• Tidak ada hasil yang ditemukan

ARAH PERKEMBANGAN PERADILAN TATA USAHA N

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ARAH PERKEMBANGAN PERADILAN TATA USAHA N"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

ARAH PERKEMBANGAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA Pasca Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014

Tentang Administrasi Pemerintahan

Oleh:

FEBBY FAJRURRAHMAN, SH.

Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Mataram

(2)

DAFTAR ISI

Daftar Isi... 1

BAB I PENDAHULUAN... 2

1. Latar Belakang... 2

2. Rumusan Masalah... 6

3. Maksud & Tujuan Penulisan... 6

BAB II TINJAUAN YURIDIS... 7

1. Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara... 7

2. Undang-undang Administrasi Pemerintahan... 8

BAB III PEMBAHASAN... 11

1. Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara Pasca Undang- undang Administrasi Pemerintahan... 11

2. Penambahan Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara... 16

3. Perluasan Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara... 24

4. Ambiguitas & Pertentangan Norma tentang Kewenangan Mengadili... 30

BAB IV KESIMPULAN... 33

(3)

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Hukum disusun tak hanya demi kepastian hukum semata, namun juga bertujuan demi kemanfaatan bagi rakyat banyak. Itulah yang sejatinya terkandung dalam terminologi welfare state sebagaimana dicetuskan Beveridge1 maupun Kranenburg, bahwa hukum negara tak hanya berisikan aturan, namun juga harus secara aktif mengupayakan kesejahteraan, bertindak adil yang dapat dirasakan seluruh masyarakat secara merata dan seimbang.

Perjalanan sejarah politik dan sejarah hukum abad ke 19 dan ke 20, menunjukkan bahwa paham sempit yang formal dan teknis yuridis justru membawa masyarakat semakin jauh dari keadilan, sehingga lahir pemeo

hukum yang berbunyi: “Summum ius summum inuria” (penerapan hukum

secara mutlak, mengakibatkan ketidakadilan yang paling buruk). Itulah saatnya paham negara hukum mulai dikaitkan dengan kewajiban negara untuk membawa keadilan dan kesejahteraan, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 19452. Sehingga terjadi pergeseran fungsi negara

(i.c. Pemerintahan), yang tak lagi hanya tentang “aturan” dan “sanksi”, tapi

juga memberikan pemerataan kesejahteraan dan kelayakan hidup, melalui fungsi pelayanan dalam aturan yang disusun.

1

Soehardjo, Beberapa Masalah Tentang Hukum Tata Pemerintahan, terutama yang terdapat di Nederland, hlm. 5. Dalam: Muchsan, Peradilan Administrasi Negara, Yogyakarta: Penerbit Liberty, 1981, hlm. 1

2

(4)

Salah satu regulasi yang menjadi indikasi keberadaan filosofi dasar kemanfaatan hukum adalah Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Diakui atau tidak, itu merupakan pengejawantahan dari fungsi pelayanan pemerintah dan merupakan salah satu refleksi dari konsep welfare state, yang tak hanya berisikan aturan hukum, namun juga berisikan pedoman dasar pelayanan bagi masyarakat.

Di awal penyusunannya, dapat dikatakan yang paling bersemangat dan antusias mendukung serta memperjuangkan hadirnya Undang-undang Administrasi Pemerintahan adalah Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. Hegemoni positif itu paralel dengan asumsi bahwa kodifikasi hukum yang mengatur praktik administrasi pemerintahan, diharapkan dapat mempertegas eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara dalam penegakan hukum administrasi.

Namun kemudian, banyak kajian menyatakan Undang-undang ini, lebih banyak berisikan panduan internal bagi administratur pemerintahan (aparatur sipil negara) dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya3, dan tidak menyentuh langsung penguatan kewenangan dan kedudukan Peradilan Tata Usaha Negara, dalam penegakan Hukum Administrasi.

(5)

Dapat dikatakan bahwa Undang-undang Administrasi Pemerintahan ini bukanlah hukum formil yang mengatur bagaimana penegakan hukum administrasi dilakukan, melainkan hukum materiil yang berisikan pokok-pokok dari hukum administrasi negara, seperti sumber kewenangan, perintah dan larangan dalam melaksanakan kewenangan, serta sanksi terhadap pelanggaran administrasi4, yang secara langsung akan memberikan panduan bagi penegak hukum administrasi (i.c. Peradilan Administrasi) untuk memberikan batasan-batasan penegakan hukum administrasi secara materiil.

Dalam kedudukannya sebagai Hukum Materiil, Undang-undang Administrasi Pemerintahan memuat beberapa poin penting yang relevan dengan penegakan hukum administrasi oleh Peradilan Tata Usaha Negara. UU AP akan menjadi hukum materiil yang menjadi panduan untuk para Hakim TUN dalam memeriksa dan memutuskan penyelesaian gugatan masyarakat kepada pemerintahan atas keputusam dan tindakan pemerintahan5. Hal ini dalam kajian tertentu dianggap merupakan langkah progresif dalam cakupan pengkajian dan penegakan hukum administrasi. Namun dalam poin tertentu, kerap dianggap juga merupakan langkah kontra-produktif terutama dalam kaitannya dengan penegakan hukum pidana, dimana selain memperlambat prosedur pemeriksaan tindak pidana

4

Sebagaimana diungkapkan Enrico Simanjuntak, dalam artikel Beberapa Anotasi Terhadap Pergeseran Kompetensi Absolut Peradilan Umum Kepada Peradilan Administrasi Pasca Pengesahan UU No 30 Tahun 2014. Dalam: Subur MS (ed.), dkk.,

Bunga Rampai Peradilan Administrasi Kontemporer, Yogyakarta: Penerbit Genta Press, 2014, Hlm.57.

5

(6)

korupsi dalam jabatan publik, juga potensi ketidaksiapan teknis dan non-teknis Peradilan Tata Usaha Negara dalam melaksanakan kewenangan baru tersebut. Belum lagi persoalan klasik oportunisme oknum praktisi peradilan terhadap adanya kewenangan itu, yang tentu sangat memprihatinkan.

Keadaan tersebut secara logis kemudian menimbulkan reaksi, tak hanya dari kalangan eksternal seperti praktisi hukum bahkan kalangan awam, yang menganggap Undang-undang Administrasi Pemerintahan sebagai sebuah penyelundupan kepentingan berbungkus regulasi, tapi juga di kalangan internal yudikatif, yang beranggapan bahwa Peradilan Tata Usaha Negara tidak lebih baik, atau bahkan belum siap terlibat dan berperan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, spesifiknya dalam hal pengujian penyalahgunaan wewenang, sebagai norma hukum baru yang termuat dalam Undang-undang Administrasi Pemerintahan.

Pro-kontra itu tentunya perlu dikaji, tak berbeda dengan pentingnya mengkaji maksud serta arah substansi yang termuat dalam penambahan kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana termuat dalam Undang-undang Administrasi. Sehingga pada akhirnya, pertanyaan yang hingga kini belum terjawab mengenai: “Bagaimana implementasi serta

(7)

slapende regeling, ataupun pemberlakuannya akan disertai penyematan syarat-syarat yang restriktif dan menyempit.

I.2. Rumusan Masalah

Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia yang hampir berusia 25 tahun, mengalami banyak dinamika dalam perjalanannya menegakkan hukum administrasi. Dan yang akan menjadi fokus pembahasan dalam makalah ini adalah:

1. Bagaimana penegakan Hukum Administrasi di Indonesia secara Umum? 2. Apa norma baru yang secara substansial temuat dalam Undang-undang Administrasi Pemerintahan dalam kaitannya dengan Peradilan Administrasi?

I.3. Maksud dan Tujuan Penulisan

Berdasarkan kajian teoritis dari literatur, serta kajian empiris berdasarkan praktik peradilan administrasi yang berlangsung, tujuan penulisan makalah ini diantaranya adalah:

1. Secara praktis adalah untuk memantapkan kaidah penegakan Hukum Administrasi dalam bingkai Peradilan Tata Usaha Negara.

(8)

BAB II

TINJAUAN YURIDIS

II.1. Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara

Sejak disahkan pada tahun 1986, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana termuat dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, tidak terlalu banyak mengalami perubahan substansial yang berarti. Sebagian besar merupakan perubahan tekstual seperti diantaranya:

1. Definisi limitatif Keputusan Tata Usaha Negara (dari Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 menjadi Pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009); 2. Pengecualian Keputusan Tata Usaha Negara (dari Pasal 2 UU No. 5

Tahun 1986 menjadi Pasal 2 UU No. 9 Tahun 2004);

3. Subyek hukum Penggugat (redaksi “seseorang dan badan hukum perdata” pada Pasal 53 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986, menjadi “orang atau badan hukum perdata” dalam UU No. 9 Tahun 2004);

4. Dasar pembatalan KTUN (dari Pasal 53 ayat (2) huruf a, b, dan c UU No. 5 Tahun 1986, menjadi Pasal 53 ayat (2) huruf a dan b Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004);

5. Tahapan pelaksanaan putusan berdasarkan Pasal 116 UU No. 5 Tahun 1986 mengalami dua kali perubahan, sampai akhirnya ditetapkan melalui Pasal 116 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009, yang memuat pengenaan uang paksa dan sanksi administratif dalam hal diabaikannya putusan oleh Tergugat;

(9)

Perubahan substansial yang paling kentara adalah dihapusnya ketentuan Pasal 118 yang mengatur mengenai perlawanan pihak ketiga terhadap pelaksanaan putusan. Sehingga setelah dihapusnya ketentuan itu, Majelis Hakim yang memeriksa sengketa tersebut, sedapat mungkin memanggil dan memintai keterangan semua pihak yang diduga memiliki kepentingan dan keterkaitan dengan sengketa di awal pemeriksaan sengketa. Konsekuensi hukumnya adalah setiap pihak yang baru muncul dan menyatakan memiliki kepentingan pada saat putusan dilaksanakan, tidak lagi memiliki hak hukum dan perlindungan hukum.

II.2. Undang-Undang Administrasi Pemerintahan

Norma baru yang terpranatakan dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, dalam relevansinya dengan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara diantaranya:

1. Penambahan kewenangan, berkaitan dengan pengujian ada atau tidaknya penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Badan/Pejabat Hukum Publik.

Pasal 21: “Pengadilan berwenang menerima, memeriksa dan

memutuskan ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang yang

dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan

2. Gugatan/permohonan yang didasarkan pada sifat fiktif positif;

Pasal 53 ayat (3): Apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud

pada ayat (2), Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan

dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan, maka permohonan

(10)

Pasal 53 ayat (4): Pemohon mengajukan permohonan kepada

Pengadilan untuk memperoleh putusan penerimaan permohonan

sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

Pasal 53 ayat (5): Pengadilan wajib memutuskan permohonan

sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lama 21 (dua puluh satu)

hari kerja sejak permohonan diajukan.

3. Upaya Administratif

Pasal 75 ayat (1): Warga masyarakat yang dirugikan terhadap

keputusan dan/atau tindakan dapat mengajukan upaya administratif

kepada Pejabat pemerintahan atau atasan pejabat yang menetapkan

dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan.

Pasal 75 ayat (2): Upaya Administratif sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) terdiri atas:

a. Keberatan; dan

b. Banding.

4. Perluasan Definisi KTUN;

Pasal 38 ayat (2): Keputusan Berbentuk Elektronis wajib dibuat atau

disampaikan apabila Keputusan tidak dibuat atau tidak disampaikan

secara tertulis.

Pasal 38 ayat (3): Keputusan Berbentuk Elektronis berkekuatan hukum

sama dengan Keputusan yang tertulis dan berlaku sejak diterimanya

(11)

Pasal 38 ayat (4): Jika Keputusan dalam bentuk tertulis tidak

disampaikan, maka yang berlaku adalah Keputusan dalam bentuk

elektronis.

Pasal 38 ayat (5): Dalam hal terdapat perbedaan antara Keputusan dalam bentuk elektronis dan Keputusan dalam bentuk tertulis, yang

berlaku adalah Keputusan dalam bentuk tertulis.

Serta ketentuan:

Pasal 87: Dengan berlakunya Undang-Undang ini, Keputusan Tata

Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah

diubah dengan Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan

Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 harus dimaknai sebagai:

a. penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual;

b. Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan

eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya;

c. berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan AUPB;

d. bersifat final dalam arti lebih luas;

e. Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum; dan/atau

(12)

BAB III PEMBAHASAN

III.1 Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara Pasca Undang-undang Administrasi Pemerintahan

Secara sporadis, terdapat penambahan kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara setelah disahkannya Undang-undang Administrasi Pemerintahan. Dikatakan sporadis, karena secara substansial apa yang menjadi perluasan kewenangan tersebut hanya disematkan secara parsial oleh Undang-undang Administrasi Pemerintahan, dan tidak mengubah secara keseluruhan praktik maupun hukum acara dalam praktik Peradilan Tata Usaha Negara yang ada.

Dari beberapa pasal yang secara signifikan memiliki dampak kebaruan bagi praktik peradilan administrasi, dapat dipilah menjadi 2 tipikal utama, yakni yang bersifat menambahkan kewenangan dan yang memperluas kewenangan.

(13)

“Pengadilan berwenang menerima, memeriksa dan memutuskan ada atau

tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Pejabat

Pemerintahan”;

Sementara perluasan kewenangan merupakan penambahan kewenangan yang disebabkan karena adanya perluasan ataupun perubahan batasan konsep, yang sebelumnya sudah diatur di dalam Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara. Perluasan tersebut adalah definisi Keputusan Tata Usaha Negara, sebagaimana Pasal 87 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014, serta pergeseran ketentuan Pasal 3 mengenai tindakan diamnya Badan/Pejabat Tata Usaha Negara, yang dianggap menolak menerbitkan keputusan, menjadi menganggap mengabulkan menerbitkan keputusan, meskipun tindak lanjutnya tetap harus melalui putusan pengadilan, sebagaimana ketentuan Pasal 53 ayat (3) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014.

Polemik dan pro-kontra seputar adanya kewenangan menilai penyalahgunaan wewenang masih berlangsung hingga saat ini. Stigma negatif: “menghambat agenda pemberantasan korupsi” menjadi tajuk

utama dalam setiap kajian maupun diskusi antara praktisi-akademisi hukum, khususnya yang mengkonfrontasikan pendekatan hukum pidana dan hukum administrasi.

(14)

dilakukan dalam kaidah hukum administrasi dan tentunya peradilan administrasi. Akan tetapi oleh karena dalam penyalahgunaan wewenang jabatan ini potensial mengandung unsur-unsur pidana, maka pendapat semacam penulis pun mendatangkan kontra-argumen yang secara hukum sebenarnya juga merupakan hal yang logis.

Berbeda dengan pengujian hukum administrasi yang selama ini sering memiliki wilayah batas (sering diistilahkan grey area ataupun titik singgung) dengan hukum keperdataan, ternyata seiring dengan perkembangan hukum kontemporer, hukum administrasi pun bisa juga memiliki wilayah batas dengan hukum pidana, khususnya yang berkenaan dengan pelaksanaan urusan jabatan maupun urusan administrasi pemerintahan pada umumnya.

Bila disikapi dengan bijak dan pikiran terbuka, adanya peranan Pengadilan Tata Usaha Negara dalam menguji ada/tidaknya penyalahgunaan wewenang sejatinya dimaksudkan untuk mempermudah penentuan unsur “penyalahgunaan wewenang” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UU

Pemberantasan Tipikor, sehingga pertimbangan Majelis Hakim yang memeriksa Tindak Pidana Korupsi selanjutnya akan lebih fokus pada unsur-unsur pidana dari Tindak Pidana Korupsi itu sendiri. Hal yang merupakan efek lanjutan dari pendapat Romli Atmasasmita6: “..bahwa penyidik dan

penuntut tindak pidana korupsi eks Pasal 3 UU Tipikor 2001/1999, pasca

berlakunya UU ADP 2014 tidak akan mengalami kesulitan yang berarti

6

(15)

untuk menerjemahkan pengertian istilah Penyalahgunaan Wewenang

terkait penuntutan dan pembuktian tindak pidana korupsi oleh

penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri lainnya atau aparat penegak

hukum”.

Sejauh ini, pengertian “menyalahgunakan wewenang” –dalam konteks

Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor- secara praktis mengambil alih pengertian “penyalahgunaan wewenang” dalam Pasal 53 ayat (2) huruf b

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986. Hal yang bisa dikatakan merupakan implementasi dari teori Autonomie van het Materiele Strafrecht dari H.A. Demeersemen7, yang pada intinya menyatakan bahwa: Hukum Pidana

mempunyai otonomi untuk memberikan pengertian yang berbeda dengan

pengertian yang terdapat dalam cabang ilmu hukum lainnya, akan tetapi

jika hukum pidana tidak menentukan lain, maka dipergunakan pengertian

yang terdapat dalam cabang hukum lainnya”, untuk mempertanyakan adakah harmoni atau disharmoni antara Hukum Pidana dengan lingkup hukum lainnya, termasuk Hukum Administrasi.

Namun di dalam realitas sosial, terjadi perbedaan pemahaman mengenai penerapan teori Autonomie van het Materiele Strafrecht tersebut. Sebagian menganggap pengujian penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara, telah tepat. Akan tetapi ada pula yang menganggap pengujian penyalahgunaan wewenang secara khusus/tersendiri tidaklah perlu, karena Majelis Hakim Pengadilan Tipikor,

7

(16)

bisa menafsirkan sendiri unsur penyalahgunaan wewenang dalam Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor, dengan melandaskan diri pada asas tersebut di atas, yakni mengambil alih konsep serupa –yaitu penyalahgunaan wewenang - yang telah ada dalam Hukum Administrasi8.

Di Belanda dianut asas bahwa peradilan biasa (peradilan umum kita) mengisi kekosongan perlindungan hukum yang ditinggalkan peradilan tata usaha negara9. Hal yang tentu berkebalikan dengan praktik peradilan Indonesia, dimana Peradilan Tata Usaha Negara hanya mengadili sengketa yang bukan merupakan (residu) kewenangan peradilan umum. Bahkan, bila pun suatu sengketa telah didaftarkan dan diperiksa di Peradilan Tata Usaha Negara, terkadang ditahbiskan pula menjadi “bukan kewenangan”

Peradilan Tata Usaha Negara untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikannya, dengan pertimbangan bukan merupakan sengketa tata usaha negara, ataupun persoalan hukum lain (selain sifat hukum administrasinya) harus diselesaikan terlebih dahulu.

Inferioritas (baca: prioritas hukum privat>hukum publik) semacam ini, bila terus berlanjut akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum administrasi di Indonesia, dan bukan tidak mungkin terjadi juga dalam hal pengujian penyalahgunaan wewenang sebagaimana secara atributif telah diberikan Undang-undang Administrasi Negara kepada Peradilan Tata Usaha Negara. Dan lagi-lagi, bisa terjadi Peradilan Tata Usaha Negara

8

Bandingkan misalnya dengan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1340 K/Pid/1992, tanggal 17 Februari 1992.

9

(17)

akan “dipaksa mengalah” menyerahkan pengujian penyalahgunaan

wewenang tersebut melalui jangkauan kewenangan dan syarat-syarat yang sangat dibatasi.

Konsep pembedaan kewenangan mengadili seharusnya tegas ditegakkan dan dipisahkan. Oleh karena Peradilan Tata Usaha Negara tidak berwenang memeriksa (dan memutus) sengketa tata usaha negara (sengketa administrasi) serta Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004), maka secara negasi juga berarti bahwa Lingkungan Peradilan lainnya tidak memiliki kewenangan memeriksa sengketa tata usaha negara (sengketa administrasi) maupun Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN)10, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 serta Undang-undang Administrasi Pemerintahan.

III.2. Penambahan Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara

Mengapa harus ke Pengadilan Tata Usaha Negara? Karena penyalahgunaan wewenang dalam jabatan sebagai salah satu unsur dalam Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor, pada hakikatnya merupakan terminologi dan konsep yang berada dalam rezim Hukum Administrasi. Berhubung wewenang adalah “kemampuan bertindak yang diberikan oleh Undang-undang yang berlaku untuk hubungan hukum”, maka

10

(18)

“kewenangan” yang dimaksud oleh Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor

tentunya adalah kewenangan yang ada pada jabatan atau kedudukan yang dipangku oleh Pegawai Negeri berdasarkan peraturan perundang-undangan11. Filosofi dasarnya karena jabatan berhubungan dengan tindakan/urusan pejabat maupun badan publik dalam melakukan urusan administrasi pemerintahan di pusat maupun daerah, berdasarkan kewenangan atau diskresi yang ada padanya.

Penalaran ini pun sejalan dengan ketentuan Pasal 53 ayat (2) huruf b Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004, bahwa pengujian sengketa di bidang administrasi (baik berdasarkan Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara maupun Undang-undang Administrasi Pemerintahan), salah satunya karena adanya pelanggaran terhadap Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik12. Dan bila pun pelanggaran terhadap larangan penyalahgunaan wewenang tersebut tidak dinormakan sebagai peraturan, “penyalahgunaan wewenang” tetap merupakan bagian dari pelanggaran

terhadap Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik, sehingga jangkauan kewenangan pengujiannya tetap berada pada Pengadilan Tata Usaha Negara13. Terlebih pengkajian mengenai ketidakberwenangan (onbevogheid) sebagaimana terjemahan dalam pasal 17 ayat (2) UU Administrasi Pemerintahan (baik dalam bentuk detournement de pouvoir

11

Abdul Latif, Hukum Administrasi Dalam Praktik Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Prenada Media Grup, 2014, hlm. 46

12

Dalam hal ini terjadi pergeseran status penyalahgunaan wewenang dari asas-asas umum pemerintahan yang baik (in cassu larangan detournement de pouvoir maupun

willekeur) menjadi norma hukum positif (sebagaimana ditunjukkan dalam Pasal 17 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014).

13

(19)

maupun willekeur), selama ini sudah menjadi domain Pengadilan Tata Usaha Negara untuk mengujinya.

Pendapat ini senada dengan yang disampaikan Andhi Nirwanto14, bahwa: ..parameter utama untuk menentukan ada tidaknya onrechmatig

overheidsdaad yang menjadi domain tata usaha negara, terletak pada 2

(dua) hal pokok, yaitu: a. Apakah pejabat pemerintahan telah menjalankan

wewenang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku?; b.

Apakah pejabat pemerintahan telah menerapkan asas-asas umum

pemerintahan yang baik (AAUPB) dalam menjalankan kewenangan

tersebut?”, karena konteks penyalahgunaan wewenang adalah

menggunakan wewenang yang diberikan kepadanya itu menyimpang dari maksud dan tujuan asalnya. Sejalan juga dengan konsep penyalahgunaan wewenang yang pernah ada dalam ketentuan Pasal 53 ayat (2) huruf b Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, yaitu menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut. Dalam mengukur apakah telah terjadi penyalahgunaan wewenang, haruslah dibuktikan bahwa pejabat telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain15. Terjadinya penyalahgunaan wewenang bukanlah karena suatu kealpaan. Penyalahgunaan wewenang dilakukan secara sadar yaitu mengalihkan tujuan yang telah diberikan kepada wewenang itu16.

14

Andhi Nirwanto, Arah Pemberantasan Korupsi Ke Depan (Pasca Undang-undang Administrasi Pemerintahan), Makalah Seminar Nasional HUT IKAHI, 2015, hlm.15

15

Philipus M. Hadjon, op. cit, hlm. 22. 16

(20)

Penyalahgunaan kewenangan mempunyai karater atau ciri17:

1. Menyimpang dari tujuan atau maksud dari suatu pemberian kewenangan 2. Menyimpang dari tujuan atau maksud dalam kaitannya dengan asas

legalitas;

3. Menyimpang dari tujuan atau maksud dalam kaitannya dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik;

Dialihkannya wewenang18 untuk membuktikan adanya penyalahgunaan wewenang ke Pengadilan Tata Usaha Negara, bukan disikapi dengan anggapan hal itu merupakan suatu penghambatan dalam proses pemberantasan korupsi, melainkan harus ditanggapi dengan sikap bahwa penegakan hukum itu harus dilakukan sesuai dengan koridor hukum masing-masing, yakni penegakan hukum pidana, diselesaikan dengan instrumen dan institusi penegak hukum pidana, begitu juga dengan penegakan hukum administrasi, yang dalam hal ini adalah pengujian penyalahgunaan wewenang harus disesuaikan juga dengan instrumen dan institusi penegak hukum administrasi.

Secara yuridis, untuk mengetahui penyalahgunaan wewenang (penggunaan wewenang yang melanggar hukum), harus dilihat dari sumber atau lahirnya wewenang. Ini sejalan dengan konsep hukum, “Di dalam setiap pemberian wewenang kepada pejabat pemerintahan tertentu, tersirat

pertanggungjawaban dari yang bersangkutan” (geen bevoegheids zonder

17

Supandi, Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan (Relevansinya terhadap Disiplin Penegakan Hukum Administrasi Negara dan Penegakan Hukum Pidana), artikel dalam Majalah Varia Peradilan Tahun XXX No. 353, Bulan April 2015, hlm. 29.

18

(21)

verantwoordelijkheid atau there is no authority without reponsibility)19.

Sehingga terhadap kaidah penyalahgunaan wewenang, ataupun berkenaan dengan wewenang itu sendiri, telah nampak jelas tipikal pengujian serta kewenangan absolut untuk memeriksanya.

Pesan sama yang juga sebenarnya tertuang dalam pertimbangan Majelis Hakim Agung, dalam perkara Kasasi Nomor: 572 K/Pid/2003, yang pada pokoknya menyatakan bahwa pengujian serta penentuan adanya penyalahgunaan wewenang tidak secara serta merta dapat diputuskan oleh Peradilan Umum, melainkan harus dibuktikan terlebih dahulu (tersendiri).

Putusan Kasasi Nomor: 572 K/Pid/2003:

Menimbang, bahwa Mahkamah Agung tidak sependapat dengan

pertimbangan hukum judex factie, bahwa unsur menyalahgunakan

wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan

atau kedudukan itu disimpulkan terbukti dari rangkaian perbuatan hukm

Terdakwa I yang tidak melakukan atau mengusahakan suatu mekanisme

koordinasi kerja yang tidak terpadu dengan baik, sehingga perbuatan

materiil Terdakwa I menurut hukum bertentangan dengan asas kepatutan,

ketelitian dan kehati-hatian dalam pengelolaan uang negara, padahal

Terdakwa I memiliki wewenang untuk itu. Menurut pendapat Mahkamah

Agung, haruslah dibuktikan terlebih dahulu unsur pokok dalam Hukum

Pidana apakah Terdakwa I mempunyai kesengajaan (opzet) untuk

melakukan perbuatan penyalahgunaan wewenang tersebut, dan bahwa

19

(22)

memang Terdakwa I menghendaki dan mengetahui (met willens en wetens)

bahwa perbuatan itu dilarang tapi tetap dilakukannya..”

Dalam perkembangannya, dapat dikaji bahwa yang menjadi dasar pertimbangan hukum judex factie (PN dan PT) dalam kasus tersebut adalah berkenaan dengan asas kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian dalam urusan pemerintahan (i.c. Pengelolaan Uang Negara), yang berdasarkan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004, merupakan pengejawantahan dari Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik.

Bila implementasinya dilaksanakan dengan kaidah hukum yang konsisten dan berkesinambungan, seharusnya dengan perubahan dasar uji bagi Peradilan Tata Usaha Negara (melalui perubahan terhadap Pasal 53 ayat (2) Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara), seharusnya juga berimplikasi langsung terhadap pengujian unsur “menyalahgunakan

wewenang” maupun “penyalahgunaan wewenang” yang selama ini

berlangsung. Sehingga setelah berlakunya Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004, pengujian mengenai eksistensi unsur tersebut tidak secara serta merta bisa dilakukan dalam satu pertimbangan hukum sekaligus, melainkan harus dilakukan secara tersendiri.

Fallacy (kesesatan menafsir) saat mempertimbangkan terminologi “menyalahgunakan wewenang” tersebut berlangsung sekian lama, bahkan

(23)

pemerintahan yang baik, maka konteks “menyalahgunakan wewenang”, “penyalahgunaan wewenang” atau istilah lain yang sepadan, adalah

termasuk dalam konteks tersebut. Diputuskannya unsur “menyalahgunakan

wewenang” ataupun “penyalahgunaan wewenang” oleh Peradilan Umum,

tentu merupakan sebuah paralogis kewenangan mengadili yang berlangsung sampai saat ini, dan baru disadari saat disahkannya Undang-undang Administrasi Pemerintahan.

Dari ketentuan Pasal 21 ayat (2) Undang-undang Administrasi Pemerintahan, subyek hukum yang berhak mengajukan permohonan pengujian penyalahgunaan wewenang ini adalah Badan/Pejabat Pemerintahan. Tidak dijelaskannya “siapa” atau “kapan” Badan/Pejabat

Pemerintahan bisa mengajukan permohonan penyalahgunaan wewenang tersebut, menimbulkan polemik, namun juga membuka ruang penafsiran.

Tri Cahya Indra Permana misalnya, menafsirkan “siapa” atau “kapan” dan

dalam ketentuan tersebut menjadi: Pertama, Pejabat yang telah ditetapkan sebagai terdakwa karena diduga menyalahgunakan wewenang. Kedua,

Pejabat yang gamang jika tindakan yang dilakukannya dapat berakibat pada sanksi pidana, dan Ketiga, Badan khususnya penegak hukum/penyidik yang ingin mengetahui ada atau tidak adanya unsur penyalahgunaan wewenang pada tindakan Pejabat yang akan disidiknya20.

20

(24)

Ruang penafsiran terhadap ketentuan tersebut memang terbuka lebar, sebab sampai saat ini belum ada aturan pelaksanaan yang bisa dijadikan panduan standar, spesifiknya, hukum acara yang menjelaskan rangkaian pemeriksaan dalam pengujian penyalahgunaan wewenang tersebut.

Paradigma yang keliru kerap dilekatkan pada tipikal pengujian penyalahgunaan wewenang tersebut. Tak hanya di kalangan eksternal (akademisi dan praktisi hukum lain), namun di kalangan internal yudisial pun masih terdapat anggapan bahwa dalam pengujian penyalahgunaan wewenang itu terdapat sebuah “keputusan” definitif, baik yang dikeluarkan

oleh Badan/Pejabat Pemerintah, ataupun Penegak Hukum/Penyidik. Selanjutnya, hal tersebut dinisbahkan kepada ketentuan Pasal 2 Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004, sehingga pada akhirnya sampai pada kesimpulan yang keliru, pengujian itu bukan menjadi kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara untuk memeriksa dan mengadilinya.

Sama halnya dengan ketentuan mengenai permohonan fiktif positif, maka yang dimintakan oleh pemohon adalah putusan pengadilan atas suatu keputusan “fiktif”, yang sebenarnya tidak ada secara fisik. Sehingga obyek

pengujiannya bukanlah suatu obyek sengketa definitif, yakni dokumen tertulis ataupun dokumen digital (keputusan tata usaha negara), melainkan keberadaan konsep “penyalahgunaan wewenang”, yang dikonfrontasikan

dengan regulasi yang relevan dengan kewenangan yang diujikan.

(25)

sedikit perbedaan, dimana pihak yang dapat mengajukan permohonan pengujian penyalahgunaan wewenang adalah: Pertama: Pejabat yang telah ditetapkan sebagai tersangka karena diduga menyalahgunakan wewenang, dan Kedua: Penyelidik ataupun penyidik (secara alternatif), pada saat akan melanjutkan pelimpahan berkas perkara21 tersebut ke pengadilan (Tipikor).

III. 3 Perluasan Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara

Selain penambahan kewenangan sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, pasca berlakunya Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, terdapat pula perluasan kewenangan bagi Peradilan Tata Usaha Negara. Secara garis besar perluasan kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara itu mencakup 2 hal pokok, yakni yang berkaitan dengan Keputusan Tata Usaha Negara, dan yang berkaitan dengan upaya hukum sebelum diajukannya gugatan ke Pengadilan.

Merupakan sebuah fakta notoir bagi kalangan praktisi, bahwa eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara sedemikian terbatasnya. Tak hanya ruang lingkup kewenangannya, tapi juga faedah serta kepastian penyelesaian (pelaksanaan putusan) hukum, yang menjadi tujuan akhir proses peradilan, dirasakan masihlah jauh dari konsep ideal. Seperti yang pernah diungkapkan Adriaan W. Bedner, bahwa: “Pada dasarnya pemerintah tidak

menyukai kehadiran Peradilan Tata Usaha Negara, terlihat bahwa hampir semua wakil rakyat (waktu itu) menyadari bahwa pemerintah orde baru

21

(26)

tidak akan bersedia menerima campur tangan pengadilan dalam hal-hal yang langsung berkaitan dengan pengendaliannya pada negara22.

Salah satu indikasinya menurut Umar Dhani adalah: “tidak ada dukungan

dari penguasa dalam tataran implementatif, sehingga apa yang menjadi

kewenangan yang diberikan oleh Undang-undang dalam tahap

pelaksanaannya tidak didukung oleh saran dan prasarana, sehingga

penyelesaian dari putusan pengadilan menjadi terabaikan23.

Indikasi normatif yang juga menunjukkan pembatasan itu adalah ketentuan Pasal 1 angka 9 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009, serta Pasal 2 Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004, yang secara jelas merefleksikan sesempit apa peranan Peradilan Tata Usaha Negara dalam menegakkan supremasi hukum di negeri ini.

Undang-undang Administrasi Pemerintahan, dapat dikatakan sebagai titik balik dari keterbatasan peranan Peradilan Tata Usaha Negara dalam menegakan Hukum Administrasi. Asumsi itu tumbuh saat Undang-undang Administrasi Pemerintahan memberikan perluasan makna Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana menjadi kewenangan absolut Peradilan Tata Usaha Negara, yang selama ini cenderung restriktif.

Paradigma Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 9 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009, maupun Pasal 3

22

Adriaan W. Bedner, Pengadilan Tata Usaha Negara di Indonesia (Sebuah Studi Sosio-Legal), Jakarta: Huma, 2010, hlm. 68.

23

(27)

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, telah bergeser dengan ketentuan Pasal 38 ayat (3) serta Pasal 87 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014. Syarat limitatif semisal, konkrit, indvidual dan final, mengalami perluasan makna, terutama dalam hal akibat hukum yang timbul, dan subyek yang dikenai akibat hukum tersebut. Lebih dari itu, Undang-undang Administrasi Pemerintahan juga memberikan kewenangan bagi Peradilan Tata Usaha Negara untuk memeriksa dan memutus tindakan faktual administrasi pemerintahan.

Namun demikian, pemberlakukan ketentuan dalam Undang-undang Administrasi Pemerintahan tersebut, terutama ketentuan Pasal 87, tidak serta merta menghapus kriteria-kriteria KTUN yang diatur dalam Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009, melainkan mengalami revitalisasi24.

Dengan tidak adanya penegasan ketidakberlakukan terminologi serupa dalam Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara (terkhusus kriteria KTUN), maka menurut hemat penulis, pengujian keabsahan KTUN di Peradilan Tata Usaha Negara bisa dilakukan secara alternatif, dengan menggunakan dasar Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara sendiri, ataupun dengan dasar Undang-undang Administrasi Pemerintahan.

1. Keputusan Berbentuk Elektronis

Sebagaimana diungkapkan Indroharto, sebuah surat dikatakan keputusan tata usaha negara, penekanannya berada pada sifat dan isi/substansi, bukan pada bentuk dari surat tersebut. Jadi sepanjang

24

(28)

memenuhi prasyarat sebagaimana Pasal 1 angka 3, dan terakhir diubah menjadi Pasal 1 angka 9 Undang-undang Nomor 51 Tahu 2009, maka kendati tidak berjudul “Keputusan”, maka surat tersebut telah memenuhi kriteria keputusan tata usaha negara.

Dengan demikian, konsep yang dibangun dalam ketentuan Pasal 38 ayat (3) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014, sejalan dengan hal itu. Karena sejatinya, keberadaan suatu keputusan terletak pada sifat serta isi/substansi dari surat tersebut, bukan pada bentuk maupun wujud fisik berupa dokumen yang dicetak ataupun dokumen digital (tidak dicetak), sepanjang telah jelas dan nyata apa yang diputuskan/diterangkan di dalamnya, maa secara limitatif itu merupakan sebuah “beschikking”. 2. Perluasan Makna Keputusan Tata Usaha Negara

a. Mencakup tindakan faktual;

Pergeseran kewenangan menguji tindakan faktual dari Peradilan Umum kepada Peradilan Tata Usaha Negara, bukanlah hal yang mengherankan. Onrechtmatige overheidsdaad

b. Keputusan TUN di lingkungan Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif dan penyelenggara negara lain;

(29)

memutuskan perkara25), maka keputusan tersebut termasuk kriteria keputusan tata usaha negara.

c. Berdasarkan perundang-undangan dan AUPB;

Karena sifat praesumptio justae causa, maka seburuk apapun sebuah keputusan administrasi tetap dianggap sah dan berlaku, selama belum dinyatakan sebaliknya. Sehingga dengan analogi terhadapnya, semua keputusan administrasi secara filosofis harus dianggap telah diterbitkan berdasarkan perundang-undangan AUPB, sepanjang belum dinyatakan sebaliknya.

d. Final dalam arti luas;

Dalam penjelasan Pasal 87 huruf d Undang-undang Administrasi Pemerintahan, dikatakan bahwa final dalam arti luas diartikan mencakup keputusan yang diambilalih oleh atas pejabat yang berwenang.

e. Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum;

Dapat ditafsirkan bahwa ketentuan ini lebih bersifat visioner, yakni mengasumsikan adanya potensi akibat hukum dari keputusan yang terbit. Misalnya, A mempersoalkan pengumuman data yuridis BPN, karena lokasi tanah tumpang tindih dengan tanah yg diklaim miliknya. f. Keputusan yang berlaku bagi warga masyarakat.

Kendati rumusan yang dipakai adalah “berlaku bagi masyarakat”, tapi

secara limitatif hal ini hanya terbatas pada “beschikking” saja, yakni

25

(30)

berlaku pada orang tertentu, golongan tertentu atau kelompok masyarakat tertentu. Sehingga misalnya, walaupun Peraturan Daerah juga memiliki kekuatan imperatif terhadap warga masyarakat, namun

karena itu bersifat “regeling”, maka tidak termasuk katagori Keputusan

Tata Usaha Negara. 3. Sifat Fiktif Positif

Hal ini bisa disebut sebagai langkah progresif, implementasi dari pergeseran konsep administrastur pemerintahan yang mengatur (regulatory function), menjadi administratur pemerintahan yang melayani (service function), dan hakikatnya itu tak lain juga merupakan pergeseran paradigma dari negara hukum menjadi negara kesejahteraan.

Kontradiktif dengan ketentuan Pasal 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, maka dalam Pasal 53 ayat (3) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2015 tegas dinyatakan bahwa tidak ditetapkannya atau tidak dilakukannya (sikap diamnya) Badan/Pejabat Pemerintahan, terhadap permohonan yang diajukan, maka dianggap dikabulkan secara hukum. Namun demikian, terhadap sikap diamnya tersebut tetap harus menempuh proses pengadilan untuk mendapatkan putusan penerimaan permohonan26. Pemeriksaan pengadilan dalam permohonan ini, diasumsikan sama/serupa dengan pemeriksaan pengadilan dalam hal permohonan pengujian penyalahgunaan wewenang (vide Pasal 21 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014), sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Karena pada keduanya, tidak terdapat obyek sengketa

26

(31)

definitif (berupa sebuah keputusan tata usaha negara, bahkan tindakan tata usaha negara), melainkan lebih bersifat pemeriksaan normatif terhadap permohonan yang diajukan27, yang secara konseptual semestinya tidak jauh berbeda dengan sifat pemeriksaan PUU di Mahkamah Konstitusi.

III. 4. Ambiguitas & Pertentangan Norma tentang Kewenangan Mengadili

Kaidah upaya administrasi ditemukan tak hanya dalam Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara tapi juga dalam Undang-undang Administrasi Pemerintahan. Ini termuat dalam Pasal 76 ayat (3) Undang-undang Nomor

30 Tahun 2014, bahwa: “Dalam hal Warga Masyarakat tidak menerima atas

penyelesaian banding oleh Atasan Pejabat, Warga Masyarakat dapat

mengajukan gugatan ke Pengadilan”

Klausula tersebut tentunya menimbulkan pertanyaan kritis, apakah kata “dapat” itu merepresentasikan kaidah imperatif (keharusan) ataukah kaidah

alternatif (pilihan)? Kata “dapat” dalam ketentuan Pasal Pasal 76 ayat (3)

Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 itu secara filosofis mungkin meniru

kata “dapat” dalam ketentuan Pasal 53 ayat (1) Undang-undang Nomor 9

Tahun 2004, yang diartikan bahwa orang/badan hukum perdata, boleh menggugat, boleh juga tidak menggugat.

27

(32)

Namun konteks “dapat” di dalam ketentuan Pasal 53 ayat (1) Undang

-undang Nomor 9 Tahun 2004 itu kurang pas bila diterapkan dalam kaidah

upaya administratif, sebab kata “dapat” di dalam Pasal 53 ayat (1) Undang

-undang Nomor 9 Tahun 2004 lebih merupakan pilihan tindakan hukum (bersifat alternatif), sedangkan kata “dapat” di dalam Pasal 75 ayat (1)

Undang-undang Administrasi Pemerintahan28 maupun Pasal 76 ayat (3) Undang-undang Administrasi Pemerintahan merupakan kaidah prosedural yang harus ditempuh (bersifat imperatif)29.

Potensi pertentangan norma muncul saat Pasal 76 ayat (3) Undang-undang Administrasi Pemerintahan dikonfrontasikan dengan ketentuan pasal 48 jo. Pasal 51 ayat (3) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, sebab bila makna

“Pengadilan” dalam ketentuan Pasal 76 ayat (3) Undang-undang

Administrasi Pemerintahan tersebut diacukan kepada Pasal 1 angka 18 Undang-undang Administrasi Pemerintahan, maka akan terjadi ambiguitas makna serta kompetensi absolut antara Pengadilan Tata Usaha Negara dengan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara30.

28Meski tekstualnya berbunyi: “dapat” namun sifat impe

ratif-nya disini adalah ketentuan Pasal selanjutnya yang menyatakan bahwa Upaya Administratif itu adalah Keberatan dan Banding. Hal yang paralel juga bisa ditemui dalam ketentuan Pasal 76 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

29

Berbeda dengan konsep Upaya Administratif yang selama ini dikenal dalam praktik Peradilan Administrasi berdasarkan UU Peratun maupun dikatakan dalam SEMA Nomor 2 Tahun 1991, yang tidak secara tegas menyiratkan jenis maupun hierarki serta fase Upaya Administrasi yang harus dilakukan vide Pasal 48 UU Nomor 5 Tahun 1986, Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menetapkan dengan jelas jenis serta berjenjangnya Upaya Administrasi yang harus ditempuh.

30

(33)

Hal ini sejalan dengan pendapat Sudarsono31: 1. Pada UU Peratun (48) UA

merupakan keharusan (untuk sengketa/perkara yang memiliki UA).

Sedangkan pada UU AP (Pasal 75 ayat (1)), UA bukan merupakan

keharusan akan tetapi “dapat” dilakukan oleh Warga Masyarakat (yang

merasa dirugikan); 2. Pada UU Peratun (Pasal 51 ayat (3)), menyebut

secara tegas Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang memiliki tugas

dan wewenang menyelesaikan sengketa/perkara yang memiliki UA,

sedangkan pada UU AP (Pasal 76 ayat (3)) hanya menyebut kata

“pengadilan”. Kata “pengadilan” menurut Pasal 1 angka 18 UU AP dimaknai

Pengadilan Tata Usaha Negara, sehingga dengan demikian terdapat

perbedaan yang prinsipil antar keduanya.

Terkait hal ini, mungkin saja ada yang berpendapat bahwa asas hukum umum bisa diterapkan, yakni asas lex speciali derogate legi generali

ataupun asas lex posteriori derogate legi priori. Namun tepatkah memperbandingkan kekhususan/keumuman Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara dengan Undang-undang Administrasi Pemerintahan, atau memperbandingkan kebaruan/kelampauan Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara dengan Undang-undang Administrasi Pemerintahan32?

31

Bandingkan dengan: Sudarsono, “Upaya Administratif Dalam Konteks Undang-undang

Nomor 20 Tahun 2014” makalah dalam Colloquium Membedah Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, 5 Juni 2015 di Garden Palace Surabaya, hlm. 3.

32

Bandingkan dengan pendapat,: “Apakah lex generalis in cassu UU AP dapat merubah

(34)

BAB IV KESIMPULAN

1. Penyalahgunaan wewenang merupakan terminologi dalam Hukum Administrasi, dan pengujian terhadap keberadaannya haruslah bersifat administratif dan dilakukan oleh Peradilan Administrasi. Sementara Perluasan kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara dalam Undang-undang Administrasi Pemerintahan, terutama mengenai kriteria Keputusan Tata Usaha Negara, secara prinsip tidak mencabut kriteria keputusan tata usaha negara dalam Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara. Lebih dari itu, karena secara normatif tidak ada ketentuan pencabutan tersebut, maka pengajuan gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara semakin fleksibel, karena secara alternatif bisa didasarkan pada Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara maupun Undang-undang Administrasi Pemerintahan.

2. Secara prinsip dan dalam batas-batas tertentu, Undang-undang Administrasi Pemerintahan kian melengkapi dan memperkuat peranan Peradilan Tata Usaha Negara dalam tertib hukum administrasi di Indonesia, namun implementasinya tetap harus diterjemahkan secara jelas melalui aturan pelaksanaan yang konkrit, agar kewenangan atributi yang diemban berdasakan regulasi tersebut, tak lagi menjadi norma mengambangm atau bahkan hanya jadi polemik tak berkesudahan.

(35)
(36)

REFERENSI

Perundang-undangan dan Putusan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986

Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004

Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009

Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1340 K/Pid/1992, tanggal 17 Februari 1992.

Buku

Abdul Latif, Hukum Administrasi Dalam Praktik Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Prenada Media Grup, 2014.

Adriaan W. Bedner, Pengadilan Tata Usaha Negara di Indonesia (Sebuah Studi Sosio-Legal), Jakarta: Huma, 2010.

Muchsan, Peradilan Administrasi Negara, Yogyakarta: Penerbit Liberty, 1981.

Nur Basuki Minarno, Penyalahgunaan Wewenang dan Tindak Pidana Korupsi dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, Palangkaraya: Laksbang Mediatama, 2009.

Philipus M. Hadjon, dkk., Hukum Administrasi dan Tindak Pidana Korupsi,

Cetakan Kedua, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012.

Subur MS (ed.), dkk., Bunga Rampai Peradilan Administrasi Kontemporer, Yogyakarta: Penerbit Genta Press, 2014.

(37)

Umar Dhani, Putusan Pengadilan Non-Executable. Proses dan Dinamika Dalam Konteks PTUN, Yogyakarta: Genta Press, 2015.

Makalah dan sumber lainnya

Andhi Nirwanto, Arah Pemberantasan Korupsi Ke Depan (Pasca Undang-undang Administrasi Pemerintahan), Makalah Seminar Nasional HUT IKAHI, 2015.

Enrico Simanjuntak, dalam artikel Beberapa Anotasi Terhadap Pergeseran Kompetensi Absolut Peradilan Umum Kepada Peradilan Administrasi

Pasca Pengesahan UU No 30 Tahun 2014., 2015.

Philipus M. Hadjon, Peradilan Tata Usaha Negara dalam Konteks Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014, makalah dalam Colloquium Membedah Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, 5 Juni 2015 di Garden Palace Surabaya.

Romli Atmasasmita, Penyalahgunaan Wewenang Oleh Penyelenggara Negara: Suatu Catatan Kritis Atas UU RI Nomor 30 Tahun 2014 Tentang

Administrasi Pemerintahan, , Makalah Seminar Nasional HUT IKAHI, 2015. Slamet Suparjoto, UU Administrasi Pemerintahan dan UU Peratun Berbanding Lurus, artikel dalam Majalah Varia Peradilan Tahun XXX No. 354, Bulan Mei 2015.

Sudarsono, Upaya Administratif Dalam Konteks Undang-undang Nomor 20 Tahun 2014 makalah dalam Colloquium Membedah Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, 5 Juni 2015 di Garden Palace Surabaya.

Supandi, Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan (Relevansinya terhadap Disiplin Penegakan Hukum

Administrasi Negara dan Penegakan Hukum Pidana), artikel dalam Majalah Varia Peradilan Tahun XXX No. 353, Bulan April 2015.

Referensi

Dokumen terkait

Analisis Regresi Linier Berganda dan Uji Signifikansi Parsial (Uji t) Dari hasil uji asumsi klasik dapat diketahui bahwa data yang digunakan dalam penelitian ini

Usaha ini telah mampu berperan dalam meningkatkan perekonomian masyarakat, peranan usaha ini dapat dilihat dari banyaknya petani jagung yang terlibat dalam

Peningkatan dan penurunan dari inventory turn over terhadap Profitabilitas(Gross profit Margin) tidak sesuai dengan penelitian terdahu yang dilakukan oleh Meythi

Dari hasil penelitian ini ternyata variabel bebas atau tidak terikat yaitu lama usaha tidak mempunyai pengaruh terhadap pendapatan pedagang di Pasar Reok, hal ini memiliki arti

Kaharuddin, Bandara Sangia Nibandera, Bandara Mathilda Batlayeri, Bandara Komodo, Bandara Pekon Serai, Bandara Malinau, Bandara Sanggu, Bandara Melonguane, Bandara Enggano,

meningkatkan pemahaman agama, dengan mencari informasi yang baik dan akurat serta dapat memilih teman yang baik, lebih memperdalam pengetahuan agama, yang bisa

Adapun kesimpulan yang dapat diperoleh dari penulisan ini: Berdasarkan hasil analisa menggunakan FIS Mamdani yang penulis lakukan, maka di dapatkan keputusan untuk