• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dialog Interpretatif dalam Kajian Litera

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Dialog Interpretatif dalam Kajian Litera"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Upaya Pemahaman terhadap Teks dan Penafsirannya

terhadap Dinamika Realitas

Makalah dipresentasikan pada:

“Program Pemberdayaan Pesantren dan Madrasah” untuk Santri

di Pesantren At-Tahdzib (PA) Rejoagung Ngoro Jombang

Kerjasama Pusat Kajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta dan Pusat Kajian Dinamika Agama dan Budaya Masyarakat (PUSKADIABUMA) Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga

Yogyakarta

dengan Pesantren At-Tahdzib

Oleh :

Sokhi Huda

Staf Pengajar IAIN Sunan Ampel Surabaya,

Diperbantukan dan Pjs. Ketua Jurusan KPI pada Fakultas Dakwah

IKAHA Tebuireng Jombang

Jombang

(2)

Upaya Pemahaman terhadap Teks dan Penafsirannya terhadap Dinamika Realitas *

Oleh: Sokhi Huda **

A. Pendahuluan

Teks—sebagai bagian dari literatur—, pada kondisi aslinya, hanyalah berbentuk tulisan. Ia hanya diam dan dapat diperlakukan secara fisik oleh siapa pun, kapan pun, dan di mana pun. Tetapi dalam teks ada informasi, dan dengan informasi itu, saat ia dibaca oleh seseorang, terjadilah transformasi informasi dari teks kepada pembaca. Dalam perkembangan selanjutnya sangat mungkin terjadi dialog hangat, kritis, atau bahkan menegangkan.

Dalam transformasi dan dialog itulah teks berdaya memperlihatkan power-nya sebagai sesuatu yang memiliki ruh yang mampu menggerakkan pikiran, perasaan, perilaku, dan sikap para pembacanya. Ruh itu dapat berupa informasi ringan, pelajaran dan ajaran, serta ideologi yang kelak mampu menggerakkan sebuah revolusi dalam peradaban global umat manusia. Dalam sejarahnya sendiri, teks dapat menjadi teman,

entertainer, komandan, magic, penunjuk jalan, terapis, pembimbing, bahkan penggerak gelora perjuangan berdarah.

Dari situ kemudian muncul sejumlah persoalan; (1) apa sebenarnya teks itu dalam tradisi penciptaannya?, (2) adakah visi, misi, dan ideologi yang terkandung dalam teks sebagai delegasi pemikiran penulisnya?, (3) bagaimanakah cara memahami teks dalam dialog antara tiga pihak terkait (teks, pembaca, dan penulisnya)?, (4) bagaimanakah cara penafsiran terhadap teks berbekal pemahaman dan sikap kritis pembaca terhadap dinamika realitas yang berkembang?

*

Makalah dipresentasikan pada “Program Pemberdayaan Pesantren dan Madrasah” untuk Santri, pada hari Sabtu, tanggal 1 April 2006, di Pesantren at-Tahdzib (PA) Rejoagung Ngoro Jombang. Program ini diselenggarakan oleh Pusat Kajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan Pusat Kajian Dinamika Agama dan Budaya Masyarakat (PUSKADIABUMA) Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta bekerjasama dengan Pesantren at-Tahdzib.

**

(3)

Untuk menjawab sejumlah persoalan tersebut di atas, tulisan ini menggunakan metode interpretatif-analitis. Sedangkan fokus kajiannya adalah dua kitab klasik (Ta’lim al-Muta’allim dan Uqud al-Lujain) yang sering dijadikan referensi kajian tekstual dalam banyak pesantren di Indonesia, khususnya di pulau Jawa, lebih khusus lagi di Jawa Timur.

Alasan penentuan fokus tersebut adalah, secara referensial kedua kitab tersebut mempunyai karakter khas yang menjadikannya terpilih untuk tetap dikaji di banyak pesantren di Indonesia. Sedangkan penyajian makalah dan pola pembedahan terhadapnya dalam forum disesuaikan dengan pola kegiatan dalam “In-Service Training” pada “Program Pemberdayaan Pesantren dan Madrasah” untuk Santri.

B. Pembahasan

1. Sekilas tentang Nilai-Nilai Kepesantrenan

(4)

Dari hasil analisis sementara yang dilakukan oleh penulis, ditemukan asumsi baru bahwa untuk masa kini dan masa mendatang masing-masing ketiga tipe pondok tersebut di atas memerlukan pengayaan model keempat, yaitu model pondok kontemporer. Mengapa demikian? Sebab, model pertama hanya mampu bertahan pada segmen masyarakat yang tertutup, dan lulusannya tidak banyak yang dapat mengadaptasikan terhadap perkembangan tantangan kehidupan yang dihadapi oleh umat Islam khususnya. Sementara tipe kedua, dengan gaya dan manajemen modernnya, dapat mengalami kekurangan atau kekeringan “ruh kepesantrenan” oleh karena pola dan gaya yang dikembangkannya lebih banyak bersifat mekanistik, di mana “ruh kultural Islam” ditempatkan sebagai hal yang tidak banyak diperhitungkannya. Dalam ilustrasi yang sederhana, tipe pondok modern identik dengan gaya modern dan biaya mahal, sehingga masyarakat ekonomi menengah—ke bawah relatif tidak dapat menikmatinya. Kemudian tipe ketiga, dengan model semi-modernnya, cenderung setengah-setengah dan berada dalam posisi tarik-menarik antara keinginan memfasilitasi pendidikan formal secara baik dan hegemoni kuat pola kurikulum dan manajemen pondok tradisional/klasik.

Tetapi di sisi lain, ada sesuatu yang khas (unik) dan bersahaja dalam tipe pertama pondok pesantren, yaitu tipe tradisional/klasik. Di dalamnya terdapat nilai-nilai moral yang menggunakan ukuran akhlaq karimah (budi pekerti luhur) yang dijunjung tinggi. Di antaranya adalah nilai-nilai (1) keimanan, (2) kesopanan ( unggah-ungguh), (3) kejujuran, (4) kesederhanaan, (5) keberkahan, (6) ketekunan dan keuletan, (7) kebersamaan, (8) keprihatinan, (9) keikhlasan, (10) kesabaran, dan (11) tawakkal kepada Allah SWT.

(5)

kita dapat saksikan sejumlah fenomena yang kontra-kepesantrenan: (1) seorang mantan santriwan tulen yang ketika di rumah rajin main kartu dengan busana kesukaan celana pendek, padahal rumahnya berdekatan dengan masjid, (2) seorang mantan santriwati tulen yang ketika di tengah-tengah masyarakat bergaya ‘ala gadis model, (3) dan sejumlah fakta yang seirama dengan itu. Memang perlu diakui bahwa pesantren tidak dapat sepenuhnya “menakdirkan” alumninya menjadi Kyai atau Ustadz, akan tetapi setidaknya pesantren menghendaki target minimalnya dapat terwujud, yaitu bahwa para alumninya dapat menjadi teladan yang baik bagi masyarakat dalam aspek apa pun yang digelutinya, dan menjadi pembimbing dalam hal keagamaan.

2. Sekilas tentang Santri

Dalam khazanah literatur kultural, dalam istilah “santri” terdapat lima huruf,

yakni:

ي

ر

ت

ن

س

(

يﺮﺘﻨﺳ

)

Huruf-huruf itu mengandung arti sebagai berikut:

a.

berasal dari kata

س

ةر ا

(menutup aurot),

b. berasal dari kata

ن

ا

(mencegah kemungkaran),

c. berasal dari kata

ت

ا ك

(meninggalkan perbuatan maksiat),

d. berasal dari kata

ر

ا

ر

(menjaga dari hawa nafsu), dan

e. berasal dari kata

ي

(yakin, mantap, percaya diri).

Kelima unsur kata dalam istilah “santri” tersebut menggambarkan sosok santri sebagai sebuah indentitas komunitas.

Dalam sejarahnya, “santri” merupakan sebutan bagi orang yang belajar di pondok pesantren, meskipun hingga sekarang belum ditemukan referensi tentang siapa yang pertama kali membuat atau menggunakan istilah itu.

Di samping itu, ada ada beberapa pendapat tentang “santri”. Di antaranya adalah

pertama, “santri” berarti “tiga matahari”. Arti ini diambil dari bahasa Inggris yang di-Indonesia-kan “sun” (matahari) dan “three” (tiga). Maksudnya adalah bahwa santri adalah orang yang berpegangteguh pada tiga hal, yakni Iman, Islam, dan Ihsan.

(6)

“jagalah”) dan “three” (bahasa Inggris, berarti “tiga”). Maksud yang dikehendaki oleh kata santri ini adalah jagalah kepatuhan kepada tiga pihak, yakni Allah, Rasulullah, dan Ulil-Amri.

Meski bagaimanapun arti “santri” yang dimaksudkan sebagai simbol sosok dan identitas komunitas, yang penting dipahami dalam kaitan dengan topik tulisan ini adalah bahwa santri adalah identitas bagi orang yang belajar agama (termasuk mempelajari teks-teks atau literatur-literaturnya) dan kelak diharapkan menjadi pewaris khazanah ajaran dan ilmu agama Islam, sekaligus penerus pengembangannya dalam upaya pembinaan masyarakat dan tata lehidupan yang Islami.

Di situlah santri memperoleh amanat luhur. Tetapi yang perlu diperhatikan adalah santri memiliki dan berada dalam sebuah identitas komunitas yang telah memiliki idealisme, ideologi, serta corak kultur khas tersendiri. Kaitanya dengan dinamika kajian literatur, santri dihadapkan pada pesan-pesan dan berbagai informasi dalam berbagai literatur yang dipelajari secara kurikuler di pesantrennya maupun literatur apa saja yang dipelajari secara mandiri di luar kurikulum itu. Berbagai pesan dan infornasi ini menjadi bekal ilmu sekaligus tantangan baginya dalam dinamika pemahaman teks (literatur) dan dalam pelaksanaan amanatnya sebagai generasi penerus Islam.

3. Pesantren dan Kajian Literatur

Sebatas wacana penulis, sebagian besar pondok pesantren bertahan dalam kajian kitab-kitab klasik yang lebih dikenal dengan istilah “kitab kuning”. Kitab-kitab klasik ditempatkan sebagai kelompok materi kajian fondasional. Sedangkan kitab-kitab lainnya jarang dijadikan perhatian untuk dikaji, kecuali pada pesantren-pesantren modern.

Sebenarnya ada alasan yang sama yang dapat penulis pahami, mengapa kitab-kitab klasik itu dijadikan materi kajian fondasional, baik oleh pesantren-pesantren salaf maupun modern. Alasan itu adalah bahwa kitab-kitab klasik merupakan produk Islam pada masa formatifnya1, yakni abad klasik sejarah peradaban Islam (abad ke-7

1

(7)

sampai abad ke-13), khususnya pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah (750-1258 M.). Pada periode klasik, dapat dijumpai sumbangan penting dan fundamental peradaban Islam terhadap peradaban dunia (termasuk peradaban modern di Barat sekarang), terutama aspek moral dan ilmu pengetahuan. Kecuali masa Dinasti Umayyah, konsentrasi utamanya pada perluasan wilayah.

Dinamika produktifitas karya-karya keilmuan pada masa itu sangat pesat, hingga Islam pada masa itu memperoleh julukan “the Golden Age of Islam” (Masa Keemasan Islam). Khalifah yang berjasa besar sebagai pembuka pintu dinamika produktifitas keilmuan dalam Islam adalah Khalifah al-Ma’mun (813-833 M), melalui “aktifitas terjemahan”.2 Gerakan ini memberi kontribusi yang besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan ilmu-ilmu keislaman maupun ilmu-ilmu lainnya. Dalam ilmu-ilmu keislaman, pengaruhnya terbaca dalam bidang-bidang tafsir, hadis, fikih, dan teologi, nahwu, kalam (teologi) dan tasawuf (mistisisme Islam). Munculnya tafsir bi al-ra’y (dalam bidang tafsir), rasionalisme Imam Ahmad bin Hanbal (dalam bidang fikih) dan kaum Mu’tazilah (dalam bidang teologi)3, logika Yunani Abu al-Hasan al-Asy’ari, merupakan sebagian indikasinya.

Kemudian, dalam ilmu-ilmu pengetahuan lainnya, cendekiawan muslim sedemikian piawai mengukir prestasi dengan sejumlah karya akal-budinya di bidang ilmu alam (astronomi, optika, kimia), matematika, filsafat, ilmu medis, dan ilmu-ilmu sosial (geografi, sejarah).

Khalifah al-Ma’mun membangun “Bayt al-Hikmah” (House of Wisdom) sebagai pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Untuk menggalakkan penerjemahan, al-Ma’mun menggaji para penerjemah yang ahli di bidangnya dari golongan Kristen, Sabi, dan bahkan penyembah bintang. Terdapat sejumlah penerjemah terkenal kala itu. Di antaranya adalah Tsabit bin Qurra (834-901 M), seorang Sabi dari Harran dan beberapa muslim, al-Kindi (wafat setelah 870 M), muridnya al-Sarakhsiy (wafat 899 M), al-Farabi

2

Upaya penerjemahan berlangsung tiga fase; pertama (masa al-Mansur-Harun al-Rasyid) mayoritas menerjemahkan bidang astronomi dan mantiq, kedua (masa al-Ma’mun-899 M.) menerjemahkan bidang filsafat dan kedokteran, dan ketiga (setelah 899 M, adanya pembuatan kertas) menerjemahkan bidang-bidang yang semakin luas. Lihat Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hh. 55-56.

3

Gelombang Hellenisme pertama bersentuhan dengan pemikiran Islam lebih banyak terlihat dala m pemikiran teologi. Tentang hal ini, lihat Montgomery Watt, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam

(8)

(wafat 950 M), Abu Sulayman al-Mantiqi al-Sijistaniy (wafat 985 M), dan al-Amiriy.4 Pada masa inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.

Perhatian yang tinggi terhadap pendidikan, berakibat dijadikannya masjid sebagai tempat kuliah. Oleh karenanya, masjid juga berfungsi sebagai “al-Jami’ah” (universal). Orang Barat lalu mengadopsinya menjadi “university” (universitas).

Masa keemasan peradaban keilmuan abad klasik sejarah Islam ketika itu terlukis indah dalam berbagai penyataan abstraktif beberapa penulis dan peneliti.5 Cristopher Dawson menyebut periode kemajuan Islam (masa Dinasti Abbasiyah) bersamaan masanya dengan abad kegelapan di Eropa.6 H.Mc. Neill menjelaskan bahwa kebudayaan Kristen di Eropa di antara 600-1000 M sedang mengalami masa surut yang rendah. Lebon mengatakan bahwa “orang Arablah yang menyebabkan kita mempunyai peradaban, karena mereka adalah imam kita selama enam abad”. Penyelidikan Rom Landau mengakui, bahwa dari periode Islam klasik orang Barat belajar berpikir objektif, dan belajar berdada lapang saat terpasungnya pikiran dan tidak adanya toleransi terhadap kaum minoritas, sebagai bimbingan bagi renaissance

Eropa yang kemudian membawa pada kemajuan dan peradaban Barat sekarang. Jacques C. Rislar menegaskan ilmu pengetahuan dan teknik Islam amat dalam mempengaruhi kebudayaan Barat.

Untuk konteks tulisan ini, fakta-fakta historis di atas penting dipahami dalam kaitannya dengan pemahaman tentang pesantren dan kajian literatur, termasuk dalam pemahaman tentang sistem kurikulum sebagian besar pesantren yang bertahan pada kajian kitab-kitab klasik.

4

Franz Rosenthal, The Classical Heritage in Islam, 6, sebagaimana dikutip oleh Yudian Wahyudi, et.al., The Dinamics of Islamic Civilization (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1988), h. 62.

5

Harun Nasution. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, I (Jakarta: UI-Press, 1985), hh. 74-75. Masing-masing abstraksi disebutkan sumbernya untuk pelacakan referensi lebih lanjut.

6

(9)

4. Dialog Interpretatif dalam Kajian Literatur (Analisis Historis dan Kontekstual)

Dalam dinamika kajian literatur, aspek-aspek historis dan kontekstual menduduki posisi penting. Sebab dengan kedua aspek itulah seorang pengkaji literatur kokoh dengan “sikap percaya diri” dalam pemahaman terhadap teks (dalam aspek literal dan historisnya) dan upaya kontekstualisasinya terhadap realitas yang berkembang. Di sinilah pengkaji literatur diharapkan memiliki daya interpretasi yang kuat dalam dialog interpretatifnya dengan literatur yang dikaji.

Penulis ambil salah satu contoh dalam kitab (On Teaching the Pupil) karya Burhanuddin al-Zarnuji (1203). Kitab ini merupakan salah satu di antara 28 kitab monumental di bidang pendidikan. Bahkan dapat dikatakan bahwa ia merupakan kitab terpopuler di bidang pendidikan pada abad klasik sejarah Islam, sebagaimana hasil penelitian Mehdi Nakosteen dalam bukunya History of Islamic Origins of Western Education A.D. 800-1350; with an Introduction to Medieval Muslim Education (Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam). Kitab tersebut (Ta’lim al-Muta’allim) diterjemahkan dari bahasa Arab kedalam bahasa Latin dengan judul baru Enchridion Studiosi pada tahun 1709 oleh H. Reland, kemudian diterjemahkan lagi pada tahun 1838 oleh Caspari. Imam al-Ghazali pernah menyusun karya di bidang pendidikan, yaitu “Fatihatul Ulum”, tetapi karya ini kalah populer dibandingTa’lim al-Muta’allim.

Meskipun ada pandangan kritis bahwa kitab tersebut merupakan kitab yang pembelenggu dan meninabobokkan santri, tetapi bagi seorang pengkaji literatur yang handal, dia tidak mudah terpancing emosinya oleh pandangan kritis tersebut. Isi literatur, dan berbagai kritik terhadapnya sekalipun, dipahaminya dalam khazanah histotris dan kontekstualnya.

Misalnya dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim terdapat sebuah syair yang terkenal di kalangan para santri, yaitu:

(10)

adalah cara yang dipandang terbaik dan sesuai untuk mencapai prestasi terbaik dalam belajar. Cara ini dapat berupa manajemen belajar maupun pendekatan dan metodenya.

Dalam kaitan hal tersebut, strategi belajar yang dapat diinterpretasikan dari syair di atas, dalam wacana sederhana dan sementara penulis makalah, adalah: nilai-nilai kualitas waktu belajar dan etika belajar.

a. Kualitas Waktu Belajar

1) Kualitas waktu studi dapat menghasilkan kualitas sekaligus kuantitas ilmu/informasi. Ada ungkapan sederhana bahwa 1 tahun studi yang berkualitas = 10 tahun studi yang tidak berkualitas. Contoh: Usia dan karya-karya Imam Shafi’i dan Imam Ghazali.

2) Metodologi (cara studi) sangat menentukan terhadap kualitas waktu studi. Contoh dalam skala global: Perbandingan Barat dan Timur (masa embrio, transformasi, dan pengembangan ilmu pengetahuan, dari masa klasik sejarah Islam sampai dengan kemajuan abad modern).

b. Etika Studi

1) Inklusif (Terbuka)

a) Setiap saat siap menerima dan menggali informasi.

b) Bersikap lapang dada/terbuka. Sikap ini dapat membuka pintu-pintu informasi baru maupun pengembangan informasi sebelumnya.

2) Ulet (sabar) = kesungguhan. Di kalangan pesantren ada ungkapan “man jadda wajada” (siapa yang bersungguh-sungguh, niscaya berhasil). Ini sama dengan ungkapan dalam khazanah budaya daerah “sapa kang temen, yekti ketemu” atau ungkapan yang religius “sapa kang temen, yekti diwelasi dening Pengeran” (siapa yang yang bersungguh-sungguh, niscaya dikasihani oleh Tuhan). Untuk itulah diperlukan “cengkir” –singkatan dari kencenge pikir— (kencangnya pikiran) dalam arti “tuhu marang tujuan” (konsisten dalam mencapai tujuan) studi. Contoh: Ibn Hajar (Penulis kitab Fath al-Bari –Sharh kitab Hadis Shahih al-Bukhari) dan Stephen Howking (Penulis buku Black Whole).

(11)

4) Berdo’a (Spiritualitas)

a) Dalam tradisi pesantren ada ungkapan

ٍص َ ِ&'َ(ْ ُ َ+ ِﷲُرْ ُ َو ٌرْ ُ ُ/ْ&ِ ْ َأ

(ilmu iti

adalah nur, dan cahaya Allah tidak diberikan kepada orang yang bermaksiat). Maksiat dapat berarti perbuatan yang terlarang oleh agama, sikap arogan, kontra-kebenaran, eksklusif/simplifikatif.

b) Ilham = intelek dalam studi agama, kashf dalam tasawuf, metode iluminasionisme dalam filsafat ilmu. Contoh: Prof. DR. Harun Nasution dan para peneliti sejarah (khususnya dari Belanda).

c) Catatan: Bersiaplah menghadapi kebuntuan, kejenuhan, dan kegundahan pikir, jika hanya mengandalkan rasio. Dengan demikian, ijtihad ilmiah niscaya melibatkan seluruh potensi rohani, terutama potensi spiritualitas. Usaha spiritualitas merupakan partisipasi aktif manusia untuk menjemput ilham dari Tuhan.

5) Sanad dan Berkah Ilmu

a) Dalam hadis dikenal ada sanad hadis. Sanad (transmisi) ini merupakan garansi (jaminan) bagi otentisitas dan kredibilitas hadis.

b) Di pesantren ada istilah (dalam arti: tradisi) ijazah dan barokah. Tradisi ini terutama dimodali oleh model kitab Ta’lim al-Muta’allimdi atas.

c) Di kalangan para orientalis (ahli studi ketimuran/keislaman) ada tradisi jalur transformasi ilmu. Oleh karena tradisi ini muncul belakangan, maka ia sebenarnya merupakan imitasi dari tradisi sanad hadis Islam dan tradisi ijazah pesantren.

Paparan di atas hanyalah sebuah contoh. Sedangkan cara melakukan interpretasi dala dialog historis dan kontekstual, dapat digunakan cara sebagaimana penjelasan di bawah ini.

Lingkaran Dialog Interpretatif dalam Kajian Literatur

Teks

(12)

Pertama: teks, diusahakan untuk dilacak sejumlah informasi tentang; apa muatannya, kapan dan dalam situasi apa ditulis. Kedua: autor, diupayakan untuk dikumpulkan informasi mengenai; siapa dia, latar belakangnya, kapan ia hidup, dan problem-problem sosio-kultur-politik yang melingkupinya. Ketiga: audiens memiliki otoritas vertikal terhadap teks dan otoritas horisontal terhadap autor. Dengan kedua otoritas ini, pembaca, dengan daya interpretatifnya, dapat mengembangkan interpretasi sesuai dengan jalan pikirannya dalam konteks historisitas.

5. Cara Kerja Dialog Interpretatif dalam Kajian Literatur

Cara kerja “dialog interpretatif dalam kajian literatur (dengan analisis historis dan kontekstual)” terdiri dari dua hal, yaitu: (1) interpretasi dan maksud autor dan (2) interpretasi dan subjektivisme.

a. Interpretasi dan Maksud Autor

Dalam hal ini pembaca berupaya mengungkap gagasan orisinil autor yang tertuang dalam literatur yag dipelajari. Kemudian pembaca dapat memahami teks tersebut secara dinamis disebabkan oleh rentang waktu maupun perbedaan situasi, kondisi, dan tradisi antara autor dan audiens. Meskipun demikian, pemahaman pembaca terhadap teks tetap memperhatikan hubungan antar data yang menyekitari teks tersebut.

Otoritas pembaca terhadap teks didasarkan pada pertimbangan terhadap interpretasi pembaca dan penekanannya pada pemahaman interpreter. Pembaca dapat melakukan interpretasi terhadapnya sesuai dengan pemahamannya. Untuk membangun interpretasi ini, pembaca berupaya untuk memperhatikan aspek historisitas dalam ide dasar teks tersebut, dan sedapat mungkin mendiskusikannya dengan wacana yang berkembang.

Dengan cara penekanan pada pemahaman interpreter itulah dapat dicapai interpretasi yang benar. Sebab, tidak ada satu teks pun yang dapat berbicara, apabila tidak berbicara dengan bahasa yang dapat dimengerti oleh orang lain (audience/reader), dan sebuah karya dianggap hebat apabila mampu menyatakan kebenaran yang dapat ditembus oleh pemerhati kaitannya dengan situasi mereka sendiri. Di sini, yang disebut subjek bukan autor atau pembaca, tetapi subject-matter

(13)

Sedangkan objek historikal yang benar bukanlah objek, tetapi kesatuan antara satu bagian dengan bagian yang lain (fusion of horizon), suatu hubungan yang di dalamnya terdapat realitas sejarah penulis dan realitas pemahaman historisitas pembaca. Di sinilah didapati dinamika teks yang bersifat kontekstual.

b. Interpretasi dan Subjektifistik

Pemberian otoritas terhadap historisitas interpreter menjadikan interpretasi itu bersifat subjektif.

Pemahaman terhadap arti teks, karya seni, permainan, maupun peristiwa kesejarahan hanya berdasarkan pada otoritas pembaca, dan hanya berhubungan dengan situasi dan kondisinya; dapat mungkin terjadi pemahaman yang berbeda antara pembaca dan penulis.

Subjektifistik pembaca terdiri dari empat unsur, yaitu: (1) rehabilitasi prasangka dan tradisi, (2) antisipasi kelengkapan, (3) pemahaman dan penerapan, dan (4) struktur dialogis pemahaman.

1) Rehabilitasi Prasangka dan Tradisi

Agar subjektifistik interpreter tidak terjebak pada oportunitas background

pengetahuan dan kekuatan normatifnya (keduanya merupakan blind prejudice), maka interpreter hendaknya menggunakan enabling prejudice yang mampu memproduksi ilmu pengetahuan karena sikap keterbukaannya.

Sikap terbuka ini dilakukan oleh pembaca dengan berbagai pandangan dan pemegang otoritas di bidang pokok masalah yang terkandung dalam teks.

2) Antisipasi Kelengkapan

Antisipasi kelengkapan berisi bukan hanya elemen formal bahwa teks harus mengekspresikan maknanya secara lengkap, tetapi juga bahwa apa yang dikatakan itu adalah kebenaran lengkap. Ini berarti bahwa interpreter dibolehkan untuk menguji asumsi tentang sebuah teks dan pokok masalah dengan hubungan timbal-balik.

(14)

3) Pemahaman dan Penerapan

Pemahaman interpreter hendaknya disesuaikan dengan kemungkinan aplikasi pemahaman, yang dipengaruhi oleh berbagai situasi dan kepentingan, sehingga interpretasi dapat berbeda sesuai dengan perbedaan kepentingan dan isu-isu, di mana objek interpretasi dipahami. Sebaliknya, aplikasi tidak dapat berbuat banyak apabila terlepas dari teks.

4) Struktur Dialogis Pemahaman

Struktur dialogis pemahaman mengandung unsur integritas pemahaman, yakni integritas antara pemahaman awal dengan pemahaman hasil konsensus dan integritas antara cakrawala penulis dan cakrawala pembaca.

Pemahaman awal berasal dari pemaksaan praduga atas kebutuhan terhadap objek yang dipahami sebagai dugaan mengenai penerapan. Sedangkan pemahaman hasil konsensus atau pemahaman murni –sebagai pemahaman yang benar—merupakan hasil partisipasi partisipan dan patnernya, dengan mengembangkan keterbukaan; menyadari kelebihan dan kelemahan, menghindari sikap pandangan absolutis, oleh karena setiap partisipan berhak mengungkapkan pandangan, asumsi, menjelaskan, dan menginterpretasi-kan pokok-pokok persoalan sesuai dengan pemahamannya.

Dalam struktur dialogis pemahaman, proses pemahaman terhadap teks mengandung usaha untuk menyesuaikan dan mengintegrasikannya dalam pemahaman partisipan (interpreter) tentang pokok persoalan, dengan menyadari kelebihan dan kekurangan, menuju tercapainya posisi dan produksi yang lebih baik. Hasilnya merupakan suatu penyatuan dan persetujuan, berada di luar posisi-posisi asli berbagai macam partisipasi partisipan.

6. Piranti Pengaman dalam Dialog Interporetatif Kajian Litertur

Ada seorang alumni pesantren salaf yang kuliah di IAIN Sunan Ampel Surabaya, kemudian ia keluar darinya, karena merasa (berpandangan) bahwa saat kuliah dicekoki oleh teori-teori “orang-orang kafir”.

(15)

sejumlah hal terkait, di antaranya adalah tokoh (penulis), ideologi, informasi, dan segenap implikasi yang muncul dari ideologi dan informasi tersebut. Implikasi ini dapat berupa pemahaman, corak pemikiran, perasaan, bahkan perilaku dan sikap tertentu. Oleh karena itulah diperlukan piranti pengaman, agar pembaca literatur (khususnya santri) dapat tetap tegar dengan identitas dirinya sebagai aktivis ilmu yang agamis, Islami, ber-akhlaq karimah.

Piranti pengaman, dalam pandangan penulis, adalah tetap berpegangteguh terhadap kesadaran tauhid dan adanya kebenaran tertinggi dalam ideologi Islam dan atau ideologi aliran yang dianutnya. Sebebas apapun gaya dan corak pemikiran kritis santri pengkaji literatur, seluas apapun macam-macam corak pemikiran dan informasi yang terkandung dalam teks yang dibaca, serta seberapa banyakpun teman diskusi, itu semua dikendalikan secara kokoh dalam koridor kesadaran itu. Jika tidak demikian, maka batas-batas ideologi dalam kandungan informasi berbagai literatur yang dipelajari menjadi kabur atau bahkan tercabik-cabik.

Oleh karena itulah dapat dipahami, mengapa Imam al-Ghazali melakukan kritik hebat terhadap filsafat yang dimuat dalam karyanya “tahafut al-falasifah” (kerancuan filsafat). Sebenarnya, dalam hemat penulis, apa yang dikehendaki oleh Imam al-Ghazali adalah, “silakan anda umat Islam menggunakan kebebasan berpikir dengan filsafat, tetapi jangan lupa, bahwa sebagai umat yang mempunyai ideologi Islam dan kewajiban syar’iyah”. Setelah tahap karya tersebut diluncurkan ke permukaan, Imam al-Ghazali melanjutkan karirnya ke bidang Tasawuf. Hal ini dapat dipahami secara historis dan kontekstual bahwa tasawuf sebenarnya dapat dijadikan sebagai bagian (bukan alat utama) dalam konstruksi piranti pengaman tadi. Bahkan secara filosofis maupun metodologis, terdapat kecenderungan kuat dalam pengkajian dan pengembangan ilmu-ilmu keislaman untuk menggunakan metode kasyfi (salah satu cara usaha yang dikembangkan dalam tasawuf), di samping metode-metode bayaniy,

ta’liliy, dan istislahiy yang sering digunakan dalam kajian hukum Islam misalnya. Metode kasyf tersebut merupakan sebagian dari berbagai aliran epistemologis dalam Islam, di antaranya adalah: (1) al-Madzhab al-Naqliy (Tradisionalisme), (2) al-Madzhab al-Tarikhiy (Historisisme), (3) al-Madzhab al-‘Aqliy (Rasionalisme), (4) al-Madzhab al-Tajribiy (Empirisisme), (5) al-Madzhab al-Naqdiy (Kritisisme), dan (6)

(16)

C. Penutup

Santri adalah aktifis ilmu-ilmu agama yang memiliki identitas dan citra khas dibanding dengan komunitas lainnya. Santri pada umumnya, dalam koridor tradisi kepesantrenan, mengutamakan kajian kitab-kitab klasik, di samping berusaha menyerap berbagai informasi literatur yang dapat menunjang pengembangan wawasan keagamaannya.

Dengan citra khasnya itu santri dapat megembangkan khazanah keilmuan diri dengan dialog interpretatif dalam kajian literatur yang dipelajarinya dalam upaya pemahaman terhadap teks dan penafsirannya terhadap dinamika realitas. Oleh karena dalam teks sangat mungkin ada ideologi tertentu, di samping informasi yang terkandung di dalamnya, maka santri hendaklah mempersiapkan piranti pengaman bagi dirinya dalam dinamika kajian literatur yang berasal dari luar kurikulum pesantren atau yang tidak seideologi dengannya. Caranya adalah tetap berpegangteguh terhadap kesadaran tauhid dan adanya kebenaran tertinggi dalam ideologi Islam dan atau ideologi aliran yang dianutnya.

Piranti pengaman tersebut hendaklah tetap diporsikan dalam kesadaran akan pentingnya metode (manhaj) yag dipandang efektif, akurat, dan optimal dalam kajian lieratur tersebut.

Tulisan ini hanyalah sebuah refleksi dari penulis sesuai dengan plus-minus wawasannya. Apa yang terpenting adalah ghirah santri untuk mengkaji dan mengembangkan khazanah-ilmu-ilmu keislaman (khususnya ilmu agama dari warisan sejarah Islam) dalam dialektika historis dan kontekstual perkembangan zaman.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk itu, penelitian ini akan berusaha mengungkap segi periwayatan dan kualitas dari sanad hadis-hadis yang digunakan pada kitab Ta‟lim al-Muta‟allim.. Sebagaimana telah

Pada mata pelajaran Ta`limul Muta`alim, metode yang digunakan adalah metode pemaknaan arab pegon, dimana santri memaknai kitab kuning dengan menggunakan bahasa jawa akan

Dengan penggunaan Sistem Informasi yang berbasis website mempermudah pihak desa dalam penentuan prioritas pembangunan, karna data yang ada di wilayah daerah desa sudah

Hal ini dengan terpenuhinya syarat yuridis, yaitu Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2017 dan telah ditindaklanjuti dengan Peraturan Bupati Nomor 14 Tahun 2019 tentang Pengawasan dan

Laporan Pelaksanaan Tata Kelola (GCG) Tahun 2020 Halaman │15 anggota Dewan Pengawas, Direksi, pejabat eksekutif dan karyawan harus mendahulukan kepentingan ekonomis

lewat proses needle punch, kemudian lembaran web yang masuk ke mesin calendar agar lembaran web yang akan digulung menjadi lebih rata sehingga. siap untuk digulung di

Sedikitnya jumlah responden yang memiliki waktu keterlibatan kurang dan sama dengan satu tahun memperlihatkan bahwa secara umum responden peserta Program SPP PNPM di Desa Gunung

: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 14 ayat (3) Peraturan Bupati Sanggau Nomor 44 Tahun 2016 tentang Kedudukan, Susunan Organisasi, Tugas, Fungsi dan Tata Keija