• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Pengendalian Hayati Penyakit Padi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Pengendalian Hayati Penyakit Padi"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Pengendalian Hayati Penyakit Padi

Penelitian pengendalian penyakit padi secara hayati sudah dimulai sejak tahun 1980an. Penelitian dikonsentrasikan pada identifikasi, evaluasi dan formulasi potensi agens hayati serta upaya pengembangannya. Pada tanaman padi beberapa patogen dari golongan cendawan, bakteri, virus, dan nematoda diketahui menjadi penyebab penyakit padi. Beberapa jenis penyakit padi yang disebabkan oleh cendawan patogen di antaranya penyakit blas (Pyricularia grisea), bercak coklat (Bipolaris oryzae), busuk batang (Sclerotium oryzae), hawar pelepah (Rhizoctonia solani), busuk pelepah (Sarocladium oryzae). Penyakit yang disebabkan oleh bakteri di antaranya adalah penyakit hawar daun bakteri (Xanthomonas oryzae pv. oryzae) dan penyakit bakteri daun bergaris (X. oryzae pv. oryzicola). Penyakit yang disebabkan virus di antaranya adalah penyakit tungro (RTBV dan RTSV), kerdil hampa dan kerdil rumput (Semangun 2004).

Strategi mengelola penyakit padi kebanyakan diarahkan untuk mencegah ledakan penyakit dan epidemi melalui penggunaan ketahanan tanaman dan pestisida kimia. Namun demikian penggunaan bahan kimia yang tidak bijaksana menyebabkan kematian organisme bukan sasaran dan dampak lainnya terhadap lingkungan. Penggunaan kultivar tahan dalam skala besar dan dalam jangka waktu lama dapat penyebabkan pergeseran karakteristik virulensi patogen sehingga ketahanan tanaman terpatahkan. Dalam dua dekade terakhir upaya mengelola penyakit padi melalui alternatif lain sudah mulai dilakukan, yaitu melalui pengendalian secara hayati. Pengendalian hayati merupakan strategi pengendalian yang ramah lingkungan, hemat biaya, dan dapat diintegrasikan dengan strategi pengendalian lainnya dalam menopang ketersedian pangan yang berkelanjutan (Suwanto 1994).

Dalam pengendalian penyakit padi, agens hayati seperti bakteri, fungi dan virus sering digunakan. Agens hayati tersebut secara alami sudah tersedia di alam sebagai penyusun keseimbangan ekosistem. Di antara agens hayati, bakteri merupakan agens yang paling ideal karena pertumbuhannya yang cepat, dan

(2)

kemampuannya dalam mengkolonisasi. B. subtilis adalah salah satu agens hayati yang potensial, karena kemampuannya bertahan pada kondisi panas dan kekeringan, sehingga sesuai untuk aplikasi di lapangan (Wayne et al. 2000).

Dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 411 tahun 1995 dinyatakan bahwa agens hayati adalah setiap organisme yang meliputi spesies, subspesies, varietas, semua jenis serangga, nematoda, protozoa, cendawan (fungi), bakteri, virus, mikoplasma, serta organisme lainnya dalam semua tahap perkembangannya yang dapat dipergunakan untuk keperluan pengendalian hama dan penyakit atau organisme pengganggu dalam proses produksi dan pengolahan hasil pertanian, serta digunakan untuk keperluan lainnya (Menteri Pertanian RI 1995).

Pemanfaatan Bacillus subtilis sebagai Agens Hayati dan PGPR

Bacillus subtilis merupakan spesies dengan bentuk sel batang dengan ukuran 0,3-2,2 µm x 1,2-7,0 µm. Sebagian besar spesiesnya bersifat motil dengan flagel khas lateral dan membentuk endospora. Bacillus memiliki endospora berbentuk bundar, oval atau silindris dengan ukuran 0,8 x 1,5-1,8 µm (Cook dan Baker 1996). Endospora terletak di dalam sel, serta lama pembentukannya tidak sama pada spesies yang berbeda. Sebagai contoh, beberapa spora terletak sentral yaitu dibentuk di tengah-tengah sel, yang lain terminal, yaitu dibentuk di ujung sel, dan yang lain sub terminal yang dibentuk dekat ujung sel. Diameter spora dapat lebih besar atau lebih kecil dari sel vegetatifnya (Pelczar et al. 1986). Bacillus meliputi banyak spesies yang berbeda, beberapa spesies bersifat aerobik obligat dan beberapa bersifat anaerobik fakultatif (Nakano dan Zuber 1998).

B. subtilis berpotensi untuk dikembangkan dalam mengendalikan berbagai penyakit tanaman. Beberapa patogen penting yang dapat dikendalikan oleh B. subtilis di antaranya adalah Pythium sp., Phytophthora sp., Fusarium oxysporum, Rhizoctonia solani, dan beberapa jenis patogen lainnya (Asaka dan Shoda 1996). Potensi B. subtilis dalam pengendalian berbagai jenis penyakit ini dihubungkan dengan kemampuannya dalam memproduksi berbagai macam senyawa antimikroba seperti subtilin, surfactin, fengycin, bacitracin, basilin, basilomisin B, difisidin, oksidifisidin, lesitinase subtilisin dan iturin A (Szczech dan Shoda 2006). Antimikroba yang dihasilkan oleh B. subtilis dapat bersifat antibakteri dan

(3)

antifungi. Antibakteri yang dihasilkan oleh B. subtilis strain A30 (Chen et al. 1997), A014 (Liu et al. 1991), dan SO113 (Lin et al. 2001) bersifat antagonis terhadap X. oryzae pv. oryzae. Sementara dalam penelitian lain dilaporkan bahwa B. subtilis strain RB14-CS (Mizumoto et al. 2006) dan LEV-006 (Hou et al. 206), menghasilkan antifungi yang bersifat antibiosis terhadap R. solani. B. subtilis juga dilaporkan mampu mengendalikan lebih dari satu jenis penyakit pada tanaman yang sama. Seperti B. subtilis GB03 yang efektif menekan cendawan Colletotrichum orbiculare dan bakteri Pseudomonas syringae pv. lachrymans yang menyerang tanaman mentimun (Raupach dan Kloepper 1998).

Beberapa spesies Bacillus subtilis juga dikenal sebagai kelompok Plant Growth-Promoting Rhiobacteria (PGPR) karena kemampuannya menginduksi pertumbuhan dan ketahanan tanaman. Vasudevan et al. (2002), melaporkan bahwa aplikasi B. subtilis pada media pembibitan padi varietas IR24, IP50 dan Jyothi pada perbandingan 1:40 (formulasi B. subtilis : media pembibitan) mampu meningkatkan panjang akar dan tunas serta meningkatkan hasil panen dua kali lipat dibandingkan dengan kontrol. Selain itu, Sailaja et al. (1997 ) melaporkan bahwa B. subtilis AF1 mampu menginduksi ketahanan tanaman kacang tanah terhadap penyakit Aspergillus niger.

Formulasi Agens Hayati

Pemanfaatan B. subtilis sebagai agens hayati patogen tanaman telah banyak dilakukan, di antaranya melalui pembuatan formulasinya. Formulasi adalah campuran antara biomassa agens hayati dan bahan-bahan yang dapat meningkatkan efektifitas dan kemampuan hidup agens hayati. Formulasi agens hayati dapat berupa produk cair atau kering. Dibandingkan dengan produk basah, formulasi kering lebih baik untuk agens hayati yang membentuk spora. Hal ini memungkinkan bakteri dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama. Formulasi cair biasanya berisi sel agens hayati sehingga kemungkinan kemampuan bertahan hidupnya tidak terlalu lama.

Dalam formulasi agens hayati pemilihan bahan pembawa dapat menentukan kemampuan bertahan agens selama di tempat penyimpanan. Berbagai bahan tambahan telah digunakan dalam pengembangan formulasi Bacillus spp. dan

(4)

agens hayati lainnya. Bahan tambahan dapat bersifat sebagai bahan pembawa serta menjadi sumber nutrisi agens hayati ketika spora berkecambah. Beberapa bahan tambahan yang sering digunakan di antaranya tanah lempung (Osbura et al. 1995), gambut dan kitin (Manjula dan Podile, 2001; Ahmed et al. 2003), metilselulosa (Racke dan Sikora 1992), selulosa, minyak nabati dan polivinil pirolidone (Kanjanamaneesathian et al. 2000) berserta modifikasinya dengan penambahan sumber karbon, nitrogen dan beberapa unsur mikro memberikan hasil yang sangat baik dalam menjaga viabilitas spora B. subtilis maupun efektifitasnya dalam menekan patogen tumbuhan. Sementara Muis (2006), melaporkan bahwa tepung singkong, tepung jagung, dan tepung beras dengan penambahan ekstrak ragi efektif dalam meningkatkan pertumbuhan B. subtilis.

Sejauh ini B. subtilis telah banyak dimanfaatkan sebagai produk komersial secara luas sebagai agens antagonis atau sebagai bakteri pemicu pertumbuhan tanaman dalam berbagai merek dagang maupun formulasi. Beberapa merek dagang yang menggunakan B. subtilis sebagai komponen utamanya adalah Kodiak, Serenade, dan Subtilex yang merupakan produk buatan luar negeri. Produk-produk tersebut banyak digunakan dalam pengendalian berbagai macam penyakit pada sayuran, buah-buahan maupun rumput golf (Schisler et al. 2004).

Produk lain yang dibuat dalam bentuk cair dimana spora B. subtilis sebagai bahan aktifnya adalah Biosubtilis yang digunakan untuk mengendalikan penyakit layu yang disebabkan oleh Fusarium, Verticillium dan bakteri, rebah kecambah yang disebabkan oleh Pythium, hawar dan bercak daun yang disebabkan oleh Cercospora, Colletotrichum, Alternaria, Ascochyta, Macrophomina, Myrothecium, Ramularia, Xanthomonas, dan Erysiphe polygoni; selain itu juga digunakan sebagai pemicu pertumbuhan tanaman (Biotech International 2006). Sementara produk dalam negeri seperti Prima-BAPF yang diramu dalam bentuk cair dengan bahan aktif campuran antara B. subtilis dan Pseudomonas fluorescens efektif dalam mengendalikan penyakit Puccinia horiana dan Fusarium oxysporum f.sp traceiphillum pada tanaman krisan dan Plasmodiophora brassicae pada kubis (Hanudin et al. 2006).

(5)

Penyakit Hawar Daun Bakteri

Hawar daun bakteri (HDB) yang disebabkan oleh Xanthomonas oryzae pv. oryzae merupakan salah satu penyakit utama pada padi sawah di Indonesia (Semangun 2004, Machmud dan Farida 1995, Hifni dan Kardin 1998) dan di negara produsen beras lainnya, seperti Jepang, India, dan Philipina (Ou 1985). Penyakit HDB dilaporkan menyebabkan kerusakan pada pertanaman padi di Indonesia pada musim hujan tahun 1948/1949 (Ou 1985), pada waktu itu penyakit ini disebut sebagai kresek atau hama lodoh apabila tanaman sampai mati. Kerusakan tanaman yang disebabkan oleh penyakit HDB dapat mencapai 10%– 50% (Mew 1989), bahkan di India, kerusakan berat dapat mencapai 80%-100% (Devadath 1989, Reddy dan Yin 1989). Di Indonesia, kerusakan hasil padi karena HDB umumnya berkisar antara 15%-23% (Triny 2002). Kerusakan tanaman yang diakibatkan penyakit HDB berkorelasi dengan kehilangan hasil, setiap kenaikan 10% kerusakan tanaman menyebabkan kehilangan hasil meningkat antara 4%–6% (Sudir dan Suparyono 2001).

Bakteri X. oryzae pv. oryzae penyebab penyakit hawar daun bakteri dapat menginfeksi tanaman padi dari mulai pembibitan sampai panen. Ada dua macam gejala penyakit HDB yaitu gejala yang terjadi pada tanaman muda berumur kurang dari 30 hari setelah tanam (persemaian atau yang baru dipindah) disebut kresek dan gejala yang timbul pada tanaman stadium anakan sampai pemasakan disebut hawar (blight). Kresek merupakan gejala yang paling merusak dari penyakit HDB, sementara gejala hawar yang paling umum dijumpai (Triny 2002). Selanjutya Machmud (1988) menyatakan bahwa pada varietas padi yang peka, gejala kresek dijumpai saat tanaman berumur 1–2 minggu setelah tanam. Gejala kresek dicirikan dengan daun berwarna hijau kelabu, melipat dan menggulung. Dalam keadaan parah seluruh daun menggulung layu dan mati, mirip tanaman yang terserang penggerek batang atau terkena air panas (lodoh). Sementara gejala hawar daun ditemukan pada fase pertumbuhan anakan sampai fase pemasakan. Gejala hawar dicirikan dengan terdapatnya garis kekuningan pada daun, gejala terlihat mulai pada ujung daun kemudian bertambah lebar dan pinggirnya berombak. Selain itu pada tanaman bergejala hawar dapat ditemukan eksudat bakteri berwarna susu atau berupa tetes embun pada daun muda di pagi hari.

(6)

Pada stadia lanjut luka menjadi kuning memutih, daun yang terinfeksi parah cenderung menjadi abu-abu dan dapat muncul jamur saprofit (IRRI 2008).

Proses infeksi X. oryzae pv. oryzae masuk ke tanaman padi terutama melalui hidatoda dan luka. Selama 24 jam sel bakteri dapat tumbuh dan berkembangbiak di sekitar hidatoda daun padi yang rentan, kemudian masuk ke dalam ruang antar sel dan akhirnya ke jaringan epitem dan berkas pembuluh untuk menyebar secara sistemik. Luka pada daun yang terjadi karena kebiasaan petani memotong pucuk daun bibit padi yang akan ditanam juga memberi peluang utama terjadinya infeksi X. oryzae pv. oryzae pada tanaman. Dalam waktu 48 jam bakteri dapat berkembang biak dari 103 menjadi 107-108 sel (Ou 1985). Pada pertanaman padi di sawah, eksudat bakteri yang keluar melalui hidatoda daun yang menunjukkan gejala HDB pada pagi hari, terkumpul sebagai butiran air keruh di tepi daun, menjadi kering di siang hari, dan seringkali jatuh ke bagian tanaman lain atau ke air irigasi, menjadi sumber inokulum utama penularan HDB (Ou 1985; Reddy dan Yin 1989). Keberadaan bakteri ini dalam tanah dan air irigasi juga telah dideteksi baik dengan isolasi, maupun reaksi bakteriofag (Ou 1985).

Benih merupakan sumber inokulum penting bagi penularan X. oryzae pv. oryzae. Pendapat peneliti tentang pentingnya peran benih sebagai sumber inokulum patogen ini beragam, tetapi pada umumnya percaya bahwa benih merupakan sumber utama penularan patogen ini di lapangan. Koloni bakteri ini dijumpai pada endosperm dan gluma. Bakteri dapat bertahan hidup dalam benih selama semusim hingga 11 bulan. Berbagai survei menunjukkan bahwa intensitas infeksi benih oleh patogen ini berkisar antara 5%-100%, bergantung pada saat kejadian HDB muncul di lapangan, keparahan penyakit, dan varietas padi (Reddy dan Yin 1989). Daya tahan hidup patogen ini dalam biji padi beragam, tergantung varietas dan suhu lingkungan. Di India, benih padi dapat terinfeksi 90%-100% dan setelah sebulan penyimpanan masih 70% dan setelah dua bulan tinggal 40%. Patogen ini dapat bertahan hidup dalam biji hingga 8-11 bulan (Singh et al. 1983 dalam Mew et al. 1989). Rata-rata, infeksi patogen ini pada biji di lapangan berkisar 11%-21%. Ilyas et al. (2007) melaporkan bahwa bakteri patogen ini dapat diisolasi dari benih. Hasil ini menunjang pendapat bahwa bakteri ini adalah tular benih.

(7)

X. oryzae pv. oryzae memiliki inang alternatif dari jenis padi liar seperti Oryza sativa, O. rufipogon, O. australiensis dan gulma sebagai inang alternatif seperti Leersia oryzoides dan Zizania latifolia, Echinocloa colonum, Leptochloa spp. dan Cyperus spp. (Ou 1985; Niño-Liu et al. 2006). Bakteri ini bahkan dapat hidup untuk sementara waktu pada tanaman non-inang seperti rerumputan dan jagung (Huang dan De Cleene 1989). Bakteri ini dapat bertahan hidup lama hingga musim tanam berikutnya dalam bentuk koloni bakteri kering maupun basah pada jerami, serasah tanaman, dan singgang/turiang padi (Ou 1985).

Penyakit Hawar Pelepah

Penyakit hawar pelepah padi adalah penyakit yang disebabkan oleh cendawan Rhizoctonia solani Kühn. Pada masa sebelum diperkenalkannya varietas padi dengan ukuran batang semi pendek pada tahun 1980-an, penyakit kurang mempunyai arti ekonomi. Namun, setelah diperkenalkannya varietas padi semi pendek tersebut penyakit ini menjadi penting. Hal ini disebabkan karena varietas padi tipe ini ditanam dengan jarak rapat sehingga lingkungan iklim mikronya sesuai untuk perkembangan penyakit hawar pelepah (Groth dan Lee 2002; Lee dan rush 1983). Selain itu, penggunaan pupuk N yang berlebihan menyebabkan kanopi pertanaman semakin rapat sehingga memberikan lingkungan yang kondusif untuk perkembangan penyakit hawar pelepah (Ou 1985). Penyakit hawar pelepah mempengaruhi jumlah gabah bernas per malai, dan secara parsial mempengaruhi panjang malai dan persen kehampaan, tetapi tidak mempengaruhi berat 100 biji bernas (Kadir et al. 1987).

Cendawan R. solani adalah patogen yang menghasilkan toksin. Toksin yang paling dikenal adalah RS phytotoxin--suatu molekul karbohidrat mengandung glucose, mannose, N-acetylgalactosamine, dan Nacetylglucosamine (Vidhyasekaran et al. 1997). Pengaruh toksin terlihat dengan ekspresi gejala yang muncul pada jaringan tanaman. Umumnya gejala penyakit pelepah daun berupa bercak-bercak besar pada upih daun dan batang, tidak teratur, berbentuk jorong, dengan tepi cokelat kemerahan, sedangkan pusatnya berwarna seperti jerami atau kuning kehijauan. Seringkali bercak terdapat dekat dengan lidah daun. Pada batang padi bercak mempunyai ukuran yang lebih kecil. Dalam keadaan lembab,

(8)

pada bercak tumbuh benang-benang cendawan putih atau cokelat muda (Semangun 2004).

Miselium dan sklerotium R. solani bertahan pada jerami dan rumput-rumputan. Kardin et al. (1975) membuktikan bahwa banyak gulma yang dapat menjadi tumbuhan inang R. solani, sehingga diduga bahwa sumber infeksi untuk padi selalu ada. R. solani juga dapat menyerang semua spesies Azolla yang umum terdapat di sawah, terutama yang paling rentan adalah A. pinnata. Meskipun demikian, R. solani dari A. pinnata mempunyai patogenisitas yang rendah pada padi (Moechajat et al. 1987). Infeksi patogen ini pada padi terjadi pada umur semai dan tanaman dewasa.

Penyakit hawar pelepah terjadi karena adanya interaksi antara inang yang rentan, patogen yang virulen, dan kondisi lingkungan yang mendukung. Kondisi lingkungan biotik dan abiotik berperan penting dalam perkembangan penyakit. Cendawan R. solani berkembang baik pada kelembaban optimum ~ 96% dan suhu optimum 30 – 32 ºC (Hashiba 1985; Shi dan Cheng 1995). Cendawan R. solani dapat menyebar dari pelepah sampai ke helai daun dan tangkai padi pada kondisi yang kondusif dan dapat menyebabkan kerusakan tanaman hingga 50% pada varietas yang rentan (Lee dan Rush 1983) dan menyebabkan kehilangan hasil hingga 5% – 15% (Cartwright dan Lee 2006). Penggunaan jenis atau varietas padi juga dilaporkan dapat mempengaruhi perkembangan penyakit. Kajiwara dan Kardin (1975) melaporkan bahwa jenis padi yang berbatang pendek dan mempunyai anakan banyak lebih rentan tehadap R. solani.

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil analisis pada ekspresi ruang luar bangunan Masjid Al-Irsyad dapat disimpulkan bahwa elemen-elemen ruang luar bangunan seperti site bangunan, tatanan bentuk,

penanggungjawab program harus membuat laporan penggunaan dana sesuai ketentuan dan disertakan dengan laporan pelaksanaan kegiatan secara keseluruhan yang telah

Pada tahun 1995 EBI menurunkan harga Encyclopædia Britannica dalam bentuk CD-Rom menjadi hanya $200, namun tidak cukup mengangkat penjualan perusahaan, karena pada saat tersebut

Satu hal yang sangat penting adalah dalam hal penyimpanan data, penyimpanan peta dan data yang ada untuk tata ruang kota dan prasarana kota dilakukan menggunakan

Dalam hal ini hasil belajar sebagai timbal balik dari proses pembelajaran, sejalan dengan pendapat Sudjana (2009, hlm. 3) bahwa “hasil belajar merupakan suatu bentuk yang

• Hal yang paling ditakuti pada umumnya ialah kematian • Pertanyaan yang mendasar dalam pikiran kita ialah:. - Apakah arti kehidupan dan apakah arti

Isolat-isolat yang tumbuh dalam media screening cair diprediksi mampu menghasilkan enzim fitase karena dengan adanya enzim ini, fitat yang ada dalam media screening

Pasien yang masuk Rawat Inap sebagai kelanjutan dari proses perawatan di IRJ atau IGD → diklaim dengan 1 kode Ina– CBG’S jenis pelayanan Rawat Inap. Pasien yang datang dari