• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODEL PEMERTAHANAN WARISAN BUDAYA NUSANT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MODEL PEMERTAHANAN WARISAN BUDAYA NUSANT"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL PEMERTAHANAN

WARISAN BUDAYA NUSANTARA DALAM ERA

GLOBALISASI:

MEMBAUR atau MELEBUR?

oleh

Mashadi Said & Farid Thalib

(2)

MODEL PEMERTAHANAN

Tekanan arus globalisasi telah melanda bangsa-bangsa yang sedang berkembang dan telah menimbulkan perubahan yang semakin cepat dan luas dalam berbagai wilayah kehidupan, termasuk dalam bidang kebahasaan. Akibatnya, identitas suatu bangsa mulai terancam. Rasa percaya diri sebagai suatu bangsa mulai menipis, bahkan hilang. Banyak fakta yang menunjukkan ketidakpercayaan diri bangsa dalam bidang kebahasaan. Di Jakarta misalnya, proyek bis lintas-jakarta diberi label “transjakarta” untuk nama bisnya dan

”busway” untuk nama jalurnya. Bahkan ada kecenderungan masyarakat mengatakan “naik busway”. Jadi, mereka bukannya naik bis, tetapi naik “jalan bis”. Sungguh tragis. Kondisi seperti ini dapat menyebabkan hilangnya jatidiri bangsa, yang pada akhirnya hanya tinggal sebagai kenangan belaka.

Dengan demikian diperlukan langkah sistematis dan terencana untuk

mempertahankan “keberadaan” jatidiri bangsa dari segi kebahasaan di

seluruh Nusantara. Makalah ini memaparkan dua model sikap menghadapi

arus globalisasi, yaitu ”Model Pembauran” dan ”Model Peleburan”. Sikap

(3)

MODEL PEMERTAHANAN

WARISAN BUDAYA NUSANTARA DALAM ERA GLOBALISASI:

MEMBAUR atau MELEBUR?

Mashadi Said & Farid Thalib

Universitas Gunadarma, Jakarta

PENDAHULUAN

Pertama-tama kami hendak menceriterakan pengalaman pribadi ketika tersesat di kota Paris. Pada tahun 1995, penulis berkunjung ke kota Paris, sebuah kota yang tidak jauh dari Jerman tempat penulis belajar pada program doktor. Pada waku itu penulis bermaksud menikmati keindahan kota Paris dengan berjalan kaki. Tak terasa penulis telah jauh dari hotel tempat menginap. Ketika hendak pulang ke hotel, penulis benar-benar tidak tahu arah. Dengan berbekal peta kota Paris, penulis mulai bertanya dalam bahasa Inggris. Pada awalnya penulis sangat senang karena semua orang yang ditanya mau meladeni, tetapi alangkah kagetnya ketika orang-orang yang menjelaskan jalan ke hotel semuanya tidak mau berbahasa Inggris, tetapi mereka menggunakan bahasa Prancis. Walaupun mereka (3 orang yang ditanya) telah berusaha menjelaskan secara sangat pelan-pelan dalam bahasa Prancis, penulis tetap tidak bisa mengerti. Penulis sangat sedih karena penulis tidak bisa memahami penjelasan mereka karena mereka menjawabnya dalam bahasa Prancis. Penulis benar-benar putus asa dan memutuskan bertanya kepada orang asing. Akhirnya, penulis menemui seorang sopir taksi yang berwajah Asia dan ternyata dia berasal dari Vietnam. Penulis benar-benar bisa tertolong karena sopir taksi tersebut bisa dan mau berbicara dalam bahasa Inggris.

Pelajaran apa yang dapat ditarik dari pengalaman ini?

Orang Prancis sangat BANGGA pada bahasanya! Mereka sangat bangga pada

jatidirinya.

(4)

Jawabannya adalah mereka mengikuti globalisasi, tetapi mereka mengambil posisi Membaur, bukan pada posisi Melebur!

Apa itu Globalisasi?

Globalisasi memiliki banyak penafsiran dari berbagai sudut pandang. Sebagian orang menafsirkan globalisasi sebagai proses pengecilan dunia atau menjadikan dunia sebagaimana layaknya sebuah desa kecil, sebuah perkampungan kecil; setiap orang bisa berkomunikasi dengan sangat mudah; setiap orang dapat berhubungan sama lain dengan waktu yang sangat singkat, dengan biaya yang relatif rendah. Sebagian lagi menyebutkan bahwa globalisasi adalah upaya penyatuan masyarakat dunia dari sisi gaya hidup, orientasi, dan budaya. Semuanya serba seragam; cara pandang, kebiasaan sehari-hari, bentuk bangunan, bahasa yang digunakan dan lain sebagainya semuanya sama.

Ada yang melihat bahwa masyarakat Barat ingin menyamakan budaya rakyat

dunia. Masyarakat Barat menggalakkan strategi “kesamaan” yang memandang bahwa

bangsa yang berbeda dengan mereka bukan merupakan bagian dari mereka. Akibatnya, banyak di antara kita lupa akan nilai-nilai luhurnya. Semua yang berasal dari Barat adalah

baik dan semua yang berasal dari Timur tidak baik, bahkan “kampungan”. Masyarakat

Timur mulai tidak percaya diri. Kebanggaan yang pernah dibangun olah nenek moyangnya mulai diragukan, direndahkan, dan bahkan ditinggalkan. Mungkin kita masih ingat novel

yang ditulis oleh Marah Rusli “Salah Asuhan”?

Mengenai globalisasi dalam kerangka Barat yang ingin menyamakan budaya rakyat dunia, Sayid Ahmad Wakiliyan mengatakan bahwa hal itu merupakan satu campurtangan terhadap hukum alam dan penciptaan. Menurutnya, proses globalisasi yang alami haruslah

sesuai dengan yang tersebut dalam Al Quran, yaitu “Allah menciptakan manusia dalam berbagai bangsa dan suku, supaya mereka lebih saling mengenal antara satu dengan

yang lain.” Namun, globalisasi telah menimbulkan masalah kepada proses ini karena berusaha memaksakan satu budaya agar diterapkan kepada bangsa-bangsa yang berbeda, dan itu artinya kebudayaan pribumi bangsa-bangsa itu menjadi tersingkir.1

(5)

negara-negara Barat berusaha memaksa masyarakat dunia untuk menerima nilai-nilai Barat secara mutlak. Menurut Simon Kimoni, hal ini sangat berbahaya dan jika terus berkelanjutan, proses ini akan menyebabkan dominasi Barat dan Amerika terhadap negara-negara lain.2

Bagaimana Dampak Globalisasi terhadap Bahasa-bahasa di Nusantara?

Seorang penulis asal Kenya bernama Ngugi Wa Thiong’o menyebutkan bahwa perilaku dunia Barat, khususnya Amerika, sedemikian rupa sehingga mereka seolah-olah sedang melemparkan bom budaya terhadap rakyat dunia. Mereka berusaha untuk menghancurkan tradisi dan bahasa pribumi sehingga bangsa-bangsa tersebut kebingungan dalam upaya mencari indentitas budaya nasionalnya. Penulis Kenya ini meyakini bahwa budaya asing yang berkuasa di berbagai bangsa, dulu dipaksakan melalui imperialisme dan kini dilakukan dalam bentuk yang lebih meluas dengan nama globalisasi.3

Dalam kehidupan sehari-hari, dampak globalisasi terhadap penggunaan bahasa, khususnya bahasa Indonesia terlihat dalam berbagai wilayah bidang kehidupan. Banyak pengguna bahasa Indonesia memiliki sikap TIDAK PERCAYA DIRI untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Mereka bangga menggunakan ungkapan asing (khususnya bahasa Inggris) dan mereka seolah-seolah menunjukkan kepada bangsanya bahwa inilah AKU yang telah mengglobal, yang lebih modern, yang lebih pintar daripada kalian; inilah aku yang telah meleburkan diri dengan globalisasi. Aku ini adalah manusia global, dan seterusnya. Tetapi, secara tidak sadar mereka telah menghancurkan peradabannya sendiri. Ia telah menjadi pelaku yang merusak jatidiri bangsanya.

Mari kita melihat kasus penggunaan bahasa di bawah ini.

(6)

Tabel 1

No Istilah Jumlah penggunaan Sumber data 1 mengkritisi 129.000 tulisan google

2 introduksi 59.000 tulisan Google

3 Greenway 2.900 tulisan Google

4 asesor 13.100 tulisan Google

5 developer 672.000 tulisan Google *ditelusuri pada tanggal 13 Desember 2007

Data di atas menunjukkan bahwa para pengguna bahasa Indonesia:

a. menganggap diri modern dengan menggunakan istilah bahasa Inggris selain bahasa Indonesia. Iklan barang dagangan penuh dengan ungkapan bahasa Inggris; bahasa Indonesia tidak laku; bahasa Indonesia adalah milik orang udik; bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah milik para guru bahasa; bahasa Indonesia yang baik dan

benar adalah milik para ahli bahasa. Dan, mereka berkata “Bahasaku adalah bahasa modern!”

b. ketidakdisiplinan dan sikap acuh tak acuh. Dalam banyak kesempatan, masih banyak pengguna bahasa Indonesia malas membuka kamus bahasa Indonesia.

Bahasa Indonesia “gampangan”. Bahasa Indonesia adalah bahasa sudah di luar

kepala; ya, mereka betul; bahasa Indonesia sudah di luar kepala sehingga lupa untuk memastikan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, karena tempatnya memang sudah di luar kepala. Lucunya lagi adalah para pengguna bahasa yang tidak disiplin ini adalah para agen perubahan. Mereka adalah para pejabat negara, para dosen, para ustaz, para artis; mereka adalah panutan.

Bila ini berlanjut terus? Bagaimana jadinya bahasa kita?

Bagaimana jadinya jatidiri kita?

(7)

Memang tidak dapat disangkal bahwa banyak isilah yang tidak terdapat dalam bahasa-bahasa Nusantara, khususnya istilah yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga kita diperhadapkan pilihan yaitu mengikuti perkembangan atau tertinggal. Sebagai bangsa yang ingin maju, tentu jawabannya adalah mengikuti perkembangan. Karena itu, isitilah asing itu harus diadakan dalam perbendaharaan kosa kata bahasa kita. Caranya adalah melalui penerjemahan dan penyerapan.

Usaha itu bertolak dari dua gagasan.

1. Harus ada kesinambungan antara hakikat bahasa dulu dan sekarang. Artinya, bahasa kita jangan kehilangan jati dirinya.

2. Penyerapan unsur bahasa asing harus mempertajam daya ungkapan pemakaian bahasa Indonesia, dan harus memungkinkan orang menyatakan pikiran dan isi hatinya dengan tepat dan cermat.4

Dalam penyerapan, kita harus bersifat selektif. Unsur bahasa yang mengisi kekosongan akan memperkaya bahasa kita, tetapi bila kata yang bersangkutan sudah ada dalam bahasa kita, tidak perlu diserap lagi karena hal inilah yang akan mengikis fungsi bahasa kita sebagai sarana komunikasi yang dimiliki. Misalnya, konsep condominium, yang sebelumnya tidak terdapat dalam budaya kita dapat diserap dengan menyesuaikan ejaannya menjadi kondominium. Demikian juga komputer, manajemen, dokumen dan sejenisnya diserap dengan cara yang sama. Namun, konsep laundry tidak perlu diserap karena sudah ada binatu dan dobi; konsep tower tidak perlu karena sudah ada menara atau mercu; konsep garden tidak perlu karena dapat dipilih taman atau bustan. Demikian pula konsep developer dan builder tidak perlu diserap karena sudah ada kata mengembangkan dan membangun, sehingga developer dan builder seharusnya menjadi pengembang dan pembangun.

(8)

Membaur atau Melebur?

Pada saat ini, kita berhadapan dengan berbagai produk yang berasal dari Barat. Misalnya, produk seni dari industri perfilman yang berasal dari Hollywood. Industri ini mengeluarkan sekitar 700 film setahun dan sangat digemari oleh banyak peminat di seluruh dunia. Dalam hal ini Barat telah berhasil mengubah pandangan sebagian masyarakat dunia bahwa cara pandang, gaya hidup, dan berbagai nilai-nilai yang mendasarinya dan pengiringnya adalah baik untuk dikonsumsi. Bukan hanya itu, makanan

dan minuman yang menurut mereka pun adalah “makanan sampah” menjadi primadona

masyarakat kita. Dalam kasus ini, Barat atau khususnya AS, telah menggunakan berbagai produk baik seni, makanan, teknologi, dan sebagainya sebagai alat untuk menyebarkan pengaruhnya di seluruh belahan dunia. Barat sesungguhnya telah berhasil menciptakan karya yang diterima masyarakat dunia.

Dalam menghadapi globalisasi diperlukan strategi yang jitu bila hendak tetap diakui sebagai bangsa yang memiliki wibawa di antara bangsa-bangsa lain. Sayid Ahmad Wakiliyan, seorang peneliti Iran yang aktif dalam bidang budaya tradisional, meyakini bahwa dalam era globalisasi ini bangsa-bangsa harus memproduksi karya-karya budaya yang sesuai dengan tuntutan pasar dunia. Para budayawan berbagai bangsa harus menggali dan menemukan keistimewaan budayanya sendiri, lalu memperkenalkannya kepada bangsa lain.6

Gambar di bawah ini menunjukkan perjalanan globalisasi:

Gambar 1 menunjukkan tahapan wacana globalisasi bahwa dunia bisa dibuat menjadi lebih kecil guna mengefektifkan dan mengefesienkan kehidupan masyarakat dunia. Suara globalisasi didengungkan di mana-mana guna menyatukan masyarakat dunia dalam satu visi kehidupan, yaitu membangun kehidupan yang harmonis secara bersama-sama. Tahap ini adalah tahap optimisme untuk membangun dan mengaktualkan cita-cita

(9)

(10)

Dari sudut pandang bahasa, bahasa negara-negara sedang berkembang juga mendapat serangan yang maha dahsyat. Bahasa Inggris, khususnya, menjadi bahasa yang tampil seolah-seolah menjadi raja bagi bahasa-bahasa lain di belahan dunia mana pun, termasuk di kawasan Nusantara. Kosa kata bahasa Inggris dapat dijumpai dengan mudah di mana pun di persada Nusantara. Bahkan, di Indonesia tidak jarang dijumpai papan nama gedung perkantoran yang menempatkan bahasa asing di atas bahasa Indonesia.

Sikap masyarakat pun serta merta berubah. Orang yang dapat mengucapkan atau menyelipkan kosa kata bahasa Inggris pada pidatonya, percakapannya, bahkan tulisannya dianggap penutur atau penulis yang hebat. Banyak politisi, pejabat pemerintah, artis, pengusaha, tokoh masyarakat, ustaz, dan semua agen perubahan tampil dengan kehebatannya menggunakan istilah bahasa Inggris yang mungkin sulit dipahami oleh masyarakat pada umumnya. Akibatnya, bahasa-bahasa Nusantara yang dulu dianggap memiliki keampuhan sebagai alat komunikasi antar suku bangsa mulai tersingkir dan tertindas secara tidak disadari. Dalam tuturan para penulis misalnya dijumpai banyak istilah yang diserap secara serampangan atau tidak mengindahkan kaidah yang sudah ada (lihat tabel 1). Gejala ini menunjukkan ancaman serius bagi perkembangan bahasa-bahasa kita di masa yang akan datang. Mengapa? Ada beberapa alasan yang dapat dicatat:

1) Adanya kecenderungan penutur bahasa Nusantara tidak memiliki rasa percaya diri terhadap bahasanya sendiri.

2) Munculnya kebanggaan semu menggunakan istilah asing (Inggris) karena menganggap diri telah mengglobal.

3) Munculnya sikap menyepelekan bahasanya sendiri, sehingga tidak mau lagi mempelajari bahasa yang baik dan benar.

4) Sikap menganggap remeh bahasanya sendiri, sehingga untuk menulis dengan baik tidak perlu membuka kamus yang sudah ada.

5) Kurangnya kedisiplinan menggunakan bahasanya sendiri,

6) Sikap pembiaran, ketidakpekaan, tidak bertanggung jawab, dan ketidakpedulian para agen perubahan akan keberlangsungan bahasanya sendiri sebagai lambang jatidiri bangsa.

(11)

Pilihannya diserahkan kepada kita. Apakah kita mau tetap lestari dengan jatidiri kita yang khas, atau melebur dengan risiko kehilangan jatidiri atau identitas? Gambar empat menunjukkan:

a) hilangnya identitas bangsa yang membiarkan dirinya tertindas oleh serangan globalisasi, seperti semakin tenggelamnya bendara “hijau” (nyaris hilang) dan

hilangnya sama sekali bendera “biru muda” dari kekhasannya sebagai bangsa. Gejala “peleburannya” ditandai dengan:

i) penyerapan kosa kata asing secara tak terkendali

ii) penyerapan kata asing secara serampangan atau tidak mengikuti kaidah yang sudah baku.

iii) Penyerapan struktur bahasa asing ke dalam bahasanya sendiri, sehingga menindas kaidah yang sudah ada. Ini terlihat gejalanya dalam bahasa Indonesia. Penggunaan hukum DM (diterangkan-menerangkan) sudah ada jegala keserampangan menyerap struktur asing dalam banyak tulisan di Indonesia, seperti:

”Rata-rata nilai siswa itu 9.” Mestinya ”Nilai rata-rata siswa itu 9.”

rata-rata nilai ks kb

b) Dalam perjalanannya, ada negara yang bisa semakin menunjukkan identitasnya dan jati dirinya (dalam gambar terlihat bangsa-bangsa yang dapat bermain secara aktif). Mereka tetap jaya dalam serangan yang ada. Mereka menjadi pemain yang handal dalam percaturan globalisasi (seperti terlihat pada empat bendera di bawah ini. Kemampuannya untuk membaur ditandai dengan:

i) sikap positif dan optimisme terhadap jatidirinya sendiri,

ii) sikap membuka diri terhadap kemajuan dunia luar dengan cara menyerap sesuai dengan kaidah-kaidah yang baku guna memperkaya khasanah perbendaharaan kebahasaannya,

(12)

Alternatif Penyerapan Konsep Asing

(13)

a) Penerjemahan langsung. Kata/istilah/ungkapan asing diterjemahkan langsung dengan menggunakan kosa kata yang berasal dari bahasa-bahasa Nusantara. Kata yang dipilih berdasarkan pertimbangan, yaitu paling tepat mengungkapkan konsep yang dimaksud, paling singkat di antara pilihan yang ada, bernilai rasa (konotasi) baik, sedap di dengar, bentuknya sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia.

b) Penyerapan. Penyerapan dilakukan dengan mengambil istilah asing dengan menyesuaikan ejaan bahasa nasional kita. Misalnya, istilah computer diserap menjadi komputer.

Kita sebaiknya belajar mencintai bahasa nasional kita dan belajar memakainya dengan kebanggaan dan kesetiaan. Sikap bahasa seperti itulah yang membuat kita berdiri tegak di dunia ini, yang dilanda arus globalisasi, dan tetap bangga mengatakan bahwa kita adalah bangsa yang berdaulat, tuan di negeri sendiri, yang mampu menggunakan bahasa nasional sendiri untuk semua keperluan modern.

(14)

SIMPULAN DAN SARAN

1. Dampak arus globalisasi telah terlihat di depan mata. Banyak dampak yang merugikan telah menjadi prilaku kita sehari-hari, khususnya dalam bahasa.

2. Arus globalisasi tidak dapat dihindari. Untuk tumbuh bersama dengan bangsa lain, kita harus masuk dalam dunia global. Namun, jatidiri sebagai bangsa sebagai unsur pembeda harus tetap dipelihara. Dengan demikian kita haruslah melepaskan diri dari sikap pasif dalam menghadapi globalisasi. Menghadapi globalisasi haruslah dilakukan dengan cara proaktif. Kita harus memiliki ketahanan diri dan berusaha untuk mengenalkan potensi kita.

3. Globalisasi mungkin saja mendatangkan musibah kepada bahasa kita, karena ia sama seperti badai taufan yang mungkin mencabut akar budaya, tetapi dari sudut pandang yang lain, globalisasi justru memberikan kesempatan istimewa kepada kita untuk mengenalkan kekayaan budaya kita, termasuk bahasa kita. Globalisasi bisa semakin memperkaya bahasa kita selama kita memiliki motivasi yang kuat untuk memantapkan jatidiri kita.

(15)

RUJUKAN

1

http://indonesian.irib.ir/perspektif/2005/februari2005/globalisasi.htm

2 http://indonesian.irib.ir/perspektif/2005/februari2005/globalisasi.htm 3 http://indonesian.irib.ir/perspektif/2005/februari2005/globalisasi.htm 4

Pusat Bahasa, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional. Pedoman Umum Ejaan Bahasa indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Bandung: Penerbit Pustaka Setia, tahun 1996.

5 Pusat Bahasa, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional. Pengindonesiaan Kata dan Ungkapan Asing. Edisi Kedua, tahun 2003

(16)

BIODATA PENULIS

1. Nama : Dr. Mashadi Said

Institusi : Fakultas Sastra, Universitas Gunadarma, Jakarta Alamat institusi : Jalan Margonda Raya No. 100, Depok 16424

Jabatan : Ketua Jurusan Sastra Inggris, Universitas Gunadarma, Jakarta

Nomor telepon : +62-21-78881112, Ext. 481 No. Fax : +62-21-7872829

email : mashadisaid@yahoo.com

mashadi@staff.gunadarma.ac.id

Tajuk Kertas Kerja : Model Pemertahanan Warisan Budaya Nusantara Dalam Era Globalisasi: Membaur Atau Melebur?

2. Nama : Dr.-Ing. Farid Thalib

Institusi : Fakultas Ilmu Komputer dan Teknologi Informasi, Universitas Gunadarma, Jakarta

Alamat institusi : Jalan Margonda Raya No. 100, Depok 16424 Jabatan : Ketua Jurusan, Jurusan Sistem Komputer

Universitas Gunadarma, Jakarta Nomor telepon : +62-21-78881112, Ext. 457 No. Fax : +62-21-7872829

email : farid@staff.gunadarma.ac.id

Gambar

Tabel 1
Gambar 2 menunjukkan bahwa konsep globalisasi diterima dengan penuh

Referensi

Dokumen terkait

Pada proses penjualan dibutuhkan daftar barang, daftar jenis barang dan daftar diskon, data pelanggan atau data member sehingga dapat menghasilkan nota

Sejak Q2 2016, ADHI mampu menjaga tren percepatan pertumbuhan pendapatan, terutama ditopang oleh segmen konstruksi yang menyumbang sekitar 80% dari total

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa tepung ikan rucah yang diolah menggunakan probiotik bakteri asam laktat dikombinasikan dengan precursor prebiotik

- Membuka penutup kotak APP, tanpa merusak segel, hal ini dimungkinkan karena ada kotak APP type lama yang engselnya mudah dilepas bila cara penyegelannya kurang baik. -

Dan yang lebih baiik Java dirancang untuk mempermudah penterjemahan pada banyak komputer dengan mudah dan diterjemahkan pada komputer asal pada saat run-time..

Produk penelitian ini adalah model pembelajaran blended yang berisi materi listrik statis, dilengkapi dengan media berbasis website, dan adaptif terhadap jenis gaya

Simpulan berdasarkan hasil penelitian kegiatan Media Relations Hotel Santika Premiere Jakarta mengandalkan hubungan media cetak dan media elektronik melihat strategi

1) Character, merupakan keadaan watak/sifat, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam lingkungan usaha. Ini dapat dilihat dengan meneliti riwayat hidup nasabah, reputasi