• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORITIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORITIS"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

11 A. Kajian Teori

1. Pembelajaran Matematika

Proses pembelajaran pada hakekatnya merupakan proses komunikasi antara guru dengan murid sehingga terjadi perubahan tingkah laku yang lebih baik. Muliyardi (2002: 5) mengungkapkan bahwa “Setelah belajar diharapkan akan terjadi perubahan diri pelajar, dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari yang tidak memahami menjadi paham, dari yang tidak mampu melakukan sesuatu menjadi dapat melakukan, dari tidak terampil menjadi terampil dan sebagainya”. Perubahan tingkah laku tersebut menyangkut perubahan yang bersifat pengetahuan, keterampilan, maupun nilai peserta didik. Slameto (2003: 2) mengemukakan bahwa “Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya”.

Perubahan tingkah laku pada peserta didik, dalam konteks pengajaran jelas merupakan produk dan usaha dari guru melalui kegiatan mengajar. Oleh karena itu, seorang guru harus dapat menggunakan teknik pembelajaran yang tepat agar tercipta suatu kegiatan mental yang tinggi meliputi proses aktif dalam diri peserta didik yang dilakukan dalam

(2)

kegiatan belajar untuk memperoleh pengetahuan baru dalam penyelesaian masalah matematika.

Menurut Suyitno (2004: 1) “Pembelajaran adalah upaya untuk menciptakan iklim dan pelayanan terhadap kemampuan, potensi, minat, bakat dan kebutuhan peserta didik yang beragam agar terjadi interaksi optimal antara guru dengan peserta didik serta peserta didik dengan peserta didik”. Sedangkan menurut Hamalik (2007: 57) ”Pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi mencapai tujuan pembelajaran”. Untuk mencapai suatu tujuan pembelajaran yang harus diperhatikan adalah bagaimana kesiapan peserta didik pada saat mengikuti pembelajaran dan bahan yang akan dipelajari.

Selain kegiatan belajar yang dilakukan oleh peserta didik, guru sebagai salah satu perancang proses, proses yang sengaja dirancang disebut proses pembelajaran. Peserta didik sebagai pelaksana kegiatan belajar dan matematika sebagai objek yang dipelajari. Dalam proses pembelajaran perlu dilakukan pembinaan terhadap peserta didik, agar peserta didik dapat mengerti bagaimana yang disebut belajar dalam matematika. Nikson dalam Muliyardi (2002: 3) mengemukakan bahwa “Pembelajaran matematika adalah upaya untuk membantu peserta didik mengkonstruksikan konsep-konsep atau prinsip-prinsip matematika dengan kemampuan sendiri melalui proses internalisasi sehingga prinsip atau konsep itu terbangun kembali”.

(3)

Jadi, dalam pembelajaran matematika sangat diperlukan peranan aktif peserta didik dalam membangun pengetahuannya sendiri, tetapi bukan berarti guru tidak mempunyai peran apapun dalam hal ini, peran guru membimbing dan memfasilitasi peserta didik dalam belajar, serta guru harus berupaya menumbuhkan minat dan mendorong keaktifan peserta didik dalam pembelajaran matematika. Upaya yang dapat dilakukan guru adalah dengan menggunakan teknik mengajar yang tepat.

Tujuan mata pelajaran matematika di sekolah menengah pertama (SMP) adalah agar peserta didik memiliki kemampuan:

1. Memahami konsep matematika , menjelaskan keterkaitan antar konsep, dan mengaplikasikan konsep secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah.

2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun buku atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.

3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi yang diperoleh.

4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.

5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari

(4)

matematika serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah (Wardhani,2008: 8).

2. Model Pembelajaran Kooperatif

Pembelajaran kooperatif adalah mengerjakan sesuatu secara bersama-sama dengan saling membantu satu sama lainnya sebagai satu kelompok atau satu tim. Slavin (1995) mengemukakan, Slavin (1995) “In cooperative learning method, students work togheterin four member teams

to master material initially presented by the teacher”. Dari uraian tersebut

dapat dikemukakan bahwa cooperative learning adalah suatu model pembelajaran dimana sistem belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil yang berjumlah 4-6 orang secara kolaboratif sehingga dapat merangsang peserta didik lebih bergairah dalam belajar. (Isjoni, 2010:15).

Pembelajaran kooperatif tidak sama dengan sekadar belajar dalam kelompok. Ada unsur-unsur dasar pembelajaran kooperatif yang membedakannya dengan pembagian kelompok yang dilakukan asal-asalan. Pelaksanaan prosedur model pembelajaran kooperatif dengan benar akan memungkinkan guru mengelola kelas lebih efektif. Model pembelajaran kooperatif akan dapat menumbuhkan pembelajaran efektif yaitu pembelajaran yang bercirikan: (1) memudahkan peserta didik belajar sesuatu yang bermanfaat seperti fakta, keterampilan, nilai, konsep, dan bagaimana hidup serasi dengan sesama, (2) pengetahuan, nilai dan keterampilan diakui oleh mereka yang berkompeten menilai.

(5)

Lie (2002 : 30 ), menyatakan untuk mencapai hasil yang maksimal, lima unsur dalam model pembelajaran kooperatif harus diterapkan. Lima unsur tersebut adalah:

a. Saling ketergantungan positif

Unsur ini menunjukkan bahwa dalam pembelajaran kooperatif ada dua pertanggung jawaban kelompok. Pertama, mempelajari bahan yang ditugaskan kepada kelompok. Kedua, menjamin semua anggota kelompok secara individu mempelajari bahan yang ditugaskan.

b. Tanggung jawab perseorangan

Tanggung jawab perseorangan adalah kunci untuk menjamin semua anggota yang diperkuat oleh kegiatan belajar bersama.

c. Tatap muka

Ciri-cirinya adalah saling membantu secara efektif dan efisien, saling memberikan informasi dan mengembangkan argumentasi serta meningkatkan kemampuan wawasan terhadap masalah yang dihadapi. d. Komunikasi antar anggota

Untuk mengkoordinasikan kegiatan peserta didik dalam mencapai tujun peserta harus mampu berkomunikasi secara akurat.

e. Evaluasi proses kelompok.

Melalui evaluasi proses kelompok dapat diidentifikasi dari urutan atau tahapan kegiatan kelompok dan anggota kelompok. Bertujuan untuk meningkatkan efektivitas dalam memberikan kontribusi terhadap kegiatan kolaboratif.

(6)

Terdapat 6 (enam) langkah dalam model pembelajaran kooperatif yaitu:

Tabel 2.1

Langkah-langkah model pembelajaran kooperatif

Langkah Indikator Kegiatan Guru

Langkah 1 Menyampaikan tujuan dan memotivasi peserta didik.

Guru menyampaikan tujuan

pembelajaran dan mengkomunikasikan kompetensi dasar yang akan dicapai serat memotivasi peserta didik.

Langkah 2 Menyajikan informasi. Guru menyajikan informasi kepada peserta didik.

Langkah 3 Mengorganisasikan peserta didik ke dalam kelompok-kelompok belajar. Guru menginformasikan pengelompokan peserta didik.

Langkah 4 Membimbing kelompok belajar.

Guru memotivasi serta memfasilitasi kerja siswa dalam kelompok-kelompok belajar.

Langkah 5 Evaluasi. Guru mengevaluasi

hasil belajar tentang materi pembelajaran

yang telah

dilaksanakan.

Langkah 6 Memberikan penghargaan. Guru memberi penghargaan hasil belajar individual dan kelompok.

3. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TAPPS

Strategi Pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) merupakan salah satu strategi pembelajaran berdasarkan masalah yang dilakukan secara kolaboratif terstruktur oleh beberapa orang peserta

(7)

didik. Strategi ini ditujukan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik dalam menyelesaikan suatu permasalahan kemudian diungkapkan kepada rekannya solusi terbaik dari permasalahan yang ada. Gagasan yang melatar belakangi strategi TAPPS adalah bahwa menyampaikan secara langsung dengan lisan solusi dari suatu proses pemecahan masalah membantu meningkatkan kemampuan peserta didik dalam berpikir analitis (Whimbey, 1987 : 23).

Dari pengertian di atas, maka Thinking Aloud Pair Problem Solving dapat dijabarkan atau diartikan secara terpisah yaitu teknik berfikir keras berpasangan (Thinking Aloud Pair), yaitu suatu strategi pembelajaran yang menekankan kepada peserta didik untuk berfikir sendiri dalam memahami konsep yang ada dengan melibatkan semua aspek yang ada. Problem solving adalah suatu ilmu dalam manajemen organisasi yang dipergunakan oleh para pemimpin dalam memecahkan permasalahan-permasalahan yang ada dalam organisasi yang dipimpinnya.

Dari penulusuran definisi tentang Thinking Aloud Pair dan Problem Solving di atas, dapat disimpulkan pengertian sederhana tentang TAPPS yaitu suatu metode pembelajaran yang berorientasi pada kemampuan berpikir konstruktivisme, dimana fokus pembelajaran tergantung masalah yang dipilih sehingga peserta didik tidak saja mempelajari konsep-konsep yang berhubungan dengan masalah tetapi juga metode ilmiah untuk memecahkan masalah tersebut.

(8)

Strategi pembelajaran ini merupakan salah satu strategi pembelajaran yang menekankan pada keaktifan peserta didik dalam menggunakan semua indera dan kemampuan berpikir untuk memahami konsep yang dipelajari. Pembelajaran ini diharapkan berpengaruh positif terhadap pola pikir kreatif siswa. Dalam pembelajaran ini siswa lebih banyak bekerja dan berpikir dari pada mendengarkan dan sekedar menerima informasi, sehingga konsep yang diperoleh dapat tertanam lebih kuat, dan akibatnya prestasi belajar yang dicapai oleh siswa menjadi lebih baik.

Warsono (2012:92), mengemukakan gambaran umum tahapan strategi TAPPS yaitu peserta didik dikelompokan berpasang-pasangan dan diberi satu rangkaian permasalahan yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari. Dua peserta didik tersebut diberi peranan yang berbeda satu sama lain pada setiap masalah: sebagai Pemecah masalah atau Problem Solver (PS) dan Pendengar atau Listener (L). Problem Solver (PS) membacakan masalah yang diamati dengan suara keras dan menyampaikan bagaimanakah solusi dari masalah tersebut. Listener (L) mendengarkan semua yang disampaikan oleh Problem Solver (PS) termaksud langkah-langkah solusi dari permasalahan tersebut dan menangkap semua kesalahan apapun yang terjadi. Agar pembelajaran ini berjalan lebih efektif maka Listener (L) harus mengerti apa yang melatar belakangi Problem Solver (PS) memaparkan langkah-langkah pemecahan masalah tersebut. Hal ini termasuk kegiatan bertanya kepada Problem Solver (PS)

(9)

jika yang diutarakan tidak jelas. Namun pertanyaan yang diajukan Listener tidak boleh merupakan panduan bagi Problem Solver untuk menjawab masalah yang diajukan guru.

Untuk pertanyaan berikutnya terjadilah pergantian peran, Problem Solver menjadi Listener dan sebaliknya. Demikian seterusnya sampai pertanyaannya habis atau waktu yang disediakan untuk pembelajaran habis, sedangkan variasinya dalam pembelajaran kooperatif, peserta didik dibagi dalam kelompok empat orang. Satu pasangan sebagai Problem Solver, pasangan yang lain sebagai Listener.

Tahapan strategi TAPPS dalam penelitian ini, peserta didik dibentuk menjadi kelompok-kelompok kecil yang sebagian berperan sebagai Problem Solver dan yang lainya menjadi Listener, dengan beberapa ketentuan antara lain:

a. Peserta didik bekerja dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4 orang peserta didik, untuk memecahkan suatu masalah. Masing-masing kelompok terdiri dari 2 pasang peserta didik.

b. Satu pasang peserta didik berperan sebagai Problem Solver (PS) dan pasangan peserta didik lainya berperan sebagai Listener (L).

c. Problem Solver menyampaikan secara lisan dengan jelas segala sesuatu dari hasil pemikirannya mengenai solusi dari masalah yang diberikan, Listener mendengarkan, memberikan dorongan dan usulan jika menemui pernyataan Problem Solver yang tidak sesuai atau tidak dimengerti.

(10)

d. Untuk permasalahan berikutnya peran-peran peserta didik tersebut ditukar.

Seorang guru yang menggunakan strategi TAPPS pada pembelajarannya haruslah terlebih dahulu memaparkan tujuan dan aturan dalam pembelajaran ini. Instruksi untuk sepasang Problem Solver dan Listener dapat diringkas antara lain sebagai berikut. Stice (dalam sherly,2014):

a. Problem Solver

1) Menyiapkan buku catatan, alat tulis, kalkulator dan segala sesuatu yang dibutuhkan dalam menjelaskan solusi dari permasalahan yang diberikan.

2) Memberitahukan kepada rekan yang menjadi L agar mempersiapkan sesuatu sebelum menjelaskan pemecahan masalah tersebut.

3) Membacakan masalah yang akan dijelaskan dengan cukup keras. 4) Memulai untuk memecahkan masalah yang diberikan, pada saat

menjelaskan solusi dari permasalahan tersebut, L hanya mendengarkan dan bereaksi hanya dengan apa yang dikatakan PS. Dan tidak boleh ada kerjasama antara PS dan L.

5) PS pertama kalinya pasti akan mengalami kesulitan dalam memilih kata. PS harus lebih berani dalam mengungkapkan segala hasil pemikirannya. Menganggap bahwa L tidak sedang mengevaluasi.

(11)

6) Tetap fokus kepada bagian dari permasalahan yang dihadapi PS. 7) Mencoba untuk tetap menyelesaikan masalah tersebut sekalipun

PS menganggap masalah tersebut sepele. Kebanyakan orang-orang tidak menyadari bahwa peningkatan terjadi ketika mereka melibatkan diri di dalam proses belajar itu sendiri. Ketika PS menyelesai pembahasan suatu masalah, rekamlah segala apapun hasil pemikiran dari apa yang dipelajari dalam proses pemecahan masalah tersebut.

b. Listener

1) Menentukan secepat mungkin apa yang akan ditanyakan dan tidak mengkritik.

2) Peran Listener adalah:

a) Menuntun PS untuk terus berbicara, tetapi jangan melakukan masukan ketika PS sedang berpikir.

b) Memastikan bahwa langkah dari solusi permasalahan yang diungkapkan oleh PS tidak ada yang salah, dan tidak ada langkah dari solusi tersebut yang hilang.

c) Membantu PS agar lebih teliti dalam mengungkapkan solusi permasalahannya.

d) Membantu merefleksikan proses mental dari PS yang berfungsi sebagai tindak lanjut dari pembelajaran ini.

e) Memastikan diri bahwa L mengerti tiap langkah dari solusi tersebut.

(12)

3) Jangan menolak apapun pernyataan dari PS dan mulailah untuk menyelesaikan masalah yang dimiliki L.

4) Jangan membiarkan PS melanjutkan pemaparannya, jika:

a) L tidak mengerti apa yang di paparkan oleh PS. Dengan mengatakan ”Saya tidak mengeti apa maksudmu”.

b) L berpikir suatu kekeliruan telah dibuat. Dengan mengatakan ”Apakah yang kamu katakan itu benar”.

c) Memberikan isyarat pada PS, jika PS melakukan kesalahan dalam proses berpikirnya atau dalam perhitungannya, tetapi jangan L memberikan jawaban yang benar.

Berdasarkan apa yang telah dipaparkan diatas dapat dipahami bahwa strategi Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) adalah strategi pembelajaran berdasarkan masalah yang bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari yang dialami oleh peserta didik. Pembelajaran ini dilaksanakan secara kelompok yang masing-masing kelompok terdiri dari 2 atau 4 orang yang terdiri dari Problem Solver (Pemecah masalah) dan Listener (Pendengar). PS membacakan masalah yang diamati dengan suara keras dan menyampaikan bagaimanakah solusi dari masalah tersebut. Listener mendengarkan semua yang disampaikan oleh PS termasuk langkah-langkah solusi dari permasalahan tersebut dan menangkap semua kesalahan apapun yang terjadi. Dengan berbagai aturan dari tiap peran tersebut.

(13)

Sedangkan menurut Elizabeth (2012:259) Langkah-langkah model TAPPS adalah:

1) Minta peserta didik membentuk pasangan dan jelaskan kepada mereka peran-peran penyelesai masalah dan mendengar. Peran penyelesai masalah adalah membacakan secara lisan dan mengutarakan proses penalaran digunakan dalam menyelesaikan masalah tersebut. Peran pendengar adalah mendorong penyelesai masalah untuk berpikir secara lisan, dan mengambarkan langkah-langkah penyelesaian masalah tersebut. Pendengar juga dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan klarifikasi dan menawarkan saran-saran, tetapi harus tetap menahan diri untuk menyelesaikan masalah.

2) Minta peserta didik menyelesaikan sejumlah masalah, saling berganti peran untuk setiap masalah.

3) Kegiatan akan dihentikan apabila peserta didik telah berhasil menyelesaikan seluruh masalah.

4. Model Pembelajaran PBL (Problem Based Learning)

Model pembelajaran PBL adalah model pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran peserta didik pada masalah autentik sehingga peserta didik dapat menyusun pengetahuannya sendiri, menumbuh kembangkan keterampilan yang lebih tinggi, dan memandirikan peserta didik dan meningkatkan kepercayaan diri sendiri.

PBL meliputi pengajuan pertanyaan atau masalah, memusatkan pada keterkaitan antar disiplin, penyelidikan autentik, dan kemampuan

(14)

pemecahan masalah.kerja sama dan menghasilkan karya serta peragaan. Pembelajaran berbasis masalah, antara lain bertujuan untuk membantu peserta didik mengembangkan keterampilan berpikir , dan kemampuan pemecahan masalah. Dalam PBL, perhatian pembelajaran tidak hanya pada perolehan pengatuhuan deklaratif, tetapi juga perolehan pengetahuan prosedural. Oleh karena itu, penilaian tidak hanya dengan tes. Penilaian dan evaluasi sesuai dengan model PBL adalah menilai pekerjaan yang dihasilkan oleh peserta didik sebagai hasil pekerjaan mereka dan mendiskusikan hasil pekerjaan secara bersama-sama. Penilaian proses dapat digunakan untuk menilai pekerjaan peserta didik tersebut.

Langkah-langkah PBL

a. Orientasi peserta didik pada masalah. Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan, memotivasi peserta didik agar terlibat pada aktivitas pemecahan masalah yang dipilih.

b. Mengorganisasi peserta didik untuk belajar. Guru membantu peserta didik mendefenisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.

c. Membimbing penyelidikan individual dan kelompok. Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalahnya.

(15)

d. Mengembangkan dan menyajikan hasil karya. Guru membantu peserta didik merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai, seperti laporan, video, dan model serta membantu berbagai tugas dengan temannya.

e. Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Guru membantu peserta didik melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan dan proses-proses yang mereka gunakan (Hosnan, 2014) Berdasarkan menurut Trianto (2014: 72), langkah-langkah PBL adalah dibawah ini:

(16)

Tabel 2.2 Langkah-langkah PBL

Langkah Indikator Kegiatan Guru

Langkah 1 Orientasi peserta didik pada masalah.

Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan, mengajukan fenomena atau demonstrasi atau cerita untuk memecahkan masalah, memotivasi peserta didik untuk terlibat dalam pemecahan masalah yang dipilih.

Langkah 2 Mengoorganisasi peserta didik untuk belajar.

Guru membantu peserta didik untuk mendefenisikan dan mengoorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut. Langkah 3 Membimbing

penyelidikan

individual maupun kelompok.

Guru mendorong peserta didik untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen, untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah. Langkah 4 Mengembangkan dan

menyajikan hasil karya.

Guru membantu peserta didik merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model serta membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya.

Langkah 5 Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah.

Guru membantu peserta didik untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan.

5. Pendekatan Saintifik/ Ilmiah (Sientific Approach)

Kurikulum 2013 mengamanatkan esensi pendekatan saintifik dalam pembelajaran. Pendekatan saintifik merupakan pembelajaran yang mengadopsi langkah-langkah saintis dalam membangun pengetahuan melalui metode ilmiah. Pembelajaran ini mendorong peserta didik agar

(17)

lebih mampu menerapkan langkah-langkah 5M yaitu mengamati, menanya, mencoba, mengasosiasi dan mengomunikasikan (Depdikbud, 2013:9). Masing-masing langkah ini dijelaskan sebagai berikut.

a. Mengamati

Kegiatan mengamati bertujuan agar pembelajaran berkaitan erat dengan konteks situasi nyata yang dihadapi dalam kehidupan. Proses mengamati fakta atau fenomena mencakup mencari informasi, melihat, mendengar, membaca dan/ atau menyimak (Depdikbud, 2013: 9). Peserta didik diberikan suatu fenomena atau fakta, lalu peserta didik diminta untuk mengamati fenomena atau fakta yang disajikan. Kegiatan mengamati membuat peserta didik merasa tertantang dan timbul rasa ingin tahu mengenai materi yang dipelajari.

b. Menanya

Setelah peserta didik mengamati fakta atau fenomena yang diberikan, selanjutnya guru mendorong dan mengarahkan peserta didik untuk menyusun pertanyaan berdasarkan fakta atau fenomena yang disajikan. Jika peserta didik belum mampu untuk memberikan pertanyaan maka guru boleh memancing peserta didik dengan pertanyaan sehingga mendorong peserta didik untuk berpikir dan menyusun suatu pertanyaan.

Kegiatan menanya dilakukan sebagai salah satu proses membangun pengetahuan siswa dalam bentuk konsep, prinsip, prosedur, hukum dan teori, hingga berpikir metakognitif. Tujuannya adalah agar siswa memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi (critical thinking skill) secara kritis,

(18)

logis, dan sistematis. (Depdikbud, 2013: 9). Kegiatan menanya yang dilakukan peserta didik disertai bimbingan guru diharapkan dapat mendorong mereka untuk membangun pengetahuannya sendiri dalam bentuk konsep, prinsip, prosedur, hukum dan teori.

Proses menanya dapat dilakukan melalui kegiatan diskusi dan kerja kelompok serta diskusi kelas. Praktik diskusi kelompok memberi ruang kebebasan mengemukakan ide / gagasan dengan bahasa sendiri.

c. Mencoba

Setelah peserta didik mampu menyusun pertanyaan langkah selanjutnya adalah mendorong peserta didik untuk menjawab sendiri pertanyaan tersebut. Kegiatan ini merupakan tahap mencoba. Kegiatan mencoba bertujuan untuk memperkuat pemahaman konsep, prinsip atau prosedur yang ada dalam materi pembelajaran, seperti yang dijelaskan dalam Depdikbud (2013: 10), bahwa:

Kegiatan mencoba bermanfaat untuk meningkatkan keingintahuan peserta didik untuk memperkuat pemahaman konsep dan prinsip/ prosedur dengan mengumpulkan data, mengembangkan kreatifitas dan keterampilan kerja ilmiah. Kegiatan ini mencakup merencanakan, merancang dan melaksanakan eksperimen, serta memperoleh, menyajikan dan mengolah data. Pemanfaatan sumber belajar termasuk mesin komputasi dan otomasi sangat disarankan dalam pembelajaran.

Pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang mengarahkan siswa untuk mencoba sendiri menemukan konsep, prinsip dan prosedur sehingga mereka dapat melatih mengembangkan kemampuan berpikir serta memperkuat pemahaman mereka terhadap materi yang dipelajari.

(19)

d. Mengasosiasi

Setelah peserta didik melakukan kegiatan mencoba dengan cara mengumpulkan data dan mengolah data selanjutnya peserta didik menganalisis data yang sudah diolah serta membuat kesimpulan. Dalam Permendikbud (2013: 10), dijelaskan bahwa:

Kegiatan mengasosiasi bertujuan untuk membangun kemampuan berpikir dan bersikap ilmiah. Data yang diperoleh dibuat klasifikasi, diolah dan ditemukan hubungan-hubungan yang spesifik. Kegiatan dapat dirancang oleh guru melalui situasi yang direkayasa dalam kegiatan tertentu sehingga siswa melakukan aktivitas antara lain menganalisis data, megelompokan, membuat kategori, menyimpulkan dan memprediksi/ mengestimasi dengan memanfaatkan lembar kerja diskusi atau praktis. Hasil kegiatan mencoba dan mengasosiasi memungkinkan siswa berpikir kritis tingkat tinggi (higher order thinking skills), hingga berpikir metakognitif.

Kegiatan mengasosiasi menuntut peserta didik membuat kesimpulan sendiri dari konsep, prinsip dan prosedur yang ada pada materi pelajaran yang sedang dipelajari. Kegiatan mengasosiasi ini juga melatih penalaran dan berpikir kritis peserta didik dalam menganalisis jawaban dari permasalahan atau persoalan yang diberikan serta membuat kesimpulan dari jawaban tersebut.

e. Mengomunikasikan

Dalam pembelajaran peserta didik tidak hanya dituntut bagaimana bisa memahami materi serta memecahkan permasalahan yang diberikan namun siswa juga harus mampu mengomunikasikan ide (gagasan) atau jawaban yang mereka miliki baik secara lisan maupun tulisan. Dalam permendikbud (2013: 10), dijelaskan bahwa:

Kegiatan mengomunikasikan adalah sarana untuk menyampaikan hasil konseptualisasi dalam bentuk lisan, tulisan, gambar atau sketsa, diagram

(20)

atau grafik. Kegiatan ini dilakukan agar siswa mampu mengomunikasikan pengetahuan, keterampilan dan penerapannya, serta kreasi peserta didik melalui presentasi, membuat laporan, dan/atau unjuk kerja.

Dalam pembelajaran matematika peserta didik harus menguasai kedua bentuk komunikasi tersebut. Peserta didik diharapkan mampu membuat dan mengerti dengan simbol matematika, membuat gambar dan grafik serta menyusun model matematika dari permasalahan matematika yang diberikan. Selain itu peserta didik juga diharapkan dapat mengomunikasikan ide tau gagasannya dalam bentuk lisan. Oleh karena itu, dalam pembelajaran matematika hendaknya guru memfasilitasi peserta didik untuk bekerja kelompok dan diskusi serta mempresentasikan jawabannya di depan teman-temannya sehingga peserta didik terlatih dalam komunikasi lisan.

6. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika

Masalah matematika berbeda dengan soal matematika. Suatu persoalan disebut masalah jika persoalan tersebut memuat unsur tidak dapat diselesaikan dengan prosedur rutin. Artinya, termuatnya unsur tidak dapat diselesaikan oleh prosedur rutin pada suatu persoalan yang diberikan pada peserta didik akan menentukan persoalan tersebut merupakan masalah atau bukan.

Suatu masalah matematika umumnya tidak dapat dipecahkan tanpa berpikir, dan banyak masalah memerlukan pemecahan yang baru bagi orang-orang atau kelompok. Sebaliknya, menghasilkan sesuatu

(21)

(benda-benda, gagasan-gagasan) yang baru bagi seseorang, menciptakan sesuatu, itu mencakup pemecahan masalah.

Menurut Hudojo (2003:149) syarat suatu masalah bagi seorang peserta didik yaitu:

a) Pertanyaan yang dihadapkan kepada seorang peserta didik haruslah dapat dimengerti oleh peserta didik tersebut, namun pertanyaan itu harus merupakan tantangan baginya untuk menjawabnya.

b) Pertanyaan tersebut tidak dapat dijawab dengan prosedur rutin yang telah diketahui peserta didik. Karena itu, faktor waktu untuk menyelesaikan masalah janganlah dipandang sebagai hal yang esensial.

Berdasarkan teori di atas, suatu masalah bagi peserta didik khususnya dalam pembelajaran matematika harus memenuhi syarat, yaitu: menantang untuk diselesaikan dan dapat dipahami peserta didik, tidak dapat diselesaikan dengan prosedur rutin yang telah dikuasai siswa, dan melibatkan ide-ide matematika. Suherman, dkk (2003:92) menyatakan bahwa suatu masalah biasanya memuat suatu situasi yang mendorong seseorang untuk menyelesaikannya akan tetapi tidak tahu secara langsung apa yang harus dikerjakan untuk menyelesaikannya.

Pemecahan masalah memiliki suatu kepentingan dalam studi matematika. Tujuan utama dari belajar dan mengajar matematika adalah untuk mengembangkan kemampuan menyelesaikan berbagai masalah matematika kompleks yang mendalam. Untuk memperoleh kemampuan dalam pemecahan masalah, seseorang harus memiliki banyak pengalaman. Pengalaman tersebut dapat dijadikan sebagai panduan bagi peserta didik dalam menggunakan pengetahuan serta keterampilan yang

(22)

sudah dimiliki untuk diterapkan pada pemecahan masalah yang tidak rutin. Pemecahan masalah adalah komponen penting untuk belajar matematika di masa sekarang. Oleh karena itu, sangat tepat bila dikatakan bahwa dalam kemampuan pemecahan masalah seseorang akan membantu keberhasilan orang tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Pemecahan masalah merupakan proses menerapkan pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya kedalam situasi baru yang belum dikenal. Untuk menjadi seorang pemecah masalah yang baik, peserta didik membutuhkan banyak kesempatan untuk menciptakan dan memecahkan masalah dalam bidang matematika dan dalam konteks kehidupan nyata. Menurut Sumarmo (2010:5), “pemecahan masalah adalah suatu pendekatan pembelajaran, yang digunakan untuk menemukan kembali (reinvention) dan memahami materi, konsep dan prinsip matematika”. Sedangkan pemecahan masalah menurut Dirjen Diklasmen No. 506/C/PP/2004 (Depdiknas, 2004) dalam Fadjar (2009:14) adalah komponen strategi yang ditunjukkan peserta didik dalam memahami, memilih berbagai pendekatan dan strategi pemecahan masalah, dan model untuk menyelesaikan masalah.

Wankat dan Oreovocz dalam Wena (2008:57) mengemukakan tahap-tahap strategi operasional dalam pemecahan masalah sebagai berikut:

a. Saya mampu (I can): tahap membangkitkan motivasi dan membangun/menumbuhkan keyakinan diri siswa.

(23)

b. Mendefinisikan (Define): membuat daftar hal yang diketahui dan tidak diketahui, menggunakan gambar grafis untuk memperjelas permasalahan.

c. Mengeksplorasi (Explore): merangsang siswa untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan membimbing untuk menganalisis dimensi-dimensi permasalahan yang dihadapi. d. Merencanakan (Plan): mengembangkan cara berpikir logis

siswa untuk menganalisis masalah dan menggunakan flowchart untuk menggambarkan permasalahan yang dihadapi.

e. Mengerjakan (Do it): membimbing siswa secara sistematis untuk memperkirakan jawaban yang mungkin untuk memecahkan masalah yang dihadapi.

f. Mengoreksi kembali (Check): membimbing siswa untuk mengecek kembali jawaban yang dibuat, mungkin ada beberapa kesalahan yang dilakukan.

g. Generalisasi (Generalize): membimbing siswa untuk mengajukan pertanyaan. Misalnya: apa yang telah saya pelajari dalam pokok bahasan ini?, bagaimanakah agar pemecahan masalah yang dilakukan bisa lebih efisien?. Dalam hal ini dorong siswa untuk melakukan umpan balik/refleksi dan mengoreksi kembali kesalahan yang mungkin ada.

Dalam kegiatan belajar matematika pada dasarnya peserta didik akan berhadapan dengan masalah-masalah dan bagaimana menyelesaikan masalah tersebut. Dengan mengaplikasikan tahap-tahap dalam pemecahan masalah di atas, kemampuan pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika menjadi lebih baik, sehingga mereka tidak canggung lagi jika berhadapan dengan permasalahan yang membutuhkan kemampuan berpikir tingkat tinggi.

Menurut Polya dalam Ruseffendi (1991:56) ada empat indikator untuk memecahkan suatu masalah, yaitu :

a. Memahami masalah, kegiatan yang dilakukan pada langkah ini adalah: apa (data) yang diketahui, apa yang tidak diketahui (ditanyakan), apakah informasi cukup, kondisi (syarat) apa yang harus

(24)

dipenuhi, menyatakan kembali masalah asli dalam bentuk yang lebih operasional (dapat dipecahkan).

b. Merencanakan pemecahannya, kegiatan yang dapat dilakukan pada langkah ini adalah: mencoba mencari atau mengingat masalah yang pernah diselesaikan yang memiliki kemiripan dengan masalah yang akan dipecahkan, mencari pola atau aturan, menyusun prosedur penyelesaian (membuat konjektur).

c. Menyelesaikan masalah sesuai rencana, kegiatan yang dapat dilakukan pada langkah ini adalah: menjalankan prosedur yang telah diibuat pada langkah sebelumnya untuk mendapatkan penyelesaian.

d. Memeriksa kembali prosedur dan hasil penyelesaian serta menafsirkan solusi, kegiatan yang dapat dilakukan pada langkah ini adalah: menganalisis dan mengevaluasi apakah prosedur yang diterapkan dan hasil yang diperoleh benar, apakah ada prosedur lain yang lebih efektif, apakah prosedur yang dibuat dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah yang sejenis, atau apakah prosedur dapat dibuat generalisasinya.

Indikator pemecahan masalah matematika juga dikemukakan oleh Sumarmo (2010:8) yaitu:

1) Mengidentifikasi unsur-unsur yang diketahui, yang ditanyakan, dan kecukupan unsur yang diperlukan. 2) Merumuskan masalah matematik atau menyusun model

matematik.

3) Menerapkan strategi untuk menyelesaikan barbagai masalah (sejenis dan masalah baru) dalam atau di luar matematika.

(25)

4) Menjelaskan atau menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan asal.

5) Menggunakan matematika secara bermakna.

Berdasarkan kutipan-kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa siswa dikatakan telah memiliki kemampuan pemecahan masalah yang baik apabila mereka telah mampu memenuhi indikator-indikator di atas dalam pembelajaran matematika. Pada penelitian ini, indikator kemampuan pemecahan masalah yang digunakan adalah indikator-indikator yang dikemukakan oleh Polya, yaitu :

a. Kemampuan memahami masalah

b. Kemampuan merencanakan penyelesaian masalah c. Kemampuan menyelesaikan masalah

d. Kemampuan memeriksa kembali dan menafsirkan solusi dipelajari. B. Penelitian yang Relevan

1. Penelitian Ahmad Faqihi dkk (2015) yang berjudul ”Eksperimentasi Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) dan Group Investigation (GI) pada Materi Peluang Ditinjau dari Kemandirian Belajar Peserta Didik ”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prestasi belajar peserta didik yang menggunakan model pembelajaran PBL dan GI lebih baik daripada menggunakan pembelajaran biasa.

Penelitian yang peneliti lakukan adalah untuk melihat perbandingan kemampuan pemecahan masalah matematika yang diajarkan mengunakan model pembelajaran TAPPS dengan pembelajaran PBL peserta didik kelas IX MTs Negeri 5 Padang Pariaman”.

(26)

2. Penelitian Umi Fadillah dkk (2015) yang berjudul “Eksperimentasi Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) dan Discovery Learning (DL) dengan Pendekatan Saintifik pada Materi Segiempat Ditinjau dari Kecemasan Belajar Matematika Peserta Didik SMP Negeri Kelas VII di Kabupaten Banyumas Tahun Pelajaran 2014/2015 ”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prestasi belajar peserta didik yang menggunakan model pembelajaran PBL dan DL lebih baik daripada menggunakan pembelajaran biasa.

Perbedaannya terletak pada variabel bebas dan variabel terikat. Di penelitian Umi Fadillah dkk melihat dari prestasi belajar peserta didik meningkat apabila tingkat kecemasan belajar rendah sedangkan peneliti melihat kemampuan pemecahan masalah peserta didik tetapi diuji dengan menggunakan dua metode yaitu TAPPS dan PBL.

3. Penelitian Robiah Astuti dkk (2014) yang berjudul “Eksperimentasi Model Pembelajaran Tipe TAPPS dan TSTS Terhadap Kemampuan Menyelesaikan Soal Cerita Matematika Ditinjau dari Tipe Kepribadian ”. Hasil penelitian ini adalah bahwa TAPPS dan TSTS memberikan kemampuan menyelesaikan soal matematika lebih baik dari pembelajaran biasa.

Perbedaannya terletak pada variabel terikat dan bebas. Di penelitian Robiah Astuti dkk menerapkan metode TAPPS dan TSTS untuk meningkatkan kemampuan menyelesaikan soal cerita peserta didik dari segi kepribadian sedangkan peneliti melihat peningkatan kemampuan

(27)

pemecahan masalah peserta dengan membandingkan dua metode yaitu TAPPS dan PBL.

4. Penelitian Maghfirah Yarnuati dkk (2014) yang berjudul “Eksperimentasi Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share (TPS) dan Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) Pada Materi Bangun Ruang Sisi Datar Ditinjau dari Sikap Percaya Diri Peserta Didik SMP N Kabupaten Sukoharjo”. Hasil penelitian ini adalah bahwa prestasi belajar matematika peserta didik dengan menerapkan strategi TPS dan TAPPS lebih baik dari pembelajaran biasa.

Perbedaannya terletak pada variabel terikat dan bebas. Pada penelitian di atas menerapkan metode TPS dan TAPPS untuk meningkatkan prestasi belajar peserta didik sedangkan peneliti melihat peningkatan kemampuan pemecahan masalah peserta didik dengan membandingkan dua metode yaitu TAPPS dan PBL.

5. Penelitian Aulia Ar Rahman dkk (2015) yang berjudul “Eksperimentasi Model Problem Based Learning, Thinking Aloud Pair Problem Solving dan Group Investigation dengan Pendekatan Saintifik Ditinjau dari Konsep Diri dan Kreativitas Belajar Peserta Didik Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Peserta Didik SMP”. Hasil penelitian ini adalah bahwa pemahaman masalah matematika peserta didik dengan menerapkan strategi PBL dan TAPPS lebih baik dari GI.

Perbedaannya adalah penelitian di atas menerapkan model PBL dan TAPPS untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah peserta didik

(28)

yang dibandingkan dengan GI sedangkan peneliti melihat peningkatan kemampuan pemecahan masalah peserta didik dengan membandingkan metode TAPPS dan PBL dengan model pembelajaran biasa.

C. Kerangka Konseptual

Dalam pembelajaran matematika banyak faktor yang mempengaruhi pemahaman dan hasil belajar peserta didik. Faktor-faktor yang menyebabkan kurangnya pemahaman peserta didik terhadap materi yang diajarkan dapat dikategorikan kepada dua faktor, yaitu faktor dari dalam diri peserta didik dan faktor yang berasal dari luar diri peserta didik. Diantara faktor yang berasal dari luar diri peserta didik adalah situasi pada saat berlangsungnya proses pembelajaran, salah satunya adalah penggunaan model pembelajaran yang kurang bervariasi.

Dengan menggunakan model Kooperatif tipe TAPPS dan PBL dapat meningkat pemahaman peserta didik dalam menyelesaikan masalah dalam pembelajaran matematika. Sebab peserta didik diberikan materi oleh guru dan mereka diberi kesempatan untuk memahami materi dan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari dengan kelompok ahli dan menerangkannya kembali di kelompok asal. Diharapkan penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe TAPPS dan PBL terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika lebih baik dari penggunaan model pembelajaran biasa.

(29)

Gambar 2.1 Alur Pembelajaran D. Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap masalah penelitian yang kebenarannya masih harus diuji secara empiris ( Suryabrata, 2008: 21). Hipotesis pada penelitian ini adalah:

1. Kemampuan pemecahan masalah peserta didik yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Thinking Aloud Pair Problem Solving lebih tinggi daripada kemampuan pemecahan masalah matematika peserta didik menggunakan model pembelajaran biasa.

2. Kemampuan pemecahan masalah matematis peserta didik yang menggunakan model pembelajaran Problem Based Learning lebih tinggi

Tujuan pembelajaran Siswa PBM Guru Kelas eksperimen 2 Kelas kontrol Kelas eksperimen 1 Pendekatan saintifik PBL+ pendekatan saintifik TAPPS + pendekatan saintifik kemampuan pemecahan masalah

(30)

daripada pemecahan masalah matematika peserta didik menggunakan model pembelajaran biasa.

3. Terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematika peserta didik yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Thinking Aloud Pair Problem Solver dengan tipe Problem Based Learning.

Gambar

Tabel 2.2 Langkah-langkah PBL Langkah Indikator Kegiatan Guru Langkah 1 Orientasi peserta didik
Gambar 2.1 Alur Pembelajaran D. Hipotesis Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Reksohadiprodjo (1985) dalam Hardianto (2009) menyatakan bahwa salah satu kategori kelompok tindak kriminalitas dalam masyarakat adalah kejahatan terhadap hak

untuk memperoleh gambaran kemampuan siswa menulis karangan narasi dengan menggunakan model pembelajaran konvensional pada siswa XI SMK Negeri 1 Lintongnihuta

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kondisi keuangan perusahaan, pertumbuhan perusahaan, dan debt default terhadap penerimaan opini audit going concern pada

• Namun record dari file lama tersebut hanya terbatas pada record yang tidak sama dengan data yang akan dihapus.. • Sedangkan record yang sama dengan data yang akan dihapus

Hidup di zaman yang berteknologi maju dan diasuh dengan cara tersebut membuat generasi ini memiliki ekspektasi tinggi, menuntut mendapat jawaban secara instan,

Dari penuturan informan di atas, bisa disimpulkan mereka memiliki kamera DSLR dan mempelajari fotografi adalah karena adanya motif untuk berkembang, mendapatkan

POLA KONSUMSI PEKERJA COMMUTER DENGAN JARAK TEMPUH >20 KM Berdasarkan diagram diatas, dapat diketahui bahwa penduduk yang melakukan perjalanan dengan jarak tempuh

Pengolahan data yang dilakukan adalah melakukan peramalan permintaan karet setengah masak 12 periode kedepan dengan menggunakan metode eksponensial, metode linier, metode