• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. itu disebut sebagai unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik dan ekstrinsik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. itu disebut sebagai unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik dan ekstrinsik"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

11 2.1 Unsur Pembangun Novel

Novel sebagai salah satu genre sastra tentunya memiliki unsur-unsur pembangun. Secara umum menurut Nurgiantoro (2010: 22-23), unsur pembangun itu disebut sebagai unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik dan ekstrinsik sebuah karya sastra tidak dapat dipisakhan begitu saja karena keduanya saling mempengaruhi. Unsur intrinsik terbentuk karena adanya pengaruh dari luar (ekstrinsik). Pengaruh dari luar ini berasal dari pengarang selaku penentu cerita. Asal-usul dan lingkungan pengarang sangat mempengaruhi karya sastra yang diciptakannya.

Unsur intrinsik sebuah karya sastra terdiri atas tema, plot (alur), latar, penokohan, sudut pandang, gaya bahasa, dan amanat yang terkadung di dalamnya. Unsur ekstrinsik sebuah karya sastra terdiri atas subjektivitas individu pengarang, psikologi pengarang dan lingkungan pengarang.

2.1.1 Unsur Intrinsik a) Tema

Tema menjadi menjadi dasar pengembangan dalam seluruh cerita yang dibangun, maka tema bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu. Menurut Staton (dalam Nurgiantoro 2010:25), mengartikan tema sebagai makna sebuah cerita yang secara khusus menerangkan sebagian besar unsurnya dengan cara yang sederhana. Tema menurutnya, kurang lebih dapat bersinonim dengan ide utama dan tujuan utama.

(2)

Tema sebuah karya sastra selalu berkaitan dengan makna dari kehidupan. Melalui karya sastra pengarang memberikan makna tertentu dalam kehidupan. Pengarang biasanya mengajak kita merasakan arti kehidupan yang sesungguhnya seperti kesedihan, kebahagiaan, dan lain-lain. Pengarang biasanya menganggap masalah itu penting, sehingga dia merasakan arti kehidupan yang sesungguhnya seperti kesedihan, kebahagiaan, dan lain-lain.

Tema juga dapat dikatakan sebagai ide yang mendasari suatu cerita sehingga mempunyai peranan sebagai pangkal seorang pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang telah diciptakan. Sebelum pengarang melaksanakan proses kreatif penciptaan sebuah karya sastra, maka ia harus memamhami tema apa yang akan dipaparkan dalam ceritanya. Sementara pembaca baru akan memahami apa tema dari suatu cerita apabila mereka telah selesai memahami unsur-unsur signifikan yang menjadi media pemapar tersebut (Aminuddin, 2011: 91).

b) Tokoh

Menurut Nurgiantoro (2010: 166), tokoh cerita merupakan orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya sastra baik naratif maupun drama yang oleh pembaca kemudian ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa saja yang dilakukan dalam tindakan. Maka dalam sebuah karya sastra khususnya novel, tokoh sangat berpengaruh dalam menggambarkan sebuah cerita atau keadaan. Melalui tokoh yang diciptakan, pengarang mampu memberi nafas terhapap setiap karyanya.

Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai amanat, pesan, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan pengarang

(3)

kepada pembaca. Kehidupan tokoh cerita merupakan kehidupan dalam dunia fiksi, maka ia haruslah bersikap dan bertindak sesuai dengan tuntutan cerita dan perwatakan yang disandangnya.

Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah ceirta novel, dibagi menjadi dua yakni, tokoh utama dan tokoh tambahan (Aminudin, 2011:79). Tokoh utama merupakan tokoh yang paling banyak atau paling sering diceritakan di dalam novel, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Sedangkan tokoh tambahan merupakan tokoh-tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali saja dalam cerita, dan itu pun mungkin dalam porsi penceritaan yang terbatas dan relatif pendek.

Aminudin (20122:80) juga mengungkapkan bahwa jika dilihat dari fungsi penampilan, sebuah tokoh dalam suatu cerita di dalam novel dibagi menjadi dua bagian. Bagian yang pertama adalah tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis ialah tokoh yang selalu membawa nilai-nilai kebaikan. Sedangkan tokoh antagonis adalah tokoh yang menyebabkan terjadinya sebuah konflik. Kehadiran tokoh antagonis inilah yang menyebabkan terjadinya peristiwa, konflik, dan ketegangan di dalam sebuah cerita.

c) Alur

Alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita (Staton, 2007:26). Aminuddin (2012:83) juga mengungkapkan bahwa pada umumnya, alur dalam sebuah karya fiksi merupakan rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh pelaku dalam suatu cerita.

(4)

Sebuah cerita tidak akan sepenuhnya dimengerti tanpa adanya pemahaman terhadap peristiwa-peristiwa yang mempertautkan alur. Alur dapat dikatakan sebuah unggung cerita, karena alur memiliki dua elemen yang sangat penting. Dua elemen tersebut yakni konflik dan klimaks (Staton, 2007:31). Keduanya merupakan unsur yang amat esensial dalam pengembangan sebuah plot atau alur cerita. Demikian pula dengan masalah kualitas dan kemenarikan sebuah cerita dalam novel.

Konflik merupakan suatu dramatik yang mengacu pada pertarungan antara dua kekuatan yang seimbang dan menyiratkan adanya aksi dan reaksi. Dengan demikian dalam pandangan hidup yang normal, wajar, dan faktual, artinya bukan dalam cerita yang mengacu pada konotasi negatif atau sesuatu yang tidak menyenangkan. Itulah sebabnya orang lebih memilih menghindari konflik dan mengharapkan kehidupan yang tenang.

Klimaks merupakan titik yang mempertemukan kekuatan-kekuatan konflik dan menentukan bagaimana oposisi tersebut dapat terseslesaikan. Klimaks juga merupakan suatu kondisi di mana konflik telah mencapai titik tertinggi, dan saat itu merupakan kondisi yang tidak dapat dihindari kejadiannya. Klimaks juga sangat menentukan arah perkembangan alur cerita. Dalam klimaks, ada pertemuan antara dua atau lebih hal yang dipertentangkan dan hal inilah yang menentukan bagaimana permasalahan atau konflik akan diselesaikan.

d) Latar

Secara sederhana, latar atau setting merupakan tempat terjadinya peristiwa baik yang berupa fisik, unsur tempat, waktu, dan ruang. Aminuddin (2011: 67) mengemukakan bahwa sebuah latar bukan hanya bersifat fisikal untuk membuat

(5)

suatu cerita menjadi logis, melainkan juga harus memiliki fungsi psikologis, sehingga suasana-suasana tertentu yang menggerakkan emosi atau aspek kejiwaan pembacanya.

Menurut Wiyatmi (2006:40), latar dapat dibedakan menjadi tiga unsur pokok yakni, tempat, waktu, dan sosial. Ketiga unsur itu walau masing-masing menawarkan permasalahan yang bebeda dan dapat dibicarakan sendiri, namun pada kenyataannya ketiganya saling mempengaruhi satu dengna yang lain. Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam novel tersebut.

Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam novel. Masalah waktu tersebut juga dapat dihubungkan dengan waktu yang kaitannya dengan peristiwa sejarah misalnya. latar waktu yang menceritakan sejarah itulah yang digunakan pengarang untuk masuk ke dalam jalan cerita. Sedangkan latar sosial hubungannya dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat, yang kemudian dianalogikan di dalma sebuah novel. Latar sosial ini mencakup beberapa permasalahan yang cukup kompleks, yakni dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain yang tergolong spiritual. selain itu, latar sosial juga dapat menggambarkan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah, atau atas.

2.1.2 Unsur Ekstrinsik

Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang ada di luar karya sastra yang secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Secara lebih khusus mempengaruhi bangunan cerita sebuah karya sastra,

(6)

namun tidak ikut menjadi bagian di dalamnya. Unsur ekstrinsik tersebut ikut menjadi bagian di dalamnya. Unsur ekstrinsik tersebut ikut berpengaruh terhadap totalitas sebuah karya sastra.

Wellek dan werren (2013: 71-140) menyebutkan ada empat faktor ekstrinsik yang saling berkaitan dalam karya sastra yakni:

1) Biografi pengarang: bahwa karya seorang pengarang tidak akan lepas dari pengarangnya. Karya-karya tersebut dapat ditelusuri melalui biografinya. 2) Psikologis (proses kreatif) adalah aktivitas psikologis pengarang pada

waktu menciptakan karyanya terutama dalam penciptaan tokoh dan wataknya.

3) Sosiologis (kemasyarakatan) sosial budaya masyarakat diasumsikan bahwa cerita rekaan adalah potret atau cermin kehidupan masyarakat yaitu, profesi atau intuisi, problem hubungan sosial, adat istiadat antarhubungan manusia satu dengan lainnya, dan sebagainya.

2.2 Hubungan antara Filsafat dan Sastra

Dalam hidup, sebenarnya dilingkupi oleh persoalan-persoalan filsafat. Seluruh ilmu pengetahuan, termasuk sastra, hampir tidak pernah lepas dari permasalahan filsafat. Filsafat merupakan ilmu yang menghendaki kearifan dalam menanggapi hidup ini, sedangkan sastra adalah alat (wahana) untuk mengajarkan kearifan hidup. Endraswara (2012: 8) mengungkapkan bahwa sastra merupakan sebuah filsafat hidup yang indah. Satra juga merupakan refleksi pemikiran hidup yang cerdas. Sastra pula yang akan menyatakan berbagai hal dengan “sebenarnya”, dengan bahasa kias yang khas. Adapun filsafat, adalah suatu

(7)

pemikiran tentang hidup. Filsafat juga sering bernuansa estetis, ketika menyajikan pilar-pilar kehidupan.

Esensi antara filsafat dan sastra tertangkap oleh pemahaman kita bahwa unsur indah dan bijak memang inheren di dalamnya. Sastra dan filsafat dapat diolah untuk menemukan pragmatika dalam kehidupan. Fakta dan realitas kehidupan mungkin semakin terangkat lebih tinggi atas jasa nilai sastra dan filsafat.

Seorang sastrawan ketika melihat realitas kehidupan yang kurang baik, maka tidak jarang mereka mengungkapkan kritik tajam dalam bentuk bahasa kias yang penuh estetis, dan melalui perenungan pemikiran, sehingga karya sastra tersebut menjadi terkait dengan etika kehidupan. Ketika sastra menyajikan pilihan etika hidup, maka sajian sastra sering berupa sentuhan-sentuhan filsafat. Hal ini tentu bertujuan agar para pembaca dapat tergerak untuk mengikuti keinginan pengarang. Para filsuf pun ketika mengajak manusia untuk memikirkan hidup, sering menyetir karya sastra. Bahkan ungkapan para filsuf hampir selalu dikemas secara estetis. Akibatnya, sekilas memang sulit dibedakan antara sastra dan filsafat (Endraswara, 2012:14).

Dalam penelitian sastra, pembeda yang perlu kita ketahui adalah, jangan sampai ketika kita meneliti sastra, tetapi yang dilakukan adalah penelitian filsafat. Sebagai peneliti sastra, maka pengetahuan tentang filsafat sangat bermanfaat, tetapi kedudukan pengetahuan itu sekadar sebagai pengetahuan pembantu. Namun jika peneliti tidak menyadari kesalahannya, maka jadinya akan fatal. Sebab peniliti tidak hanya akan melihat kehidupan. kalau pun ia melihatnya, sesungguhnya yang ia saksikan itu sebenarnya hanyalah ide. Hal ini sejalan

(8)

dengan yang diungkapkan Endraswara (2012: 24), bahwa pengamat dan analisis sastra berusaha mengamati dan menganalisis kehidupan. Tetapi bukan kehidupan yang dia amati, melainkan ide. Sesungguhnya filsafat itu pun juga merupakan suatu cara untuk mengamati kehidupan, tetapi ia menggunkana caranya sendiri, yakni melalui asbtraksi. Sedangkan sastra melalui cara tanpa abstraksi.

2.3 Epistemologi

Sebagai cabang ilmu filsafat, epistemologi bermaksud mengkaji dan mencoba menemukan ciri-ciri umum dan hakiki dari pengetahuan manusia. Epistemologi juga bermaksud secara kritis mengkaji pengandaian-pengandaian dan syarat-syarat logis yang mendasari dimungkinkannya pengetahuan serta objektivitasnya (Sudarminta, 2002: 18). Maka dapat dikatakan bahwa epistemologi adalah suatu disipin ilmu yang bersifat evaluatif, normatif, dan kritis. Dikatakan evaluatif karena bersifat menilai apakah suatu keyakinan, sikap, pernyataan pendapat, teori pengetahuan dapat dibenarkan, dijamin kebenarannya, atau bahkan memiliki dasar yang dapat dipertanggungjawabkan secara nalar. Normatif berarti menentukan norma atau tolok ukur kenalaran bagi kebenaran pengetahuan. Sedangkan kritis berarti banyak mempertanyakan dan menguji kenalaran cara maupun hasil kegiatan manusia mengetahui.

Berdasarkan cara kerja atau metode pendekatan yang diambil terhadap gejala pengetahuan, maka epistemologi dapat dibedakan menjadi beberapa macam. Epistemologi yang mendekati gejala pengetahuan dengan bertitik tolak dari pangandaian metafisika tertentu disebut epistemologi metafisis. Berangkat dari suatu paham tertentu tentang kenyataan, kemudian membahas tentang bagaimana manusia mengetahui kenyataan tersebut. Epistemologi metafisis secara

(9)

kritis begitu saja mengandaikan bahwa kita dapat mengetahui kenyataan yang ada, dialami dan dipikirkan, serta hanya menyibukkan diri dengan uraian tentang seperti apa pengetahuan macam itu dan bagaimana diperoleh.

Epistemologi yang kedua adalah epistemologi skeptis. Dalam epistemologi ini, seperti misalnya yang dikerjakan oleh Descartes, kita perlu membuktikan dulu apa yang dapat kita ketahui sebagai sungguh nyata atau benar-benar tak dapat diragukan lagi dan menganggap sebagai tidak nyata atau keliru segala sesuatu yang kebenarannya masih dapat diragukan. Kesulitan dengan metode pendekatan ini adalah apabila orang sudah masuk sarang skeptisisme dan konsisten dengan sikapnya, maka tidak mudah menemukan jalan keluar. Sama sekali meragukannya akan membuat seluruh penyelidikan tentang pengetahuan tidak mungkin dilakukan atau sia-sia.

Epistemologi kritis merupakan macam epistemologi yang ketiga. Epstemologi ini tidak memprioritaskan metafisika atau epistemologi tertentu, melainkan berangkat dari asumsi, prosedur dan kesimpulan pemikiran akal sehat ataupun pemikiran ilmiah sebagaimana kita temukan dalam kehidupan, yang kemudian kita coba tanggapi secara kritis. Keyakinan-keyakinan dan pendapat yang ada kita jadikan data penyelidikan atau bahan refleksi kritis untuk kita uji kebenarannya di hadapan pengadilan nalar. Untuk pertama-tama berani mempertanyakan apa yang selama ini sudah diterima begitu saja tanpa dinalar atau tanpa dipertanggungjawabkan secara rasional, dan kemudian mencoba menemukan alasan yang sekurang-kurangnya masuk akal untuk penerimaan atau penolakannya, maka diperlukan sikap kritis (Sudarminta, 2002: 18-22). Berdasarkan teori epistemologi tersebut, maka hal ini sejalan dengan nafas

(10)

penelitian ini, yakni mengenai skeptisime tokoh Aku dalam novel Simple Miracles karya Ayu Utami. Teori tersebut dapat dijadikan sebagai acuan dalam menganalsis permasalahan yang ada dalam penelitian ini.

2.4 Skeptisisme

Salah satu topik kajian epistemologi adalah penyelidikan tentang hakikat dan ruang lingkup pengetahuan manusia. Salah satu alasan pokok yang mendorong para filsuf menyelidiki hakikat dan ruang lingkup pengetahuan manusia adalah fakta bahwa adanya kekeliruan. Fakta ini di satu pihak dilihat sebagai suatu yang meresahkan, dan di lain pihak menimbulkan teka-teki. Dapat dikatakan meresahkan, karena bagaimana mungkin bahwa dalam hal-hal yang amat penting bagi hidup kita, meskipun kita sudah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk bekerja dengan teliti, kadang kala kita masih dapat keliru. Bahkan seorang peneliti yang telah dipandang ahli telah bekerja secara teliti dan hati-hati, serta telah mendasarkan diri pada bukti-bukti yang memadai pun dapat keliru. Mereka yang disebut “pakar” pun sering kali tidak bisa sepakat tentang mana yang benar dan mana yang salah. Bagaimana mungkin bahwa orang-orang yang cerdik, pandai dan terlatih berpikir canggih sering kali tidak hanya mempunyai pendapat yang berbeda tetapi tidak sesuai dan bahkan bertentangan satu sama lain. Mengingat hal tersbut, tidak mengherankan bahwa terhadap klaim kebenaran pengetahuan, orang yang bersikap kritis lalu cenderung mempertanyakan atau meragukannya. Meragukan klaim kebenaran atau menangguhkan persetujuan atau penolakan terhadapnya berarti sikap skeptis. Istilah “skeptisisme” berasal dari kata Yunani skeptomai yang secara harfiah pertama-tama berarti “saya pikirkan dengan seksama” atau “saya lihat dengan

(11)

teliti”. Kemudian dari situ diturunkan arti yang biasa dihubungkan dengan kata tersebut, yakni “saya meragukan” (Sudarminta, 2002:47). Descartes (2015:53) juga berpendapat bahwa untuk mengetahui pendapat yang sesungguhnya, maka kita harus lebih berpegang pada apa yang mereka lakukan daripada apa yang mereka katakan. Hal ini bukan saja karena hanya sedikit orang yang mau mengatakan apa yang mereka yakini, melainkan juga karena beberapa orang memang tidak mengetahui apa yang mereka yakini.

Berdasarkan ungkapan di atas dapat dipahami bahwa skeptisme bukan menolak kebenaran, akan tetapi menolak menerima kebenaran tanpa adanya bukti dan fakta-fakta yang menyatakannya benar. Artinya tidak ada kreteria yang pasti tentang kebenaran terkecuali bila argumen yang dikemukakan itu valid.

2.5 Metode Skeptisisme Descartes

Sudarminta (2002:22) mengungkapkan bahwa skeptisisme Descartes adalah skeptisisme metodis, yakni suatu strategi awal untuk meragukan segala sesuatu, justru dengan maksud agar dapat sampai pada kebenaran pengetahuan berdasarkan otoritas (keagamaan) sebagaimana biasa dilakukan pada abad pertengahan dan mendasarkan diri pada daya terang akal budi manusia.

Pengetahuan tentang kebenaran pada teori aliran skeptisisme terbagi menjadi beberapa metode yang dikembangkan oleh Descrates, di antaranya:

a. Tidak pernah menerima apapun sebagai benar kecuali jika kita tidak mengetahuainya secara jelas bahwa hal itu memang benar; artinya menghindari secara hati-hati penyimpulan terlalu cepat dan prasangka; dan tidak memasukkan apapun dalam pandangan kita kecuali apa yang tampil

(12)

amat jelas dan gamblang di dalam nalar saya, sehingga tidak akan ada kesempatan untuk meragukannya.

b. Memilah satu per satu kesulitan yang akan kita telaah menjadi bagian-bagian kecil sebanyak mungkin atau sejumlah yang diperlukan, untuk lebih memudahkan penyelesaiannya.

c. Berpikir secara runtut, mulai dari objek-objek yang paling sederhana dan paling mudah dikenali, lalu meningkat setahap demi setahap sampai ke masalah yang paling rumit, dan bahkan dengan menata dalam urutan objek-objek yang secara alamiah tidak beraturan.

d. Membuat perincian yang selengkap mungkin dan pemeriksaan yang demikian menyeluruh sampai saya yakin bahwa tidak ada yang terlupakan. (Descartes, 2015: 45-46).

Jadi dalam metode yang diterapkan oleh Descrates, kebenaran diperoleh dengan sikap ragu. Semakin seseorang meragukan pernyataan atau pengetahuan yang mengandung kebenaran tidak serta-merta diterima namun diperlukan pengklasifikasian persoalan dari hal yang sederhana hingga batas maksimal (paling rumit), dari persoalan yang telah di dapat akan dilakukan pemecahan permasalahannya. Setelah didapat pemecahannya maka permasalahan tersebut diperiksa kembali hingga tidak ada celah (kekeliruan) sedikit pun.

2.6 Macam-macam Skeptisisme

Menurut Sudarminta dalam bukunya Epistemologi Dasar (2002:48-49), skeptisisme terbagi menjadi beberapa macam di antaranya sebagai berikut.

(13)

1) Skeptisisme Mutlak atau Universal

Skeptisisme mutlak atau universal merupakan bentuk skeptisisme yang secara mutlak mengingkari kemungkinan manusia untuk tahu dan untuk memberi dasar pembenaran bagi pengetahuan yang diyakininya. Skeptisisme mutlak dalam praktiknya memang jarag diikuti orang karena memang merupakan suatu posisi yang sulit dipertahankan. Posisi ini secara eksistensial bersifat kontradiktif dan berlawanan dengan fakta yang eviden (langsung tampak jelas dengan sendirinya). Bahkan, kaum skeptik di jaman Yunani kuno rupanya masih mengecualikan proposisi mengenai apa yang tampak atau langsung dialami dari lingkup keraguannya.

Menurut Socrates (dalam Endraswara, 2012: 49), bahwa kaum skeptik atau sofis telah mengingkari pernyataannya sendiri. Dikarenakan dalam teorinya (secara eksplisit) mereka menegaskan kebenaran mengenai pernyataan tersebut. Namun dalam praktiknya atau secara implisit mereka mengingkarinya. Sehingga dapat dikatakan mereka ragu terhadap pernyataan yang telah mereka yakini.

Memahami segala hal dalam prespektif keraguan tentu memunculkan banyak pertanyaan. Descartes (2015: 33) pun mengungkapkan bahwa ia ingin membedakan antara yang benar dan yang tidak benar, agar ia mempunyai pandangan yang jelas dalam melakukan tindakan dan mendapatkan kepastian dalam hidup ini. Suatu adat istiadat atau kebiasaan yang sudah mengakar, itu juga sebenarnya tidak menjamin sebuah kebenaran. Maka dari itu, kita harus belajar untuk tidak mempercayai hal-hal yang yang akan ditanamkan ke dalam diri kita hanya berdasarkan teladan dan kebiasaan semata. Lebih lanjut lagi Descartes (dalam Syaifulloh, 2013: 218) berpendapat bahwa jika manusia meragukan

(14)

(kebenaran) sesuatu, maka di saat bersamaan, ia akan menemukan sesuatu yang tidak diragukan. Sikap seperti ini juga digunakan utnuk meragukan kebenaran semua keyakinan, yang dengannya akan ditemukan sebuah kebenaran yang pasti.

Ajaran mengenai pengetahuan obyektif itu tidak pernah ada juga diungkapkan Heraclites dan muridnya Cratylus. Keduanya berpendapat bahwa “world was in such a state of flux”. Kebenaran adalah tetap tentang segala sesuatu yang ada di dalamnya tidak bisa ditemukan, ia sama sekali tidak permanen. dengan itu, tidak ada lagi pengetahuan yang disepakati secara bersama. Semuanya hanya pandangan seseorang/individu saja.

Gorgias mengungkapkan bahwa karena yang menilai segala sesuatu adalah manusia, maka sebenarnya pengetahuan itu tidak ada. Jika pun ada, maka itu tidak bisa dipaksakan kepada orang lain (Saifulloh, 2013:218). Dalam novel Simple Miracles rupanya terdapat beberapa hal yang terkait dengan jenis skeptisisme ini. Maka dari itu, mekanisme skeptis terhadap keberadaan Tuhan dan hantu serta segala hal yang bersifat metafisika, ini dapat dikaji lebih dalam lagi dengan menggunakan teori skeptisisme yang ada.

2) Skeptisisme Nisbi atau Partikular

Merupakan bentuk skeptisisme yang secara menyeluruh tidak meragukan sesuatu hal. Namun hanya meragukan kemampuan manusia untuk mengetahui dengan pasti dan memberikan dasar pembenaran yang tidak diragukan tentang pengetahuan dalam bidang tertentu. Paham skeptisisme ini masih dianut oleh sebagian besar orang karena tidak bertentangan dengan kodrat manusia sebagai makhluk inteligensi (cerdas). Meskipun demikian manusia adalah makhluk Tuhan

(15)

yang mempunyai keterbatasan dalam menentukan kebenaran. Oleh karena itu, pengetahuan yang didapatnya, masih diperlukan penyelidikan secara lebih teliti untuk menghindari kesalahan yang dapat terjadi.

Jenis skeptisisme ini juga dikembangkan oleh kaum skeptis akademik yang dibentuk oleh akademi Plato pada abad III SM. Menurut mereka, informasi terbaik yang bisa diambil hanyalah sebuah kemungkinan, maka hal tersebut juga harus dihukumi berdasarkan kemungkinan juga. Doktrin skeptisisme seperti ini juga diperkuat oleh David Hume yang menyatakan bahwa, asumsi yang pasti, seperti hubungan antara sebab dan akibat, hukum-hukum alam, eksistensi Tuhan dan jiwa, semuanya berada jauh dari kepastian. Hal itu disebabkan karena pengetahuan manusia tentang hal-hal di atas, yang kelihatannya mengandung unsur kepastian, ternyata berdasarkan pada pengamatan dan kebiasaan belaka, yang pada hakekatnya berlawanan dengan logika. Keterbatasan pengamatan dan kebiasaan manusia itulah yang menjadi penghalang untuk mencapai sebuah kepastian (Syaifulloh, 2013: 217).

Syaifulloh (2013:217) juga mengungkapkan bahwa menurut Friedrich Nietzsche, Filosuf Jerman, pengetahuan sebagai aktivitas manusia, harus dijustifikasi berdasarakan pada peranannya untuk kehidupan dan bukan pada standar “benar” atau “salah”, karena menurut mereka standar untuk menilai sebuah ilmu pengetahuan itu tidak ada. pandangan seperti ini juga diikuti oleh seorang Filosuf Perancis, Jean Paul Sartre dan Filosuf Amerika, George Santayana. Menurutnya, semua keyakinan adalah sebagai manifestasi dari pengetahuan obyektif dan bersifat irasional. Maka dari sinilah terlihat bahwa obyektivitas sebuah pengetahuan itu telah mati.

(16)

Kaum skeptis rupanya selalu meragukan setiap klaim kebenaran pengetahuan, karena memiliki sikap tidak puas dan masih terus mencari kebenaran. Sikap tersebut didorong oleh menyebarnya rasa ketidaksepakatan yang tiada akhir terhadap isu-isu yang fundamental. Syaifulloh (2013: 216) mengungkapkan bahwa pada abad pertengahan, skeptisisme ini diartikan sebagai sebuah sikap ketidakpercayaan, khususnya dalam masalah agama, sehingga pada akhirnya, kaum skeptis disamakan dengan ateis.

Jika dikaitkan antara teori dengan data penelitian yang ada, maka novel Simple Miracles ini mengandung banyak sekali keraguan-keraguan tentang ada istiadat, kebiasaan, kebudayaan, bahkan adanya Tuhan dan hantu. Namun, dalam jenis skeptisisme yang kedua ini, hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa yang diragukan bukanlah seluruh ilmu pengetahuan, melainkan meragukan kemampuan manusia utnuk tahu dengan pasti kebenaran tentang adanya Tuhan, hantu, adat, kebiasaan, bahkan sampai kepada hal-hal yang mistis.

Referensi

Dokumen terkait

Belajar IPA Ditinjau dari Minat Terhadap Lingkungan pada Siswa Kelas V SD Se-Desa Sibangkaja Tahun Pelajaran 2010/2011” yang membuktikan bahwa pembelajaran yang

In this case, tourism sector used the number of tourist arrival, hotel’s room occupancy rate, the number of restaurant s, and the sum of PDRB (Gross Regional Domestic Product)

Ancillary Services (institutional services and promotions); need to be made marketing and promotional information systems of Pal beach tourism with the full support of the

Hasan Sadikin General Hospital from 2009 to 2013 comprise of pregnancy, delivery, and puerpural complications, maternal age, prior medical history, antenatal care, and area

The results suggest that the three species have a synergistic effect in the way they manage the heavy metal in surrounding polluted soils,

[r]

Although it states the problem, it isn't enough information with which to