara umum imlpikasi perubahan penyebutan kepala desa menjadi Rio adalah :
1. Kembali berlakunya hukum adat (ico pakai) sebagai norma yang mengatur kehidupan masyarakat dusun.
2. Tidak bisa sembarangan orang
untuk menjadi kepala Desa atau Rio.
3. Masyarakat dusun akan lebih memahami ico pakai/hukum hakam yang ada di kabupaten Bungo. 4. Ketika tahapan seleksi Rio
dilaksanakan banyak sekali bakal calon Rio yang gugur dalam tahapan seleksi, karena tidak memahami adat.
5. Ada kasus kepala desa/Rio yang diberhentikan karena melanggar adat yang berlaku di dusun setempat.
6. Adanya kerancuan antara kewenangan adat dusun dan
kewenangan pemerintah daerah. 7. Warga masyarakat yang merupakan
kepala Desa menjadi Rio sudah keluar maka setiap kepala dusun harus mengikuti mekanisme yang ada termasuk di dusun yang mayoritas masyarakatnya pendatang.
8. Beralihnya aset adat yang semula menjadi aset dusun sekarang
beralih ketangan pemerintah Daerah.
9. Beralih fungsinya hutan adat menjadi hutan yang dikelola oleh pemerintah (hutan lindung).
10. Masyarakat maupun Datuk Rio akan sulit untuk membedakan yang mana kewenangan sebagai abdi Negara (kepala dusun) dan mana sebagai abdi masyarakat (Rio). 11. Jika dulu untuk menjadi Rio tidak
perlu persaingan secara politis karena pemilihan dilakukan dengan jalan musyawarah tetua adat, namun sekarang Rio sudah disamakan dengan jabatan politik
karena dipilih melalui pilkadus sehingga menimbulkan banyak
sekali kecurangan pada saat pemilihan.
C.Kendala-kendala yang timbul setelah perubahan penyebutan Kepala Desa menjadi Rio dalam pemerintahan Daerah di Kabupaten Bungo.
Setelah dianalisis hasil wawancara dengan nara sumber, secara umum kendala-kendala yang timbul adalah :
1. Perbenturan sistem hukum Nasional dengan hukum adat (ico pakai) yang ada pada masyarakat adat.
2. Banyaknya calon-calon kepala dusun (Rio) yang tidak mengerti latar belakang perubahan penyebutan ini, sehingga calon yang maju untuk diseleksi minim pemahaman tentang adat, agama dan pemerintahan. Hal ini disebabkan karena kurangnya sosialisasi dari pemerintah daerah, selama ini hanya mengandalkan Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemerintahan Dusun, Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPMPDPP-KB) saja, sehingga
proses sosialisasi tentang perubahan penyebutan kepala Desa menjadi Rio
sangat terhambat.
3. Masih terdapat perilaku datuk Rio yang menyimpang.
depan orang banyak (berbicara dengan masyarakat sesuai dengan prosedur sistem Pemerintahan). 5. Untuk pelantikan memerlukan biaya
yang sangat besar, lebih kuang dua puluh lima sampai tiga puluh juta rupiah.
PENUTUP
A.Simpulan
Perubahan penyebutan Kepala Desa Menjadi Rio menimbulkan berbagai macam persoalan, baik dari sistem Pemerintahan Daerah maupun sistem adat Kabupaten Bungo. Berdasarkan pembahasan diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa secara umum perubahan penyebutan kepala Desa menjadi Rio masih perlu diperbaiki kembali.
1. Latar belakang perubahan penyebutan kepala Desa menjadi Rio tidak diimbangi dengan kualitas sumber daya masyarakat dusun yang ada, keadaan geografis masyarakat,
keadaan politis daerah dan tidak memperhatikan ico pakai yang
sebenarnya.
2. Implikasi perubahan penyebutan kepala Desa menjadi Rio adalah berubahnya status kepala Desa (dusun)
yang semula hanya sebagai kepala pemerintahan terkecil di dalam Sistem Pemerintahan Daerah, namun dengan keluarnya Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2007 rio juga sebagai kepala adat, karena prosesi pelantikan dilaksanakan dengan cara formal atau dengan pemerintahan dan dengan
prosesi adat. Beralihnya aset dudun yang merupakan bagian dari asset adat yang kewenangannya beralih kepada Pemeintah Daerah. Namun tidak hanya sebatas asset adat saja ada beberapa kebiasaan yang ada didusun beralih menjadi acara formal pemerintah daerah. Contoh adanya lubuk larangan yang diperdakan oleh Pemerintah Daerah, hilangnya hutan adat menjadi hutan lindung yang diatur dengan Peraturan Daerah Kabupaten Bungo, penentuan hari panen yang semula merupakan kewenangan pemangku adat dusun berubah menjadi kewenangan
Pemerintah Daerah. Implikasi lain dari perubahan penyebutan kepala desa
Contoh seorang datuk rio diberhentikan karena duduk didepan rumah hanya memakai celana pendek dan tidak memakai baju.
3. Kendala-kendala yang timbul terhadap perubahan penyebutan kepala desa menjadi Rio diantaranya adalah : a. Kurangnya pemahaman masyarakat
tentang perubahan penyebutan kepala desa menjadi Rio dan pemahaman terhadap ico pakai yang disebabkan oleh minimnya sosialisasi dari Pemerintah Daerah maupun pihak lainnya.
b. Jauhnya jarak proses pelantikan dengan pemilihan Rio yang disebabkan oleh semua biaya dibebankan kepada Dusun dan biaya yang dibutuhkan lebih kurang dua puluh lima sampai tiga puluh juta rupiah.
B. Saran
Sebagai masukan maka penulis memberikan beberapa saran terhadap
Pemerintah Daerah Kabupaten Bungo sebagai berikut :
1. Sebaiknya Pemerintah Daerah memberikan perhatian yang sangat besar terhadap perubahan penyebutan Kepala Desa menjadi Rio dengan meningkatkan
sosialisasi kepada seluruh masyarakat di Kabupaten Bungo. 2. Tugas sosialisasi sebaiknya tidak
dibebankan kepada BPMPDPP-KB saja, namun melibatkan semua unsur SKPD dan perangkatnya. 3. Memberikan bantuan dana untuk
prosesi pelantikan Rio terpilih, jika
tidak ada alokasi/ anggaran dana untuk pelatikan tersebut sebaiknya Pemerintah Daerah menekankan kepada masing-masing Rio untuk menyelenggarakan prosesi pelantikan dengan sangat sederhana sehingga tidak membebani masyarakat dan jarak antara pemilihan dan pelantikan tidak terlalu jauh.
Daftar Pustaka
A. Buku
Aziz Hakim, A 2011. Negara Hukum
Dan Demokrasi di
Indonesia. Pusataka
Pelajar. Yogjakarta.
C.S.T, Kansil 2007. Ilmu
Negara.Jakarta. PT.
Pradya Paramita. Jakarta.
Dasril, Radjab 2005. Hukum Tata
Negara Indonesia.
Jakarta. PT. Rhieneka Cipta.
Darmo Diharjo, D dan Shidarta 2006.
Hukum. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Daud Busroh, A 1990. Ilmu Negara, PT. Bumi Aksara. Jakarta.
F Susanto, A 2010. Ilmu Hukum Non
Sistemik. Genta Publising,
Jogjakarta.
Hadikusuma, H 1992. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. Mandar Maju.Bandung. H.F. Abraham Amos, H.F.A 2007.
Sistem Ketatanegaraan
Indonesia. PT. Grapindo
Persada. Jakarta.
Kaelan,2010. Pendidikan Pancasila. Paradikma. Jogjakarta. Pantja Astawa, I.G dan Na’, S 2009.
Memahami Ilmu Negara
dan Negara. PT. Refika
Aditama. Bandung.
Raharjo, S 2007. Membedah Hukum
Progresif. Buku Kompas.
Jakarta.
Saptomo, A 2010. Hukum dan Kearifan
Lokal, PT. Gramedia
Widiasarana Indonesia, Jakarta.
Salim HS, H dan Septiana, E 2013. Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis
Dan Disertasi. PT.
Rajagrapindo Persada. Jakarta.
Salaman, H.R.O dan F Susanto, F 2008. Teori Hukum (Mengingat,
Mengumpulkan, dan
embuka Kembali). Refika
Aditama. Bandung.
Soerjono Soekanto, S 1986. Penelitian
Deskriptif Analisis. PT.
Pradya Paramita. Jakarta.
Sarman dan Taufik Makarao, M 2011. Hukum Pemerintahan
Daerah Di Indonesia. PT.
Rineka Cipta. Jakarta. Setiadi, T 2008. Intisari Hukum Adat
Indonesia (Dalam Kajian
Kepustakaan). Alfabeta.
Bandung.
Trisantono Soemantri, B 2010. Pedoman
Penyelenggaraan
Pemerintahan Desa.
Fokusmedia. Bandung.
Zulganef, 2008. Metode Penelitian
Sosial dan Bisnis. Graha
Ilmu. Yogyakarta.
B. Jurnal
Abdi Aprasing, 2012, “Otonomi Daerah
Berdasarkan Asas
Pemerintahan Yang Baik”, The Principle of Good Governance
: Jurnal Hukum Online,
Volume 01, No 01, Januari 2012.
Muntoha, “Otonomi Daerah Dan Perkembangan Peraturan-Peraturan Daerah Bernuansa Syari’ah”, Hukum Ootnomi
Daerah : Jurnal Hukum, Edisi
No. 2 Vol. 260 – 280, 15 April 2008
C. Sumber lain
Haidandri. 2011.” Peran Lembaga adat dalam pemilihan kepala Desa
Secara Langsung di
Kedepatian Semerap
Kecamatan Keliling Danau
Kabupaten Kerinci”. Program
Pasca Sarjana Universitas Bung Hatta, Padang.
Bahtiar, 2010, Fungsi Kepala Desa Sebagai Mediator Dalam Pelaksanaan Pembangunan Di Desa Rasabou Kecamatan
Sape Kabupaten Bima.
IMDS. 24 Februari 2014, http://anggohijan.blogspot.co m/2010/12/fungsi-kepala-desa-sebagai-mediator.html
USU Intitusional Respotory. 2011.
Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Partisipasi
Masyarakat Dalam
Perencanaan Pembangunan
Desa di Desa Sekijang
Kecamatan Tapung Hilir
Kabupaten kamapar.2011.
http://repository.usu.ac.id/bits tream/123456789/30568/5/Ch apter%20I.pdf
Taofik hidayah, 2012. Memahami dan menghayati kenyataan yang
diwujudkan oleh gejolak
masyarakat perkotanaan,
memahami dan meghayati
kenyataan sosial yang
diwujudkan oleh keberadaan
masyarakat pedesaan,
mengkaji hubungan antara
masyarakat perkotaan
dan pedesaan. Diakses Pada
Tanggal 24 Februari 2014.
http://taufikhidayah21.wordpre
S. Warisi Geriya. Menggali kearifan
lokal untuk Ajeg Bali. Diakses
Tanggal 24 September 2014
http:/WWW.balipos.co.id.
http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_adat . Diakses pada Tanggal 26 Februari 2014.
Asma, 2011, Contoh Proposal
Penelitian Hukum.15 Juni 2011.
http://asma1981.blogspot.com/2011/06/ contoh-proposal-penelitian-hukum.html
Wiwit Nurasih. 2013. Kontribusi
Hukum Adat Bagi
Pembangunan Sistem di
Indonesia. Jurnal Kuliah. 3
Mei 2012.
file:///C:/Users/Wiwit/Docume
nts/perkembangan-dan-kontribusi-hukum-adat.html.
S. Warisi Geriya. Menggali kearifan
lokal untuk Ajeg Bali. Diakses
Tanggal 24 September 2014.
http:/WWW.balipos.co.id.
Sudikno Mertokusumo,2008.
Meningkatkan KESADARAN
Hukum Masyarakat. Jurnal
http://sudiknoartikel.blogspot.c om/2008/03/meningkatkan-
kesadaran-hukum-masyarakat.html.
Bali Pos , 2003. Menggali Kearifan
Lokal Untuk Ajeg Bali. 2003.
http://www.balipost.co.id/balip ostcetak/2003/9/17/bd1hl.htm. Diakses Pada Tanggal 26 Februari 20014.
D. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Desa.
Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pemerintahan Daerah.
Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pencalonan,
Pemilihan, Pengangkatan,
Pelantikan, dan Pemberhentian Kepala Desa.