• Tidak ada hasil yang ditemukan

JOURNAL OF INDONESIAN ADAT LAW (JIAL)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "JOURNAL OF INDONESIAN ADAT LAW (JIAL)"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

JOURNAL OF INDONESIAN ADAT LAW (JIAL)

Volume 2 Nomor 1, April 2018

ISSN (Cetak) : 2581 - 0952

ISSN (Online) : 2581 - 2092

ASOSIASI PENGAJAR HUKUM ADAT

(APHA) INDONESIA

(3)

Journal of Indonesian Adat Law (JIAL)

JIAL adalah wadah informasi dan komunikasi keilmuan di bidang Hukum Adat yang berisi artikel ilmiah hasil penelitian dan gagasan konseptual dan kajian lain yang berkaitan dengan Ilmu Hukum Adat. Diterbitkan oleh Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia, terbit tiga kali dalam satu tahun, April, Agustus dan Desember.

Journal of Indonesian Adat Law (JIAL) Vol. 2 No. 1, April 2018

Published by :

Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia

Alamat : Fakultas Hukum Universitas Trisakti Kampus A Gedung H Lantai 6, Jl. Kyai Tapa No. 1 Grogol Jakarta Barat.

Telp. +62 878 8325 6166, +62 813 1667 2509 E-mai : apha.sekretariat@gmail.com

Edited & Distributed by :

Journal of Indonesian Adat Law (JIAL)

Alamat Redaksi : Jl. Haji Nawi Raya No. 10 B Jakarta, Indonesia Telp. +62-21-7201478

Website : http://jial.apha.or.id E-mai : jurnaljial.apha@gmail.com

Copyright 2018

Journal of Indonesian Adat Law (JIAL) ISSN (Cetak) : 2581 - 0952

(4)

TEAM EDITOR

Ketua Editor

M.Syamsudin (Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta)

Editor Pelaksana

Ni Nyoman Sukerti (Universitas Udayana Denpasar)

Nurul Miqat (Universitas Tadulako Palu)

M.Hazmi Wicaksono (Universitas Bina Nusantara, Jakarta)

Rosa Widyawan (Lembaga Studi Hukum Indonesia)

Dewan Editor

Jamal Wiwoho (Universitas Sebelas Maret, Surakarta)

Dominikus Rato (Universitas Negeri, Jember)

Sulistyowati Irianto (Universitas Indonesia, Jakarta)

Aminuddin Salle (Universitas Hasanudin, Makasar)

Wayan P. Windia (Universitas Udayana, Bali)

Catharina Dewi Wulansari (Universitas Katolik Parahyangan, Bandung)

Jeane Neltje Saly (Universitas Tarumanegara, Jakarta)

Sulastriyono (Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta)

Ade Saptomo (Universitas Pancasila, Jakarta)

MG Endang Sumiarni (Universitas Atmajaya, Yogyakarta)

St. Laksanto Utomo (Universitas Sahid Jakarta)

Asisten Editor

Irwan Kusmadi

Nelson Kapoyos

Admin

Arga Mahendra

(5)

DAFTAR ISI

Sikap Masyarakat Adat Bali terkait Putusan Pesamuhan Agung

III Majelis Utama Desa Pakraman Propinsi Bali Tahun 2010

(Studi di Kota Denpasar)

Ni Nyoman Sukerti & I G. A. A. Ari Krisnawati

1-15

Peran Serta Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Hutan

Konservasi melalui Pemberdayaan Masyarakat Berbasis pada

Kearifan Lokal (Studi Kasus di Taman Nasional Bali Barat)

Caritas Woro Murdiati Runggandini

16-40

Wakaf Tanah Ulayat sebagai Solusi Peralihan Hak Atas Tanah

Ulayat Secara Permanen di Sumatera Barat

Yulia Mirwati, Yontri Faisal, & Zahara

41-60

Pemaknaan Tanah Eks Swapraja (Kerajaan) sebagai Tanah Adat

di Kota Surakarta

IGA Gangga Santi Dewi

61-82

Peran Tokoh Adat dalam Membantu Penyelesaian Sengketa

Perbatasan Darat antara Indonesia dan Timor Leste di Wilayah

Enclave Oecussi

Dewa Gede Sudika Mangku

83-112

Hakikat dan Eksistensi Peradilan Adat di Sulawesi Selatan

Andika Prawira Buana

113-137

Sistem Perkawinan dan Pewarisan pada Masyarakat Hukum

Adat Rejang Provinsi Bengkulu

(6)

Journal of Indonesian Adat Law (JIAL)

ISSN (Cetak) : 2581 – 0952, ISSN (Online) : 2581 - 2092 www. jial.apha.or.id Volume 2 Nomor 1, April 2018. Hlm. 1-15

SIKAP MASYARAKAT ADAT BALI TERKAIT PUTUSAN

PESAMUHAN AGUNG III MAJELIS UTAMA DESA

PAKRAMAN PROPINSI BALI TAHUN 2010

(STUDI DI KOTA DENPASAR)

Ni Nyoman Sukerti* & I G. A. A. Ari Krisnawati**

* Fakultas Hukum, Universitas Udayana, Bali

Jl. Bali No.1 Denpasar,Telp/Fax: 0361222666/0361234888

E-mail: nyomansukerti10@yahoo.com

**Fakultas Hukum, Universitas Udayana, Bali

Jl. Bali No.1 Denpasar,Telp/Fax: 0361222666/0361234888

E-mail: ary_krislaw@yahoo.com

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji hukum adat waris Bali terkait kedudukan perempuan pasca diadakannya Pesamuhan Agung III Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Propinsi Bali tahun 2010. Permasalahannya adalah (1) Apakah makna dari putusan MUDP tahun 2010?; (2) Bagaimana sikap masyarakat hukum adat Bali terkait putusan MUDP tersebut?. Metode yang digunakan untuk mencapai tujuan penelitian ini adalah sociolegal-reseach, yang diawali dengan penelitian normatif, kemudian penelitian lapangan dengan metode wawancara. Data dianalisis secara deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa makna putusan Pesamuhan Agung III MUDP tahun 2010 mencerminkan makna kesetaraan gender dalam bidang hukum waris. Sikap masyarakat menunjukan ada yang tidak setuju dan setuju terhadap putusan MUDP. Yang tidak setuju memberikan alasan bahw putusan MUDP tidak adil memposisikan anak perempuan sebagai ahli waris, hukum adat mengatur ahli waris adalah keturunan laki-laki dan sentana rajeg, putusan MUDP tidak mencerminkan asas kesebandingan. Yang setuju memberi alasan bahwa putusan MUDP menempatkan anak perempuan dalam mewaris sudah tepat dan adil, berani mengikis hukum adat yang lama mengikat, merupakan terobosan yang luar biasa dan mencerminkan pengakuan hak anak perempuan dalam mewaris.

Kata-Kata Kunci: Sikap masyarakat; hukum adat waris Bali; Putusan MUDP tahun 2010.

(7)

Journal of Indonesian Adat Law (JIAL)Volume 2 Nomor 1, April 2017

- 2 - ABSTRACT

This study aims to assess the relevant customary law of inheritance Bali after holding the position of women The Great Congregation III The Main Assemblies Pakraman Village (MUDP) Bali Province in 2010. The problem: 1. What is the meaning of the decision MUDP in 2010 ?. 2. How public attitudes Balinese customary law related to the MUDP decision ?. The method used to achieve the objectives of this study are socio-legal research, beginning with normative research, and field research by interviewing methods, data analysis with qualitative method. The first problem, Result research shows that mean Court III MUDP The Assembly's decision in 2010 reflects the significance of gender equality in the field of inheritance law. The second problem, research shows disagree and agree. Who disagreed give reasons; MUDP verdict unfair position daughters as heirs, customary laws regulate heirs are descendants of men and sentana rajeg MUDP decision does not reflect the principle of proportionality. Who agreed to give reasons; MUDP decision puts girls in heir own right and fair, courageous erode the old customary law binding, is an extraordinary breakthrough and reflects the recognition of the right of girls to inherit.

Keywords: The attitude of society; customary law of Bali inheritance; Decision

MUDP 2010.

PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

Mengkaji tentang hukum adat tidak berarti hanya berurusan dengan masa lampau sehingga terkesan kuno atau ketinggalan jaman. Hukum adat sebagai hukum yang hidup mempunyai beberapa sifat salah satunya bersifat dinamis. Dinamis artinya mengikuti perkembangan masyarakatya dan kemajuan jaman. Dalam hukum adat secara umum dikenal tiga sistem kekeluargaan yaitu sistem kekeluargaan kebapaan (patrilineal), sistem kekeluargaan keibuan (matrilineal) dan sistem kekeluargaan keibu-bapaan (parental) (Bushar Muhammad, 2003:24-26). Masing-masing sistem kekeluargaan tersebut dianut oleh masyarakat adat yang berbeda juga yang masih dipertahankan hingga kini.

Masyarakat Bali Hindu secara umum menganut sistem kekeluargaan Patrilineal kecuali daerah Tenganan Pagringsingan, Karangasem. Masyarakat

(8)

Journal of Indonesian Adat Law (JIAL)Volume 2 Nomor 1, April 2017

- 3 -

Tenganan Pagrinsingan, Karangasem menganut sistem kekeluargaan parental. Pada masyarakat patrilineal garis keturunan dilacak dari garis ayah atau laki-laki. Dengan demikian anak laki-laki yang melanjutkan kewajiban orang tuannya baik kewajiban keluarga maupun kewajiban adat. Kewajiban keluarga berupa melanjutkan keturunan, memelihara orang tua dan melakukan upacara kematiannya serta menyembahnya sebagai leluhur. Sementara kewajiban adat adalah melakukan ayahan-ayahan di desa adat/pakraman. Kewajiban mana dibebankan kepada anak laki-laki maka konsekuensinya anak laki-laki yang menerima semua haknya. Seiringan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan kemajuan jaman dan peraturan perundang-undangan dapat berpengaruh terhadap paradigma masyarakat dan melakukan suatu terobosan terhadap produk hukum yang terkesan kaku dan sakral serta mengikat. Terobosan mana telah dilakukan oleh Majelis Utama Desa Pakraman (selanjutnya disingkat MUDP) Propinsi Bali melalui Pesamuhan Agung III tahun 2010, dalam hukum adat waris terkait kedudukan perempuan. Terobosan tersebut masih dalam tataran normatif akan tetapi dalam tataran empirik masih perlu dilakukan penelitian untuk mendapatkan jawabannya. Sehubungan dengan hal itu maka penelitian ini menjadi penting dilakukan.

PERMASALAHAN

Bertitik tolak atas latar belakang tersebut, dapat dirumuskan permasalahan hukum sebagai berikut: (1) Apa makna putusan Pesamuhan Agung III Majelis Utama Desa Pakraman Propinsi Bali Tahun 2010 terkait dengan kedudukan perempuan dalam hukum adat Bali?; (2) Bagaimana sikap masyarakat adat Bali terkait putusan Pesamuhan Agung III Majelis Desa Pakraman Propinsi Bali Tahun 2010 terkait dengan kedudukan perempuan dalam hukum adat Bali?

Pada permasalahan pertama yang dikaji mengenai makna dari putusan

Pesamuhan Agung III Majelis Utama Desa Pakraman Propinsi Bali tahun

2010 terkait dengan kedudukan perempuan dalam hukum adat Bali

khususnya dalam pewarisan. Pada permasalahan yang kedua akan dikaji

mengenai sikap masyarakat hukum adat Bali terkait putusan Pesamuhan

(9)

Journal of Indonesian Adat Law (JIAL)Volume 2 Nomor 1, April 2017

- 4 -

Agung III MUDP Propinsi Bali tahun 2010 dalam kaitan kedudukan

perempuan dalam hukum adat Bali. Sikap di sini menyangkut sikap setuju

atau tidak setuju terhadap substansi Pesamuhan Agung III MUDP Propinsi

Bali tahun 2010 tersebut. Masyarakat hukum adat Bali yang dimaksud

adalah entitas yang terdiri dari etnis Bali yang beragama Hindu yang tinggal

di Bali, yang bernaung dalam wadah Desa Pakraman.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis makna

dari Putusan Pesamuhan Agung III Majelis Utama Desa Pakraman Propinsi

Bali tahun 2010 terkait dengan kedudukan perempuan dalam hukum adat

Bali. Di samping itu, juga ingin mengetahui dan menganalisis sikap

masyarakat adat Bali terkait putusan Pesamuhan Agung III Majelis Desa

Pakraman Propinsi Bali Tahun 2010 terkait dengan kedudukan perempuan

dalam hukum adat Bali.

Kegunaan Penelitian

Sementara kegunaann dari penelitian ini, diharapkan dapat memberikan

kontribusi baik dalam aspek teoritis maupun praktis. Secara teoretis

diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan konsep, asumsi

maupun metode dalam khasanah studi hukum dan masyarakat, khususnya

dalam hukum keperdataan. Secara praktis, dapat sebagai informasi dalam

pembaharuan hukum di masa mendatang baik di tingkat daerah maupun

nasional. Perbaikan dan penyusunan peraturan perundang-undangan,

khususnya hukum keluarga dan hukum waris yang emansipatif dan

berkeadilan gender.

(10)

Journal of Indonesian Adat Law (JIAL)Volume 2 Nomor 1, April 2017

- 5 -

Metode Penelitian

Metode penelitian dalam penelitian hukum dikenal ada dua jenis yakni

penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris, yang masih

didikotomi secara tajam oleh beberapa penulis, yang sebenarnya hal tersebut

tidak perlu terjadi. Amiruddin mengelompokan penelitian hukum dalam dua

kelompok yaitu penelitian hukum normatif (doktrinal) dan penelitian hukum

yang sosiologis (sosio legal research) (Asikin, A.Z., 2008: 110). Terkait

dengan itu penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris di mana data

lapangan sebagai data primer. Penelitian ini tidak akan menguji hipotesis,

akan tetapi menggali informasi sebanyak mungkin terkait sikap masyarakat

adat Bali sehubungan terobosan yang dilakukan MUDP Propinsi Bali. Data

yang digali dan dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder atau data

kepustakaan. Data primer digali dengan wawancara, sementara data sekunder

diperoleh dari penelusuran dokumen-dokumen hukum. Teknik pengolahan

dan analisis datanya dilakukan secara kualitatif yang dilengkapi dengan

analisis situasional.

TINJAUAN PUSTAKA

Berbicara mengenai hukum adat umumnya dan hukum adat Bali khususnya maka tidak lepas dari hukum yang hidup (the living law). Hukum adat sebagai hukum yang hidup selalu berubah mengikuti perkembangan masyarakatnya. Fredirich Carl Von Savigny dalam Bernard L. Tanya, mengatakan bahwa hukum merupakan volkgeis (jiwa bangsa) (Tanya, B.L. Simanjuntak,Y.N. & Hage, M.Y., 2006: 85). Hukum sebagai jiwa bangsa dapat dikatakan mana kala bangsa mengalami perubahan atau perkembangan maka hukum juga ikut mengalami perkembangan. Demikian juga dengan hukum adat Bali, di mana masyarakat Bali sudah mengalami perkembangan yang sangat pesat dalam berbagai bidang kehidupan karena adanya perkembangan

(11)

Journal of Indonesian Adat Law (JIAL)Volume 2 Nomor 1, April 2017

- 6 -

ilmu pengetahuan, teknologi, kemajuan jaman yang sangat mempengaruhi paradigma berpikir masyarakat kearahan perubahan.

Dalam hukum adat Bali ditentukan dengan tegas bahwa anak perempuan tidak diperhitungkan dalam pewarisan, kecuali anak perempuan dalam posisinya sebagai sentana rajeg. Artinya anak perempuan yang diubah status hukumnya menjadi status hukum laki-laki dengan cara perkawinan nyeburin atau nyentana.

Bebicara tentang perempuan, di mana perempuan dapat dilihat dari beberapa perspektif yakni perempuan dalam kedudukannya sebagai anak, sebagai ibu dan juga sebagai istri. Dalam hubungannya dengan penelitian ini mengenai perempuan yang difokuskan dalam kedudukannya sebagai anak terkait dengan masalah pewarisan dalam masyarakat adat Bali.

Dalam hukum adat Bali (awig-awig) yang berdasarkan sistem kekeluargaan patrilineal yanng disebut sistem ”kepurusa” yang dapat dikatakan sebagai ahli waris adalah orang-orang dalam garis pokok keutamaan dan garis pokok pengganti yaitu para laki-laki dalam keluarga yang bersangkutan sepanjang tidak putus haknya sebagai ahli waris (Wayan P. Windia & Ketut Sudantra, 2006: 188). Mencermati definisi tersebut justru anak perempaun tidak disinggung sama sekali dalam pewarisan. Dalam awig-awig desa pakraman di Bali diatur bahwa secara tegas ditentukan anak laki-laki berkedudukan sebagai ahli waris. Hal itu diatur dalam awig-awig desa adat (pakraman) masing-masing.

Contoh awig-awig Desa Adat Nusamara, Mendoyo mengatur hal itu pada Pasal (pawos 53 palet 1) sebagai berikut: alhi waris luire: a. Preti sentana purusa, b. Preti sentana predana (sentana rajeg), c. Preti sentana paperasan lanang/istri (angkat sentana). Hal senada juga diatur dalam awig-awig Desa Pakraman Tonja, Denpasar. Walaupun diatur secara tegas dalam awig-awig bahwa anak perempuan tidak berkedudukan ahli waris bukan berarti anak anak perempuan tidak mendapatkan apa-apa. Anak perempuan mempunyai hak untuk menikmati harta kekayaan orang tuanya selama ia belum kawin atau ia tidak kawin selama hidupnya. Perempuan yang tidak kawin selama hidupnya disebut ”daha tua/bajang tua” atau perawan tua. V.E. Korn, mengatakan bahwa anak perempuan berhak mewaris

(12)

Journal of Indonesian Adat Law (JIAL)Volume 2 Nomor 1, April 2017

- 7 -

selama mereka berdiam menetap di rumah ayahnya dan hak itu akan hilang apabila mereka kawin dengan seseorang anggota keluarga lain (kawin keluar) (V.E. Korn, 1972: 15). Hal tersebut sesuai dengan pernyataan A.A. Oka Mahendra bahwa menurut hukum adat Bali anak wanita/perempuan dan janda bukan ahli waris (A.A. Oka Mahendra, et al, 1996: 44). Secara normatif anak perempuan tidak berkedudukan sebagai ahli waris namun secara empiris tidak sepenuhnya diikuti oleh masyarakat. Hal tersebut dapat diketahui dari putusan Pengadilan Negeri Singaraja No.30/Pdt.G/1993/PN.SGR tertanggal 9 Desmber 1993 yang berbunyi: ”bahwa anak perempuan yang merupakan satu-satu anak, menutup hak waris dari ahli waris lainnya”, putusan tersebut dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Denpasar dalam putusannya No.122/Pdt/1994/PT.Dps tertanggal 19 Desember 1994.

Mencermati putusan Pengadilan Tinggi Denpasar tersebut di mana ada masyarakat yang melakukan terobosan atas aturan hukum adat waris apa yang ditentukan secara normatif tidak sepenuhnya diikuti. Ini mencerminkan adanya perubahan dalam paradigma hakim sebagai penegak hukum dalam menerapkan hukum adat waris terkait dengan anak perempuan.

Terobosan yang paling anyar adalah yang dilakukan oleh lembaga adat yakni Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Propinsi Bali tahun 2010 melalui Pesamuhan Agung III dalam salah satu butir putusannya menyebutkan bahwa anak perempuan berkedudukan sebagai ahli waris bersama dengan anak laki-laki terbatas pada harta guna kaya (harta bersama ) orang tuanya.

Langkah yang dilakukan oleh MUDP tersebut baru berada dalam tataran normatif akan tetapi dalam tataram empiris dipandang perlu mencari tahu jawabannya tentang sikap masyarakat adat Bali terkait dengan hasil Pesamuhan Agung III MUDP tersebut. Sikap setuju dan tidak setuju dari warga masyarakat adat dengan adanya terobosan yang dilakukan oleh MUDP yang memposisikan anak perempuan berkedudukan sebagai ahli waris bersama-sama dengan anak laki-laki sehingga ia berhak atas harta guna kaya (harta bersama) orang tuanya.

(13)

Journal of Indonesian Adat Law (JIAL)Volume 2 Nomor 1, April 2017

- 8 - HASIL DAN PEMBAHASAN

Makna Putusan Pesamuhan Agung III Majelis Utama Desa Pakraman Propinsi Bali tahun 2010 Terkait dengan Kedudukan Perempuan dalam Hukum Adat Waris Bali.

Dalam pembahasan tentang makna dari putusan Pesamuhan Agung III MUDP Propinsi Bali tahun 2010 tanggal 10 Oktober dalam kaitan kedudukan perempuan dalam hukum adat Bali, dipandang perlu menguraikan terlebih dahulu tentang makna itu sendiri. Makna artinya arti atau maksud (Departemen Pendidikan Nasional, 2002: 703). Dalam kaitan makna yang berarti arti atau maksud maka hal itu apabila dihubungan putusan Pesamuhan Agung III MUDP Propinsi Bali tersebut, adalah terkandung makna atau arti kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam hukum waris Bali. Makna kesetaraan antara perempuan dan laki-laki adalah merupakan ideologi gender. Itu sesuai dengan apa yang diatur dalam Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Oleh karenanya, para perumus putusan Pesamuhan Agung III tersebut adalah orang-orang yang berjiwa feminis dan juga sudah responsif gender, sehingga menjabarkannya dalam salah satu butir putusannya. Terkait dengan ideologi gender ada beberapa prisip dasar yaitu: (1) Laki-laki dan perempuan sama-sama ciptaan Tuhan yang bebas dan mempunyai hak yang sama dalam kehidupan domestik maupun publik. Ini menghasilkan konsep kesetaraan gender; (2) Kesadaran dan pemahaman bahwa tubuh perempuan adalah milik perempuan (bukan kekuasaan laki-laki) dengan demikian segala penganbilan keputusan menyangkut tubuhnya ada di tangan perempuan. Ini menimbulkan konsep otonomi perempuan; (3) Setiap tindakan terhadap perempuan (tidak diingini) perempuan merupakan tindakan pemaksaan/kekerasan/ketidak adilan, hal mana patut mendapat perlawanan oleh perempuan (T.I.P. Astiti et. al., 2016:37).

(14)

Journal of Indonesian Adat Law (JIAL)Volume 2 Nomor 1, April 2017

- 9 -

Sementara di dalam hukum adat Bali justru sebaliknya yakni di mana

hukum itu sangat dpengaruhi oleh budaya dan ideologi patriarkhi. Ideologi

ini merupakan penghalang bagi perempuan dalam segala aspek kehidupan

sehingga menimbulkan hubungan atas bawah yakni superior laki-laki atas

perempuan. Ideologi patriarkhi secara umun suatu paradigma dimana

kekuasaan berada di tangan laki-laki. Ideologi inilah sangat kuat mengakar

dalam hukum adat. Ada beberapa hal yang merupakan ciri khasnya yaitu:

(1). Menempatkan laki-laki pada posisi superior terhadap perempuan; (2).

Laki-laki merupakan mahluk yang berkuasa atau menentukan; (3). Laki-laki

sebagai pengambil keputusan (T.I.P. Astiti, et.al., 2016: 38).

Mencermati beberapa hal prinsip di atas maka dapat diketahui secara

nyata dalam aturan hukum adat Bali. Dalam hukum waris secara tegas

ditentukan bahwa ahli waris adalah keturunan lak-laki. Hal itu diatur hampir

dalam setiap awig-awig yang merupakan hukum dalam kehidupan

masyarakat Bali Hindu. Awig-awig merupakan pedoman hidup dan menjalani

kehidupan dalam bermasyarakat.

Contoh beberapa awig-awig yang mengatur hal tersebut adalah

Awig-awig Desa Pakraman Tonja, Denpasar mengatur tentang ahli waris dalam

Pawos 53 yang berbunyi ahli waris luire: ha Pratisentana purusa, na

Pratisentana (sentana rejeg), ca Sentana peperasan lanang/wadon (artinya

ahli waris adalah anak laki-laki, sentana rejeg dan anak angkat). Hal yang

sama juga diatur dalam awig-awig Desa Pakraman Susut, Buahan, Payangan,

Gianyar pada Pawos 64. Demikian juga dalam awig-awig Desa Adat

Nusamara, Yeh Embang, Mendoyo, Jembrana yang diatur pada Pawos 53.

Itulah beberapa contoh awig-awig yang mengatur bahwa anak atau keturunan

laki-laki sebagai ahli waris. Ini mencerminkan bahwa hukum dibuat

berdasarkan kepentingan laki-laki, karena memang dalam pembuatannya

tidak melihat perempuan, sehingga hukum adat sangat seksis.

(15)

Journal of Indonesian Adat Law (JIAL)Volume 2 Nomor 1, April 2017

- 10 -

Anak perempuan ada kalanya berkedudukan ahli waris tetapi harus

memenuhi suatu persyaratan tertentu. Persyaratan yang dimaksudkan adalah

di mana perempuan itu berstatus “sentana rajeg”. Untuk dapat seorang

perempuan berstatus sentana rajeg adalah harus melakukan perkawinan

“nyeburin”. Perkawinan nyeburin ini tidak dapat dilakukan oleh setiap

perempuan Bali, melainkan hanya dapat dilakukan oleh perempuan yang anak

tunggal atau hanya mempunyai anak perempuan. Salah satu dari anak

perempuannya harus sebagai pelanjut keturunan dengan melakukan

perkawinan “nyeburin”. Dengan perkawinan nyeburin, perempuan yang

bersangkutan berstatus hukum laki-laki sehingga dapat sebagai ahli waris.

Perempuan yang demikian disebut “sentana rajeg”. Perempuan berstatus

hukum laki-laki sifatnya terbatas, dalam arti hanya dalam bidang

keperdataan, sementara dalam bidang lainnya tetap sebagai perempuan pada

umumnya. Perbuatan hukum menjadikan perempuan berstatus hukum

laki-laki dengan perkawinan nyentana adalah merupakan keunikan hukum adat

waris Bali.

Sikap Masyarakat Adat Bali tentang Putusan Pesamuhan Agung III MUDP Propinsi Bali tahun 2010 Terkait Kedudukan Perempuan dalam Hukum Adat Waris Bali

Pasal 1 angka 4 Perda No. 3 tahun 2003 tentang Desa Pakraman, mengatur bahwa Desa Pakraman adalah adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata karma pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga atau kahyangan desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Jadi desa pakraman bergerak di bidang social keagamaan. Sementara Majelis Utama Desa Pakraman adalah sebuah lembaga adat yang paling tinggi yakni yang berada di tingkat propinsi Bali.

(16)

Journal of Indonesian Adat Law (JIAL)Volume 2 Nomor 1, April 2017

- 11 -

Dalam penelitin ini, yang diteliti tentang putusan MUDP tahun 2010 dalam Pesamuhan Agung III.Yang menjadi fokus penelitian ini adalah sikap masyarakat hukum adat Bali terkait dengan adanya putusan MUDP 2010 dalam hubungannya dengan kedudukan perempuan dalam hukum adat waris.Dalam salah satu butir putusannya yakni pada angka 4 dirumuskan bahwa anak kandung (laki-laki atau perempuan) serta anak angkat laki-laki atau perempuan) berhak atas harta gunakaya orang tuannya, sesudah dikurang sepertiga sebagai duwe tengah (harta bersama), yang dikuasai (bukan dimiliki) oleh anak yang nguwubang (melanjutkan swadharma atau tanggung jawab) orang tuanya.

Mencermati salah satu butir putusan Pesamuhan Agung III MUDP tahun 2010 tersebut, jelas mencerminkan adanya kesetaraan kedudukan antara anak laki-laki dan perempuan dalam hukum waris. Setara dalam kedudukan sebagai ahli waris terhadap harta orang tuanya. Adanya pengakuan dalam hukum waris akan tetapi dalam hal besarnya hak dirumuskan tidak sama karena anak laki-laki dan anak perempuan tidak mempunyai kewajiban yang sama sehingga haknya juga tidak sama akan tetapi sama-sama mempunyai hak. Terkait dengan hal tersebut maka peneliti ingin menggali sikap masyarakat hukum adat Bali. Hasil penelitian menunjukan variasi, dalam arti ada yang mendukung putusan tersebut dan ada juga yang tidak mendukung dengan alasannya masing-masing dan hal tersebut adalah merupakan hal yang wajar. Apapun sesuatu yang baru sudah pasti akan mendapat reaksi yang beragam dari masyarakat, apalagi itu berkaitan dengan hak mewaris anak perempuan, yang selama bertahun-tahun dan bahkan sudah dianggap sebagai suatu yang wajar bahwa anak perempuan tidak berkedudukan sebagai ahli waris, lantas diterobos oleh MUDP melalui Pesamuhan Agung III. Sangat jelas menimbulkan reaksi pro dan kontra karena mengubah suatu tatanan yang demikian ajeg dalam kurun waktu yang lama.

Pendapat dari beberapa responden dan informan terkait putusan MUDP tersebut dapat dikelompokan menjadi dua yakni kelompok pertama yang sebagian besar dari responden yang menolak isi putusan MUDP tersebut dengan alasan sebagai berikut: (1) Putusan MUDP sangat tidak beralasan dan tidak adil

(17)

Journal of Indonesian Adat Law (JIAL)Volume 2 Nomor 1, April 2017

- 12 -

memposisikan anak perempuan sebagai ahli waris; (2) Putusan MUDP sangat bertentangan dengan aturan hukum adat yang dianut masyarakat Bali secara turum menurun; (3) Hukum adat Bali mengatur dengan tegas bahwa ahli waris adalah anak laki-laki dan sentana rajeg, karena anak perempuan setelah kawin tidak dapat melaksanakan kewajiban baik kewajiban keluarga maupun kewajiban adat di rumah asal (bajang) sebagai mana anak laki-laki; (4) Putusan MUDP tidak mencerminkan asas kesebandingan antara hak dan kewajiban karena kedua hal itu selalu berdampingan. Anak perempuan mendapat hak tetapi tidak melaksanakan kewajiban ini tidak pantas dan patut.

Kelompok kedua yang merupakan sebagian kecil dari responden adalah yang setuju dengan isi putusan MUDP tersebut dengan beberapa alasan sebagai berikut: (1) Putusan MUDP yang menempatkan anak perempuan dalam mewaris sudah tepat dan adil, karena berani mengkikis hukum adat (awig-awig) yang sudah lama mengikat, ini merupakan terobosan yang luar biasa; (2) Putusan MUDP sudah mencerminkan adanya pengakuan hak anak perempuan dalam mewaris, walaupun bagian haknya tidak sama dengan anak laki-laki. Putusan ini dapat terwujud apabila dimplementasikan dalam aturan awig-awig; (3) Putusan MUDP seharusnya mengatur bagian hak yang sama antara para ahli waris terhadap harta guna kaya (harta bersama), karena anak laki-laki mendapat hak lagi dari harta warisan lainnya.

Sikap masyarakat hukum adat Bali terkait putusan MUDP tentang kedudukan anak perempuan dalam hukum adat waris relevan dikaji dari Feminis Legal Theory dan Critical Legal Studies(FLT). Sikap kelompok pertama relevan dikaji dari Feminis Legal Theory sebagai mana dikutip Sulistyowati Irianto, memandang bahwa hukum itu bersifat phallocentris (didominasi laki-laki). Hukum merupakan tatanan kaum adam, yang meminggirkan kaum hawa. Faktual hukum dibangun dan dikonstruksi dalam logika laki-laki. Implikasinya laki-laki memperkokoh hubungan-hubungan sosio-yuridis yang patriarkhis. Hubungan yang didasarkan pada norma, pengalaman serta kekuasaan laki-laki. Dengan demikian pada derajat tertentu hukum telah menyumbang penindasan terhadap perempuan (Sulistyowati Irianto, 2000: 324). Sikap kelompok pertama sangat kental mempertahankan hukum adat yang

(18)

Journal of Indonesian Adat Law (JIAL)Volume 2 Nomor 1, April 2017

- 13 -

dibuat tempo dulu yang mencerminkan keberpihakan terhadap laki-laki, sehingga menyumpangkan penindasan terhadap kaum perempuan dalam hokum adat waris. Sementara sikap kelompok kedua relevan dikaji berdasarkan Critical Legal Studies (CLS), bertujuan untuk membongkar atau menjungkir-balikan (overturn) struktur-struktur hirarhis dalam masyarakat yang tercipta karena adanya dominasi. Menurut pandangan CLS atau Studi Hukum Kritis, hukum di dalam pembuatan, hingga pemberlakuannya selalu mengandung pemihakan-pemihakan (FX Adji Samekto, 2008: 91).

Dominasi yang dimaksudkan di sini dapat diasumsikan adalah dominasi laki-laki, sehingga melahiran produk hukum yang patriarkhis. Hukum adat waris Bali sangat jelas memposisikan anak laki-laki yang superior berlawanan dengan anak perempuan yang inferior. Hal yang demikialah yang mesti harus diperbaharui dengan merekonstruksi bukan mendekonstruksi hukum adat waris Bali sesuai dengan apa yang sudah dirumuskan oleh MUDP melalui PesamuhanAgung III tahun 2010.

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

Dari keseluruhan uraian atau paparan tersebut dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: (1) Makna dari putusan Pesamuhan Agung III MUDP Propinsi Bali tahun 2010 adalah mencerminkan makna kesetaraan antara anak laki-laki dan anak perempuan dalam hukum adat waris Bali. Hal tersebut sesuai dengan apa yang ditentukan dalam Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengaharusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional; (2) Sikap masyarakat hukum adat Bali terkait putusan Pesamuhan Agung III MUDP tahun 2010 dapat dikelompokan menjadi dua yaitu kelompok pertama yang kontra terhadap putusan MUDP dengan alasan bahwa putusan MUDP sangat tidak adil memposisikan anak perempuan sebagai ahli waris, bertentangan dengan aturan hukum adat yang dianut masyarakat Bali secara turum menurun, anak perempuan setelah kawin tidak melaksanakan kewajiban adat di rumah asal (bajang) sebagai mana anak laki-laki, tidak mencerminkan asas

(19)

Journal of Indonesian Adat Law (JIAL)Volume 2 Nomor 1, April 2017

- 14 -

kesebandingan antara hak dan kewajiban karena kedua hal itu selalu berdampingan. Sementara kelompok kedua yang setuju dengan isi putusan MUDP tersebut dengan alasan bahwa Putusan MUDP yang menempatkan anak perempuan dalam mewaris sudah tepat dan adil, karena berani mengikis hukum adat (awig-awig) yang sudah lama mengikat, ini merupakan terobosan yang luar biasa, sudah mencerminkan adanya pengakuan hak anak perempuan dalam mewaris.

Saran

Sehubungan dengan simpulan tersebut dapat direkomendasikan kepada para bendesa agar intensif mensosialisasikan putusan Pesamuhan Agung III MUDP Bali tersebut agar warga masyarakat adat lebih memahami maknanya dan melaksanakannya karena putusan tersebut sudah mencerminkan kesetaraan gender sesuai ketentuan Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengharusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Sementara bagi warga masyarakat adat yang masih kaku memaknai hukum adat hendaknya merubah paradigma kearah yang responsif gender agar kesetaraan gender dapat terwujud.

DAFTAR ACUAN

Amiruddin, Z. A. (2008). Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Astiti, T.I.P. et.al. (2016). Buku Ajar Gender Dalam Hukum, Bagian Hukum dan Masyarakat, Fakultas Hukum, Universitas Udayana.

Irianto, S. (2000) “Pendekatan Hukum Berspektif Perempuan” dalam Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita, Penyunting T.O Ihromi, Bandung: Alumni. Korn, V.E. (1972). Hukum Adat Waris di Bali (Het Adatrecht van Bali-Bab IX),

diterjemahkan serta diberi catatan-catatan oleh I Gde Wayan Pangkat, Fakultas Hukum & Pengetahuan Masyarakat, Universitas Udayana.

Mahendra, A.A.O. et al. (996). “Perkembangan Hukum Waris Janda dan Anak Perempuan dalam Masyarakat Bali”, Laporan Penelitian, Kerjasama FH. UNUD. dan BPHN.

Muhammad, B. (2003). Asas-Asas Hukum Adat Suatu Pengantar, Jakarta: PT Pradnya Paramita.

Samekto, F. X. A. (2008). Justice Not For All, Kritik Terhadap Hukum Modern Dalam Perspektif Studi Hukum Kritis, Yogyakarta: Genta Press.

Tanya, B.L., Simanjuntak, Y.N. & Hage, M.Y. 2006, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Surabaya: CV KITA.

(20)

Journal of Indonesian Adat Law (JIAL)Volume 2 Nomor 1, April 2017

- 15 -

Wignjodipuro, S. (1976). Pengatar dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta: Gunung Agung.

Windia , W. P. & Sudantra, K. (2006). Pengantar Hukum Adat Bali, Fakultas Hukum Universitas Udayana Lembaga Dokumentasi dan Publikasi.

Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor: 9 Tahun 2000, Tanggal 19 Desember 2000 tentang Pedoman Pengharusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional.

Peraturan Daerah Propinsi Bali No. 3 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2001 tentangDesa Pakraman, Biro Hukum dan HAM, Setda Propinsi Bali.

Majelis Utama Desa Pakraman (MDP) Bali, 2010, Himpunan Hasil-Hasil Pesamuan Agung III MDP Bali, Denpasar.

……, Awig-Awig Desa Adat Denpasar. ……, Awig-Awig Desa Adat Tonja, Denpasar.

……, Awig-Awig Desa Adat Susut, Payangan, Gianyar. ……, Awig-Awig Desa Adat Yehembang, Jembrana.

BIODATA PENULIS

Dr. Ni Nyoman Sukerti, S.H., M.H., Lahir di Gianyar 7 Agustus 1956, Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana Bali sejak tahun 1983, S1 tahun 1982 di Fakultas Hukum Universitas Udayana Bali, S2 tahun 2005 di Pascasarjana Universitas Udayana Bali, S3 tahun 2013 di Program Doktor Ilmu Hukum dipascasarjana Universitas Diponegoro Semarang. Pengampu Mata Kuliah (S1) Hukum Adat, Gender dalam Hukum, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Hukum & Kebudayaan, Hukum Adat Lanjutan, Kapita Selekta Hukum Adat, (S2) Psikologi Hukum, Gender dalam Hukum, Dinamika Hukum Adat, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (S3) Hukum Masyarakat dan Pembangunan. Karya ilmiah yang pernah diterbitkan: Hak Mewaris Perempuan dalam Hukum Adat Bali Sebuah Studi Kritis 2012 (Buku), beberapa artikel dalan jurnal Magister Hukum Udayana, Jurnal perempuan Srikandi dan sebuah artikel dalam jurnal internasional Indonesia Prime 2017.

I Gusti Ayu Agung Ari Krisnawati, S.H., M.H. Lahir di Denpasar 14 Agustus 1981. Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana Bali sejak tahun 2003. S1 tahun 2003 di Fakultas Hukum Universitas Udayana Bali, S2 tahun 2010 di Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya. Pengampu Mata Kuliah (S1) Hukum Acara Perdata, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Khusus dan Hukum Acara Peradilan Agama. Menulis beberapa artikel pada jurnal perempuan Srikandi, PSW, Universitas Udayana.

(21)

Journal of Indonesian Adat Law (JIAL)

ISSN (Cetak) : 2581 – 0952, ISSN (Online) : 2581 - 2092

(22)

Journal of Indonesian Adat Law (JIAL)Volume 2 Nomor 1, April 2017

Referensi

Dokumen terkait

PT JAKARTA INTERNATIONAL HOTELS & DEVELOPMENT Tbk DAN ENTITAS ANAK Catatan atas Laporan Keuangan Konsolidasian Untuk Tahun-tahun yang Berakhir. 31 Desember 2014

Analisis Pengaruh Kualitas Produk, Persepsi Harga dan Kualitas Layanan terhadap Keputusan Pembelian di Konveksi Liberte Apparel... Konsentrasi :

Berdasarkan Undang-Undang 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hudup Pasal 1 Ayat (2) pengertian AMDAL adalah kajian mengenai dampak

Faktor yang sangat penting untuk mencapai produktivitas kerja yang tinggi adalah pelaksanaan disiplin kerja dari para karyawan, karena hal tersebut merupakan salah

2. Pemerintah Daerah adalah Bupati dan Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Kecamatan adalah Wilayah kerja camat sebagai perangkat

Uraian ini menjadi suatu penilaian bagi suatu organisasi dalam menunjukkan kualitas layanan kepada setiap orang yang diberi pelayanan sesuai dengan bentuk-bentuk kepuasan

Kondisi ketenagakerjaan di Indonesia yang kurang baik sehingga memungkinkan banyak terjadinya permasalahan ketenagakerjaan. Berita dimedia massa yang terkadang tidak bersifat objektif

Hakim non palu selama 2 (dua) tahun dengan ketentuan tunjangan jabatan Terlapor sebagai Hakim tidak dibayarkan selama Terlapor menjalani hukuman disiplin tersebut.. MA