• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. TINJAUAN PUSTAKA. Asal dan Keanekaragaman Kelapa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "I. TINJAUAN PUSTAKA. Asal dan Keanekaragaman Kelapa"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

I. TINJAUAN PUSTAKA

Asal dan Keanekaragaman Kelapa

Tanaman kelapa termasuk genus Cocos yang hanya memiliki satu spesies yaitu Cocos nucifera L, tetapi memiliki fenotipik yang sangat beragam.

Keanekaragaman tanaman ini terutama pada sifat kecepatan berbunga pertama, warna buah, bentuk dan ukuran buah, jumlah buah per tandan, tinggi batang hasil dan kualitas kopra.

Daerah asal tanaman kelapa belum diketahui secara pasti. Namun dari informasi etnobotani dan fakta, tingginya keanekagaman genetik kelapa yang ada di wilayah Asia- Tenggara termasuk wilayah Indo-Malaya yang meliputi Malaysia dan Indonesia diduga sebagai pusat asal dan sumber keanekaragaman genetik kelapa di dunia. Beberapa alasan bahwa daerah Asia-Melanesia sebagai pusat asal kelapa adalah 1) adanya penemuan fosil buah spesies dari Cocos di Plelocence North Auckland, New Zealand, 2) ditemukan fosil buah kelapa di dalam aspal di Buton, Sulawesi Tenggara, 3) nama-nama lokal dan prosesing untuk kelapa lebih banyak jenisnya di Asia, 4) adanya hewan-hewan pemakan kelapa seperti Birgus letro di Melanesia dan 5) variasi genetik kelapa lebih besar di Asia. Teori ini sejalan dengan adanya pusat asal (origin centre) tumbuhan di bumi yang dikemukakan oleh botanis Rusia Vavilov (1949), yaitu terdapat 8 sentra asal-usul tanaman, dan Indo-Malaya merupakan salah satu sentra asal tanaman yang mencakup pisang (Musa spp.), kelapa (Cocos nucifera), tebu (Saccharum offinarum), yam (Dioscorea spp.) dan jeruk (Citrus maxima).

Penyebaran kelapa mencakup daerah yang sangat luas. Luasnya penyebaran kelapa kemungkinan disebabkan oleh penggunaan kelapa yang telah lama memasyarakat, struktur buah yang memungkinkan dapat tahan selama transportasi dalam jangka waktu yang agak lama, ketahanannya pada berbagai kondisi, serta daya adaptasinya yang besar pada berbagai kondisi lingkungan.

Penyebaran yang paling cepat dan luas adalah melalui campur tangan manusia, melalui perpindahan penduduk dari satu tempat ke tempat lain atau pelayaran antar pulau atau benua untuk tujuan perdagangan dan ekspedisi. Pola

(2)

migrasi dapat berbentuk (1) migrasi satu arah (one-way migration) yaitu migrasi yang terjadi satu arah dari populasi daratan yang besar dengan genotipe tertentu ke sebuah populasi pulau yang frekuensi genotipenya bervariasi, (2) migrasi simetrik (simetric migration) yaitu dua populasi berubah dengan frekwensi persentase yang sama dari migran setiap ge nerasi (Servedio & Kirkpatrick 1997). Migrasi suatu individu atau populasi tanaman dari satu benua ke benua lain atau dari satu tempat ke tempat lain, yang diikuti oleh terjadinya isolasi geografi dan hibridisasi menyebabkan terjadinya aliran gen (gene flow). Aliran gen antar populasi tanaman akan menimbulkan konsekuensi evolusi yang nyata dan dapat menyebabkan meningkatnya keanekaragaman karakter genetik, dapat menimbulkan kombinasi gen baru, dan memindahkan kemampuan beradaptasi di suatu tempat dari suatu populasi ke populasi lainnya (Nagy 1997).

Penyebaran kelapa ini berawal dari Asia ke arah Timur menuju Pasifik dan Amerika, serta ke Barat menuju Afrika (Perera et al. 2000; Teulat et al. 2000). Hasil penelitian menggunakan RFLP membuktikan bahwa kelapa bergerak dari Asia Tenggara menuju Pasifik dan pantai barat Amerika (Lebrun et al. 1998).

Keanekaragaman fenotipe kelapa yang besar disebabkan oleh bunga tanaman yang bertipe monocious yaitu disetiap pohon menghasilkan bunga betina dan jantan yang terpisah dalam satu tandan bunga yang sama. Bunga jantan terdapat pada bagian ujung dan bunga betina pada bagian pangkal tandan bunga. Masa antesis bunga jantan dan masa reseptif bunga betina pada kelapa Dalam tidak bersamaan sehingga lebih cenderung bersifat kawin silang. Pada tipe Genjah terdapat masa tumpang tindih antara masa reseptif bunga betina dan antesis bunga jantan sehingga tipe Genjah lebih cenderung kawin sendiri. Selain itu antar populasi kelapa dan antar pohon dalam satu populasi kelapa terdapat perbedaan waktu awal dan lamanya periode antesis bunga jantan dan reseptif bunga betinanya.

Perbedaan letak dan periode reseptif bunga betina dan antesis bunga jantan menyebabkan tanaman kelapa memiliki empat kemungkinan tipe penyerbukan yaitu (1) tipe menyerbuk silang (Strict allogami) dengan ciri tidak ada tumpang tindih antara periode reseptif bunga betina dan antesis bunga jantan, baik dalam tandan yang sama maupun dalam tandan pohon kelapa yang sama, (2) Tipe

(3)

menyerbuk sendiri tidak langsung (Indirect autogami) dengan ciri periode reseptif bunga betina pendek sehingga tidak ada tumpang tindih periode reseptif bunga betina dan antesis bunga jantan dalam tandan yang sama, tetapi terjadi tumpang tindih periode reseptif bunga betina dan antesis bunga jantan pada tandan berikutnya, (3) Tipe menyerbuk sendiri (Direct autogami) dengan ciri periode reseptif bunga betina dan antesis bunga jantan tumpang tindih dalam tandan yang sama, dan (4) Tipe menyerbuk sendiri semi tidaklangsung (Semi indirect autogami) denga n ciri periode masak bunga betina pendek, terjadi tumpang tindih periode masak bunga betina dan jantan dalam tandan yang sama, maupun dalam tandan bunga berikutnya (Sangare et al. 1978).

Berdasarkan kecepatan berbunga pertama, tanaman kelapa digolongkan atas 2 tipe yaitu kelapa tipe Dalam dan tipe Genjah. Kelapa tipe Dalam umumnya memiliki batang yang tinggi, sekitar >15 meter dan bagian pangkal membengkak (disebut bole), mahkota daun terbuka penuh berkisar 30 - 40 daun, panjang daun berkisar 5 - 7 meter, berbunga pertama lambat berkisar 7 - 10 tahun setelah tanam, buah masak sekitar 12 bulan setelah penterbukan, umur tanaman dapat mencapai 80 - 90 tahun, lebih toleran terhadap macam- macam jenis tanah dan kondisi iklim, kualitas kopra dan minyak, serta sabut umumnya baik, pada umumnya menyerbuk silang (Menon & Pandalai 1958; Child 1974; Fremond et al. 1966; Foale 1992; Rompas et al. 1988; Santos et al. 1996).

Kelapa tipe Genjah pada umumnya memiliki batang pendek berkisar 12 meter dan agak kecil, tidak memiliki bole, panjang daun berkisar 3 - 4 meter, berbunga pertama cepat berkisar 3 - 4 tahun setelah tanam, buah masak berkisar 11-12 bulan sesudah penyerbukan, umur tanaman dapat mencapai 35 - 40 tahun, kualitas kopra dan minyak serta sabut kurang baik (Rompas et al. 1988), umumnya menyerbuk sendiri (Foale 1992).

Kelapa Dalam dapat dibagi lagi dalam tiga kelompok yaitu (1) kelompok typical yang memiliki ciri menyerbuk silang, pembungaan lambat, bunga normal, dan ukuran buah beragam dari sedang sampai besar, (2) kelompok spicata memiliki ciri menyerbuk silang, pembungaan lambat dan ukuran buah sedang, (3) kelompok androgena dengan ciri pembungaan lambat dan hanya memiliki bunga jantan (Santos 1983).

(4)

Kelapa Genjah dapat dibedakan atas 2 kelompok yaitu (1) kelompok Nana dengan ciri menyerbuk sendiri, pembungaan cepat, dan ukuran buah kecil, dan (2) kelompok Jamaica dengan ciri menyerbuk sendiri, pembungaan cepat, dan ukuran buah sedang (Santos 1983).

Selain tipe kelapa Dalam dan Genjah, beberapa jenis kelapa yang dianggap unik adalah (1) kelapa Hibrida, adalah jenis kelapa hasil persilangan antara tipe kelapa Genjah dan kelapa Dalam dengan sifat lebih unggul dari kedua tetuanya, (2) kelapa Kopyor (Genjah maupun Dalam), adalah jenis kelapa yang mengalami kelainan pada endospermanya (daging buahnya sangat lunak dan mudah lepas dari tempurungnya) sehingga perbanyakannya harus melalui kultur embrio, (3) kelapa Kenari, mempunyai struktur daging buah berbeda dari kelapa normal, rasanya sangat renyah sehingga sangat cocok untuk dikonsumsi sebagai kelapa muda atau campuran fruit cocktail, (4) kelapa Sabut Merah, terdapat warna merah muda (pink) pada daerah basal (pangkal buah), (5) kelapa Bercabang, anakan muncul dari pangkal batang pohon pertama, (6) kelapa yang memiliki lembaga lebih dari satu (Novarianto & Miftahorrachman 2000).

Tingginya keanekaragaman tanaman kelapa ini merupakan materi dasar yang dapat digunakan dalam program pemuliaan kelapa, oleh sebab itu pelestarian plasmanutfah kelapa adalah faktor yang sangat penting agar tidak terjadi erosi genetik atau hilangnya sumber gen potensial. Penyebab terjadinya erosi genetik kelapa di Indonesia diakibatkan oleh berbagai faktor antara lain pengalihan fungsi lahan kebun kelapa menjadi perumahan, pemakaian kelapa hibrida, penggantian tanaman kelapa dengan komoditas lain yang dianggap lebih bernilai ekonomi tinggi, organisasi dibidang konservasi genetik kelapa belum baik, dan pemulia kelapa masih sangat sedikit.

Pemuliaan Tanaman Kelapa di Indonesia

Untuk berbagai tanaman seperti kelapa kegiatan pemuliaan merupakan proses yang sangat lama dan mahal. Pengujian satu keturunan tunggal membutuhkan minimal 70 pohon atau membutuhkan lahan setara 0.5 Ha untuk masa penelitian minimal selama 10 tahun setelah tanam. Selain itu jumlah zuriat yang bisa diperoleh dari satu tetua betina dalam setahun sangat rendah (Santos et

(5)

al. 1996). Pada kondisi ini diperlukan metode yang dapat meningkatkan efisiensi untuk pemuliaan tanaman kelapa.

Karakterisasi dan evaluasi standar suatu aksesi secara rutin dapat dilakukan dengan berbagai metode termasuk cara-cara tradisional seperti list karakter morfologi, dan evaluasi terhadap karakter agronomis pada kondisi lingkungan bervariasi hingga karakterisasi yang melibatkan profil isozim, protein dan sekuen DNA spesifik melalui pendekatan genom berbeda (Vicente de et al. 2005).

Karakterisasi adalah deskripsi suatu karakter atau kualitas suatu individu (Merriam-Webster 1991). Karakterisasi sumber genetik merujuk pada proses identifikasi atau diferensiasi aksesi. Terminologi yang disepakati oleh Genebanks dan Germplasm management diartikan sebagai deskripsi karakter yang pewarisannya tinggi, mudah dilihat secara kasat mata, dan terekspresi stabil pada berbagai lingkungan (IPGRI 2003).

Pemuliaan tanaman kelapa di Indonesia telah dilakukan sejak 1911/1912 saat pemerintah Belanda mengoleksi 240 buah kelapa yang berasal dari pohon-pohon kelapa Dalam terpilih di pulau Jawa (Reyne 1948). Pada 1927 pemerintah Belanda mendirikan Klapper Proef Station di Manado dengan kegiatan eksplorasi, seleksi dan koleksi plasma nutfah kelapa yang berada disekitar Desa Mapanget oleh seorang ahli agronomi yaitu Dr. P.L.M. Tammes. Dari kegiatan tersebut ditemukan 100 nomor. Seleksi dilakukan berdasarkan produksi buah banyak per pohon dan terseleksi 100 pohon, dari setiap pohon diambil buahnya untuk ditanam di Kebun Percobaan Mapanget yang sekarang disebut Kebun Instalasi Penelitian Mapanget (KIP Mapanget). Setiap nomor tetua ditanam dalam bentuk barisan sebanyak 10 poho n sehingga seluruhnya berjumlah 1000 pohon (Reyne 1948). Populasi ini kemudian dikenal sebagai Koleksi Tammes. Pada tahun 1955, seorang pemulia tanaman berkebangsaan Jerman yaitu Dipl. Ing. A.F. Ihne melakukan seleksi negatif berdasarkan produksi pada setiap pohon dari koleksi Tammes dan didapatkan 42 nomor pohon terpilih. Hasil seleksi negatif tersebut selanjutnya diseleksi lagi dan didapatkan 29 nomor pohon yang digunakan sebagai tetua dalam persilangan terbuka dan buatan untuk uji keturunan (Novarianto et al. 1998)

(6)

Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain (BALITKA) di Manado, telah mengoleksi tanaman kelapa dari berbagai daerah di Indonesia. Nama populasi kelapa yang dikoleksi umumnya diberikan sesuai dengan daerah asal misalnya kelapa Dalam Mapanget berasal dari desa Mapanget, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, dan kelapa Genjah Kuning Nias berasal dari Pulau Nias, Sumatera Utara. Beberapa nama aksesi lainnya tidak menggunakan nama daerah asalnya jika pada waktu pengoleksian dilakukan, aksesi tersebut sudah diberi nama oleh masyarakat setempat. Nama itu selanjutnya digunakan sebagai nama populasi/aksesi dari koleksi tersebut contohnya kelapa Dalam Takome dan Genjah Raja yang berasal dari Maluku, dan kelapa Genjah Salak yang berasal dari Kalimantan Selatan.

Program pemuliaan kelapa di Indonesia bertujuan untuk menghasilkan bahan tanaman yang memiliki karakteristik antara lain: cepat berbunga, habitat pohon pendek, resisten terhadap hama dan penyakit, hasil kopra per satuan luas tinggi dengan pemupukan rendah, ukuran buah besar, daging buah tebal, kandungan minyak tinggi, dan kandungan air rendah (Rompas et al. 1998)

Untuk dapat digunakan dalam program pemuliaan, populasi kelapa yang telah dikoleksi tersebut dikarakterisasi. Untuk mendukung studi tentang keanekaragaman kelapa dan pengkarakterisasian kelapa berdasarkan penanda morfologi, COGENT telah menerbitkan Manual on Standardized Research Technique in Coconut Breeding (Stantech Manual) untuk menjadi pedoman dalam melakukan eksplorasi dan karakterisasi plasma nutfah kelapa (Santos et al. 1996).

Pengkarakterisasian tanaman kelapa yang dikoleksi di BALITKA dilakukan terutama terhadap sifat morfologi seperti: kecepatan berbunga pertama, jumlah daun, jumlah tandan, jumlah buah, kadar kopra, dan kadar minyak. Kelapa yang cepat berbunga adalah kelapa Genjah Salak (GSK), Genjah Kuning Nias (GKN), dan Dalam Sawarna (DSA) berturut-turut 17 bulan, 28 bulan, dan 36 bulan. Kelapa yang berbuah banyak adalah kelapa Dalam Takome (DTE) berkisar 200 - 230 butir per pohon per tahun dan kelapa GKN sekitar 80-120 butir per pohon per tahun. Kelapa yang memiliki kadar kopra tinggi adalah Dalam Mapanget (DMT), Dalam Tenga (DTA), Dalam Palu (DPU), Dalam Sawarna (DSA), dan Dalam Riau (DRU) yaitu berkisar 270-300 gram per butir. Kelapa

(7)

yang mempunyai kadar minyak tinggi adalah DMT berkisar 67-71 % (Rompas et al. 1989; Rompas 1993).

Beberapa koleksi yang tergolong unik adalah Dalam Mamuaya (Sulut), Dalam Palapi (Sulteng), dan Dalam Dobo yaitu berbuah besar, sabut tip is dengan potensi hasil 4-5 ton kopra/ha. Kelapa Dalam Santongbolang (Sulut) berbuah banyak yaitu 60-100 buah /tandan. Kelapa Kenari ditemukan secara individu dalam suatu populasi memiliki keunikan pada struktur daging buah yang berbeda dari buah normal, lebih renyah sehingga sangat cocok untuk campuran es buah. Kelapa bersabut merah ditemukan di Gorontalo dan NTT, pada bagian basal kelapa (pangkal buah kelapa) berwarna merah muda (pink). Kelapa bertunas ditemukan di Sulut dan Sulteng, keunikannya terletak pada munculnya anakan pada umur setahun setelah tanam, dan setiap 1-2 tahun muncul anakan baru yang semuanya dapat berbuah normal. Kelapa kopyor ditemukan secara alami di Jawa dan Sumatera (Novarianto & Miftahorrachman 2000).

Berdasarkan hasil karakterisasi maka populasi kelapa GKN dipilih sebagai tetua betina dan tiga populasi kelapa tipe Dalam yaitu DTA, DBI, DPU digunakan sebagai tetua jantan untuk menghasilkan empat kelapa hibrida. Sifat unggul yang diharapkan dari persilangan antara kedua tipe kelapa ini adalah kelapa hibrida yang cepat berbuah dan berproduksi tinggi. Kelapa Hibrida hasil persilangan antara GKN dengan populasi DTA, DBI, dan DPU masing- masing diberi nama KHINA-1, KHINA-2, dan KHINA-3. Ketiga kelapa hibrida tersebut rata-rata mulai berbunga pada umur 3 tahun setelah tanam, dengan produksi kopra 3.66 - 4.09 ton kopra per hektar per tahun (Mahmud 1993). Selain keempat kelapa hibrida unggul tersebut berbagai silangan antara beberapa populasi kelapa tipe Genjah dengan tipe Dalam sedang dalam pengujian.

Kelapa Dalam Mapanget (DMT) yang memiliki jumlah buah banyak, kadar kopra dan kadar minyak tinggi diseleksi dan beberapa nomor pohon terpilih disilangkan. Persilangan nomor-nomor terpilih tersebut dihasilkan kelapa Dalam unggul yang diberi nama Kelapa Baru (KB) yaitu KB-1 (32 x 32), KB-2 (32 x 2), KB-3 (32 x 83) dan KB-4 (32 x 99) dengan potensi produksi 3 - 3.5 ton kopra per hektar per tahun (Novarianto 1996).

(8)

Balitka selain melakukan seleksi, koleksi, dan hibridisasi pada tanaman kelapa dilakukan pula penyerbukan tertutup pada kelapa Dalam Mapanget (DMT). Penyerbukan tertutup kelapa Dalam Mapanget telah dilakukan hingga mencapai generasi keempat (S4). Kelapa DMT yang tersisa 29 nomor hasil seleksi massa negatif diseleksi lagi. Kriteria seleksi yang digunakan adalah jumlah buah per tandan dan jumlah tandan per pohon per tahun banyak. Beberapa nomor terpilih yang berproduksi tinggi di antaranya adalah No.2, No.10, No.32, No.55, No.83, dan No.99. Setiap nomor terdiri atas 10 pohon. Selanjutnya kelapa DMT No 10, No 32, dan No 55, dibuat menyerbuk sendiri menggunakan campuran serbuksari (polen bulk) pohon-pohon terseleksi dari setiap nomor tersebut. Zuriat hasil penyerbukan sendiri itu ditanam di Kebun Percobaan Mapanget (KIP Mapanget) membentuk populasi DMT S1. Populasi DMT S1 ini diseleksi lagi dan individu terseleksi dibuat menyerbuk sendiri menggunakan polen campuran dari pohon-pohon terseleksi tersebut. Zuriat yang diperoleh ditanam di Kebun Percobaan Kima Atas (KIP Kima Atas) pada tahun 1969, yang membentuk populasi DMT generasi kedua (DMT S2). Dengan cara yang sama didapatkan populasi DMT generasi ketiga (DMT S3). Untuk generasi keempat dilakukan penyerbukan individual yaitu polen dari pohon terseleksi dari generasi ketiga diserbukan kembali pada pohon yang sama dan diperoleh populasi DMT generasi keempat (DMT S4).

Depresi Penangkarandalam dan Heterosis pada Tanaman Kelapa

Kelapa Dalam pada umumnya bersifat menyerbuk terbuka sedangkan kelapa Genjah pada umumnya menyerbuk sendiri (Child 1974; Thampan 1981). Penyerbukan terbuka pada tanaman kelapa Dalam disebabkan oleh adanya perbedaan masa reseptif bunga betina dan masa antesis bunga jantan. Masa reseptif bunga betina mulai kurang lebih 3 (tiga) minggu setelah seludang terbuka atau 3-6 hari setelah masa antesis bunga jantan. Pada tanaman kelapa Genjah dilaporkan adanya masa tumpang tindih antara fase reseptif bunga betina dan fase antesis bunga jantan sehingga lebih cendrung menyerbuk sendiri (Novarianto et al. 1989).

(9)

Dalam upaya merakit kelapa hibrida yang unggul karena heterosis diperlukan tetua-tetua homosigot. Persilangan antar dua tetua homosigot yang berbeda akan menghasilkan turunan yang unggul akibat pengaruh heterosis (Allard 1960). Kelapa tipe Dalam pada umumnya menyerbuk silang sehingga keturunannya memiliki penampilan beragam karena genotipe yang heterosigot (Menon & Pandalai 1960; Child 1974; Fremond et al. 1966; Foale 1992). Untuk mendapatkan tetua homosigot pada kelapa Dalam dapat diperoleh melalui teknik penyerbukan tertutup sampai beberapa generasi. Zuriat yang dihasilkan dari proses penyerbukan tertutup akan memiliki derajat homozigot yang meningkat dengan penurunan vigor sebagai akibat adanya peristiwa depresi penangkarandalam.

Depresi penangkarandalam dan heterosis adalah dua fenomena bertolak belakang yang banyak dipelajari pada tanaman dan binatang. Depresi penangkarandalam berkaitan dengan menurunnya kekekaran turunan hasil penyerbukan sendiri (inbreeding) pada beberapa generasi tanaman menyerbuk terbuka (Stebbins 1958). Sebaliknya heterosis berkaitan dengan keunggulan hibrida (F1) melebihi nilai atau rata-rata kedua tetuanya bila dua galur murni yang berbeda disilangkan.

Pada populasi kelapa Dalam Mapanget terutama No.10, No.32, dan No.55 penyerbukan tertutup di antara pohon-pohon terpilih dari masing- masing nomor pohon telah mencapai generasi keempat (S4), sehingga diduga tingkat homozigositas telah mencapai 93.75%. Pada tingkat ini bila dilakukan seleksi individu dan dilanjutkan dengan persilangan dengan kelapa Genjah terpilih, diharapkan akan diperoleh kelapa dengan efek heterosis tinggi (Novarianto et al. 1989). Bila dua galur murni yang berbeda disilangkan, ketegaran hibrida akan kembali (Allard 1960).

Perkawinan antar individu- individu yang berkerabat dekat dalam populasi kelapa Dalam akan mengakibatkan 2 hal yaitu depresi penangkarandalam akibat peningkatan homozigositas dan penurunan heterozigositas. Generasi S3 dari kelapa DMT memiliki batang yang lebih pendek dibandingkan populasi tetuanya (Rompas et al. 1988), sedangkan generasi pertama (S1) Laguna Tall dan S1

(10)

Bago-Oshiro Tall (keduanya populasi kelapa lokal Filipina) berbunga lebih awal dibandingkan tetuanya yang menyerbuk terbuka (Santos & Sangare 1992).

Untuk mempelajari depresi penangkarandalam dapat dilakukan melalui 2 cara yaitu (1) studi komparatif sifat-sifat morfologi menggunakan populasi menyerbuk terbuka (open pollination, OP) dan generasi menyerbuk tertutup dari kelapa Dalam, dan (2) penanda molekular (Ritland 1990; 1996). Untuk tujuan ini Ritland (1996) menganjurkan SSR (simple sequence repeats) sebagai penanda DNA yang tepat, karena sifatnya yang kodominan sehingga memungkinkan membedakan individu-individu homozigot dan heterozigot suatu populasi.

Penanda Mikrosatelit (SSR Simple Sequence Repeats)

DNA genom terdiri atas DNA ruas khas yang merupakan gen struktural dan DNA ruas berulang. DNA ruas berulang adalah suatu komponen yang terintegrasi di antara fragmen- fragmen DNA ruas khas dalam genom eukariot. Fragmen ruas berulang sederhana (SSR) ini dapat mencapai > 90% DNA total yang ada pada genom tanaman (Weising et al. 1995). Makin besar ukuran genom tanaman, makin besar pula proporsi DNA ruas berulangnya. Proporsi DNA ruas berulang dalam genom tanaman jagung mencapai 60% (Gupta et al. 1984), kedelai mencapai 60% (Walbot dan Goldberg, 1979), gandum mencapai 70% (Flavel 1980), dan padi mencapai 50% (McCouch et al. 1988).

Pengulangan ruas berulang DNA dapat berupa pengulangan ruas secara moderat atau selang seling (interspace) dan pengulangan ruas secara berurutan (tandem).

Pengulangan ruas secara tandem diklasifikasikan berdasarkan panjang dan jumlah ruas berulang di dalam genom yang dapat berupa (1) DNA Satelit, adalah DNA yang memiliki pengulangan sangat tinggi biasanya antara 1000 – 100 000 kopi, sering berada pada bagian heterokromatin, (2) Minisatelit, memiliki pengulangan yang lebih sedikit yaitu 10 – 60 pasang basa, (3) Mikrosatelit (SSR), disebut juga fragmen berulang sederhana atau fragmen berulang tandem sederhana, memiliki pengulangan lebih pendek dengan derajat pengulangan lebih sedikit berkisar 1 - 6 pasang basa, terdistribusi lebih banyak pada lokus genom,

(11)

(4) Midisatelit, memiliki ruas berulang yang merupakan kombinasi dari satelit dan minisatelit (Weising et al. 1995; Karp et al. 1995; )

DNA ruas berulang yang memiliki variasi paling tinggi dalam genom tanaman adalah sekuen berulang dengan fragmen berulang sederhana atau pendek. Fragmen ini dikenal dengan nama minisatelit dan mikrosatelit. Mikrosatelit (SSR) terdapat dalam jumlah banyak dan menyebar di dalam genom. Mikrosatelit memiliki unit berulang berkisar antara 1 – 6 pasang basa, dan minisatelit memiliki unit berulang yang lebih panjang.

Variasi fragmen-fragmen ini biasanya merupakan hasil perubahan dalam jumlah kopi dari perulangan asal dan sering dikategorikan sebagai Variable number of tandem repeats (VNTR). Karena level polimorfisme yang sangat tinggi dapat dideteksi dengan fragmen ini, VNTR diakui sebagai alat yang manjur untuk sidik jari dan identitas kultivar tanaman (Karp et al. 1995). Fragmen ini juga dapat digunakan untuk mempelajari keragaman antar dan intra populasi, studi ekologi, menghitung jarak genetik, dan mempelajari evolusi tanaman (Perera et al. 2000).

Mikrosatelit dikenal dengan beberapa nama seperti simple sequence

repeat (SSR), simple tandem repeat (STR), sequence tagged microsatellite site

(STMS), dan simple sequence length polimorphism (SSLP).

Simple sequence repeat (SSR) memberikan kandungan informasi yang tinggi, pada umumnya single lokus, bersifat kodominan, membutuhkan jumlah DNA yang sangat sedikit, relatif sederhana, dan deteksi yang didasarkan pada PCR menandakan bahwa SSR merupakan alat ideal untuk banyak aplikasi genetik (Karp et al. 1995; Rivera et al. 1999; Saghai-Maroof et al. 1994; Morgante & Olivieri 1993).

Sekuen mikrosatelit (SSR) yang pendek dan dengan sekuen DNA pengapit bersifat conserved, sehingga sekuen ini telah digunakan mendesain primer untuk mengamplifikasi situs spesifik menggunakan PCR. Jika primer-primer tersebut digunakan mengamplifikasi lokus- lokus SSR tertentu, maka setiap primer akan menghasilkan polimorfisme dalam bentuk perbedaan panjang hasil amplifikasi yang dikenal dengan SSLP (Simple Sequence Length Polymorphism). Setiap panjang mewakili satu alel dari suatu lokus. Perbedaan panjang terjadi karena perbedaan jumlah unit pengulangan pada lokus-lokus SSR tertentu (Morgante &

(12)

Olivieri 1993; Gupta et al. 1996; Karp et al. 1997; Liu 1998). Keanekaragaman jumlah ulangan pada mikrosatelit dapat dideteksi dengan mengelektroforesis produk DNA yang sudah diamplifikasi di dalam sekuen gel standar, yang dapat memisahkan fragmen- fragmen yang membedakan tiap-tiap nukleotida.

Mikrosatelit (SSR) terdapat dalam jumlah banyak dan menyebar di dalam genom. Bentuk umum pengulangan SSR adalah pengulangan dua basa secara sederhana seperti (CA)n; (AC)n; (GT)n; (GA)n; (CT)n; (CG)n; (GC)n; (AT)n; dan (TA)n, n adalah jumlah pengulangan. Mikrosatelit dengan pengulangan 3-basa dan 4-3-basa ditemukan juga tetapi frekuensinya lebih rendah dibandingkan pengulangan 2-basa (Liu 1998; Preston et al. 1999). Pengulangan SSR paling banyak adalah (AT)n diikuti oleh (A)n, (AG)n, (AAT)n, (AAC)n, (AGC)n, (AAG)n, (AATC)n, (AC)n (Brown et al. 1996). Pada kelapa, sekuensing yang dilakukan pada 197 klon pustaka genom dari kelapa Tagnanan menunjukkan bahwa 75% mengandung sekuen mikrosatelit dan 64% dari SSR tersebut adalah pengulangan 2-basa GA/CT, CA/GT dan GC/CG; 6 % merupakan pengulangan 3-basa dan 30 % merupakan pengulangan campuran (Rivera et al. 1999).

Berdasarkan teknik PCR, primer-primer SSR yang sangat informative telah dapat dikembangkan pada berbagai tanaman. Primer-primer SSR yang telah berhasil dibuat pada tanaman kelapa merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi pemulia kelapa. Dengan penggunaan PCR multipleks (aplikasi secara simultan dari beberapa penanda genetik dalam suatu reaksi tunggal) yang digabungkan dengan deteksi DNA berdasarkan teknologi fluorescence dan ukuran alel semi otomatis, memungkinkan menghasilkan informasi genetik dengan kuantitas yang lebih besar dan akurat berdasarkan penanda-penanda DNA SSR (Mitchell et al. 1997).

Sejak mikrosatelit ditemukan dalam jumlah yang sangat banyak di dalam genom, dengan tingkat polimorfisme yang tinggi dan mudah dianalisis, mikrosatelit menjadi penanda pilihan untuk pemetaan genetik dan analisis keterpautan pada hampir semua spesies.

Penggenotipan SSR akan memberikan seleksi yang efisien dari tetua untuk program pemuliaan kelapa, dimana pemilihan tetua-tetua yang divergen secara genetik akan memaksimalkan heterosis, dan kemudian menambah vigor

(13)

hybrid (Perera et al. 2000). Perera et al. (2000) menganalisis populasi kelapa dari berbagai daerah di dunia dan hasilnya menguatkan evolusi kelapa dan lintasan penyebarannya ke seluruh dunia. Herran et al. (2000) menggunakan SSR untuk membuat peta keterpautan dan analisis lokus sifat kuantitatif (quantitative trait loci) kecepatan berkecambah pada kelapa. Ritter et al (2000) menggunakan SSR membuat peta keterpautan produksi daun dan lingkar batang. Lebrun et al (2001) menggunakan penanda yang sama untuk membuat peta keterpautan dan analisis QTL untuk karakter-karakter produksi buah. Semua hasil ini memberikan gambaran bahwa SSR memberikan implikasi untuk tinjauan konservasi, karena primer-primer SSR dapat digunakan dalam mengidentifikasi genepool core untuk konservasi ex situ yang sangat berguna bagi program pemuliaan kelapa di masa mendatang.

Variabilitas dalam mikrosatelit dan mekanismenya

Keragaman mikrosatelit tergantung pada variasi dalam jumlah ulangan pada pusat sekuen. Derajat keragaman secara positif sangat berkorelasi dengan panjang ulangan sekuen (Weber & May, 1989), dengan panjang mikrosatelit kurang dari 20 bp maka akan kurang tingkat polimorfismenya. Variasi yang tinggi ditemukan pada genom inti bila diband ingkan dengan cpDNA menggunakan penanda RAPD, AFLP dan ISSR (Viard et al. 2001; Hultquist et al. 1996; Panda et al. 2003, Cronn et al. 2002). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa mikrosatelit (SSR) memiliki tingkat diversitas yang tinggi pada berbagai tanaman yang diuji (Perera et al. 2000; Narvel et al. 2000; Burstin et al. 2001, Cipriani et al. 2002).

Walaupun fungsinya masih belum jelas, namun banyak dari sekuen ini berlokasi di daerah sentromer, telomer dan di bagian dasar loop kromatin yang mempunya i peranan dalam perpasangan dan synopsis kromosom (Weising et al. 1995). Naylor dan Clark (1990) melaporkan bahwa ulangan sekuen (GT)n memiliki aktivitas peningkatan transkripsi.

Mekanisme mutasi menghasilkan perubahan pada jumlah ulangan cetakan (Efstratiadis 1980; Levinson & Gutman 1987). Kemungkinan paling besar

(14)

penyebab mutasi pada fragmen sekuen berulang sederhana ini adalahterjadinya Strand slippage selama replikasi atau perbaikan DNA (Levinson & Gutman 1987). Kebanyakan mutasi yang terjadi pada sekuen mikrosatelit merupakan hasil dari kejadian-kejadian intrakromosom tanpa adanya sekuen homolog pada kromosom-kromosom lain (Webber 1989).

Kegunaan potensial mikrosatelit untuk pemetaan gen

Sejak mikrosatelit ditemukan dalam jumlah yang sangat banyak di dalam genom, dengan tingkat polimorfisme yang tinggi dan mudah dianalisis, mikrosatelit menjadi penanda pilihan untuk pemetaan genetik dan analisis keterpautan pada hampir semua spesies.

Moran (1993) mengidentifikasi 23 model gen yang mengandung sekuen ulangan mono-, di-, tri-, dan tetra nukleotida. Ulangan- ulangan tersebut berada pada 5’-tidak terkode, 3’-tidak terkode, 3’-tidak terartikan, 5’-tidak terartikan, dan daerah-daerah pengkodean. Sebuah daerah yang membawa sekuen mikrosatelit dapat diketahui sehingga sekuen-sekuen pengapit (flanking) mikrosatelit digunakan untuk mendesain primer-primer untuk amplifikasi PCR.

Polimorfisme dapat dideteksi dengan mengamplifikasi DNA genom dari individu- individu yang akan dipelajari menggunakan primer pada reaksi PCR. Penggunaan pendekatan semacam ini untuk memproduksi penanda-penanda mikrosatelit sudah dilakukan pada berbagai spesies baik tumbuhan seperti kelapa (Rivera et al. 1999: Teulat et al. 2000; Lebrun et al. 2001; Akuba 2002), Akasia (Prihartini et al. 2006), Jati (Boer 2007) maupun hewan seperti sapi dan domba (Moore et al. 1992).

Lokasi dari sekuen berulang sederhana seperti mikrosatelit di antara gen atau yang berdekatan dengan suatu gen sangat penting, agar dapat digunakan sebagai penanda dari sifat yang disandi oleh gen tersebut. Beberapa fragmen sekuen berulang (SSR) yang terletak di dalam atau berdekatan dengan gen fungsional sudah ditemukan. Beberapa fragmen sekuen berulang (SSR) yang terletak di dalam atau berdekatan dengan gen fungsional sudah ditemukan (Kirkpatrick 1992). Penanda mikrosatelit pada satu spesies mungkin saja dapat

(15)

dihasilkan dengan mengunakan informasi sekuen dari spesies lain (Rotwein et al. 1986; Shimatsu & Rotwein 1987).

Kemudahan dan kecepatan untuk mengetahui mikrosatelit, menggunakan teknologi PCR, mudah diinterpretasikan, membuat mikrosatelit menjadi penanda paling baik dalam pemetaan gen. Mikrosatelit memiliki polimorfisme yang tinggi yang berasal dari berbagai populasi dan aksesi untuk meningkatkan kemungkinan heterozigositas pada populasi F1. Kebanyakan mikrosatelit hipervariabel,

sehingga jumlah genotipe individu F2 untuk analisis segregasi dapat dikurangi. Karakteristik mikrosatelit yang menarik ini telah mengurangi secara besar-besaran penggunaan dari penand a RFLP dalam penelitian pemetaan genetik (Muladno, 2006).

Keanekaragaman mikrosatelit dapat dilihat dengan menggunakan PCR, dimana sekuen unik digunakan sebagai primer-primer untuk mengamplifikasi daerah mikrosatelit. Perbedaan pada ukuran fragmen DNA yang diamplifikasi dapat divisualisasi dengan pewarnaan etidium bromida setelah elektroforesis dengan gel agaros (Sambrook et al. 1989), atau pewarnaan perak dengan gel PAGE (Creste et al. 2001).

Sistem Aliran Informasi Genetik (Gene Flow)

Aliran gen melalui polinasi adalah proses alami yang karenanya gen-gen berpindah di antara tanaman. Proses aliran gen dapat terjadi jika tanaman domestik memiliki keserasian secara seksual dengan baik antara tanaman domestik itu sendiri maupun kerabat liarnya. Pada tanaman proses ini dapat terjadi melalui pemuliaan secara konvensional dan bioteknologi modern. Dengan berkembangnya bioteknologi maka potensi terjadinya aliran gen dari suatu tanaman ke tanaman lainnya ataupun kerabat liarnya menjadi sangat besar.

Aliran gen antar tanaman budidaya dengan kerabat liarnya adalah suatu proses penting yang memiliki implikasi kuat terhadap konservasi keanekaragaman genetik maupun pemuliaan tanaman. Introgresi antara populasi domestik dan populasi liar merupakan suatu fenomena yang menyebar luas pada kebanyakan spesies baik bersifat alogamous maupun autogamous. Pengaruh aliran gen dan

(16)

seleksi pada struktur keanekaragaman genetik populasi liar dan domestik perlu dipelajari.

Sepanjang evolusi yang termasuk di dalamnya penghanyutan genetik (genetic drift), mutasi, seleksi maka proses migrasi juga menyumbang terjadinya perubahan frekuensi gen dalam populasi alami. Penyimpangan antar populasi dapat diakibatkan oleh penghanyutan genetik karena adanya isolasi parsial ataupun penuh, atau oleh seleksi heterogenous. Migrasi individu (misalnya biji) atau gamet (misalnya polen) antara subpopulasi menghalangi penyimpangan antar populasi, menyebabkan reduksi dalam keragaman genetik antar subpopulasi, dan meningkatkan tingkat keragaman genetik dalam subpopulasi.

Penghanyutan genetik dan migrasi adalah proses netral dan mempengaruhi frekuensi gen pada populasi alami dan terjadi pada seluruh genom. Sedangkan rekombinasi dan seleksi menginduksi terjadinya perubahan genetik hanya pada lokus target (Cavalli-Sforza 1971; Lewontin 1988).

Aliran gen (Gene flow) adalah perpindahan informasi genetik melalui transportasi serbuk sari (penyebaran gamet jantan) dan transportasi melalui biji atau benih (migrasi). Aliran gen berperan penting dalam distribusi informasi genetik dalam populasi (intrapopulation gene flow) dan antar populasi (interpopulation gene flow). Efisiensi aliran gen melalui serbuk sari dan biji merupakan hal yang sangat penting berkaitan dengan ukuran populasi efektif dalam bereproduksi. Ukuran populasi sangat penting untuk menggambarkan pola penyebaran keragaman genetik dan perbedaan genetik di antara populasi (Hamrick & Nason 2000, dan Gailing et al. 2003).

Banyaknya tanaman, jarak, serta arah aliran gen melalui serbuk sari dalam setiap individu menentukan apakah perkawinan yang terjadi antar tanaman yang berbeda (outcrossing) atau dalam tanaman itu sendiri (selfing).

Transfer serbuk sari pada tanaman kelapa masih dalam perdebatan. Menurut Menon dan Pandalai (1960) dan Patel (1938) transfer serbuk sari terutama melalui angin (anemophilous), sedangkan menurut Davis et al (1985) dan Ashburner et al (2001) terutama melalui serangga (entomophilous).

Informasi genetik dari suatu organisme tidak mengalami perubahan sepanjang hayatnya namun tidak dapat dipertahankan karena masa hidup suatu

(17)

organisme tersebut sangat terbatas. Namun demikian setiap organisme mempunyai potensi untuk menurunkan informasi genetik yang dimilikinya ke keturunannya melalui pertukaran garnet dan hal ini akan menghasilkan rekombinasi baru. Dengan demikian dinamika dari struktur genetik tidak dapat diamati ditingkat organisme tunggal, tetapi diamati ditingkat populasi dimana setiap anggota dari populasi tersebut saling bertukar garnet.

Dinamika struktur genetik ditentukan dari komposisi gen berupa frekuensi alel dan frekuensi genotipe yang menyusun populasi tersebut. Penyebaran frekuensi dari genotipe-genotipe dalam populasi disebut sebagai struktur genotipe dan penyebaran frekuensi dari alel-alel dalam satu populasi disebut struktur alel. Struktur genetik ini bersifat dinamik yaitu dalam kondisi kesetimbangan atau mengalami perubahan atau berevolusi bila terdapat kekuatan yang dapat merubah kesetimbangan seperti adanya mutasi, aliran gen (migrasi), penghanyutan genetik (genetic drift), seleksi dan model dari sistem perkawinan.

Untuk mempelajari terjadinya aliran gen pada populasi perlu memperhatikan (1) antar tanaman yang dipelajari harus serasi secara seksual (sex compatible), ketidakserasian akan menyebabkan aliran gen tidak akan terjadi, (2) harus ada karakter yang berasosiasi dengan gen target. Modifikasi harus dapat meningkatkan kemampun tanaman untuk bertahan (survive) dan berkembang biak sehingga gen terseleksi dapat bertahan dari generasi ke generasi (Doebley 1990).

Karena aliran gen adalah proses alami maka perlu peningkatan pemahaman terhadap fenomena ini. Bioteknologi modern sangat membantu dalam melakukan penelitian tentang aliran gen menjadi lebih akurat dan informatif.

Terdapat dua metode yang dapat digunakan untuk menduga aliran gen

(gene flow), yaitu secara langsung dan secara tidak langsung. Secara langsung

diduga berdasarkan pada distribusi keragaman genetik di antara populasi. Secara

tidak langsung aliran gen (gene flow) diduga berdasarkan hasil pengamatan dari

perpindahan serbuksari dan benih.

Pendugaan secara tidak langsung diduga dari nilai FST untuk menghitung

banyaknya imigran efektif per generasi (Nem) sebagai berikut (Hamrick & Nason

(18)

1

4

ST e ST

F

N m

F

=

dimana Ne adalah banyaknya individu-individu efektif dalam populasi dan m adalah

laju migrasi. Pengukuran gene flow secara langsung dapat diduga dari perbedaan

frekuensi alel antara tetua dan zuriatnya. Jika m adalah laju migrasi aliran gen ke dalam populasi (misal proporsi alel-alel yang berimigrasi), dan (1-m) adalah proporsi alel-alel yang tidak bermigrasi, qt adalah frekuensi alel pada generasi ke-t, dan q adalah

rata-rata frekuensi alel dari populasi yang mengelilingi populasi penerima (populasi

donor). Hubungan antara aliran gen dengan perubahan frekuensi adalah sebagai berikut:

q

t

=

q

t−1

(

1

− +

m

)

qm

nilai qt , qt – 1 , dan q dapat diduga secara langsung dari pengamatan, nilai-nilai

tersebut dapat digunakan untuk menduga m, sebagai berikut:

1 1 t t t

q

q

m

q

q

− −

=

Aliran informasi genetik melalui penyebaran benih pada tanaman Jacaranda copaia telah dipelajari oleh Jones et al. (2005). SSR telah banyak digunakan untuk mempelajari aliran gen (gene flow) melalui serbuk sari antara lain pada tanaman Gliricidia sepium (Dawson et al. 1997), tanaman Eugenia dysentrica (Zucchi et al. 2003) dan Eterpe edulis (Gaitotto et al. 2003), pada tanaman kelapa (Herran et al. 2000; Ritter et al 2000). SSR yang ukurannya pendek dan bersifat kodominan memungkinkan untuk melacak tetua melalui aliran gen pada populasi tanaman kelapa DMT-32.

Referensi

Dokumen terkait

Theodolit adalah salah satu alat ukur tanah #ang digunakan untuk menentukan tinggi tanah dengan sudut mendatar dan sudut tegak. Ber'eda dengan 7ater%ass #ang han#a memiliki

Pada kondisi gondola macet atau mesin kompressor mati, yang mengakibatkan suplai udara bertekanan terganggu atau tidak ada sehingga gondola tidak dapat dioperasikan, maka operator

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia, nikmat dan berkat-Nya yang telah diberikan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini dari awal sampai akhir,

Dengan masih belum dilakukan penegakkan hukum oleh pihak kepolisian dan khususnya Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) karantina terhadap pelaku/pengguna jasa yang

Hulukati (2005) menyatakan bahwa kemampuan komunikasi matematis merupakan syarat untuk memecahkan masalah, artinya jika siswa tidak dapat berkomunikasi dengan baik

2. Memperkuat sistem rujukan yang efisien dan efektif antar Puskesmas dan Rumah Sakit.. Dinas Kesehatan Kabupaten Pasaman Tahun 2014 Page 15 Selain itu, pemerintah bersama

Untuk membatasi agar tidak terlalu luas maka dalam penelitian ini penulis hanya berfokus membahas pajak daerah Kabupaten Berau khususnya Pajak Hotel dan Restoran

Menurut Fitriani, seorang alumni pondok pesantren Al-Ikhlas tahun 2003 mengatakan bahwa setelah berdirinya pondok pesantren Al-Ikhlas memberikan respon yang sangat