• Tidak ada hasil yang ditemukan

ULTRA PETITUM DAN HUBUNGANNYA DENGAN ASAS HAKIM PASIF DALAM PERKARA CERAI GUGAT (Analisis Putusan Nomor 3427/Pdt.G/2017/PA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ULTRA PETITUM DAN HUBUNGANNYA DENGAN ASAS HAKIM PASIF DALAM PERKARA CERAI GUGAT (Analisis Putusan Nomor 3427/Pdt.G/2017/PA."

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

1 SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

RIZKY SYAHPUTRA ADAMS NIM: 11150440000119

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A 1442 H/2021 M

(2)

ii SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

Rizky Syahputra Adams

NIM. 11150440000119

Dibawah Bimbingan

Fathudin, S.HI, S.H, MA. Hum, MH

NIP. 198506102019031007

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1442 H/2021 M

(3)

iii

dalam Perkara Cerai Gugat’’. telah diajukan dalam sidang munaqasyah Fakultas

Syariah dan Hukum Program Studi Hukum Keluarga Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal Senin, 26 juli 2021 Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana program strata 1 (S-1) pada Progrm Studi Hukum Keluarga.

Jakarta, 26 Juli 2021

Mengesahkan,

Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H.,M.A.,M.H.

NIP. 197608072003121001

PANITIA UJIAN MUNAQASYAH

Ketua : Dr. Mesraini, M.Ag. (………...)

NIP. 197602132003122001

Sekretaris : Ahmad Chairul Hadi, MA. (………...)

NIP. 197205312007101002

Pembimbing : Fathudin, S.HI, S.H, MA. Hum, MH. (………...) NIP. 198506102019031007

Penguji I : Dr. Moh. Ali, M.A (………...)

NIP. 197304242002121007

Penguji II : Mara Sutan Rambe, M. H. (………...)

(4)

iv Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Strata-1 (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan jiplakan dari hasil karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 26 Juli 2021

Rizky Syahputra Adams

(5)

v

Hubungannya dengan Asas Hakim Pasif dalam Perkara Cerai Gugat. Program

Studi Hukum Keluarga. Fakultas Syariah dan Hukum. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 1441 H/2020 M.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep Ultra Petita dalam perspektif asas-asas hukum acara perdata Untuk mengetahui penerapan asas ultra petita dalam perkara cerai gugat dalam putusan No 3427/Pdt.G/2017/PA.Dpk

Jenis penelitian ini penulis menggunakan penelitian hukum normatif, yaitu jenis penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka yang terkait dengan penelitian. Bahan Hukum Primer yaitu data yang berkaitan langsung dengan penetapan wali adhal yaitu putusan Nomor 3427/Pdt.G/2017/PA.Dpk, Nomor 138/Pdt.G/2018/PTA.Bdg dan Nomor 667 K/Ag/2018. Bahan Hukum Sekunder dari penelitian ini adalah buku-buku, jurnal, artikel, dan tulisan lain yang berhubungan dengan permasalahan yang menjadi pokok dalam bahasan dalam penelitian ini. Oleh karena itu pada umumnya data sekunder dalam keadaan siap terbuat dan dapat dipergunakan dengan segera, dan salah satu ciri dari data sekunder tidak terbatas oleh waktu maupun tempat

Dalam asas-asas hukum acara perdata setidaknya terdapat dua asas yang terkait langsung dengan konsep ultra petita; diantaranya adalah asas “hakim bersifat menunggu” dan “hakim pasif”. Asas hakim bersifat menunggu mengandung pengertian bahwa suatu permasalahan akan diperoses peradilan jika ada pihak yang mengajukan. Sedangkan asas hakim bersifat pasif berarti bahwa ruang lingkup pokok perkara ditentukan sendiri oleh para pihak yang terlibat.

Penulis mengamati bahwasanya Majelis Hakim Tingkat Pertama sebagaimana yang terdapat dalam Putusan Nomor 3427/Pdt.G/2017/PA.Dpk nampaknya tidak cermat dalam memberikan pertimbangan hukum dalam perkara ini. Hal ini terlihat jelas dari amar putusan yang menyatakan bahwasanya Majelis Hakim Tingkat Pertama menetapkan hak pengasuhan anak (hadhanah) kepada Penggugat dalam hal ini sang ibu, padahal di dalam petita/petitum tidak pernah ada dipersoalkan hal-hal yang terkait dengan hak asuh anak (hadhanah), bahkan Penggugat menyatakan bahwasanya ia tidak merasa keberatan jika hak asuh anak berada dalam penguasaan Tergugat selaku ayahnya.

Kata Kunci : Ultra Petitum, Asas Hakim Pasif, Cerai Gugat. Pembimbing : Fathudin, S.HI, S.H, MA. Hum, MH.

(6)

vi

kebesaran yang ada. Dengan kalimat “Laailaha illallah” kita hidup dan kita dimatikan semoga tetap dengan prinsip menjaga iman serta tauhid kita kepada Allah SWT. Atas dasar rahmat-Nya lah yang selalu menaungi setiap hamba-Nya tanpa pilih kasih, tanpa membedakan satu sama lain dan dengan keadilan dan kebijaksanaan-Nya, sehingga penulis mampu merasakan nikmat hidup dan nikmat sehat serta nikmat lainnya, nikmat yang tiada tara. Dan dari sebab-sebab itulah, penulis pun akhirnya mampu menyelesaikan tulisan ini sebagai tugas akhir.

Tidak lupa dan tidak akan pernah bisa putus shalawat serta salam kita kepada Nabi junjungan umat, yang selalu menegakkan kalimat Allah dalam setiap tutur kata, tindakan dan ketetapannya, yang selalu kita harap penuh syafaat darinya dan selalu kita rindu untuk berjumpa dengannya, tidak lain dan tidak bukan Baginda Nabi Besar nan Agung Muhammad SAW. Atas dasar peran besar beliaulah, Islam selain merupakan agama juga menjadi peran peradaban dan sejarah yang besar yang bisa membawa dan menuntun umatnya kedalam jalan yang benar-benar lurus dan penuh keridhoan dari-Nya. Jalan yang indah dan penuh perdamaian serta kesejahteraan bagi yang mampu meresapi nilai-nilainya.

Alhamdulillah, penuh syukur atas karunia Allah yang telah diberikan. Sehingga sampai titik balik ini, sampai ke tahap ini, penulis mampu menyelesaikan skripsi ini, atas segala dorongan dan motivasi dari Ayah Amsad Adams setra ibunda tercinta Riana Dewi, Kaka Galih F Adams, Kaka Jaya W Adams, dan Adik Githa A Adams Mereka semua senantiasa memberi dorongan dan semangat yang tiada henti-hentinya kepada penulis untuk menyelesaikan proses yang pastinya selalu menemui fase naik-turun dan penuh ujian ini hingga sampai titik dimana terselesaikannya amanah di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Dari sinilah, penulis belajar akan saling menguatkan satu sama lain dan selalu berusaha tanpa kenal lelah tanpa kata menyerah.

(7)

Semoga Allah selalu memberikan limpahan rezeki yang penuh barokah dan limpahan ilmu yang berkah dan teramalkan bagi lingkungan dan masyarakat. Aamiin.

Selain itu, tak lupa penulis ucapkan banyak kata terimakasih kepada pihak-pihak lain yang turut memberikan sumbangsihnya dan membantu memberikan pengaruh positif selama masa perkuliahan ini. Terima kasih sebesarbesarnya kepada:

1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Lubis, L.c.,M.A., selaku Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta periode 2019-2023.

2. Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H.,M.A.,M.H selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. Mesraini, M.Ag., selaku Ketua Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Yang mana selalu mendorong penulis dengan nasihat, motivasi dan bantuannyalah penulis selalu semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.

4. Fathudin, S.HI, S.H, MA. Hum, MH selaku Dosen Pembimbing skripsi yang selalu meluangkan waktu membantu dengan memberi masukan, nasihat dan saran yang tak kenal lelah dalam proses penyusunan tulisan ini dari awal hingga akhir, hingga dapat terselesaikan seperti sekarang ini.

5. Atep Abdurofiq, M.Si. selaku Dosen Pembimbing Akademik yang selalu meluangkan waktu membantu dengan memberi masukan, nasihat dan saran yang tak kenal lelah dalam proses penyusunan tulisan ini dari awal hingga akhir, hingga dapat terselesaikan seperti sekarang ini.

6. Keluarga Besar Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, segenap dosen, karyawan dan staff yang telah banyak membantu baik langsung maupun secara tidak langsung dengan menyediakan fasilitas-fasilitas belajar yang baik dan profesional.

(8)

7. Keluarga Besar Dewan Eksekutif Mahasiswa Fakultas (DEMA-F) dan Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

8. Para guru-guru yang telah memberi arahan, support, dan motivasi kepada penulis sehingga bisa terselesaikannya tugas akhir ini.

Dan terakhir, penulis mengucapkan terimakasih yang tak terhingga pada pihak-pihak yang tentunya tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu yang turut andil dalam mendukung dan men-support secara lahir maupun batin. Semoga Allah SWT membalas kebaikan kalian semua. Aamiin.

(9)
(10)

x

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... x

BAB IPENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ... 6

E. Kerangka Teori dan Konseptual ... 11

F. Metode Penelitian ... 11

G. Rancangan Sitematika Penulisan ... 13

BAB IIASAS HUKUM ACARA PERDATA DAN ULTRA PETITA DALAM TINJAUAN TEORITIK ... 15

A. Pengertian Asas Hukum... 15

B. Pembagian Asas-asas Hukum ... 20

C. Macam-macam Asas dalam Hukum Acara Perdata ... 22

D. Asas Hakim Aktif dan Pasif dalam Hukum Acara Perdata ... 27

BAB IIIPERKARA CERAI GUGAT PADA PERKARA NOMOR 3427/PDT.G/2017/PA.DPK ... 42

A. Kasus Posisi Perkara Cerai Gugat ... 42

B. Pertimbangan Hukum Hakim ... 44

BAB IVANALISIS PENERAPAN ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN PERKARA NOMOR 3427/Pdt.G/2017/PA.DPK ... 53

(11)

B. Penerapan Asas Ultra Petita dalam Perkara Cerai Gugat dalam Putusan Nomor 3427/Pdt.G/2017/PA.Dpk ... 57 BAB VPENUTUP ... 65 A. Kesimpulan ... 65 B. Saran ... 66 DAFTAR PUSTAKA ... 67

(12)

1

A. Latar Belakang Masalah

Asas ultra petitum adalah putusan yang mengabulkan hal-hal yang tidak dituntut atau melebihi dari yang dituntut.1 Asas ini sangat berkaitan dengan asas hakim yang pasif di mana kepasifan hakim dapat dilihat dari dua dimensi, yang pertama, ditinjau dari visi inisiatif datangnya perkara, maka ada atau tidaknya gugatan tergantung para pihak yang berkepentingan yang merasa dan dirasa bahwa haknya dilanggar oleh orang lain.2

Pada kenyataannya, hakim yang pasif ini khususnya terhadap asas ultra petitum yang dasar hukumnya pasal 178 HIR, pasal 189 RBg yang berbunyi “Hakim dilarang mengabulkan atau menjatuhkan putusan melebihi dari pada yang dituntut”. Hal ini dalam penerapannya sudah mengalami pergeseran.

Mahkamah Agung RI dalam beberapa yurisprudensi bersifat ganda, di mana satu pihak tetap mempertahankan eksistensi ketentuan pasal 178 HIR dan 189 RBg secara utuh, disisi lain ketentuan tersebut mengalami modifikasi, pergeseran dan perubahan pandangan agar hakim dalam memutus perkara perdata bersifat lebih aktif.3

Putusan Mahkamah Agung RI yang tetap memepertahankan eksistensi ketentuan pasal 178 HIR dan 189 RBg antara lain terdapat dalam yurisprudensi yang akan penulis jabarkan sebagai berikut.

Pertama sebagaimana yang tercantum dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 339 K/Sip/1969 tanggal 21 Februari 1970, dalam perkara

1

Nelvy Christin, Varia Peradilan (Jakarta: Ikatan Hakim Indonesia, 2011), h. 63 2

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, h.11 3

Lilik Mulyadi, Hukum Acara Perdata Menurut Teori dan Praktek Peradilan Indonesia, h. 18

(13)

Sih Kanti lawan Pak Trimo dan Bok Sutoikromo dengan kaidah dasar pertimbangannya bahwa “Putusan Pengadilan Negeri harus dibatalkan karena putusannya menyimpang dari pada yang dituntut dalam surat gugat, lagi pula putusannya lebih menguntungkan pihak tergugat, sedangkan sebenarnya tidak ada tuntutan rekonvensi dan Peraturan Pengadilan Tinggi juga harus dibatalkan, karena hanya memutus sebagian saja dari tuntutan.” Kemudian kedua sebagaimana yang terdapat dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 2827 K/Pdt/1987 tanggal 24 Februari 1988 dalam perkara antara Lie Sie Tjien Sien dengan dasar pertimbangan bahwa hakim dalam menyusun pertimbangan suatu putusan perdata adalah tidak boleh menyimpang dari dasar gugatan yang didalilkan oleh penggugat di dalam gugatannya.4

Mengenai pergeseran ketentuan pasal 178 HIR dan 189 RBg dalam praktek Peradilan agar hakim bersifat lebih aktif nampak tercermin dalam beberapa yurisprudensi berikut; Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 964 K/Pdt/1986 tanggal 1 Desember 1988 dalam perkara antara Nazir T. Datuk Tambijo dan Asni lawan Nazan alias Barokak Gelar Dt. Naro dengan kaidah dasar bahwa Mahkamah Agung berpendapat Hukum Acara Perdata yang berlaku di Indonesia tidak formalistis dan berlakunya pasal 178 HIR dan 189 RBg tidak bersifat mutlak. Hakim dalam mengadili perkara perdata dapat memberikan amar atau diktum putusan melebihi petitum asal tidak melebihi posita gugatan.Selanjutnya di dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 556 K/Sip/1971 tanggal 10 Desember 1971 dalam perkara Pr. Sumarni lawan Tjong Foen Sen dengan dasar pertimbangan bahwa “ Pengadilan dapat

4

Lilik Mulyadi, Hukum Acara Perdata Menurut Teori dan Praktek Peradilan Indonesia, h. 19

(14)

mengabulkan lebih dari yang digugat asal masih sesuai dengan kejadian material5

Putusan yang digunakan dalam penelitian ini adalah putusan Nomor 3427/Pdt.G/2017/PA.Dpk. Dalam putusan tersebut ditemukan bahwa kekeliruan hakim di dalam memutus dari apa yan dituntut oleh pihak penggugat. Pada isi tuntutan di dalam gugatan disebutkan bahwa penggugat hanya menginginkan adanya putusan perceraian, sementara di dalam posita yang dicantumkan oleh penggugat, diuraikan mengenai permasalahan anak yang dikuasai oleh tergugat selaku ayah kandungnya.

Dari isi tuntutan diatas tidak disebutkan bahwa penggugat menuntut hak asuh anak kepada tergugat, akan tetapi hakim di dalam memutus putusan ini justru menetapkan penggugat sebagai pemegang hak pemeliharaan atas anaknya. Maka dari itu hakim telah melakukan ultra petitum yaitu hakim mengeluarkan putusan terhadap hal yang tidak dituntut atau melebihi dari apa yang dituntut.

Pada putusan banding sebagaimana yang tercantum dalam Putusan Nomor 138/Pdt.G/2018/PTA.Bdg, hakim PTA melihat ada kekeliruan hakim tingkat pertama di dalam memutus putusan ini. Maka dari itu hakim menilai bahwa putusan tingkat pertama harus dibatalkan karena hakim tingkat pertama dianggap telah melakukan kesalahan dan kekeliruan yang sangat besar dan sangat fatal, dimana telah mengadili hal-hal diluar yang diminta atau diperkarakan oleh Penggugat.6

Setelah putusan tingkat banding, pihak terbanding merasa tidak mendapatkan keadilan dan dirugikan atas putusan ini, oleh karena itu pihak terbanding mengajukan kasasi pada Mahkamah Agung RI. Pada putusan kasasi, Majelis Hakim Tingkat Kasasi melihat bahwa apa yang telah diputus

5

Lilik Mulyadi, Hukum Acara Perdata Menurut Teori dan Praktek Peradilan Indonesia, h. 20

6

(15)

oleh Pengadilan Tingkat Banding sudah tepat dan benar dalam menerapkan hukum.

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penulis memilih judul “Ultra Petitum dalam Kaitannya dengan Asas Hakim Pasif dalam Perkara Cerai Gugat (Studi Analisis Putusan Nomor: 3427/Pdt.G/2017/PA.Dpk)

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah

a. Identifikasi Masalah

Dari uraian yang ada pada latar belakang masalah tersebut, maka dapat disebutkan identifikasi masalah di bawah ini yang akan di jelaskan lebih lanjut, yaitu:

1. Bagaimana konsep umum Ultra Petitum?

2. Bagaimana kaitannya antara Ultra Petitum dengan Asas Hakim Pasif didalam perkara perdata?

3. Bagaimana peranan hakim didalam memutus perkara kurang tuntutan demi memenuhi rasa keadilan pada para pihak?

4. Bagaimana pertimbangan hakim tingkat pertama dalam penetapan hak asuh anak pada putusan Nomor 3427/Pdt.G/2017/PA.Dpk?

5. Bagaimana pertimbangan hakim tingkat banding dalam membatalkan putusan tingkat pertama pada putusan Nomor 138/Pdt.G/2018/PTA.Bdg?

6. Bagaimana pertimbangan hakim tingkat kasasi dalam menguatkan putusan tingkat banding pada putusan Nomor 667 K/Ag/2018?

b. Pembatasan Masalah

Mengingat luasnya pembahasan yang berkenaan dengan putusan pengadilan agama tingkat pertama, banding, kasasi maupun peninjauan kembali yang ada pada peradilan di Indonesia maka penulis disini

(16)

membatasi dan berfokus pada putusan Nomor 3427/Pdt.G/2017/PA.Dpk, Nomor 138/Pdt.G/2018/PTA.Bdg dan Nomor 667 K/Ag/2018.

c. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari identifikasi dan pembatasan masalah, selanjutnya penulis merumuskan masalah sebagai berikut:

A. Bagaimana konsep Ultra Petita dalam perspektif asas-asas hukum acara perdata?

B. Bagaiamana penerapan asas ultra petita dalam perkara cerai gugat dalam putusan No 3427/Pdt.G/2017/PA.Dpk?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui konsep Ultra Petita dalam perspektif asas-asas hukum acara perdata

b. Untuk mengetahui penerapan asas ultra petita dalam perkara cerai gugat dalam putusan No 3427/Pdt.G/2017/PA.Dpk

2. Manfaat Penelitian

Dalam penulisan diharapkan dapat memberikan manfaat:

a. Memberikan wawasan keilmuan di bidang hukum kelurga khususnya di bidang asas hukum perdata.

b. Menjadi rujukan bagi akademisi tentang bagaimana analisa secara mendalam tentang asas Ultra Petitum dalam hukum perdata.

c. Manambah pengetahuan dalam keilmuan di bidang hukum perdata teoritis maupun praktis.

(17)

d. Selanjutnya menjadi bahan tambahan terhadap mahasiswa yang akan melakukan penelitian berkaitan dengan Ultra Petitum di dalam hukum perdata.

D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Sebelum penentuan judul bahasan dalam skripsi ini, penulis telah terlebih dahulu melakukan review kajian atas tulisan-tulisan terdahulu yang berkaitan dengan judul yang penulis bahas baik berupa jurnal, skripsi, maupun tesis.

Skripsi yang berjudul “Analisis Yuridis Ultra Petitum Partium dalam Perkara Cerai Talak (Studi atas Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor 1082/Pdt.G/2013/PAJT dan Putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta Nomor 16/Pdt.G/2015/PTA JK)” yang ditulis oleh Saeful Mupid.7

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa implementasi asas ultra petitum partium dalam putusan Nomor 1082/Pdt.G/2013/PAJT sudah berjalan dengan baik, hanya saja hakim dalam putusannya tidak menunjuk salah satu dari kedua orang tuanya untuk memelihara anak pasca perceraian, walaupun pada asasnya hakim dilarang memutus melebihi dari yang diminta (ultra petitum partium) asas itu dapat dikesampingkan dengan adanya SEMA No. 7 Tahun 2012 yakni pasca perceraian hakim harus menunjuk salah satu dari kedua orang tua untuk mengasuh anaknya. Hakim tingkat banding pada putusan Nomor 16/Pdt.G/2015/PTA JK juga tetap berpedoman pada asas ultra petitum partium, tetapi karena ada aturan yang lebih khusus yakni SEMA Nomor 7 Tahun 2012 di sebutkan pasca perceraian tidak menjadikan kekuasaan orang tua berakhir dan tidak memunculkan perwalian. Hakim harus menunjuk salah

7 Saeful Mupid, “Analisis Yuridis Ultra Petitum Partium dalam Perkara Cerai Talak (Studi atas Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor 1082/Pdt.G/2013/PAJT dan Putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta Nomor 16/Pdt.G/2015/PTA JK)”. (Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2018)

(18)

satu dari kedua orang tuanya sebagai pihak yang memelihara dan mendidik anak, atas dasar hal tersebut hakim tingkat banding menunjuk ibu sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk mengasuh dan mendidik ketiga anaknya. Skripsi yang berjudul “Asas Ultra Petitum Partium dalam Penemuan Hukum Oleh Hakim Perspektif Hukum Progresif”, yang ditulis oleh Alfin Salam Nasrulloh.8 Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa dijelaskan Asas ultra petitum partium adalah pembatasan terhadap kewenangan hakim dalam menjalankan tugasnya untuk memberikan putusan tentang hal-hal yang tidak dituntut atau meluluskan lebih dari yang dituntut. Keberlakuan asas ultra petitum partium ini termaktub dalam pasal 178 ayat (3) HIR dan pasal 189 ayat (3) RBg. Dan eksistensinya di dalam kehidupan masyarakat dapat direpresentasikan melalui beberapa putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung, yakni salah satunya adalah putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Kabupaten Malang Nomor 4841/Pdt.G/2011/PA.Kab.Mlg.

Skripsi yang berjudul “Ultra Petitum Partium dalam Putusan Nomor 445/Pdt.G/2018/PA.Kab.MN Ditinjau dari Asas Hukum Progresif”, yang ditulis oleh Rochmat Try Prabowo.9 Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dua pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan ultra petitum partium. Faktor pertama yaitu inflasi mata uang yang terjadi di Republik Indonesia. Faktor yang kedua adalah alasan kebutuhan anak yang selalu meningkat tiap tahunnya. Kemudian Putusan hakim dalam memberikan nafkah dengan penamabahan jumlah 10% disetiap tahun, menjadi poin penting dalam hukum progresif menimbang nilai yang hidup dalam masyarakat serta nilai utama dalam hukum yaitu kepastian hukum, yaitu diperbolehkanya hakim menjatuhkan petitum dengan melebihkan dari yang

8 Alfin Salam Nasrulloh, “Asas Ultra Petitum Partium dalam Penemuan Hukum Oleh Hakim Perspektif Hukum Progresif”. (Skripsi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Tahun 2015)

9 Rochmat Try Prabowo, “Ultra Petitum Partium dalam Putusan Nomor 445/Pdt.G/2018/PA.Kab.MN Ditinjau dari Asas Hukum Progresif”. (Skripsi IAIN Ponorogo Tahun 2020)

(19)

dimintakan, juga keadilan hukum yang merujuk pewajiban atas nafkah yang diminta bekas istri untuk keberlanjutan kehidupanya dan yang terakir nilai kemanfaatan dengan adanya penambahan yang berkaca dengan keasadaran akan bertambahnya umur seoranga anak maka akan bertambah juga nilai kebutuhanya.

Tesis yang berjudul “Analisis Asas Ultra Petitum Partium dalam Perkara Cerai Talak No. 30/Pdt.G/2016/PA.Prg di Pengadilan Agama Pinrang Kelas 1B”, yang ditulis oleh Muhammad Ahmad Rahmatullah.10

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam Hukum Acara Perdata terdapat asas-asas yang harus dipatuhi oleh penegak hukum (hakim) seperti adanya ketentuan yang mengatur penegak hukum dalam hal menambah atau mengabulkan melebihi tuntutan yang dikemukakan dalam gugatan permohonan yang dapat disebut sebagai ultra petitum partium. putusan yang melebihi dari apa yang dituntutan dalam petitum permohonan perkara dianggap telah melampaui melampaui batas wewenangnya. Akan tetapi, dalam praktek beracara di lingkungan Peradilan Agama terhadap perkara-perkara tertentu, hakim karena hak jabatannya (ex officio) dapat memutus lebih dari apa yang dituntut, sekalipun hal tersebut tidak dituntut oleh para pihak. Lazimnya hakim menggunakan hak ex officio dengan pasal 41huruf c UU Nomor 1 Tahun 1974 sebagai landasan hukum, diterapkan pada kasus cerai talak, sebab sebagai bentuk perlindungan hak terhadap bekas isteri terkecuali terdapat ketentuan lain dalam peraturan perundang-undangan. Berdasarkan hasil analisa penerapan asas ultra petitum partium dalam perkara cerai talak No.30/Pdt.G/2016/PA.Prg. di Pengadilan Agama Pinrang, masih dalam koridor yang dibenarkan meskipun salah satu pertimbangannya bergeser dari apa yang telah digariskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)

10 Muhammad Ahmad Rahmatullah, “Analisis Asas Ultra Petitum Partium dalam Perkara Cerai Talak No. 30/Pdt.G/2016/PA.Prg di Pengadilan Agama Pinrang Kelas 1B”. (Tesis UIN Alauddin Makassar Tahun 2018)

(20)

pasal 149 huruf (a) dan (b). Hakim dalam hal memutus suatu perkara dituntut untuk memahami persoalanpersoalan yang diajukan oleh para pihak agar tidak keliru dalam hal menetapkan suatu hukum, terlebih lagi memutus suatu perkara di luar peraturan perundang-undangan atau menentukan lai dari apa yang telah ditetapkan. Adapun yang menjadi dasar pertimbangan hukum yang digunakan hakim untuk mengenyampingkan larangan menjatuhkan putusan tampa adanya tuntutan dalam perkara cerai talak No.30/Pdt.G/2016/PA.Prg tersebut, adalah: 1. ketentuan Undang-Undang Perkawinan yaitu, (UU Nomor 1 Tahun 1974) yang merupakan aturan lex specialis 2. Hakim mempunyai kewenangan untuk menciptakan hukum (judge made law). Yang mana hakim diwajibkan untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, 3. Faktor de facto, artinya Majelis Hakim melihat penyebab terjadinya perkawinan kedua belah pihak yaitu perkawinan yang memiliki unsur paksaan yang disebabkan telah terjadi perzinahan, oleh karenanya Majelis Hakim mengangap perkara tersebut termasuk ba’da al-dukhūl sekalipun dukhūl dalam peristiwa ini sebelum perkawinan, 4. Kompilasi Hukum Islam, yang menjelaskan menjelaskan Akibat Putusnya Perkawinaan pasal 149 huruf (a) dan (b).

Jurnal yang berjudul “Penggunaan Asas Ultra Petitum Partium: Suatu Analisis Kritis Putusan Nomor: 253/Pdt.G/2015/MS-KSG”, yang ditulis oleh Fatimah Zahara.11 Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Pada putusan perkara cerai gugat Nomor 253/Pdt.G/2015/MS-KSG Hakim Mahkamah Syar’iyah Kuala Simpang memutuskan bahwa hak asuh anak (Hadhanah) jatuh kepada penggugat padahal penggugat tidak meminta didalam gugatannya mengenai Hak asuh Anak Jatuh kepadanya, hal ini melanggar asas ultra petitum partium yang ada dalam Undang-Undang 178 ayat 3 HIR dan 189 ayat 3 RBG bahwasanya “Hakim tidak boleh mengabulkan apa yang tidak

11 Fatimah Zahara, “Penggunaan Asas Ultra Petitum Partium: Suatu Analisis Kritis Putusan Nomor: 253/Pdt.G/2015/MS-KSG”, Jurnal Al-Qadha, vol. 5, no. 1, (2018).

(21)

dituntut oleh penggugat atau pemohon”. Jika hal ini dilakukan oleh Hakim maka Hakim telah melanggar kewenangan ultra vires.

Jurnal yang berjudul “Pengecualian Terhadap Penerapan Asas Ultra Petitum Partium dalam Beracara di Pengadilan Agama”, yang ditulis oleh Hartini.12 Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peran hakim dalam menjalankan fungsi dan wewenang peradilan memang seharusnya lebih menitikberatkan pada tujuan dan tafsiran filosofi yaitu menegakkan kebenaran dan keadilan sesuai dengan nilai- nilai yang hidup, bukan sekedar menegakkaan peraturan perundang-undangan dalam arti sempit. Sesuatu yang dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan belum tentu sinergis dengan keadilan yang dituntut oleh masyarakat, karena tidak selamanya yang sesuai dengan hukum (lawfull) itu menghasilkan keadilan (justice) dan tidak semua yang legal itu justice.

Jurnal yang berjudul “Kajian Penerapan Asas Ultra Petita Pada Petitum Ex Aequo Et Bono”, yang ditulis oleh Bambang Sugeng Ariadi Subagyono, Johan Wahyudi, Razky Akbar.13 Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Dalam gugatan perdata Hakim tidak diperkenankan memberikan putusan yang melebihi daripada apa yang dituntut oleh Penggugat (ultra petita) sebagaimana diatur dalam Pasal 178 ayat (3) Het Herziene INdonesisch Reglement (HIR) dan Pasal 189 ayat (3) RBg. Dalam hal penjatuhan putusan atas dasar Ex aequo et bono, yang merupakan putusan ultra petita, tidak boleh melebihi materi pokok petitum primair, sehingga putusan yang dijatuhkan tidak melanggar ultra petita, serta putusan itu tidak boleh sampai berakibat merugikan tergugat dalam melakukan pembelaan kepentingannya. Di dalam praktik peradilan di PN Surabaya dan PN Sidoarjo,

12 Hartini, “Pengecualian Terhadap Penerapan Asas Ultra Petitum Partium dalam Beracara di Pengadilan Agama”, Jurnal Mimbar Hukum, vol. 21, no. 2, (Juni 2009).

13 Bambang Sugeng Ariadi Subagyono, Johan Wahyudi, Razky Akbar, “Kajian Penerapan Asas Ultra Petita Pada Petitum Ex Aequo Et Bono”, Jurnal Yuridika, vol. 29, no. 1, (Januari-April 2014).

(22)

penerapan asas ultra petita pada petitum subsider atau petitum Ex aequo et bono, seringkali disimpangi, hal tersebut berdasar pada asas keadilan hukum, asas kepastian hukum dan asas kemanfaatan, serta asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Hakim berdasarkan petitum subsider atau petitum Ex Aequo Et Bono (mohon putusan yang seadil-adilnya), boleh mengabulkan yang tidak diminta, karena pada hakikatnya hakim itu harus menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya.

Perbedaan dengan skripsi penulis adalah bahwa peneliti lebih memfokuskan terhadap pertimbangan hakim di dalam memutus perkara Ultra Petitum.

E. Kerangka Teori dan Konseptual

Dalam membedah penelitian yang penulis lakukan dalam penelitian ini penulis menggunakan Teori Asas Ultra Petitum.

F. Metode Penelitian

Dalam membahas penelitian ini, diperlukan suatu metode penelitian hukum untuk memperoleh data yang berhubungan dengan masalah-masalah yang dibahas dan gambaran dari masalah tersebut secara jelas, tepat dan akurat. Dalam penelitian ini ada beberapa metode yang akan penulis gunakan, antara lain:

1. Pendekatan Penelitian

Di dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan yaitu pendekatan yang menggunakan teori asas Ultra Petitum dan Hakim Pasif kemudian dihubungkan dengan putusan Nomor

(23)

3427/Pdt.G/2017/PA.Dpk, Nomor 138/Pdt.G/2018/PTA.Bdg dan Nomor 667 K/Ag/2018 lalu kemudian di analisis.

2. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan penelitian hukum normatif, yaitu jenis penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka yang terkait dengan penelitian.

3. Bahan Hukum

a. Bahan Hukum Primer yaitu data yang berkaitan langsung dengan penetapan wali adhal yaitu putusan Nomor 3427/Pdt.G/2017/PA.Dpk, Nomor 138/Pdt.G/2018/PTA.Bdg dan Nomor 667 K/Ag/2018

b. Bahan Hukum Sekunder dari penelitian ini adalah buku-buku, jurnal, artikel, dan tulisan lain yang berhubungan dengan permasalahan yang menjadi pokok dalam bahasan dalam penelitian ini. Oleh karena itu pada umumnya data sekunder dalam keadaan siap terbuat dan dapat dipergunakan dengan segera, dan salah satu ciri dari data sekunder tidak terbatas oleh waktu maupun tempat.14

4. Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan Studi Kepustakaan Penelusuran Informasi dan data yang diperlukan dalam beberapa sumber. Penyusunan dengan menggunakan studi kepustakaan dilakukan dengan cara membaca, mempelajari serta menganalisis literatur atau buku-buku dan sumber lainnya yang berkaitan dengan tema penelitian.

14

Soekanto Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta, Universitas Indonesia, 1986), h. 11.

(24)

5. Analisa Data

Analisa data secara deduktif merupakan prosedur yang berpangkal pada suatu peristiwa umum, yang kebenarannya telah diketahui atau diyakini, dan berakhir pada suatu kesimpulan.

6. Teknik Penulisan

Teknik penulisan penelitian ini merujuk pada pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang di terbitkan oleh Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum tahun 2017.

G. Rancangan Sitematika Penulisan

Penelitian skripsi ini terdiri dari 5 (lima) Bab, dimana masing-masing Bab berisikan pembahasan yang berkesinambungan sebagai berikut:

Bab Pertama, berisikan Pendahuluan yang berhubungan erat dengan permasalahan yang akan dibahas. Latar belakang masalah, Identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sitematika penulisan.

Bab Kedua, Gambaran umum tentang asas Ultra Petitum dan teori Hakim Pasif. Dimulai dari konsep umum Asas Ultra Petitum dan Asas Hakim Pasif.

Bab Ketiga, Memaparkan pertimbangan hukum hakim tingkat pertama sampai dengan tingkat kasasi dalam hal Ultra Petitum dan Hakim Pasif.

Bab Keempat, merupakan bab inti yaitu bahasan utama dalam skripsi ini. Yaitu analisis pertimbangan hakim tingkat pertama, banding, kasasi dalam hal Ultra Petitum dan Hakim Pasif.

(25)

Bab Kelima, merupakan bab akhir dalam penelitian ini. Terdiri dari penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran yang bersifat membangun bagi penyempurnaan penelitian ini.

(26)

15

BAB II

ASAS HUKUM ACARA PERDATA DAN ULTRA PETITA DALAM TINJAUAN TEORITIK

A. Pengertian Asas Hukum

Mengingat bahwa asas berguna untuk menentukan suatu maksud dan tujuan dibentuknya suatu peraturan hukum, maka perlu ditegaskan pula bahwa urgensi asas dalam undang-undang untuk memperjelas maksud serta tujuan diberlakukannya suatu peraturan dalam undang-undang.

Bellefroid dikutip dari Eddy O.S. Hiariej dalam bukunya “Asas Legalitas dan Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana”, terkait dengan asas hukum umum, menyatakan sebagai berikut:15

Asas hukum umum itu merupakan pengendapan hukum positif dalam suatu masyarakat. Demikian pula menurut van Eikema Hommes yang menyatakan bahwa asas hukum tidak boleh dianggap sebagai norma-norma hukum yang konkret, akan tetapi perlu dipandang sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku.

Asas hukum umum itu kedudukannya abstrak dan bukan merupakan suatu norma-norma hukum yang konkret, dalam artian norma-norma hukum konkret yang telah atau pernah terjadi dalam pergaulan masyarakat. Pada asas hukum yang sifatnya abstrak, mengandung nilai-nilai atau kaidah-kaidah hukum yang dapat diterapkan terhadap norma-norma hukum konkret tertentu.

Lebih lanjut, terkait dengan asas hukum, Dewa Gede Atmadja dalam Jurnalnya berjudul “Asas-Asas Hukum dalam Sistem Hukum” mengutip pendapat dari Paul Scholten, yaitu sebagai berikut:16

15 Eddy O.S. Hiariej, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana, (Jakarta:Erlangga, 2009), h.19.

16 Dewa Gede Atmadja, “Asas-Asas Hukum dalam Sistem Hukum”, Jurnal Kertha

(27)

“Bahwa asas hukum atau prinsip hukum bukanlah peraturan hukum konkret, melainkan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkret yang terdapat dalam dan di belakang sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat ditemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkret tersebut. Ditegaskan lagi, bahwa asas hukum bukanlah kaedah hukum yang konkret, melainkan latar belakang peraturan yang konkret dan bersifat umum atau abstrak.”

Oleh karena asas hukum atau prinsip hukum bukanlah peraturan hukum konkret, maka kedudukan asas hukum atau prinsip hukum ini kedudukannya berbeda dengan peraturan hukum konkret. Kita ambil contoh asas legalitas dalam hukum pidana, kedudukannya sebagai dasar peraturan pidana itu diberlakukan. Atas dasar adanya asas di dalam suatu peraturan perundang-undangan, maka peraturan yang konkret itu dapat memiliki arah dan tujuan saat diberlakukan.

Menurut terminologi, kata asas berasal dari bahasa arab, yang memiliki arti dasar, fundamen, pondasi.17 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata azas diartikan sebagai suatu tumpuan berpikir atau berpendapat.18 Karena itu menurut Yahya Harahap,19 dalam konteks asas hukum peradilan, suatu asas hukum menjadi fundamen atau acuan umum bagi pengadilan dalam menyelesaikan perkara, sehingga putusan majelis hakim memiliki sendi dan norma yang kuat untuk mewujudkan tujuan hukum yang diharapkan oleh para pihak yang berperkara. Jika asas dihubungkan dengan hukum, maka yang dimaksud dengan asas hukum adalah kebenaran yang dipergunakan sebagai

17 Muhammad, Daud Ali. Hukum islam (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada 2007), h.126 18 Departemen Pendidikan an Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,Cet. II; (Jakarta Balai Pustaka, 1989), h 52.

19 Yahya, Harahap, kedudukan Kewenangan dan Hukum Acara Pengadilan Agama, Cet. II ;(Jakarta: PT Garuda Metro Politan Press. 1993), h 37.

(28)

tumpuan berfikir dan alasan pendapat, terutama dalam penegakan dan pelaksanaan hukum. Asas hukum pada umumnya berfungsi sebagai rujukan untuk mengembalikan segala masalah yang berkenaan dengan hukum.20 Jadi, peraturan konkrit seperti undang-undang tidak boleh bertentangan dengan asas hukum, demikian pula dalam putusan hakim, pelaksanaan hukum dan sistem hukum.21

Apabila dalam sistem hukum terjadi pertentangan, maka asas hukum akan tampil dalam menghadapi pertentangan tersebut. Misalnya terjadi pertentangan antara satu umdamg-undang dengan undang-undang yang lainya, maka harus kembali melihat asas hukum sebagai prinsip dasar yang mendasari suatu peraturan hukum yang berlaku secara universal. Begitu pula, jika berbicara tentang konteks sosial, berarti konsep-konsep dan asas hukum senantiasa lahir sabagai hasil pemikiran masyarakat tertentu.22 Menurut van Eikema Hommes, asas hukum tidak boleh dianggap sebagai norma-norma hukum yang konkrit, akan tetapi perlu dipandang sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku. Pembentukan hukum praktis perlu berorientasi pada asas-asas hukum tersebut. Dengan kata lain asas hukum ialah dasar-dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif.23

Selanjutnya, The Liang Gie berpendapat bahwa asas adalah suatu dalil umum yang dinyatakan dalam istilah pelaksanaannya, yang diterapkan dalam serangkaian perbuatan untuk menjadi petunjuk yang tepat bagi perbuatan itu.24

Asas-asas hukum (rechtsbeginsellen-legal principles-principles of law) bukanlah peraturan hukum konkrit, melaikan pikian dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari “hukum positif” yang ada didalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan

20 Muhammad, Daud Ali, hukum islam (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 20017), h. 126 21

Marwan Mas, pengantar ilmu hukum cet. I, (Bogor : Ghalia Indonesia 2011), h. 109 22 Marwan Mas, pengantar ilmu hukum cet. I, (Bogor : Ghalia Indonesia 2011), h. 109 23 Dikutip oleh Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar (Yogyakarta : Universitas Atmajaya, 2010), h. 42

24 Dikutip oleh Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar (Yogyakarta : Universitas Atmajaya, 2010), h. 42

(29)

undangan.25 Asas hukum (rechtsbeginsellen) merupakan salah satu bagian dari kaidah hukum. Asas hukum bersifat umum dan abstrak, sehingga ia menjadi ruh dan spirit dari suatu undang-undang. Pada umumnya asas hukum itu berubah mengikuti kaidah hukumnya, sedangkan kaidah hukum akan hukum akan berubah mengikuti perkembangan masyarakat, jadi bisa terpengaruh oleh ruang dan waktu.26

Dari situlah hukum positif memperoleh makna hukumnya, di dalam nya terdapat kriterium yang dengannya kualitas dari hukum itu dapat dinilai, hukum itu dapat dipahami dengan berlatar belakang suatu asas yang melandasi hukum tersebut.

Dalam memeriksa dan mengadili perkara perdata, asas-asas yang berlaku di lingkungan peradilan umum juga berlaku di lingkungan peradilan agama. Salah satu asas penting yang wajib diperhatikan adalah bahwa hakim wajib mengadili semua bagian tuntutan dan dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih daripada yang dituntut. Asas inilah yang lazim dikenal sebagai asas ultra petitum partium.27

Hakim di dalam hukum acara perdata menurut HIR harus bersikap aktif dan harus menjatuhkan putusan seadil-adilnya sesuai dengan kebenaran dan sungguh-sungguh menyelesaikan perkara secara tuntas. Di sisi lain, sesuai Pasal 178 ayat 3 HIR (Pasal 189 ayat 3 RBg) tersebut, kebebasan hakim sangat dibatasi oleh tuntutan atau kepentingan pihak penggugat. Oleh karenanya, pengabulan terhadap sesuatu yang sama sekali tidak diajukan dalam petitum, nyata-nyata melanggar asas ultra petitum partium dan terhadap putusan seperti itu harus dibatalkan.28

25Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar (Yogyakarta : Universitas Atmajaya, 2010), h. 43

26 Bambang Sutiyoso, metode penemuan hukum, cet2, (Yogyakarta : UII Press 2007), h. 107 27 Hartini, “Pengecualian Terhadap Penerapan Asas Ultra Petitum Partium dalam Beracara di Pengadilan Agama”, Jurnal Mimbar Hukum, vol. 2, no. 2, (Juni 2009), h. 382.

28 Hartini, “Pengecualian Terhadap Penerapan Asas Ultra Petitum Partium dalam Beracara di Pengadilan Agama”, Jurnal Mimbar Hukum, vol. 2, no. 2, (Juni 2009), h. 384

(30)

Supaya gugatan sah dalam arti tidak ada cacat formil, maka dalam gugatan tersebut harus dicantumkan apa saja yang ingin diminta untuk diadilkan oleh hakim. Yang harus dicantumkan dalam petitum gugatan ialah yang berisi pokok tuntutan penggugat, yang berupa deksripsi yang jelas menyebutkan satu persatu dalam akhir gugatan tentang hal-hal apa saja yang menjadi pokok tuntutan Penggugat yang harus dinyatakan dan dibebankan kepada Tergugat. Dengan kata lain petitum gugatan, yang berisi tuntutan atau permintaan kepada pengadilan untuk dinyatakan dan ditetapkan sebagai hak penggugat atau hukuman kepada tergugat atau kedua belah pihak.

Apabila dalam surat gugatan telah memehuni syarat yaitu posita dan petitumnya jelas maka gugatan itu bisa di terima namun, jika dalam gugatan tersebut tidak memenuhi syarat formil dalam petitum dan posita maka gugatan itu mengandung cacat formil, sehingga harus dinyatakan gugatan tidak dapat diterima. Supaya petitum tidak menimbulkan cacat formil gugatan, akan dikemukakan secara ringkas berbagai hal yang menyebabkan petitum bertentangan dengan tata tertib beracara yaitu. Tidak menyebutkan secara tegas apa yang diminta atau petitum bersifat umum apa yang diminta penggugat. Oleh karena itu, jika petitum sifatnya kabur karena tidak jelas secara spesifik apa yang diminta, meyebabkan gugatan itu obscuur libel, yang berakibat gugatan tidak dapat diterima. Demikian ditegaskan dalam salah satu putusan MA, kemudian petitum yang meminta agar Peradilan menghukum tergugat supaya tidak mengambil tindakan yang bersifat merusak bangunan adalah petitum yang bersifat negatif, oleh karena itu dapat dikabulkan. Demikian penegasan dalam salah satu putusan MA, serta masalah yang harus di perhatikan,gugatan harus sejalan dengan dalil gugatan. Dengan demikian, petitum mesti bersesuai atau konsisten dengan dasar hukum dan fakta-fakta yang dikemukakan dalam posita.29

29 Fatimah Zahara, “Penggunaan Asas Ultra Petitum Partium: Suatu Analisis Kritis Putusan Nomor: 253/Pdt.G/2015/MS-KSG”, Jurnal Al-Qadha, vol. 5, no. 1, (Juli 2018), h. 34

(31)

B. Pembagian Asas-asas Hukum

1. Bersifat Umum

Asas hukum bersifat umum asas hukum yang berhubungan dengan seluruh bidang hukum, seperti asas restitution in integrum, asas lex posteriori derogate legi priori, asas bahwa apa yang lahirnya tampak benar, untuk sementara harus dianggap demikian sampai diputus (lain) oleh pengadilan. 2. Bersifat Khusus

Asas hukum khusus berfungsi dalam bidang yang lebih sempit seperti dalam bidang hukum perdata, hukum pidana, dan sebagainya, yang sering merupakan penjabaran dari asas hukum umum, seperti asas pacta sunt servanda, asas konsensualisme, dan asas praduga tak bersalah.

Asas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah asas undang-undang yang bersifat ultra petitum pertium, yang mana nilai-nilai dari asas tersebut terkandung dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kewenangan hakim, yaitu terdapat pada pasal 178 ayat (3) HIR dan pasal 189 ayat (3) RBg, bahwasanya didalam kedua peraturan tersebut memberikan batasan-batasan kepada hakim yang dalam kewenangan melakukan sebuah upaya penemuan hukum terhadap suatu perkara yang sedang di hadapinya, karena bunyi dari kedua pasal tersebut adalah “ia dilarang memberikan menjatuhkan keputusan atas perkara yang tiada dituntut, atau akan meluluskan lebih dari apa yang diminta”. Konkretnya hakim dilarang memberikan putusan melebihi dari apa yang menjadi dalil gugatan.30

Ultra petitum pertium adalah istilah hukum yang terdiri dari dua suku kata yaitu ultra dan petitum pertium atau dengan kata lain petita. Kata ultra

30

Melarang hakim untuk menjatukan keputusan atas perkara yang tidak digugat atau meluluskan yang lebih daripada yang digugat, seperti misalnya apabila seorang penggugat dimenangkan di dalam perkara nya untuk membayar kembali uang yang dipinjam oleh lawannya, tetapi ia lupa untuk menuntut agar supaya tergugat dihukum pula untuk membayar bunganya, maka hakim tidak diperkenankan menyebutkan dalam putusannya supaya yang kalah itu membayar bunga atas uang pinjaman itu. Lihat dalam RIB/HIR Dengan Penjelasan, (Bogor : politeia, 1995), h. 131

(32)

memiliki arti sangat, ekstrim, dan lebih (berlebih-lebihan), sedangkan kata petitum mempunyai arti permohonan, tuntutan, gugatan, (surat gugat), yaitu dimulai dengan menggunakan dalil-dalil dan di akhiri dengan mengajukan tuntutan (petitum).31

Ultra petitum pertium dalam hukum formil mengandung pengertian sebagai penjatuhan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih daripada yang diminta. Ketentuan ini berdasarkan pasal 178 ayat (3) HIR dan pasal 189 ayat (3) RBg, yang berbunyi “ia tidak diizinkan menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak digugat, atau memberikan lebih dari pada yang digugat”.32

Sedangkan, ultra petitum menurut I.P.M. Rranuhandoko adalah melebihi yang diminta.33

Asas ulta petitum pertium diatur dalam pasal 178 ayat (3) HIR dan pasal 189 ayat (3) RBg, yang menentukan bahwa hakim dalam memberikan putusan tidak boleh mengabulkan melebihi tutntutan yang dikemukakan dalam gugatan. Menurut Yahya Harahap, hakim yang mengabulkan tuntutan melebihi posita maupun petitum gugatan, dianggap telah melampaui wewenang atau ultra vires, yakni bertindak melampaui wewenangnya, apabila putusan mengandung ultra petitum pertium, maka putusan tersebut harus dinyatakan cacat meskipun hal itu dilakukan hakim dengan itikad baik (good faith) maupun sesuai dengan kepentingan umum (public interest).34

Namun, menurut Mertokusumo, dengan mendasarkan pada putusan Mahkamah Agung tanggal 4 Februari 1970, Pengadilan Negri boleh memberikan putusan yang melebihi apa yang melebihi apayang diminta dalam hal adanya hubungan yang erat satu sama lainnya. Dalam hal ini asas ultra petitum pertium tidak berlaku secara mutlak sebab hakim dalam menjalankan

31

Martinus Sahrani dan Ilham Gunawan, Kamus Hukum, cet 1 (Jakarta : Restu Agung 2002), h. 154

32 R. Soesilo, RIB/HIR dengan penjelasan, (Bogor : politeia, 1995), h. 131 33 I.P.M. Ranuhandoko, Terminologi hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2000) h. 522

34 Yahya, Harahap, hukum acara perdata tentang gugatan, persidangan, penyitaan,

(33)

tugasnya harus bertindak secara aktif dan selalu harus berusaha agar memberikan putusan yang benar-benar menyelesaikan perkara.35

C. Macam-macam Asas dalam Hukum Acara Perdata 1. Hakim Bersifat Menunggu

Asas dari hukum acara perdata (sebagaimana halnya asas hukum acara pada umumnya) bahwa pelaksanaannya, yaitu inisiatif untuk mengajukan gugatan, sepenuhnya diserahkan kepada mereka yang berkepentingan. Ini berarti bahwa apakah akan ada proses atau tidak, apakah suatu perkara atau gugatan akan diajukan atau tidak, sepenuhnya diserahkan kepada mereka yang berkepentingan (yang merasa dirugikan). Kalau tidak ada gugatan atau penuntutan, tidak ada hakim.

Jadi, yang mengajukan gugatan adalah pihak-pihak yang berkepentingan, sedangkan hakim bersikap menunggu diajukannya suatu perkara atau gugatan (periksa Pasal 118 HIR, Pasal 142 RBg). Ini berarti bahwa hakim tidak boleh aktif mencari-cari perkara (menjemput bola) di masyarakat, sedangkan yang menyelenggarakan proses adalah negara. Akan tetapi, sekali suatu perkara diajukan kepada hakim, hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadilinya dengan alasan apa pun Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.36

1. Hakim Pasif

Hakim dalam memeriksa suatu perkara bersikap pasif. Maksudnya, ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa pada asasnya ditentukan oleh pihak-pihak yang beperkara dan bukan

35

Sudikno, Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Liberty, 1993), h. 802.

36 Pengadilan dilarang menolak memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Pasal 10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

(34)

oleh hakim. Dengan perkataan lain, pihak yang merasa haknya dirugikanlah (penggugat) yang menentukan apakah ia akan mengajukan gugatan, seberapa luas (besar) tuntutan, serta juga tergantung pada (para) pihak (penggugat dan/atau tergugat) perkara akan dilanjutkan atau dihentikan (karena terjadi perdamaian atau karena gugatan dicabut).37 Semuanya tergantung pada (para) pihak, bukan pada hakim. Hakim terikat pada peristiwa yang diajukan oleh para pihak (secundum allegat iudicare). Hakim hanya membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan, demikian ditentukan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009).

Hakim terikat pada peristiwa yang menjadi sengketa yang diajukan oleh para pihak. Dalam pembuktian para pihaklah yang diwajibkan membuktikan dan bukan hakim, hakim hanya menilai siapa di antara para pihak yang berhasil membuktikan kebenaran dalilnya dan apa yang benar dari dalil yang dikemukakan pihak tersebut.

2. Hakim Aktif

Dalam beracara dengan HIR/RBg, hakim Indonesia harus aktif sejak perkara dimasukkan ke pengadilan, memimpin sidang, melancarkan jalannya persidangan, membantu para pihak dalam mencari kebenaran, penjatuhan putusan, sampai dengan pelaksanaan putusannya (eksekusi). Karena dalam sistem HIR/RBg tidak ada keharusan menunjuk kuasa hukum, seorang yang buta hukum pun dapat menghadap sendiri ke muka pengadilan. Keharusan hakim aktif dalam beracara dengan HIR/RBg mulai tampak pada saat penggugat mengajukan gugatannya. Pasal 119 HIR, 143 RBg menentukan bahwa ketua pengadilan negeri berwenang memberi nasihat dan pertolongan waktu dimasukkannya gugatan tertulis, baik kepada penggugat sendiri

37

(35)

maupun kuasanya. Hal ini tidak berarti bahwa hakim memihak. Di sini, hakim hanya menunjukkan bagaimana seharusnya bentuk dan isi sebuah surat gugat. Selain itu, dalam sidang pemeriksaan perkara, hakim memimpin jalannya sidang agar dapat tercapai peradilan yang tertib dan lancar sehingga asas peradilan cepat dapat tercapai. Dalam menjatuhkan putusan, hakim wajib menambahkan dasar hukum yang tidak dikemukakan oleh para pihak, Pasal 178 ayat (1) HIR, 189 ayat (1) RBg. Dalam pelaksanaan putusan pengadilan (eksekusi), sebagaimana ditentukan dalam Pasal 195 ayat (1) HIR, 206 ayat (1) RBg, bahwa ketua pengadilan memimpin jalannya eksekusi.

Dalam penyelesaian suatu perkara yang diajukan ke pengadilan, hakim wajib mengadili seluruh gugatan dan dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih dari yang dituntut (Pasal 178 ayat 2 dan 3 HIR, 189 ayat 2 dan 3 RBg). Demikian pula halnya apakah pihak yang bersangkutan akan mengajukan banding atau tidak bukanlah kepentingan dari pada hakim (Pasal 6 UU Nomor 20 tahun 1947, Pasal 199 RBg).

Asas hakim pasif dan aktif dalam hukum acara perdata disebut verhandlungsmaxime.38

Asas ini mengandung beberapa makna berikut.

a. Inisiatif untuk mengadakan acara perdata ada pada pihak-pihak yang berkepentingan dan tidak pernah dilakukan oleh hakim. Hakim hanyalah membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan (Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 48 Tahun 2009). Hal ini mengatur cara-cara bagaimana para pihak mempertahankan kepentingan pribadi. Berbeda dengan hukum acara pidana yang mengatur cara bagaimana

38 Sebaliknya, dikenal asas untersuchungsmaxime, yaitu dalam hal mengumpulkan bahan pembuktian, undang-undang mewajibkannya kepada hakim (Star Busmann, Hoofstukken van Burgerlijke Rechtsvordering, hlm. 258)

(36)

mempertahankan kepentingan publik, inisiatif dalam acara pidana dilakukan oleh pemerintah yang diwakili oleh jaksa sebagai penuntut umum serta alat-alat perlengkapan negara yang lain (kepolisian). Kalau dalam perkara perdata pihak-pihak yang berhadapan adalah pihak-pihak yang berkepentingan, yaitu penggugat dan tergugat; dalam perkara pidana pihak-pihak yang berhadapan bukan orang-orang yang melakukan tindak pidana (terdakwa) dengan orang yang menjadi korban, tetapi terdakwa berhadapan dengan jaksa/penuntut umum selaku wakil negara. Selanjutnya, dalam perkara perdata, para pihak yang beperkara dapat secara bebas mengakhiri sendiri perkara yang mereka ajukan untuk diperiksa di pengadilan dan hakim tidak dapat menghalanginya. Berakhirnya, pemeriksaan perkara perdata dapat dilakukan dengan pencabutan gugatan atau dengan perdamaian pihak-pihak yang beperkara (Pasal 178 HIR/ 189 RBg). Dalam perkara pidana, kalau perkara sudah diperiksa oleh pengadilan (hakim), perkara tersebut tidak dapat dicabut lagi, melainkan harus diperiksa terus sampai selesai (ada putusan pengadilan).39

b. Hakim wajib mengadili seluruh gugatan/tuntutan dan dilarang menjatuhkan putusan terhadap sesuatu yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih dari yang dituntut (Pasal 178 ayat 2 dan 3 HIR/ Pasal 189 ayat 2 dan 3 RBg).

c. Hakim mengejar kebenaran formal, yakni kebenaran yang hanya didasarkan pada bukti-bukti yang diajukan di depan persidangan, tanpa harus disertai keyakinan hakim. Jika salah satu pihak yang beperkara mengakui kebenaran suatu hal yang diajukan oleh pihak lawan, hakim tidak perlu menyelidiki apakah yang diajukan itu sungguh-sungguh benar

39 Modul Hukum Perdata Materiil Badan Diklat Kejaksaan. Lihat http://badiklat.kejaksaan.go.id/e-akademik/uploads/modul/b28f1a50d34f26a2982e5d09966800cd.pdf, diakses pada tanggal 18 Oktober 2020, pukul 21.25 WIB, h. 30.

(37)

atau tidak. Berbeda dengan perkara pidana, hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara pidana mengejar kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang harus didasarkan pada alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang dan harus ada keyakinan hakim.

d. Para pihak yang beperkara bebas pula untuk mengajukan atau untuk tidak mengajukan verset, banding, dan kasasi terhadap putusan pengadilan.

Dari uraian di atas, jelaslah bahwa makna hakim bersifat pasif dalam perkara perdata, yaitu hakim tidak menentukan luasnya pokok perkara. Hakim tidak boleh menambah atau menguranginya, tetapi tidaklah berarti hakim tidak berbuat apa-apa. Sebagai pimpinan sidang pengadilan, hakim harus aktif memimpin jalannya persidangan sehingga berjalan lancar. Hakimlah yang menentukan pemanggilan, menetapkan hari persidangan, serta memerintahkan supaya alat-alat bukti yang diperlukan disampaikan ke depan persidangan. Bahkan, jika perlu, hakim karena jabatan (ex officio) memanggil sendiri saksi-saksi yang diperlukan. Selain itu, hakim juga berhak memberi nasihat, menunjukkan upaya hukum, dan memberikan keterangan kepada pihak-pihak beperkara (Pasal 132 HIR/ 156 RBg). Karena itu, sering dikatakan oleh sementara ahli bahwa hakim dalam sistem HIR adalah aktif, sedangkan dalam sistem Rv adalah pasif.40

Jadi, pengertian pasif di sini hanyalah berarti bahwa hakim tidak menentukan luas dari pokok perkara. Hakim tidak boleh menambah atau menguranginya. Akan tetapi, tidaklah berarti bahwa hakim sama sekali tidak aktif. Selaku pimpinan sidang, hakim harus aktif memimpin pemeriksaan perkara, tidak merupakan pegawai atau sekadar alat dari para pihak, serta

40 Modul Hukum Perdata Materiil Badan Diklat Kejaksaan. Lihat http://badiklat.kejaksaan.go.id/e-akademik/uploads/modul/b28f1a50d34f26a2982e5d09966800cd.pdf, diakses pada tanggal 18 Oktober 2020, pukul 21.25 WIB, h. 30.

(38)

harus berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan.

Hakim sebagai tempat pelarian terakhir bagi para pencari keadilan dianggap bijaksana dan tahu akan hukum, bahkan menjadi tempat bertanya segala macam persoalan bagi rakyat. Darinya, diharapkan ada pertimbangan sebagai orang yang tinggi pengetahuan dan martabatnya serta berwibawa. Diharapkan, hakim adalah orang yang bijaksana dan aktif dalam pemecahan masalah. Kiranya, asas hakim aktif, menurut HIR, sesuai dengan aliran pikiran tradisional Indonesia.30 Undang-undang kekuasaan kehakiman yang mengharuskan pula hakim aktif karena yang dituju dengan kekuasaan kehakiman dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia.41

D. Asas Hakim Aktif dan Pasif dalam Hukum Acara Perdata

Secara normatif, ketentuan H.I,R, RBg, maupun R.v tidak menyebutkan secara eksplisit istilah asas hakim aktif dan hakim pasif. Dalam berbagai literatur hukum, kedua asas ini juga tidak di definisikan secara pasti dan sistematis. Beberapa asarjana hukum mengartikan asas hakim pasif adalah hakim bersikap menunggu datangnya perkara yang diajukan oleh para pihak.42

Sudikno Mertokusumo adalah salah seorang jurist yang mengakui eksistensi prinsip hakim aktif dan hakim pasif, dan secara konsisten menggunakan kedua istilah tersebut dalam referensi-referensinya. Beliau mengemukakan teorinya bahwa asas hakim pasif tidak tidak berkaitan dengan kepasifan total atau

41 Modul Hukum Perdata Materiil Badan Diklat Kejaksaan. Lihat http://badiklat.kejaksaan.go.id/e-akademik/uploads/modul/b28f1a50d34f26a2982e5d09966800cd.pdf, diakses pada tanggal 18 Oktober 2020, pukul 21.25 WIB, h. 30.

42 A.T Hamid, 1986, Hukum Acara Perdata serta Susunan dan Kekuasaan Pengadilan, Bina Ilmu, Surabaya. hlm. 6

(39)

absolut dari hakim dalam memeriksa dan memutus perkara bagi para pihak, tetapi berkaitan dengan ruang lingkup arau luas pokok sengketa yang pasa asas nya ditentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan hakim.43

Sedangkan asas hakim aktif adalah asas yang harus ditegakkan oleh hakim dalam memeriksa dan memutus perkara perdata, karena hakim adalah pimpinan sidang yang harus berusaha menyelesaikan sengketa seefektifan dengan seadilnya mungkin serta mengatasi segala hambatan dan rintangan bagi para pencari keadilan dalam menjalankan peradilan yang fair. Pengejawatahan asas hakim aktif ini tercermin dalam beberapa ketentuan H.I.R. oleh karena itu, sistem H.I.R. dianggap menerapkan asas hakim aktif.

Sistem H.I.R. ini tentu berbeda dengan sistem R.v. secara tegas menganut asas hakim pasif. Peran hakim dalam persidangan menurut R.v. sangat terbatas. Akan tetapi, R.v. pada saat ini dianggap hanya sebagai pedoman belaka karena sudah tidak berlaku sebagaimana mestinya.

1. Pemahaman para praktisi mengenai asas hakim aktif dan pasif

Beberapa praktisi dan akademisi berpendapat bahwa ini keberadaan asas hakim pasif dan aktif tidaklah esensial. Pertanyaan mengenai asas mana yang lebih penting dalam hukum acara perdata tidak lagi menjadi persoalan.44 Secara normatif maupun empiris, kedua asas tersebut sama-sama diterapkan oleh hakim dalam menyelesaikan perkara perdata di pengadilan. Meskipun demikian, bukan berarti hubungan kedua asas tersebut komplementer: kedua duanya sama-sama fundamental karena memiliki fungsinya masing-masing.

Fungsi yang berada ini muncul karena hukum perdata sebagai hukum privat mengatur kepentingan antara induvidu mempunyai batasan yang sifat nya perseorangan (individual). Persoalan baru muncul ketika pihak yang mrasa dirugikan ingin kepentingan dan hak hukumnya terjamin. Oleh karena

43 Sudikno Mertokusumo, Op, Cit., hlm. 12-13

44 Focused Group Discussion (FGD) di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 11 September 2009.

(40)

itu, sangat logis jika hakim mencerminkan sikap pasif, baik pada saat menunggu datangnya perkara yang diajukan padanya maupun bersikap pasif dalam hal ini menentukan batasan tentang perkaranya (ruang lingkup perkara).45 Hanya pihak pencari keadilan (penggugat dalam gugatanya dan tergugat dalam jawabanya) yang mengetahui tujuan yang ingin mereka capai dalam penyelesaian perkara mereka.

Sejak perkara diserahkan kepada hakim sebagai pemutus perkara, maka hakim yang menjunjung nilai impartiality (ketidak berpihakan) dan kebijaksanaan sebagai seorang ahli dalam penyelesaian sengketa hukum, harus memastikan agar para pencari keadilan mampu menyelesaikan sengketa secara efektif dan mengakomodir lebih banyak hasrat keadilan bagi keduanya (audi et alteram partem). Disinilah hakim harus bersikap aktif. Jika para pihak sudah menyerahkan sengketa mereka pada hakim, mereka seharusnya menyadari bahwa hakim adalah orang yang paham hukum (ius curia novit) dan ia telah percaya untuk memutuskan sengketa antara keduanya.

2. Alasan masih Berlakunya Asas Hakim Pasif dalam Pemeriksaan Perkara Perdata di Pengadilan

Ada saat nya hakim wajib bersifat pasif, seperti telah di uraikan sebelumnya. Sebagaimana dijelaskan oleh L.J. vanApeldoorn,46alasan-alasan masih ditegakanya asas hakim pasif yang mengiringi kebenaran hakim pasif dalam hukum acara perdata adalah sebagai berikut:

a) Inisiatif untuk mengajukan perkara perdata selalu dilakukan oleh pihak yang berkepentingan dan tidak pernah dilakukan oleh hakim. Hal ini merupakan hal yang rasional, karena hukum acara perdata mengatur cara mempertahankan kepentingan partikelir dan hanya para pihaklah yang

45 Garda Siswadi dan Kunthoro Basuki, dalam focused group discusion (FGD), Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 11 September 2009

46

(41)

mengetahui apakah mereka menghendaki agar kepentingan khusus mereka perlu untuk dipertahankan atau tidak;

b) Sebelum hakim memberikan putusan –baik karena kesepakatan untuk menempuh jalan perdamaian (Pasal 130 H.I.R.) maupun alasana pencabutan gugatan lainya (Pasal 227 R.v.) – para pihak mempunyai kuasa untuk menghentikan acara yang telah mereka mulai;

c) Luas pertikaian yang diajukan kepada hakim bergantung para pihak. Dengan perkataan lain, hakim wajib menentukan apakah hal-hal yang diajukan dan dibuktikan oleh para pihak itu relevan dengan tuntutan mereka;

d) Jika para pihak seia sekata mengenai hal-hal tertentu dengan satu pihak mengakui kebenaran hal-hal yang diajukan oleh pihak yang lain, maka hakim tidak perlumenyelidiki lebih lanjut apakah hal-hal yang diajukan itu sungguh-sungguh benar. Ia harus menerima apa yang diterapkan oleh para pihak. Hal ini merupakan suatu hal pembeda antara hukum acara pidana. Dalam acara pidana, hakim tidak dapat begitu saja menerima kebenaran pengakuan terdakwa dan juga tidak boleh memberi putusan hanya berdasarkan pengakuan terdakwa yang tidak dikuatkan oleh hal-hal lain. Ini menginformasikan bahwa hukum acara perdata, hakim sangat terkait kepada alat-alat bukti yang diajukan oleh para pihak, sedangkan dalam hukum acara pidana, alat bukti saja tidak cukup namun juga harus dikuatkan dengan keyakinan hakim (beyond reasonable doubt);

e) Hakim perdata tidak boleh melakukan pemeriksaan atas kebenaran sumpah decisoir (sumpah yang memutus dan menentukan) yang telah dilakukan oleh salah satu pihak dengan maksud menggantungkan putusan pada sumpah tersebut. Jika sumpah itu telah dilakukan, maka hakim dalam sengketa perdata tidak boleh memeriksa apakah sumppah itu palsu atau tidak. Ia harus menerima hal-hal yang dilakukan atas sumpah sebagai sesuatu yang nyata.

(42)

3. Arti penting penerapan asas hakim aktif secara intensif dalam pemeriksaan perkara perdata.

Dalam penyelesaian perkara perdata di pengadilan, para pihak secara peraktis telah mempercayakan perkara mereka kepada hakim untuk diadili dan diberi putusan yang seadil-adilnya. Inilah alasan mengapa hakim haris bersikap aktif. Hakim bukan sekedar corong undang-undang (Ia boeche de la loi) yang hanya menerapkan peraturan hukum, melaikan pejabat negara yang tinggi pengetahuan, martabat, serta wibawanya dan menjadi tempat mengadu bagi para pencari keadilan (justitiabellen).

Teori klasik menyatakan bahwa acara perdata hanya mencari kebenaran formal (Formelewaarheid), sementara acara pidana mencari kebenaran material (Materielewaarheid), padahal dalam kenyataannya, teori ini tidak sepenuhnya benar. M. Yahya Harahap.47 Berusaha menjelaskan relevansi teori kebenaran formal ini dengan kenyataannya di lapangan (Law in practice). Menurut beliau, kebenaran formal yang dimaksud dalam hukum acara perdata ini muncul dikarenakan para pihak yang berperkaralah yan memikul beban pembuktian (burden of proof) mengenai kebenaran yang seutuhnya untuk diajukan di depan persidangan. Namun setelah hakim dalam persidangan menampung dan menerima segala kebenaran yang diajukan oleh para pihak tersebut, maka tugas hakim adalah menetapkan kebenaran tersebut berdasarkan pembuktian yang telah dilakukan dengan berlandaskan pada hukum yang berlaku (baik dalam arti sempit maupun luas) serta kesadaran dan cita hukum yang ia anut. Oleh karena itu, pengertian kebenaran formal jangan sampai ditafsirkan dan dimanipulasi sebagai bentuk kebenaran yang setengah-setengah atau kebenaran yang tak sungguh-sungguh. Tidak ada larangan bagi hakim perdata untuk mencari dan menemukan kebenaran hakiki (kebenaran

47

Referensi

Dokumen terkait

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian tesis tersebut adalah metode yang digunakan dalam penetian ini merupakan penelitian hukum normatif yang menjadikan

Skripsi yang berjudul Analisis dan Perancangan Sistem Informasi Akuntansi Terkomputerisasi pada Sistem Penjualan PT Dai Knife ini diajukan sebagai salah satu

Pengaruh komite audit, kepemilikan institusional, dewan komisaris, ukuran perusahaan Size, leverage DER dan profitabilitas ROA terhadap tindakan penghindaran pajak tax avoidance

• Untuk menjamin kesinambungan pelayanan, maka perlu ditetapkan kebijakan dan prosedur pemulangan pasien dan tindak lanjut maupun rujukan yang perlu dilakukan pada

Orang berkata, "Ia berhati lembut, ia lemah," tetapi banyak orang yang tidak tahu kekuatan apa yang muncul dari hati yang menjadi lembut dalam cinta. Seorang

Kanematsu Group, Jepang (pihak yang memiliki hubungan istimewa) untuk jasa promosi dan penjualan produk Perseroan ke luar negeri seperti benang tenun dan kain

Puji syukur saya panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga saya bisa berada pada titik ini dengan menyelesaikan skripsi

Untuk itu permasalahan hukum tersebut periu dikaji Iebih lanjut agar kedapannya tidak ada lagi pembedaan dalam menerapkan hukum terhadap suatu tindak pidana, tidak hanya terhadap